You are on page 1of 34

Tugas Kelompok Transfer Probolinggo

EUTANASIA

Oleh :

1.Andi Wijaya

2.Chusnul Hotimah

3.Dwi Anggraini

4.Dyah Eka Riastuti

5.Ermi Wijayanti
Eutanasia
Eutanasia (Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος, thanatos yang
berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang
dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring
dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau tindakan medis. Di
beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu
diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Terminologi

Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.

• Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif
dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik
secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan
tersebut adalah tablet sianida.

• Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis


(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis
tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia
pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

• Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif


yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia
berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan
eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan
rumah sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien
yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit
untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan
meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin


Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

• Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang


bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.

• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang


seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,


namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)


• Eutanasia hewan
• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada
eutanasia agresif secara sukarela

Sejarah eutanasia

Asal-usul kata eutanasia

Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian)
yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan
istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

Eutanasia dalam dunia modern

Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah
Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan
di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh
beberapa negara bagian.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya
eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di
Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif,
walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika
maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit
parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia
kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
"program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan
mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap
anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.[2]

Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan
oleh cacat genetika.

Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat[3]:

• Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-


orang tua ke dalam sungai Gangga.
• Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang
yang telah berlaku sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di
Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia
dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik
medis, biasanya tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin ada
praktik-praktik medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

Eutanasia menurut hukum diberbagai negara

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara
bagian Oregon di Amerika, Kolombia[4] dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai
kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark [5]

Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia.
Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life
International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak
tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut
di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor
semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul
tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan
Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya
untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara
bagian Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]

Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien
yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang
pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini
hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan
cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh
diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis
penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak
berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan
pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari
tuanya.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam
Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya
sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]

Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa
60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia [11]

Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak
pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak
sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku
yakni KUHP.

Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang
asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak
tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri."

Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan
terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain's
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.

Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan
Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).

Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-
BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]
Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula
Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai
eutanasia tersebut.

Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat
dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)

Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14]
yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu
alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun
demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan
melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena
merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding
ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah
yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum
sementara guna melaksanakan eutanasia.

Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan


peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud
untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan
ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.[15]

India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia
terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304
IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien
sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan
eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.[16]

China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta
seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian
Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan
untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.[17]

Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia
sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang
ada.[18]

Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun
telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah
sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya
penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan
keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut
dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun
kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia
aktif.

Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat diperkenankan
apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[19]

EUTHANASIA DITINJAU DARI SEGI MEDIS DAN HUKUM


PIDANA DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat
menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran
khususnya dan bidang teknologi pada umumnya. Akibat kemajuan teknologi
yang tak terbayangkan dalam menyongsong milenium baru ini, menjadi
penyebab terjadinya perubahan perubahan di berbagai bidang dan struktur
masyarakat baik secara cepat atau lambat. Demikian pula semakin banyak
penemuan-penemuan di berbagai bidang khususnya dalam hal ini di bidang
medis.
Dengan perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan dan pengobatan penyakitpun dapat berlangsung dengan cepat.
Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar
kehidupan seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu
dengan respirator. Perkembangan teknologi dibidang medis ini dengan
harapan agar dokter diberi kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai
upaya bagi si pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, namun ada kalanya
menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri. Seperti penggunaan alat
respirator yang dipasang untuk menolong pasien, di mana jantung pasien
berdenyut namun otaknya tidak berfungsi dengan baik.
Selain kasus tersebut di atas banyak lagi masalah yang dihadapi
dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya pasien yang tidak mungkin
lagi diharapkan sembuh atau hidup sehat karena belum ditemukan obatnya,
sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini apakah
dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau euthanasia dengan teknik
yang ada atau membiarkan pasien begitu saja atau menyuruh pulang
kembali ketengah keluarganya. Menyadari hal itu kewajiban dokter adalah
menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan tugasnya
semata-mata hanya untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan
pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah
jabatan dan kode etik kedokteran. Perlu diketahui bahwa perkembangan
Euthanasia dalam pengaturan
hukum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Uruguay telah
melangkah begitu jauh yang di antaranya disebutkan sebagai berikut:
“Hukum dapat menganggap seseorang tidak bersalah, bila ia melakukan
perbuatan membunuh yang bermotifkan perasaan kasihan sebagai
kelanjutan dari permintaan si korban kepadanya berulang-ulang”.
Di Amerika Serikat yang menganut aliran hukum Anglo Saxon,
“melakukan Euthanasia bukan suatu yang perlu dipermasalahkan karena
dalam sistem hukum yang demikian memungkinkan seseorang untuk
meminta putusan pengadilan untuk mengesahkan suatu tindakan” .
California menjadi negara bagian yang membuat undang-undang dan telah
mengeluarkan suatu produk legislatif perihal “Hak untuk mati” dalam bentuk
undang-undangnya yang diberi nama “The Natural Death Act” 1976.
Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi
sebuah Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk
melakukan Euthanasia, yaitu:
1. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan
mengajukan permintaan tersebut dengan serius.
2. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir
atau dekat dengan kematiannya.
3. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.
4. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.
5. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya.
6. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi.
Uruguay, Amerika, Jepang merupakan contoh dari negara yang setuju
dengan Euthanasia, tetapi ada juga negara yang sampai dengan saat ini
tidak setuju atau belum memenuhi aturan hukumnya tentang Euthanasia ini,
seperti halnya Indonesia dan Belanda.
Di negara Belanda kasus Euthanasia yang pertama terjadi pada tahun
1952, ketika pengadilan di Utrech dalam keputusannya pada tanggal 11
Maret 1952 menjatuhkan hukuman bersyarat kepada seorang dokter, yang
atas permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri hidup kakaknya yang
sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Demikian
juga terhadap kasus Leeuwarder Euthanasia proses 1973. Pengadilan
Leeuwarder dalam keputusannya tanggal 21 Januari 1973 menjatuhkan
hukuman bersyarat selama satu minggu kepada Nyonya Posman yang telah
sengaja memberikan suntikan kepada ibunya yang menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Dua putusan pengadilan tersebut membuktikan
bahwa di Belanda, Euthanasia belum dapat dilakukan.
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik
mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa
orang atas permintaan dirinya sendirI sama dengan perbuatan pidana
menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan
pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak
yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak
lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat
melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara
sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap
manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah
hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan
tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah perspektif euthanasia dari segi medis ?
2. Bagaimanakah tinjauan euthanasia dari segi hukum pidana ?

