You are on page 1of 49

1

PENDUGAAN RISIKO BENCANA

PENDAHULUAN

Bencana seringkali diidentikkan dengan sesuatu yang buruk, setara


dengan istilah disaster dalam bahasa Inggris. Secara etimologis berasal
dari kata DIS yang berarti ”sesuatu yang tidak enak” (unfavorable) dan
ASTRO yang berarti ”bintang” (star). Dis-astro berarti an event precipitated
by stars (”peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi”).
Bencana adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam sejarah
manusia, manusia terus bergumul agar bebas dari bencana (free from
disaster). Dalam pergumulan itu, lahirlah praktek mitigasi, seperti mitigasi
banjir, mitigasi kekeringan (drought mitigation), dan lain-lain. Di Mesir,
praktek mitigasi kekeringan sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep
tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiap-siagaan
(preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh
tahun pertama kelimpahan dan digunakan selama tujuh tahun kekeringan
sudah lahir pada tahun 2000 BC.
Konsep manajemen bencana mengenai pencegahan (prevention)
atas bencana atau kutukan penyakit (plague), pada abad-abad non-
peradababan selalu diceritakan ulang dalam ‘simbol-simbol’ seperti kurban,
penyangkalan diri dan pengakuan dosa. Early warning kebanyakan
didasarkan pada Astrologi atau ilmu Bintang.
Respon kemanusiaan dalam krisis emergency juga sudah berusia
lama walau catatan sejarah sangat sedikit, tetapi peristiwa Tsunami di
Lisbon, Portugal pada tanggal 1 November 1755, mencatat bahwa ada
respon bantuan dari negara secara ‘ala kadar’. Jumlah korban meninggal
pasca emergency sedikitnya 20,000 orang. Total meninggal diperkirakan
70,000 orang dari 275,000 penduduk.
Hingga dekade yang lalu, cita-cita para ahli bencana masih terus
mengumandangkan slogan ‘bebas dari bencana’ (free from disaster) yang
berdasarkan pada ketiadaan ancaman alam (natural hazard). Publikasi
mutakhir tentang manajemen bencana, telah terjadi perubahan paradigma.
Misalnya, di Bangladesh dan Vietnam, khususnya yang hidup di DAS
Mekong, semula bermimpi untuk bebas dari banjir (free from flood),
akhirnya memutuskan untuk hidup bersama banjir (living with flood).
Tentunya komitmen hidup bersama banjir, tetap dilandasi oleh
semangat bahwa banjir atau ancaman alam lainnya seperti gempa, siklon,
dan kekeringan boleh terjadi tetapi bencana tidak harus terjadi. Di daerah
Timor, khususnya masyarakat Besikama, sudah sangat lama hidup
bersama dengan kejadian banjir. Masyarakat tradisional Besikama
sebenarnya sudah mengenal tentang praktek mitigasi banjir berdasarkan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


2

konstruksi rumah tradisional mereka sejak lama, yakni rumah panggung,


yang sudah sangat tidak popular karena ‘pembangunan’ mengajarkan
segala segala sesuatu yang ‘modern’.
Bencana alam merupakan konsekuensi dari kombinasi aktivitas
alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah
longsor) dengan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia,
akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga
menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan
sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan
untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka[1].
Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: "bencana muncul bila
ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian,
aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah
tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak
berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang
karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa
keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada
bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam
bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Di daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta
memiliki kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang tinggi tidak akan
berdampak luas jika manusianya memiliki ketahanan terhadap bencana
(disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi
kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi,
mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan
demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah
penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap
bencana yang cukup.
Banjir merupakan salah satu “bencana” yang tidak asing bagi
masyarakat Indonesia, kejadiannya berupa terbenamnya daratan oleh air.
Peristiwa banjir timbul jika air menggenangi daratan yang biasanya kering.
Banjir pada umumnya disebabkan oleh air sungai yang meluap ke
lingkungan sekitarnya sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Kekuatan
banjir mampu merusak rumah dan menyapu fondasinya. Air banjir juga
membawa lumpur berbau yang dapat menutup segalanya setelah air surut.
Banjir adalah hal yang rutin. Setiap tahun pasti datang. Banjir, sebenarnya
merupakan fenomena kejadian alam "biasa" yang sering terjadi dan
dihadapi hampir di seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Banjir sudah temasuk dalam urutan bencana besar, karena meminta
korban besar.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


3

Ciri-Ciri Banjir
 Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.
 Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus
menerus sepanjang hari.
 Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian
tertentu.
 Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah,
tanaman, hewan, dan manusia.
 Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan
tanah di tempat-tempat yang rendah.
 Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.
 Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan
tanah dan sampah.
 Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka
ringan, atau hilangnya orang.

dennymedia.wordpress.com/2009/03/04/34/
Bencana banjir setiap setiap tahun terus terjadi di sebagian besar
wilayah Kalimantan Selatan

Jenis-Jenis Banjir
Berdasarkan sumber air yang menjadi [penampung]] di bumi, jenis
banjir dibedakan menjadi tiga, yaitu banjir sungai, banjir danau, dan banjir
laut pasang.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


4

Banjir Sungai
1) Terjadi karena air sungai meluap.
2) Banjir Danau
3) Terjadi karena air danau meluap atau bendungannya jebol.
4) Banjir Laut pasang
5) Terjadi antara lain akibat adanya badai dan gempa bumi.

Penyebab Terjadinya Banjir

Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut:


1) Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,
2) Pendangkalan sungai,
3) Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran
sungai mapupun gotong royong,
4) Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
5) Pembuatan tanggul yang kurang baik,
6) Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi
daratan.

Dampak Dari Banjir


Banjir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup berupa:[1]
1. Rusaknya areal pemukiman penduduk,
2. Sulitnya mendapatkan air bersih, dan
3. Rusaknya sarana dan prasarana penduduk.

PEMKAB SRAGEN SIAP ANTISIPASI BENCANA BANJIR


(Sragen News, [ 25/11/2008, 11:44 WIB ]

Bencana banjir yang melanda di sebagian besar wilayah Kab.


Sragen di penghujung tahun 2007 lalu menjadi pelajaran yang berharga
bagi Pemkab Sragen. Menghadapi musim penghujan tahun ini, pemkab
telah mempersiapkan berbagai langkah untuk menghadapi bila bencana
banjir kembali melanda. Setidaknya 12 perahu ponton telah di siagakan di
sejumlah titik – titik yang dinilai rawan bencana banjir.
Satu perahu ponton terbuat dari 8 tong / drum dan bambu yang
diikat menjadi satu. Bentuk perahu disesuaikan dengan kondisi jalan desa.
Ada yang berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang. Sewaktu bencana
banjir tahun lalu, perahu ponton ini telah terbukti manfaatnya untuk
mengevakusai warga korban banjir.
Titik – titik yang dinilai rawan bencana bnjir tersebut meliputi desa
Tangkil, Pandak, Tenggak, Plupuh dan lain sebagianya. Sebagian besar
daerah rawan bencana banjir terletak di bantaran sungai bengawan Solo di

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


5

sisi sebelah utara. Pemkab telah melakukan pendataan ulang daerah


rawan bencana dan pendataan ulang peralatan evakuasi korban bencana
banjir. Pemkab juga telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait
seperti Pengelola Sumber Daya Air (PSDA) Bengawan Solo dan seluruh
Satuan Pelaksanaan (Satlak) bencana alam di tingkat kecamatan, melalui
Rapat Koordinasi daerah rawan bencana banjir yang diselenggarakan oleh
Satlak bencana Alam Kab. Sragen.
Hasil Rakor tersebut antara lain, Satlak Bencana Alam Kabupatena
dan Kecamatan akan siaga 24 jam dalam menghadapi musim penghujan
yang bisa berpotensi terjadinya musibah bencana banjir. Selain itu, juga
telah disiapkan skenario evakuasi korban bencana, antara lain dengan
menentukan jalan-jalan atau rute evakuasi, posko-posko bencana banjir,
gudang logistik dan dapur umum. Semua tempat yang telah ditentukan
tersebut di pilih yang tidak begitu jauh dari daerah rawan bencana namun
mudah untuk dijangkau.
Hal yang sulit diantisipasi adalah datangnya air banjir. Apabila di
tiga Kabupaten yakni Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo dan Sragen hujan
lebat secara bersamaan, bisa dimungkinkan akan terjadi banjir di daerah
Sragen. Tapi dimungkinkan juga bila hanya Kab. Wonogiri saja yang terjadi
hujan lebat dan pintu air Waduk Gajah Mungkur dibuka akan terjadi banjir
kiriman ke daerah Sragen.
Oleh karenanya, Satlak bencana Alam Kab. Sragen dalam
menghadapi musim hujan ini terus melakukan berkoordinasi dengan PSDA
Bengawan Solo dan Penanggung Jawab Waduk Gajah Mungkur.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


6

www.sragenkab.go.id/eng/berita/berita.php?id=7275

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


7

BENCANA ALAM

Karakteristik Bencana
Bencana secara istilah dibedakan berdasar karakteristik fisik
utama :
Penyebab : Alam atau ulah manusia.
Frekuensi : Berapa sering terjadinya.
Durasi : Beberapa durasinya terbatas, seperti pada ledakan, sedang
lainnya mungkin lebih lama seperti banjir dan epidemi.
Kecepatan onset : Bisa muncul mendadak hingga sedikit atau tidak ada
pemberitahuan yang bisa diberikan, atau bertahap seperti pada
banjir (keculi banjir bandang), memungkinkan cukup waktu untuk
pemberitahuan dan mungkin tindakan pencegahan atau
peringanan. Ini mungkin berulang dalam periode waktu tertentu,
seperti pada gempa bumi.
Luasnya dampak : Bisa terbatas dan mengenai hanya area tertentu atau
kelompok masyarakat tertentu, atau menyeluruh mengenai
masyarakat luas mengakibatkan kerusakan merata pelayanan dan
fasilitas.
Potensi merusak : Kemampuan penyebab bencana untuk menimbulkan
tingkat kerusakan tertentu (berat, sedang atau ringan) serta jenis
(cedera manusia atau kerusakan harta benda) dari kerusakan.

