You are on page 1of 76

TUJUAN DAN SASARAN PENDIDIKAN ISLAM

*Disusun Guna Memenuhi Tugas Dalam Mata Kuliah Ushul at-Tarbiyyah Yang Diampu Oleh
Supriyanto Pasir, MA. Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia
Oleh Khorirur Rijal Luthfi dan Mohammad Agus Khoirul Wafa
A.     Pendahuluan

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas,
individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial
yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang
beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang
beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan,
spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini,
banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi
yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang
bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri,
perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah
investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal
yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun
akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status
tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang
bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan
Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi
dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni
pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki
pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim
yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih
dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi
pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif
dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para
anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan dan sasaran
pedidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-
Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara
umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan dan sasaran pendidikan dalam Islam dapat
diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.
B.     Pembahasan
B.1. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam

Memang tidak diragukan bahwa ide mengenai prinsip-prinsip dasar pendidikan banyak
tertuang dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadits nabi. Dalam hal ini akan dikemukakan ayat ayat
atau hadits hadits yang dapat mewakili dan mengandung ide tentang prinsip prinsip dasar
tersebut, dengan asumsi dasar, seperti dikatakan an Nahlawi bahwa pendidikan sejati atau maha
pendidikan itu adalah Allah yang telah menciptakan fitrah manusia dengan segala potensi dan
kelebihan serta menetapkan hukum hukum pertumbuhan, perkembangan, dan interaksinya,
sekaligus jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya. Prinsip prinsip tersebut adalah
sebagai berikut:[1]
Pertama, Prinsip Integrasi. Suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini
merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Karena itu, mempersiapkan diri secara utuh
merupakan hal yang tidak dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar benar
bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Perilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan
apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan kelayakan itu
terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Allah Swt Berfirman, “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampung akhirat, dan janganlah kanu
melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi...” (QS. Al Qoshosh: 77). Ayat ini
menunjukkan kepada prinsip integritas di mana diri dan segala yang ada padanya dikembangkan
pada satu arah, yakni kebajikan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
Kedua, Prinsip Keseimbangan. Karena ada prinsip integrasi, prinsip keseimbangan
merupakan kemestian, sehingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada
kepincangan dan kesenjangan. Keseimbangan antara material dan spiritual, unsur jasmani dan
rohani. Pada banyak ayat al-Qur’an Allah menyebutkan iman dan amal secara bersamaan. Tidak
kurang dari enam puluh tujuh ayat yang menyebutkan iman dan amal secara besamaan, secara
implisit menggambarkan kesatuan yang tidak terpisahkan. Diantaranya adalah QS. Al ‘Ashr: 1-3,
“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal
sholeh.” .
Ketiga, Prinsip Persamaan. Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang
mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan derajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan
sosial, bangsa, maupun suku, ras, atau warna kulit. Sehingga budak sekalipun mendapatkan hak
yang sama dalam pendidikan. Nabi Muhammad Saw bersabda
“Siapapun di antara seorang laki laki yang mempunyai seorang budak
perempuan, lalu diajar dan didiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian
dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki laki) itu mendapat dua pahala” (HR.
Bukhori).
 
Keempat, Prinsip Pendidikan Seumur Hidup. Sesungguhnya prinsip ini bersumber dari
pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia di mana
manusia dalam sepanjang hidupnya dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan yang dapat
menjerumuskandirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dalam hal ini dituntut kedewasaan manusia
berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan,
disamping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Sebagaimana firman Allah, “Maka siapa yang
bertaubat sesuadah kedzaliman dan memperbaiki (dirinya) maka Allah menerima taubatnya....”
(QS. Al Maidah: 39).
Kelima, Prinsip Keutamaan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah
hanya proses mekanik melainkan merupakan proses yang mempunyai ruh dimana segala
kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan
tersebut terdiri dari nilai nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan
nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidik
bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi subjek didik, tetapi lebih dari itu turut
membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik
tersebut. Nabi Saw bersabda, “Hargailah anak anakmu dan baikkanlah budi pekerti mereka,”
(HR. Nasa’i).
 
B.2. Mekanisme Pendidikan Islam

Mengenai mekanisme dalam menjalankan pendidikan Islam Dalam karyanya Tahdzibul


Akhlak, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa syariat agama memiliki peran penting dalam
meluruskan akhlak remaja, yang membiasakan mereka untuk melakukan perbuatan yang baik,
sekaligus mempersiapkan diri mereka untuk menerima kearifan, mengupayakan kebajikan dan
mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang akurat. Orang tua memiliki
kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati syariat ini, agar berbuat baik. Hal ini dapat
dijalankan melalui al-mau’izhah (nasehat), al- dharb (dipukul) kalau perlu, al-taubikh (dihardik),
diberi janji yang menyenangkan atau tahdzir (diancam) dengan al-‘uqubah (hukuman).[2]
(konsep uqubah dalam Islam)
Akan tetapi, Berbeda dengan beberapa pandangan teori di atas, Ibnu Khaldun justru
berpandangan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun seharusnya
tidak dilakukan dalam dunia pendidikan. Karena dalam pandangan Ibnu Khaldun, penggunaan
kekerasan dalam pengajaran dapat membahayakan anak didik, apalagi pada anak kecil,
kekerasan merupakan bagian dari sifat-sifat buruk. Disamping itu, Ia juga menambahkan bahwa
perbuatan yang lahir dari hukuman tidak murni berasal dari keinginan dan kesadaran anak didik.
Itu artinya pendidikan dengan metode ini juga sekaligus akan membiasakan seseorang untuk
berbohong dikarenakan takut dengan hukuman.[3]
 
B.3. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Islam

Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan.
Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu
sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta
dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya
yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang
dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya
merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.[4]
Maka dari itu berdasarkan definisinya, Rupert C. Lodge dalam philosophy of education
menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman.
Sehingga dengan kata lain, kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu.
Sedangkan Joe Pack merumuskan pendidikan sebagai “the art or process of imparting or
acquiring knomledge and habit through instructional as study”. Dalam definisi ini tekanan
kegiatan pendidikan diletakkan pada pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang
dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan. Theodore Meyer Greene mengajukan definisi
pendidikan yang sangat umum. Menurutnya pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan
dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna. Alfred North Whitehead menyusun definisi
pendidikan yang menekankan segi ketrampilan menggunakan pengetahuan.[5]
Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan
Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan pengertian pengertian baru yang secara
implisit menjelaskan karakteristik karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan
seluruh totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan
“ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang
amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya
dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang
lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal.[6]
Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak
dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai
dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam
masyarakat.[7]
Hujair AH. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan misi
pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi dan misi yang
ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep dasar filosofis pendidikan
Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup multi dimensional, yaitu pendidikan
yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan manusia, atau lebih khusus lagi sebagai
penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka membangun kehidupan dunia yang makmur,
dinamis, harmonis dan lestari sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan
Islam adalah pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”,
yaitu untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat
hukum, dinamis, dan harmonis.[8]
Munzir Hitami berpendapat bahwa tujuan pendidikan tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia, biarpun dipengaruhi oleh berbagai budaya, pandangan hidup, atau keinginan-keinginan
lainnya. Bila dilihat dari ayat-ayat al Qur’an ataupun hadits yang mengisyaratkan tujuan hidup
manusia yang sekaligus menjadi tujuan pendidikan, terdapat beberapa macam tujuan, termasuk
tujuan yang bersifat teleologik itu sebagai berbau mistik dan takhayul dapat dipahami karena
mereka menganut konsep konsep ontologi positivistik yang mendasar kebenaran hanya kepada
empiris sensual, yakni sesuatu yang teramati dan terukur.[9]
Qodri Azizy menyebutkan batasan tentang definisi pendidikan agama Islam dalam dua
hal, yaitu; a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak
Islam; b) mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam. Sehingga pengertian
pendidikan agama Islam merupakan usaha secara sadar dalam memberikan bimbingan kepada
anak didik untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam dan memberikan pelajaran dengan
materi-materi tentang pengetahuan Islam.[10]
 
C.     Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah penulis kemukakan dari beberapa pendapat para tokoh
pendidikian Islam bahwa pendidikan pada dasarnya memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang
terpenting adalah pembentukan akhlak objek didikan sehingga semua tujuan pendidikan dapat
dicapai dengan landasan moral dan etika Islam, yang tentunya memiliki tujuan kemashlahatan di
dalam mencapai tujuan tersebut. Mengenai mekanisme pelaksanaanya, hal ini tentunya
memerlukan kajian yang lebih mendalam sehingga nantinya implementasi dari teori tersebut
dapat dipertanggungjawabkan dan dipandang relevan dengan kondisi yang terikat dengan faktor-
faktor tertentu.
 
Daftar Pustaka
Azizy, Ahmad Qodri A. 2000. Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azra. Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hitami, Munzir. 2004. Menggagas Kembali Pendidikan Islam. Yogyakarta: Infinite Press
Khaldun, Ibnu. 2001. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus
Miskawaih, Ibnu. Tanpa tahun. Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah
Sanaky, Hujair AH. 2003. Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI
Tafsir, Ahmad. 2002. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

[1] Munzir Hitami, Menggagas Kembali Pendidikan Islam, Yogyakarta: Infinite Press,
2004, hal. 25-30
[2] Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, Mesir: al-Mathbah al-Husainiyyah, tanpa tahun,
hal. 27
[3]Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hal. 763
[4] Hilda Taba dalam Munzir Hitami, Ibid, hal. 32 
[5] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002, hal. 6
[6] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, hal. 5
[7] Sulaiman, dalam Ibid, hal. 33
[8] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat
Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press dan MSI, hal. 142
[9] Munzir Hitami, Op. Cit, hal. 32
[10] Ahmad Qodri Azizy, Islam dan Permaslahan Sosial; Mencari Jalan Keluar,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 22
Tags: tarbiyah
Prev: pengembangan terpadu BMT dan UMK
Next: file kegiatan seminar entrepreneurship jama'ah al-Faraby

……………

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN


Judul: PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN /
EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Didik Supriyanto
Saya Guru di KALIRUNGKUT II/514 SURABAYA
Topik:
Tanggal: 17 September 2008
PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

ABSTRAK

Alquran sebagai wahyu dan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
selalu menjadi pusat sorotan karena daya pikatnya yang luar biasa. Keluarbiasaan
Alquran itu terletak pada aspek-aspeknya antara lain bahasa dan gaya bahasanya,
substansinya, keterjaminannya dari percampuran dengan bahasa manusia, jangkauannya
yang tiada terbatas, dan multifungsinya bagi umat manusia.

Multifungsi Alquran itu terlihat pada ayat-ayatnya dan dikuatkan oleh Al-Hadits, yang
menyebutkan bahwa Alquran adalah sebagai :

a) Pedoman hidup yang harus dipegang erat oleh kaum muslimin;

b) Petunjuk bagi umat manusia;

c) Pembeda antara yang benar dan yang salah;

d) Inspirator dan pemacu terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e) Penyembuh bagi orang-orang mukmin;

f) Rahmat (limpahan kasih sayang) bagi orang-orang mukmin;

g) Pemberi peringatan bagi orang-orang yang lalai;

h) Bacaan utama yang bernilai ibadah.

Berbagai penelitian dan pembahasan, baik yang dilakukan oleh pakar Islam sendiri
maupun oleh orientalis menyimpulkan bahwa Alquran memiliki muatan yang universal bagi
kehidupan umat manusia secara keseluruhan, salah satu di antaranya bagaimana konsep
Alquran berbicara masalah pendidikan.

A. Pendahuluan
Berbicara masalah pendidikan seakan tidak habis-habisnya sampai manusia itu sendiri
lenyap dari permukaan bumi alias mati, karena manusia wajib menjalani pendidikannya
sejak dia dilahirkan sampai dia masuk liang lahad, jasadnya larut ditelan bumi, dan rohnya
kembali kepada sang pencipta yaitu Allah SWT.

Proses pendidikan terhadap manusia terjadi pertama kali ketika Allah SWT selesai
menciptakan Adam Alaihissalam, lalu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan mahluk
yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar (PBM). Tiga golongan
mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam Alaihissalam)
sebagai "mahasiswa" nya, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai "Maha Guru" nya.
Setelah selesai PBM maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh mahasiswa (
jin, malaikat, dan manusia) dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh
materi pelajaran yang diberikan, dan ternyata Adam lah (dari golongan manusia) yang
berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut.

Kejadian di atas diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya QS.2 (Al-Baqoroh): 30 - 33


sebagai berikut :

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang kholifah dimuka bumi', Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak
menjadikan kholifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kam,I senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui'."

"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian


mengemukakannya kepada para Mlaikt lalu berfirman: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama
benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"

"Mereka menjawab: 'Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengatahui lagi
Maha Bijaksana."

"Allah berfirman :

'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!' Maka setelah
diberitahukannya kepada mereka benda-benda itu, Allah berfirman: 'Bukankah sudah Ku
katakana kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".

Allah Swt berfirman dalam Alquran yang artinya : Allah tidak akan merubah suatu bangsa
sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada dalam dirinya. Termasuk yang ada di
dalam diri manusia adalah hati, fakir, rasa, dan raga. Maka tepat sekali untuk merespon
firman Allah di atas, Pemerintah bersama-sama DPR mengamandemen UUD 1945 pada
tahun 2000 yaitu bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, dan pada amandemen
tahun 2002 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa, tanggung jawab Negara dalam
pendidikan diwujudkan dalam APBN sekurang-kurangnya 20 %.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tercantum salah satu cita-cita bangsa Indonesia yang luhur,
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa atau masyarakat yang cerdas
merupakan pilar bagi kejayaan dan kemajuannya. Dengan "mencerdaskan orang banyak"
dan "memperbanyak orang cerdas", maka kita bangsa Indonesia akan sanggup
menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Membangun manusia yang cerdas dan terampil ini merupakan bagian dari hakikat
pembangunan nasional, yakni pembangunan ,manusia seutuhnya dan manusia Indonesia
seluruhnya. Kecerdasan dan keterampilan satu sama lain saling melengkapi dan tidak
dapat dipisahkan. Kalau kecerdasan banyak berhubungan dengan kemampuan pikir dan
nalar yang berbasis pada akal atau rasio, maka keterampilan berkaitan dengan skill atau
keahlian yang dimiliki oleh seseorang.

Pendidikan sebagaimana pengertiannya yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003


tentang Sisdiknas adalah

"Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara".

Pendidikan yang dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di atas adalah
pendidikan yang mengarah pada pembentukan manusia yang berkualitas atau manusia
seutuhnya yang lebih dikenal dengan istilah insan kamil. Untuk menuju terciptanya insan
kamil di atas, maka pendidikan yang dikembangkan menurut Mendiknas (2006: xix)
adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu : olah kolbu, olah pikir, olah rasa, dan
olah raga.

Olah Qolbu adalah pendidikan akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur sehingga peserta
didik memiliki kepribadian yang unggul. Ini adalah aktualisasi dari potensi hati manusia
dan merupakan bagian pendidikan yang paling mendasar dan paling penting. Dalam
istilah pendidikan, hal itu termasuk merupakan aspek afeksi, yaitu bagaimana
membangun manusia berhati baik dan prakarsanya menjadi baik, yang ini semua
tergantung atau karena didasarkan pada niat yang baik, sebagaimana bunyi Hadits Nabi:
"semua perbuatan (amal) berangkat / tergantung dari kualitas niatnya". Niat yang baik dan
positif akan bisa menjadikan manusia bersifat produktif. Inilah yang dalam istilah popular
saat ini disebut dengan kecerdasan spiritual.

Olah pikir berarti membangun manusia agar memiliki kemandirian serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Olah pikir berorientasi pada pembangunan manusia yang
cerdas, kreatif dan inovatif. Olah rasa bertujuan menghasilkan manusia yang apresiatif,
sensitive,serta mampu mengekspresikan keindahan dan kehalusan. Ini sangat penting
karena tidak akan ada rasa syukur manakala seseorang tidak memiliki apresiasi terhadap
keindahan dan kehalusan. Sedangkan olah raga merupakan proses pembangunan
manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi berfungsinya hati, otak
dan rasa.

Proses pendidikan di atas sejalan dengan QS. Ali Imron (3): 191 yang artinya sebagai
berikut:

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi: "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka."

Itulah cermin manusia seutuhnya yang menggunakan hati dan fikirannya untuk selalu
berdzikir kepada Allah, bertafakur mengamati alam semesta, sehingga sampai pada suatu
kesimpulan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini bukan untuk main-main, tetapi
dengan tujuan yang amat tinggi dan mulia yaitu tujuan kehidupan manusia yang tidak
berhenti di dunia ini saja, melainkan harapan dan doa kehidupan yang sejahtera di akhirat
kelak.

Sedangkan menurut Irfan Hielmy (1999: 58) kecerdasan dan keterampilan seperti yang
disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah Kecerdasan dan
keterampilan yang merupakan bagian dari apa yang kita kenal dengan istilah "The Golden
H", yaitu head, hand, heart, dan health. Head adalah manusia yang cerdas, pandai dan
pintar, hand berarti manusia yang terampil, memiliki skill atau keahlian dan
profesionalisme; heart berarti manusia yang mencintai keindahan, memiliki akhlak yang
mulia dan sopan santun; dan health berarti manusia yang sadar akan kebersihan,
kesehatan dan berdisiplin tinggi. Cerdas (ibid: 59) berarti pandai, tajam pikiran dan
sempurna perkembangan akal budinya. Insan yang cerdas dan terampil adalah insan
dengan kemampuan akalnya dapat memahami berbagai alam dan sosial, serta
memanfaatkannya demi kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat
kelak.

Pembangunan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat


merupakan upaya pengejewantahan salah satu cita-cita nasional, yaitu menciptakan anak
bangsa yang cerdas dan bermartabat. Proses pencerdasan dan pemartabatan bangsa
dilakukan tidak lepas dari proses belajar mengajar dan pelatihan baik melalui jalur sekolah
maupun jalur luar sekolah.

Berbicara pembangunan pendidikan di Indonesia, Syafaruddin (2001:1) menjelaskan,


"Pembangunan bidang pendidikan mengemban misi pemerataan pendidikan yang
menimbaulkan ledakan pendidikan (education explotion). Hal itu memberikan peningkatan
mutu sangat signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia (human recourses
development) bangsa kita. Strategi pendidikan nasional ketika itu adalah popularisasi
pendidikan yang mengakar pada pemerataan pendidikanb. Lebih jauh semakin dirasakan
bahwa pembangunan sekolah-sekolah memiliki fungsi strategis bagi peningkatan kualitas
warga Negara, harkat, dan martabat bangsa Indonesia".

Langkah yang harus dilakukan untuk bisa mencapai derajat manusia Idonesia yang
bermartabat, cerdas, dan terampil atau "insan kamil" atau manusia paripurna, Irfan Hielmy
(ibid: 53) adalah dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada pada diri manusia
sesuai dengan fitrahnya, baik potensi jasmani (yakni daging, tulang, otot, darqh, dan
sebaginya) maupun potensi rohani (yaitu akal, akhlak, budi pekerti, kolbu atau bathin,
firasat, rasa, karsa, nafsu, dan sebagainay) harus dikembangkan secara seimbang,
dijaga, dibina, dan dikembangkan melalui suatu proses pendidikan sejak ia lahir sampai
berpulang ke rahmatullah.

B. Pendidikan Dalam Perspektif Alquran

Paradigma pendidikan dalam Alquran tidak lepas dari tujuan Allah SWT menciptakan
manusia itu seindiri, yaitu pendidikan penyerahan diri secara ikhlas kepada sang Kholik
yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat, sebagaimna
Firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 : "Tidak semata-mata kami ciptakan jin dan
manusia kecuali hanya untuk beribadah". Menurut Armai Arief (2007:175) " bahwa tujuan
pendidikan dalam Alquran adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok,
sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah SWT. dan kholifah-Nya,
guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah".
Pendidikan dalam perspektif Alquran dapat dilihat bagaimana Luqman Al-Hakim
memberikan pendidikan yang mendasar kepada putranya, sekaligus memberikan
contohnya, juga menunjukkan perbuatannya lewat pengamalan dan sikap mental yang
dilakukannya sehari-hari dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara
wasiat pendidikan 'monumental' yang dicontohkan Luqman lewat materi billisan dan
dilakukannya lewat bilamal terlebih dahulu adalah: Jangan sekali-kali menyekutukan Allah,
berbuat baiklah kepada kedua orang tua, jangan mengikuti seruan syirik, ingatlah bahwa
manusia itu pasti mati, hendaklah kita tetap merasa diawasi oleh Allah, hendaklah selalu
mendirikan sholat, kerjakan selalu yang baik dan tinggalkan perbuatan keji, jangan suka
menyombongkan diri, sederhanalah dalam berpergian, dan rendahkanlah suaramu.

Walaupun sederhana materi dan metode yang diajarkan Luqman Al-Hakim kepada
putranya termasuk kepada kita semua yang hidup di jaman modern ini, namun betapa
cermat dan mendalam filosofi pendidikan serta hikmah yang dimiliki Luqman untuk dapat
dipelajari oleh generasi berikutnya sampai akhir jaman.

Konsep pendidikan dalam perspektif Alquran yang direfleksikan Allah SWT dalam QS.
Luqman (31):12-19 selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

12. Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqmman, yaitu : "
bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah) maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran
kepada anaknya: "Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) itu adalah benar-benar kedzaliman yang besar".

14. Dan Kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu-bapak; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-
Kulah kembalimu.

15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuannya tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-
Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberikan kepadamu apa yang
telah engkau kerjakan.

16. (Luqman berkata): "Hai anakkua, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat
biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui".

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).

18. Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara adalah suara keledai.

Ketokohan Luqman Al-Hakim seperti dijelaskan di atas merupakan suatu keniscayaan


dalam dunia pendidikan, hingga dapat melahirkan para ahli pendidikan dibidangnya
masing-masing sejak Alquran dilauncingkan oleh pembawa risalah terakhir Rosululloh
Muhammad SAW empat belas abad yang lalu hingga sekarang bahkan sampai akhir
jaman. Islam memandang dan memposisikan sendi-sendi keilmuan atau ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai sesuatu yang sangat utama dan urgen. Ia merangkul
iptek sedemikian rupa sehingga menganggap suci dan disamakan derajatnya dengan
jihad bagi perjuangan orang-orang yang berilmu dan yang mencari ilmu, juga karya-karya
yang mereka temukan tentang fenomena dan rahasia alam semesta ini. Hal ini dijelaskan
dengan firman Allah dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11 : "Allah meninggikan orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat."

Ilmu pengetahuan yang dituju oleh Alquran menurut Widodo (2007: 161) adalah ilmu
pengetahuan dengan pengertiannya yang menyeluruh, yang mengatur segala yang
berhubungan dengan kehidupan dan tidak terbatas pada ilmu syariah dan akidah saja. Ia
mencakup berbagai disiplin ilmu seperti ilmu sosial, ekonomi, sejarah, fisika, biologi,
matematika, astronomi, dan geografi dalam bentuk gejala-gejala umum, general ideas,
atau grand theory yang perlu dikem,bangkan lagi oleh akal manusia. Dalam pandangan
yang bersifat internal-global, ilmu-ilmu dalam Alquran dapat dijabarkan ke dalam masalah-
masalah akidah, syariah, ibadah, muamalah, akhlak, kisah-kisah lampau,berita-berita
akan dating, dan ilmu pengetahuan ilahiah lainnya.

