You are on page 1of 61

MODUL

KURIKULUM DAN PENGEMBANGAN


MATERI PEMBELAJARAN

Oleh:
Drs. Suparlan, M.Ed

Semester: II (kedua)
SKS: 2 (dua)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
Jalan Letjen TB Simatupang Nomor 152
Tanjung Barat, Jakarta Selatan 12530
Telepon: (021) 7890965, 7829919, 78831838, 7890634
Fax: (021) 7890966
Daftar Isi

1. Pengantar..........................................................................................................................5
2. Kompetensi.......................................................................................................................6
3. Tujuan Pembelajaran........................................................................................................6
4. Kegiatan Pembelajaran .................................................................................................6
4.1. Rincian Materi Pembelajaran........................................................................................6
4.2. Uraian Materi Pembelajaran dan Beberapa Contoh..................................................7
0.1 Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan.......................................................30
0.2 Umpan Balik..............................................................................................................35
1 Referensi...........................................................................................................................35
2 Lampiran...........................................................................................................................36
2.1 Lampiran 1:...............................................................................................................36
2.2 Lampiran 2:...............................................................................................................47
2.3 Lampiran 3:...............................................................................................................51
2.4 Lampiran 4:...............................................................................................................53

2
3
Kata Sambutan

Ibarat sebuah negara, kita menyadari sepenuhnya bahwa Universitas Tama Jagakarsa
termasuk adalah universitas yang masih sedang berkembang. Oleh karena itu, masih
banyak hal yang harus dilakukan untuk universitas ini. Salah satu di antaranya adalah
meningkatkan kemampuan dosen yang dapat menghasilkan produk ilmiah berupa tulisan
yang dimuat di berbagai media massa, atau bahkan diterbitkan dalam bentuk modul atau
pun buku ilmiah.

Upaya Drs. Suparlan, M.Ed untuk menulis dan menerbitkan modul untuk mata kuliah
yang diampunya patut mendapatkan sambutan kita semua. Sebagai dosen yang mengajar
di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang mahasiswanya banyak yang berasal dari
para guru dan calon guru yang sedang mengajar di sekolahnya, kami menyadari bahwa
penyusunan modul menjadi satu keniscayaan. Mengapa? Karena modul menjadi sumber
belajar yang sangat diperlukan. Sambil melaksanakan tugas mengajar, para mahasiswa
dapat belajar secara mandiri dengan membaca modul ini. Apalagi, selain materi kuliah
yang telah dirinci dalam 16 (enam belas) kali pertemuan dalam satu semester, di dalam
modul ini juga disertai pula dengan tes yang harus dikerjakan oleh mahasiswa. Tes ini
disusun pula untuk setiap kali pertemuan sebagai ter formatif yang harus dijawab oleh
mahasiswa, dan kemudian didiskusikan dalam pertemuan berikut sebagai appersepsi di
awal perkuliahan berikutnya. Selain itu, modul ini diharapkan juga dapat menjadi media
promosi bagi calon mahasiswa yang akan mengikuti kuliah di universitas ini. Semakin
banyak warga masyarakat yang akan memasuki universitas ini, semakin besarlah nama
baik universitas ini. Dengan demikian, secara bertahap universitas ini diharapkan akan
mengganti label dari universitas yang sedang berkembang menjadi universitas dapat
berdiri sejajar dengan universitas-universitas yang maju di negeri tercinta ini.

Kami berharap rintisan penulisan modul bagi mahasiswa ini segera dapat diikuti oleh para
dosen lain di seluruh universitas yang kita cintai ini. Amin.

Jakarta, 20 Mei 2009

Rektor,

.....................

4
1. Pengantar

”Jalan terpenting untuk mempertinggi mutu sekolah-sekolah itu ialah


mempertinggi mutu pendidiknya”. Demikianlah pesan Mr. Muhammad Yamin
kepada para kita semua. Pesan itu terutama ditujukan kepada penanggung jawab
dunia pendidikan, khususnya yang mengurus tentang pendidik dan tenaga
kependidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak akan berhasil tanpa
melalui jalan dan upaya peningkatan mutu pendidiknya. Tanpa guru yang dapat
dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan berikut acara
kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka prasyarat utama
yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar yang menjamin
optimalisasi hasil ‘pembelajaran’ secara kurikuler ialah tersedianya guru dengan
kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan tugasnya (Fuad
Hassan, Kompas, 28 Feburari 2000).

Untuk dapat meningkatkan profesionalisme guru dengan baik, para guru dan calon
guru harus memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi
pedagogis, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi
profesional.

Kompetensi pedagogis adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan guru


tentang teori belajar mengajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
Kompetensi profesional adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan
disiplin ilmu atau mata pelajaran yang akan diajarkan, termasuk di dalamnya
penguasaan terhadap hal-hal yang terkait dengan kurikulum. Mata kuliah
Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi
salah satu bekal bagi para calon guru agar memiliki kompetensi yang memadai,
khususnya kompetensi pedagagogis dan kompetensi profesional. Dengan demikian,
guru yang dihasilkan dari lembaga pengembangan tenaga kependidikan (LPTK) ini
adalah guru yang profesional.

Di samping itu, para calon guru harus memiliki pemahaman yang mendalam
bahwa guru mempunya posisi sentral dalam sistem pendidikan nasional. Ada tiga
komponen utama dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) peserta didik; (2)
guru, dan (3) kurikulum.

Dalam proses belajar mengajar, ketiga komponen tersebut mempunyai hubungan


yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Tanpa peserta didik,
guru tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa guru para siswa
juga tidak akan dapat secara optimal belajar. Tapa kurikulum, guru pun tidak akan
mempunyai bahan ajar yang akan diajarkan kepada peserta didik. Dengan
demikian, tanpa kehadiran salah satu komponen tersebut, proses interaksi edukatif
tidak akan terjadi.

Antara kurikulum dengan pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Kurikulum
adalah konsepnya. Pembelajaran merupakan pelaksanaannya. Mata kuliah
Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini mencakup dua hal penting:

5
(1) kurikulum, dan (2) pengembangan materi pembelajaran dan penerapannya
dalam proses belajar mengajar di dalam kelas.

2. Kompetensi

Setelah mengikuti kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Kurikulum dan


Pengembangan Materi Pembelajaran, diharapkan mahasiswa dapat memiliki
kompetensi sebagai berikut:

1. Memahami pengertian kurikulum;


2. Memahami definisi kurikulum;
3. Memahami komponen utama kurikulum;
4. Memahami proses pengembangan kurikulum;
5. Memahami macam-macam kurikulum;
6. Memahami hubungan antara kurikulum, pengajaran, dan tujuan pendidikan;
7. Memahami sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia;
8. Memahami Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
9. Memahami silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

3. Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan pengertian etimologis kurikulum;


2. Menjelaskan tentang filosofi dan definisi kurikulum;
3. Menjelaskan beberapa macam kurikulum;
4. Menyebutkan komponen utama kurikulum;
5. Menjelaskan hubungan antara kurikulum, pembelajaran, dan tujuan pendidikan;
6. Menjelaskan proses pengembangan kurikulum dan pemangku kepentingan
yang terlibat dalam proses pengembangan kurikulum;
7. Menjelaskan perkembangan kurikulum di Indonesia
8. Menyebutkan dua dokumen KTSP;
9. Menjelaskan KTSP;
10. Menjelaskan silabus;
11. Menyusun silabus;
12. Menjelaskan RPP;
13. Menyusun RPP.

4. Kegiatan Pembelajaran
4.1. Rincian Materi Pembelajaran

Mata kuliah ini disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan
rincian materi pembelajaran dalam tabel berikut:

Tabel 4.1: Rincian Materi Pembelajaran

Pertemuan Materi pembelajaran


I Informasi Mata Kuliah
II Pengertian Etimologis Kurikulum

6
III Filosofi dan Definisi Kurikulum
IV Komponen Kurikulum
V Hubungan Kurikulum, Pembelajaran, dan Tujuan Pendidikan
VI Macam-macam Kurikulum
VII Proses Pengembangan Kurikulum
VIII UTS (Ujian Tengah Semester)
IX Perkembangan Kurikulum Di Indonesia
X KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen I
XI KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen II
XII Silabus
XIII Praktik Penyusunan Silabus
XIV RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
XV Praktik Penyusunan RPP
XVI UAS (Ujian Akhir Semester)

4.2. Uraian Materi Pembelajaran dan Beberapa Contoh

Pertemuan I: Informasi Mata Kuliah

Dalam pertemuan ini mahasiswa akan menerima fotokopi hand out silabus mata
kuliah atau modul ini sekaligus, agar secara dini mahasiswa dapat mengetahui apa
saja yang akan dipelajari selama satu semester. Dengan demikian, mahasiswa
diharapkan dapat memperoleh bahan lain untuk lebih memperkaya pengetahuan
dan pemahamannya terhadap materi kuliah ini. Beberapa butir kontrak perkuliahan
antara lain dapat disepakati sebagai berikut:

1. Setiap mahasiswa wajib memilik i modul ini;


2. Setiap mahasiswa juga harus --- paling tidak --- memiliki satu buku referensi
yang disebutkan dalam modul ini;
3. Untuk itu, mahasiswa harus melaporkan tentang buku referensi apa yang
dimilikinya;
4. Pertemuan ini seluruhnya dilakukan dengan cara pemberian informasi dialog
antara dosen dengan mahasiswa;
5. Tugas mandiri yang harus dikerjakan oleh mahasiswa harus segera diserahkan
kepada mahasiswa sesuai dengan jadwal yang telah disepakati;
6. Dosen harus mengoreksi dan mengembalikan tugas mandiri kepada
mahasiswa;
7. Mahasiswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan minimum (KKM) harus
mengikuti remedial teaching atau pembelajaran remedial tentang materi yang
masih kurang tersebut.

Pertemuan II: Pengertian Etimologis Kurikulum

Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang
artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung
pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start
sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal

7
dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi
ke dalam dunia pendidikan.

Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan


pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang
harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.

In The Curriculum, the first textbook published on the subject, in 1918, John
Franklin Bobbitt said that curriculim, as an idea, has its roots in the Latin word
for race-course, explaining the curriculum as the course of deeds and experiences
through which children become the adults they should be, for success in adult
society. Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative
deed and experience occurring in and out of school, and not experiences occurring
in school; experiences that are unplanned and undirected, and experiences
intentionally directed for the purposeful formation of adult members of society
(www.wikipedia.com).

Secara bebas, kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The
Curriculum, buku teks pertama yang diterbitkan tentang mata kuliah itu pada tahun
1918, John Franklin Bobbit mengatakan bahwa kurikulum, sebagai satu gagasan,
memiliki akar kata Bahasa Latin “race course” (tempat berlari), yang menjelaskan
bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan pengalaman yang harus diperoleh
anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses setelah menjadi dewasa.
Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan kegiatan dan pengalaman yang
diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman yang direncanakan dan yang
tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara sungguh-sungguh diarahkan
untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat orang dewasa.

In formal education or schooling (cf. education), a curriculum is the set of


courses, course work, and content offered at a school or university. A curriculum
may be partly or entirely determined by an external, authoritative body (i.e. the
National Curriculum for England in English schools). In the U.S., each state, with
the individual school districts, establishes the curricula taught. Each state,
however, builds its curriculum with great participation of national academic subject
groups selected by the United States Department of Education, e.g. National
Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for mathematical instruction. In
Australia each state's Education Department establishes curricula. UNESCO's
International Bureau of Education has the primary mission of studying curricula
and their implementation worldwide.

Curriculum means two things: (i) the range of courses from which students choose
what subject matters to study, and (ii) a specific learning program. In the latter
case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and assessment
materials available for a given course of study.

Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan


mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang
harus ditempuh atau diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan
atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti bahwa seseorang

8
peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah dengan sebuah
ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik,

Pengertian kurikulum mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan


masyarakat dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, guru
besar Universitas Pendidikan Indonesia telah mencoba untuk merumuskan
perkembangan pengertian kurikulum tersebut dengan menggunakan formula-
formula sebagai berikut:

1. K = -------------, artinya kurikulum adalah jarak yang harus ditempuh oleh


pelari.
2. K = Σ MP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh peserta didik.
3. K = Σ MP + KK, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan
kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan sekolah yang harus ditempuh
oleh peserta didik.
4. K = Σ MP + K + SS + TP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran dan kegiatan-kegiatan dan segala sesuatu yang yang berpengaruh
terhadap pembentukan pribadi peserta didik sesuai dengan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau sekolah.

Dari ke empat formula definisi kurikulum tersebut, dapat diambil dua butir
kesimpulan bahwa (1) definisi kurikulum berasal dari dunia olah raga, dan
kemudian digunakan dalam dunia pendidikan; (2) definisi kurikulum senantiasa
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari definisi yang amat
sederhana menjadi definisi yang sangat kompleks. Untuk memahami makna
definisi kurikulum biasanya perlu dilakukan analisis makna unsur-unsur definisi
kurikulum, sehingga dapat diketahui formula yang membentuk definisi kurikulum
tersebut.

Pertemuan III: Filosofi dan Definisi Kurikulum

Dewasa ini terdapat banyak sekali definisi kurikulum, yang kalau dipelajari secara
mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama,
pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai
”subject matter” atau mata pelajaran, ”content” atau isi, dan ”transfer of culture”
atau alih kebudayaan (Said Hamid Hasan, dari Tanner dan Tanner, 1980: 104).
Kedua, pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan
kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan
”cultivation of intellect” atau pengolahan intelek.

Persamaan kedua aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis


dan intelektualitas. Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan
pada tradisi intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan
matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang
lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan bahasa-bahasa
modern.

9
Kedua aliran tersebut termasuk kelompok aliran konservatif. Di samping itu ada
kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum --- bukan hanya
untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu --- tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran
progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme,
eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.

Menurut aliran rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk


melestarikan budaya atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk
apa yang akan dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19),
kurikulum berfungsi untuk membentuk masa depan atau "shaping the future",
bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the
life of community". McNeil menjelaskan bahwa:

Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help
students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as
a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills
needed for conceiving new goals and affecting social change.

Beberapa definisi kurikulum dapat disebutkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel III.1: Beberapa Definisi Kurikulum

No. Pakar Definisi


1 John Franklin Curriculum, as an idea, has its roots in the Latin
Bobbit, 1918 word for race-course, explaining the curriculum
as the course of deeds and experiences through
which children become the adults they should be,
for success in adult society.
2 Hilda Taba (1962) Curriculum is a plan for learning.
3 Caswell and Curriculum is all of the experiences children have
Campbell (1935) under the guidance of teachers.
4 Edward A. Krug A curriculum consists of the means used to achieve
(1957) or carry out given purposes of schooling.
5 Beauchamp (1972) A curriculum is a written document which may
contain many ingredients, but basically it a plan
for the education of pupil during their enrollment
in given school.
5 Saylor dan “The total effort of school to going desired
Alexander outcomes in school and out school situations”.
6 Hilda Taba Curriculum is a plan for learning.
7 Johnson A structural series of intended kearning outcomes.
8 J.F. Kerr (1972) All the learning which is planned or guided by
school, whether it is carried on in groups or
individually, inside of or outside the school.
9 Caswell and Curriculum is all of the experiences children have
Campbell under the guidance of teacher
10 Oliva (2004) Curriculum is a plan or program for all
experiences when the learner encounters under the

10
direction of the school.
11 Undang-Undang Kurikulum adalah "seperangkat rencana dan
nomor 20 tahun 2003 pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
tentang Sistem pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
Pendidikan Nasional pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
(pasal 1 ayat 19) untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Sumber: Dari berbagai sumber.

Daftar definisi kurikulum tersebut dapat diperpanjang. Definisi tersebut tampak


sangat bervariasi. Dari definisi yang sangat pendek seperti yang dikemukakan oleh
Hilda Taba, atau pun Johnson, sampai dengan definisi yang panjang dari
Beauchamp. Bahkan, George Beauchamp (1972) sendiri mencoba
mengelompokkan definisi kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok
yang mendefinisikan bahwa kurikulum adalah a plan for subsequent action.
Kedua, adalah kelompok yang menyatakan bahwa kurikulum tidak lain adalah
pengajara dan pembelajaran (curriculum and instruction as synonums or a unified
concept). Ketiga, kelompok yang mendefiniskan sebagai istilah yang sangat luas,
yang meliputi proses psikologikan peserta didik sebagai pengalaman belajar (a
very broad term, encompassing the learner's psychological process as she or he
acquires educational experiences).

Pertemuan IV: Komponen Kurikulum

Pada pertemuan sebelumnya telah dipelajari bahwa untuk memahami kurikulum


kita dapat membedah definisi kurikulum ke dalam unsur-unsur kurikulum. Dengan
mengetahui unsur-unsur kurikulum, kita akan jauh lebih mudah untuk mengetahui
komponen-komponen kurikulum.

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga dapat menggambarkan berbagai


perbedaan dalam definisi kurikulum. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum
adalah "statement of objectives" (McDonald; Popham), ada yang mengatakan
bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan proses
pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981).

Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan
berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum
guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan
dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum
adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Dari definisi kurikulum sebagaimana telah dirumuskan dalam UU Nomor 20


Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa kurikulum itu terdiri dari beberapa komponen utama:

11
1. Isi dan bahan pelajaran;
2. Cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran;
3. Tujuan pendidikan yang akan dicapai

Subandiyah dalam bukunya menyebutkan komponen utama kurikulum adalah:

1. Tujuan pendidikan;
2. Isi/materi;
3. Organisasi/strategi;
4. Media;
5. Proses belajar mengajar;

Sedang komponen penunjangnya adalah:

1. Sistem administrasi dan supervise;


2. Bimbingan dan penyuluhan;
3. Sistem evaluasi

Pertemuan V: Hubungan Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan

Oliva (1997:12) menyatakan secara tegas bahwa "Curriculum itself is a construct


or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas". Dengan
kata lain, salah satu pengertian yang melekat pada kurikulum adalah kurikulum
sebagai verbalisasi dari ide atau gagasan yang teramat kompleks yang ingin dicapai
oleh dunia pendidikan. Definisi lain menyatakan kurikulum sebagai satu dokumen
tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya gagasan tersebut
memerlukan penerapan atau pelaksanaan dalam bentuk proses pengajaran dan
pembelajaran. Kurikulum sebagai dokumen dan sebagai konsep tidak mempunyai
makna apa-apa jika tidak dilaksanakan oleh pendidik dalam proses pengajaran dan
pembelajaran di dalam atau di luar kelas. Bahkan, dalam proses pelaksanaan atau
penerapan kurikulum itu sendiri juga menjadi salah satu materi tersendiri dalam
kurikulum itu, yang kita kenal sebagai kurikulum tersembunyi. Dalam kenyataan
di lapangan apa yang dilakukan oleh guru di dalam dan di luar sekolah akan
menjadi pengalaman belajar yang sangat mempengaruhi peserta didik. Dan oleh
karena itulah maka pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah dalam
proses pelaksanaan kurikulum ideal disebut sebagai kurikulum yang sebenarnya
(real curriculum) atau kurikulum faktual (factual curriculum).

Jika dokumen kurikulum yang dikembangkan disebut sebagai ideal curriculum,


dan proses pengajaran dan pembelajaran di dalam dan di luar kelas sebagai factual
curriculum, maka kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam kurikulum ideal terdapat
komponen tujuan pendidikan yang akan dicapai. Demikian juga dalam pelaksanaan
pengajaran dan pembelajaran terkandung tujuan instruksional yang tidak lain
adalah tujuan pendidikan dalam level di dalam kelas. Walhasil, baik kurikulum
dalam bentuk dokumen atau ideal maupun kurikulum faktual berupa proses
pengajaran semuanya memiliki orientasi tunggal, yakni tujuan pendidikan.

12
Pertemuan VI: Macam-macam Kurikulum

Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:

Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah


kurikulum sebagai berikut:

1. Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu
yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
2. Kurikulum aktual atau faktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam
proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh
berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya
mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan
dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan
ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang.
Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara
bertahap dalam belajar mengajar.
3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang
terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual.
Segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas, seperti kebiasaan guru, kehadiran
guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu
sendiri dan sebagainya akan dapat menjadi kurikulum tersembunyi yang akan
berpengaruh terhadap pelaksanaan kurikulum ideal di sekolah. Kebiasaan
guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh, akan
menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan
kepribadian peserta didik.

Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat
membedakan:

1. Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata


pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata
pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan
seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di Indonesia termasuk dalam
kategori kurikulum terpisah-pisah.
2. Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya
diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi
dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan
sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik
yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika,
sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam
satu tema tertentu. Kurikulum 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori
kurikulum terpadu.
3. Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya
dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.

Berdasarkan proses pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya,


kurikulum dapat dibedakan menjadi:

13
1. Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun
oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
2. Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun
oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian
di Amerika Serikat, dan digunakan oleh masing-masing negara bagian itu.
3. Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh
satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk
melakukan diferensiasi dalam kurikulum.

Pertemuan VII: Proses Pengembangan Kurikulum

Proses pengembangan kurikulum a complex process of assessing needs, identifying


desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and
meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.
Unruh dan Unruh (1984)

Kurikulum memang harus dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang
memiliki UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk
menyusun kurikulum tersebut berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-
undang tersebut.

Untuk menyusun kurikulum nasional, sudah barang tentu ada lembaga tertentu
yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menyusun atau
mengembangkan kurikulum yang akan digunakan secara nasional. Di Indonesia,
lembaga itu dikenal sebagai Pusat Kurikulum, yang berada di bawah Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional (Balitbang Diknas). Di negara
lain tentu saja ada lembaga seperti itu. Ada beberapa pemangku kepentingan yang
menurut David G. Amstrong biasanya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum,
yaitu:

1. Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli kurikulum);


2. Teacher/instructors (guru/instruktur);
3. Learners (peserta didik);
4. Principals/corporate unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas sekolah);
5. Central office administrators/corporeate administrators (administrator kantor
pusat/administrator perusahaan;
6. Special experts (ahli special);
7. Lay public representatives (perwakilan masyarakat umum).

Yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan


penyusunan kurikulum oleh pengembang kurikulum (curriculum developer) dan
kegiatan yang dilakukan agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar
dan acuan yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang


membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang
sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli
kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut

14
pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui
pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja
terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas
adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi
mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan.
Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara
kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum
mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar
belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.

Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum


a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes,
preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social,
and personal needs that the curriculum is to serve.

Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi


berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia
(1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu
proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time.
curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions,
psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at
its moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan
kurikulum fokus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang
dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah
romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya


digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini
kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan
kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada
kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi,
agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan
pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang
muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi
kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan
kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu
kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan
yang terbatas.

Keseluruhan proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi dapat


digambarkan sebagai berikut:

15
Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di


mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep
diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi
pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan
konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet
dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu
eksternal dan internal:

The environment of the curriculum is external insofar as the social order in


general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal
insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools
should function and what the curriculum should be. The external environment is
full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The
internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted
views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own
cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly
changing, current realities.

Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan
kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses
pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat.
Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas
pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang
diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh
kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai
dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur
dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

16
Sumber: Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

Pertemuan VIII: UTS

Dalam pertemuan V ini, mahasiswa akan menjawab menjawab soal-soal berbentuk


Benar – Salah (B/S) sebagai berikut:

1. Secara etimologis, kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh


oleh seorang pelari (B/S)
2. Pengertian awal kurikulum berasal dari dunia bisnis dan kemudian diadopsi
ke dalam dunia pendidikan (B/S)
3. Pengertian curriculum sama artinya dengan curriculum vitae (B/S)
4. Kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari,
dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari” (B/S).
5. Perilaku dan kegiatan pendidik yang secara langsung maupun tidak langsung
menjadi pengalaman belajar peserta didik dalam proses pembelajaran
merupakan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) (B/S)
6. KTSP merupakan national curriculum (B/S)
7. Pada tahun 1940-an, lembaga pendidikan di Indonesia telah mulai
menggunakan istilah kurikulum (B/S)
8. Perubahan kurikulum merupakan keinginan dan kebijakan dari menteri
pendidikan atau para pengambil kebijakan pendidikan (B/S)
9. Rencana Pengajaran 1947 sesungguhnya bukan kurikulum (B/S)
10. Kurikulum untuk lembaga pendidikan sekolah/madrasah lebih baik tidak
perlu diubah-ubah sehingga menimbulkan kesan berubah menteri berubah
kurikulmnya (B/S)
11. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran dalam Integrated
Curriculum (B/S).
12. Model pembelajaran tematik yang diberikan di kelas awal Sekolah Dasar
merupakan pelaksanaan dari Separated Curriculum (B/S)
13. Sejarah merupakan mata pelajaran dalam Separated Curriculum (B/S)
14. Sains merupakan mata pelajaran dalam Corelated Curriculum (B/S)

17
15. Proses pengajaran dan pembelajaran sesungguhnya dalam disebut sebagai
kurikulum faktual (B/S)
16. Tujuan pendidikan nasional terlepas dari makna, pengertian, atau definisi
kurikulum, baik dokumen kurikulum maupun proses pengajaran (B/S)
17. Perenialisme dan esensialisme merupakan aliran progresif dalam kurikulum
(B/S)
18. Aliran perenialisme dan esensialisme kedua-duanya mementingkan mata
pelajaran yang dapat mengembangkan intelekualitas dan transfer budaya atau
transfer of culture (B/S).
19. UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum adalah
"seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (B/S)
20. Dokumen kurikulum merupakan kurikulum yang bersifat faktual (B/S)
21. Proses pengajaran dan pembelajaran merupakan kurikulum yang bersifat ideal
(B/S)
22. Kurikulum sebagai dokumen dan proses pengajaran di dalam kelas, keduanya
diusahakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan (B/S)
23. Aliran rekonstruksionisme menekankan kurikulum pada aspek transfer
budaya intelektualitas masa lalu (B/S).
24. Pemberian mata pelajaran teknologi informasi dalam pendidikan sekolah di
Indonesia memberikan indikasi bahwa Indonesia juga menganut aliran
rekonstruksionisme dalam kurikulum (B/S)
25. Aliran rekonstruksionisme termasuk aliran konservatif dalam kurikulum (B/S)

Pertemuan IX: Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Secara umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh


tahun sekali. Perubahan kurikulum tersebut dilakukan agar kurikulum tidak
ketinggalan dengan perkembangan masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan
teknologinya. Kurikulum yang pernah diberlakukan secara nasional di Indonesia
dapat dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel IX.1: Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia

No. Kurikulum Keterangan


1 Rencana • Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr.
Pelajaran Suwandi, membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran.
1947 • Merupakan kurikulum pertama di Indonesia. Rencana
Pelajaran yang disusun harus memperhatikan; (1)
mengurangi pendidikan pikiran, (2) menghubungkan isi
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (3) memberikan
perhatian kepada kesenian, (4) meningkatkan pendidikan
watak, (5) meningkatkan pendidikan jasmani, dan (6)
meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
• Istilah kurikulum belum digunakan. Istilah yang
digunakan adalah Rencana Pelajaran. Unsur pokok
kurikulum adalah: (1) daftar jam pelajaran atau struktur

18
program, (2) garis-garis besar program pengajaran.
• Struktur program dibagi menjadi: (1) struktur program
yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Daerah, (2)
struktur program yang menggunakan bahasa pengantar
Bahasa Indonesia.
• Merupakan kurikulum dengan mata pelajaran terpisah-
pisah (separated curriculum).
2 Rencana • Lahir karena tunturan UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang
Pelajaran Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
1950 • Kurikulum ini masih relatif sama dengan Rencana
Pelajaran 1947
• Istilah kurikulum masih belum digunakan. Istilah yang
dipakai adalah Rencana Pelajaran.
• Kurikulum ini merupakan kurikulum masih dengan mata
pelajaran terpisah-pisah (separated curriculum).
3 Rencana • Merupakan penyempurnaan dari Rencana Pelajaran
Pelajaran 1950.
1958 • Digunakan sampai dengan tahun 1964
4 Rencana • Merupakan penyempurnaan dari Rencana Pelajaran 1958
Pelajaran • Digunakan sampai dengan tahun 1968.
1964 • Terdapat pembagian kelompok cipta, rasa, karsa, dan
krida.
5 Kurikulum • Kurikulum ini merupakan kurikulum terpadu pertama di
1968 Indonesia. Beberapa mata pelajaran Ilmu Hayat, Ilmu
Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu
Pengetahun Alam (IPA) atau yang sekarang sering
disebut Sains.
• Struktur program dibagi menjadi (1) pembinaan jiwa
Pancasila, (2) pengetahuan dasar, dan (3) kecakapan
khusus.
• Struktur program untuk Sekolah Dasar, program
pembinaan jiwa Pancasila meliputi mata pelajaran (1)
Pendidikan Agama, (2) Pendidikan Kewargaan Negara,
(3) Pendidikan Bahasa Indonesia, (4) Bahasa Daerah, dan
(5) Pendidikan Olahraga.
• Untuk program pengetahuan dasar meliputi mata
pelajaran (1) Berhitung, (2) IPA, (3) Pendidikan
Kesenian, dan (4) Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.
• Untuk program kecakapan khusus meliputi mata
pelajaran Pendidikan Khusus.
• Untuk pertama kalinya istilah kurikulum dipakai di
Indonesia.
6 Kurikulum • Lahir sebagai tuntutan Ketetapan MPR Nomor
1975 IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, dengan tujuan
pendidikan ”membentuk manusia Indonesia untuk
pembangunan nasional di berbagai bidang.
• Struktur program untuk SD meliputi bidang studi (1)

19
Agama, (2) Pendidikan Moral Pancasila, (3) Bahasa
Indonesia, (4) Ilmu Pengetahuan Sosial, (5) Matematika,
(6) Ilmu Pengetahuan Alam, (7) Olahraga dan Kesehatan,
(8) Kesenian, dan (9) Keterampilan Khusus.
• Untuk SMP ditambah dengan bidang studi Bahasa
Daerah, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Keterampilan,
baik yang pilihan terikat atau pilihan bebas.
• Untuk SMA sudah barang tentu ada bidang studi
berdasarkan jurusan, baik IPA dan IPS.
• Untuk SMK dikenal dengan Kurikulum 1976.
• GBPP untuk kurikulum 1975 dikenal dengan format
yang sangat rinci.
7 Kurikulum • Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
1984 kurikulum 1975. Oleh karena itu Kurikulum 1984
dikenal juga sebagai Kurikulum 1975 Yang
Disempurnakan.
• Kurikulum 1984 berlaku berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983
tanggal 22 Oktober 1983 tentang Perbaikan Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
• Ada empat aspek yang disempurnakan dalam Kurikulum
1984, yakni: (1) pelaksanaan PSPB, (2) penyesuaian
tujuan dan struktur program kurikulum, (3) pemilihan
kemampuan dasar serta keterpaduan dan keserasian
antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, (4)
pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar
yang disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-
masing peserta didik.
8 Kurikulum • Kurikulum 1994 merupakan pelaksanaan amanat UU
1994 Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
• Kurikulum 1994 dilaksanakan berdasarkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal
25 Februari 1993.
• Kurikulum 1994 berisi 3 lampiran: (1) Landasan,
Program, dan Pengembangan Kurikulum, (2) GBPP, dan
(3) Pedoman Pelakskanaan Kurikulum.
9 Kurikulum • Kurikulum ini belum diterapkan di seluruh sekolah di
Berbasis Indonesia.
Kompetensi • Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas bersama dengan
(KBK) Direktorat Teknis telah melakukan uji coba dalam rangka
proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
ini.
• Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005, Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai kewenangan
untuk mengembangkan standar nasional pendidikan,
termasuk standar kurikulum yang digunakan di sekolah-

20
sekolah.
10 Kurikulum • KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP
Tingkat sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
Satuan • Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan
Pendidikan Standar Nasional Pendidikan).
(KTSP) • Kurikulum ini disusun oleh satuan pendidikan
sekolah/madrasah bersama dengan semua pemangku
kepentingan di sekolah.

Sumber: Lima Puluh Tahun Pendidikan Indonesia.

Pertemuan X: KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang


Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan
dengan mengacu kepada standar isi (SI) dan standar kelulusan (SKL) serta
berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar


Pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan tentang Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa:

1. Sekolah/Madrasah menyusun KTSP.


2. Penyusunan KTSP memperhatikan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi,
dan peraturan pelaksanaannya.
3. KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau
karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
4. Kepala Sekolah/Madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5. Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang
kurikulum bertanggungjawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP.
6. Setiap guru bertanggungjawab menyusun silabus setiap mata pelajaran yang
diampunya sesuai dengan Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan
Panduan Penyusunan KTSP.
7. Dalam penyusunan silabus, guru dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja
Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), atau Perguruan Tinggi.
8. Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB,
SMALB, SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan. Khusus untuk penyusunan KTSP
Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk
SDLB, SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen
Agama.

21
9. Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan MA
dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.

Apa yang dimaksud kurikulum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang


Sistem Pendidikan Nasional? Apa yang dimaksud KTSP ?

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu
ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi
dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program
pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Sedang kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan
dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.

Bagaimana Konsep Dasar KTSP?

Konsep dasar KTSP meliputi 3 (tiga) aspek yang saling terkait, yaitu (a) kegiatan
pembelajaran, (b) penilaian, dan (c) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.

Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Berpusat pada peserta didik


2. Mengembangkan kreativitas
3. Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang
4. Kontekstual
5. Menyediakan pengalaman belajar yang beragam
6. Belajar melalui berbuat

Penilaian dalam KTSP mempunyai karakteristik

1. Dilakukan oleh guru untuk mengetahui tingkat penguasaan kompetensi yang


ditetapkan, bersifat internal, bagian dari pembelajaran, dan sebagai bahan
untuk peningkatan mutu hasil belajar;
2. Berorientasi pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar,
dilakukan melalui berbagai cara, yaitu (a) portfolios (kumpulan kerja siswa),
(b) products (hasil karya), (c) projects (penugasan), (d) performances (unjuk
kerja), dan (e) paper & pen test (tes tulis).

Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah

Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah mempunyai prinsip-prinsip:

1. Mengacu pada Visi dan Misi Sekolah


2. Pengembangan perangkat kurikulum (a.l. silabus)
3. Pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lainnya untuk
meningkatkan mutu hasil belajar

22
4. Pemantauan dan

Apa Landasan KTSP ?

1. UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


2. PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4. Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
5. Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 dan Nomor 6 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23/2006
6. Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan

Bagaimana Prinsip Pengembangan KTSP?

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu kepada


standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, disebutkan sistem pendidikan nasional memiliki 8 (delapan) standar,
yang meliputi (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4)
standar tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar
pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Dua
dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan
pendidikan dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum untuk satuan
pendidikannya.

Foto:
Para guru sedang mengikuti diklat tentang penyusunan KTSP
(Australia Indonesia Basic Education Program - AIBEP)

Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan


peserta didik dan lingkungannya.

23
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki
posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat
pada peserta didik.