Kita dan Bencana


(Sekitar Kita: Manusia, Budaya, dan Lingkungan; Muhammad Idenk Rusni, Artikel
dikirim oleh idenk pada 22 October 2009)

Kembali tanah Indonesia dilanda bencana gempa bumi di Padang


padahal kepiluan belum berhenti ketika saudara saudara kita di
Tasikmalaya dan sekitarnya masih menderita akibat gempa yang terjadi
dua bulan lalu. Hampir sebulan bencana gempa Padang berlalu, kami
mencoba untuk berefleksi terhadap peristiwa tersebut. Chaos alam, itulah
yang terus menerus meporak porandakan sebagian bumi Indonesia yang
kemudian pastinya akan banyak kehilangan nyawa dan benda. Bencana
alam di Indonesia saling menyusul, silih berganti yang pada akhirnya akan
sangat menguras energy dan kekuatan kita demi melakukan penanganan
bencana; evakuasi, rehabilitasi, pemulihan trauma pada anak anak, serta
perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang menjadi korban.
Tak sedikit biaya yang digunakan untuk mengatasi kondisi pasca
gempa yang seharusnya jumlah angka angka tersebut dapat dipergunakan
untuk mensejahterakan dan mengangkat martabat rakyat Indonesia yang
masih menderita kemiskinan dan kelaparan tapi itulah diluar jangkauan dan
pikiran manusia atas peristiwa bencana alam.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


8

Disinilah Tuhan menampakkan manifestasinya yang adiluhung


lewat keteraturan alam meski manusia tidak menyadarinya.
Satu hal yang selalu menjadi dasar pertanyaan ketika bencana
menghampiri kita adalah apakah ini merupakan akibat ulah manusia atau
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Aspek teologis seringkali menjadi
pembicaraan dan alasan kenapa bencana itu datang yang pada akhirnya
adalah menyalahkan korban itu sendiri. Dengan argument ini bencana
dianggap azab dari Tuhan kepada umatnya. Ketika tanggul Situ Gintung
jebol masyarakat sekitar berkesimpulan bahwa Situ tersebut seringkali
menjadi ajang maksiat maka wajar Tuhan marah terhadap tempat tersebut.
Teologi bencana yang muncul ke permukaan tidak lepas dari peran
teks –teks kanonik agama (baca: Islam). Dalam Al-Quran terdapat kisah
yang menghukum kaum Nabi Luth karena umatnya terlibat
homoseksualitas maka dibalikkanlah bumi untuk menenggelamkan
kaumnya tersebut.

sekitarkita.com/2009/10/kita-dan-bencana/

Bencana bersumber atau ada kaitannya dengan dua hal. Pertama,


bencana merupakan fenomena alam yang berhubungan dengan
meteorologi dan geofisika. Ke dua, akibat perilaku manusia seperti
pembalakan dan pembakaran hutan secara membabi buta, mengeruk hasil
bumi seperti di Freeport, pengeboran minyak yang asal-asalan seperti di
Lapindo dan ini sejalan dengan pandangan dunia yang antropo-sentris.
Dengan manusia sebagai pusat kosmos, alam tidak dijadikan sebagai
teman tetapi lebih sebagai ancaman. Antara kondisi alam dan kebudayaan
masyarakat saling berhubungan. Misalnya, nilai-nilai luhur kebudayaan
suku Amungme di pedalaman Papua terhadap pegunungan di sekitarnya

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


9

sangat harmonis dan serasi tetapi tradisi terhadap nenek moyang semakin
terkikis dan bencana ekologi, social dan cultural dengan cepat merebak.
Korban bencana alam atau tragedy kemanusiaan bukan karena
mereka melakukan kesalahan fatal; politik, moral, ataupun kriminal
sehingga dapat menerima balasan dan hukuman sepadan. Mungkin
dengan cara ini Tuhan mengasihi umatnya yang tidak dapat dipahami oleh
manusia.
Sebenarnya kita bisa saja mencegah bencana atau mungkin
meminimalisir korban yang tertimpa bencana seandainya kita mampu
menjaga kehidupan dan keberlangsungan kesetimbangan ekologi. Awal
dari semua bencana adalah karena keinginan dan nafsu manusia yang
tidak ada habisnya. Pesisir pantai mengalami abrasi karena tidak ada
penopang berupa hutan bakau. Hutan telah dikuasai untuk penghasilan
kehidupan ekonomi dengan cara melakukan illegal logging, padahal
dengan hutan gundul intensitas efek rumah kaca semakin meningkat yang
mengakibatkan pemanasan global dikarenakan hutan yang berfungsi
sebagai penyerap gas rumahkaca yang berupa CO2 menjadi terbatas.
Masyarakat kita jugalah yang menuai akibat dari dampak kerusakan hutan
seperti longsor, banjir, serta permukaan bumi yang semakin panas.

Geografi Bencana

Area geografik yang nyata sehubungan dengan bencana dikatakan


sebagai area kerusakan, area dimana bencana menyerang. Areal ini
dibedakan menjadi:
1. Area kerusakan total : Dimana bencana paling merusak.
2. Area kerusakan tepi : Walau dampak bencana dirasakan,
kerusakan dan atau cedera nyata lebih ringan dibanding area
kerusakan total.
3. Area penyaring : Area dekat area kerusakan dari mana
bantuan dimulai secara segera dan spontan.
4. Area bantuan terorganisir : Area darimana bantuan yang
lebih resmi diberikan secara selektif. Area ini mungkin meluas
hingga mencakup bantuan masyarakat, regional, nasional dan
internasional.

Berdasar tingkat respons, bencana diklasifikasikan menjadi tiga


tingkat (ACEP) :
1. Tingkat 1 : Sistem pengelolaan respons terhadap bencana
lokal mampu bereaksi secara efektif dan dapat mancakup
kerusakan atau penderitaan.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


10

2. Tingkat 2 : Sebagai tambahan terhadap respons lokal,


dukungan diberikan oleh sumber regional atau masyarakat atau
negara sekitar.
3. Tingkat 3 : Melampaui kemampuan sumber lokal atau
regional dan diperlukan bantuan internasional.

Beberapa hal penting yang harus diingat :


1. Bencana bisa menimbulkan kerusakan masyarakat dan
sumber daya yang diperlukan untuk menghadapinya.
2. Bencana menyebabkan masalah pemulihan dan perbaikan
jangka panjang. Bisa melampaui kemampuan masyarakat
beserta sumber daya dan atau fasilitasnya.
3. Bencana menyebabkan kematian, cedera dan kecacadan.

celebratinghumanity.wordpress.com/.../

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


11

PENDUGAAN RISIKO BENCANA


Analisis risiko IPAL

Risiko adalah kemungkinan suatu kejadian yang tidak diharapkan


terjadi sehingga menggnggu apa yang seharusnya terjadi dari suatu
kegiatan atau mengganggu tujuan. Hazard merupakan segala sesuatu
yang berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kehidupan, kesehatan,
atau lingkungan. Risiko lingkungan adalah probabilitas dari kerusakan
lingkungan sehingga menghambat kinerja perusahaan dalam mencapai
tujuannya. Kerusakan lingkungan dapat disebabkan dari limbah industri
yang melebihi baku mutu, dimana mutu limbah dipengaruhi oleh proses
pengolahan limbah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jika terjadi
kegagalan proses dalam IPAL, akan menimbulkan risiko terhadap
lingkungan sekitar.
Metode yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk mengidentifikasi hazard
dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan risiko tertinggi
yang akan dimitigasi. Dari hasil identifikasi diketahui ada enam macam
risiko yaitu limbah cair meluber, limbah cair tercecer, lumpur primary
tercecer, lumpur biologis tercecer, pekerja terpapar limbah cair/lumpur dan
penurunan kualitas efluen. Berdasarkan penilaian risiko menggunakan
AHP didapatkan bahwa risiko penurunan kualitas efluen mempunyai
dampak yang paling besar terhadap lingkungan yaitu sebesar 0,602.
Sedangkan penilaian risiko berdasarkan probabilitas risiko lumpur primary
tercecer, lumpur biologis tercecer dan pekerja terpapar limbah cair/lumpur
pasti terjadi. Sedangkan likelihood risiko limbah cair meluber dan
penurunan kualitas efluen < 0,2 serta limbah cair tercecer 0,1. Pemetaan
risk matrix menyebutkan bahwa risiko penurunan kualitas merupakan risiko
yang moderate dan kelima risiko lainnya termasuk risiko yang trivial.

PENENTUAN TINGKAT RISIKO BENCANA TSUNAMI


KAWASAN PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT
(Oki Oktariadi dan Wawan Hermawan)

Analisis risiko bencana tsunami dilakukan untuk menyiapkan


informasi yang dibutuhkan dalam rangka mengantisipasi dan menurunkan
tingkat risiko tsunami yang dimiliki wilayah Pesisir Kabupaten Sukabumi,
sedangkan tujuannya adalah mengetahui sejauhmana tingkat risiko wilayah
Pesisir Kabupaten Sukabumi dalam menghadapi bencana tsunami yang
mungkin terjadi.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


12

Menurut Davidson (1997) hubungan antara faktor resiko, faktor


bahaya, faktor kerentanan dan faktor ketahanan tercermin dalam model
matematis (model ini telah dimodifikasi dan disesuikan dengan bahan
kajian) sebagi berikut:

HDRI = WHH + WVV + WCC

Dimana:
HDRI = Nilai resiko bencana (Hazard Disaster Risk Index)
WHH = Nilai faktor bahaya (Weight Hazard)
WVV = Nilai faktor kerentanan (Weight Vulnerability)
WCC = Nilai faktor ketahanan (Weight Capacity)

1. Faktor bahaya, dengan indikator zona bahaya rendah, bahaya sedang


dan bahaya tinggi. Pembagian zona ini berdasar pada kondisi tingkat
kelerengan pantai, peringkat jenis batuan, peringkat kekasaran pantai,
genangan tsunami, akumulasi energi gempa dan intensitas gempa.
Indikator - indikator kerentanan tersebut berpengaruh terhadap dampak
yang akan timbul jika bahaya tsunami terjadi di suatu wilayah.
2. Faktor kerentanan dengan sub faktor kerentanan fisik, sosial
kependudukan, sosial ekonomi dan lingkungan. Indikator dari sub-faktor
kerentanan tersebut yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial
kependudukan, kerentanan sosial ekonomi dan kerentanan lingkungan.
Indikator - indikator kerentanan tersebut berpengaruh terhadap dampak
yang akan timbul jika bahaya tsunami terjadi di suatu wilayah.
3. Faktor ketahanan dengan sub faktor sumber daya alami, sumber daya
buatan, dan mobilitas. Faktor ketahanan ini merupakan komponen
penting terutama dalam penyelamatan penduduk sebelum terjadi
bencana, pada saat dan setelah terjadi bencana tsunami.

Berdasarkan peta tingkat risiko bencana tsunami terlihat sebagian


besar wilayah Pesisir Sukabumi memiliki tingkat risiko tinggi sampai
sedang dan berdasarkan hasil pengamatan lapangan terdapat 3 wilayah
yang perlu diwaspadai antara lain :
� Desa Ciwaru (Teluk Ciletuh) Kecamatan Ciemas, memiliki
topografi pedataran dengan penggunaan lahan berupa
pesawahan dan pemukiman serta berada pada sebuah teluk
yang menghadap langsung ke Samudera Hindia.
� Desa Gunungbatu (Tanjung Ujung Genteng) di Kecamatan
Ciraca, memiliki topografi pedataran dengan penggunaan lahan
berupa kebun campuran dan pesawahan serta berhadapan
langsung dengan samudera Hindia.
� Hampir sepanjang pesisir pantai Kecamatan Tegalbulued,
memiliki topografi pedataran dengan penggunaan lahan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


13

pesawahan dan pemukiman penduduk serta berhadapan


langsung dengan Samudera Indonesia.