Demikian lengkapnya berbagai ilmu yang terdapat dalam Alquran, tidak terkecuali
masalah sains dan matematika. Tentang term ini Fahmi Basya (1427H: 95) menjelaskan
bahwa Matematika Islam ialah matematika yang menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagi postulat. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW bahwa:
" Aku tinggalkan untuk kalian dua urusan, kamu tidakakan tersesat selama berpegang
kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul Allah (Hadits)."

Sebab itu masih menurut dia, dalam Matematika Islam, kita tidak lagi perlu membuktikan
suatu data yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, sekalipun nanti dalam perjalananya,
Matematika Islam seolah membuktikan kebenaran sunnah-sunnah Nabi. Data bilangan
dari Alquran dan Nabi, diolah dan dibuat model matematikanya. Untuk memperjelas
penemuannya dia mengutip QS. Al-Hasyr ayat 21 sebagai berikut : â?oKalau Kami
turunkan Alquran ini kepada gunung, sungguh kamu lihat dia tunduk terpecah belah dari
takut kepada Allah. Dan Dan itu perumpamaan yang Kami adakan untuk manusia supaya
mereka berfikir"

Cuplikan ayat di atas menjelaskan bahwa Alquran adalah suatu Formula. Oleh karena itu
diakhir ayat tadi dikatakan 'itu perumpamaan yang kami adakan untuk manusia supaya
mereka berfikir. Fenomena ini menandakan bahwa Alquran berisi Sains yang perlu
difikirkan.

C. Kedudukan Ilmu dalam Alquran

Ilmu ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis yang diperoleh melalui suatu
penyelidikan yang rasional dan empiris. Kebenaran hasil suatu penyelidikn atau penelitian
yang rasional sudah barang tentu mensyaratkan adanya kemampuan berfikir dan bernalar
melalui akal yang sehat secara logis untuk menetukan kesimpulan suatu kebenaran yang
semuanya bersifat nisbi (sekarang aktual besok basi), karena kebenaran yang hakiki
hanyalah milik Allah SWT, seperti ditegaskan dengan firman-Nya QS. AlBaqarah (2):147:
"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang ragu".

Dengan demikian, akal yang sehat menjadi syarat utama dapat memperolehnya. Irfan
Hielmy (Ibid: 62) mengatakan: "Ilmu, dalam bahasa Inggris disebut science, artinya ilmu
pengetahuan. Atau sering pula disebut dengan istilah epistemology, yaitu "part of
philosophy which treats of the possibility, nature and limits of human knowledge" (bagian
dari ilmu filsafat yang tersusun atas kemungkinan, alam dan batasan pengetahuan
manusia)." Bagi manusia, ilmu berguna untuk merencanakan suatu aktivitas, mengontrol
atau mengevaluasinya, memprediksi suatu gejala, dan yang terpenting adalah untuk
mengembangkan teknologi, sehingga dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kepentingan seluruh umat manusia.

Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Alquran yang demikian
tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-
orang yang menguasainya. Yusuf Qardhawi (1998: 91) mengingatkan bahwa, ayat Alquran
yang pertama ke hati Rasulullah SAW menunjuk pada keutamaan ilmu pengetahuan, yaitu
denganmemerintahkannya membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan, dan menyebut
qalam, alat transformasi ilmu pengetahuan, sebagai mana ditegaskan dalam QS.Al-Alaq :
1-5 sebagai berikut : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia
menciptakan manusia dari segumpal darh. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya."

Dalam wahyu pertama di atas, Allah SWT memulai surat dengan memerintahkan untuk
membaca yang timbul dari sifat 'tahu', lalu menyebutkan penciptaan manusia secara
khusus dan umum, menyebut nikmat-Nya dengan mengajarkan manusia apa yang ia tidak
ketahui. Hal itu menunjukkan akan kemuliaan belajar dan ilmu pengetahuan.

D. Adam Dimuliakan dengan Ilmu

Seperti telah penulis cantumkan di awal, disebutkan dalam Alquran- tidak dalam kitab
agama lainnya- bahwa Allah memberikan keutamaan kepada Adam, bapak manusia, juga
menjadikannya sebagai khalifah Allah di muka bumi dan meninggikannya di atas malaikat
-yang mengisi seluruh waktunya dengan ibadah kepada Allah-yaitu dengan ilmu yang
diberikan Allah SWT kepadanya dan mengungguli ilmu malaikat dan jin pada ujian yang
dilakukan Allah antara mereka dan manusia.

Ibnul Qayyim seperti dikutip Qardhawi (Ibid: 96) berkata : Tentang keutamaan ilmu yang
dikisahkan dalam QS. Al-Baqarah: 30-33 seperti tercantum di awal tulisan ini, ada
beberapa bentuk.

Pertama, Allah membalas pertanyaan malaikat ketika mereka menanyakan Allah SWT,
"Kenapa Engkau menjadikan khalifah di bumi, sementara malaikat lebih taat dibanding
mereka," Allah menjawab, "Aku lebih tahu atas apa yang engkau tidak ketahui". Allah
menjawab bahwa Dia lebih tahu substansi terdalam semua itu, sementara mereka tidak
mengetahuinya. Allah Mahatahu lagi Mahbijaksana dari khalifah ini akan lahir makhluk-
makhluk pilihan, rasul-rasul, nabi-nabi, kaum shalihin, para syuhada, ulama, dan ahli ilmu
pengetahuan dan keimanan, yang lebih baik dari Malaikat. Dan, timbul dari Iblis makhluk
yang paling jahat di dunia. Allah SWT mengeluarkan dia (dari syurga yang menjadi tempat
tinggal Adam). Sementara, malaikat tidak mengetahui tentang keduanya, serta tentang
penciptaan dan penempatannya di bumi yang mengandung banyak hikmah.

Kedua, ketika akan menunjukkan kelebihan Adam dan meninggikan derajatnya, Allah
SWT melebihkannya dengan ilmu yang dimilikinya. Maka, Allah mengajarkan kepadanya
nama-nama, setelah melontarkan pertanyaan kepada para Malaikat, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar" (Al-
Baqarah:31).

Dalam tafsir dikatakan bahwa para Malaikat berkata, "Allah tidak akan menciptakan
makhluk yang lebih mulia dari kita!" Mereka menyangka lebih baik daripada khalifah yang
Allah jadikan di muka bumi. Ketika Allah menguji mereka dengan ilmu yang dimiliki
khalifah ini, maka mereka segera mengakui kelemahan dan kebodohan ata apa yang
mereka tidak ketahui. Saat itu Allah menampakkan keutamaan Adam dengan ilmu yang
dimilikinya. "Allah berfirman, â?oHai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini! Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, (Al-
Baqarah:33) mereka mengakui kelebihan Adam.

Ketiga, Setelah menunjukkan keutamaan Adam dengan ilmu yang dimilikinya dan ketidak
thuan Malaikat atas ilmu tersebut, Allah SWT berfirman kepada mereka : "Bukankah
sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan
bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Al-
Baqarah:33).

Dengan firmanNya di atas, Allah memberitahukan kepada mereka akan ilmu Allah dan
bahwa Dia mengetahui segala sesuatu, baik lahir maupun batin, dan kegaiban langit. Allah
memperkenalkan diri kepada merka dengan sifat ilmu, dan memberitahukan mereka
bahwa keutamaan nabi-Nya adalah dengan ilmu, dan kelemahan mereka atas Adam
adalah dalam segi ilmu. Semua itu menunjukkan kem,uliaan ilmu.

Keempat, Allah SWT menjadikan sebagian sifat kesempurnaan pada Adam sehingga ia
lebih mulia dari makhluk yang lainnya. Allah ingin menunjukan kemulian dan keutamaan
Adam, maka Allah menampilkan sisi terbaiknya, yaitu ilmunya. Ini menunjukan bahwa ilmu
adalah sisi yang paling mulia dalam diri manusia dan kemuliaan manusia karena
ilmunya.Hal seperti ini sama dengan apa yang terjadi terhadap Nabi Yusuf a.s.. Ketika
Allah ingin menunjukan keutamaan dan kemuliannya atas seluruh manusiaa pada
masanya. Dia memperlihatkan kepada raja dan penduduk Mesir ilmu Yusuf a.s.tentang
tabir mimpi yang tidak dapat di pecahkan oleh para ahli. Pada saat itu, sang raja
menampilkannya dan memberikannya kedudukan, yaitu memegang perbendaharaan
Negara. Padahal, sebelumnya raja itu memenjarakannya karena melihat ketampanannya,
namun ketika tampak ketinggian ilmu dan pengetahuannya, ia melepaskan bahkan
memberikannya kedudukan. Ini menunjukan bahwa penguasaan ilmu oleh bani Adam
lebih dimuliakan dan lebih baik dari bentuk fisik.

Sementara menurut jalan pemikiran Muhammad Syadid (2003: 132) bahwa Alquran
menjadikan alam sebagai 'buku' untuk mengetahui Allah (ma'rifatullah), menyeru akal dan
hati untuk memikirkan keindahan ciptaan Allah dan ayat-ayat-Nya, mengungkap berbagai
macam rahasia penciptaan-Nya. Dengan pengarahan ini Alquran membuka pintu ilmu,
memerdekakan akal dan pikiran dari belenggu kebodohan dan kebekuan, serta
mendorong kita untuk mengadakan pengkajian, penelitian dan pembelajaran. Allah Azza
wa Jalla telah menciptakan segala sesuatu dan mengaturnya sesuai dengan undang-
undang, sekaligus menyiapkan manusia untuk mengenal undang-undang tersebut dan
menggunakannya dengan kesiapan yang juga dianugerahkan Allah kepadanya.
Selanjutnya Syadid menyitir contoh pada kisah Nabi Sualaiman yang ingin memindahkan
singgasana Ratu Bilqis dari Yaman ke istananya sebelum Ratu Bilqis datang memenuhi
undangannya, mungkin terdapat isyarat Alquran yang mengagumkan untuk bisa menyibak
rahasia alam, guna memotivasi akal agar mau berpikir dan mengkaji, sehingga bisa
melahirkan berbagai macam penemuan. Kisah selengkapnya diabadikan dalam QS. An-
Naml (27): 38-40 sebagai berikut : "Berkata Sulaiman: Hai pembesar-pembesar, siapakah
diantara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri. Berkata Ifrit (yang
cerdik) dari golongan Jin ; aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk
membawanya lagi dapat dipercaya. Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-
Kitab: aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka
tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: Ini
termasuk karunia Robb-ku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Robb-
ku Mahakaya lagi Maha Mulia."

Syadid berkesimpulan bahwa pekerjaan memindahkan singgasana dari satu negeri ke


negeri yang lain dalam waktu lebih cepat dari sekejap mata disebutkan oleh Alquran
bukan sebagai suatu perbuatan sihir, kekuatan Jin, atau mukjizat seoarang Nabi,
melainkan perbuatan seseorang karena ilmu yang dimilikinya. Ini merupakan bukti bahwa
dengan ilmu manusia mampu menundukkan banyak kekuatan alam manakala ia sampai
kepada pengenalan terhadap undang-undang-Nya. Hal itulah yang telah dilakukan oleh
rekan Nabi Sulaiman Alaihissalam. Ilmu modernpun telah mampu memindahkan suara
melalui gelombang, lalu berkembang sehingga mampu memindahkan gambar visual.
Sementara para ahli juga mencoba memindahkan badan dengan cara seperti yang
dilakukan oleh ilmuwan di zaman Sulaiman tersebut. Dan Alquran Al-Karim cukup
memotivasi orang untuk berpikir, tidak perlu mengemukakan teori, cara atau sarananya.
Dengan kata lain, Alquran cukup hanya menunjukkan kunci-kunci ma'rifah dan rahasia
alam, serta mendorong kita untuk terus menerus meneliti serta mengkajinya.

E. Penutup

Pada bagian akhir ini penulis kemukakan keutamaan ilmu dan belajar. Hal ini penulis
menganggap penting karena yang terjadi dan dirasakan sampai sekarang perhatian dan
penghargaan masyarakat terhadap prestasi ahli ilmu dan orang yang berjuang mencari
ilmu belum maksimal, pemerintah belum secara serius dan menyeluruh melaksanakan
Undang-Undang yang mengamanatkan 20 % APBN/APBD untuk meningkatkan sumber
daya manusia melalui pendidikan.

Sedangkan Alquran jelas sekali menghargai orang-orang yang berilmu dan berjuang
dalam dunia pendidikan, seperti tercantum dalam QS. Al-Mujadilah :11 : "Niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di anatara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."

Sebuah nasihat Imam Al-Ghazaly (1995: 15) perlu kita renungkan dengan baik : "Wahai
orang-orang yang ingin terbebas dari segala mara bahaya dan yang ingin beribadah
dengan benar, kita harus membekali diri dengan ilmu . Sebab, beribadah tanpa bekal ilmu
adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan. Hendaknya kita
memusatkan perhatian dan pikiran hanya hanya untuk ibadah dan ilmu. Jika sudah
demikian, kita akan menjadi kuat dan berhasil . Karena berpikir selain untuk ibadah dan
ilmu adalah bathil dan sesat, hanya hanya aka menghancurkan dunia."
Menghadapi era millennium ke 3, penguasaan dan pengendalian iptek harus menjadi
pemikiran serius para pelaku pendidikan. Penguasaan iptek mutlak diperlukan mengingat
perkembangan global masyarakat modern tidak dapat dipisahkan dari iptek. Namun
demikian, upaya pengendalian dan pencegahan dampak negative iptek, juga harus
menjadi prioritas pendidikan mengingat nasihat Imam Al-Ghazaly di atas.

Kecenderungan realitas obyektif masyarakat modern yang di satu sisi terbius dengan
hedonisme, dan sangat mengagung-agungkan ilmu dan teknologi, namun mulai ada
kepercayaan dan ketergantungan kepada semangat spiritualitas agama. Melihat
perkembangan masyarakat modern yang semakin menghawatirkan (disatu sisi), namun
ada sisi menggembirakan, seperti dikemukakan Irfan Hielmy (1999: 106) ..banyak di
antara tokoh-tokoh di berbagai belahan dunia yang semakin menyadari pentingnya
kehadiran agama di tengah-tengah masyarakat, Gejala dan kecenderungan masyarakat
untuk kembali memaknai agama pun sudah semakin terlihat, bahkan John Naisbit dan
Patricia Aburdene, dua orang futurology Amerika Serikat memperkirakan akan terjadinya
kebangkitan agama pada millennium ketiga ini.

Jelaslah bahwa ilmu itu ibarat permata dan lebih utama dari ibadah. Namun demikian
tidak boleh meninggalkan ibadah, kita harus beribadah dengan disertai ilmu. Oleh karena
itu untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat kita harus memiliki keduanya, yakni ilmu
dan ibadah.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazaly, Terjemah Minhajul Abidin, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995

Al-Quran al-Karim

Arief, Armai, Reformasi Pendidikan Islam, Ciputat Press, 2007.

Bahreisy, Salim at.all, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid VI, Bina Ilmu, 1990.

Fahmi Basya, Sains Spiritual Quran, SSQ Center, 1427 H.

Irfan Hielmy, Masyarakat Madani Suatu Ikhtiar dalam Menyongsong Milenium Baru, PiP
Darussalam, 1999.

Irfan Hielmy, Pendekatan Keagamaan dalam Menyelesaikan Krisis Kemasyarakatan, PiP


Darussalam,1999.

Qardhawi, Yusuf, Alquran Berbicara Akal dan Ilmu Pengetahuan, Gema Insani Press,
Jakarta, 1998.

Syadid Muhammad, Manhaj Tarbiyah Metode Pembinaan dalam Alquran, Robbani Press,
Jakarta, 2003.

Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Grasindo, Jakarta, 2002. UU


No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas UUD 1945

Widodo, Sembodo Ardi, Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam, Nimas Multima,
2007.
Saya Didik Supriyanto setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di
Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri
dan sah (tidak ada copyright). .
CATATAN:

……………..Rabu, 30 Juni 2010


TUJUAN PENDIDIKAN BERDASAR AL QUR'AN
A. Pendahuluan
Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir sebagai penutup diantara para nabi yang menjadi utusan-
nya. Sebagai nabi ia diberi wahyu berupa al Qur’an. Al Qur’an adalah firman Allah sebagai petunjuk yang
diberikan kepada manusia kejalan yang lurus. ( Q.S. al-Isro’ 17/50:19)
Dengan demikian, al-Qur’an dijadikan panutan dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya mencakup
ajaran dogmatis, tetapi juga ilmu pengetahuan. (Hamdani Ihsan, 2001: 09)
Oleh karena itu banyak ungkapan dalam al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk melihat,
memperhatikan, berfikir, menganalisa, bekerja dan beramal. Dalam hal ini dapat difahami, karena al-
Qur’an enggan menerima orang-orang yang buta hatinya atau orang yang hanya ikut-ikutan saja. Al
Qur’an akan menerima orang yang senantiasa menggunakan akal sehatnya dan jauh dari segala macam
pengaruh. (Muhaimin, 2006: 16)
Allah mengemukakan bahwa tidaklah bisa disamakan antara orang yang tahu dengan orang yang tidak
tahu. Hal ini dijelaskan dalam Q.S Az Zumar: 9 yang berbunyi:
ِ ‫ُون إِ َّن َما َي َت َذ َّك ُر أُولُو اأْل َ ْل َبا‬
‫ب‬ َ ‫ُون َوالَّذ‬
َ ‫ِين الَ َيعْ لَم‬ َ ‫قُ ْل َه ْل َيسْ َت ِوي الَّذ‬
َ ‫ِين َيعْ لَم‬
...Katakalah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang -orang yang tidak mengetahui?”
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Dalam ayat yang lain , bahkan menjelaskan bahwa orang yang tahu (mempunyai pengetahuan)
mempunyai peranan yang besar dan derajat yang tinggi. Hal ini dijelaskan dalam Q.S.al-Mujadalah: 11,
yaitu:
‫ون َخ ِبي ٌر‬ ٍ ‫ِين أُو ُتوا ْالع ِْل َم َد َر َجا‬
َ ُ‫ت َوهَّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬ َ ‫َيرْ َف ِع هَّللا ُ الَّذ‬
َ ‫ِين َءا َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوالَّذ‬
...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Megetahui apa yang kamu kerjakan.
Dengan penjelasan tersebut, maka nampaklah bagi kita bahwa al-Qur’an sangat mengagungkan
kebebasan berfikir dan menghargai kekuatan akal. Namun persoalannya, dapatkah manusia berfikir dan
mempergunakan akal secara baik dan benar tanpa melalui proses. Untuk itulah diperlukan adanya satu
proses dalam kehidupan manusia yang disebut pendidikan.
Bersumber dari permasalahan-permasalahan diatas, makalah ini akan membahas dimanakah kedudukan
ilmu dalam Al Qur’an, dan proses pendidikan manusia karena tadi dijelaskan bahwa manusia akan bisa
menggunakan otaknya dengan baik melalui suatu proses, serta apakah tujuan pendidikan yang
sesungguhnya.
Dengan pembahasan tersebut diharapkan agar pembaca memahami kedudukan ilmu, proses pendidikan,
serta tujuan pendidikan manusia dalam hidup berdasarkan Al Qur’an

B. Pembahasan
1. Kedudukan Ilmu dalam Al- Qur’an
Ilmu ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis yang diperoleh melalui suatu penyelidikan yang
rasional dan empiris. Kebenaran hasil suatu penyelidikan atau penelitian yang rasional sudah barang
tentu mensyaratkan adanya kemampuan berfikir dan bernalar melalui akal yang sehat secara logis untuk
menetukan kesimpulan suatu kebenaran yang semuanya bersifat nisbi (sekarang aktual besok basi),
karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT, seperti ditegaskan dengan firman-Nya QS. Al-
Baqarah (2):147 sebagai berikut:
)147( ‫الحق من ربك فال تكونن من الممترن‬
Arti: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
ragu.
Dengan demikian, akal yang sehat menjadi syarat utama dapat memperolehnya. Irfan Hielmy
mengatakan: "Ilmu, dalam bahasa Inggris disebut science, artinya ilmu pengetahuan. Atau sering pula
disebut dengan istilah epistemology, yaitu part of philosophy which treats of the possibility, nature and
limits of human knowledge (bagian dari ilmu filsafat yang tersusun atas kemungkinan, alam dan batasan
pengetahuan manusia). Bagi manusia, ilmu berguna untuk merencanakan suatu aktivitas, mengontrol
atau mengevaluasinya, memprediksi suatu gejala, dan yang terpenting adalah untuk mengembangkan
teknologi, sehingga dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan seluruh umat manusia.
Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Alquran yang demikian tinggi menghargai
ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Ayat
Alquran yang pertama ke hati Rasulullah SAW menunjuk pada keutamaan ilmu pengetahuan, yaitu
dengan memerintahkan-Nya membaca, sebagai kunci ilmu pengetahuan, dan menyebut qalam, alat
transformasi ilmu pengetahuan. (Yusuf Qardhawi, 1998: 91)
Ditegaskan dalam QS.Al-Alaq : 1-5 sebagai berikut :
)3( ‫) اقرأوربك األكرم‬2( ‫) خلق اإلنسن من علق‬1( ‫اقرأباسمربك الذي خلق‬
)5( ‫) علم اإلنسن مالم سعلم‬4(‫الذي علم بالقلم‬
Arti: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari
segumpal darh. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam wahyu pertama di atas, Allah SWT memulai surat dengan memerintahkan untuk membaca yang
timbul dari sifat tahu, lalu menyebutkan penciptaan manusia secara khusus dan umum, menyebut
nikmat-Nya dengan mengajarkan manusia apa yang ia tidak ketahui. Hal itu menunjukkan akan
kemuliaan belajar dan ilmu pengetahuan.