Kevorkian adalah nama seorang dokter di Amerika. Pada tahun 1990-an ia


dikenal masyarakt dunia karena kasusnya sebagai berikut:

"... dituduhkan kepadanya bahwa ia membantu pasien meninggal yang


belum terminal. Pasien-pasien yang dibantunya memang mengindap
penyakit fatal, tetapi penyakit mereka belulm pada stadium terakhirnya.
Demikian halnya juga dengan pasien terakhir yang dibantunya, Thomas
Youk. Padahal, terlepas dari penilaian boleh tidaknya, dengan 'euthanasia'
selalu dimengerti mengakhiri kehidupan pasien terminal dan 'bunuh-bunuh
diri berbantuan' selalu dipahami sebagai pemberian kesempatan kepada
pasien terminal untuk membunuh diri. Jika saat kematian masih jauh, tidak
terjadi euthanasia atau bunuh diri berbantuan... Lagi pula, ada dugaan kuat
bahwa Kevorkian membantu beberapa pasien yang mengalami depresi.
Kalau memang benar, perilakunya menjadi tidak etis karena alasan itu juga.
Sebab, depresi adalah kondisi medis yang bisa diobati. Dan dokter tentu
mempunyai kewajiban mengobati pasien, selama kemungkinan itu
tersedia....

(K. Bertens, Perspektif Etika: Esai-esai tentang masalah Aktual, Yogyakarta,


Kanisius, 2001, hlm. 126)
Diposkan oleh Agustinus Sigit Widisana, SJ di 06:34 35 komentar
Label: Euthanasia
Bunuh Diri Berbantuan

"Euthanasia merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam
zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan.
Istilah 'euthanasia' itu berasal dari bahasa Yunani: eu (=baik)
dan thanatos (=kematian), sehingga dari segi asalnya berarti 'kematian
yang baik' atau 'mati dengan baik'. Jika sekarang kita berbicara tentang
euthanasia yang dimaksudkan adalah bahwa dokter mengakhiri kehidupan
pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas
permintaan pasien itu sendiri. Sekitar dua puluh tahun yang lalu tindakan
medis ini disebut 'euthanasia aktif', untuk membedakan dari 'euthanasia
pasif'. Dengan istilah terakhir ini dimaksudkan keputusan medis untuk tidak
memberikan pengobatan kepada pasien terminal seperti misalnya
memasukkannya dalam Unit Perawatan Intensif dan memasang alat-alat
canggih serupa ventilator atau respirator, atau menghentikan sama sekali
pengobatan semacam itu, jika sudah dimulai.

Kini istilaha 'euthanasia pasif' tidak dipakai lagi dan memang sebaiknya
begitu, karena kualitas etisnya sangat berbeda dengan tindakan mengakhiri
kehidupan pasien terminal. 'Euthanasia pasif' biasanya diganti dengan
sebutan 'membiarkan pasien meninggal' (letting die). Jika pasien sudah tidak
ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit
Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika
pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi.....