Langkah antisipasi yang perlu segera dilakukan adalah melakukan


adaptasi dan sosialisasi pada masyarakat untuk mewaspadai wilayah-
wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


14

Abrasi Mengancam Pesisir Nusantara


(Koran Jakarta, Selasa, 26 Mei 2009)

Indonesia yang dua per tiga wilayahnya merupakan lautan tentu


tidak terlepas dari masalah abrasi. Pantai-pantai Indonesia yang panjang
lama-lama terkikis. Penyebabnya bisa karena faktor alam bahkan ulah
manusia yang semakin brutal.
Indonesia termasuk ke dalam lima negara yang memiliki garis
pantai terpanjang di dunia. Sayangnya, potensi itu tidak lantas diiringi
penjagaan kelestarian wilayah pantai dan laut. Buktinya banyak kerusakan
terjadi di wilayah tersebut, seperti pemutihan terumbu karang (coral
bleaching), pencemaran air laut, dan abrasi wilayah pantai.

www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=8886

Salah satu kerusakan yang kini semakin mengkhawatirkan adalah


abrasi pantai. Abrasi merupakan peristiwa terkikisnya alur-alur pantai
akibat gerusan air laut. Pengikisan itu terjadi karena permukaan air laut
mengalami peningkatan sehingga mampu menghempas daerah pantai
lebih kuat dan lebih mudah.
Jika hal itu terus terjadi sangat mungkin wilayah pantai akan
menghilang dan tinggallah daratan yang berbatasan langsung dengan
lautan. Sangat mungkin pula daratan akan menghilang meski terjadi dalam
waktu lama.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


15

Contoh paling konkret akibat abrasi pantai adalah amblasnya jalan


lintas Sumatra di beberapa titik, khususnya di Bengkulu bagian utara. Laju
abrasi di pantai barat Bengkulu mampu menyebabkan kerusakan yang
tentunya sangat merugikan. Abrasi juga mampu menghilangkan Pulau Satu
dan Pulau Bangkai yang berada di sekitar Pulau Enggano, sekitar 90 mil
dari Kota Bengkulu.
Koordinator Enam Kepala Suku di Enggano, Rafli Zen Kaitora,
mengatakan pulau yang masing-masing memiliki luas lebih dari 2 hektare
dan 1 hektare tersebut tenggelam akibat tingginya abrasi yang terjadi di
perairan Enggano.
Pada tahun 1960, dua pulau itu masih dijaga oleh suku Kahuga di
Pulau Bangkai dan suku Kaarubi di Pulau Satu dengan memelihara pohon
kelapa. Kedua pulau cepat menghilang karena pepohonan yang ditanam di
pulau itu sering ditebangi nelayan yang singgah.
Tidak hanya di Bengkulu, hal serupa juga terjadi di banyak tempat
di Indonesia. Abrasi menyebabkan pula garis pantai mundur jauh dari jarak
semula. Tercatat pada 2008 pantai di sepanjang selatan Kulonprogo, DI
Yogyakarta, bergerak mundur ke utara hingga 100 meter. Beberapa
bangunan mercusuar dan warung-warung penduduk hancur diterjang
gelombang. Sepanjang pantai Kota Padang, Sumatra Barat, pun terancam
abrasi. Setidaknya dalam jangka waktu lima tahun terakhir bibir pantai telah
menjorok ke daratan sepanjang 150 meter sehingga tidak aman lagi bagi
penduduk yang bermukim di pinggirannya.

Sebab-Akibat
Untuk menanggulangi ancaman abrasi perlu dipahami terlebih dulu
penyebabnya. Profesor Otto Sudarmaji Rahmono Ongkosono dari
Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan
pada dasarnya abrasi terjadi di kawasan pantai mana pun di belahan Bumi.
Hanya saja pada beberapa tempat ada yang laju abrasinya cepat, ada pula
yang lambat.
Kecepatan laju abrasi disebabkan beberapa faktor, seperti jenis pantai,
keadaan bagian hulu sungai, serta akibat ulah manusia. Apabila keadaan
hulu sungai banyak pohon yang ditebangi, otomatis banyak sedimen yang
terbawa ke daerah muara sungai. Hal itu menyebabkan keseimbangan
masuk dan keluar air di sekitar muara sungai terganggu. Akibatnya, ombak
yang datang akan dengan mudah menggerus kawasan sekitarnya.
Hilangnya terumbu karang di lepas pantai juga menjadikan abrasi lebih
cepat terjadi. Terumbu karang tidak hanya berguna sebagai tempat hidup
berbagai biota laut, tapi juga berfungsi menahan laju ombak. Dengan
adanya terumbu karang, laju ombak tidak akan terlalu cepat dan keras
menggempur pantai.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


16

Penggunaan kawasan pantai untuk bangunan secara berlebihan juga


menyebabkan abrasi lebih masif terjadi. Kawasan pantai yang seharusnya
diperuntukkan bagi hutan bakau, misalnya kini sudah banyak yang
berubah menjadi resort pinggir pantai. Selain itu, kawasan pantai juga
sering digunakan sebagai tambak yang tidak berwawasan lingkungan.
Kesemua hal itu menyebabkan lahan bakau menghilang. Setelah lahan
bakau menghilang, ombak yang datang ke pantai pun tidak ada
penghalangnya. Ujung-ujungnya, pengikisan tanah di pantai lebih mudah
terjadi. Ulah manusia yang paling parah adalah mengeruk pasir-pasir
pantai, seperti di Pantai Teluk Sepang Bengkulu. Menurut data Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada 2006, lebih dari 400 meter
kubik pasir per hari diangkut keluar dari lokasi penambangan pasir Pantai
Teluk Sepang. Masyarakat masih beranggapan bahwa lahan pantai
bukanlah lahan produktif sehingga pengerukan pasir pantai tidak akan
menimbulkan kerugian.

www.liputan-kota.com/2010/03/abrasi-ancam-pes...
Sekitar wilayah pantai Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, terancam abrasi
akibat gelombang air laut pasang yang terus menerus menghantam wilayah
pesisir itu. Sepanjang wilayah pantai Kabupaten Majene yang terletak di
Kecamatan Tubo, terdiri dari Kelurahan Mosso, Desa Puttada, Pundaum,
Desa Onang, terus terancam gelombang air laut pasang. Tampak sepanjang
puluhan kilometer wilayah pantai Kabupaten Majene terus dikikis air laut
yang juga menghantam beberapa tanggul penahan ombak yang terletak di
pesisir pantai sehingga jebol akibat gelombang pasang yang melanda
wilayah itu. Abrasi yang terjadi tersebut tampak juga merusak sepadan jalan
jalur trans sulawesi yang terletak di sekitar pesisir pantai di wilayah itu,
sehingga jalan trans sulawesi di bagian barat Sulawesi tersebut juga
menjadi terancam..

PENGELOLAAN RISIKO

Pengelolaan Risiko Bencana

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


17

Pikirkan bahwa masyarakat dan lingkungannya adalah terancam


terhadap bencana dan bagaimana kesanggupan masing-masing melawan
akibat dari kerusakan oleh bencana.

Risiko (risk) : Kemungkinan akan kehilangan yang bisa terjadi


sebagai akibat kejadian buruk, dengan akibat kedaruratan dan
keterancaman.
Bahaya (hazard) : Potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah
manusia dengan akibat negatif.
Keterancaman (vulnerability) : Akibat yang timbul dimana struktur
masyarakat, pelayanan dan lingkungan sering rusak atau hancur akibat
dampak kedaruratan. Adalah kombinasi mudahnya terpengaruh
(susceptibility) dan daya bertahan (resilience). Resilience adalah
bagaimana masyarakat mampu bertahan terhadap kehilangan, dan
susceptibility adalah derajat mudahnya terpengaruh terhadap risiko.
Dengan kata lain, ketika menentukan keterancaman masyarakat atas
dampak kedaruratan, penting untuk memastikan kemampuan masyarakat
beserta lingkungannya untuk mengantisipasi, mengatasi dan pulih dari
bencana. Jadi dikatakan sangat terancam bila dalam menghadapi dampak
keadaan bahaya hanya mempunyai kemampuan terbatas dalam
menghadapi kehilangan dan kerusakan, dan sebaliknya bila kurang
pengalaman menghadapi dampak keadaan bahaya namun mampu
menghadapi kehilangan dan kerusakan, dikatakan tidak terlalu terancam
terhadap bencana dan kegawatdaruratan.

High susceptibility + low resilience = high level of vulnerability.


High exposure to risk + limited ability to sustain loss = high
vulnerability.
Low susceptibility + high resilience = low degree of vulnerability.
Ability to sustain loss + low degree of exposure = low vulnerability.

Jelaslah bahwa petugas harus mengenal golongan masyarakat,


struktur dan pelayanan yang mudah terancam, hingga dapat
menjadikannya tahan terhadap kerusakan akibat kedaruratan.

Proses Pengelolaan Risiko Bencana

Dalam pengelolaan risiko bencana, bencana dijelaskan berkaitan


dengan risikonya terhadap masyarakat; dan dilakukan tindakan yang
sesuai terhadap risiko yang diketahui.

Dua hal penting :


1. Berapa luas bencana melanda.
2. Berapa luas ancaman terhadap masyarakat dan lingkungan.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


18

Pengelolaan risiko bencana adalah penerapan sistematik dari


kebijaksanaan pengelolaan, prosedur dan pelatihan terhadap :
1. Memastikan hal-hal terkait
2. Mengidentifikasi risiko
3. Menganalisis risiko
4. Menilai / mengevaluasi risiko
5. Mengatasi risiko.

Pengamatan dan penelaahan harus merupakan proses


berkesinambungan dalam pengelolaan risiko, dan semua sistem
tergantung pada komunikasi dan konsultasi.
Hal tersebut menjadi perangkat pengambil keputusan yang
sistematik, logis dan praktis bagi pengelola bencana. Gunanya untuk
mendapatkan kegunaan yang mendasar bagi pengelola bencana untuk
mengurangi dampak dari bencana. Pengelola bencana dapat
melakukan:
1. Identifikasi apa yang mungkin terjadi
2. Analisis kemungkinan hasil akhir
3. Pendugaan Menilai dampak
4. Mengelola risiko (pencegahan/mitigasi, mempersiapkan,
merespons dan pemulihan)
5. Memonitor proses.

Pengelolaan Bencana Menyeluruh dan Terpadu


Pengelolaan bencana yang efektif memerlukan kombinasi empat
konsep :
a. Atas semua bahaya
b. Menyeluruh
c. Terpadu
d. Masyarakat yang siap.

Semua bahaya, maksudnya aturan yang disetujui dalam merancang


mengatasi semua bahaya, alam dan ulah manusia. Dari pada
mengembangkan rencana dan prosedur berbeda untuk masing-masing
bahaya, rancangan tunggal pengelolaan harus dibuat dan digunakan dalam
menghadapi semua bahaya yang dihadapi masyarakat.

Pendekatan Menyeluruh

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


19

Empat dasar pengelolaan kegawatan dan bencana, masing-


masing memerlukan program pengelolaan (strategi) :
1. Pencegahan dan mitigasi
Peraturan dan persyaratan fisik untuk mencegah terjadinya
bencana, atau untuk mengurangi dampaknya.
2. Persiapan
Perencanaan dan program, sistem dan prosedur, pelatihan dan
pendidikan untuk memastikan bahwa bila bencana terjadi,
sumber daya dan tenaga dapat segera dimobilisasi dan
diberdayakan dengan hasil terbaik. Termasuk pengembangan
sistem peringatan dan kewaspadaan, perencanaan
organisasional, pelatihan dan pengujian petugas, peralatan,
perencanaan dan prosedur, serta pendidikan publik.
3. Respons
Kegiatan yang diambil mendahului atau segera setelah dampak
bencana untuk meminimalkan akibat, dan untuk memberikan
bantuan segera, memulihkan dan mendukung masyarakat.
Termasuk rescue, pemulihan dan dukungan terhadap korban,
informasi publik, pemberian makanan, pakainan dan tempat
berlindung.
4. Pemulihan
Pemulihan dan perbaikan jangka panjang atas masyarakat yang
terkena. Merupakan proses rumit dan lama.