2. Proses Pendidikan Manusia


Kata ‫ إقرأ‬pada ayat 1 dan 3 dari Q.S.al-‘Alaq ( 96/1 ) mempunyai arti perintah membaca. Kata ‫ إقرأ‬pada
ayat ketiga ini merupakan pengulangan dan penguat dari ayat pertama. Menurut Al Nisaburi,
sebagaimana yang dikutip M.Quraish Shihab (1997: 93) adalah sebagai berikut:
1. Perintah membaca yang pertama ditujukan kepada pribadi Muhammad Saw sedangkan yang kedua
kepada umatnya.
2. Yang pertama untuk membaca dalam salat, sedang yang kedua diluar salat.
3. Perintah pertama dimaksudkan sebagai perintah belajar untuk dirinya sendiri, sedang yang kedua
adalah perintah mengajar orang lain.
ُ
Kata ‫ إِ ْق َر ْأ‬yang berasal dari ُ ‫ َي ْق َرأ‬- َ‫ َق َرأ‬yang terdiri dari qaf, ra’ dan hamzah, berarti pengumpulan,
penghimpunan. (al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Juz V: 78-79)
Kalau kata ini diterjemahkan dengan bacalah, maka kata perintah ini mengandung aspek pendidikan ,
yaitu dengan adanya seseorang membaca, ia berarti menghimpun dan mengumpulkan ilmu
pengetahuan.
Dengan kata ‫قرأ‬ini pula menandakan bahwa sejak awal diturunkannya al-Qur’an telah memberikan
isyarat bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Perintah membaca pada wahyu pertama ini,
nantinya disusul dengan ayat demi ayat yang berjumlah 6.236 ayat yang sebagian besar mendorong
kepada ilmu pengetahuan. (Ahmad Tafsir, 2005: 8).
Hal ini memberikan indikasi kepada kita betapa pentingnya perintah membaca tersebut. Untuk bisa
membaca memerlukan belajar terlebih dahulu, sementara belajar itu sendiri merupakan bagian dari
pendidikan.
Kata َ‫ َق َرأ‬di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak tiga kali, yaitu dalam Q.S. al-A’la/96:1 dan 3, serta Q.S.
al-Isra’/17: 14, dan Q.S. al-Isra’/17:14 berbunyi:
‫اقرأ كتابك كفي بتفسك اليوم عليك حسيبا‬
Arti: Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.
Ada yang merasa heran mengapa pertama dari ayat tersebut adalah kata ‫ إِ ْق َر ْأ‬Atau perintah untuk
membaca. Padahal nabi Muhammad belum pernah membaca suatu kitab apapun sebelum turunnya al-
Qur’an. Hal ini sesuai dengan Q.S. al-Ankabut (29/85): 48
‫وما كنتا تتلو من قلبه من كتاب وال تخطه بيمنك إذا الرتاب المبطلون‬
Arti: Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak
(pernah) menulis sesuatu kitab dengan tangan kananmu; andai kata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).
Keheranan ini akan hilang jika seseorang tersebut menyadari arti dari iqra’ itu sendiri dan menyadari pula
bahwa perintah membaca itu juga untuk umat manusia seluruh alam dalam sejarah kemanusiaan. Sebab
al-Qur’an menjadi pedoman bagi umat manusia agar berbahagia dunia dan akhirat.
Kata bacalah dalam ayat pertama ini menunjukkan bahwa perintah tersebut dalam kategori mar takwini,
perintah atau titah Allah untuk menjadikan sesuatu. (Muhammad Abduh, 1999: 248)
Ayat pertama sesudah kata ‫ إِ ْق َر‬adalah kata ‫ بإسم‬yang berasal dari kata bi dan ism. Huruf bi biasanya
diterjemahkan dengan. Ada pendapat maksud dari bi ini antara lain:
1. Huruf ba’ ( ‫ ) ب‬yang dibaca bi tersebut adalah sisipan yang tidak menambah suatu makna tertentu
melainkan hanya sekedar memberi tekanan kepada perintah tersebut. Pendapat ini menjadikan kata ismi
( ‫ ) إسم‬sebagi obyek dari perintah iqra’ seperti yang dikemukakan di atas.
2. Huruf ba ( ‫ )ب‬tersebut mengandung arti pernyataan atau mulasabah sehingga ayat tersebut berarti
bacalah disertai dengan nama Tuhanmu. (M.Quraish Shihab.1997:80)
Dari dua pendapat tersebut penulis lebih cenderung pada point yang kedua sebab dalam membaca kita
harus selalu bersama nama Tuhan . Jadi mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Tuhan
mengantarkan si pelaku selalu karena Tuhan dan akan menghasilkan keabadian, karena Tuhan yang Kekal
Abadi, serta diiringi keikhlasan.
Kata ismi dari kata sama-yasmu berarti tinggi, (al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Juz III: 99), dan
juga dapat berarti tanda, (M. Quraish Shihab,1997).
Dalam bahasa Indonesia diartikan nama, sebab nama itu harus dijunjung tinggi dan sebagai tanda
sesuatu.
Kata rabb dari kata rabba terdiri dari huruf ra’, ba’, dan mu’tal berarti penambahan, pertumbuhan dan
peninggian, (Al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Juz II,T.TH.:483)
Ada yang mengatakan berarti meningkatkan, penambahan, pengembangan atau pertumbuhan. Kata
tersebut akhirnya mengacu pada arti pengembangan, peningkatan, ketinggian, dan perbaikan. Kata rabb
berarti pendidikan karena dari akar kata ‫تربية‬. Kata ‫ تربية‬yang berati menjadikan / mendirikan sesuatu
tahap demi tahap sampai taraf sempurna. (Ahmad Tafsir, 2005: 66)
Dapat pula berarti memelihara, atau memperbaiki. (Al Husayn Ahmad bin Faris bin Zkariya,Juz II, t.th: 18
– 19)
Maududi menjelaskan bahwa mendidik dan memelihara merupakan salah satu dari sekian banyak
makna implisit yang terkandung di dalam kata َّ‫( َرب‬Abdurrahman Saleh Abdullah. 1990: 18) Qurthubi
menyebutkan bahwa kata ini merupakan bentuk diskripsi yang diberikan kepada seseorang yang
melakukan suatu perbuatan secara paripurna.
Sementara Al-Razy membuat perbandingan antara Allah Yang Maha Mendidik yang mengetahui benar
kebutuhan-kebutuhan hambanya sebagai peserta didik, karena Allah adalah Sang Pencipta.
Pemeliharaan manusia terbatas kepada kelompok tertentu , sementara Allah adalah Rabb al-Alamin yang
universal dan tiada batas. Karena manusia berkomunikasi dan menitik beratkan pendidikan bagi manusia
yang ada di bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini, yang telah mengajarkan manusia di
muka bumu ini dengan nama-nama dari segala sesuatu yang ada. (Abdurrahman Saleh Abdullah 1990:
19)
Jadi pendidikan merupakan proses transformasi pengetahuan dari satu generasi, atau dari orang tua
kepada anaknya , atau dari seseorang pengajar kepada anak didiknya. (Ahmad Zaki, t.th: 1270)
Kata rabbuka dalam ayat ini berarti Tuhanmu , sebab Tuhanmulah yang mendidik, memelihara,
memperbaiki manusia. Itu semua pada hakekatnya adalah pengembangan, peningkatan, perbaikan,
meninggikan kemampuan yang menjadi obyek didik, yaitu manusia.
Kata ‫ َخلَ َق‬berarti memberi ukuran sesuatu dan menghaluskan sesuatu. (Al Husayn Ahamad bin Faris bin
Zakariya, Juz II,t.th.: 213). Kedua- duanya merujuk pada makna pemberian bentuk sesuatu yang
mengarah pada fisik dan pemolesan psikis manusia. Kata khalaqa dalam bahasa Indonesia biasa
diartiakan menciptakan. Yang dimaksud adalah menciptakan dari tiada, atau menciptakan tanpa satu
contoh terlebih dahulu. ( M.Quraish Shihab.1997: 86)
Kata ‫ اإلنسان‬diterjemahkan dengan manusia berarti keadaan sesuatu yang selalu tampak dan jinak. Untuk
makna yang pertama relevan dengan penampilan manusia yang dapat dilihat fisiknya yang berbeda jika
dilawankan dengan jin sebagai makhluk halus. Untuk makna yang kedua berkenaan dengan sifat
kejiwaan manusia seperti keramahan, kesenangan dan berpengetahuan. Selain kedua arti tersebut kata
‫ اإلنسان‬dari akar kata ‫( نسين‬nisyun) berarti lupa, ada pendapat dari ‫( نوس‬nawsun) berarti pergerakan dan
dinamika. Dengan demikian manusia itu tercakup adanya pisik psikis yang mempunyai sifat lupa, selalu
ingin bergerak maju dan dinamis.
Kata ‫ علق‬berarti sesuatu yang digantungkan pada sesuatu yang tinggi. Kata al’alaq dalam ayat ini
biasanya diartikan dengan darah yang beku. (al-Raghib Al-Ashfahani,1992:579), maka dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan segumpal darah. Kemudian membekalinya dengan ilmu pengetahuan
biasa mengolah bumi serta menguasai apa yang ada padanya untuk kepentingan umat manusia. Untuk
memperoleh ilmu pengetahuan ada ketergantungan dari pihak luar atau orang lain, yaitu pendidik.
Kata ‫ إقرأ‬yang kedua dalam ayat ke tiga menunjukan adanya perintah membaca yang berulang-ulang, apa
lagi jika dihubungkan dengan prolog turunnya ayat-ayat ini akan nampak jelas bahwa membaca itu harus
berulang-ulang. Didalam prolog turunnya ayat-ayat ini Rasullullah disuruh membaca sampai tiga kali dan
dalam ayat-ayatnya ada dua kali sehingga berjumlah lima kali perintah membaca
Kata ‫ إقرأ‬lebih terasa kandungan pendidikannya, jika dihubungkan dengan kalimat ‫ وربك األكرم‬kata ‫رب‬
pada dasarnya bermakna pendidikan sudah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya kata ‫ رب‬disifati dengan
kata ‫ أكرم‬. Kata ini asalnya terdiri dari huruf kaf, ra’ dan mim, yang berarti mulia pada sesuatu pada
dirinya atau mulia pada akhlak. (al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, 1979, Juz V: 171-172).
Menurut M.Quraish Shihab (1992 b:27) bahwa ‫ كرم‬mempunyai arti, antara lain: memberikan dengan
mudah tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, dan kebangsawanan. Namun apabila kata
ini disifatkan kepada Allah, maka ia berarti nama yang dilekatkan karena kebaikan-Nya dan kemaha
murahan-Nya yang tampak (Q.S.27/48:40).
Kata ‫ أكرم‬dalam ayat ini dalam bentuk ism tafdhil mengandung pengertian bahwa Allah
menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi segala hamba-Nya, khususnya dalam perintah
membaca. Di samping itu pula dapat bermakana bahwa Allah lebih tinggi dari segala kemuliaan dengan
pengertian bahwa Allah dalam memberi tidak mengharapkan manfaat, pujian ganjaran, atau menolak
bahaya. (Al- Fakhr al-Razi, t.th.:16)
Al-Qurthubi menyatakan bahwa penyifatan Tuhan dengan ‫ أكرم‬mengandung arti kemahabijaksanaan
Tuhan akan ketidaktahuan hamba-Nya, maka Dia tergesa-gesa dalam menyiksanya. (al-Qurthubi,
t.th:7209)
Sedangkan Sayyid Quthub berpendapat bahwa penyifatan Tuhan di sini menunjukkan kemahakuasaan
Tuhan, apabila dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan Tuhan menumbuhkan dari hal- hal
yang kecil dan sderhana ke bentuk mulia. Jadi kemahamurahan Tuhan disini nampak pada perubahan
segumpal darah ke derajat manusia.
Dengan demikian , dari kedua pendapat diatas , dapat disimpulkan bahwa terlihat perbedaan antara
perintah membaca pada ayat yang pertama dan perintah membaca pada ayat yang ketiga dari Q.S.96/1
al-‘Alaq. Pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca yaitu membaca
demi Allah; sementara perintah kedua menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan tersebut,
yaitu Allah akan menganugerahkan kepdanya ilmu pengetahuan , dan wawasan baru.
Hal ini menunjukkan apa yang dijanjikan Allah terbukti secara sangat jelas dalam membaca ayat al-
Quran, yaitu penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan-pengembangan dari pendapat - pendapat
yang telah pernah ada. Begitu pula terbuktinya dengan sangat jelas dalam “pembacaan” alam raya ini
dengan bermunculannya penemuan-penemuan baru mebuka rahasia-rahasia alam, dan orang yang
banyak membaca itu hidup akan mulia.
3. Tujuan Pendidikan
Salah satu bentuk kalam Allah adalah apa yang dikandung dalam Q.S. al-Alaq (96/1):4 ‫الذ علم بالقل‬ayat
tersebut mensifati Tuhan Yang Maha Pemurah. Dengan demikian rangkaiannya menerangkan sebagian
bentuk atau cara Tuhan melimpahkan kemurahan-Nya. Dalam memberikan kemurahan kepada hamban-
Nya, maka Dia harus mengajarkan kepada mereka, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan
adalah pendidik.
Dalam Q.S. al-Alaq (96/1): 4 tersebut menggambarkan bahwa Allah mengajarkan manusia dengan
perantaraan ‫ قلم‬. Kata ‫ قلم‬biasanya diartikan dengan pena. Kata ‫ قلم‬baik dalam bentuk tunggal maupun
jamak digunakan oleh al-Qur’an dalam arti alat, baik untuk menulis maupun untuk mengundi. Dari arti ‫قلم‬
pada ayat ini adalah hasil dari penggunaan alat tersebut, yakni tulisan, sebab pena adalah alat untuk
menulis. Dalam artian bahwa kata yang digunakan berarti alat ‫قلم‬, tetapi yang dimaksudkan adalah hasil
penggunaan alat tersebut yakni tulisan, Pengertian ini menggambarkan bagaimana terjadinya
pengajaran dari pendidik kepada obyek didik melalui pena.
Pemilihan kata ‫ قلم‬sebagai pengganti kata ‫ كتابة‬berarti tulisan, menggambarkan betapa pentingnya
peranan alat tulis bagi umat manusia, baik alat itu yang berbentuk sederhana seperti pensil maupunn
yang canggih seperti komputer dan alat percetakan, yang kesemuanya harus berperan untuk
mencerdaskan umat manusia. Keterangan tersebut dapat difahami bahwa ayat keempat dari ayat ini
menjelaskan peranan pena dalam Pendidikan. Namun tidak dijelaskan siapa yang diajar dan apa yang
diajarkan.
َ ‫ َعلَّ َم اإْل ِ ْن َس‬Ayat
Jawaban dari pertanyaan diatas dapat dilihat pada ayat kelima, yang berbunyi : ‫ان َما لَ ْم َيعْ لَ ْم‬
ini menerangkan bahwa Tuhanlah yang mengajarkan ilmu kepada manusia tentang apa yang tidak
diketahuinya. Ini berarti bahwa sumber ilmu manusia ialah Allah sendiri.
Kalimat ‫ ما لم يعلم‬dapat pula memberikan pengertian tentang tujuan pendidikan yang dilihat dari dua
aspek pendidikan (Umar Syihab, 1990: 93-94).
Pertama adanya perubahan dalam diri seseorang atau masyarakat menjadi tahu, dengan adanya hal-hal
atau informasi-informasi yang disampaikan kepada seseorang atau masyarakat tersebut. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan pada diri seseorang dan masyarakat. Kedua adalah menggali
potensi yang terdapat dalam diri manusia. Lewat pendidikan, potensi dalam diri manusia dapat digali
secara cermat. Potensi manusia dapat berupa intelegensia, kreatifitas, kepribadian dan lain-lain potensi
yang dimilikinya. Dengan demikian aspek pendidikan terdiri dari aspek eksternal dan aspek internal.
Tujuan pertama dapat berarti bahwa pendidikan merupakan pewarisan budaya, sementara tujuan kedua
pendidikan berarti pengembangan potensi. Dari sini tercermin bagi kita bahwa apa yang belum
diketahui, tidak hanya berarti bahwa manusia tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, tetapi dalam
diri manusia terdapat potensi-potensi yang perlu digali dan diaktualisasikan, agar dapat berguna bagi
dirinya, agamanya dan masyarakatnya, baik untuk duniawi ataupun akhirat.

)3( ‫) اقرأوربك األكرم‬2( ‫) خلق اإلنسن من علق‬1( ‫اقرأباسمربك الذي خلق‬


)5( ‫) علم اإلنسن مالم سعلم‬4(‫الذي علم بالقلم‬
Dari ayat tersebut diatas dapat diketahui bahwa, sejak turunnya awal wahyu manusia terdokma jiwa
tauhid dan berilmu pengetahuan. Hidup manusia selain bertauhid termasuk berilmu pengetahuan

C. Kesimpulan
Ilmu adalah pengetahuan yang disusun secara sistematis melalui suatu penyelidikan yang rasional dan
empiris. Dan pada manusia ilmu berguna untuk perencanaan suatu aktifitas atau untuk memprediksi
suatu gejala dan yang paling penting bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Ilmu dalam Al-Qur’an
sebagai pembuka suatu pengetahuan yang belum diketahui. Serta di dalam Al-Qur’an juaga menjelaskan
kemuliaan belajar dan ilmu pengetahuan.
Lima ayat yang turun pertama kali ini menjelaskan pentingnya pendidikan. Pendidikan itu sangat penting
bagi umat manusia, sehingga perlu jenjang pendidikan yang berkelanjutan dan perlu diulang-ulang.
Mermbaca dan menulis dua komponen yang melahirkan proses pendidikan. Melalui bacaan manusia
memperoleh ilmu pengetahuan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Tujuan pendidikan untuk mengadakan perubahan dalam diri manusia, dan menggali potensi-potensi
yang dimiliki oleh manusia, pertama merupakan pewarisan budaya dan yang ke dua pengembangan
potensi oleh manusia agar dapat diaktualisasikan sehingga menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi
manusia. Karena manusia hidup selain harus bertauhid juga harus berilmu pengetahuan karena
keduanya saling berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ihsan, Hamdani. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. CV. Pustaka Setia: Bandung

Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Qardhawi, Yusuf. 1998. Pendidikan Islam. http://emperordeva.wordpress.com

Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. PT. Resmada Rosdakarya: Bandung

http://www.wikipedia.com

http://www.bing.im
………………….

Kajian Tentang Ayat-Ayat Pendidikan
Posted on //%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%
%
%

%%
%

%%
%

%
%

%
%

%
%

%
%

%%
%

%%
%

%
%

%
%

%
%

%
%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%23
May 2009 by Miftah

TAFSIR AL QUR’AN: Kajian tentang Ayat-Ayat Pendidikan

I. Tujuan Pendidikan Islam

A. Surah al-Baqarah (1-5)

1. Alif laam miim.2. Kitab (al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi rnereka yang
bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebagian rezki, yang Kami anugerahkan kepada mereka, 4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al
Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu; serta
mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.5. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari
Rabb-nya, dan rnerekalah orang-orang yang beruntung.

Alif, Lam, miim, ayat yang cukup singkat, tetapi sangat dalam maknanya, hanya Allah yang tahu
rahasianya. Sudah cukup lama para ulama al-Qur’an berbeda pendapat. Allahu A’lam, hanya Allah yang
mengetahui, itulah jawaban yang dikemukakan oleh para ulama abad pertama hingga abad ketiga.
Tampaknya jawaban Allabu A’lam yakni Allah lebih mengetahui masih diangap jawaban yang relevan
sampai saat ini, meskipun demikian jawaban itu masih dianggap kurang memuaskan.Pada ayat ini
menggunakan isyarat jauh untuk menunjuk al-Qur’an. Semua ayat yang menunjuk kepada firman-firman
Allah dengan nama al-Qur’an (bukan al-Kitab) yang mengarah pada isyarat dekat “hadzal Qur’an”.
Penggunaan isyarat jauh ini bertujuan memberi kesan bahwa kitab suci ini berada dalam kedudukan
tinggi dan sangat jauh dari jangkauan makhluk, karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi Maha
Bijaksana, sedang penggunaan kata “hadza ini” untuk menunjukkan betapa dekat tuntunan-tuntunannya
pada fitrah manusia.Dalam hal ini pula yang dimaksud dengan orang-orang bertakwa adalah orang yang
mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima petunjuk atau yang telah mendapatkannya tetapi masih
mengharapkan kelebihan, karena petunjuk Allah tidak terbatas. Dalam al-Qur’an disebutkan

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal
saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebib baik kesudahannya”. (QS. 99:76)

Pada Ayat ke-3 dari surah al-Baqarah ini mengisyaratkan bahwa yang bertaqwa hendaknya mengimani
yang ghaib, mendirikan shalat, serta menafkahkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkan-
Nya.Yuqinun atau yakin adalah pengetahuan yang mantap tentang sesuatu dibarengi dengan
tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan itu, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang
dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah tidak dinamai mencapai tingkat yakin, karena
pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesat atau sedikitpun
disentuh oleh keraguan. Berbeda dengan manusia yang yakin. Sebelum tiba keyakinannya, ia terlebih
dahulu disentuh oleh keraguan, namun ketika ia sampai pada tahap yakin, maka keraguan yang tadinya
ada langsung sirna.Mereka itulah orang-orang yang sungguh jauh dan tinggi kedudukannya berada di
atas yakni memperoleh dengan mantap petunjuk dari Tuhan Pembimbing mereka dan mereka itulah
orang beruntung “muflihun” memperoleh apa yang mereka dambakan.Dari hal diatas dapat dipahami
bahwa surah al-baqarah ayat 1-5 ini sangat dalam pesan moralnya, dimana kalaulah dikaitkan dengan
tujuan pendidikan itu sendiri dapat penulis simpulkan sebagai berikut:1. Menambah ketaqwaan manusia
pada Allah2. Agar manusia mempercayai akan keberadaan Allah3. mewujudkan manusia yang banyak
beramal shaleh4. Mewujudkan manusia yang percaya akan hari akhir5. Mewujudkan kesuksesan dalam
hidup.