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk


memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat
menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia
medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem
liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia),
bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada
harapan untuk hidup.
Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah
dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju,
seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat
tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik
dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi
teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya,
memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.
Permasalahan inilah yang akan dikaji penulis, dengan mengkomparasikan
kasus euthanasia yang terjadi di luar negeri dan meninjau pengaturannya di
Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum
Islam, mengingat permasalahan yang akan dibahas belum mempunyai
peraturan yang khusus.
Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis berharap bahwa hasil penelitian
ini dapat dipergunakan sebagai sumbang saran dalam dunia ilmu
pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana serta dapat membuka
wacana pemikiran tentang perlunya diundangkan peraturan tersendiri
tentang euthanasia.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban,
yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan
berkaitan dengan euthanasia adalah pasal mengenai pembunuhan, yakni
pasal 338, 340, 344 dan 345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat
legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai
pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus
terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa,
maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal
umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya
kematian seorang lain akibat perbuatannya
Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam,
pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33.
Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan
kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana
hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka
ia harus dihukum qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif /
negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang merupakan tindakan penghentian
perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi,
tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk
mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh
diri.

Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat pro dan kontra dalam hal
mengeuthanasiakan penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang
mendukung euthanasia bagi penderita AIDS, dengan mempertimbangkan
dua segi, yakni ; penderita AIDS mengalami penderitaan yang
berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan dan karena mengingat daya
tular penyakit tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 : 180). Pendapat
ini juga didukung oleh Abdul Madjid, akan tetapi harus dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk didalamnya pertimbangan
medis.
Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR.
Sujudi serta Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis, dengan
memandang dari dua segi, yakni segi agama, bahwa penyakit itu datangnya
dari Allah, yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi hak asasi penderita,
bahwa ODHA mempunyai hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat,
serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota masyarakat. Dan secara
etik, euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia, seperti
dalam ketentuan kode etik kedokteran Indonesia serta dalam lafal sumpah
dokter.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan
euthanasia berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sampai
sekarang belum dapat diterima kehadirannya dan dinyatakan dilarang.
Untuk itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum, yang mencerminkan
keberadaaan negara hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan
penyusunan undang-undang atau peraturan yang menyangkut tentang
euthanasia dan perlu juga kiranya dipertimbangkan mengenai euthanasia
bagi penderita AIDS, serta berbagai aspek pertimbangan lainnya.
Deskripsi Alternatif :

Pesatnya perkembangan teknologi kedokteran, memungkinkan dokter untuk


memprediksi kematian seorang pasien dengan lebih tepat. Hal ini dapat
menimbulkan masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia
medis. Seperti halnya yang terjadi di negara-negara Barat, yang bersistem
liberalis dan berpaham sekuler, dengan beranggapan bahwa manusia
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia),
bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada
harapan untuk hidup.
Sebagai bagian dari kemajuan teknologi kedokteran, euthanasia telah
dilegalkan secara khusus dan tertulis oleh sebagian negara-negara maju,
seperti yang terjadi di Belanda, walaupun disertai dengan syarat-syarat
tertentu. Pelegalan euthanasia ini, menjadi perdebatan pro dan kontra, baik
dari sudut pandang dunia medis, yuris atau religi. Dengan informasi
teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya,
memungkinkan kasus ini merambah ke Indonesia. Akan tetapi, apakah
hukum kita mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya kasus ini.
Permasalahan inilah yang akan dikaji penulis, dengan mengkomparasikan
kasus euthanasia yang terjadi di luar negeri dan meninjau pengaturannya di
Indonesia dari sudut pandang hukum pidana Indonesia (KUHP) dan hukum
Islam, mengingat permasalahan yang akan dibahas belum mempunyai
peraturan yang khusus.
Berangkat dari hal tersebut diatas, penulis berharap bahwa hasil penelitian
ini dapat dipergunakan sebagai sumbang saran dalam dunia ilmu
pengetahuan hukum, khususnya hukum pidana serta dapat membuka
wacana pemikiran tentang perlunya diundangkan peraturan tersendiri
tentang euthanasia.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.
Euthanasia secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban,
yakni permintaan pasien pada dokter. Pasal-pasal yang dapat diterapkan
berkaitan dengan euthanasia adalah pasal mengenai pembunuhan, yakni
pasal 338, 340, 344 dan 345 KUHP. Terdapatnya asas lex specialis de rogat
legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai
pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus
terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa,
maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal
umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya
kematian seorang lain akibat perbuatannya
Taisir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam,
pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal)
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33.
Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan
kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana
hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka
ia harus dihukum qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif /
negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang merupakan tindakan penghentian
perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi,
tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk
mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh
diri.
Bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), terdapat pro dan kontra dalam hal
mengeuthanasiakan penyakit ini. KH. Ibrahim Husain, misalnya yang
mendukung euthanasia bagi penderita AIDS, dengan mempertimbangkan
dua segi, yakni ; penderita AIDS mengalami penderitaan yang
berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan dan karena mengingat daya
tular penyakit tersebut. (Husain dalam Assyaukanie, 1998 : 180). Pendapat
ini juga didukung oleh Abdul Madjid, akan tetapi harus dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk didalamnya pertimbangan
medis.
Sedangkan larangan euthanasia bagi penderita AIDS dikemukakan oleh DR.
Sujudi serta Masjfuk Zuhdi. Pendapat ini diikuti oleh penulis, dengan
memandang dari dua segi, yakni segi agama, bahwa penyakit itu datangnya
dari Allah, yakni sebagai cobaan atau ujian dan dari segi hak asasi penderita,
bahwa ODHA mempunyai hak untuk hidup dalam komunitas masyarakat,
serta hak-hak lain yang timbul sebagai anggota masyarakat. Dan secara
etik, euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia, seperti
dalam ketentuan kode etik kedokteran Indonesia serta dalam lafal sumpah
dokter.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan
euthanasia berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sampai
sekarang belum dapat diterima kehadirannya dan dinyatakan dilarang.
Untuk itu, agar dapat tercapainya kepastian hukum, yang mencerminkan
keberadaaan negara hukum, maka perlulah kiranya dipertimbangkan
penyusunan undang-undang atau peraturan yang menyangkut tentang
euthanasia dan perlu juga kiranya dipertimbangkan mengenai euthanasia
bagi penderita AIDS, serta berbagai aspek pertimbangan lainnya.