Pendekatan Terpadu

Pengelolaan bencana efektif memerlukan kerjasama aktif antara


berbagai fihak terkait. Artinya semua organiasi dengan tugasnya masing-
masing bekerja bersama dalam pengelolaan bencana. Hubungan
berbentuk kerjasama sangat penting.

Masyarakat yang siap


Adalah masyarakat yang masing-masing individunya waspada
terhadap bahaya dan tahu bagaimana melindungi dirinya, keluarganya
serta rumahnya terhadap dampak dari bahaya. Bila masing-masing dapat
melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya, akan
mengurangi keterancaman terhadap bencana dan kedaruratan.
Kegiatan pencegahan / mitigasi, persiapan, respons dan pemulihan
yang harus dilakukan :
1. Pencegahan dan mitigasi :
2. Standar bangunan dan kemampuan PMK
3. Immunisasi penyakit
4. Rancang sanitasi

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


20

5. Pembuangan sampah / limbah


6. Program pendidkan masyarakat
7. Informasi media
8. Peringatan terhadap masyarakat

Persiapan :
1. Perencanaan, sistem dan prosedur
2. Pelatihan personil
3. Pengujian perencanaan, personil dan peralatan

Respons :
1. Pengaktifan sistem pengelolaan insidens
2. Pengaktifan sistem pengelolaan informasi dan sumberdaya
3. Mekanisme pendukung bagi staf

Pemulihan :
1. Proses debriefing
2. Menilai dan merubah perencanaan dan prosedur
3. Identifikasi dan pemanfaatan pengetahuan yang didapat

Pengelolaan risiko bencana

Pengelolaan risiko bencana adalah pemanfaatan yang sistematik


dari kebijaksanaan pengelolaan, prosedur dan pelaksanaan dengan
maksud mengurangi dampak bencana. Merupakan perangkat pembuat
keputusan yang logis dan praktis.

Disaster management
The remote sensing inputs have been used for many disasters
including drought, flood, earthquake, cyclone, landslides, volcanoes,
avalanches, forest fire, crop pest / diseases, etc., Remote sensing
and GIS helps in preparing suitable strategy of land succumbed to
disaster for its management and occupational framework for their
monitoring, assessment and mitigation by identifying gap areas and
assist in recommending appropriate strategies for disaster mitigation
and management. BISAG through synergistic coupling of remote
sensing inputs with conventional systems and space
communications, in well knit multi-energy interface, has been offering
better operational services and decision support for better Disaster
Management.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


21

Proses Perencanaan Terhadap Bencana

Pendugaan Risiko
1. Penentuan hal yang akan direncanakan →
2. Penetapan komite perencanaan →
3. Penilaian risiko →
4. Penentuan tujuan perencanaan →
5. Penentuan pertanggungjawaban →
6. Analisis sumberdaya (
7. Pengembangan sistem dan prosedur (
8. Penulisan rencana (
9. Pelatihan tenaga (
10. Tes rencana, tenaga dan prosedur (
11. Peninjauan ulang rencana (
12. Perbaiki rencana.

Hal-hal yang dapat direncanakan :


Hal yang dapat direncanakan dalam menghadapi kegawatdaruratan
harus diidentifikasi.

Komite perencanaan :
Fihak rumah sakit, fihak sistem kesehatan masyarakat termasuk
kesehatan masyarakat dan kesehatan mental, pelayanan darurat eksternal
seperti ambulans, PMK dan polisi.

Lakukan analisis risiko bencana :


Termasuk analisis bahaya dan analisis keterancaman. Semua
analisis akan membantu komite perencanaan bencana menentukan
sasaran dan prioritas perencanaan.

Penilaian risiko bencana berkelanjutan sepanjang proses


perencanaan : Bahaya berubah, tingkat keterancaman berubah, semua
harus dimonitor dan dinilai secara tetap.

Tentukan tujuan perencanaan :


Berdasar pada hasil analisis risiko dan pengenalan strategi
pengelolaan bencana yang disetujui komite.

Tentukan pertanggungjawaban :
Memilih pertanggungjawaban dari semua fihak terkait : RS,
petugas, dan pelaksana kesehatan masyarakat lainnya.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


22

Analisis sumberdaya :
Komite harus mengetahui apa yang akan dibutuhkan; dari pada
hanya melihat apa yang dipunyai. Bila apa yang dibutuhkan kurang dari
apa yang tersedia, komite harus mengidentifikasi sumber tenaga dan
sarana yang tersedia yang dapat dipanggil seketika dibutuhkan.
Rencanakan kerjasama dengan fasilitas kesehatan regional atau nasional.

Penciptaan sistem dan prosedur :


Komite harus mengidentifikasi strategi untuk pencegahan dan
mitigasi, penyiapan, respons dan pemulihan akibat kegawatan major dan
bencana. Ini termasuk sistem komando gadar RS, sistem komunikasi,
informasi publik, sistem pengelolaan informasi dan sumberdaya.

Penulisan rencana :
Dokumen tertulis harus dibagikan pada semua yang akan
menggunakannya. Dokumen harus sederhana dan langsung sasaran, atau
orang tidak dapat membaca atau memahaminya.

Pelatihan persomil, uji perencanaan, personil dan prosedur :


Pelatihan personil serta pengujian perencanaan, sistem dan
prosedur merupakan bagian vital dari persiapan pengelolaan gadar atau
bencana.
Kegiatan respons bencana memerlukan personil untuk bekerja
diluar kegiatan dan tanggungjawab hari-hari normalnya, dan melaksanakan
tugas yang kurang familier. Untuk menciptakan kejadian menjadi lebih sulit,
berikan tidak hanya banyak tugas yang tidak familer, namun mereka harus
mendapatkan lingkungan yang sangat menekan, yang bahkan pantas
untuk menguji sistem dan personil yang sudah berpengalaman.
Dapat dimengerti mengapa personil wajib dilatih dan diuji secara
rutin dalam tugas pengelolaan bencananya. Personil juga memerlukan
kesempatan untuk mempraktekkan tugas dan tanggungjawab pengelolaan
bencananya.
Selain itu, rencana yang belum diuji dan dinilai ulang mungkin lebih
buruk dari pada tidak ada rencana sama sekali. Hal ini akan membangun
rasa keamanan yang salah pada petugas dalam hal tingkat persiapan.

Peninjauan ulang dan ubah perencanaan

Perencanaan harus dinilai ulang dan diperbaiki secara berkala,dan


harus dinyatakan dalam perencanaan itu sendiri. Setiap saat, perencanaan
atau bagian dari perencanaan, diaktifkan untuk latihan atau dalam bencana
sesungguhnya. Debriefing harus dilakukan untuk mengenal kebutuhan
perbaikan perencanaan, sistem dan prosedutr, dan untuk melatih personil.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


23

Sekali lagi, perencanaan adalah proses, tidak pernah berakhir.


Perencanaan tertulis adalah hanya sebuah hasil akhir dari proses
perncanaan, namun bukan titik akhir, hanya bagian dari proses
perencanaan. Perencanaan tertulis adalah dokumen yang hidup yang
harus secara tetap diuji, dinilai ulang dan dipertbaharui.

Bagaimana bila :
Bagian penting dari proses perencanaan adalah pertanyaan dari
komite : Bagaimana bila …; Bagaimana bila ini atau itu terjadi, apa yang
harus dilakukan, apa yang diperlukan, apa dampaknya pada petugas dll.
Tidak mungkin untuk membuat rencana bagi semua kejadian,
namun kegiatan komite dalam memikirkan batasan kejadian beserta
konsekuensinya, dan membahas pilihan rancangan yang diperkirakan
memiliki jangkauan luas dalam sistem persiapan, penting dilakukan.

Di dunia, kehilangan akibat bencana tetap meningkat walau


investasi yang sangat besar dalam tindakan pencegahan secara tehnik
sudah dilakukan. Hambatan politik dan ekonomi menyebabkan bahwa
pendekatan tradisional dalam mendapatkan rasa aman terhadap bahaya
harus dinilai ulang. Tidak saatnya lagi mangatakan bahwa pencegahan
terhadap proses berbahaya secara umum dikatakan sebagai terbaik atau
cara yang paling diinginkan dalam menghadapi risiko. Pencegahan dan
peningkatan resilience dari objek yang berpotensi terkena adalah dua
contoh penting lainnya dari bagaimana kerusakan akibat keadaan
berbahaya dapat dikurangi.
Konsep pilihan untuk mengatasi keadaan bahaya adalah
menggunakan kebijaksanaan berdasar risiko. Walau diarahkan pada
bahaya, yang juga telah mencakup risiko, dijelaskan sebagai fungsi dari
empat faktor berikut :
1. Frekuensi terjadinya kejadian bahaya.
2. Intensitas kerusakan objek sasaran yang berpotensi terhadap
risiko dengan distribusi / kelompok khusus.
3. Keterancaman objek sasaran akan terkena oleh kerusakan.
4. Keterpaparan target sasaran terhadap bahaya.

Frekuensi dan kerusakan menunjukkan beratnya keadaan bahaya,


keterancaman dan keterpaparan sasaran terhadap risiko. Inilah kenapa
ada perbedaan antara definisi sederhana risiko sebagai hasil kemungkinan,
dan perluasan kerusakan yang lebih menunjukkan sudut pandang operator
atau pelaksana. Bagaimanapun sudut pandang yang lebih sempit dengan
cepat menunjukkan bahwa frekuensi dan keterpaparan adalah sebanding
dengan kemungkinan, dimana intensitas dan keterancaman mengartikan
kerusakan.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


24

Pengelolaan risiko akan berhasil bila informasi berikut tersedia :


1. Karakterisasi bahaya secara khusus.
2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan objek yang terancam
dalam jangkauan proses berbahaya.
3. Tampilan dampak kerusakan yang mungkin terjadi terhadap
objek disaat kejadian.

Saat ini prinsip penilaian risiko dan pembuatan kebijaksanaan


secara umum berdasar risiko dipakai secara luas lintas disiplin dan lintas
batas.

Evaluasi dan Persepsi Risiko


Kunci pendekatan berdasar risiko menghadapi bahaya diterima
dalam bentuk tingkat rasa aman yang memadai dan secara ekonomik.
Baik definisi dari tingkat rasa aman yang memadai dan kuantifikasi
tampilan ekonomik tidak dapat dibuat hanya oleh para ahli. Nilai dan
tanggapan sosial mungkin merupakan faktor lebih penting dalam
membentuk rasa aman dari pada risiko nyata sendiri.
Satu masalah yang belum jelas adalah opini publik dalam proses
keputusan. Ini mungkin karena jarak antara ilmu sosial (termasuk proses
evaluasi publik) dan ilmu administratif atau tehnik (yang bertanggung jawab
pada kebanyakan risiko nyata). Usaha saat ini adalah menjembatani jarak
tsb. dengan mengembangkan model yang seakurat mungkin menunjukkan
persepsi dan evaluasi publik akan risiko yang diharapkan hingga pembuat
keputusan dapat menggunakan hal ini. Dengan kata lain, dianjurkan bahwa
pandangan publik tentang evaluasi risiko secara normatif (dari pada
emperik-deskriptif) akan memperbaiki keputusan yang dibuat dalam
pengelolaan bencana.

Risk perception is the subjective judgment that people make about


the characteristics and severity of a risk. The phrase is most
commonly used in reference to natural hazards and threats to the
environment or health, such as nuclear power. Several theories
have been proposed to explain why different people make different
estimates of the dangerousness of risks. Three major families of
theory have been developed: psychology approaches (heuristics
and cognitive), anthropology/sociology approaches (cultural theory)
and interdisciplinary approaches (social amplification of risk
framework).