2. Beragam dan Terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik


peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai
dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat,
status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen
muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara
terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna
dan tepat antarsubstansi.

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan,


teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu,
semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik
untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku


kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan,
dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan
pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik,
dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

5. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang


kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara
berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.

6. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan


pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal,

24
dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang
selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

7. Seimbang antara kepentingan Nasional dan kepentingan Daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan


kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling
mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Acuan Operasional Penyusunan KTSP

1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia


2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
5. Tuntutan dunia kerja
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7. Agama
8. Dinamika perkembangan global
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
11. Kesetaraan gender
12. Karakteristik satuan pendidikan

Dokumen I KTSP

Dokumen I KTSP terdiri atas 4 bab, meliputi:

1. Bab I Pendahuluan, meliputi subbab (A) Latar Belakang, (B) Tujuan, dan (C)
Prinsip Pengembangan KTSP.
2. Bab II Tujuan Pendidikan, meliputi subbab (A) Visi, (B) Misi, (C) Tujuan
Sekolah.
3. Bab III Struktur dan Muatan Kurikulum, meliputi (A) mata pelajaran, (B)
muatan lokal, (C) kegiatan pengembangan diri, (D) pengaturan beban belajar,
(E) ketuntasan belajar, (F) kenaikan kelas dan kelulusan, (G) pendidikan
kecakapan hidup, dan (H) pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.

Mata pelajaran muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan


mata pelajaran serta aturan pengelolaan jam pelajaran mengacu pada Bab II
Standar Isi. Muatan Lokal merupakan mata pelajaran yang dikembangkan
untuk mengakomodasi kepentingan daerah atau satuan pendidikan.
Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dicapai
dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas Pendidikan yang terkait.

25
Kegiatan pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan
minat peserta didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri adalah
mengembangkan potensi peserta didik, terutama pada perubahan perilaku
sesuai dengan target yang dicanangkan oleh satuan pendidikan.

Pengaturan beban belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar
dalam bentuk tatap muka dirancang bersama oleh satuan pendidikan.
Rancangan beban belajar dalam bentuk penugasan terstruktur dan kegiatan
mandiri tidak terstruktur dirancang oleh guru mata pelajaran.

Ketuntasan belajar adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan
pendidikan. Kriteria Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis
atas kompleksitas, daya dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar,
standar kompetensi, dan mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar
peserta didik dapat mencapai, bahkan melebihi KKM, satuan pendidikan
merancang program remedial dan pengayaan.

Kriteria kenaikan kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan.


Acuan minimal kriteria kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang
Laporan Hasil Belajar dan POS UN tahun sebelumnya.

Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan


agar seseorang mampu dan berani menghadapi problema kehidupan dan
memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup yang perlu
dikembangkan adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik. Kecakapan
vokasional terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.

Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan dengan


memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing global.
Keunggulan lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan
diri, maupun terintegrasi dalam mata pelajaran.

4. Bab IV Kalender pendidikan berisi rancangan kalender sekolah yang mengacu


pada kalender dinas pendidikan terkait dan pedoman penyusunan kalender
yang terdapat dalam bab IV standar isi.

Pertemuan XI: KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II

KTSP terdiri atas dua dokumen, yaitu (1) dokumen I yang berisi tentang (a)
landasan, (b) program, dan (c) pengembangan kurikulum. Dokumen I (pertama)
disusun oleh tim handal yang dibentuk oleh sekolah dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut adalah (1) kepala sekolah,
(2) guru, (3) tenaga administrasi, (4) pengawas sekolah, dan (5) komite sekolah dan
orangtua siswa, serta (6) dinas pendidikan.

Dokumen II (kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen


pertama, terdiri atas (a) silabus dan (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dokumen Dokumen II disusun oleh guru kelas dan guru mata pelajaran, atau
kelompok kerja guru kelas atau guru mata pelajaran dalam kegiatan organisasi

26
profesi seperti Kelompok Kerja Guru (untuk guru sekolah dasar), Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI).

Pertemuan XII: Silabus

Apakah itu silabus?

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata


pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar,
materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar

Silabus menjawab tiga pertanyaan dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu apa
kompetensi yang harus dikuasai siswa, bagaimana cara mencapainya, dan
bagaimana cara mengetahui pencapaiannya.

Siapa yang menyusun silabus?

Silabus disusun oleh guru yang mengajarkan mata pelajaran. Proses penyusunan
silabus dapat saja disusun bersama oleh satu tim guru mata pelajaran, dalam satu
kegiatan guru, misalnya dalam kegiatan MGMP.

Apa landasan penyusunan silabus?

Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat (2), Sekolah dan komite
sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan
standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan
departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI.
MTs, MA, dan MAK.

Pertemuan XIII: Praktik Penyusunan Silabus

Contoh format silabus dapat dijelaskan sebagai berikut:

27
FORMAT SILABUS

Nama Sekolah :
Mata Pelajaran :
Standar Kompetensi :

Penilaian Alokasi Sumber


Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator
Teknik Instrumen Contoh Waktu Belajar
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Indentitas:

Nama Sekolah: diisi dengan nama sekolah, seperti SMP Negeri 1 Malang
Mata Pelajaran: diisi dengan mata pelajaran yang diajarkan, sepert Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dsb.
Standar Kompetensi: diisi dengan standar kompetensi yang diambil dari standar isi yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 22 sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Kolom-kolom format silabus:

1. Kompetensi Dasar: diisi dengan kompetensi dasar yang dikutip dari standar isi;
2. Materi Pembelajaran: diisi dengan materi pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi dasar tersebut;
3. Kegiatan Pembelajaran: diisi dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan agar proses pembelajaran tersebut dapat mencapai
kompetensi dasar yang diharapkan;
4. Indikator: diisi dengan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah kompetensi dasar telah dapat dicapai atau belum;
5. Teknik Penilaian: diisi dengan teknik penilaian yang digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar berdasarkan indikator,
misalnya tes tertulis, tes lisan, dsb;
6. Instrumen Penilaian: diisi dengan bentuk instrumen yang digunakan;
7. Alokasi Waktu: diisi dengan berapa kali pertemuan X menit yang diperlukan;
8. Sumber Belajar: diisi sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran, seperti buku apa, media belajar, sumber belajar dari
alam, dsb.

26
Contoh Silabus
SILABUS

Nama Sekolah : SMP Negeri 1 .......


Mata Pelajaran : Bahasa Inggris
Standar Kompetensi : Menggunakan makna dalam percakapan transksional dan interpersonal lisan pendek sederhanauntuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar.

Kompetensi Materi Pembelajaran Kegiatan Indikator Penilaian Alokasi Sumber


Pembelajaran Teknik Instrumen Contoh Waktu Belajar
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mengungkan makna Percakapan singkat 1. Review kosakata dan 1. Bertanya dan Tes lisan Bermain Create a 2 X 40’ 1. Buku
dalam percakapakan memuat ungkapan- ungkapan terkait menjawab peran dialogue teks yang
transaksional (to get ungkapan sebagai materi dan tema tentang based on relevan
things done) dan contoh: 2. Tanya jawab meminta, the role 2. Gambar-
intepersonal menggunakan memberi, cards and gamar
(bersosialisasi) A: Let me help you ungkapan-ungkapan menolak rasa perform it yang
sederhana dengan B: Thank you so much tersebut 2. Bertanya dan in front of terkait
menggunakan ragam 3. Bermain peran menjawab the class tema
bahasa lisan secara A: Can I have a bit melakukan tentang 3. Realita
akurat, lancar, dan B: Sure. Here you are percakapan yang meminta, benda
bertetima untuk disediakan guru memberi, sekitar
berinteraksi dengan A: Did you break the 4. Bermain peran menolak
lingkungan sekitar glass? melakukan barang
yang melibatkan tindak B: Yes I did/ No, It percakapan 3. Bertanya dan
tutur meminta, wasn’t me berdasarlan situasi menjawab
memberi, menolak atau gambar tentang
barang, mengakui, A: What do you think of 5. Menggunakan mengakui,
mengingatkan fakta, this? ungkapan yang telah mengingkari
menerima, dan B: Not bed. dipelajari dalam real fakta
memberi pendapat. life situation. 4. Bertanya dan
memberi
pendapat

27
Pertemuan XIV: RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

Setiap kali guru akan mengajar, ia harus menyusun sebuah rencana yang kini
dikenal dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana ini akan
menggambarkan prosedur dan langkah-langkah pengorganisasian pembelajaran
untuk mencapai satu kompetensi dasar berdasarkan standar isi dan telah ditetapkan
dalam silabus.

Mengapa harus membuat rencana? Apakah rencana itu harus dibuat oleh guru yang
belum berpengalaman saja? Apakah guru yang sudah senior atau sudah
berpengalaman masih perlu membuat rencana mengajar? Bukankah guru senior
atau yang sudah berpengalaman telah menguasai semua materi pelajaran yang akan
diajarkan kepada siswanya? Apakah RPP yang telah dibuat masih dapat digunakan
dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan? Apakah secara administratif
penyusunan RPP tidak justru memberatkan tugas-tugas guru di lapangan, yang
kemudian justru akan mengganggu proses pembelajarannya sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul dalam acara diskusi dengan para


guru pada saat membahas tentang rencana mengajar. Pertanyaan tersebut dapat
dijawab sebagai berikut. Pertama, setiap guru akan melaksanakan pembelajaran, ia
harus menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), baik untuk guru senior
atau terlebih-lebih untuk guru yunior. Kedua, penyusunan RPP sama sekali tidak
untuk memberatkan pekerjaan guru, justru untuk memudahkan guru dalam
pelaksanaan tugas profesionalnya. Penyusunan RPP merupakan salah satu unsur
dari standar kompetensi professional bagi para guru. Ketiga, sudah barang tentu,
RPP yang lama dapat saja digunakan lagi dalam proses pembelajaran pada tahun
berikutnya, sepanjang RPP tersebut masih relevan dengan kompetensi siswa yang
akan dicapai. Oleh karena itu, RPP yang pernah dibuat harus dikaji ulang untuk
terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan baru dalam dunia
pendidikan.

Ruang lingkup RPP mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu)
atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih. Perencanaan
merupakan langkah yang sangat penting sebelum pelaksanaan kegiatan. Kegiatan
belajar mengajar (KBM) membutuhkan perencanaan yang matang agar proses
belajar mengajar dapat berjalan secara efektif. Perencanaan tersebut dituangkan ke
dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain yang
digunakan, seperti rencana mengajar atau lesson plan, desain pembelajaran,
skenario pembelajaran, yang memuat seluruh kompetensi dasar yang dijabarkan
dari standar kompetensi, materi pelajaran, dan indikator yang akan dicapai, langkah
pembelajaran, waktu, media dan sumber belajar serta penilaian untuk setiap
kompetensi dasar.

Rencana pelaksanaan pembelajaran harus dibuat agar kegiatan pembelajaran


berjalan sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran, tanpa rencana pelaksanaan
pembelajaran kegiatan pembelajaran di kelas biasanya tidak terarah. Oleh karena
itu peserta harus mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran berdasarkan
silabus yang disusunnya. Rencana pelaksanaan pembelajaran harus mencerminkan
pendekatan PAKEM dalam pembelajaran.

28
Dengan demikian, jika silabus merupakan program pembelajaran dalam jangka
satu semester atau satu tahun pelajaran, maka RPP merupakan pencabaran dari
silabus sebagai program pembelajaran untuk hari ke hari pembelajaran di sekolah,
dalam satu atau beberapa kali pertemuan pembelajaran.