Tinjauan Yuridis Fenomena Euthanasia Dalam Perspektif


Hukum Pidana Indonesia
Penulis memulai dengan contoh kasus bahwa salah seorang tak kuasa
penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan
Kusuma memohon agar istrinya yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah
melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan
dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin
mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia
maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing di
luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya.
Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah
sebuah kemajuan berfikir, namun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini
juga dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan
hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan
euthanasia oleh keluarganya. Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English
Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman,
dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan.
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
mercy killing [1]. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland
euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang
mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,
pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia. Pertama, voluntary
euthanasia yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu
sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup
menahan rasa sakit yang diakibatkannya. Kedua, non voluntary euthanasia
yaitu orang lain, bukan pasien, mengandaikan bahwa euthanasia adalah
pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya. Ketiga,
involuntary euthanasia ialah bentuk pengakhiran kehidupan pada pasien
tanpa persetujuannya.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana
hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan
euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi
persoalan tersebut.
Di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang
legalitasnya. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam
hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia,
yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri
(voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344
KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi
pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia
euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan
demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana,
yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus
permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-
akhir ini. Sebagai contoh kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati
untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan
hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha. Kedua kasus ini secara konseptual
dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal
(dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi
yang paling mungkin untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan
Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,“ Barang siapa
dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun”.[2] Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang
dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal
356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP
khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP
dinyatakan,“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah”.[3]
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara
maksimal sembilan tahun”.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia,
meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak
pidana.
Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif
yang sering terjadi di Indonesia. Euthanasia di Negara lain Fenomena
euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di
permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
mengagalkan keinginannya untuk meng-euthanasia istrinya tersebut.
Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya
tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai
etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat
manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian
menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat dan tidak
harus seorang spesialis dan membuat laporan.
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan
tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain
hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan
moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia.
Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis
melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan
faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela
kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga
dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan
euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan. Didalam KUHP Austria Pasal 139 a
berbunyi ; “Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang
jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan
delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan
pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya
eutanasia Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia Di Indonesia masalah
euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis
dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia
akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir
yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan
Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami
koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh
dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter. Dari kasus diatas kita bisa
menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon euthanasia,
bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang
prosedurnya sangat ketat dan rapi sehingga orang akan berfikir untuk
melakukan euthanasia.
[1] Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003
[2] Lihat dalam Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
Politeia. Bogor.
[3] Lihat dalam Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia.
Politeia. Bogor.

Euthanasia, Legal atau Non Legal?