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


25

Interdisciplinary approach:

Social amplification of risk framework


The Social Amplification of Risk Framework (SARF), combines
research in psychology, sociology, anthropology, and
communications theory. SARF outlines how communications of risk
events pass from the sender through intermediate stations to a
receiver and in the process serve to amplify or attenuate
perceptions of risk. All links in the communication chain, individuals,
groups, media, etc., contain filters through which information is
sorted and understood.
The theory attempts to explain the process by which risks are
amplified, receiving public attention, or attuned, receiving less public
attention. The theory may be used to compare responses from
different groups in a single event, or analyze the same risk issue in
multiple events. In a single risk event, some groups may amplify
their perception of risks while other groups may attune, decrease,
and their perceptions of risk.
The main thesis of SARF states that risk events interact with
individual psychological, social and other cultural factors in ways
that either increase or decrease public perceptions of risk.
Behaviors of individuals and groups then generate secondary social
or economic impacts while also increasing or decreasing the
physical risk itself.
These ripple effects caused by the amplification of risk include
enduring mental perceptions, impacts on business sales, and
change in residential property values, changes in training and
education, or social disorder. These secondary changes are
perceived and reacted to by individuals and groups resulting in
third-order impacts. As each higher-order impacts are reacted to,
they may ripple to other parties and locations. Traditional risk
analyses neglect these ripple effect impacts and thus greatly
underestimate the adverse effects from certain risk events. Public
distortion of risk signals provides a corrective mechanism by which
society assesses a fuller determination of the risk and its impacts to
such things not traditionally factored into a risk analysis.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


26

PENGURANGAN RISIKO BENCANA


Pendahuluan

Pengurangan Risiko Bencana (PRB) mendasarkan pada konsep


pikir pengurangan ancaman, pengurangan kerentanan dan penguatan
kapasitas. Pemerintah dan seluruh seluruh stakeholder pembangunan di
Provinsi Jawa Tengah bertanggungjawab dalam PRB melalui implementasi
peran dan fungsinya masing-masing yang dilakukan pada seluruh siklus
penyelenggaraan penanggulangan bencana baik pada tahap pra bencana,
saat bencana maupun pasca bencana. Aspek-aspek yang tercakup dalam
program kegiatan PRB meliputi kesiapsiagaan, mitigasi, tanggap darurat,
pemulihan dan rekonstruksi.

Banjir akibat tanggul jebol biasanya menimbulkan korban jiwa dan


kerugian harta benda yang sangat besar. Ini semua merupakan
resiko bencana (disaster risk) bagi masyarakat yang terkena
dampak langsung. Ada resiko bencana lain yang menimpa
masyarakat, misalnya sakitnya warga masyarakat, terganggunya
mereka dalam mencari mata pencaharian, anak-anak tak dapat
mengikuti pelajaran di sekolah dengan normal. Adanya trauma
psikologis pada anak-anak, juga merupakan bagian dari resiko
bencana.

adijm.multiply.com/journal/item/335/Manajemen...
Berdasarkan Undang-Undang nomor 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana, pemerintah (gubernur, bupati/walikota
atau perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah) bertugas melakukan penanggulangan bencana. Hal yang

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


27

paling awal dari tugas dan tanggung jawab ini adalah pengurangan
atau minimalisasi resiko bencana. Pengurangan resiko ini termasuk
upaya pencegahan rawan bencana. Dalam hal bencana banjir
jebolnya tanggul sungai, adanya monitoring tanggul-tanggul di
sepanjang sungai secara periodik dan seksama adalah bagian dari
pencegahan bencana. Sementara itu tumbuhnya kawasan
permukiman di sepanjang bantaran sungai, adalah parameter
kerawanan yang lain. Ditambah lagi, warga masyarakat di sana bisa
jadi tidak pernah diberi peringatan akan bahaya yang mengintai
mereka. Masyarakat juga tidak pernah mempersiapkan bangunan
yang kokoh. Sistem peringatan dini biasanya juga amat minim. Ini
semuanya serupakan parameter-parameter yang menambah
tingginya tingkat kerentanan mereka terhadap bencana
(vulnerability).

Sesuai amanat Undang Undang No. 24 Tahun 2007, Pemerintah


berkewajiban memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan
penghidupan masyarakat termasuk perlindungan atas bencana dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan umum. Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) (misalnya Provinsi Jawa Tengah ) secara umum mempunyai tugas
pokok dan fungsifungsi yang terkait dalam kegiatan penanggulangan
bencana wajib mengambil peran dengan mengisi kegiatan pada
nomenklatur program yang sesuai dengan urusan kewenangan wajib
dan/atau pilihan.

Identifikasi Risiko Bencana

Pengurangan Risiko Bencana di suatu daerah dapat diarahkan


pada pengurangan ancaman bahaya (hazard), pengurangan kerentanan
(vulnerability) masyarakat dan peningkatan kapasitas (capacity) pemerintah
dan masyarakat di daerah rawan bencana untuk melindungi jiwa dan harta
benda masyarakat serta menjamin tata kehidupan yang berkelanjutan.
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dapat ditempuh melalui
kebijakan sebagai berikut:
a. Mengedepankan keterpaduan paradigma, persepsi, potensi, informasi,
pola pelaksanaan semua pemangku kepentingan pengurangan risiko
bencana di provinsi dan kabupaten/kota beserta seluruh masyarakat
Jawa Tengah, selaras dengan kebijakan Pusat;
b. Mengedepankan pemberdayaan masyarakat dan pemerintah lokal di
daerah rawan bencana dengan pendayagunaan secara optimal potensi
dan sumber daya serta kearifan lokal yang telah mengakar dan
berkembang di masyarakat;

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


28

c. Mengedepankan upaya pencegahan dan pendekatan persuasif dalam


pelaksanaan program dan kegiatan dengan prinsip mendorong kearah
tata kehidupan dan penghidupan yang lebih baik bagi masyarakat;
d. Mengedepankan transparansi dengan pola kemitraan serta prinsip non
diskriminasi dalam penyelenggaraan pengurangan risiko bencana.

1. Konsep Dasar Identifikasi

Potensi bencana yang tinggi pada dasarnya tidak hanya sekedar


refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk suatu
wilayah, namun merupakan kontribusi beberapa permasalahan lain
sehingga meningkatkan kerentanan. Rencana Aksi Daerah Pengurangan
Risiko Bencana daerah dititik-beratkan pada keselamatan jiwa manusia
dan menjamin kehidupan dalam lingkungan yang lebih baik (better life and
better living) serta tertata pada kondisi yang terbebas dari ancaman
bencana. Oleh karena itu langkah yang dilakukan meliputi: pengurangan
ancaman, pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas.

Daerah Aliran Sungai dan Risiko Banjir

Salah satu aspek yang seringkali dilupakan berkaitan dengan terjadinya


banjir di satu kota adalah banjir itu sangat berkaitan erat dengan
kesatuan wilayah yang disebut dengan daerah aliran sungai (DAS).
DAS sendiri didefinisikan sebagai satu hamparan wilayah dimana air
hujan yang jatuh di wilayah itu akan menuju ke satu titik outlet yang
sama, apakah itu sungai, danau, atau laut.

Jadi jika air hujan yang jatuh di rumah Anda mengalir ke selokan dan
menuju ke Sungai Brantas, maka Anda adalah warga DAS Brantas. Itu
artinya, jika air sungai Brantas meluap dan menggenangi dataran banjir
di sekitarnya, maka Anda (air hujan dari persil lahan Anda) punya
kontribusi terhadap terjadinya banjir itu.
Dengan demikian setiap kita pasti warga dari satu DAS dan setiap
warga DAS berpotensi untuk memberikan kontribusi terhadap
terjadinya banjir di bagian hilir DAS yang bersangkutan. Dalam
perspektif ilmu lingkungan, setiap warga DAS berpotensi menghasilkan
eksternalitas negatif dari sisi hidrologi.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


29

bebasbanjir2025.wordpress.com/.../

Suatu “daerah aliran sungai” atau DAS adalah sebidang lahan yang
menampung air hujan dan mengalirkannya menuju parit, sungai dan
akhirnya bermuara ke danau atau laut. Istilah yang juga umum
digunakan untuk DAS adalah daerah tangkapan air (DTA) atau
catchment atau watershed. Batas DAS adalah punggung perbukitan
yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya.

Skema sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS).

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


30

Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah
sepanjang lereng, maka garis batas suatu DAS adalah punggung bukit
sekeliling sebuah sungai. Garis batas DAS tersebut merupakan garis
khayal yang tidak bisa dilihat, tetapi dapat digambarkan pada peta.
Batas DAS kebanyakan tidak sama dengan batas wilayah administrasi.
Akibatnya sebuah DAS bisa berada pada lebih dari satu wilayah
administrasi. Ada DAS yang meliputi wilayah beberapa negara
(misalnya DAS Mekong), beberapa wilayah kabupaten (misalnya DAS
Brantas), atau hanya pada sebagian dari suatu kabupaten.
Tidak ada ukuran baku (definitif) suatu DAS. Ukurannya mungkin
bervariasi dari beberapa hektar sampai ribuan hektar. DAS Mikro atau
tampungan mikro (micro catchment) adalah suatu cekungan pada
bentang lahan yang airnya mengalir pada suatu parit. Parit tersebut
kemungkinan mempunyai aliran selama dan sesaat sesudah hujan
turun (intermitten flow) atau ada pula yang aliran airnya sepanjang
tahun (perennial flow). Sebidang lahan dapat dianggap sebagai DAS
jika ada suatu titik penyalur aliran air keluar dari DAS tersebut.

Perencanaan pengelolaan DAS terpadu mempersyaratkan adanya


beberapa langkah-langkah penting sebagai berikut:
1. Pengumpulan data yang ekstensif, didukung oleh strategi pengelolaan
data yang terpadu, perlu dilaksanakan sebelum rencana pengelolaan DAS
dirumuskan. Pengumpulan data ini terutama identifikasi karakteristik DAS
yang, antara lain, mencakup batas dan luas wilayah DAS, topografi,
geologi, tanah, iklim, hidrologi, vegetasi, penggunaan lahan, sumberdaya
air, kerapatan drainase, dan karakteristik sosial, ekonomi dan budaya.
2. Identifikasi permasalahan yang meliputi aspek penggunaan laha n, tingkat
kekritisan lahan, aspek hidrologi, sosial ekonomi dan kelembagaan seperti
terlihat pada Gambar 3.2. Prakiraan-prakiraan tentang kebutuhan
sumberdaya alam (dan buatan) untuk beragam pemanfaatan perlu
dilakukan dan dikaji potensi timbulnya konflik di antara pihak – pihak yang
berkepentingan.
3. Perumusan tujuan dan sasaran secara jelas, spesifik dan terukur dengan
memperhatikan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dari
ekosistem DAS, peraturan dan kebijakan pemerintah, adat istiadat
masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
pengelolaan DAS.
4. Identifikasi dan memformulasikan beberapa rencana kegiatan sebagai
alternatif.
5. Evaluasi alternatif kegiatan pengelolaan yang akan diimplementasikan
sehingga dapat dihasilkan bentuk kegiatan yang paling tepat (secara
teknis dapat dilaksanakan, secara sosial/politik dapat diterima, dan secara
ekonomi terjangkau).
6. Penyusunan rencana kegiatan/program pengelolaan DAS berupa usulan
rencana yang dianggap paling memenuhi kriteria untuk tercapainya
pembangunan yang berkelanjutan.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


31

7. Legitimasi dan sosiallisasi rencana yang telah disusun kepada pihak-pihak


yang terkait. Dalam Gambar 3.1, mekanisme pelaksanaan pengelolaan
DAS mempersyaratkan bahwa tahap perencanaan dan implementasi tidak
boleh dipisahkan karena informasi yang diperoleh dari implementasi
kegiatan dapat dimanfaatkan kembali sebagai umpan balik (feedback)
untuk penyempurnaan rencana yang telah dibuat. Demikian pula, untuk
setiap langkah pengelolaan dari mulai alternatif kegiatan hingga
implementasi kegiatan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi (review).
Hal ini diperlukan sebagai umpan balik bertahap.