Pertemuan XV: Praktik Penyusunan RPP

Pada umumnya format RPP adalah sebagai berikut:

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Mata Pelajaran :…
Kelas/Semester :…
Pertemuan Ke- :…
Alokasi Waktu :…
Standar Kompetensi :…
Kompetensi Dasar :…
Indikator
:…

I. Tujuan Pembelajaran :…
II. Materi Pembelajaran :…
III. Metode Pembelajaran : ....
IV Langkah-langkah :

Pertemuan pertama
1. Kegiatan Awal
2. Kegiatan Inti
3. Kegiatan Akhir

Pertemuan kedua, dst.

Untuk praktik penyusunan RPP, cobalah mengikuti cara pengisian format RPP
sebagai berikut:
1. Untuk mengisi identitas RPP, mulai dari mata pelajaran sampai dengan
kompetensi dasar, isilah dengan mengacu pada standar isi mata pelajaran yang
akan diajarkan. Permendiknas Nomor 22, 23, dan 24 harus dijadikan acuannya.
2. Untuk indikator, tujuan pembelajaran, dan seterusnya tentu saja harus
dikembangkan dari standar isi tersebut. Masing-masing gurulah yang harus
mengembangkannya.
a. Indikator adalah patokan dasar atau tanda-tanda utama yang akan dijaikan
bukti bahwa peserta didik telah mencapai kompetensi dasar yang telah
ditetapkan.
b. Tujuan pembelajaran adalah tujuan instruksional yang akan dicapai
melalui kegiatan belajar dalam satu pertemuan tertentu.

29
c. Metode mengajar diharapkan metode yang menggunakan pendekatan
PAKEM untuk Sekolah Dasar, dan pendekatan Contextual Teaching dan
Learning (CTL) untuk SMP dan SMA.
d. Langkah pembelajaran meiputi: (1) kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan
(3) kegiatan penutup.

Pertemuan XVI: UAS (Ujian Akhir Semester)

Jika mahasiswa memenuhi tingkat kehadiran minimal 80%, mahasiswa dapat


mengikuti UAS dengan materi tes seperti dalam modul ini. Selain mengikuti UAS,
mahasiswa harus melaksanakan tugas mandiri. Nilai akhir semester merupakan
gabungan nilai UAS dengan nilai tugas mandiri tersebut.

Adakan wawancara dengan minimal 3 (tiga) orang guru, yang masing-masing guru
SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK, untuk menanyakan tentang KTSP pada
umumnya dan silabus serta RPP pada khususnya, dengan langkah-langkah kegiatan
sebagai berikut:
1. Buatlah lembar pertanyaan untuk panduan wawancara dengan guru-guru
tersebut;
2. Lakukan wawancara dengan menggunakan panduan wawancara tersebut.
3. Catat hasil wawancara dengan mereka;
4. Buatlah laporan wawancara tersebut, minimal dalam 10 (sepuluh) halaman
kertas ukuran A4, termasuk lampirannya, ditulis dalam ketikan komputer, jilid
dengan rapi
5. Serahkan kepada dosen Anda sehari sebelum UAS.

0.1 Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan

Tes Formatif Pertemuan II: Pengertian Etimologis Kurikulum

Tes esai:

1. Jelaskan pengertian kurikulum secara etimologis!!


2. Jelaskan formula kurikulum berikut:

No. Formula Kurikulum Penjelasan


1 K = -------------

2 K = Σ MP

30
3 K = Σ MP + KK

4 K = Σ MP + K + SS +
TP

Tes Formatif Pertemuan III: Filosofi dan Definisi Kurikulum

1. Jelaskan minimal dua definisi kurikulum yang Anda ketahui!!


2. Sebutkan dua aliran dalam kurikulum. Jelaskan perbedaan masing-masing
secara singkat.
3. Aliran manakah definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?
4. Definisi yang manakah yang Anda paling lengkap. Jelaskan apa alasan Anda.

Tes Formatif Pertemuan IV: Komponen Kurikulum

1. Sebutkan dan jelaskan komponen kurikulum menurut UU Nomor 20 Tahun


2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Sebutkan komponen utama kurikulum menurut Subandiyah;
3. Sebutkan komponen penunjangnya;
4. Menurut Anda komponen kurikulum yang sangat penting?

Tes Formatif Pertemuan V: Hubungan Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan


Pendidikan

1. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara kurikulum dengan
pengajaran dan pembelajaran.
2. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara pengajaran dan
pembelajaran dengan tujuan pendidikan.
3. Jelaskan dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara kurikulum dengan
tujuan pembelajaran.

Tes Formatif Pertemuan VI: Macam-macam Kurikulum

1. Jelaskan perbedaan antara kurikulum ideal dan kurikulum aktual!


2. Jelaskan apa yang dimaksud kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)!
Berikan contohnya.
3. Jelaskan apa yang dimaksud separated curriculum, corelated curriculum, dan
integrated curriculum. Berikan contohnya.
4. Jelaskan pengertian national curriculum, state curriculum, dan school
curriculum. Berikan contohnya.

31
Tes Formatif Pertemuan VII: Proses Pengembangan Kurikulum

1. Apakah yang dimaksud pengembangan kurikulum (curriculum development)?


2. Instansi manakah di Departemen Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab
dalam pengembangan kurikulum?
3. Lembaga apakah BSNP itu? Apa kaitannya dengan proses pengembangan
kurikulum?
4. Menurut G Amstrong, siapakah yang terlibat dalam pengembangan kurikulum?
5. Jelaskan bagan proses pengembangan kurikulum menurut Said Hamid Hasan
sebagai berikut:

Tes Formatif Pertemuan VIII (UTS)

Tes tertulis dalam bentuk esai.

1. Kurikulum 1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) (B/S)


2. Kurikulum adalah apa yang diajarkan, guru adalah siapa yang mengajarkan,
dan siswa adalah siapa yang diberikan pelajaran (B/S).
3. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (B/S)
4. Kurikulum dapat diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang akan
dipelajari oleh peserta didik (B/S)
5. Kurikulum faktual amat ditentukan oleh agen pembelajaran atau guru (B/S)
6. Kurikulum sebelum tahun 1968 masih menganut kurikulum terpisah-pisah
(separated curriculum) (B/S)
7. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak
diketahui oleh guru (B/S)

32
8. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar (B/S)
9. Rencana Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama di Indonesia (B/S)
10. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum
sekolah (B/S)
11. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum
ideal (ideal curriculum) (B/S)
12. Rencana Pelajaran merupakan istilah lama untuk kurikulum (B/S)
13. Sebelum tahun 1968 dunia pendidikan di Indonesia telah mengenal istilah
kurikulum (B/S)
14. Secara etimologis, kurikulum berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari
(B/S)
15. Semua kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan oleh sekolah juga termasuk
dalam pengertian kurikulum (B/S)
16. KTSP termasuk dalam kategori kurikulum national curriculum (B/S)
17. Rumusan tujuan terdapat dalam kurikulum (B/S)
18. Jika kurikulum termasuk dalam kategori ideal curriculum, maka proses
pembelajaran dan pengajaran termasuk dalam kategori actual curriculum
(B/S)
19. Proses pembelajaran dan pengajaran dilaksanakan tidak lain untuk mencapai
tujuan pendidikan (B/S)
20. Masyarakat awam tidak dapat dilibatkan dalam penyusunan kurikulum (B/S)

Tes Formatif Pertemuan IX: Perkembangan Kurikulum di Indonesia

1. Apakah kurikulum pertama yang dimiliki Indonesia? Apakah ketika itu telah
menggunakan istilah kurikulum?
2. Apa pomeo dalam masyarakat yang menyatakan bahwa setiap ganti menteri
ganti kurikulum di Indonesia? Benarkah hal tersebut? Jalaskan argumentasi
Anda.
3. Kapan istilah kurikulum pertama kali digunakan di Indonesia?
4. Sebelum sekolah-sekolah menyusun sendiri kurikulumnya dalam KTSP,
sebelumnya sekolah-sekolah menggunakan kurikulum apa?
5. Apa itu BSNP? Jelaskan.

Tes Formatif Pertemuan X: KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)


Dokumen I

1. UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur tentang apa?


2. Sedang PP Nomor 19 Tahun 2005 mengatur tentang apa pula?
3. Adapun Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 mengatur tentang apa?
4. Di tingkat sekolah siapakah yang paling bertanggung jawab dalam
penyusunan KTSP?
5. Apakah yang dimaksud KTSP? Ingat bukan kepanjangannya lho.
6. Siapakah yang mengkoordinasikan dan melakukan supervisi dalam
penyusunan KTSP?
7. Sebutkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam
PP Nomor 19 Tahun 2005.

33
8. Apa yang dimaksud dengan student-centered approach? Apa lawan
pendekatan tersebut?
9. KTSP disusun dengan memperhatikan keragaman potensi dan karakteristik
daerah dan lingkungan. Apa maksudnya?
10. Sebutkan dua dokumen KTSP. Jelaskan dokumen pertama.

Tes Formatif Pertemuan XI: KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)


Dokumen II

1. Sebutkan dua dokumen yang harus disiapkan oleh sekolah untuk dokumen II
KTSP?
2. Siapakah yang paling memiliki peran untuk menyusun dua dokumen tersebut?
3. Apakah sekolah dapat menjalin kerja sama dengan organisasi profesi pendidik
untuk menyusun dua dokumen tersebut?

Tes Formatif Pertemuan XII: Praktif Penyusunan Silabus

1. Apakah silabus itu?


2. Siapa yang harus menyusun silabus?
3. Apa landasan penyusunan silabus?
4. Sebutkan kolom-kolom yang harus ada dalam silabus!

Tes Formatif Pertemuan XIII: Praktik Penyusunan RPP

1. Apakah yang dimaksud RPP?


2. Apakah RPP sama dengan lesson plan, atau Rencana Pengajaran, atau Satuan
Pelajaran?
3. Bagaimana format RPP, dan jelaskan secara singkat!
4. Apakah itu PAKEM?

Tes UAS (Pertemuan XIV)

1. Dokumen I KTSP berisi tentang silabus dan Rencana Pelaksanaaan


Pembelajaran (B/S)
2. Dokumen II KTSP berisi tentang landasan, program, dan pengembangan
kurikulum (B/S)
3. Guru senior tidak perlu membuat RPP (B/S)
4. KTSP dapat disebut sebagai kurikulum nasional (B/S)
5. KTSP disusun oleh Pusat Kurikulum (B/S)
6. KTSP terdiri atas dokumen I dan dokumen II (B/S)
7. Kurikulum 1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) (B/S)
8. Kurikulum adalah apa yang diajarkan, guru adalah siapa yang mengajarkan,
dan siswa adalah siapa yang diberikan pelajaran (B/S).
9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu (B/S)
10. Kurikulum dapat diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang akan
dipelajari oleh peserta didik (B/S)

34
11. Kurikulum faktual amat ditentukan oleh agen pembelajaran atau guru (B/S)
12. Kurikulum sebelum tahun 1968 masih menganut kurikulum terpisah-pisah
(separated curriculum) (B/S)
13. Kurikulum tersembuny (hidden curriculum) adalah kurikulum yang tidak
diketahui oleh guru (B/S)
14. Pada masa lalu RPP dikenal dengan Rencana Pembelajaran (RP) atau Satuan
Pembelajaran (B/S)
15. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar (B/S)
16. Proses penyusunan KTSP melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan
(B/S)
17. Rencana Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama di Indonesia (B/S)
18. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum
sekolah (B/S)
19. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum
ideal (ideal curriculum) (B/S)
20. Rencana Pelajaran merupakan istilah lama untuk kurikulum (B/S)
21. RPP sebenarnya sama dengan rencana mengajar (B/S)
22. Sebelum tahun 1968 dunia pendidikan di Indonesia telah mengenal istilah
kurikulum (B/S)
23. Secara etimologis, kurikulum berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari
(B/S)
24. Semua kegiatan yang dirancang oleh sekolah juga termasuk dalam pengertian
kurikulum (B/S)
25. Setiap guru harus membuat silabus dan RPP (B/S)

0.2 Umpan Balik

1. Tugas mandiri dan tes yang akan dinilai adalah: (A) tugas mandiri, (B) tes
formatif, (C) UTS (ujian tengah semester), dan (D) UAS (ujian akhir
semester).
2. Bobot A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 4
3. Nilai Akhir Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3) + (DX4) : 4.
4. Dengan skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan sebagai berikut:
Baik Sekali = 80 – 100
Baik = 70 – 79
Sedang = 60 – 69
Kurang = < 60

1 Referensi

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum Untuk Abad Ke-21.
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
McNeil, John. 1985. Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little,
Brown and Company.
Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

35
Rochman Natawidjaja (Ed). 1979. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum,
Alat Peraga, dan Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Depatemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke Implentasi.
Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

2 Lampiran
2.1 Lampiran 1:

KURIKULUM DAN TUJUAN PENDIDIKAN


Prof.Dr.H.Said Hamid Hasan, MA

PENDAHULUAN

Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum,


posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum.
Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena
pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia
pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan
kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti
itu.

Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama,
seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak
pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum
kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu
berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang
dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi
tentang arti kurikulum.

Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap
apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis
kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar
dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum.
Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam
pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan
bangsa menjadi terbatas pula.

Pembahasan mengenai posisi kurikulum adalah penting karena posisi itu akan
memberikan pengaruh terhadap apa yang harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses
pendidikan. Tidak seperti halnya dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak
banyak berbeda dalam posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam
menempatkan kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah
sesuatu yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur, dan
dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini adalah

36
apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar isi pendidikan.
Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi sentral tersebut dimana
ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh pengertian kurikulum yang dianut.

Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari


pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk
berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap
yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan
ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses
implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam
proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan
kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.

PENGERTIAN KURIKULUM

Dalam banyak literature kurikulum diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis
mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu
pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang
dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis itu
berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta didik yang
mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil belajar yang harus
dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan yang harus dipelajari peserta
didik, kualitas proses pendidikan yang harus dialami peserta didik. Kurikulum dalam
bentuk fisik ini seringkali menjadi fokus utama dalam setiap proses pengembangan
kurikulum karena ia menggambarkan ide atau pemikiran para pengambil keputusan
yangdigunakan sebagai dasar bagi pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.

Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai
dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu
pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau
ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik
sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12)
mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely
complex idea or set of ideas".

Selain kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan


berbagai definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum
yang ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:

• filosofi kurikulum
• ruang lingkup komponen kurikulum
• polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
• posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum

Pengaruh pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian


kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter", "content" atau bahkan "transfer of
culture". Khusus yang mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah
dalam pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan

37
perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan yang
sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh Tanner dan
Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat bahwa adalah tugas
kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah yang digunakan Tanner
dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan kurikulum yang merupakan proses
bagi "cultivation of the rational powers: academic excellence" sedangkan essentialism
memandang kurikulum sebagai rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan
cultivation of intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan
perenialism "the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through
permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent studies adalah
konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas Great Books, reading,
rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi essentialism beranggapan bahwa
kurikulum haruslah mengembangkan "modern needs through the fundamental academic
disciplines of English, mathematics, science, history, and modern languages" (Tanner dan
Tanner, 1980:109)

Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam


definisi. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives"
(McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru
untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan
Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang
berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum
guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah
"seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).

Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan


antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas
(instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan
ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya.
Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana
yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di
sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana
tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan.
Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara
kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun
pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan
tujuan yang berbeda.

Istilah dalam kurikulum seperti "planned activities", "written document", "curriculum as


intended", "curriculum as observed", "hidden curriculum","curriculum as reality", "school
directed experiences", "learner actual experiences" menggambarkan adanya perbedaan
antara kurikulum dengan apa yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh
dan Unruh (1984:96) mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is
defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with
purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.)
mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and

38
learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching
act, implementation, and presentation. Olivia (1997:8) termasuk orang yang setuju dengan
pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a
plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of
the school. Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has much to
recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah kurikulum diwakili
oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is an interrelated set of plans and
experiences which a student completes under the guidance of the school. Pandangan ini
sejalan dengan Schubert (1986:6) dengan mengatakan the interpretation that teachers give
to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students
actually experience.

Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan.


Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan
apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana
suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada
kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan
disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan
tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai "the scientific curriculum" dan
menyimpulkan sebagai "clouded and myopic".

Selanjutnya Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada


sekarang dengan mengatakan:
Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange
concept - for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering
and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum
thought have adopted the closed version, one where - trough focusing - knowledge is
transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all
about. Transmission frames our teaching-learning process.

Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin
mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di
masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang
mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal
yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.

Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam
kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu
sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ
bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang
dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah
logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah
dasar pengembangan pendidikan logika.

Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs (1999) yang membahas mengenai kurikulum di
Afrika. Hal ini amat difahami jika kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang
menempatkan ilmu atau disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun
essentialism). Jacobs (1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua
pandangan ini. Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh

39
para ahli lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993),
Olivia (1997)

Banyak kecaman terhadap pengertian kurikulum yang dikembangkan dari pandangan


filosofis ini walau pun dalam kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan
yang menganut pandangan ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan
ini. Konten kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari
disiplin ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan disiplin
ilmu.

Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism
dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau
pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian
pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran
progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena
kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga
membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada
pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting,
mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti
dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help
students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a
vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed
for conceiving new goals and affecting social change.

Secara mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau
persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah dihasilkan.
Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan akan terganggu.

Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan


kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan
masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk
kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini
akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad
keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada
tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif
membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan
dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang
secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi
menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah
yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan
pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada
diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk
kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.

POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN

Kurikulum memiliki posisi sentral dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam
pengertian kurikulum yang dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum

40
seolah-olah hanya dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki
rencana tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis
dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang
diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum harus
terekam secara tertulis.

Posisi sentral ini menunjukkan bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan
yang utama adalah proses interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan
lingkungan. Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah
jiwa dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun
tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari interaksi tersebut.

Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan


terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang
terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga
pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal
accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan
mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga
pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin
mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga
pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan
mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.

Dalam pengertian "intrinsic" kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan


Artinya, semua gerak kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada
apa yang direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang
dirancang berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta
didik menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses belajar
yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah dikembangkan
berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi untuk menentukan
apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta didik dilakukan berdasarkan
rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu kurikulum adalah dasar dan
sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi
jika tidak ada kurikulum sama sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga
menjadi tanpa arah dan tidak efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi
kualitas pribadi yang maksimal.

Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri
pada persoalan pendidikan dalam pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua
pandangan ini hanya akan membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya.
Kurikulum dan pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul,
hidup, dan berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga
menara gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan
dengan masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus
memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi kepeduliaan
dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan kualitas peserta
didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan masyarakat ataukah

41
kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat baru yang diinginkan
bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.

Secara singkat, posisi kurikulum dapat disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah
kurikulum adalah "construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di
masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan.
Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme dan esensialisme
sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah kurikulum berposisi
sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang berkenaan dengan
pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian kurikulum yang didasarkan pada
pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga adalah kurikulum untuk membangun
kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana
pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan dasar untuk mengembangkan
kehidupan masa depan.

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan


pendidikan nasional, tujuan pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga
pendidikan. Tujuan pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia
yang diharapkan tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia
adalah 9 tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9
tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar tidak
mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut, pendidikan
menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh karena itu kualitas yang
dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki seluruh warga bangsa tetapi kualitas
yang dimiliki hanya oleh sebagian dari warga bangsa.

Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah


(SD/MI) dan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau
program Paket A dan Paket B. Setiap lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang
berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam
pengertian ruang lingkup kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena
itu maka kurikulum untuk SD/MI berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam
pengertian dimensi kualitas mau pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus
dikembangkan pada diri peserta didik.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat
(3) menyatakan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;


b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

42
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang
menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan
agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya,
kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab
permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan
dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).

Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk
rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di
masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi
dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi,
pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif,
toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki
kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan
seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat
diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada
gilirannya menjadi tujuan kurikulum.

Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia masih membatasi dirinya pada


posisi sentral dalam kehidupan akademik yang dipersepsikan dalam pemikiran
perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis dari posisi ini adalah kurikulum
membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan dalam kepentingan pengembangan
ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang memberikan sks lebih besar pada mata
pelajaran matematika, sains (untuk lebih mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan
oleh pandangan esensialis), dan teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan
Ilmu Sosial, PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang
yang dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah "construct" para pengembang
kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap permasalahan yang ada.

Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab
keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab
sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan
matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes
seperti UAN. Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam
ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004.
Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum
berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum
dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun
kehidupan global.

Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas barulah pada posisi kurikulum dalam
mengembangkan kehidupan social yang lebih baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum
merupakan "construct" yang dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan
sesuai dengan bentuk dan karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini
bersifat konstruktif dan antisipatif untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang
diinginkan. Dalam posisi ketiga ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung
pendidikan dalam membentuk generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada
peserta didik mengembangkan potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi
kehidupan masa mendatang.

43
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa yang harus dimiliki semua manusia Indonesia
yang telah menyelesaikan wajib belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus
dimiliki seluruh anggota bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun
2003 dijadikan dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa
Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa Indonesia
yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif, hemat, memiliki rasa
kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca, gemar berolahraga, cinta seni,
inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras,
menghargai masa lalu, menguasai pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka
kurikulum harus mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas
tersebut sebagai kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas
kurikulum SD/MI dan SMP/MTs.

Jika masa depan ditandai oleh berbagai kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik
yang menikmati jenjang pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk
memberikan peluang kepada peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika
penguasaan ilmu, teknologi, dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk
persiapan pendidikan tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu.
Barangkali untuk itu sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan
yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan
yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada kajian
keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model penjurusan
untuk kurikulum SMA.

Posisi kurikulum di jenjang pendidikan tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Jika kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih
memberikan perhatian yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta
didik maka kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan
dunia kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi
kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya dengan
disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa kurikulum
pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan kualitas
kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu dan dunia kerja.
Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai prestasi, disiplin, taat aturan,
menghormati hak orang lain, dan sebagainya terabaikan dalam kurikulum pendidikan
tinggi walau pun harus diakui bahwa Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan
perhatian kepada aspek ini.

PROSES PENGEMBANGAN KURIKULUM

Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a


complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for
instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs
that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi,
ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu
Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu
proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product of its time. . .
curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions,

44
psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its
moment in history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum
focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut
kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.

Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam
banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak
mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan
pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam
belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase
pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer
dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa
depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk
menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai
untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan
tujuan yang terbatas.

Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:

Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu
lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi
kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut
terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa
kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general
establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us
carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the
curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions

45
about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of
largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as
individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by
a recognition of our swiftly changing, current realities.

Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan
kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan
kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam
masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar
dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan
harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan
kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan
kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.

DAFTAR BACAAN

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching:


research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher,
25, 6:5-17.
Doll, W.E. (1993). A Post-Modern Perspective on Curriculum. New York and London:
Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge &
Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education,
19:51-98.
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO
Seminar on Decentralization. Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper
presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic
Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020.
Unpublished.

46
Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education: Global Issues and
Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann Higher and Further
Education.
Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own
Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning, Management and Ideology: Key Concepts or Undertanding
Curriculum. London: The Falmer Press
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown
and Company.
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural
schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest.
ED 348196.
Olivia, P.F. (1997).. 4th Developing the Curriculum edition. New York: Longman
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty,
Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and Possibility. New York:
Macmillan
Tanner, D. dan Tanner,L. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New
York: Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and
Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation

2.2 Lampiran 2:

PROGRAM INOVATIF SEKOLAH

Oleh Suparlan *)

Mereka yang berfikiran hebat membicarakan ide-ide.