Hipocrates bersabda kepada murid-muridnya untuk tidak melakukan praktek
euthanasia dan melakukan pengguguran kandungan.
(Di sisi lain)
Keinginan untuk mati merupakan hak asasi setiap manusia di atas segala
hukum, baik hukum positif maupun kode etik profesi kedokteran.
Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi
sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari
sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud, antara lain:
transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung,
Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas
maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan
pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi
bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis
belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan
dokter pada posisi yang sulit.
Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata
diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi
manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro
berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dan
tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip
yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak
boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan
penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki.
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering
pula disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar
perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.
Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan
kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran),
telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai
euthanasia.
Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak
diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam
dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral,
dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran
yang sedemikian maju di pihak lain.
Jadi, pertanyaan-pertanyaan seputar euthanasia itu sebenarnya akar
permasalahan dari kontradiksi tersebut yang antara lain adalah Bagaimana
“posisi” etika, moral, dan hukum bagi dokter yang harus berhadapan dengan
realita euthanasia tersebut di tengah masyarakat.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan
memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama
Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan:
“Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu
sendiri”.
Kemudian oleh komisi negara yang dibentuk oleh pemerintah Belanda tahun
1984 yang bernama “Staats Commissie Euthanasia” dirumuskan dalam
sebuah definisi:
“Euthanasia, tindakan mengakhiri hidup seseorang oleh orang lain dengan
secara sengaja dan atas permintaan yang bersangkutan kepadanya”.
Secara umum euthanasia diartikan sebagai tindakan mengakhiri hidup
seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit, kecideraan, atau
ketidakberdayaan yang tak mempunyai harapan lagi untuk sembuh (the
mercy killing of the hoplessly ill, injured or incapacitated).
Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif
jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan
kematian dan euthanasia pasif jika dokter melakukan negative act tidak
melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan
kematian.
Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi
Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang
sakit dan Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah
orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami
koma medis.
Selain pembagian-pembagian euthanasia seperti tersebut di atas terdapat
pula beberapa istilah lain yang bisa dijadikan pertimbangan, yaitu:
Auto-euthanasia, bila pasien secara tegas menolak dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia
membuat sebuah pernyataan tertulis Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.
Pseudo euthanasia (Prof.Mr.H.J.J.Leenen), yaitu bentuk-bentuk pengakhiran
hidup yang bukan euthanasia, tapi mirip dengan euthanasia, yang termasuk
dalam penggolongan ini adalah pengakhiran perawatan pasien karena gejala
brainstamdeath, keadaan yang bersifat emergency, perawatan medis yang
tidak berguna lagi, dan pasien menolak perawatan medis.
Banyak dokter merasa ragu, apakah tindakan menghentikan atau
melepaskan alat-alat penunjang kehidupan yang sudah terlanjur dipasang
dapat dikategorikan sebagai tindakan euthanasia pasive. Keraguan seperti
itu mestinya tak perlu kalau dokter memahami bahwa keputusan medik itu
menjadi tanggung jawab dokter dan tidak dapat diganggu gugat atau
dipengaruhi oleh siapapun.
Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang
benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan
secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di
bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating
and respiration is death”. Setelah ditemukannya respirator yang dapat
mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria
baru berdasarkan pada kansep “brain death is death”. Terakhir, konsep
diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is death”.
Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor
336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi
spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible),
atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah
dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk
bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan,
kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter Indonesia yang
bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968.
Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter
tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri hidup orang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh.
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang
menyatakan sebagai berikut:
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang
pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat
menerima tindakan “euthanasia aktif”
Namun apabila pasien dipastikan mengalami kematian otak maka pasien
dinyatakan telah meninggal. Tindakan penghentian terapeutik diputuskan
oleh oleh dokter yang telah berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup yang
diharapkan. Sesuai dengan surat edaran IDI menyatakan: Sampaikan kepada
pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya
mengenai penyakit yang diderita pasien.
Dalam keadaan di mana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat
lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien
bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan harus lebih
ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaannya.
Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,
tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun
demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke
fasilitas lainnya.
MUI dalam fatwanya tidak memperbolehkan euthanasia karena tidak
diperbolehkan agama. Hal senada juga ditegaskan oleh PGI, hanya dengan
catatan bila secara medis sudah tidak ada harapan sembuh dan kondisi
pasien justru semakin menderita. Membunuh tidak dibenarkan dalam agama
namun keputusan euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan jika
diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum,
etika kedokteran, dan agama pasien.
Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas
mengenai kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa kematian adalah
hilangnya nyawa seseorang, namun tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran masa kini, detak jantung dan
napas seseorang dapat terus dipertahankan karena fungsi otonomnya
(dengan bantuan peralatan medis tertentu), walaupun sebenarnya otak atau
batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah yang di kalangan kedakteran
dikenal sebagai keadaan vegetatif (vegetative state).
Permasalahan yang timbul kemudian adalah bahwa pasien tidak dapat
melakukan kegiatan selayaknya manusia, hidup dengan bantuan alat-alat
yang tentunya akan semakin memperpanjang penderitaan. Pada kasus ini
jelas bahwa pasien mengalami kematian batang otak di mana secara etik-
moral dapat menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan untuk
mengakhiri penderitaan. Tindakan ini menurut Prof.J.J.leennen digolongkan
pseudo euthanasia. Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak
dasar pasien untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of
determination), di mana tentunya pasien yang diwakili oleh keluarga
meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu tersebut.
Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu
pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan
mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar
yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan. Kedua, dokter
mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya
sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang
digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan
pertimbangan etik-moral.
Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang
pasien yang meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya sebetulnya tidak
ingin mati tetapi ingin mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di negara
kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar dari
penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan
euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan
Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang
euthanasia.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan
megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka
dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu
menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut
pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999
tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340,
Pasal 344, dan Pasal 359.
Kalau anda ingin disuntik mati, jangan lupa bikin surat dulu ya…, Surat
Pernyataan Persetujuan Diri Untuk Mati (SPPDUM), ya…, biar yang nyutik
ngak masuk penjara