B. Surah A1i lmran: 138-139

138. (al Qur an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-
orang yang bertagwa.139. Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (Pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang-orang yang paling tingi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

Pada ayat 138 dalam surah Ali Imran ini mengandung pesan-pesan yang sangat jelas, bahwa al-Qur’an
secara keseluruhan adalah penerangan yang memberi keterangan dan menghilangkan kesangsian serta
keraguan bagi manusia, atau dengan kata lain ayat ini memberikan informasi tentang keutamaan al-
Qur’an yang mengungkap adanya hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Kitab tersebut
berfungsi mengubah masyarakat dan mengeluarkan anggotanya dari kegelapan menuju terang
benderang dari kehidupan negative menuju kehidupan positif. Al-Qur’an memang adalah penerangan
bagi seluruh manusia, petunjuk, serta peringatan bagi orang-orang yang bertaqwa.Pernyataan Allah ini
adalah penjelasan bagi manusia, juga mengandung makna bahwa Allah tidak menjatuhkan sanksi
sebelum manusia mengetahui sanksi tersebut. Dia tidak menyiksa manusia secara mendadak, karena ini
adalah petunjuk, lagi peringatan.Pada ayat 139 ini membicarakan tentang kelompok pada perang uhud.
Pada perang uhud mereka tidak meraih kemenangan bahkan menderita luka dan poembunuhan, dan
dalam perang badar mereka dengan gemilang meraih kemenangan dan berhasil melawan dan
membunuh sekian banyak lawan mereka, maka itu merupakan bagian dari sunnatullah. Namun
demikian, apa yang mereka alami dalam perang uhud tidak perlu menjadikan mereka berputus asa.
Karena itu, janganlah kamu melemah menghadapi musuhmu dan musuh Allah, kuatkan jasmanimu dan
janganlah (pula) kamu bersedih akibat dari apa yang kamu alami dalam perang uhud, atau peristiwa lain
yang seupa, kuatkanlah mentalmu. Mengapa kamu lemah atau bersedih padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya) di sisi Allah, di dunia dan di akherat. Di dunia kamu memperjuangkan
agama Allah itulah sebuah kebenaran, di akherat kamu mendapatkan surga Allah. Ini jika kamu orang-
orang mukmin, yakni benar-benar keimanan telah mantap dalam hatimu.Bila kita kaitkan dengan tujuan
dari pendidikan itu sendiri dapat kita ketahui sebagai berikut1. Mewujudkan bimbingan pada manusia
agar tidak binasa dengan hukum-hukum alam 2. Mewujudkan kebahagiaan pada hambanya 3.
menjadikan manusia yang intelek dan mempunyai derajat yang tinggi

c. Surah al-Fath: 29

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-
orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam lnjil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan
hati orang-orang kafir (dengan orang-orang mu’min).Allab menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan menegakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pabala yang besar”. (QS.
48:29)

Pada ayat ini Allah menjelaskan sifat dan sikap Nabi Muhammad SAW beserta pengikut-pengikut beliau.
Allah berfirman: Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang diutusnya membawa rahmat bagi seluruh
alam dan orang-orang yang bersama dengannya yakni sahabat-sahabat Nabi serta pengikut-pengikut
setia beliau adalah orang-orang yang bersikap keras yakni tegas tidak berbasa-basi yang mengorbankan
akidahnya terhadap orang-orang kafir. Walau mereka memiliki sikap tegas itu namun mereka berkasih
sayang antar sesama mereka. Mereka juga ruku’ dan sujud dengan tulus ikhlas karena Allah, senantiasa
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya yang agung.. demikian itulah sifat-sifat yang agung dan luhur
serta tinggi. Demikian itulah keadaan orang mukmin pengikut Nabi Muhammad SAW. Allah menjanjikan
untuk orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh di antara mereka yang
bersama Nabi serta siapapun yang mengikuti cara hidup mereka dapat mencapai kesempurnaan atau
luput dari kesalahan atau dosa.Kalimat asyidda’u ‘ala al-kuffar sering kali dijadikan oleh sementara orang
sebagai bukti keharusan bersikap keras terhadap non muslim. Kalaupun dipahami sebagai sikap keras,
maka itu dalam konteks peperangan dan penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama. Ini serupa
dengan firman-Nya
“… dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat …..” (QS. 24:2)Dari hal diatas dapat kita ketahui makna
yang terkandung dari ayat diatas sbagai berikut1. Mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih saying sesama
manusia2. Mewujudkan seorang hamba yang ahli sujud dan taubat3. Mewujudkan manusia yang selalu
menyenangkan orang lain

d Surah al-Hajj: 41″(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi,
niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan Zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan “. (QS. 22:47)

Ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang yang diberikan kemenangan dan Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi; yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam
keadaan mereka yang merdeka niscaya mereka melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat, dan
sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadarnya. Serta mereka menyuruh
anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari yang munkar.Ayat di atas
mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di manapun, dan
yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau.Al-
Qur’an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dalam surah Ali Imran, ayat 104 yang
berbunyi

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS
3:104)

Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai berikut1. Mewujudkan seorang yang selalu menegakkan
kebenaran dan mencegah kemunkaran2. Mewujudkan manusia yang selalu bertawaqqal pada Allah.

e. Surah adz-Dzariyat: 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(QS. 59:50)

Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan
yang di kandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak
melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya. Di sini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya
semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata
tanpa memheri kesan adanya keterlibatan selain Allah S WT.Didahulukannya penyebutan kata al jin/jin
dari kata al-ins/manusia karena jin lebih dahulu diciptakan Allah dari pada manusia.Kaitannya dengan
tujuan pendidikan itu sendiri dapat kita pahami sebagai berikut:Pertama, kemantapan makna
penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan. Tidak ada dalam wujud ini kecuali satu Tuhan
dan selain-Nya adalah hamba-hamba-Nya.Kedua, Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada
nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup. Semuanya mengarah hanya kepada
Allah secara tulus. Dengan demikian, terlaksanalah makna ibadah.

f. Surah .Hud: 61″Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata “Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia Dia telah meciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohanlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat (rahmat Nya) lagi memperkenankan (do’a hamba Nya)”.
(QS. 11:61)
Setelah selesai kisah Ad kini giliran kisah suku Tsamud. Tsamud juga merupakan satu suku terbesar yang
telah punah. Mereka adalah keturunan Tsamud Ibnu Jatsar, Ibnu Iram Ibnu Sam, Ibnu Nuh. Dengan
demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Ad pada kakek yang sama yaitu Imran.Kaum
Tsamud pada mulanya menarik pelajaran berharga dari pengalaman buruk kaum Ad, karena itu mereka
beriman kepada Allah SWT. Pada masa itulah, merekapun berhasil membangun peradaban yang cukup
megah, tetapi keberhasilan itu menjadikan mereka lengah sehingga mereka kembali menyembah
berhala serupa dengan berhala yang disembah kaum Ad. Ketika itulah Allah mengutus Nabi Shaleh as
mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah tetapi tuntunan dan peringatan beliau tidak
disambut baik oleh mayoritas kaum Tsamud.Ayat ini mengandung perintah yang jelas kepada manusia –
langsung maupun tidak langsung– untuk membangun bumi dalam kedudukannya sebagai khalifah,
sekaligus menjadi alasan mengapa manusia harus menyembah Allah SWT semata-mata.Kaitannya
dengan tujuan pendidikan sebagai berikut:1. Mewujudkan seorang hamba yang shaleh2. Mewujudkan
akan keesaan Tuhan3. Mewujudkan manusia yang ahli do’a4. Menunjukkan akan luasnya ilmu Tuhan

II. Subjek Pendidikan

a. Ar-Rahman: 1-4(Rabb) Yang Maha Pemurah, (QS. 55:1)Yang telab mengajarkan al Qur’an. (QS.
55:2)Dia menciptakan manusia, (QS. 55:3)Mengajarnya pandai berbicara (QS. 55:4)

Al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW dengan lafal dan maknanya yang beribadah siapa yang membacanya, menjadi bukti kebenaran
mukjizat Nabi Muhammad SAW. Kata al-Qur’an dapat dipahami sebagai keseluruhan ayat-ayatnya yang
enam ribu lebih itu, dan dapat juga digunakan untuk menunjuk walau satu ayat saja bagian dari satu
ayat. Kata al-Insan disini mencakup semua jenis manusia, sejak Adam as. Hingga akhir zaman. AI-Bayan
berarti jelas. Namun ia tidak terbatas pada ucapan, tetapi mencakup segala bentuk ekspresi, termasuk
seni dan raut muka.Dimulainya surah ini dengan kata ar-Rahman bertujuan mengundang rasa ingin tahu
mereka dengan harapan akan tergugah untuk mengakui nikmat-nikmat dan beriman kepada Allah.Allah
ar-Rahman yang mengajarkan al-Qur’an itu ialah yang menciptakan manusia, makhluk yang paling
membutuhkan tuntunannya.

b. Surah an Nahl: 43-44

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,
(QS. 16:43)keteraqan-keterangan (mujizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya meraka
memikirkan, (QS. 16:44)

Pada ayat ini diuraikan kesesatan pandangan kaum musyrikin menyangkut kerasulan Nabi Muhammad
SAW. Dalam penolakan terhadap apa yang diturunkan Allah SWT mereka selalu berkata bahwa manusia
tidak wajar menjadi rasul atau utusan Allah, atau paling tidak ia harus disertai oleh malaikat. Nah, ayat
ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan di
manapun kecuali orang-orang lelaki yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu
kepada mereka antara lain melalui malaikat Jibril. Maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu
bertanyalah kepada ahl dzikr yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.Kata
ahl dzikr pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama dalam arti para pemuka Yahudi dan Nasrani. Mereka
adalah orang-orang yang dapat memberi infonnasi tentang kemanusiaan para rasul yang diutus Allah.
Mereka wajar ditanyai karena mereka tidak dapat dituduh berpihak pada informasi al-Qur’an sebab
mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya, kendati demikian persoalan kemanusiaan para rasul,
mereka akui. Ada juga yang memahami istilah ini dalam arti sejarawan, baik muslim ataupun non
muslim.Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan, serta siapa
yang ditanya tertentu pula, namun karena redaksinya yang bersifat umum, maka ia dapat dipahami pula
sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui atau diragukan kebenarannya kepada siapapun
yang tahu dan tidak tertuduh objektivitasnya.Ayat di atas mengubah redaksinya dari persona ketiga
menjadi persona kedua yang ditujukan langsung kepada mitra bicara, dalam hal ini adalah Nabi
Muhammad SAW. Agaknya hal ini mengisyaratkan penghormatan kepada beliau dan bahwa beliau
termasuk dalam kelompok rasul-rasul yang diutus Allah, bahkan kedudukan beliau tidak
kurang.Penyebutan anugerah Allah kepada Nabi Muhammad secara khusus dan bahwa yang
dianugerahkan-Nya itu adalah adz-dzikr mengesankan perbedaan kedudukan beliau dengan para nabi
dan para rasul sebelumnya. Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak seorang nabipun
kecuali telah dianugerahkan Allah apa (bukti-bukti indrawi) yang menjadikan manusia percaya padanya.
Dan sesungguhnya aku dianugerahi wahyu (al-Qur’an) yang bersifat immaterial dan kekal sepanjang
masa, maka aku mengharap menjadi yang paling banyak pengikutnya di hari kemudian”.
(HR.Bukhori).Ayat ini juga menugaskan Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan al-Qur’an. Bayan atau
penjelasan Nabi Muhammad itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Memang as-Sunah
mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan
hokum syara’. Ada dua fungsi penjelasan Nabi Muhammad dalam kaitannya dengan al-Qur’an yaitu
Bayan Ta’kid dan Bayan Tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa
yang terdapat dalam Al-Qur’an, sedang yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi
pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an.

c. Surah al-Kahf: 66Musa berkata kepada Khidhr “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” (QS. 18: 66)

Dalam pertemuan kedua tokoh pada ayat ini diceritakan Nabi Musa yang terkesan banyak menanyakan
sesuatu kepada salah satu hamba Allah yang memiliki ilmu khusus. Sementara jawaban dari orang
tersebut menyatakan bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup untuk sabar bersamanya. Dan bagaimana
Nabi Musa dapat sabar atas sesuatu, sementara ia belum menjangkau secara menyeluruh
beritanya.Ucapan hamba Allah ini, memberi isyarat bahwa seorang pendidik hendaknya menuntun anak
didiknya dan rnemberi tahu kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam menuntut ilmu, bahkan
mengarahkannya untuk tidak mempelajari sesuatu jika sang pendidik mengetahui bahwa potensi anak
didiknya tidak sesuai dengan bidang ilmu yang akan dipelajarinya.

III. Objek Pendidikan

a Surah asy-Syu’ara: 214“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” QS. 26: 214)

Ketika ayat ini turun, Rasul SAW naik ke puncak bukit Shafa, di Mekah, lalu menyeru keluarga dekat
beliau dari keluarga besar ‘Ady dan Fihr yang berinduk pada suku Quraisy. Semua keluarga hadir atau
mengirim utusan. Abu Lahab pun datang, Ialu Nabi SAW bersabda: “bagaimana pendapat kalian, jika aku
berkata bahwa:di belakang lembah ini ada pasukan berkuda bermaksud menyerang kalian, apakah kalian
mempercayai aku?” mereka berkata: “Ya, kami belum pernah mendapatkan darimu kecuali kebenaran”.
Lalu Nabi bersabda: “Aku menyampaikan kepada kamu semua sebuah peringatan, bahwa di hadapan
sana (masa datang) ada siksa yang pedih”. Abu Lahab yang mendengar sabda beliau itu, berteriak kepada
Nabi SAW berkata: “celakalah engkau sepanjang hari, apakah untuk maksud itu engkau mengumpulkan
kami?” Maka turunlah surah Tabbat Yada Abi Lahab” (HR.Bukhori, Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui
Ibn Abbas).Demikianlah ayat ini mengajarkan kepada rasul SAW dan umatnya agar tidak pilih kasih, atau
memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti Nabi Muhammad
SAW dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak
memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada rasul SAW, karena semua adalah hamba Allah, tidak
ada perbedaan antara keluarga atau orang lain. Bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu
disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada Allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta
akhlak yang mulia.

b. Surah an Nisa: 170Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu
dengan (membawa) kebenaran dan Rabbmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan
jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan .Allah sedikitpun) karena sesunguhnya apa di langit
dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS 4:
170)

Rasul SAW telah membawa kebenaran dari Allah sambil membuktikan keliruan bahkan kesesatan
pandangan ahl kitab, kini menjadi sangat wajar menyampaikan ajakan kepada seluruh manusia bukan
hanya ahl kitab: wahai seluruh manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu rasul yakni
Muhammad SAW, dengan membawa tuntunan al-Qur’an dan syari’at yang mengandung kebenaran dari
Tuhan Pembimbing dan Pemelihara kamu, maka karena itu berimanlah dengan iman yang benar. Itulah,
yakni keimanan itu yang baik bagimu. Dan jika kamu terus menerus kafir, maka kekafiran itu tidak
merugikan Allah sedikitpun, tidak juga mengurangi kekuasaan dan kepemilikan-Nya, karena
sesurgguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah di bawah kendali-Nya.Kehadiran
rasul yang dinyatakan dating kepadamu, serta pernyataan bahwa yang beliau bawa adalah tuntunan dari
Tuhan pembimbing dan pemelihara kamu dimaksudkan sebagai rangsangan kepada mitra bicara, agar
menerima siapa yang datang dan menerima apa yang di bawanya.

IV. Kewajiban Belajar Mengajar

a Surah al-Ankabut: 19-20

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian mengulanginya (kembali).Sesungguhnya.yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. 29:
99)Katakanlah: “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan
(manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya.Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu (QS 29: 20)

Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “Dia Yang menciptakan segala sesuatu pertama kali
dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengadung arti bahwa Allah ada sebelum sesuatu itu ada. Dia yang
mencipta dari tiada, maka wujudlah segala sesuatu yang dikehendaki-Nya.Allah yang pertama kali
mewujudkan sesuatu kalau bukan Dia siapa lagi yang mewujudkankannya? Sebagaimana firman-Nya:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)
(QS. 52:35)

Begitu antara lain al-Qur’an membuktikan wujud Allah dan sifat-Nya sebagai Mubdi’.Sebenarnya
menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan kembali. Keduanya adalah
memberi wujud kepada sesuatu. Kalau pada penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan
ternyata dapat wujud, maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia tentu
lebih mudah serta lebih logis dari pada penciptaan pertama itu.Kaum musyrikin terheran mendengar
pernyataan al-Qur’an bahwa setelah kematian mereka akan dihidupkan lagi:

Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur,
apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru” (QS. 17:49)

Al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad SAW menjawab mereka:

Katakanlah: “Jadilah kamu sekalian batu atau besi, (QS. 17:50)atau suatu makhluk dari makhluk yang
tidak mungkin (hidup) menurut pikiranmu”. Maka mereka akan bertanya “Siapa yang akan
menghidupkan kami kembali”. Katakanlah: “Yang telah menciptakan kamu pada kali yang pertama”. Lalu
mereka akan menggelenggelengkan kepala mereka kepadamu dan berkata: “Kapan (akan
terjadi)”Katakanlah: “Mudah-mudahan waktu berbangkit itu dekat”. (QS. 17:51)

Dari ayat tersebut di atas (al-Ankabut: 20) memerintahkan untuk melakukan perjalanan, dengannya
seseorang akan menemukan banyak pelajaran berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan
beraneka ragam, maupun dari peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya. Pandangan kepada
hal-hal itu akan mengantarkan seseorang yang menggunakan akalnya untuk sampai kepada kesimpulan
bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, dan bahwa di balik peristiwa dan ciptaan itu, wujud satu
kekuatan dan kekuasaan Yang Maha Besar lagi Maha Esa yaitu Allah SWT:

V. Metode Pendidikana Surah al-Maidah: 67

Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu hendak menyampatkan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dan
gangguan) manusia Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS. 5:
67)

Ar-Razi berpendapat, bahwa ayat ini merupakan janji Allah kepada nabi-Nya Muhammad SAW bahwa
beliau akan dipelihara Allah dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena ayat-
ayat yang mendahuluinya demikian juga sesudahnya berbicara tentang mereka.Thahir ibn Asyur
menambahkan bahwa ayat ini mengingatkan rasul agar menyampaikan ajaran agama kepada ahl kitab
tanpa menghiraukan kritik dan ancaman mereka, apalagi teguran-teguran pada ayat-ayat yang lalu
merupakan teguran yang keras. Teguran keras ini pada hakikatnya tidak sejalan dengan sifat nabi yang
cenderung memilih sikap lembut, bermujadalah dengan yang terbaik. Tetapi di sini Allah memerintahkan
bersikap lebih tegas menerapkan pengecualian yang diperintahkan-Nya pada Qur’an surah an-Nisa ayat
148:

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 4: 148)

b. Surah al A’raf: 176-177

Dan kalau Kami menghendaki; sesungguhnya Kami tingikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan bawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan
lidahnya juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami Maka
ceritakanlan (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir (QS. 7:176)Amat buruklah
perummpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah
mereka berbuat zalim. (QS. 7:177)
Ayat ini menguraikan keadaan siapapun yang melepaskan diri dari pengetahuan yang telah dimilikinya.
Allah SWT menyatakan bahwa sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami menyucikan jiwanya dan
meninggikan derajatnya dengannya yakni melalui pengamalannya terhadap ayat-ayat itu, tetapi dia
mengekal yakni cenderung menetap terus menerus di dunia menikmati gemerlapnya serta merasa
bahagia dan tenang menghadapinya dan menurutkan dengan antusias hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya adalah seperti anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.

VI. Evaluasi Pendidikan

a. Surah al-Baqarah: 184

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertextu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblab baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya jika mereka tidak berpuasa),
membayar fidyab, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebib baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetabui. (QS. 2: 184)

REFERENSI

Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2001)

_______________, Tafsir al-Qur-an al-Karim ( Bandung: : Pustaka Hidayah, 1997)

Departemen agama, al-Qur’an dan Tafsirnya ( Jakarta: Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990)

Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992)

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi ( Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974)

.........................

Pesantren sebagai Basis Penyebaran Ajaran Agama Islam

Abied

1 March 2011 1 comment

A. Pengertian Pesantren

1. Menurut Bahasa

Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata yaitu “ Sa” dan “Tra” San
yang berarti orang yang berperilaku yang baik, an tra berarti seseorang yang berperilaku yang baik dan
tra berarti suka menolong.[1]

Selanjutnya kata pesantren berasal dari kata dasar “santri” yang mendapat awalan pe dan akhiran an
yang berarti tempat tinggal para santri.[2] Begitu pula pesantren sebuah kompleks yang mana umumnya
terpisah dari kehidupan sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri beberapa bangunan rumah kediaman
pengasuh. Dapat pula dikatakan pesantren adalah kata santri yaitu orang yang belajar agama Islam.[3]

1. 2. Menurut Istilah

Bila mendengar makna pesantren itu sendiri, maka orientasi secara spontanitas tertuju kepada lembaga
pendidikan Islam yang diasuh oleh para kyai atau ulama dengan mengutamakan pendidikan agama
dibanding dengan pendidikan umum lainnya.

Dalam hubungan dengan pondok pesantren, Drs. Abu Ahmadi memberikan definisi sebagai berikut:

“Pesantren adalah suatu sekolah bersama untuk mempelajari Ilmu agama, kadang-kadang lembaga
demikian ini mencakup ruang gerak yang luas sekali dan mata pelajaran yang dapat diberikan dan
meliputi hadits, ilmu kalam, fiqhi dan ilmu tasawuf.”[4]

Menurut fungsinya, pesantren di samping sebagai pendidikan Islam, sekaligus merupakan penolong bagi
masyarakat dan tetap mendapat kepercayaan di mata masyarakat. Jadi pesantren yang dimaksud dalam
hal ini suatu lembaga pendidikan Islam yang didirikan di tengah-tengah masyarakat, yang di dalamnya
terdiri dari pengasuh atau pendidik, santri, alat-alat pendidikan dan pengajaran serta tujuan yang akan
dicapai.

Pesantren adalah asrama dan tempat para santri belajar ilmu agama juga ilmu yang bersifat umum dan
di didik untuk bagaimana hidup mandiri.[5]

Hal ini adalah merupakan faktor yang sangat penting utamanya dalam menanggulangi kemerosotan
akhlak muda mudi, yang mana disebabkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sekarang ini, bukan hanya berpusat di kota-kota besar akan tetapi justru dapat merangkul sebagian besar
pelosok pedesaan.
Melihat hal yang ditimbulkan, maka perlu adanya usaha dan perhatian yang serius dari hal ini harus
diakui bahwa teknologi itu memang mempunyai banyak segi positif bagi kehidupan umat manusia akan
tetapi tidak dapat dipungkiri pula bahwa nampak negatifnya, khususnya dalam bidang perkembangan
mental spiritual dapat juga ditimbulkan. Satu contoh dengan lajunya perkembangan teknologi sekarang
ini, maka kebudayaan Barat masuk ke Indonesia berusaha untuk merubah dan menggeser nilai-nilai
ajaran Islam yang sejak lama dipelihara dengan baik.

Untuk menanggulangi dampak negatif berbagai pihak utamanya kepada pemerintah dan tokoh-tokoh
agama saling kerjasama dalam membina dan mendidik umat manusia dengan jalan memberikan
pengetahuan yang dapat menjadi penangkal bagi lajunya kebudayaan barat yang setiap saat datang
untuk mengancam ketentraman Islam yaitu berusaha untuk ikut dengan budaya yang mereka anut.

Dalam hal ini Drs. M. Dawam Raharjo, menjelaskan dalam Bukunya “Pesantren dan Pembaharuan”
sebagai Berikut:

“Pondok pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan,
penyiaran dan pelestarian Islam, dari segi kemasyarakatan, ia menjalankan pemeliharaan dan pendidikan
mental.”[6]

Bertolak dari uraian tersebut di atas, maka dapatlah diketahui bahwa dengan berdirinya pondok
pesantren dari kota sampai ke pelosok-pelosok desa, telah dirasakan oleh masyarakat seperti adanya
bakti sosial bersama dengan masyarakat maupun dalam bidang keagamaan yaitu dengan adanya
pengajian-pengajian atau ceramah-ceramah yang dilaksanakan baik terhadap masyarakat umum
maupun terhadap santri itu sendiri.