Mereka yang berfikiran sedang membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang
berfikiran sempit membicarakan orang lain
(Eleanor Roosevelt, 1884 – 1962, mantan first lady AS)

Inovasi membedakan antara pemimpin dan pengekor


(Steve Jobs, pendiri Apple Computer)

Innovation is change that creates a new dimension of performance


(Peter Drucker: Hesselbein, 2003)

Innovation is the creation of the new or the re-arranging of the old in a new way
(Michael Vance)

Kita sekarang akan mencoba menjadi orang yang berfikiran hebat. Siapa takut? Kita
sedang membicarakan ide-ide atau gagasan-gagasan, bukan membicarakan fakta-fakta
saja, apalagi membicarakan orang lain. Gagasan apa saja itu? Tentang program inovatif
sekolah.

47
Benar sekali. Tapi, gagasan-gagasan yang akan ditulis ini mungkin saja memang bukan
benar-benar baru bagi sekolah tertentu. Namun sekolah yang lain mungkin dapat menjadi
sesuatu yang sangat berharga. Memang, gagasan baru juga harus semua komponennya
harus baru. Gagasan baru itu bisa jadi dari gagasan yang sudah lama, yang kemudian
diperbaiki, disempurnakan dengan memperbaiki satu atau beberapa elemennya, sehingga
menjadi lebih baik dan bermanfaat. Itu pun sudah dapat disebut sebagai apa yang dikenal
dengan inovasi. Innovation is the creation of the new or the re-arranging of the old in a
new way (Michael Vance)

Tulisan ini akan mencoba membahas tentang program sekolah yang dapat dinilai inovatif.
Peter Drucker menjelaskan kepada kita bahwa inovasi sesungguhnya adalah perubahan
yang menciptakan satu dimensi baru kinerja organisasi. Dalam hal ini, kinerja lembaga
pendidikan sekolah.

Pemberdayaan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata


Pelajaran (MGMP)

Sungguh, kita harus malu dengan peringkat ke empat di Pesta Olahraga Asia Tenggara.
Kita telah jauh ketinggalan dari negara Thailand. Bahkan juga ketinggalan dari Vietnam.
Kondisi ini juga tampak dari Human Development Index (HDI) Indonesia yang berada di
bawah Vietnam. Padalah dahulu, dalam acara olahraga yang bergengsi ini kita selalu
unggul. Boleh dikatakan bahwa negara yang lain berebut pada urutan kedua. Boleh jadi
semua itu terjadi memang karena dampak negatif dari krisis multidimensional yang masih
belum sepenuhnya usai. Namun, banyak orang yang meneropongnya dari faktor
kemunduran dunia pendidikan kita. Dengan demikian, maka sumber masalahnya adalah
lembaga pendidikan sekolah. Program peningkatan kompetensi SDM secara terencana dan
berkelanjutan memang harus dimulai di lembaga pendidikan sekolah. Setelah lembaga
pendidikan keluarga, maka lembaga pendidikan sekolah harus menjadi tempat yang
strategis untuk dapat meningkatkan kompetensi SDM yang handal. Untuk dapat
membangun SDM yang handal, kita tidak bisa hanya melakukan yang biasa-biasa saja.
Juga tidak hanya dengan program-program yang biasa. Kita harus melakukan hal yang
luar biasa. Dengan kata lain, kita harus melakukan hal-hal yang inovatif. Lembaga
pendidikan sekolah harus merancang berbagai program yang inovatif. Pemberdayaan
KKG dan MGMP harus dapat digunakan sebagai wahana yang efektif untuk dapat
meningkatkan kompetensi guru di sekolah.

Program Pemberian Susu dan Makanan Tambahan

Di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia, sebagai ilustrasi, sebagaimana juga di


sekolah-sekolah lain di tanah air, para siswa harus mengikuti upacara bendera di sekolah.
Dalam beberapa kali upacara bendera, ketika pembina upacara menyampaikan pidatonya,
atau ketika bendera merah putih dinaikkan beberapa anak jatuh pingsan. Selidik punya
selidik, masalah ini terjadi karena banyak anak-anak yang tidak sarapan pagi. Bukan
hanya itu, ada kemungkinan mereka juga mengalami kekurangan gizi dan dehidrasi.

Penemuan tentang rendahnya kebugaran jasmani, kesehatan, dan gizi anak-anak kita perlu
mendapatkan perhatian kita semua. Hal ini sama sekali berbanding terbalik dengan
keadaan peserta didik di Negeri Cina. Para siswa di sekolah yang cukup luas di negeri tirai

48
bambu itu diwajibkan selalu melakukan olahraga dalam cabang olahraga yang mereka
suka. Semua fasilitas olahraga telah disediakan, dan setiap harinya mereka harus
melakukan olahraga sesuai dengan hobinya. Hasilnya? Stamina olahragawan dari negeri
tirai bambu itu sangat luar biasa. Mereka yang suka berolahraga memiliki kecerdasan
fisikal atau kecerdasan ragawi atau kecerdasan yang dikenal dengan bodily kinestetics
yang tinggi. Termasuk di dalamnya adalah senam dan menari dengan olah tubuh yang
penuh dengan rima dan irama itu.

Kalau pun negeri kita pada saaat ini masih mengalami kesulitan untuk mencari sebelas
pemain sebak bola, karena selalu keok dalam arena pertandingan olah raga yang bergengsi
ini, maka masalahnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kecerdasan fisikal generasi
muda kita yang masih rendah. Selain itu, asupan gizi generasi muda kita masih di bawah
rata-rata anak-anak di dunia. Jika negeri ini masih juga mengalami masalah mahalnya susu
untuk tumbuh kembang anak-anak kita, negeri adidaya Amerika Serikat telah jauh
memikirkan pentingnya makan siang anak-anak sekolah melalui program makan siang
anak-anak usia sekolah melalui National School Lunch Program Act yang telah
ditandatangani oleh Presiden Truman pada tahun 1946. Bahkan pada tanggal 14 Oktober
1940, pemerintah Amerika Serikat juga telah mengeluarkan program susu sekolah (school
milk program). Rupanya, DPR kita masih sibuk dengan urusan politik ketimbang dengan
urusan makan siang anak-anak.

Nah apa yang harus diprogramkan oleh sekolah untuk mengatasi itu semua? Pemberian
bubur kacang hijau, susu, dan makanan bergizi lainnya secara rutin sudah tentu menjadi
kegiatan yang sangat berguna bagi anak-anak kita. Jangan biarkan anak-anak kita
membiasakan jajan di tepi-tepi pagar sekolah, yang dari aspek kesehatan dan gizinya tidak
dapat kita pertanggungjawabkan.

Penciptaan Lingkungan Sekolah Yang Sehat

Program ini sangat terkait dengan program sebelumnya. Pertama, program yang harus
dibenahi adalah kantin sekolah. Ciptakan kantin sekolah yang hiegenis dengan jenis
makanan yang bergizi. Kedua, citakan lingkungan sekolah yang bersih, rindang, dan
indah. Program 7K perlu digalakkan lagi, bukan hanya secara seremonial belaka, tetapi
harus menyentuh perubahan kebiasaan para penghuninya. Memasang papan bertuliskan
”LINGKUNGAN BEBAS ROKOK” merupakan satu gebrakan yang dapat dilakukan.
Tulisan-tulisan lain, seperti ”TARUH SAMPAH PADA TEMPATNYA”, atau ”CUCI
TANGAN SEBELUM MAKAN”, atau ”KESEHATAN SEBAGIAN DARI IMAN” dapat
diharapkan dapat mengisi nurani anak-anak kita yang masih putih itu. Lomba kebersihan
dan keindahan kelas dapat diadakan pada saat momen-momen tertentu, misalnya
peringatan hari besar nasional dan agama, atau peringatan hari lahir sekolah.

Talent Scouting Bibit Olahraga dan Seni

Pembinaan olahraga memang menjadi tugas utama guru olahraga dan keshatan. Tetapi,
program pembinaan olahraga secara teroganisasi di sekolah sudah barang tentu menjadi
tanggung jawab semua komponen sekolah. Di samping olahgara rekreasi, pencatatan
secara rutin rekor olahraga prestasi harus tersedia di sekolah. Sekolah harus memiliki
catatan, nama-nama siswa dengan rekor tertingginya dalam cabang olahraga tertentu.
Dengan catatan ini, jika ada kegiatan pertandingan olahraga, maka sekolah tinggal

49
memilih mereka untuk dapat mengikuti ajang pertandingan olahraga yang akan diikuti.
Pencatatan prestasi olahraga ini dapat dilakukan pada awal tahun pelajaran atau pada saat
usai ulangan semester pertama menjelang libur sekolah. Dengan demikian, sekolah dapat
menjadi tempat pembibitan olahraga dan seni yang pertama dan utama.

Science-Tech Club

Sama dengan talent scouting dalam bidang olahraga, sekolah juga harus melakukannya
untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebenarnya para guru telah memiliki
pengetahuan dan keterampilan praktis dalam penelitian sederhana. Namun banyak di
antaranya kurang begitu yakin bahwa anak-anak mampu melakukannya. Padahal obyek
penelitian sederhana bagi anak-anak terbentang luas di sekolah dan lingkungannya. Sayur
apakah yang menjadi kegemaran siswa, sebagai contoh, adalah pertanyaan penelitian
sederhara yang dapat dilakukan bukan di SMP, tetapi sudah bisa dilakukan di SD. Topik-
topik lainnya misalnya: (1) rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga, (2) rata-rata tinggi
dan berat badan anak-anak kelas 5 SD, (3) jarak tempuh anak-anak ke sekolah, dan masih
banyak yang lain.

Kebun Sekolah dan Penanaman Sejuta Pohon

Jika secara internasional isu pemanasan global telah melahirkan Bali Roadmap untuk
memecahkan isu tersebut, maka apa yang dapat dilakukan di tingkat sekolah? Tentu saja
pendidikan lingkungan hidup harus menjadi tanggung jawab sekolah. Untuk sekolah yang
tidak memiliki lahan yang luas, setiap kelas dapat diminta untuk membikin taman di depan
kelasnya masing-masing. Atau dapat meminta kepada para siswa untuk masing-masing
dapat memiliki tanaman kesayangan yang harus dipelihara setiap hari dengan sepenuh
hati. Disiram, dipupuk, dan disiangi kalau ada rumput yang menggangunya. Jika ada
sedikit lahan di depan sekolah, maka sekolah juga dapat membuat taman sederhana untuk
menanam tanaman hias atau tanaman bunga, agar sekolah tidak terasa gersang. Jika di
lingkungan sekolah ada lahan tidur yang tidak dimanfaatkan oleh yang empunya, sekolah
dapat meminjamnya untuk dijadikan kebun sekolah tempat praktik anak-anak menanam
berbagai jenis tanaman. Selain itu, sekolah juga dapat membantu pemerintah daerah dalam
melaksanakan program penanaman satu juta pohon.