Eutanasia menurut ajaran agama

Tindakan euthanasia dilakukan terhadap penderita penyakit yang tidak


mempunyai harapan sembuh (hopeless). Eutanasia dapat dilakukan dengan
memberikan obat-obatan tertentu atau dengan menghentikan pengobatan
maupun alat bantu hidup yang sedang dilakukan. Kata euthanasia berasal
dari bahasa Yunani eu yang artinya baik dan thanatos yang berarti kematian.
Pengertian “mempercepat kematian” dalam terminologi Islam tidak dikenal.
Dalam ajaran Islam, yang menentukan kematian adalah Allah (QS.Yunus:49).
Dengan demikian euthanasia sebenarnya merupakan pembunuhan, yang
diminta atau mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya.
Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu, euthanasia
pasif dan euthanasia aktif. Yang dimaksud dengan euthanasia aktif ialah
tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan
suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan dilakukan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah
atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perkiraan/perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan
sakitnya yang memang sudah parah.
Yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah tindakan dokter berupa
penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian
obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi.
Ada lagi upaya lain yang bisa digolongkan dalam euthanasia pasif, yaitu
upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut
penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya
yang dibutuhkan sangat tinggi.
Beberapa contoh kasus dalam hal ini diantaranya:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit
paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat
mempercepat kematiaannya.
2. Seseorang yang kondisinya sangat kritis dan akut karena
menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa menyebabkan
kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung
kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam
kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama
hidupnya. Atau penderita kelumpuhan otak yang menyebabkan
keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan studium
beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan lumpuh fisiknya
dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama
hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi
pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu
bentuk eutanasia pasif. Menurut gambaran umum, para penderita penyakit
seperti itu terutama anak-anak tidak berumur panjang, maka menghentikan
pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang tuanya.
Beberapa contoh kasus ethanisia aktif diantaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar
biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin
bahwa yang bersangkutan akan meningggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama,
misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian
kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan
demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat
pernafasan, sedangkan dokter ahli berkeyakinan bahwa penderita tidak
akan dapat disembuhkan.
Alat pernafasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan
tersebut dihentikan (dilepas), maka penderita sakit tidak mungkin dapat
melanjutkan pernafasannya sebagai cara aktif memudahkan proses
kematiannya.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,
meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter
tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi
keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik
kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan
penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang
merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan
tindak pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan
oleh Undang-undang.
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan
hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara
lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana.
Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia,
dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti
adanya hukuman qishash, hadd, dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat
dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam
hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu
dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus
dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari
Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus
dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya” (HR Abu Dawud
dan An-Nasa’i)
Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian
orang lain dimasukkan dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’
(jinayat), yang mendapat sanksi hukum. Dengan demikian euthanasia
karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan
merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah
yang menyatakan pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an
surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw,
selain hadits diatas, juga hadits tentang keharaman membunuh orang kafir
yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia
manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan
manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa
ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,
kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia
hanyalah Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai
hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya.
(QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu
apakah memudahkan proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam?
Apakah memudahkan proses kematian secara pasif juga diperbolehkan?
Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak
Allah Swt yang sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian
secara aktif seperti pada contoh pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah.
Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.
Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya,
bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari
kategori pembunuhan meskipun yanng mendorongnya itu rasa kasihan
kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah
Al-Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-
lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya
apabila telah tiba ajal yang telah di tetapkan-Nya.
Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat
menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia
untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia
tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada
harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam
hadits Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat
penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif
sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk
dalam kategori praktik penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya
dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini
terkait dengan hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para
ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya
sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang
mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafi’iyah dan hanbali sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita yang menderita
epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab akan bersabar dan
memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia tidak minta
dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak
tersingkap ketika kambuh.
Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap
demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat ataupun
generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam
satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya
‘Ulumuddinnya.
Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat
adalah pada dasarnya wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif
berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan perintah Allah
Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw dalam
masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul
Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw,
tersebut minimal menunjukkan hukum sunnah.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara
perhitungan akurat medis yang dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah dalam hukum kausalitas
yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang pun yang
mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.
Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian
berbagai macam media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan,
infus dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan
peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana
difatwakan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya,
bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak mengobatinya itulah yang wajib
atau sunnah.
Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam
ini dalam kondisi sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan
qatl ar-rahma (membiarkan perjalanan menuju kematian karena belas
kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter
maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya dengan
pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib
ataupun tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman
menurut syari’ah maupun hukum positif. Tindakan euthanasia pasif oleh
dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan dibenarkan syari’ah
apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan dan
beban pasien dan keluarganya.
Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu
menghentikan alat pernapasan buatan dari pasien, yang menurut
pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau “dikategorikan telah mati”
karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup dan
merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata
menghentikan alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan
pengobatan.
Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif
lainnya. Karena itu, eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk
kategori eutanasia aktif yang diharamkan. Dengan demikian, tindakan
tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila peralatan
bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan
lahiriah yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila
dilihat secara medis dari segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti
orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti sesuatu dan tidak
merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai sumber
semua aktivitas hidup itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan
biaya dan tenaga yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban.
Selain itu juga dapat menghalangi pemanfaatan peralatan tersebut oleh
pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita yang sudah tidak
dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu
dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun
lamanya.
Pendapat ini telah dikemukakan sejak lama oleh Syeikh Al-Qardhawi kepada
sejumlah pakar fikih dan dokter dalam suatu seminar yang diselenggarakan
oleh sebuah yayasan Islam untuk ilmu-ilmu kedokteran di Kuwait. Para
peserta seminar dari kalangan ahli fikih dan dokter sepakat menerima
pendapat tersebut.
Adapun hukum wajib shalat bagi orang yang tidak sadar dan tidak dapat
merasakan apa-apa adalah tidak berlaku lagi sampai ia sadar kembali.
Namun jika tidak kembali sadar maka ia tidak terkenai kewajiban tersebut.