Dalam istilah pesantren juga disebut sebuah kehidupan yang unik karena di dalam pesantren selain
belajar santri juga di didik untuk hidup mandiri, sebagaimana yang dapat disimpulkan dari gambaran
lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan
sekitarnya, dalam kompleks itu berdiri dari beberapa buah bangunan, rumah kediaman pengasuh yang
disebut Kyai, dan dimana di dalamnya terdapat sebuah surau atau mesjid dan asrama tempat mondok
bagi santri.[7]

Corak tersendiri dalam pesantren dapat dilihat juga dari struktur pengajaran yang diberikan, dari
sistematika pengajaran, dijumpai pelajaran yang berulang dari tingkat ke tingkat, tanpa melihat
kesudahannya. Persoalan yang diajarkan seringkali pembahasan serupa yang diulang-ulang selama
jangka waktu yang bertahun-tahun.”[8]
Dari pengertian tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pesantren adalah merupakan wadah
yang mana di dalamnya terdapat santri yang dapat diajar dan belajar dengan berbagai ilmu agama.
Demikian pula sebagai tempat untuk menyiapkan kader-kader da’i yang profesional dibidang penyiaran
Islam.

B. Metode Penyiaran Islam

Pesantren ‘’Manahilil Ulum’’ DDI Kaballangan dalam penyiaran Islam ialah bagaimana melihat lingkungan
masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat dan bertindak sesuai apa yang telah digariskan oleh agama.

Penyiaran adalah salah satu dari bagian dakwah.[9] Sehingga penyiaran Islam mempunyai arti yang
cukup penting bagi umat Islam untuk disampaikan kepada keluarga, lingkungan masyarakat dan kepada
seluruh umat manusia.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, maka diperlukan adanya penyiaran Islam yang baik dan
berkesinambungan serta usaha-usaha yang lain yang berhubungan dengan penyiaran Islam yang dapat
mendorong keberhasilan dalam berdakwah.

Melalui penyiaran Islam diharapkan terwujudnya pribadi-pribadi yang nantinya dapat menyebarkan
Islam kepada keluarga, lingkungan masyarakat dan seluruh umat manusia, karena dengan aktivitas
seperti itulah secara sungguh-sungguh sehingga ilmu agama dapat tersebar ke seluruh pelosok dunia
dan dapat berdiri dengan kokoh sekaligus menjadi pedoman hidup bagi manusia.

Sebagai orang mukmin hendaknya mempunyai dorongan dan mau bekerja untuk mewujudkan syiar
Islam , mengembangkan ajaran agama Islam, apabila, mereka melihat kemungkaran atau penyimpangan
dalam Islam, segera mereka mengembalikannya kepada jalan yang benar. Allah Berfirman dalam QS. Ali
Imran (3). 110 sebagai berikut :

Terjemahnya :

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.[10]
Seruan kepada jalan yang baik dan mencegah perbuatan yang mungkar adalah suatu tugas yang sangat
suci bagi umat Islam yang harus dilaksanakan dan disukseskan, namun dalam penyampaian tidaklah
hanya sekedar menawarkan suatu metode begitu saja dengan ancaman siksaan neraka, dan kelebihan
bagi orang-orang yang masuk dalam surga akan tetapi lebih dari itu membutuhkan metodologi
perencanaan komunikasi dakwah dengan melihat dan menimbang semua indikator sosiokultural dari
sasaran dakwah tersebut.[11]

Penyiaran Islam adalah merupakan pekerjaan yang bersifat propaganda kepada orang lain. Propaganda
dapat diterima orang lain, apabila yang membawakan dakwah berlaku baik dan ramah serta ringan
tangan untuk melayani sasarannya. Sebaliknya jika mempunyai kepribadian yang membosankan dan
tidak menarik dalam penyampaiannya maka kemungkinan dakwahnya dapat berhasil.

Dalam menyiarkan Islam sangat diperlukan adanya kesabaran, rendah hati dan tidak sombong, sabar
dalam menyampaikan dakwah bukanlah berarti mengalah di hadapan masyarakat, akan tetapi
kesederhanaan, dan tidak mencela orang lain adalah merupakan pangkal keberhasilan dakwah,
Sederhana juga bukanlah berarti dalam kehidupan sehari-hari selalu ekonomis dalam memenuhi
kebutuhannya, akan tetapi sederhana di sini adalah tidak bermegah, angkuh dan hendaklah juga
bertawakkal kepada Allah Swt, karena sifat seperti itu adalah perbuatan yang disukai Allah.[12]

Jelas sekali bahwa menyeru kepada jalan yang diridhai Allah adalah merupakan jalan, ciri-ciri dan sifat-
sifat para Nabi dan Rasul. Allah mengutus Rasul untuk berwasiat dan menganjurkan kepada umat Islam
untuk menyebarkan agama Islam.[13]

Menyampaikan ajaran agama Allah kepada umat manusia merupakan kewajiban bagi hamba Allah,
dimanapun mereka berada karena menyeru kepada perjalanan yang diridhai Allah merupakan suatu
tindakan nyata yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang selalu menunggu siraman
rohani yang sejuk.

Dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah tidaklah hanya sekedar agar pesan tersebut dapat
disampaikan dan diterima oleh masyarakat, akan tetapi hendaknya pesan tersebut dapat mengerti
dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Posisi penyiaran Islam sangatlah penting artinya, dalam kehidupan beragama, ideologi terus berkembang
dan berlangsung, sebab suatu ideologi tidak akan terjamin kelangsungan tanpa adanya dakwah Islamiah
yang dilaksanakan secara kontinyu sekalipun agama (ideologi agama sangat baik, yang jelas bahwa
penyiaran Islam haruslah berjalan terus menerus)[14]
Penyiaran Islam yang terdiri dari berbagai aktivitas sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dilakukan
dalam rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan dapat dicapai dan diperoleh
dengan jalan melakukan penyelenggaraan penyiaran Islam dan harus mempunyai tujuan. Karena tanpa
adanya tujuan tertentu yang dapat diwujudkan, maka penyelenggaraan penyiaran Islam tidak akan
mempunyai arti apa-apa, bahkan merupakan pekerjaan yang sia-sia yang hanya menghamburkan fikiran,
tenaga dan biaya.

Sebagai suatu aktivitas dakwah tidaklah mungkin dilaksanakan secara sambil lalu dan seadanya saja,
melainkan haruslah ada persiapan yang direncanakan secara matang, dengan memperhatikan segenap
segi dan faktor yang mempunyai kaitan dan pengaruh bagi pelaksanaan dakwah Islamiah. Demikian pula
sebagai usaha atau aktivitas penyiaran Islam tidak mungkin diharapkan dapat mencapai apa yang
menjadi tujuannya dengan hanya melakukan sekali perbuatan saja, tetapi harus melakukan serangkaian
atau serentetan perbuatan yang disusun secara tahap demi tahap, dengan sasarannya masing-masing
yang ditetapkan secara rasional pula. Penetapan rasional mengandung arti bahwa sasaran itu haruslah
obyektif sesuai dengan kondisi yang ada, serta faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam
penyelenggaraan penyiaran Islam.

Di samping itu, meskipun penyelenggaraan penyiaran Islam tidak mustahil dapat dilakukan oleh orang
seorang secara sendiri-sendiri, tetapi melihat kompleksnya persoalan dakwah Islamiah, maka
pelaksanaan penyiaran Islam oleh orang seorang, sendiri-sendiri tidaklah efektif. Kompleksitas persoalan
dakwah Islamiah itu mencakup segenap aspek dakwah, baik obyek, sistem dan metode, maupun
penyelenggaraannya. Obyek penyiaran dakwah misalnya, terdiri dari masyarakat (manusia) yang
bermacam-macam dan senantiasa mengalami suatu perubahan dan perkembangan pada sifatnya. Maka
dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masyarakat
semacam itu, kiranya akan lebih efektif bila mana dilakukan oleh lebih dari satu orang yang saling
melakukan kerja sama. Begitu pula dalam pelaksanaan atau menggunakan pemilihan dan penggunaan
sistem, dan metode dakwah apa yang tepat, serta bagaimana penyiaran Islam itu harus diselenggarakan,
akan lebih efektif bilamana dilakukan dengan kerja sama yang baik.[15]

Dengan perkataan lain, pelaksanaan penyiaran Islam akan lebih efektif, bilamana didukung oleh
beberapa orang yang diatur dan disusun sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan yang
melaksanakan secara bersama-sama tugas dakwah yang sifatnya semakin kompleks itu. Rangkaian
perbuatan yang dilaksanakan secara bersama-sama dan dapat menghasilkan hasil yang memuaskan.

Memang dalam penyiaran Islam sangat diperlukan metode yang baik, baik metode ceramah, metode
tanya jawab dan lain sebagainya, apalagi dengan datangnya pengaruh-pengaruh dari Barat melalui media
massa terhadap perilaku. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya bukti-bukti mengenai perubahan
perilaku umat manusia yang disebabkan oleh Media Massa, baik berupa kampanye yang dilakukan
dengan secara sengaja maupun tidak. Kampanye yang tidak sengaja dilakukan adalah gaya-gaya modern
yang ditampilkan di media massa yang belum mampu diterima oleh umat Islam. Misalnya tata
berpakaiannya sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam, yang dulunya sebelum dikenalnya media
massa khususnya dari Barat, para anak muda masih memakai pakaian Indonesia, bahkan cara
berpakaiannya sangat sederhana.[16] Hal ini semua disebabkan karena banyaknya kampanye yang setiap
hari datang, baik yang disadari maupun tidak.

Untuk menghadapi kendala-kendala seperti yang ada di atas, maka sangat diperlukan aktivitas penyiaran
agama Islam yang berkesinambungan dan usaha-usaha lain yang merupakan penopang dan pendorong
keberhasilan dakwah tersebut. Dengan tujuan adalah untuk menumbuhkan rasa pengertian, kesadaran,
penghayatan dan pengalaman ajaran agama Islam yang dibawakan oleh aparat dakwah atau penerang
agama. [17]

Penyiaran Islam, dalam rangka pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam sangat nyata dalam
kehidupan masa lalu, secara dan akan datang. Melalui penyiaran Islam akan dapat terwujud pribadi-
pribadi muslim yang nantinya dapat menjadi muballigh yang menyebarkan agama Islam kepada seluruh
umat manusia. Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam (QS. Al- Hijr 915) 94 sebagai berikut:

Terjemahnya:

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.[18]

Jelaslah tugas berdakwah dalam mengembangkan ajaran agama Islam besar sekali, karena melalui
dakwah akan melahirkan insan-insan yang berkepribadian yang mulia dan termasuk perubahan sikap
dan tingkah laku dalam kehidupan umat manusia.

Di dalam Sunnah Rasulullah saw, juga ditemukan bahwa manusia berkewajiban untuk menegakkan dan
mencegah kemungkaran, dan manfaat yang didapatkan oleh orang-orang menunaikannya, serta siksaan
bagi orang-orang yang melalaikan perintah Allah swt.

Penyiaran Islam Adalah suatu proses atau usaha yang tidak pernah mengenal lelah dan selesai
pelaksanaannya, selama itu pulalah proses dakwah mutlak diperlukan.[19]

Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha untuk meningkatkan pemahaman agama dalam tingkah laku
dan pandangan hidup saja, akan tetapi menuju yang lebih luas, pada masa sekarang ini ia harus lebih
berperan menuju kepada ajaran agama Islam secara lebih luas yang menyeluruh dalam segala hal.

Penyiaran Islam adalah sesuatu proses yang kompleks dan unik. Kompleks seperti bahwa dalam
menjalankan dakwah mengikut sertakan keseluruhan aspek kehidupan, baik yang ada hubungannya
dengan sifat jasmaniah maupun sifat rohaniah. Sedangkan yang unik artinya di dalam pelaksanaan
dakwah adalah sebagai obyeknya terdiri dari berbagai macam perbedaan, perbedaan dalam budaya,
sifat ideologi, kehendak dan lain sebagainya.

Penyiaran Islam adalah merupakan titik sentral para muballigh dalam menyiarkan Islam di atas persada
bumi ini, mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, karena bagaimanapun juga untuk menyiarkan
agama Islam kepada masyarakat penerapannya harus sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada
dimana mereka berada.

Menyiarkan Islam adalah merupakan kewajiban bagi semua hamba Allah, dimanapun mereka berada,
karena seruan kepada jalan Allah, itu merupakan suatu tindakan nyata yang dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat Islam yang selalu menunggu siraman rohani yang sejuk, dan
mendatangkan nikmat dan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam.

Selaras apa yang dikatakan A. H. Hasanuddin dalam bukunya Retorika Dakwah Publistik dalam
Kepemimpinan Islam, bahwa:

Dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Allah untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.[20]

Dari pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa penyiaran Islam adalah merupakan rangsangan
atau suatu motivasi yang dapat membawa umat manusia kepada jalan yang diridhai Allah Swt. Serta
menjauhkan manusia dari larangan agama, sebab dakwah dapat menjadi pedoman dan tuntunan bagi
kehidupan serta bertujuan untuk merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat kepada suasana hidup
yang baik atas dasar nilai-nilai ajaran agama Islam.

C. Hukum Penyiaran Islam

Penyiaran Islam adalah suatu proses pembentukan watak manusia yang wajib dilakukan oleh setiap
umat Islam sebagai pewaris atau pelanjut ajaran Rasulullah Saw. Dalam menyebarkan dan
mengembangkan ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan.
Perkembangan dan pertumbuhan manusia dapat ditumbuh-kembangkan terus dengan cara pengarahan-
pengarahan serta yang lebih baik, sehingga dengan demikian dakwah perlu terus ditingkatkan
kualitasnya yang harus menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan umat manusia, baik yang menyangkut
rohaniah maupun jasmaniah.

Menyiarkan agama Islam adalah kewajiban bagi kaum muslimin untuk melaksanakannya, sebab
penyiaran Islam yang merupakan napas gerakan Islam, dengan penyiaran maka ajaran Islam dapat
disebar luaskan secara merata dalam kehidupan masyarakat, yang dimulai pada masa Rasulullah, masa
sahabat dan hingga dewasa ini.

Adapun dasar hukum kewajiban berdakwah tentunya tidak terlepas dari Al- Qur’an dan hadits Rasulullah
Saw, dan landasan para Ulama. Untuk lebih jelas dan dapat dilihat para uraian tersebut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam dan merupakan dasar hukum untuk menyiarkan Islam,
banyak sekali ayat-ayat yang menyangkut kewajiban untuk menyiarkan agama Islam, begitu pula
keuntungan-keuntungan para da’i dalam menyampaikannya.

Dalam ayat-ayat tersebut antara lain: QS. Ali Imran (3) sebagai berikut:

Terjemahnya :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[21]

Ma’ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

2. Hadis Rasulullah
Hadis yang menganjurkan untuk menyiarkan Islam yaitu:

Artinya:

Dari Abu Sai’id Al Hudri ra, berkata: saya telah mendengarkan Rasulullah Saw, bersabda : barang siapa
diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah merubah dengan tangan/ kekuasaanya, dan
apabila tidak mampu maka hendaklah dengan nasehatnya, dan apabila tidak mampu pula, maka
hendaklah dengan keimanan hatinya, itulah itu selemah-lemah Iman.[22]

Untuk merubah kemungkaran bukan semata-mata kekerasan tetapi dibarengi dengan akal sehat.

3. Pendapat Para Ulama

Berdasarkan dari ayat Al-Qur’an, 104 surat Al Imran yang telah dikemukakan di atas, maka para Ulama
sepakat dalam wajibnya dakwah ditunaikan, akan tetapi apakah wajib “aini” atau “kifayah” Ulama
berbeda pendapat dalam hal ini.

Menyiarkan Islam adalah wajib “kifayah” menurut Farid Ma’ruf Nour, sedang menurut Mufassir Imam
Jalaluddin As Suyuti, menetapkan fardhu kifayah, akan tetapi yang dimaksud mereka adalah tabligh yakni
menyampaikan ajaran agama Islam dengan lisan dan tulisan. Maksudnya dalam berdakwah hanya
sebagian kepada suatu bidang tertentu yang memerlukan syarat dan keahlian tertentu.

Atas dasar itulah, maka menyiarkan Islam adalah merupakan bagian yang sangat penting sekali dalam
kehidupan seorang muslim, bahkan tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa tidak sempurna
bahkan sulit dikatakan orang muslim apabila dia menghindari atau membutakan matanya dari tanggung
jawab sebagai juru dakwah.[23]

Konsekuensi sebagai seorang Muslim tidak boleh tinggal diam melihat kemungkaran-kemungkaran yang
merajalela dalam masyarakat, harus ada usaha untuk mencegahnya sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki masing-masing. Hal ini mengandung tiga alternatif dalam mengubah dan mencegah
kemungkaran yaitu:

1. Menggunakan kekuasaan, yang terkena perintah ini adalah penguasa (pemerintah) juga pemimpin
dalam suatu lingkungan wewenang kekuasaannya, seperti guru, terhadap muridnya, orang tua terhadap
anak-anaknya.

2. Memberikan peringatan atau nasehat yang baik, yaitu dengan kata-kata yang lemah lembut dan
dapat meresap dalam diri seseorang.

3. Ingkar dalam hati, menolak atau tidak setuju akan perbuatan yang mungkar, hal ini dapat
dilaksanakan bila kedua alternatif tersebut di atas, tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa penyiaran Islam
adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum muslimin untuk menjunjung tinggi undang-
undang Ilahi dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia dalam masyarakat, sehingga ajaran Islam
menjadi titik tolak atau pedoman yang mendasari, menjiwai dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah
laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan hidupnya.

[1] Lihat, Abu Hamid, Sistem Pesantren Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan. (Ujung Pandang:
Fakultas Sastra UNHAS, 1978) h. 3.

[2] Wahjoetimo, Perguruan tinggi Pesantren Pendidikan alternative masa depan, (Cet. I. Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), h. 70.

[3] Lihat Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Ilmu, t.th) h. 310.

[4] Abu Hamid, op.cit., h. 18.

[5]Lihat Mas’ud Khasan Abdul Qahar, et. Al., Kamus Pengetahuan Populer (Cet. I; Yogyakarta: CV. Bintang
Pelajar, t.th), h. 191.

[6] M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan. (Jakarta: LPES, 1974). h. 83

[7] Lihat, Ibid. h. 40.


[8] Lihat, Ibid,. h. 41.

[9] Lihat, Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Cet. III; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1983), h. 1.

[10] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), 49.

[11] Lihat Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: CV. Gaya Media Pratama, 1987). H. XV.

[12] Lihat, Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al- Ikhlas. 1983) h. 42.

[13] Lihat, Imam Habib Abdullah al- Waddad, Kelengkapan Dakwah (Semarang: CV. Toha Putra, 1980), h.
18.

[14] Lihat, Anwar Masyari, Studi Tentang Ilmu dakwah, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 11.

[15]Lihat, Abdul Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam (Cet. II; Jakarta : Bulan Bintang, 1977), h. 11

[16] Lihat, Ishadi Dunia Penyiaran Prospek dan Tantangannya, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum,
1999), h. 123

[17] Lihat, M. Arifin, Psikologi Dakwah, (Cet. 4; Jakarta : Bumi Aksara, 1997), h. 4

[18] Departemen Agama RI, opcit., h. 339

[19]Lihat A. H. Hasanuddin, Retorika Dakwah Publistik Dalam Kepemimpinan, (Surabaya: UNAS Nasional,
1992)., h. 33
[20]Ibid, h. 35.

[21] Departemen Aagama., op. , Cit h. 93

[22] Imam Abu Zakariya, Riyadu Salihin, (Cet. IX; Surabaya: Pt. Bina Ilmu, 1994), h. 176.

[23] Lihat Moto Asmara, op.cit., h. 33.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

......................................................................................

Kajian Umum Tentang Psikologi

Abied

3 June 2010 No comments

Pengertian Psikologi

Psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa berasal dari bahasa Inggris psychology. Kata
psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1) Psyche yang
berarti jiwa; 2) Logos yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa.[1] Karena
beberapa alasan tertentu (seperti timbulnya konotasi atau arti lain yang menganggap psikologi sebagai
ilmu yang langsung menyelidiki jiwa, sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir ini menurut hemat
penyusun istilah ilmu jiwa itu sudah sangat jarang dipakai orang. Kini berbagai kalangan professional baik
yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dalam dunia-dunia profesi lainnya yang
menggunakan layanan “jasa kejiwaan” itu lebih terbiasa menyebut psikologi daripada ilmu jiwa.

Membahas kata “ilmu jiwa”, maka yang terbayang pada kita bahwa yang dipelajari oleh ilmu itu ialah
sesuatu yang tidak kelihatan (abstrak), yang berada dalam diri manusia atau makhluk hidup yang lain.
Segala sesuatu yang kelihatan, yang bersifat jasmaniah pada diri manusia tidak menjadi persoalan.
Namun Pandangan atau bayangan yang demikian adalah tidak benar bahkan keliru, karena psikologi
merupakan suatu ilmu yang ingin mempelajari manusia. Manusia sebagai suatu kesatuan yang bulat
antara jasmaniah dan rohani. R.S. Woodworth memberi batasan tentang psikologi sebagai berikut:
“Psychology can be defined as the science of the activities of individual”,[2] yang berarti bahwa psikologi
dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari segala tindakan-tindakan manusia atau perorangan.

Apa yang hendak diselidiki oleh psikologi ialah segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang
bagaimana sebenarnya manusia itu, mengapa ia berbuat atau bertindak demikian, apa yang
mendorongnya berbuat demikian, apa maksud dan tujuannya ia berbuat demikian. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa psikologi ialah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Tentu saja kata tingkah
laku tersebut harus diartikan secara luas. Karena hal tersebut merupakan penentuan struktur
kepribadian yang tidak lepas dari pembahasan substansi manusia. Dalam psikologi Islam, struktur
kepribadian merupakan integrasi system kalbu, akal dan nafsu yang menciptakan tingkah laku.[3]

Daya-daya yang terdapat dalam substansi nafs manusia saling berinteraksi satu sama lain dan tidak
mungkin dapat dipisahkan.

Al-Ghazaly dalam “Kimiyah al-Sa’adah” menjelaskan:

“Nafs itu ibarat suatu kerajaan. Anggota fisiknya ibarat menjadi cahaya(dhiya’). Syahwat ibarat menjadi
gubernur (waliy) yang memiliki sifat pendusta, egois dan sering mengacau. Ghadhab ibarat menjadi
oposan (syihnat) yang sifatnya buruk, ingin perang dan suka mencekal. Kalbu ibarat raja(malik) dan akal
ibarat mentrinya(wazir). Apabila seorang raja tidak mengendalikan kerajaannya maka kerajaan itu akan
diambil alih oleh gubernur(syahwat) dan oposannya(ghadhab) yang mengakibatkan kekacauan. Namun
apabila sang raja memperdulikan kerajaannya dan ia bermusyawarah dengan perdana mentrinya (akal)
maka gubernur dan oposannya mudah diatasi dan berkedudukan di bawahnya. Ketika hal ini terjadi
maka mereka saling bekerja sama untuk kemakmuran dan kesejahteraan sebuah kerajaan yang akhirnya
mendatangkan makrifat Ilahi(al-hadhrah al-ilahiyah) dan mendatangkan kebahagiaan.”[4]

Kutipan tersebut dapat dipahami bahwa kepribadian manusia sangat ditentukan oleh interaksi
komponen-komponen nafs. Dalam interaksi itu, kalbu memiliki posisi dominan dalam mengendalikan
suatu kepribadian yang dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang dan perkembangan moral
seseorang.