Diagram Alir Garis Besar Identifikasi Permasalahan DAS


bebasbanjir2025.wordpress.com/.../

a. Pengurangan Ancaman

Ancaman berpotensi menimbulkan bencana, namun demikian tidak


semua ancaman selalu menjadi bencana. Diperlukan analisis ancaman

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


32

untuk mengetahui tingkat risiko suatu ancaman yang didasarkan pada


probabilitas terjadinya bencana dan intensitas dampak kerugian yang
ditimbulkan. Berdasarkan pada berbagai jenis ancaman, baik yang
disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, yang terjadi secara tiba-tiba
atau perlahan-lahan sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta
benda dan kerusakan lingkungan, maka dalam upaya mengurangi berbagai
ancaman perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1) Sebagian besar risiko yang terkait dengan bencana alam,
hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali
kesempatan untuk mengurangi ancaman. Oleh karenanya
kebijakan pengurangan ancaman difokuskan pada upaya
pencegahan, mitigasi dan pembangunan kesiapsiagaan
masyarakat;
2) Penyediaan peta rawan bencana, baik untuk gunung berapi,
tanah longsor, banjir dan kerawanan lainnya sehingga dapat
dilakukan tindakan mitigasi secara dini.
3) Penyiapan struktur fisik untuk mengurangi ancaman dan
dampak bencana, seperti sabo untuk mengurangi ancaman
aliran lahar, dam/bendungan untuk mereduksi banjir,
bangunan tahan gempa, rehabilitasi mangrove untuk
pencegahan/pengurangan abrasi dan lain sebagainya.
4) Ancaman bencana non alam dan bencana sosial, dapat
dikurangi dengan penegakan hukum dan pemberian insentif
bagi upaya pelestarian lingkungan (reward and punishment).
5) Penyiapan regulasi untuk keselamatan dan kenyamanan yang
berkaitan dengan tindakan yang dapat menimbulkan ancaman
bencana.
Penilaian ancaman dilakukan dengan probabilitas yang spesifik
dengan melihat intensitas kerugian yang terjadi selama ini.

b. Pengurangan Kerentanan

Kerentanan merupakan kondisi karakteristik biologis, geografis,


sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
masyarakat tersebut mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan
menanggapi dampak bahaya tertentu. Pengurangan risiko bencana dapat
dilakukan dengan cara memperkecil kerentanan. Tingkat kerentanan dapat
ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, ekonomi
dan kerentanan lingkungan. Pengurangan kerentanan masyarakat
difokuskan pada hal-hal sebagai berikut:

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


33

1) Perlindungan masyarakat yang rentan (bayi, balita, ibu hamil,


orang cacat dan lansia), mendorong aktivitas ekonomi produktif
dan peningkatan infrastruktur;
2) Penataan fasilitas baru; melalui perencanaan tata ruang yang
dapat memberikan rasa aman dan nyaman;
3) Pendorongan individu atau institusi untuk mengambil tindakan-
tindakan mitigasi bencana.

c. Peningkatan Kapasitas

Kapasitas adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat,


keluarga, dan perorangan yang membuat mereka mampu mencegah,
mengurangi, siap siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari
suatu kedaruratan dan bencana. Hal yang berpengaruh terhadap kapasitas
ini adalah kebijakan, kesiapsiagaan dan partisipasi masyarakat.
Peningkatan kapasitas masyarakat bertujuan untuk mengembangkan suatu
“kultur keselamatan” di mana seluruh anggota masyarakat sadar akan
bahaya-bahaya yang mereka hadapi, mengetahui bagaimana melindungi
diri mereka, dan akan mendukung upaya-upaya perlindungan terhadap
orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Hal terpenting dalam
rangka peningkatan kapasitas ini adalah memandang masyarakat sebagai
subyek dan bukan sebagai obyek penanganan bencana dalam proses
pembangunan. Ruang lingkup dalam peningkatan kapasitas adalah:

1) Tingkat individu, yang berarti kualifikasi dan kemampuannya


dalam mengembangkan pengelolaan bencana dalam setiap tupoksinya
baik yang sifatnya individu maupun sebagai individu dalam lembaga. Untuk
itu perlu dikembangkan upaya sebagai berikut:
a) Pendidikan bencana dilaksanakan melalui program pendidikan
formal, pelatihan dan pembangunan institusi untuk memberikan
pengetahuan profesional dan kompetensi yang diperlukan;
b) Sosialisasi pengetahuan kepada masyarakat dalam bidang
mitigasi bencana yang sedang berkembang dengan cepat baik
tentang bahaya-bahaya maupun sarana untuk memerangi
bahaya tersebut sehingga program-program yang
diimplementasikan menjadi lebih efektif;
c) Pelatihan simulasi di masyarakat dalam rangka meningkatkan
pemahaman risiko bencana yang ditimbulkan baik dari bencana
alam maupun bencana yang dikarenakan ulah manusia.

2) Tingkat kelembagaan, terkait dengan struktur organisasi,


pengambilan keputusan, tata kerja dan hubungannya dengan
jaringan (koordinasi antar elemen) dalam melaksanakan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


34

pengelolaan bencana sesuai dengan tupoksi lembaga yang


bersangkutan;
3) Tingkat sistem dan kebijakan, kerangka kebijakan
penanggulangan bencana di daerah sesuai dengan kondisi dan
situasi lokal daerah, serta bagaimana lingkungan yang ada
mendukung tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah sistem atau
kebijakan yang terakomodasi dalam peraturan perundangan
daerah.

2. Proses Identifikasi Risiko

Suatu bencana dapat diketahui tingkat kerusakannya dengan


mengetahui dampak yang ditimbulkan, baik berupa fisik maupun non fisik.
Kedua jenis kerusakan tersebut mempunyai pendekatan yang berbeda
dalam penilaiannya. Untuk mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan
oleh suatu bencana, maka perlu disusun identifikasi risiko yang merupakan
interaksi dari ancaman, kerentanan dan kapasitas.

Ketidakpastian dalam Perencanaan Pengelolaan Risiko Banjir DAS

Memprakirakan kondisi yang akan datang berdasarkan data dan informasi


yang telah dikumpulkan telah menjadi kendala bagi para perencana
pengelolaan DAS. Data atau informasi yang akan digunakan untuk
menyusun rencana mungkin tidak tersedia sama sekali, atau kalau tersedia,
bisa jadi telah kadaluwarsa, tidak lengkap, atau tidak relevan dengan materi
perencanaan.
Sejumlah ketidakpastian yang berkaitan dengan data dan informasi
tampaknya harus dihadapi dalam proses penyusunan rencana pengelolaan
DAS. Ketidakpastian umumnya meliputi data iklim, masalah teknis, dan
ketidakpastian masalah sosial-ekonomi.
Ketidakteraturan pola iklim telah mengakibatkan ketidakpastian prakiraan
iklim untuk masa yang akan datang. Pola curah hujan sangat bervariasi dari
tahun ke tahun sehingga seringkali sulit untuk melakukan prakiraan curah
hujan secara tepat. Meskipun sulit untuk melakukan prakiraan komponen
iklim dengan akurasi yang tinggi, tetapi prakiraan pola iklim yang akan terjadi
perlu diantisipasi dan dijadikan pertimbangan dalam menyusun rencana
pengelolaan DAS. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa
penyusunan rencana pengelolaan DAS sebaiknya tidak didasarkan pada
keadaan rata-rata karena adanya variabilitas untuk masing- masing lokasi.
Ketidakpastian yang bersifat teknis umumnya dijumpai dalam bentuk tidak
memadainya pengetahuan tentang hubungan keterkaitan teknis dalam hal
aktivitas pengelolaan DAS. Informasi yang akurat tentang dampak jenis
vegetasi tertentu terhadap erosi di suatu daerah dengan karakteristik iklim
dan tanah tertentu seringkali belum tersedia. Dengan latar belakang

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


35

tersebut, dalam banyak hal, tim perencana pengelolaan DAS hanya dapat
menduga keluaran apa yang akan diperoleh dari pengelolaan yang
direncanakan, dan dengan demikian, mereka akan berhadapan dengan
ketidakpastian.
Apabila dalam masalah teknis saja dijumpai adanya ketidakpastian, maka
kadar ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi tentunya menjadi lebih
besar. Data dan informasi yang sering dimanfaatkan untuk perencanaan
sosial seperti kekayaan, kesejahteraan, pendapatan, tingkat pendidikan dan
lain sebagainya, untuk tempat-tempat tertentu, boleh jadi sulit untuk
memperolehnya. Dalam keadaan demikian, prakiraan variabel-variabel
sosial untuk waktu yang akan datang akan menghadapi tingkat
ketidakpastian yang lebih besar.
Kekacauan sosial dapat menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi
dari suatu masyarakat. Keadaan ini, pada gilirannya, dapat juga
mengacaukan arah kebijakan dan pengelolaan sumberdaya untuk masa-
masa yang akan datang. Ia juga dapat menciptakan ketidakpastian tentang
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem pemilikan tanah dan
beberapa hak lain yang dimiliki oleh masyarakat.
Perencanaan pengelolaan DAS, karena umumnya berkaitan dengan
antisipasi kejadian jangka panjang, maka ia akan lebih banyak menghadapi
ketidakpastian. Untuk mengatasi hal tersebut, berikut ini adalah beberapa
strategi untuk menghadapi dan menangani berbagai bentuk ketidakpastian
yang muncul dalam perencanaan seperti disarankan oleh Lundgren (1983):
1. Salah satu pendekatan yang relevan digunakan untuk mengatasi
keadaan ketidakpastian adalah dengan cara meningkatkan pemahaman
terhadap situasi dunia atau lingkungan di sekeliling kita. Strategi yang
harus dilaksanakan:
o Menunda keputusan sambil menunggu lebih banyak informasi
yang dapat dimanfaatkan.
o Melakukan analisis sensitivitas (sensitivity analysis). Dengan
melakukan pengamatan terhadap pengaruh perubahan asumsi (laju
inflasi, discount rate, laju erosisedimentasi) secara sistematis, dapat
diketahui dengan lebih baik bagaimana masalah ketidakpastian
tersebut mempengaruhi hasil rencana/prakiraan yang dibuat. Dalam
hal ini bagian-bagian kritis yang ada dalam skenario rencana yang
dibuat dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan penyesuaian
seperlunya.
o Membuat beberapa skenario (prakiraan) mengenai hal yang
diharapkan terjadi pada waktu yang akan datang serta konsekuensi
yang dihadapi.
2. Cara lain untuk mengatasi ketidakpastian adalah dengan cara
meningkatkan kelenturan (flexibility) pengelolaan dan organisasi
sehingga tanggap terhadap adanya perubahan yang tidak terduga
sebelumnya dan melakukan penyesuaian-penyesuaian. Strategi yang
dapat dilakukan adalah sebaga i berikut:
o Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan
secara sistematis dan berlanjut. Dengan demikian, implementasi