The First Day Festival

Ide ini diusulkan oleh seorang guru di suatu sekolah di Amerika Serikat. Pada waktu itu,
pelibatan peran serta orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan masih menjadi sesuatu
yang langka. Setelah program ini dilaksanakan, antusiasme orangtua dan masyarakat tiba-
tiba meningkat secara drastis. Sejak adanya festival hari pertama sekolah itu, orangtua
siswa dan masyarakat merasakan adanya peningkatan keakraban dan kekeluargaan antara
sekolah dan orangtua siswa secara luar biasa. Orangtua dan masyarakat tidak lagi merasa
sebagai klien, tetapi sebagai pemangku kepentingan yang memiliki tanggung jawab yang
sama besar dengan pihak kepala sekolah dan para guru di sekolah. Program seperti ini
dapat berupa program lain yang tidak kalah inovatifnya. Acara tutup tahun sekolah,
sebagai contoh, dapat menjadi media untuk menyatupadukan sekolah dengan orangtua dan
masyarakat. Dalam acara tersebut, para siswa dapat menunjukkan kebolehannya, baik
dalam bidang akademis maupun nonakademis, di hadapan orangtua dan masyarakat.
Dampaknya, orangtua dan masyarakat menjadi lebih memiliki kepercayaan yang tinggi

50
terhadap upaya sekolah dalam meningkatkan kompetensi siswa. Dampak pengiringnya,
orangtua dan masyarakat menjadi lebih antusias dalam ikut serta memberikan dukungan
dan bantuan terhadap pelaksanaan program-program inovatif sekolah.

Akhir Kata

Masih sangat banyak program inovatif lain yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Tentu
saja berdasarkan kondisi sekolahnya masing-masing. Sebagai contoh, program sekolah
berwawasan imtaq, program sekolah yang aman dan nyaman, program sekolah ramah
anak, kegiatan outbond, dan masih banyak yang lainnya. Penerapan pembelajaran aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) dan contextual teaching and learning (CTL)
kini menjadi program inovatif di sekolah yang menjadi primadona.

Pendek kata, dengan program inovatif, semua warga sekolah dan pemangku kepentingan
ingin mencoba sesuatu yang tidak biasa. Ingin mencoba sesuatu yang baru, yang kalau
bisa yang luar biasa. Itu semua dapat dimulai dengan program inovatif yang sederhana,
dan sudah barang tentu yang tidak memberatkan keuangan orangtua siswa. Yang penting,
semua warga sekolah ingin melakukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya
kurang mendapatkan perhatian. Tentu saja, semua itu harus dirancang adalam rencana
yang matang, yang dikenal dengan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), yang disusun
oleh sekolah bersama dengan pemangku kepentingan. Dengan kata lain, RPS yang disusun
hendaknya memuat program-program inovatif, baik yang terkait dengan aspek akademis
maupun nonakademis di sekolah.

Sulitkah semua itu kita lakukan? Semua itu memang sulit untuk pertama kalinya. All
beginning is difficult. Semua permulaan itu memang sulit. Tetapi, yakinlah bahwa semua
itu dapat dilakukan jika kita memiliki kemauan. Dimana ada kemauan di situ ada jalan.
Mudah-mudahan.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: bsuparlan@yahoo.com.

Depok, 22 Desember 2007

2.3 Lampiran 3:

MEMBERANTAS KORUPSI MELALUI KURIKULUM


Oleh icwweb
Minggu, 17 September 2006 12:28:40

Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan
nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung bangsa
di masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi
praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya.

Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung
proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga

51
perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya
Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta
IAIN Arraniry, Banda Aceh.

Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat


kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan
dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan
pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan
kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.

Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah
akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang
memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan
tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.

Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai
antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap
relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi
apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.

Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid,
malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian
berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah,
jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru
menjadi lahan baru untuk korupsi.

Selain itu, kurikulum tidak akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa
diimplementasikan, terlebih dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi
mesti mengetahui dan memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya
dibutuhkan pendidikan atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis
kompetensi, hanya untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.

Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan
apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif)
atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses
pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan
mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid
mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-
nilai tersebut.

Apabila menginginkan hingga tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan


dalam proses evaluasi. Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan
murid dalam menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan
berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.

Selain itu, proses pengajaran antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional:
guru memberi ceramah di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang
kelas harus dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti
menjadi model bagi murid.

52
Namun sayang, kenyataannya tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru
menjadi salah satu tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari
maraknya pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah,
pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan latar
belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan turut
menjadi pelaku.

Institusi pendidikan malah mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi


tersebut sangat ironis, setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika
keluar dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana
korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat oleh murid
bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian guru atau
kepala sekolah.

Karena itu, kurikulum antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan
seperti sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi.
Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum
antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor penyebab, dari
minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.

Berharap banyak pada peranan birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia
lagi, jika praktek korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya,
seperti dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa
tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi di
sekolah.

Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum
kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak
lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid.
Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.

Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan
dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi
pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah
menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah
dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan
menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.

Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA


CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2006

2.4 Lampiran 4:

APA YANG DIPELAJARI ANAK DI SEKOLAH?

53
Oleh Anis Suryani -
Artikel, 1- Desember 2004

Cica mencuci cangkir dan piring


“Cuci tanganmu sebelum makan,Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica.
“Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca.
“Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun.
Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.

Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan
Tiga Serangkai Solo (2002). Buku ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di
beberapa sekolah dasar di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai
buku utama dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa
kelas satu SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada
latihan melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat secara
benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat sembarangan
tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan deskripsi
peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih mudah dipahami
tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan, bukan sebelum makan
seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika badan adik kotor ketika
sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang membaca . Sementara itu dalam
buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas lima SD, Bina Bahasa Indonesia
terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan seperti berikut:

Wajib Belajar

Desa kelahiran orang tua Indri tergolong tandus. Penduduk hanya panen setahun sekali. Itu
pun kalau ada air hujan. Hasil pertanian penduduk umumnya singkong dan ubi jalar.
Keadaan seperti itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya
tergolong makmur. Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk Home
Industry atau Industri Rumah Tangga Jika kita masuk ke toko suvenir, hampir semua
suvenir di sana adalah karya ibu-ibu. Begitu pula kalau kita berbelanja kue-kue tradisional.
Semua itu hasil dari desa kelahiran ibunya Indri. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak
dan para remaja? Di sana tidak kita jumpai penduduk yang duduk di pojok gang atau di
warung kopi. Konon sebagian besar remaja bekerja di kota lain. Mereka mengirimkan
sebagian gaji ke desa untuk membeli sawah dan menyekolahkan adik-adik mereka. Jika
ada anak usia sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib menegur. Jika
ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat sanksi.

Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca Pemahaman, yakni bab
yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan. Setelah teks, diajukanlah
pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa
yang dilakukan para remaja, mengapa penduduk desa makmur, bagaimana kesimpulanmu
mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu pembahasan untuk memahami teks pun
selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua pertanyaan tersebut secara benar sesuai
dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa mereka telah belajar memahami bacaan secara

54
benar pula? Kita pasti tidak yakin akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang
mereka baca adalah teks seperti tersebut di atas.

Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah teks, perlu dipertanyakan
dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud oleh judul yakni wajib belajar,
sementara sebagian besar teks membahas industri rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan
kalimat pada alinea terakhir, “mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli
sawah…?” , tentulah timbul pertanyaan, sawah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang
kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika kondisi desa
dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan singkong dan ubi jika ada hujan ?

Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa seperti ini cukup banyak
terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak-anak SD. Kekacauan
logika terlihat mulai dari teks yang tidak memiliki judul, judul yang kurang
menggambarkan isi teks, alinea yang tidak jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam
alinea yang tidak padu, dan sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi
tak bermakna. “Selamat pagi Firman”. “Selamat pagi Indri”. “Kamu sudah baca
pengumuman belum?” “Pengumuman apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan
seterusnya. Teks bacaan dan dialog dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat
sendiri oleh penulis buku yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.

Kondisi yang memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia
tidak hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema kebersihan
dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel, membuang sampah,
menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan nyamuk, makan sayur,
muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk siswa kelas satu sampai kelas
tiga.

Tema yang tidak menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin
membosankan karena dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa
Indonesia untuk siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program
pemerintah dan konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak
sekolah dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi
koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas hama, dan
sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan bahasa penyuluhan
sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa. Apalagi kondisi di
lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga terbatas wawasannya mengenai
program-program pemerintah tersebut.

Salah satu contoh teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko
Korban Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim
Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal 134-135).
Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog ini harus
diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah rapat di Balai desa,
tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, dan dokter Puskesmas. Teks
berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas,
dan kesiapan dapur umum. Bisa kita bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia
10 tahun kelas tiga SD memainkan peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula
bagaimana repotnya guru-guru memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi

55
konteks dialog itu. Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat
mereka dan alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat
menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari sebuah
peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa dinamika, dan tanpa
pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang bisa diharapkan muncul
dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog dengan tema yang sama sekali tidak
mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh di atas memperlihatkan kepada kita
bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat
berperan dalam meletakkan bahasa sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.

Anak-anak mulai mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD.
Diawali dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan
tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran IPS
kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu mungkin
berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang terletak di tanah
datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah perkotaan umumnya terletak di
atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di daerah pedesaan sebagian terletak di atas
tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03 terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri
atas tanah datar dan rata. Di sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir.
(IPS Terpadu Kelas 3 SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).

Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan,
hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba
lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep
berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan
tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku
pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata
pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai
bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja
sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.

Berbagai jenis mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep
“bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya. “Bekerja” yang
merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi sekedar jenis
pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran Guru Deskripsi isi
buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari seluruh isi buku pelajaran yang
dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku pelajaran adalah media pembelajaran yang
paling umum dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya
sangat buruk, kita tentu berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya
dengan memberikan bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan
bacaan yang diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis
bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam
mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru
yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di kelas.
Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku pelajaran.

Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar
guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi

56
menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan
bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia
dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi
lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk
memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.

Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil
penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru
terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal
Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku,
para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks.
Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi
yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga
lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal.
Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan
oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya
berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap
sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka
seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada
Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang
memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman
siswa.

Hasil penelitian yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA)
Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak
usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa
membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks
yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).

Sangat menyedihkan mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan


kompetensi paling dasar yang dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan
dan meraih kompetensi yang lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna
isinya, menjadi beban berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya
menghafal saja isi buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas
dalam memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan
rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam perkembangan
ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang dhadapi siswa
dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam membuat model atau
memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum, 1997). Ini
menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak
berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang
diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang diajarkan, guru
juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang ada di buku. “Jangan
cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus dikerjakan. Hafalkan jawabannya.
Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata
seorang guru PPKn (pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.

Seorang anak bisa saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu
paham apa yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku

57
pelajaran sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa
memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Buku
Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media pembelajaran,
buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni disusun sesuai dengan
kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran mencerminkan kurikulum.

Jika kondisi buku pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di
atas, bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai
populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan
Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan sebagai “a
plan for learning”, sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah.
Namun para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni
semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.

Konsep kurikulum adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah.


Konsep kurikulum tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat,
baik sosialisasi maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan
tradisional tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya
adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan kurikulum karena tujuan
pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan ketrampilan secara turun
temurun kepada anak-anak.

Tujuan pendidikan sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan
perubahan. Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk
mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan
dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan
perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai macam
aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan
kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.

Kondisi materi buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas,


menunjukkan betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan
direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama,
kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat Kurikulum.
Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas sehingga menimbulkan
kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan program. Ketiga, masih
kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang cenderung tidak responsif terhadap
perubahan membuat sistem pendidikan sekolah cenderung hanya mengadopsi aspek
formalitasnya sementara esensi sistem yang bersifat dinamis belum terbentuk.

Pustaka

Arsyar, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek


Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Kompas (2003). Kemahiran Baca di Indonesia Menyedihkan. (2 Juli 2003)
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars

58
Hilum, Rium (1997). Pengaruh Kemampuan Memecahkan Masalah-masalah cerita
dalam aljabar terhadap prestasi siswa. Skripsi S1 FMIPA IKIP Yogyakarta.
Supriadi, Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di Indonesia. Yogyakarta: Adicita
Shaver, James P ed. (1991). Handbook of Research on Social Studies Teaching and
Learning. New York: National Council for the Social Studies.

59

You might also like