Menurut Sigmund Freud, jiwa terdiri dari tiga unsur, yaitu:


1. Id. Id merupakan gudang insting dan energi mental. Ketika insting tersebut terusik atau terpicu,
orang akan merasa terganggu, sehingga ia akan berusaha mengenyahkannya untuk mengembalikan
keseimbangan mental. System ini dikendalikan oleh prinsip kesenangan.

2. Ego. Sikap ini mewakili fungsi perasaan(feeling), menguasai perilaku manusia, menentukan segala
sesuatu yang memuaskan hasrat, dan menentukan keinginan yang tertunda sesuai dengan fakta. System
ini dikendalikan oleh prinsip realistis.

3. Super ego. Ini adalah representasi internal dari nilai dan prinsip perilaku serta moral. System ini
biasanya dikendalikan oleh prinsip idealisme. Kesehatan jiwa berarti energi dan keberhasilan ego untuk
merealisasikan keseimbang mental antara tuntutan Id,. Super ego dan realitas. [5]

Aspek Yang Mempengaruhi Moral Anak

Masalah moral adalah suatu masalah yang menjadi perhatian dimana saja, baik dalam masyarakat yang
telah maju, maupun dalam masyarakat yang terbelakang, karena kerusakan moral seseorang akan
mengganggu ketentraman yang lain. Jika kita mengambil anjuran agama misalnya agama Islam, maka
yang terpenting adalah akhlak (moral), sehingga ajarannya yang terpokok adalah untuk memberikan
bimbingan moral. Sebagaimana sabda Rasulullah :

Artinya: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”[6].

Hal tersebut menjelaskan akan pentinganya akhlak dalam membentuk kepribadian seseorang. Namun
melihat keadaan masyarakat terutama di kota-kota besar sekarang ini, maka akan dijumpai moral
sebagian anggota masyarakat yang telah rusak atau mulai merosot yang disebabkan oleh perkembangan
zaman serta intervensi budaya westernisasi, dimana kepentingan umum tidak lagi nomor satu, akan
tetapi kepentingan pribadilah yang menonjol.

Sehubungan dengan hal tersebut, orang tua mempunyai peranan penting karena orang tua merupakan
Pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka
merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi
anak yang sedang tumbuh tersebut. Pada hakekatnya, apa yang orang tua kedepankan kepada anak akan
membatasi jenis serta ruang lingkup lingkungan tempat dimana ia berkembang. Dengan kata lain, orang
tualah yang menciptakan iklim kehidupan untuk anak karena itulah, merupakan kewajiban orang tua
untuk mempersiapkan iklim lingkungan yang baik bagi anak-anak semenjak kelahirannya. Kemudian
ditindak lanjuti dengan mempersiapkan sarana-sarana yang diharapkan dapat membantunya melakukan
proses alam dari fase anak-anak hingga sampai akil baligh. Semakin orang tua mengerti karakteristik-
karakteristik perkembangannya dari segi fisik, akal, perasaan dan sosial, tentu akan semakin baik karena
hal itu sangat berguna bagi upaya pemenuhan berbagai kebutuhannya. Sesungguhnya dengan
memahami karakteristik-karakteristik perkembangan anak-anak, hal itu akan membantu pendidik
mengenali cara-cara yang baik dan efektif untuk melakukan interaksi dengan mereka pada fase
perkembangannya yang berlangsung terus menerus.[7]

Perkembangan anak pada usia-usia pertama dalam hidupnya, banyak belajar dari pengalaman-
pengalaman yang dapat membantunya berkembang secara sehat. Apabila pada periode ini seorang anak
hidup dalam iklim keluarga yang tenang yang penuh cinta, kasih dan sayang, ia sanggup berkembang
secara sehat sehingga dapat beradaptasi dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungan masyarakatnya.
Interaksi sosial yang matang dalam sebuah keluarga, menjadi istimewa dengan adanya karakteristik-
karakteristik tertentu yang didasarkan pada kasih sayang, persaudaraan, kebebasan dan keterbukaan
yang berlangsung terus menerus dan abadi.

Sesungguhnya ruang tempat pertumbuhan anak itu memberikan pengaruh yang sangat besar bagi
perkembangannya. Apabila ruang tersebut dapat membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis
dan psikis anak, hal itu akan memberikan pengaruh yang nyata bagi tingkah lakunya. Tetapi kalau anak
harus menghadapi situasi-situasi yang tidak menguntungkan dan tidak kondusif yang semakin lama
semakin parah, tentu kepribadiannya akan mengalami kekacauan dan pertentangan.[8] Pengaruh-
pengaruh pertentangan tersebut akan terus menyertai kepribadiannya sewaktu anak sudah dewasa
sekalipun. Dan kekacauan tersebut akan berembus pada fenomena-fenomena tingkah lakunya.

Pendidik tidak hanya dituntut untuk memperhatikan fase anak-anak sebagai fase yang mudah ditumbuhi
benih berbagai kekacauan kepribadian, tetapi sekaligus ia juga merupakan fase yang seharusnya diisi
dengan asas-asas kepribadian yang sehat berikut medan dan elemen-elemen pembentuknya. Hal itu
mengingat kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan-kecenderungan yang dilakukan oleh seseorang pada
periode tersebut, sudah mengarah pada proses pemantapan yang selanjutnya akan sulit diubah.

Hubungan orang tua terhadap anak sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak.
Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa kepada pembinaan pribadi
tenang, terbuka dan mudah dididik, karena mereka mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk
tumbuh dan berkembang. Tetapi seorang anak tidak mungkin mendapat rasa cinta, penerimaan dan
kemantapan yang diinginkannya kalau di antara kedua orang tua tidak ada ikatan persatuan yang kokoh
dan mendalam. Ikatan persatuan inilah yang lazim disebut kerukunan, kekompakan atau solidaritas. Dan
itu harus diperlihatkan kepada anak, karena ia memang merupakan keutuhan urgen untuk
perkembangannya. Seorang anak memiliki sensitifitas sangat kuat yang memungkinkannya dapat
merasakan perasaan-perasaan emosional yang menciptakan kegelisahan yang mendalam. Perasaan
seperti ini dapat mengoncang rasa tenang yang harus ada pada masa perkembangannya.[9]

Oleh sebab itu, kedua orang tua wajib memelihara kesolidan ikatan persatuan, kendatipun itu hanya
secara lahiriah saja. Hal itu harus benar-benar mereka jaga demi keseimbangan emosi anak.
Keharmonisan suami isteri di depan anaknya merupakan suatu kebutuhan yang realistis. Sekalipun
misalnya sedang terjadi konflik di antara mereka, hal itu tidak boleh diperlihatkan kepada anak. Tetapi
sayangnya, termasuk hal yang jarang seorang anak bisa ditipu dengan penampilan-penampilan lahiriah,
karena setiap konflik atau keretakan yang memecah belah persatuan persatuan mereka, resikonya yang
paling besar akan menimpa masa depan anak. Keadaan itu akan makin diperparah apabila anak masuk
dalam lingkungan yang kurang menunjang. Besar kemungkinan pada gilirannya akan merembes ke dalam
kehidupan masyarakat yang lebih luas lagi.

Karena itu penyebab dari kemerosotan anak dewasa ini sesungguhnya terletak pada kondisi keluarga
yang mempengaruhi pembinaan pribadi anak tersebut. Adapun faktor-faktor dari kemorosotan moral
anak dewasa ini sesungguhnya banyak sekali antara lain yang terpenting adalah:

1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.

2. Pendidikan moral tidak terlaksana baik di rumah tangga, sekolah maupun di masyarakat.

3. Suasana rumah yang kurang baik.

4. Diperkenalkannya secara popular obat-obatan dan alat-alat anti hamil.

5. Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran kesenian yang tidak mengindahkan dasar-


dasar dan tuntunan moral.

6. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara yang baik dan yang membawa
kepada pembinaan moral.[10]

Untuk dapat mencari sebab-sebab dan kekurangan-kekurangan yang dapat dijadikan pelajaran guna
perbaikan, maka akan dianalisa satu persatu dari pokok-pokok tersebut di atas.

(+) Kurang Tertanamnya Jiwa-jiwa Agama Pada Tiap-tiap Orang Dalam Masyarakat.

Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh tentang ajaran agama yang
dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang
paling kokoh. Sebagai contoh ajaran Islam, dimana yang menjadi ukuran bagi mulia dan hinanya
seseorang adalah hati dan perbuatannya, dalam hal ini hati yang dihiasi dengan ketaqwaan serta
perbuatan yang baik. Selanjutnya apabila jiwa dan taqwa telah tertanam dan tumbuh dengan baik dalam
pribadi seseorang, maka dengan sendirinya ia akan berusaha mencari pengertian tentang ajaran-ajaran
Islam yang akan membimbingnya dalam hidup.

Apabila keyakinan beragama itu betul-betul telah menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang,
maka keyakinan itulah yang akan mengawasi tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Akan tetapi
sudah menjadi suatu tragedi bagi dunia yang maju dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan
ilmu pengetahuan maka keyakinan beragama mulai terdesak. Kepercayaan kepada Tuhan tinggal sebagai
simbol, larangan dan suruhannya tidak diindahkan lagi. Dengan demikian salah satu alat pengawas dan
pengatur moral yang tersisa adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya, semakin jauh
masyarakat dari agama, semakin susah memelihara moral dan semakin kacaulah suasana hidup karena
semakin banyaknya pelanggaran-pelanggaran hak dan hukum.

(+) Tidak Terlaksananya Pendidikan Moral dengan Baik

Faktor kedua adalah tidak terlaksananya pendidikan moral baik dalam rumah tangga, sekolah maupun
masyarakat. Pembinaan moral dalam Islam harus dimulai sejak dini sesuai dengan kemampuan dan
umurnya. Pada dasarnya, pendidikan moral merupakan asas yang harus dipertimbangkan bagi
pembinaan keluarga yang kokoh dan harmonis. Sesungguhnya, pendidikan moral inilah yang menjamin
terwujudnya keluarga Islam yang kuat, yang penuh warna rasa cinta dan bahagia. Pendidikan moral
amatlah menjamin terbentuknya seorang manusia yang sehat tubuh, akal dan jiwanya. Dan juga
menjamin terbentuknya masyarakat Islam yang kokoh dan bahagia.

Setiap anak yang lahir belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah dan belum mengerti
batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Di sinilah peranan keluarga,
pendidik dan lingkungan yang sangat penting dimana pendidikan agama telah diterima sejak kecil akan
membuatnya berpendirian tegas dan tidak mudah terpengaruh dalam pergaulan hidup dan tidak akan
mudah menukar agama dengan nilai-nilai yang lain berupa keduniaan maupun kedudukan. Namun
sebaliknya jika anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak mengerti
cara mendidik serta lingkungan masyarakat yang tidak mengajarkan nilai-nilai moral, maka akan tumbuh
menjadi anak yang liar yang tidak bermoral.

(+) Suasana Rumah Yang Kurang Baik.

Tidak dapat dihindari bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, karena
hubungan yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal
lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu,
sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap
norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga.[11]

Dewasa ini, faktor yang terlihat dalam masyarakat sekarang adalah kerukunan hidup dalam rumah
tangga yang kurang terjamin. Tidak tampak adanya saling pengertian, saling menerima dan saling
mencintai di antara suami isteri serta ketidakrukunan orang tua terlebih jika salah satu dari mereka
menikah lagi akan menyebabkan anak menjadi takut, cemas, benci, dan merasa tidak betah lagi di
keluarganya karena ia merasa kurang mendapat perhatian dan kasih sayang sehingga ia mencari
kepuasan tersebut di luar rumah.[12]

Oleh sebab itu, Islam menaruh perhatian khusus bagi terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah
warahmah yang pada gilirannya akan tercipta suatu masyarakat yang hidup penuh ketentraman sehingga
anak akan menjadi generasi pelanjut dan mampu menjadi pemimpin.

(+) Diperkenalkannya Obat-obatan dan Alat-alat Anti Hamil.

Suatu hal yang kurang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan tidak disadari dampak
negatif terhadap perkembangan moral anak adalah karena diperkenalkannya secara populer obat-obatan
dan alat-alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.[13]

Akhir-akhir ini permasalahan obat-obatan dan alat-alat anti hamil dikalangan generasi muda semakin
memprihatinkan terutama pada pemuda dan remaja yang kurang mendapatkan penanaman keimanan
dan ketaqwaan kemudian mereka bergaul dengan kondisi yang pornografi maka bukanlah suatu yang
mustahil jika remaja akan jatuh dalam berbagai tindakan asusila dan anormatif.

(+) Banyaknya Tulisan-tulisan, Siaran-siaran kesenian yang Tidak Mengindahkan Dasar-dasar dan
Tuntutan Moral.

Suatu hal yang belakang ini menjadi perhatian kita adalah tulis-tulisan, bacaan-bacaan, siaran-siaran
kesenian dan permainan yang seolah-olah mendorong anak-anak muda mengikuti arus kemauannya.
Segi moral dan mental kurang mendapat perhatian, padahal hal tersebut dapat mendorong anak muda
terjerumus ke dalam jurang kemororsotan moral.[14]

(+) Kurang Adanya Bimbingan Untuk Mengisi Waktu Luang.

Suatu faktor yang ikut memudahkan retaknya moral anak-anak muda ialah kurangnya bimbingan dalam
mengisi waktu luang dengan cara yang baik dan sehat. Di masa remaja waktu luang khususnya libur
sekolah adalah salah satu kesempatan emas untuk menumbuhkan kepribadian mereka di atas akidah
yang lurus, akhlak yang mulia serta bimbingan yang benar. Waktu tersebut merupakan saat yang
kondusif bagi pengembangan hobi dan mengembangkan potensi untuk memperoleh prestasi serta
menggiatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang terarah dan berbagai aktivitas yang dapat
membuahkan dua hal sekaligus yakni melepas kepenatan sehingga hati dan pikiran menjadi terang dan
riang sekaligus menanamkan berbagai bimbingan dan pengarahan-pengarahan.[15] Namun sebaliknya,
umumnya remaja hanya suka berkhayal dan melamunkan hal-hal yang jauh membuat waktu mereka
terbuang begitu saja. Jika mereka dibiarkan tanpa bimbingan dalam mengisi waktunya maka akan banyak
lamunan dan kelakuan yang kurang sehat timbul dari mereka.

(+) Kurangnya Markas Bimbingan

Perlu dicatat bahwa kurangnya markas bimbingan dan penyuluhan yang akan menampung dan
mengeluarkan anak-anak kea rah mental yang sehat. Dengan kurangnya atau tidak ada tempat bagi anak-
anak yang gelisah dan butuh bimbingan itu, maka mereka akan muncul kelakuan dan model yang kurang
menyenangkan serta kemerosotan moral bagi anak tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dipahami bahwa betapa pentingnya pendidikan moral bagi
anak dan betapa besar bahaya yang terjadi akibat kurangnya moral tersebut. Untuk itu pendidikan moral
harus diintensifkan (dilaksanakan) baik dalam rumah tangga sebagai pendidik pertama dan utama bagi
perkembangan moral anak, maupun di sekolah dan dalam masyarakat dimana anak tersebut berada.

Peran Orang Tua Terhadap Perkembangan Anak

Hukum Islam memandang bahwa hubungan orang tua dan anak adalah merupakan hubungan yang
mesti terjalin secara harmonis sebagai sebuah jalinan yang timbul dari perasaan kasih sayang yang tulus
dan tentunya jalinan hubungan seperti ini hanya akan tumbuh dari pribadi-pribadi yang hidup dalam
suasana keluarga yang harmonis pula.

Keharmonisan antara orang tua di satu pihak dan anak di pihak lainnya hanya akan tercipta apabila di
antara kedua belah pihak masing-masing mengerti akan kedudukannya dalam keluarga dimana antara ke
dua belah pihak masing-masing mempunyai hak atas pihak lain begitu pula tanggung jawab yang harus
dilaksanakan oleh pihak tersebut.

Sekarang ini masih banyak kaum ayah yang beranggapan bahwa memandikan bayi, mengganti popok,
memberi makan serta mengajaknya berjalan-jalan bukanlah hal yang patut dilakukan kaum pria. Padahal
suatu penelitian membuktikan bahwa ikut sertanya ayah dalam perawatan bayinya akan merupakan
pengalaman unik yang berharga bagi seorang anak. Apabila sejak semula ayah ikut serta secara aktif
merawat bayinya, mereka akan merasakan manfaat dari hubungan erat ini sampai anak dewasa.

Berbagai pengalaman para ahli maupun literatur telah membuktikan bahwa peran ayah dalam
membentuk kepribadian anak sangat besar artinya. Sejak Sigmund Freud mencanangkan teori
psikoanalisis untuk pertama kalinya pada awal abad ke- 20, ia sudah menyatakan bahwa perkembangan
kepribadian anak, khususnya sewaktu balita, sangat ditentukan oleh tokoh ayah. Ayah yang membentuk
super ego anak, dan merupakan tokoh super identifikasi serta tokoh ototiter yang sekaligus ditakuti dan
dibutuhkan anak.[16]

Dalam pandangan anak-anak, tokoh ayah merupakan laki-laki pertama di dunia ini, yang dikenalnya
secara lahir bathin. Sejak meraka lahir, mereka merasakan adanya figur laki-laki dimana ia harus
memanggil laki-laki tersebut sabagai “bapak” atau “ayah”. Tanpa disadari, figur ayah dalam keluarga
dalam sudut pandangan anak-anak merupakan laki-laki ideal-type pertama yang mereka kenal. Maka
dengan sendirinya seorang laki-laki yang kebetulan menjadi kepala keluarga, tanpa disadari pula telah
menempatkan dirinya sebagai figur yang patut dihormati dan diteladani.

Sejalan dengan berkembangnya teori tentang perkembangan anak, pandangan masyarakat tentang cara-
cara mendidik dan mengasuh anak pun telah mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal-hal
yang dulunya tabu dan langkah justru menjadi kebiasaan yang terpuji. Dimana anak-anak yang diasuh
secara langsung oleh ibu dan ayahnya adalah anak-anak yang beruntung, karena mereka tidak hanya
mengalami satu tetapi beberapa pendekatan yang membuatnya dewasa. Proses pendewasaan ini akan
banyak menentukan yang membuatnya dewasa. Proses pendewasaan ini akan banyak menentukan
pembentukan kepribadian anak kelak. Ia akan memiliki cara berfikir dan kehidupan perasaan yang kaya
dan seimbang karena terbiasa menghadapi dua macam individu yang berbeda secara dekat dan terus
menerus.

Berdasarkan hal tersebut, selanjutnya akan dijelaskan tentang hak orang tua yang harus didapatkan dari
anaknya yang sekaligus merupakan kewajiban bagi anak, begitu pula kewajiban yang harus dilaksanakan
orang tua sebagaimana perannya dalam perkembangan anak yang sekaligus merupakan hak bagi anak.

Hak Orang Tua Terhadap Anak

Dalam hukum Islam, ada beberapa macam hak orang tua yang harus diperhatikan oleh anak, yakni:

(+) Hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anaknya


Ada berbagai macam ketentuan dalam hukum Islam yang menunjukkan tentang kewajiban seorang anak
untuk berlaku atau berbuat baik terhadap orang tua, bahkan banyak di antara ketentuan-ketentuan itu
yang menjelaskan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua berbarengan dengan perintah
bertauhid kepada Allah, seperti salah satunya ditegaskan dalam Q.S. An-Nisa (4): 36 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua…[17]

Pada ayat lain, dalam Q.S Al-Baqarah (2): 83 juga ditegaskan

Terjemahnya:

…Janganlah kamu sekalian menyembah selain Allah dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.[18]

Kedua ayat di atas, paling tidak memberikan penjelasan bahwa betapa berbuat baik kepada orang tua
merupakan sesuatu yang secara mutlak harus dilaksanakan oleh sang anak, hal ini dikarenakan
pengorbanan orang tua terhadap anaknya yang begitu besar. Secara fitrah, orang tua selalu terdorong
untuk memelihara dan berkorban dengan sekuat tenaga demi anaknya. Seperti tumbuhan yang
menghisap bahan makanan dari biji, atau anak ayam yang menghisap bahan makanan dari telur maka
demikian halnya dengan setiap manusia yang juga menghisap setiap kasih sayang dan perhatian dari
orang tuanya yang berangsur tua dan kemudian wafat. Ini semua merupakan kebahagiaan orang tua,
akan tetapi anak kerap kali melupakan itu semua, mereka lebih memperhatikan kehidupan dan masa
depannya, ibarat kacang yang lupa pada kulitnya. Oleh karena itu, hukum Islam sangat menegaskan
tentang perintah berbuat baik kepada orang tua.

Orang tua sebenarnya tidak perlu memerintahkan anak-anaknya untuk berbuat baik dan membalas
segala yang telah diperbuatnya. Tanpa itupun, seharusnya anak sadar sendiri akan kewajiban agama dan
tuntunan nuraninya itu, untuk berbuat baik terhadap orang tuanya yang telah berjuang dan berkorban
demi kebaikannya.

Allah mengingatkan kewajiban ini secara tegas dengan mengaitkannya dengan kewajiban
menyembahNya, sebagimana dalam Q.S. Al-Isra’ (17): 23

Terjemahnya:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu di antara keduanya sempai usia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.[19]

Ayat tersebut hendak menggugah hati nurani manusia agar berbuat baik terhadap orang tuanya, mereka
perlu diingatkan sebab sering terlena dengan kehidupan pribadinya, sibuk merancang masa depan
sambil melupakan masa lalu den kasih sayang orang tuanya.

Hukum Islam memandang kewajiban anak untuk berbuat baik terhadap orang tuanya sebagai sesuatu
yang mutlak dilaksanakan. Beberapa referensi dan ketentuan-ketentuan hukum Islam mengatur hal ini
yang notabene tidaklah terbatas pada tataran teori saja, tetapi juga dalam implementasinya pada
kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dalam kehidupan Rasulullah SAW., sebagaimana terekam dalam
sebuah hadits yang berbunyi:

Artinya:

Abdullah bin Umar ra berkata: seorang datang kepada Nabi SAW minta izin untuk berjihad. Maka ditanya
oleh Rasulullah apakah kedua ayah bundamu masih hidup? Jawabnya: ya, sebda Rasulullah” di dalam
menyayangi keduanya itulah jihadmu”.[20]

Hadits tersebut memberikan gambaran betapa penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap orang tua
yang dengan penuh keikhlasan telah merawat dan membimbing anak-anaknya, sehingga atas hal
tersebut muncul kewajiban bagi sang anak untuk berbuat baik terhadap orang tuanya.

(+) Hak untuk disejahterahkan, dinafkahi, serta diwarisi oleh anak-anaknya.


Selain kewajiban untuk berlaku baik terhadap orang tua, salah satu kewajiban bagi anak dalam hukum
Islam adalah kewajiban bagi anak untuk memenuhi segala kebutuhan yang berhubungan dengan
kesejahteraan orang tua.