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


36

program pengelolaan DAS tidak terlalu terikat kaku pada rencana


yang telah dibuat, melainkan tanggap terhadap variasi yang dijumpai
di lapangan dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan.
o Diversifikasi. Dalam menghadapi ketidakpastian tentang masa
yang akan datang, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan diversifikasi. Sebagai contoh, daripada
merekomendasi hanya satu jenis vegetasi untuk memenuhi satu
tujuan pengelolaan, penanaman beberapa jenis vegetasi untuk
memenuhi beberapa tujuan adalah lebih baik.
o Rencana contingency. Pelaksanaan program di lapangan
seringkali menyimpang dari rencana yang telah dibuat. Untuk
mengantisipasi hal tersebut di atas, perlu dilakukan identifikasi
tentang hal-hal (dalam rencana) yang diperkirakan akan mengalami
penyimpangan. Kemudian tentukan konsekuensi apa yang dapat
terjadi dan tindakan apa yang harus diambil apabila hal tersebut
betul-betul terjadi.
3. Strategi lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
ketidakpastian dalam perencanaan pengelolaan DAS adalah dengan
mendorong berkembangnya inovasi terhadap pembangunan. Cara yang
dapat ditempuh adalah menempatkan personil yang inovatif terhadap
program pembangunan sebagai pelaksana program sehingga mereka
diharapkan mampu memotivisir masyarakat yang terkait dengan
program pengelolaan tersebut untuk berpartisipasi aktif dalam
melaksanakan program pengelolaan DAS. Selain masalah tenaga
pelaksana, rencana program itu sendiri harus sedemikian lentur
sehingga memungkinkan berkembangnya kreativitas dan diversitas
dalam pelaksanaan program di lapangan.

Beberapa strategi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah


ketidakpastian dalam merencanakan proyek pengelolaan DAS tersebut di
atas hanyalah beberapa cara yang dapat dikemukakan. Masih ada cara lain
yang dapat dimanfaatkan. Namun demikian, strategi apapun yang akan
digunakan untuk mengatasi masalah ketidakpastian, ada satu tantangan
yang harus dicarikan jalan keluarnya, yaitu bagaimana caranya untuk
memasukkan atau menggabungkan strategi-strategi tersebut dalam
kerangka perencanaan pengelolaan DAS.

Ketiga komponen tersebut menjadi dasar dalam penilaian risiko


yang ditimbulkan sebagai perkiraan dampak dari bencana. Langkah-
langkah yang perlu dilakukan adalah :

a. Identifikasi Ancaman
Ancaman pada dasarnya merupakan potensi bencana dalam skala
wilayah, waktu dan penduduk. Mendasarkan pada kondisi kebencanaan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


37

yang ada, maka ancaman bencana di Jawa Tengah dapat dikelompokkan


dalam 3 jenis, yaitu bencana alam, bencana sosial dan bencana non alam.
Identifikasi ini dilakukan dengan melihat kejadian bencana selama
ini beserta dampak yang diakibatkannya. Secara spesifik, dalam skala
makro penanggulangan bencana Jawa tengah menjadi tanggung jawab
SKPD provinsi melalui program-program yang ada; sedangkan dalam skala
mikro Kabupaten/Kota menjadi tanggung jawab SKPD Kabupaten/Kota.

b. Identifikasi Kerentanan
Kerentanan adalah kondisi sistem di masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi bencana,
baik dalam meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak
bencana. Kerentanan menyangkut kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan
lingkungan. Tiap wilayah memiliki tingkat, jenis dan karakteristik
kerentanan yang bervariasi. Oleh karena itu dalam melakukan analisis
risiko, perlu mempertimbangkan kondisi wilayah secara spesifik agar tidak
terjadi bias penilaian.
Identifikasi secara cermat kondisi kerentanan mutlak diperlukan
dalam membuat peta kerentanan. Dengan demikian dapat ditentukan
langkah-langkah penanganan yang tepat guna mengurangi kerentanan.

c. Identifikasi Kapasitas
Kapasitas masyarakat menyangkut kemampuan masyarakat dalam
mengetahui, menyadari dan menyiapkan diri ketika belum terjadi bencana,
kemampuan dalam menghadapi kondisi dan mengurangi risiko ketika
terjadi bencana, dan kemampuan dalam memulihkan dan meningkatkan
kondisi setelah terjadi bencana. Kapasitas tersebut dapat dinilai secara
personal/ individual, komunal, kelembagaan, sistem dan kebijakan.

d. Identifikasi Risiko
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat
berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat. Risiko dapat dinilai secara kuantitatif dan merupakan
probabilitas dari dampak atau konsekuensi suatu bahaya.
Upaya lebih lanjut yang perlu dibangun adalah kelembagaan sosial
dan juga asimetrik kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang
mempertimbangkan suara kaum marjinal sebagai masyarakat paling
rentan.
Perbedaan kepentingan dan material dalam proses pengambilan
keputusan memberikan kontribusi dalam membentuk spasial dan distribusi
risiko sosial suatu bencana melalui relasi yang kompleks. Oleh karena itu
diperlukan suatu perencanaan yang matang agar upaya pengurangan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


38

risiko bencana yang mencakup aspek sumber daya alam, strategi dan
kebijakan dapat terlaksana dengan baik.

PRIORITAS KEGIATAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Program dan kegiatan yang dilakukan dalam RAD PRB suatu


daerah dapat mengacu pada pendekatan substansial program dan
kegiatan yang selama ini dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dan institusi kemasyarakatan lainnya. Dalam beberapa hal,
program dan kegiatan tidak selalu sesuai dengan nomenklatur peraturan
perundangan yang berlaku. Itulah sebabnya, RAD PRB ini diharapkan
dapat mengakomodir perubahan dan perkembangan dokumen
perencanaan yang ada.

Program dan kegiatan dalam RAD PRB ini bersifat spesifik,


terjangkau kemampuan yang ada, terukur sebagai bagian dari kinerja
SKPD dan institusi lainnya, relevan dilaksanakan pada jangka waktu yang
telah ditentukan, misalnya tahun 2008 sampai 2013. Prioritas kegiatan PRB
tersebut adalah:

a. Pengenalan dan pemantauan risiko bencana perlu dilakukan


sejak dini, terus menerus dan secara luas.
Lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan dari berbagai
institusi pemerintah maupun swasta sangat diharapkan
peranannya dalam melakukan pengkajian, inventarisasi,
pengenalan dan pemantauan yang mengarah pada mitigasi
bencana. Eksplorasi atas potensi dan kearifan lokal yang
spesifik untuk setiap daerah perlu dilakukan agar upaya-upaya
dalam rangka pengelolaan bencana dapat berhasil.
b. Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana dengan
mengakomodir berbagai kepentingan bertujuan agar upaya
pengelolaan bencana dapat terpadu dan efektif serta tidak
terjadi duplikasi. Kegiatan pengelolaan bencana yang dimulai
dari tahap perencanaan tidak dapat dilakukan hanya oleh
sekelompok orang saja namun harus dilakukan oleh banyak
pihak. Membentuk jejaring, kerjasama dan koordinasi
merupakan kunci pokok dalam pengelolaan bencana. Peran
aktif berbagai pihak sangat dibutuhkan agar upaya pengelolaan
bencana dapat tepat guna dan tepat sasaran.
c. Pengembangan budaya sadar bencana harus mulai digalakkan
dengan melakukan inventarisasi, mobilisasi dan penggunaan
sumberdaya secara optimal. Pengelolaan informasi secara
benar dan akurat dapat menjadi media yang tepat untuk

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


39

membudayakan sadar bencana. Pengembangan budaya sadar


bencana diarahkan untuk meminimalkan potensi munculnya
bencana dan harus dilakukan secara terus menerus terutama
pada saat pra bencana,
d. Peningkatan komitmen para pelaku penanggulangan bencana
dari tingkat pelaksana hingga pengambil kebijakan perlu
dibangun. Komitmen dari berbagai pihak akan mampu
membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Penerapan upaya fisik, non fisik dan pengaturan
penanggulangan bencana perlu dilakukan secara sinergis.
Ketiganya merupakan kegiatan yang saling terkait dan
mendukung. Pengawasan melekat atas bentuk-bentuk kegiatan
tersebut merupakan sarana paling efektif untuk memastikan
bahwa kegiatan yang dilakukan telah sesuai dengan kaidah-
kaidah kebencanaan.
e. Pemetaan kebencanaan yang mencakup pemetaan daerah
rawan bencana, potensi sumberdaya masyarakat di daerah
rawan bencana dan sekitarnya, kerentanan masyarakat;
kearifan lokal masyarakat, kapasitas pemerintahan dan
kelembagaan penanggulangan bencana beserta sumberdaya
yang ada. Hal ini dimaksudkan agar tersedia data dan informasi
akurat di setiap tatanan pemerintahan sehingga mempercepat
pengambilan keputusan dalam berbagai upaya penanggulangan
bencana.
f. Penyebarluasan informasi tentang potensi ancaman bahaya
kepada masyarakat dan pemerintah daerah serta lembaga–
lembaga lain yang terkait dengan pengurangan risiko bencana.
Penyebarluasan informasi ini dikandung maksud agar
masyarakat, pemerintah dan lembaga terkait mempunyai
kesempatan untuk mengambil pilihan terbaik dari interaksi
ancaman bahaya, kerentanan dan kapasitas yang dimiliki
sehingga risiko bencana dapat diminimalkan; kalaupun tidak
dapat dihindari.
g. Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dan pemerintah
daerah dilakukan dengan penumbuhan kesadaran, kemauan
dan kemampuan untuk melakukan upaya pencegahan dan
kesiapsiagaan. Peningkatan kapasitas dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan, penyiapan prasarana dan sarana yang
terkait dengan kebencanaan termasuk dukungan regulasi baik
Peraturan Daerah dan atau hukum adat atau peraturan
masyarakat lainnya yang mengakar dan berkembang di
masyarakat.
h. Penguatan institusi kelembagaan baik di suatu Provinsi atau
Kabupaten/Kota difokuskan pada kelembagaan yang ada sambil

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


40

menunggu pembentukan Badan Penanggulangan Bencana


Daerah (BPBD) di tingkat Provinsi atau Kab/Kota, secara
optimal dapat melakukan semua konsep, proses dan langkah–
langkah pengurangan risiko bencana baik penyiapan regulasi,
penyediaan prasarana dan sarana serta membangun jaringan
kerja dengan pihak–pihak lain yang terkait dengan pengurangan
risiko bencana.
Program yang dilakukan bagi aparat Kabupaten/Kota dan
Provinsi adalah peningkatan kapasitas melalui pendidikan dan
pelatihan dengan fokus pada aspek manajerial yakni mampu
membangun keterpaduan perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi serta peningkatan ketrampilan bagi
pelaksana teknis untuk dapat mewujudkan strategi yang
ditentukan seperti melakukan pemetaan potensi ancaman
bahaya, pemetaan kerentanan, pemetaan kapasitas masyarakat
dan mendeseminasikan hasilnya kepada masyarakat dalam
kerangka pemberdayaan masyarakat.
i. Pengembangan Teknologi untuk dapat membantu kegiatan
kebencanaan agar lebih efektif, efisien dan aman. Salah satu
teknologi yang layak dikembangkan adalah teknologi deteksi
dini terhadap suatu bencana sehingga dapat diambil suatu
tindakan yang tepat ketika terjadi bencana. Hal penting yang
perlu dikembangkan adalah teknologi informasi yang setiap saat
dapat diakses untuk kepentingan pengelolaan bencana.