Orang tua dalam pemeliharaannya terhadap anak-anaknya telah banyak berkorban untuk membiayai
segala kebutuhan anaknya mulai dari sejak lahirnya sampai anak itu mencapai usia dewasa. Sejalan
dengan tumbuh dan berkembangnya anak menjadi dewasa, para orang tuapun menu usia tua. Bila
orang tua diberi umur panjang maka sesuai sunatullah dia akan kembali seperti anak-anak, tubuhnya
menjadi lemah dan tidak bisa bekerja begitu pula dengan ingatannya yang mulai berkurang. Pada masa
itulah kemudian anak mempunyai kewajiban untuk mengurus serta memberikan nafkah kepada orang
tuanya sebagaimana apa yang telah dilakukan orang tua dalam menafkahinya

Salah satu perwujudan dari kewajiban anak dalam hal ini adalah setiap orang tua berhak mendapatkan
warisan dari anaknya. Dimana aturan tentang waris merupakan inti dari konsep tafakul yaitu konsep
bahwa setiap anggota keluarga berhak mendapatkan jaminan hidup dari anggota lainnya.

Terlepas dari konsep dasar mawaris ini, orang tua pada dasarnya memang sangat patut untuk
mendapatkan harta warisan dari anak-anaknya, dan Islam sendiri sebagai agama yang nota bene’
merupakan agama kemanusiaan melihat hal itu dan memberikan suatu ketetapan hukum atas hak orang
tua untuk mendapatkan harta warisan dari anak-anaknya. Salah satu ketetapan hukum Islam itu dapat
dilihat pada Q.S. An-Nisa (4): 11 yang berbunyi:

Terjemahnya:

…Dan untuk dua ibu bapak masing-masing seper enam dari harta warisan jika yang meninggal itu
mempunyai anak. Jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya saja
maka ibunya mendapat seper tiga , jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seper enam…[21]

Ayat ini merupakan ketetapan Allah bagi manusia ya paling tidak untuk diperhatikan oleh sang anak
akan kewajibannya untuk mewariskan sebagian harta bendanya untuk kesejahteraan orang tuanya.
Selain itu, ayat ini merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk penghargaan Islam terhadap Ibu
Bapak.

Kewajiban orang tua terhadap anak


Orang tua yang terdiri dari ibu dan bapak adalah manusia dewasa yang sudah dibebani tanggung jawab
terhadap keluarga. Dalam agama Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara beribadah dan berbakti
kepada Allah, tetapi juga mengatur bagaimana cara mengasuh dan mendidik anak, hidup bersama dalam
keluarga atau rumah tangga, masyarakat dan bangsa. Kedua orang tua merupakan pembimbing dalam
setiap rumah tangga dan mereka bertanggung jawab atas keluarganya dan akhirnya akan dipertanggung
jawabkan pula kepada Allah.

Dalam hukum Islam, ada beberapa macam hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua sekaligus
kewajiban terhadap anak. Hak-hak itu dijelaskan sebagai berikut:

(+) Hak Penjagaan dan Pemeliharaan.

Dalam hukum Islam, kewajiban orang tua untuk menjaga dan memelihara anak-anaknya tidaklah
bermula ketika anak itu lahir, akan tetapi jauh sebelum itu yakni pada masa anak itu masih berupa janin
di dalam kandungan, orang tua sudah dibebani tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara janin
tersebut, hal ini dimaksudkan agar bayi yang nanti lahir menjadi bayi yang sehat.

Hukum Islam sangat menghargai setiap jiwa yang diciptakan Allah SWT baik itu masih berupa janin
lebih-lebih telah terlahir ke dunia. Sebagai contoh penghargaan serta jaminan hukum Islam atas hal ini
adalah ketika seorang isteri misalnya dalam keadaan hamil kemudian dithalaq oleh suaminya, maka sang
suami wajib memberikan nafkahnya atau hak-hak isterinya tersebut sampai ia melahirkan. Hal ini
sebagaimana ketetapan Allah dalam Q.S. At-Thalaq(65): 6 yang berbunyi:

Terjemahnya:

…Dan jika mereka (isteri -isteri) yang sudah dithalaqitu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka melahirkan…[22]

Tegasnya, seorang isteri berhak menerima atau menuntut dari suaminya nafkah untuk anak yang
dikandungnya atau anak yang belum dilahirkannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Ini merupakan
sebuah dasar atas kewajiban orang tua untuk menjaga serta memelihara anaknya yang masih di dalam
kandungan.

Banyak hal penting yang harus diperhatikan di dalam kehidupan manusia sejak lahir sampai dewasa, satu
langkah saja yang keliru dalam melalui proses tersebut maka akan berakibat fatal bagi kebahagiaan dan
keberhasilan si anak baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Islam memberikan metode
tersendiri dalam pelaksanaan pemeliharaan dan penjagaan terhadap anak, dimana dalam Islam
ditetapkan dua macam bentuk pemeliharaan terhadap anak yakni pemeliharaan secara fisikal serta
pemeliharaan non fisikal.

Pemeliharaan secara fisikal berupa pemeliharaan bersifat luar seperti bagaimana merawat anak,
menafkahi, menjaga kesehatannya dan lain sebagainya. Selain hal tersebut Islam juga bahkan lebih
mengutamakan pemeliharaan secara non fisikal seperti bagaimana memelihara anak dari segi mental,
akhlak, serta menjauhkan anak dari hal-hal yang bisa menjerumuskannya kepada kesesatan. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. At-Tahrim (66): 6 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu….[23]

Pelaksanaan kewajiban dalam hal pemeliharaan, hukum Islam pada dasarnya telah membagi tanggung
jawab antara seorang ibu dengan bapak, hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Al-Baqarah (2):
233 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun bagi yang ingin
menyempurnakanpenyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf….[24]

Ayat tersebut memberikan penjelasan dalam pelaksanaan kewajiban pemeliharaan dalam hukum Islam
terjadi pemisahan tanggung jawab antara suami isteri yang tentunya pembagian itu didasarkan pada
fitrahnya.

(+) Hak Nasab

Seorang anak berhak mengetahui tentang nasabnya. Hal ini disebabkan bahwa asal-usul yang
menyangkut keturunannya itu sangat penting, terutama untuk bekalnya dalam menempuh kehidupan di
masyarakat kelak. Dengan demikian kejelasan dan ketetapan nasab anak terhadap ayahnya merupakan
hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Kejelasan nasab bagi seorang anak dapat
memotivasi anaka dalam memenuhi hak dan kewajiban bahkan juga akan melahirkan ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi anak itu sendiri. Sehubungan dengan nasab ini Allah memberikan petunjuk dalam
Q.S. Al-Ahzab (33): 5 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak- bapak mereka, itulah yang lebih
adil di sisi Allah….[25]

Seorang anak harus dipanggil atau diberi nama dengan nama bapak mereka tentunya hal ini
dimaksudkan agar dengan adanya ketetapan dan kejelasan nasab anak itu dengan ayahnya, maka
seorang anak dapat menuntut hak-hak pribadinya terhadap ayahnya.

(+) Hak Menerima Nama Yang Baik.

Salah satu kewajiban orang tua terhadap anak adalah memberikan nama yang baik terhadap anak-
anaknya. Terkait dengan itu, Amir Al-Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata bahwa peranan orang tua yang
pertama terhadap anak adalah memberikan nama yang baik.

Berdasarkan realita, nama-nama yang baik dapat mempengaruhi fikiran dan kepribadian seseorang, jika
seorang anak yang siang malam mendengar namanya disebut-sebut, misalnya karena namanya sama
dengan asmaul husna, maka logis kita percayai bahwa arti nama tersebut secara tidak disadari akan
memperkuat watak penyandang nama tersebut. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kasus khusus bahwa
ada orang jahat yang mempunyai nama yang baik, yang menjadi penekanan adalah kenyataan bahwa
nama mempunyai efek psikologis terhadap penyandangnya.

Dalam hal pemberian nama anak sesungguhnya bisa diikuti jejak Rasulullah lantaran selalu memberi
nama yang baik dengan penambahan nama ayahnya agar menjadi jelas garis keturunan anak tersebut.
Dalam Islam pada dasarnya mempunyai kewajiban untuk memberikan nama yang baik, memiliki latar
belakang dan motivasi tersendiri sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: Sesungguhnya engkau akan
dipanggil nanti pada hari kiamat dengan nama-namamu sekalian serta nama-nama bapakmu, maka
baguskanlah nama-namamu.

(+) Hak Untuk Disusui dan Dinafkahi.

Berbagai firman Allah yang menunjukkan kepada jaminan hak dan seluruh kemaslahatan yang
berhubungan dengan masalah anak. Sesungguhnya Allah tidak akan pernah mendatangkan
kemudharatan bagi umatNya. Seperti contoh dalam hal menyusui dan menafkahi anak, Allah telah
memerintahkan kepada ibu untuk menyusui anaknya demi kemaslahatan anak itu sendiri, dimana
mekanisme dan tatacara pun telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. menyusui anak dalam Islam memang
merupakan kewajiban seorang ibu, sementara seorang anak berhak menerima air susu ibunya minimal
dua tahun, sedangkan seorang ayah berkewajiban menjamin,menjaga, dan memelihara hidup
keluarganya.

Islam telah mensyariatkan kepada seluruh umatnya bahwa dalam hal seorang ibu menyusui anak-
anaknya, lamanya minimal dua tahun yang ditujukan agar anaknya sehat, kuat dan bertenaga serat
memiliki perkembangan tubuh dan jiwa yang normal dan sempurna baik lahir maupun bathin.

Petunjuk serta pedoman dan penjelasan mengenai hak anak dalam menyusui kepada ibunya serta
jaminan akan nafkahnya telah lengkap tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 233 yang berbunyi:

Terjemahnya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban memberi makan dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.
Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyampih (sebelum dua tahun) denga kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anak-anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[26]

Ayat di atas menjelaskan kepada kita untuk menyusui serta memberikan nafkah kepada anak merupakan
kewajiban bagi orang tuanya tidak bisa ditawar-tawar lagi serta mutlak harus dilaksanakan. Betapa
menyusui anak begitu penting sehingga apabila ada alasan-alasan tertentu seorang ibu tidak bisa
menyusui anaknya, maka wajib disusui oleh orang lain yang memunculkan kewajiban bagi ayah untuk
memberi upah bagi orang yang menyusuinya. Adapun alasan-alasan yang memang secara rasional
memungkinkan seorang ibu tidak bisa menyusui anaknya, bukanlah alasan-alasan seperti menjaga
kecantikannya, mempertahankan kemontokan tubuhnya, mengejar karir atau kesibukan kerja dan lain
sebagainya.

(+) Hak Untuk Diasuh dan Disayangi.

Pada setiap keluarga muslim, pemberian jaminan bahwa setiap anak dalam keluarga akan mendapat
asuhan yang baik, adil, merata dan bijaksana merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Hal ini
mengingat bahwa apabila asuhan terhadap anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya mereka
akan rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang secara sempurna. Untuk itu, setiap keluarga
muslim terutama kedua orang tua harus mengasuh anak-anaknya dengan cara yang baik, melindungi
serta merawat mereka dengan penuh kasih sayang.

Pada periode awal sesaat setelah kelahiran memang setiap anak membutuhkan kelembutan, kasih
sayang dan keceriaan. Oleh sebab itu, setiap orang tua harus selalu dapat berusaha meyakinkan mereka
bahwa segala sesuatu itu untuk mereka, lantaran dengan begitu akan tumbuh dalam hati setiap anak
rasa aman, tentram, serta kehangatan kasih sayang dan persahabatan yang erat antara anak dan orang
tua.

Dalam hal mengasuh anak, hukum Islam pada dasarnya telah memberikan ketertiban hukum mengenai
tata cara mengasuh anak dan anjuran untuk memberi kasih sayang terhadap anak. Hal itu dapat dilihat
dari pendekatan berbagai ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai hal ini yang bahkan mengatur
hal-hal sedetail mungkin, seperti contoh dalam hal menyayangi anak, Islam telah mensinyalir hal ini.
Seperti pada hadits Rasulullah yang berbunyi:

Artinya:

Diriwayatkan dari Usmamah bin Zaid r.a : Rasulullah SAW meletakkan aku di atas sebelah bahunya dan
Hasan bin Ali pada bahu yang lain kemudian Nabi SAW berkata: Ya Allah sayangilah mereka sebagaimana
aku menyayangi mereka.[27]

Hadits di atas merupakan contoh pelaksanaan pengasuhan serta menyanyangi anak yang paling tidak
merupakan bukti sekaligus ketentuan akan kewajiban orang tua untuk menyanyanginya dan mengasuh
anak-anaknya.
(+) Hak Untuk Menerima Warisan Harta Benda

Metode Islam dalam menjaga hak-hak anak atas harta benda berpedoman kepada makna dari hak-hak
anak tersebut. Sehingga berbagai himbauan, petunjuk, penjagaan atas mereka itu dilakukan dengan
sebaik-baiknya.

Demi pemeliharaan hak-hak anak, maka semenjak tangisan pertama anak dilahirkan telah ditetapkan
bagian haknya, yakni hak waris atasnya. Rasulullah SAW telah menjelaskan hak tersebut dalam sebuah
haditsnya yang berbunyi: “Apabila terjadi kelahiran, maka berhak diwarisi.”

Hukum Islam telah mengatur sedemikian rupa mengenai tatacara pembagian waris secar komplit. Apa
yang kemudian ditetapkan oleh hukum Islam tersebut pada intinya merupakan suatu bentuk “Tafakul”
antara anggota keluarga yakni sebagi satu prinsip bahwa setiap anggota keluarga berhak mendapat
kesejahteraan dari anggota lainnya terlebih lagi antara anak dan orang tuanya sebagi generasi pelanjut
bagi orang tuanya.

Penekanan dan pesan Islam mengenai hal ini, tidak hanya menyangkut dimensi hubungan yang bersifat
material duniawi antara sesama kaum kerabat, tetapi juga menyentuh dimensi ketaatan seseorang
kepada Tuhan yang telah menciptakan, memberikan rezeki dan memberinya pahala. Sampai- sampai
oleh Islam, seseorang yang memberi makan kepada isterinya atau mendidik anak-anaknya dengan baik
serta menanggung kehidupan mereka, dianggap sebagai sedekah yang dijanjikan anugerah pahal oleh
Allah. Padahal hal itu sudah menjadi kewajibannya. Kalau kita amati semua itu, kita akan tahu betapa
besar perhatian Islam terhadap keluarga sebagai unit sosial terkecil yang diwarnai dengan kesejahteraan
dan kebahagiaan.

Sebagai suatu legitimasi atas hal ini, yakni system pembagian waris Islam selalu dimulai dengan
mendahulukan furu’ (pihak keturunan). Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa (4): 11 yang
berbunyi:

Terjemahnya:

Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang
anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. …[28]
Ayat di atas paling tidak memberikan suatu pelajaran bahwa sekali lagi waris Islam sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai “tafakul” terlebih antara orang tua terhadap anak-anaknya. Salah satu pertimbangannya
adalah bahwa anak merupakan salah satu generasi yang sedang berkembang yang merupakan penerus
yang akan meletakkan sejumlah harapan bagi kebaikan masa depan kemanusiaan. Maka pantaslah jika
dalam system Islam melakukan pembagian waris, kecukupan harta benda setiap anak sangat
diperhatikan sebagai sebuah generasi baru.

(+) Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran

Semua anak yang dilahirkan ke dunia ini selalu dalam keadaan suci, tidak bernoda dan tidak cacat
sedikitpun, ditangan masyarakatlah perubahan anak akan terjadi yang tergantung sepenuhnya dari
bentuk dan corak masyarakat dimana anak tersebut hidup. Jadi kesucian seorang anak akan dipengaruhi
oleh keadaan dan lingkungannya. Dalam hal ini, yang sangat berperan adalah lingkungan dekatnya yakni
bapaknya, ibunya, serta keluarganya. Jika anak tersebut hidup dalam lingkungan keluarga muslim,
tentunya ia akan tumbuh dan berkembang pula menjadi seorang muslim dan demikian sebaliknya.[29]

Dalam Islam orang tua disuguhi tanggung jawab untuk mendidik sekalian anak-anak mereka. Hal ini
mengingat bahwa pendidikan anak berpengaruh besar terhadap kehidupan yang kelak akan dijalaninya.
Adapun pendidikan bagi anak itu bermula dalam lingkungan keluarga karena pada dasarnya keluarga
merupakan akar terbentuknya masyarakat atau bangsa dan bahkan sebuah peradaban. Dalam sebuah
keluarga, pelajaran pertama yang diperoleh seorang anak adalah mencintai, menghormati, mengabdi,
menaruh kesetiaan dan taat serta melaksanakan nilai-nilai.

Dalam hukum Islam, pembenahan terhadap kecerdasan anak merupakan sesuatu yang mutlak yang
harus dilaksanakan pada setiap orang tua sebagai bekal bagi anak untuk kemudian terjun dalam
kehidupan bermasyarakat untuk bersosialisasi dan sebagai perwujudan dari fitrahnya sebagai makhluk
social. Selain itu ada satu sisi yang harus diperhatikan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya,
yakni bagaimana membenahi mental, akhlak, serta pengetahuan agama anak, karena selaku manusia di
samping mempunyai tanggung jawab terhadap sesama, kita juga mempunyai tanggung jawab terhadap
pencipta.

Oleh sebab itu, dalam Islam pendidikan kepada anak harus mengarah kepada beberapa hal pokok
sebagai mana disebutkan dalam Q.S. Al-Luqman (31): 13,16-19:

Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya ketika dia memberi pelajaran kepadanya: Hai
anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah, karena sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kedzaliman yang besar.[30]

Terjemahnya:

(Luqman berkata): hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada
dalam batu atau langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (Allah).

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi denagn angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri.

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunkkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai.[31]

Dari ayat-ayat yang disebutkan di atas, maka disimpulkan bahwa beberapa hal yang harus diajarkan
kepada anak serta menjadi peran atau tanggung jawab orang tua untuk mengajarkannya adalah:

1. Tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

2. Ajaran untuk memupuk kebaikan walau sekecil apapun, begitu juga untuk menjauhi keburukan.

3. Ajaran untuk senantiasa mendirikan shalat.


4. Ajaran untuk berbuat baik kepada sesama.

5. Ajaran untuk mengajak orang lain dalam hal kebaikan.

6. Ajaran untuk menjauhi sifat sombong.

7. Ajaran untuk hidup sederhana.

Hal tersebut merupakan cakupan pendidikan yang harus diterapkan kepada anak menurut hukum Islam
yang dengan sendirinya menjadi tanggung jawab bagi orang tua.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:

Salam …

[1]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Cet. V; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 7.

[2] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan ( Cet.XIII; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 2.

[3] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, Edisi.I ( Cet II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 58.

[4] Ibid., h. 59-60.

[5] Abd. Aziz bin Abdullah Al Ahmad, Kesehatan Jiwa, Kajian Korelatif Pemikiran Ibnu Qayyim dan
Psikologi Modern (Cet.I; Jakarta : Pustaka Azzam, 2006), h. 85.
[6] Al-A’lamah Muh. Abd. Rauf Al-Minawi, Faidhol Qadir Jilid II (Beirut: Darul Fikri, 1996 M/1416 H).

[7] Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah ( Surabaya: Terbit Terang, t.th.), h. 100.

[8]Zakiah Darajat, Hubungan Orang tua Mempengaruhi Mental Anak, Perkawinan dan Keluarga, No. 398,
2005, h. 26-27.

[9]Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja (Cet. V; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007),
h. 43.

[10]Hasan Basry, Remaja Berkualitas, Problematika Remaja dan Solusinya (Cet.II; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 13.

[11]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 114.

[12] Sarlito wWirawan Sarwono, Psikologi Remaja ( Jakarta: PT Raja GrafimdoPersada, 2005), h. 114.

[13] Hasan Basri, op. cit., h. 32.

[14] Zakiyah Drajat, Ilmu Jiwa Agama (cet XIV; Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 18.

[15]Ahmad Hasan Kanzu, Waktu Luang Bagi Remaja Muslim (Cet. III; Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), h.
9.

[16] Alex Sobur, Komunikasi Orang tua dan Anak (Bandung: Angkasa, 1991), h. 21.

[17] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya ( Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), h.
123.
[18] Ibid., h. 23.

[19] Ibid., h. 427.

[20] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, Al-Lu’lu Wal Marjan (Cet. I; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), h. 502.

[21] Departemen Agama RI., op. cit., h. 116.

[22] Ibid., h. 946.

[23] Departeman Agama., op. cit., h. 955.

[24] Ibid., h. 57.

[25] Ibid., h. 667.

[26] Ibid., h. 57.

[27] Zaki al-Din Abd. Al -Azhim Al-Munziri. Ringkasan Shahih Al-Bukhari (Cet.I;Bandung: Mizan Pustaka,
2004), h. 847.

[28] Departemen Agama RI., op. cit., h. 116.

[29] Adil Fathi Muhammad. Menjadi ayah yang sukses. (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press), h.36.
‫‪[30] Departemen Agama RI., op. cit., h. 654.‬‬

‫‪[31] Ibid., h. 655.‬‬

‫‪Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. :mrgreen:‬‬

‫… ‪Salam‬‬

‫‪,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,‬‬

‫‪Hadis Pendidikan : Penentuan Tempat dan Waktu Belajar‬‬

‫‪Posted on 9 February 2010 by Miftah‬‬

‫‪i‬‬

‫‪Kasih Nilai‬‬

‫‪Quantcast‬‬

‫ت ا ْم„ َرأةٌ إلَى َر ُس „ ْو ِل ِ‬


‫هللا‬ ‫ان َعنْ ِأبي َس ِع ْي ٍد َج„ ا َئ ْ‬ ‫صال ٍِح َذ ْك َو َ‬ ‫ْن ْاألصْ َب َهانِي َعنْ ِأبي َ‬ ‫َح َّد َث َنا م َُس َّد ُد َحدَّث َنا َ أب ُْو َع َوا َن َة َعنْ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن ب ِ‬
‫„ك هللاُ َف َق„„ا َل‬ ‫َّ‬ ‫ِّ‬ ‫ُ‬
‫„ك فِ ْي„ ِه ت َعل ُم َن„„ا ِممَّا َعل َم„ َ‬ ‫ْ‬
‫ك َي ْو ًم„„ا َنأ ِت ْي„ َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬
‫ك َفاجْ َع ْل لنا َ مِنْ َنفسِ َ‬ ‫ب الرِّ َجا ُل ِب َح ِد ْي ِث َ‬ ‫هللا َذ َه َ‬‫ت َيا َرس ُْو َل ِ‬ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َف َقالَ ْ‬ ‫َ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس „لَّ َم َف َعلَ َمهُنَّ ِممَّا َعلَّ َم„ ُه هللا ُُث َّم َق„„ا َل َم„„ا‬ ‫هللا َ‬ ‫ان َك َذا َو َك َذا َفاجْ َت َمعْ َن َفأتـَاهُنَّ َرس ُْو ُل ِ‬ ‫ِ‬ ‫َ‬
‫ك‬ ‫م‬
‫َ‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫َ‬
‫ذ‬ ‫َ‬
‫ك‬ ‫و‬
‫َ‬ ‫ا‬ ‫ذ‬‫َ‬ ‫َ‬
‫ك‬ ‫م‬
‫ِ‬ ‫و‬ ‫ْ‬ ‫ي‬
‫َ‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ن‬‫َ‬ ‫ِعْ‬
‫م‬ ‫ت‬ ‫َ‬ ‫اِجْ‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ْن ق„ا َل فأ َعادَ ت َه„ا‬‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫„رأة ِمنهٌنَّ َي„ا َر ُس„ ْو َل ِ‬ ‫ْ‬ ‫ٌ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ً‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ِم ْنكنَّ إ ْم َرأة تق َّد َم َبي َْن َي َد ْي َها مِنْ َول ِد َها ثالثة إال ك َ‬
‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ٌ‬ ‫ُ‬
‫هللا أ ِو اثني ِ‬ ‫ار فق„الت إ َم َ‬ ‫ان ل َها ح َِجابً„ا م َِن الن ِ‬
‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫ُ‬
‫ْن — رواه البخاري [‪]1‬‬ ‫ْن َو ْاث َني ِ‬‫ْن َو اَث َني ِ‬ ‫ْن ث َّم َقا َل َو اث َني ِ‬ ‫مَرَّ َتي ِ‬

‫‪Mufradat‬‬

‫َت َق َّد َم َبي َْن َيدَ ْي َها‬ ‫‪: Maju. Yang dimaksud adalah mendidik, mengajar, mengurus.‬‬

‫أَ َعادَ ْت َها‬ ‫‪: Mengulanginya‬‬


Terjemah Hadis

Dari Musaddad, telah berkata Abu ‘Awanah dari Abdurrahman ibn Al Ashbahaniy dari Abu
Shalih Dzakwan dari Abu Sa’id, telah datang seorang perempuan kepada Rasulullah saw. dan
ia berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang laki-laki pergi (mempelajari) hadismu, maka
jadikanlah (luangkanlah) untuk kami dari dirimu (waktumu) sehari (dimana) kami bisa
menjumpaimu pada hari itu dan engkau mengajarkan kepada kami apa yang telah Allah ajarkan
kepadamu.” Rasul menjawab, “Datanglah pada hari ini dan ini di tempat ini dan ini.” Maka
mereka berkumpul dan Rasulullah saw. mendatangi mereka lalu mengajarkan apa yang telah
Allah ajarkan kepada beliau. Kemudian beliau berkata, “Tidak ada perempuan di antara kalian
yang mendidik (mengajar) tiga orang anaknya kecuali ia ter-hijab (terhalang) dari api neraka.
Seorang perempuan di anatar mereka bertanya, “Ya Rasulullah, atau (bagaimana kalau) dua
orang?” kemudian dia mengulanginya sampai dua kali. Beliau menjawab, “Dua orang, dua
orang dan dua orang.” (HR. Bukhari)

Penjelasan Hadis

Seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah dalam hadis di atas adalah Asma’ binti
Zaid ibn As Sakan.[2] Ia datang dengan tujuan agar Rasulullah dapat mengajarkan kepadanya
dan kaum wanita pada masa itu segala yang telah Rasul ajarkan kepada kaum laki-laki.
Rasulullah menyetujuinya dan menetapkan hari sekaligus tempat belajar bagi mereka. Hal ini
mengisyaratkan bahwa waktu dan tempat merupakan hal penting dalam proses perencanaan
dan pengajaran pendidikan, karena tanpa waktu dan tempat yang tepat maka akan
menghambat tercapainya tujuan pendidikan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab I’tishom Bab Ta’lim. Hadis senada juga
diriwayatkan oleh Muslim, Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal.[3]

[1] Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Al Fikr, 1994)

[2] Ibn Hajar Al Asqalani, Fathul Bari.

[3] A. W. Wensick, Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfadzi Al Hadis Al Nabawi (Leiden: Maktabah Baril,
1936).

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
<<CONTOH-CONTOH JUDUL SKRIPSI TARBIYAH/PAI>>

CONTOH-CONTOH JUDUL SKRIPSI TARBIYAH/PAI - images

"BINGUNG PILIH JUDUL..??? BERIKUT INI SAYA SAJIKAN JUDUL-JUDUL SKRIPSI FAKULTAS TARBIYAH
JURUASAN PAI, MUNGKIN INI BISA JADI INSPIRASI ANDA DALAM PENGEMBANGAN JUDUL"

Klo belum merasa puas dengan ini dan butuh skripsi yang utuh silahkan berkunjung ke blog saya di
http://rumahmentari.blogspot.com..!!!

SKRIPSI TARBIYAH JURUSAN PAI Y

1. PENDIDIKAN KELUARGA DALAM ISLAM (SUATU KAJIAN TEOLITIK) ( 1999 )

2. ASPEK-ASPEK PSIKO RELIGIUS REMAJA DALAM AKTIVITAS PENGAJIAN DI DESA LORGO KEC TAWANG
SARI KAB SUKOHARJO ( 2001 )

3. AKTIVITAS MAJELIS TA’LIM NURUL QUR’AN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI IBU
RUMAH TANGGA DI KEC GPETE SELATAN CILANDAK JAKSEL ( 1998 )

4. AKTIVITAS PEMIRSA KULIAH SUBUH DI TELEVISI SWASTA & PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM SISWA KLAS III SLTP N I NEGO SARI ( 2000 )

5. AMAL USAHA RANTING MUHAMMADIYAH PANGKAT REJO BIDANG PENDIDIKAN KEC SEKARAN KAB
LAMONGAN THN 1952-1963 ( 1992)

6. ANALISIS KUALITAS TES MATA PELAJARAN BAHASA ARAB KELAS III A SMU ASSALAM DI PONDOK

7. ASPEK-ASPEK KECERDASAN SPIRITUAL DALAM KONSEP PENDIDIKAN LUQMAN (TELAAH SURAT


LUQMAN AYAT 12-19) ( 2002)

8. STUDI TENTANG EFEKTIFITAS BELAJAR MANDIRI DALAM BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SMP TERBUKA SUSUKAN BANJAR NEGARA ( 1998 )

9. BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB & AKIBATNYA ANAK PUTUS SEKOLAH TINGKAT SEKOLAH LANJUTAN
PERTAMA & UPAYA ORANG TUA SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBINAAN PENYALURAN LEWAT
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI DESA SIDOHARJO KAB SRAGEN ( 91/92)

10. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN FORMAL (KAJIAN TEO & PRAKTIK) GENDER BIAS IN TORIYAL
EDUCATION (THEORITIKAL AND PRAETICAL STUDI) ( 1999 )

11. BIMBINGAN ORTU & PRESTASI BELAJAR SISWA MADRASAH TSANAWIYAH MUALIMIN SIRAY KEC
KEMRAWJEN KAB BANYUMAS (STUDI KORELASI) ( 1998)

12. DAUROH SEBAGAI LEMBAGA KURIKULER PEMHAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH ALIYAH
MATHATI’UL FALAH KAJEN MARGOYOSO PATI ( 1990)

13. DEMOKRATISASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH ATAS TEORI PENDIDIKAN ANDRA BOBI) ( 1997
& 1998)
14. DIMENSI MORAL KLAIM DALAM BUKU SASMITA TUHAN KEMENANGAN SUARA MORAL KARSA M
SOBARY ( 2000 )

15. EFEKTIFITAS METODE MUSYAWARAH DALAM MENGHAFAL AL-QUR’AN DI PONDOK PESANTREN AL-
MUNAWIR KRAPYAK YOGYAKARTA ( 99)

16. EFEKTIFITAS PENGAJARAN FISIKA KURIKULUM 1984 DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI BOYOLALI
(STUDI EVALUASI PENERAPAN STRATEGI (BSA BIDANG STUDI FISIKA) ( 1993)

17. EFEKTIFITAS PENGGUNAAN NILAI EBTANAS MURNI (NEM) SEBAGAI ALAT SELEKSI PENERIMAAN
SISWA DI SMA MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA ( 1989)

18. EFEKTIVITAS METODE DEMONSTRASI DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI
ANAK-ANAK SEKOLAH LUAR BIASA (BAGIAN C) (CACAT MENTAL) NEGERI 2 YOGYAKARTA ( 1999)

19. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEBERHASILAN SISWA DALAM MATA PELAJARAN FISIKA DI
MTSN LASEM KAB REMBANG ( 1993)

20. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI DI SMA MUH I PRAMBANAN
SLEMAN ( 1993)

21. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANAK PUTUS SEKOLAH PADA SEKOLAH LANJUTAN PERTAMA
DI DESA TRIWIDADI PAJANGAN BANTUL ( 91)

22. FUNGSI BANTUAN PEMBANGUNAN DESA & PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMABNGUNAN
BIDANG PENDIDIKAN DI DESA CEMANI KEC GROGOL KAB SUKOHARJO ( 1991)

23. HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS PENGAJARAN DAN ITENSITAS IBADAH PADA IBU-IBU PESERTA
PENGAJIAN AISYIYAH DI POTORONO BANGUN TAPAN BANTUL YOGYAKARTA ( 1993)

24. HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI DALAM KELUARGA & PENYESUAIAN DIRI DENGAN PRESTASI BELAJAR
SISWA KELAS II & III SMU UN YOGYAKARTA TH AJARAN 2000/01 ( 2000 )

25. HUBUNGAN KETRAMPILAN MENYIMAK BAHASA ARAB ...

.........................................

* HUBUNGAN PENGGUNAAN MEDIA PENGAJARAN DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA


DI SLTP (isi nama sekolahnya disini)

* KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ALQURAN (KAJIAN ERHADAP ALQURAN AYAT 13-19)

* PROBLEMA GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM DI SLTP (isi sekolahnya disini)

* PENDIDIKAN ANAK DI DESA (STUDI TENTANG TAMAN PENDIDIKAN AL-QURAN)


* USAHA GURU AGAMA DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA (isi nama
sekolahnya disini)

* HUBUNGAN PENGGUNAAN MEDIA PENGAJARAN DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA


DI SLTP (isi nama sekolahnya disini)

* PENDIDIKAN AGAMA DAN PEMBENTUKAN PRILAKU SISWA SMA (isi sekolahnya disini)

* PERANAN RUMAH SINGGAH ANAK JALANAN (tulis nama rumah singgah disini) DALAM MEMBANTU
PENDIDIKAN ANAK JALANAN

* EFEKTIVITAS PROGRAM REMEDIAL DALAM MENINGKATKAN PRETASI BELAJAR SISWA MATA


PELAJARAN PAI KELAS XI SMA (isi nama sekolahnya disini)

* STUDI TENTANG USAHA-USAHA PEMBINAAN KEPRIBADIAN SISWA KELAS KELAS XII SMA (isi nama
sekolahnya disini)

* PERANAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN SDM DI DESA (isi nama desanya disini)

* STUDI KORELASI ANTARA PRESTASI BELAJAR DALAM BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DENGAN KETERAMPILAN SEKOLAH SISWA KELAS VII SMP (isi nama sekolahnya disini)

* USAHA GURU AGAMA DALAMMENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI DESA (isi nama
desanya disini)

* AKURASI MEDIA AUDIO SEBAGAI SARANA PROSES BELAJAR MENGAJAR DALAM MENINGKATKAN
KUALITAS GURU PAI

* IMPLIKASI EMOTIONAL QUATION DALAM PEMBELAJARAN PAI KELAS XI SMA (isi nama sekolahnya
disini)
* SISTEM PENDIDIKAN TRADISIONAL DI PONDOK PESANTREN (isi nama pondok pesantrennya disini)

* PELAKSANAAN PELAJARAN ALQURAN HADITS KELAS XI MTSN (isi nama sekolahnya disini)

* PELAKSANAAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN DALAM MENUNJANG KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI


MADRASAH IBTIDAYAH (isi nama sekolahnya disini)

* KEBERADAAN ORGANISASI KEAGAMAAN DALAM MENINGKATKAN UKHUWAH ISLAMIYAH

* PERAN ULAM DALAM MEMASYARAKATKAN KEBERSIHAN DAN KESEHATAN LINGKUNGAN DESA (isi
nama desanya disini)

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Judul Skripsi Pendidikan Agama Islam

Bagi yang tengah menyiapkan skripsi tentang pendidikan agama Islam, berikut ada beberapa contoh
judul skripsi pendidikan agama islam yang saya kutip dari peperonity.

1. PENDIDIKAN KELUARGA DALAM ISLAM (SUATU KAJIAN TEOLITIK) ( 1999 )

2. ASPEK-ASPEK PSIKO RELIGIUS REMAJA DALAM AKTIVITAS PENGAJIAN DI DESA LORGO KEC TAWANG
SARI KAB SUKOHARJO ( 2001 )

3. AKTIVITAS MAJELIS TA’LIM NURUL QUR’AN SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI IBU
RUMAH TANGGA DI KEC GPETE SELATAN CILANDAK JAKSEL ( 1998 )

4. AKTIVITAS PEMIRSA KULIAH SUBUH DI TELEVISI SWASTA & PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM SISWA KLAS III SLTP N I NEGO SARI ( 2000 )

5. AMAL USAHA RANTING MUHAMMADIYAH PANGKAT REJO BIDANG PENDIDIKAN KEC SEKARAN KAB
LAMONGAN THN 1952-1963 ( 1992)

6. ANALISIS KUALITAS TES MATA PELAJARAN BAHASA ARAB KELAS III A SMU ASSALAM DI PONDOK

7. ASPEK-ASPEK KECERDASAN SPIRITUAL DALAM KONSEP PENDIDIKAN LUQMAN (TELAAH SURAT


LUQMAN AYAT 12-19) ( 2002)

8. STUDI TENTANG EFEKTIFITAS BELAJAR MANDIRI DALAM BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI
SMP TERBUKA SUSUKAN BANJAR NEGARA ( 1998 )

9. BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB & AKIBATNYA ANAK PUTUS SEKOLAH TINGKAT SEKOLAH LANJUTAN
PERTAMA & UPAYA ORANG TUA SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBINAAN PENYALURAN LEWAT
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI DESA SIDOHARJO KAB SRAGEN ( 91/92)

10. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN FORMAL (KAJIAN TEO & PRAKTIK) GENDER BIAS IN TORIYAL
EDUCATION (THEORITIKAL AND PRAETICAL STUDI) ( 1999 )

11. BIMBINGAN ORTU & PRESTASI BELAJAR SISWA MADRASAH TSANAWIYAH MUALIMIN SIRAY KEC
KEMRAWJEN KAB BANYUMAS (STUDI KORELASI) ( 1998)

12. DAUROH SEBAGAI LEMBAGA KURIKULER PEMHAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH ALIYAH
MATHATI’UL FALAH KAJEN MARGOYOSO PATI ( 1990)

13. DEMOKRATISASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH ATAS TEORI PENDIDIKAN ANDRA BOBI) ( 1997
& 1998)

14. DIMENSI MORAL KLAIM DALAM BUKU SASMITA TUHAN KEMENANGAN SUARA MORAL KARSA M
SOBARY ( 2000 )

15. EFEKTIFITAS METODE MUSYAWARAH DALAM MENGHAFAL AL-QUR’AN DI PONDOK PESANTREN AL-
MUNAWIR KRAPYAK YOGYAKARTA ( 99)

16. EFEKTIFITAS PENGAJARAN FISIKA KURIKULUM 1984 DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI BOYOLALI
(STUDI EVALUASI PENERAPAN STRATEGI (BSA BIDANG STUDI FISIKA) ( 1993)

17. EFEKTIFITAS PENGGUNAAN NILAI EBTANAS MURNI (NEM) SEBAGAI ALAT SELEKSI PENERIMAAN
SISWA DI SMA MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA ( 1989)

18. EFEKTIVITAS METODE DEMONSTRASI DALAM MENINGKATKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BAGI
ANAK-ANAK SEKOLAH LUAR BIASA (BAGIAN C) (CACAT MENTAL) NEGERI 2 YOGYAKARTA ( 1999)

19. FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KEBERHASILAN SISWA DALAM MATA PELAJARAN FISIKA DI
MTSN LASEM KAB REMBANG ( 1993)

20. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI DI SMA MUH I PRAMBANAN
SLEMAN ( 1993)

21. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANAK PUTUS SEKOLAH PADA SEKOLAH LANJUTAN PERTAMA
DI DESA TRIWIDADI PAJANGAN BANTUL ( 91)

22. FUNGSI BANTUAN PEMBANGUNAN DESA & PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMABNGUNAN
BIDANG PENDIDIKAN DI DESA CEMANI KEC GROGOL KAB SUKOHARJO ( 1991)

23. HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS PENGAJARAN DAN ITENSITAS IBADAH PADA IBU-IBU PESERTA
PENGAJIAN AISYIYAH DI POTORONO BANGUN TAPAN BANTUL YOGYAKARTA ( 1993)

24. HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI DALAM KELUARGA & PENYESUAIAN DIRI DENGAN PRESTASI BELAJAR
SISWA KELAS II & III SMU UN YOGYAKARTA TH AJARAN 2000/01 ( 2000 )
25. HUBUNGAN KETRAMPILAN MENYIMAK BAHASA ARAB DENGAN EXPRESI TULIS SISWA PENDIDIKAN
GURU AGAMA NEGRI (PGAN) YOGYAKARTA ( 1988)

26. HUBUNGAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN AGAMA DENGAN PRAKTEK-PRAKTEK TAHAYUL DI DESA
MARGO MULYO KEC KEREK KAB TUBAN ( 2000 )

27. HUBUNGAN PERHATIAN ORANG TUA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS II SMP 3 DEPOK
SLEMAN

28. HUBUNGAN PRESTASI MAHASISWA TENTANG PELAYANAN & PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN


DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA ( 1998 )

29. HUBUNGAN TINGKAT RELIGIUSITAS DENGAN KESEHATAN MENTAL PADA MAHASISWA FAKULTAS
ILMU AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA ( 2001

30. ISTANA PONDOK PESANTREN AN NAWAWI BERJAN PURWOREJO DALAM MENINGKATKAN SDM
( 1997)

31. KAJIAN TENTANG BIDANG STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMEA MA’ARIF TEMON KAB KULON
PROGO (TINJAUAN FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PENDUKUNG DAN PEMECAHANNYA) ( 92)

32. KARAKTERISTIK PENGAJARAN AGAMA ISLAM PADA PONDOK PESNTREN AL-FITRAH JEJERAN BANTUL
YOGYAKARTA ( 1983)

33. KECENDERUNGAN EMOSI REMAJA IMPUKASINYA TERHADAP PEMBINAAN AKHLAK (PENDEKATAN


PSIKOLOGIS) ( 2000 )

34. KEHARMONISAN DALAM KELUARGA HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA MTS N
BANGSAL MOJOKERTO ( 1999 )

35. KEMAMPUAN BAHASA ARAB MAHASISWA FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA ( 2002 )

36. KITAB MAKNUL TASHRIF UNTUK PENGAJARAN SHARAF TINGKAT PEMULA ( 1988)

37. KONSEP KEBEBASAN MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM (TELAAH EVALUATIF TERHADAP
PROGRESIVISME) (98)

38. KONSEP MANUSIA MENURUT PSIKOLOGI DAN NAFSIOLOGI ( 2002 )

39. KONSEP PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MENURUT KI HAJAR DEWANTARA & PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM ISLAM

40. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMIKIRAN KIAI HAJI HASYIM ASY’ARI DAN TELAAH TERHADAP
PROGRESIVISME (SEBUAH KAJIAN KOMPERATIF) ( 2000 )

41. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM TENTANG UPAYA MENUMBUHKAN KEMANDIRIAN ANAK ( 2000 )

42. KONSEP PSIKOTERAPI MENURUT ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN
(THE CONCERPT OF ISLAMIC PSICOTHERAPI AND IT’S IMPLEMENTATION ON EDUCATIONAL
INSTUTIONAL) ( 2000)

43. KONSEP TRI CON KI HAJAR DEWANTARA DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM ( 1996)

44. KOPERASI UNIT DESA (KUD) SUMBER RAHARJO (STUDI KASUS TENTANG MENGENAI KEHIDUPAN KUD
DI DESA PLAYEN) ( 1983)

45. KORELASI ANTARA AKTIVITAS KEAGAMAAN & KESEHATAN MENTAL PADA KLEIN / REMAJA DI SASANA
REHABILITAS ANAK NAKAL “AMONG PUTRA” MAGELANG ( 1995)

46. KORELASI PENGUASAAN MUFRODAT DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KLAS II DI MTS NEGERI
YOGYAKARTA II ( 1998 )

47. MEDIA ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF PENGAJARAN BAHASA ARAB (KAJIAN TENTANG TUJUAN &
MATERI) ( 1991)

48. METODE BELAJAR MENGAJAR AL-QUR’AN DI PONDOK HUFFADH KANAK-KANAK YAN’ BUL’UL QUR’AN
KEC KOTA KAB KUDUS ( 96)

49. METODE DAN EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DISASANA TRESNA WERDHA (STW) ABIYASA
DUWET SARI PAKEM BIWANGUN PAKEM SLEMAN ( 1999)

50. METODE PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PONDOK PESANTREN ASSALAFIYYAH MLANGI GAMPING
KAB SLEMAN ( 1998)

51. METODE PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SMU YOGYAKARTA ( 2000 )

52. METODE TRANSFER NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM CERITA WAYANG KULIT (STUDI TENTANG LAKON
DEWA RUCI) ( 1999 )

53. METODE-METODE PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN SEBAGAI ALAT UNTUK MENCAPAI TUJUAN
PENDIDIKAN ISLAM ( 1998)

54. MOTIVASI SISWA DALAM PENGAMBILAN JURUSAN BIOLOGI DI MADRASAH ALIYAH NEGERI
YOGYAKARTA III ( 1993)

55. NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM NOVEL-NOVEL MATINYA BUSSYE (KAJIAN TENTANG TUJUAN &
MATERI) ( 1997)

56. NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SERAT WEDHA TAMAKARYA KEPA MANGKUNEGARA IV
( 1998 )

57. NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU KI AGENG KARANG LOR (KUMPULAN CERITA RAKYAT
INDONESIA) SUTINGAN Y.B SUPARIAN ( 1999 )

58. NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM IBADAH PUASA (SUATU TINJAUAN PSIKOLOGIS) ( 2000 )

59. NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM KISAH NABI MUH AL DIM AL-QUR’AN
( 99)

60. PANDANGAN AL-MAWARDI TENTANG ILMU PENGETAHUAN DALAM KITAB ADABU ADI DUNYA WAAD
DIIN (SUATU TINJAUAN PSIKOLOGIS PAEDAGAGAS) ( 2000 )

61. PARTISIPASI ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI DESA SUMUR PANCING KODYA
TANGERANG ( 2000 )

62. PARTISIPASI ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ISLAM LUAR SEKOLAH DI KELURAHAN TONGGAUAN
KLATEN TENGAH ( 2000 )

63. PELAKSANAAN ADMINISTRASI PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN “SUBULUK SALAAM” KEPUN


BENER PEJOSARI KEBON SARI MADIUN ( 2000 )

64. PELAKSANAAN HOZARIYYATU AL-FURU DALAM PENGAJARAN BAHASA ARAB DI SMP SALAFIYAH
PEKALONGAN ( 1992)

You might also like