IMPLEMENTASI PENGURANGAN RISIKO BENCANA DALAM


DOKUMEN PERENCANAAN

Dokumen perencanaan dimaksudkan sebagai arah dan acuan bagi


seluruh komponen pelaku pembangunan daerah (pemerintah, masyarakat,
dan dunia usaha) dalam mewujudkan pembangunan daerah yang
terkoordinasi dan berkesinambungan. Dengan dokumen perencanaan
tersebut, program kerja yang telah direncanakan mempunyai landasan
pedoman yang jelas. Pengurangan risiko bencana sebagai konsep
perencanaan yang menyeluruh (holistik), baik pada kondisi pra bencana,
saat bencana maupun pasca bencana, diharapkan dapat mewarnai secara
nyata dalam rencana pembangunan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan
bahwa pembangunan yang tidak terencana berpotensi menimbulkan
bencana. Untuk itu, perencanaan pembangunan yang berperspektif dan
terintegrasi dengan konsep pengurangan risiko bencana mutlak dilakukan,
baik pada program wajib maupun pilihan. Pemaduan kegiatan
pengurangan risiko bencana dalam rencana pembangunan dilakukan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


41

melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi unsur-unsur penanggulangan


bencana ke dalam rencana pembangunan daerah.
Untuk mewujudkan sinergitas dalam pencapaian sasaran
pengurangan risiko bencana, maka dalam pelaksanaan program perlu
penguatan peran (partisipasi) dan komitmen dari seluruh komponen. Untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, masing-masing komponen
diharapkan dapat mengambil peran sesuai dengan kewenangan, tugas
pokok dan fungsi serta tanggung jawab dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang tahan dan tangguh terhadap bencana.

Community Development

Pendampingan Keberdayaan adalah suatu proses dimana masyarakat,


khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya
pembangunan didorong untuk makin mandiri dalam mengembangkan
perikehidupan mereka. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengkaji
kebutuhan, masalah dan peluang dalam pembangunan yang dimilikinya
sesuai dengan lingkungan sosial ekonomi perikehidupan mereka sendiri .

donasi.rumahzakat.org

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


42

donasi.rumahzakat.org/?page=program&p=18
Siaga Bencana adalah salah satu program dalam
membantu para korban bencana.

1. Kondisi Pra Bencana


Kondisi pra bencana dimaksudkan dengan kondisi dimana tidak ada
bencana dan atau situasi terdapat potensi bencana. Kondisi tersebut
menuntut perlakuan dan kesiapan yang berbeda, baik menyangkut
perencanaan, standar dan tool yang dipakai hingga rincian anggaran yang
akan digunakan. Kegiatan dalam kondisi pra bencana menyangkut
kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi. Kegiatan yang akan dilakukan
stakeholder dalam tahap ini adalah sebagai berikut :

a. Program Wajib

1) Pendidikan
a) Pendidikan Anak Usia Dini
b) Pendidikan Dasar
c) Pendidikan Menengah

2) Kesehatan
a) Peningkatan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat
b) Sumber Daya Kesehatan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


43

c) Pencegahan/Penanggulangan Penyakit dan Lingkungan


Sehat
d) Peningkatan Gizi Masyarakat

3) Pekerjaan Umum
a) Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai

4) Perumahan Rakyat
a) Pembangunan Perumahan

5) Penataan Ruang
a) Perencanaan Tata Ruang
b) Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang

6) Perencanaan Pembangunan
a) Perencanaan Pembangunan Daerah
b) Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Perencanaan
Pembangunan Daerah

7) Perhubungan
a) Pos, Telekomunikasi, Meteorologi dan Serach and
Rescue (SAR)

8) Lingkungan Hidup
a) Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam
b) Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya
Alam
c) Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Hidup

9) Pertanahan
a) Penataan, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah

10) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


a) Pelembagaan Pengarusutamaan Gender Dalam
Pembangunan

11) Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri


a) Penyusunan dan Pembaharuan Peraturan Perundangan
di Daerah
b) Peningkatan esadaran dan Kepatuhan Hukum
c) Peningkatan Kemanan dan Ketertiban Masyarakat

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


44

12) Otonomi daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi


Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan
Persandian
a) Penyelenggaraan Pemerintahan Umum

13) Ketahanan Pangan


a) Peningkatan Ketahanan Pangan

14) Pemberdayaan Mayarakat dan Desa


a) Fasilitasi Pengembangan Masyarakat
b) Penguatan Kelembagaan Masyarakat

15) Statistik
a) Penyusunan Data/Informasi/Statistik Daerah

16) Komunikasi dan Informatika


a) Pengembangan Komunikasi, Kerjasama Informasi dan Media
Masa

b. Program Pilihan

1) Kehutanan
a) Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
b) Rehabilitasi dan Perlindungan Konservasi Hutan

2) Energi dan Sumber Daya Mineral


a) Pengembangan Pertambangan dan Air Tanah
b) Pengembangan Mitigasi Bencana Alam dan Geologi

2. Kondisi Saat Bencana

Kondisi saat bencana merupakan perubahan kondisi secara tiba-


tiba dan mendadak dengan segenap dampak yang ditimbulkan, baik
secara fisik maupun non fisik. Perubahan frontal tersebut menuntut
perlakuan khusus agar tidak terjadi dampak susulan yang lebih besar.
Program wajib yang harus dilakukan dalam masa tanggap darurat
diantaranya adalah :

1) Kesehatan
a) Pencegahan/Penanggulangan Penyakit dan Lingkungan Sehat
b) Program Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Masyarakat

2) Perhubungan

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


45

a) Program Pos, Telekomunikasi, Meteorologi dan Search And


Rescue (SAR)

3) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


a) Perlindungan dan Kesejahteraan Anak

4) Otonomi daerah, Pemerintah Umum, Administrasi Keuangan


Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan Persandian
a) Sarana dan Prasarana Aparatur Pemerintahan

5) Ketahanan Pangan
a) Peningkatan Ketahanan Pangan
6) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
a) Penguatan Kelembagaan Masyarakat

3. Kondisi Pasca Bencana

Kondisi pasca bencana dibagi dalam dua tahap, masa rehabilitasi


dan masa rekonstruksi. Program rehabilitasi dimaksudkan untuk pemulihan
kondisi korban dari trauma, pemulihan sarana/prasarana kehidupan hingga
keadaan berangsur kembali ke keadaan normal. Program rekonstruksi
dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi menjadi lebih baik dari keadaan
sebelum bencana. Program yang dilakukan pada masa ini adalah:

a. Program Wajib

1) Kesehatan
a) Program Pencegahan/Penanggulangan Penyakit dan
Lingkungan Sehat
b) Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Masyarakat

2) Pekerjaan Umum
a) Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan dan Jembatan
b) Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan
Jaringan Air Lainnya
c) Peningkatan Prasarana dan Sarana Perkotaan dan
Perdesaan
d) Peningkatan Kinerja Pengelolaan Air Minum dan Sanitasi

3) Perumahan Rakyat
a) Pembangunan Perumahan

4) Penataan Ruang
a) Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


46

5) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


a) Perlindungandan Kesejahteraan Anak
6) Sosial
a) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

7) Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, administrasi


Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian dan
Persandian
a) Penyelenggaraan Pemerintahan Umum
b) Sarana dan Prasarana Aparatur Pemerintahan

b. Program Pilihan
1) Pertanian
a) Pengembangan Agribisnis
b) Peningkatan Kesejahteraan Petani
2) Perdagangan
a) Pengembangan Perdagangan Dalam dan Luar Negeri
b) Pengembangan Industri Kecil, Menengah (IKM)

Rumah tinggal puing-puing, hancur total. Kondisi pasca bencana


banjir di Jakarta tahun 2007. Lokasi foto di Pancoran Kalibata,
dekat sungai Ciliwung.

www.flickr.com/photos/array064/396606159/

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


47

afriwel.blogspot.com/2009/11/potret-kehidupan...
Selasa, 17 November 2009
Potret kehidupan pasca bencana gempa sumatera barat

yobangkit.wordpress.com/2008/03/27/58/

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


48

DAFTAR PUSTAKA

Disaster Risk Management. 2003. Hospital Preparedness for Emergencies


& Disasters. Indonesian Hospital Association. Participan Manual.
Jakarta 2003.
Douglas, Mary and Aaron Wildavsky. 1982. Risk and Culture. University of
California Press, 1982.
Douglas, Mary. 1985. Risk Acceptability According to the Social Sciences.
Russell Sage Foundation, 1985.
Douglas, Mary. 1985. Risk Acceptability According to the Social Sciences.
Russell Sage Foundation, 1985.
Douglas, Mary. Risk and Blame, 1992. Essays in Cultural theory. New
York: Routledge.
Freudenburg, William R. 1993. Risk and Recreancy: Weber, the Division of
Labor, and the Rationality of Risk Perceptions. Social Forces 71(4),
(June 1993): 909–932.
Gregory, Robin & Robert Mendelsohn. 1993. Perceived Risk, Dread, and
Benefits. Risk Analysis 13(3) (1993): 259–264
Kasperson, Jeanne X., Roger E. Kasperson. 2005. The Social Contours of
Risk. Volumne I: Publics, Risk Communication & the Social
Amplification of Risk. Earthscan, Virginia.
Kasperson, Roger E., Ortwin Renn, Paul Slovic, Halina Brown, Jacque
Emel, Robert Goble, Jeanne Kasperson, Samuel Ratick. 1988. The
Social Amplification of Risk: A Conceptual Framework.” Risk
Analysis 8(2) (1988): 177–187.
Nature and Type of Disasters. 2003. Hospital Preparedness for
Emergencies & Disasters. Indonesian Hospital Association.
Participan Manual. Jakarta.
Risk Management Planning. Hospital Preparedness for Emergencies &
Disasters. Indonesian Hospital Association. Participan Manual.
Jakarta 2003.
Slovic, Paul, Baruch Fischhoff, Sarah Lichtenstein. 1982. Why Study Risk
Perception?. Risk Analysis 2(2) (1982): 83–93.
Slovic, Paul, Baruch Fischhoff, Sarah Lichtenstein. 1982. Why Study Risk
Perception?” Risk Analysis 2(2) (1982): 83–93.
Slovic, Paul, Baruch Fischhoff, Sarah Lichtenstein. 1982. Why Study Risk
Perception?” Risk Analysis 2(2) (1982): 83–93
Slovic, Paul, ed. 2000. The Perception of Risk. Earthscan, Virginia. 2000.
Syaiful Saanin. PENILAIAN RISIKO BENCANA. BSB Sumbar.
Thompson, Michael, Richard Ellis, Aaron Wildavsky. 1990. Cultural theory.
Westview Press, Boulder, Colorado.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010


49

Tversky, Amos and Daniel Kahneman. 1974. Judgment under Uncertainty:


Heuristics and Biases. Science 185(4157) (September 1974):
1124–1131.
Wildavsky, Aaron and Karl Dake. 1990. Theories of Risk Perception: Who
Fears What and Why?” American Academy of Arts and Sciences
(Daedalus) 119(4) (1990): 41–60.

Manajemen Risiko Lingkungan - 2010

You might also like