Dalam ajaran gereja Katolik Roma


Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap
mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika
dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara
jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang
eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini
lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-
sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana
yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin
dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar
melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya
kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat
dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong
untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak
membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung"
(Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]

Dalam ajaran agama Hindu


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada
ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau
bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus
menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu
suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan
utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu
dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor
yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma"
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap
berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia
mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan :
misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah
tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih
berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.[23]

Dalam ajaran agama Buddha


Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari
kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk
hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan
pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha.
Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas
asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam
pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
[24]

Dalam ajaran Islam


Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya
(Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati,
namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya
Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum
Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupunHadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang
menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,
seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-
maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,
dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya
eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
dalam alasan apapun juga .[26]

Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan
memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh
dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak
diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter
melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberianobat secara overdosis dan ini
termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar
yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang
memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]

Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia
negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya
dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai
dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum
sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya
menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka,
mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal
ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi'idan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan
oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab(sunnah).[28]

Dalam ajaran gereja Ortodoks


Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang
beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga
kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah,
pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga
kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks
memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan
oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.[29]

Dalam ajaran agama Yahudi


Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan
menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah
miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan
sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia
sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam
alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah
kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala
binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan
tindakan eutanasia.[32]
Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia
dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
 Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk
memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu
keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut".
 Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan
dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu
perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut
menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral
dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka
percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan
menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun
bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas
pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam
menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai
suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Euthanasia dari aspek sosial

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :


1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi
aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk
menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan
mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama
sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat
kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali
merupakan yang tidak relevan.
2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang
berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk
mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek
sekunder untuk mempercepat kematiannya.
3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non
maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri
klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang
mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang
berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri
yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien
merupakan tindakan yang tepat (doing good).
8. Menurut Kaplan dan Sadock (1997), factor yang mem-pengaruhi
kecemasan pasien antara lain :
a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain:
1) Usia pasien
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) gangguan kecemasan dapat terjadi pada
semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita.
Sebagian besar
kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.
2) Pengalaman pasien men-jalani pengobatan
Kaplan dan Sadock (1997) mengatakan pengalaman awal pasien dalam
pengobatan
merupakan pengalaman-penga laman yang sangat berharga yang terjadi
pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman
awal ini sebagai bagian penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi
mental individu di kemudian hari. Apabila penga laman individu tentang
kemo terapi kurang, maka cenderung mempengaruhi peningkatan ke
cemasan saat menghadapi tindakan kemote rapi.
3) Konsep diri dan peran
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui
individu terhadap dirinya dan mem pengaruhi individu berhu bungan dengan
orang lain. Menurut Stuart & Sundeen (1991) peran adalah pola sikap
perilaku dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya
di masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan
perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon
orang yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan keseimbangan antara
peran yang dijalaninya. Juga keselarasan budaya dan harapan individu
terhadap perilaku peran. Disamping itu pemisahan situasi yang akan
menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran, jadi setiap orang disibukkan
oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisinya pada setiap
waktu. Pasien yang mempunyai peran ganda baik didalam keluarga atau di
masyarakat ada kecenderungan mengalami kecemasan yang berlebih
disebabkan konsentrasi terganggu.
b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain:
1) Kondisi medis (diagnosis penyakit)
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis
sering
ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing
kondisi
medis, misalnya: pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan mendapatkan
diagnosa
pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecema san klien.
Sebaliknya pada pasien yang dengan diagnosa baik tidak terlalu
mempengaruhi tingkat kecemasan
2) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing-masing. Pendidikan pada
umumnya ber guna dalam merubah pola piker, pola bertingkah laku dan
pola pengambilan keputusan (Noto atmodjo, 2000). Tingkat pendidikan yang
cukup akan lebih mudah dalam mengiden tifikasi stresor dalam diri sendiri
maupun dari luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran
dan pemahaman terhadap stimulus (Jatman,2000).
3) Akses informasi
Adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk
pendapatnya berdasarkan se suatu yang diketahuinya. Infor masi adalah
segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan
kemote rapi terdiri dari tujuan kemote rapi, proses kemoterapi, resiko dan
komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta proses adminitrasi
(Smeltzer & Bare, 2001).
4) Proses adaptasi
Kozier and Oliveri (1991) menga takan bahwa tingkat adaptasi manusia
dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kecemasan Pasien Dalam… (Umi Lutfa dan Arina
Maliya) 189 individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.
Proses adaptasi sering menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan
dari sumber-sumber di lingkungan dimana dia berada. Perawat merupakan
sumber daya yang tersedia di lingkungan rumah sakit yang mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien mengembalikan atau
mencapai ke seimbangan diri dalam meng hadapi lingkungan yang baru.
5) Tingkat sosial ekonomi
Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik.
Berdasarkan hasil penelitian Durham diketahui bahwa masyarakat kelas
sosial ekonomi rendah
prevalensi psikiatriknya lebih banyak. Jadi keadaan ekonomi yang rendah
atau tidak memadai dapat mempengaruhi peningkatan ke cemasan pada
klien menghadapi tindakan kemoterapi.
6) Jenis tindakan kemoterapi
Adalah klasifikasi suatu tindakan terapi medis yang dapat men datangkan
kecemasan kare na terdapat ancaman pada inte gritas tubuh dan jiwa
seseorang (Long, 1996). Semakin mengetahui tentang tindakan kemote rapi,
akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien kemoterapi.
7) Komunikasi terapeutik
Komunikasi sangat dibutuhkan baik bagi perawat maupun pasien. Terlebih
bagi pasien yang akan menjalani proses kemoterapi. Hampir sebagian besar
pasien yang menjalani kemoterapi mengalami kece masan. Pasien sangat
mem butuhkan penjelasan yang baik dari perawat. Komunikasi yang baik
diantara mereka akan menen tukan tahap kemoterapi selan jutnya. Pasien
yang cemas saat akan menjalani kemoterapi ke mungkinan mengalami efek
yang tidak menyenangkan bahkan akan membahayakan. Dampak
kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi
peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, sero tonin, dan gama aminobuyric
acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis),
antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual,
muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun
ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara
lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak,
berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan
mental, antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat - loncat, kehilangan
kemampuan per sepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi.
Tidak etis, karena kondisi ibu pasien dalam keadaan gelisah, sehingga
memicu kecemasaan pasien. Seharusnya, memberikan penjelasan pada
klien harus dalam keadaan tenang.
Menurut kode etik keperawatan Indonesia, perawat dan klien :
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat
dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat
istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Euthanasia adalah sebuah masalah yang muncul berkenaan dengan
ketidaksanggupan seseorang dalam menanggung rasa sakit. Euthanasia
dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai ‘kematian yang lembut
dan nyaman; terutama dilakukan dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan. Euthanasia dibagi menjadi dua jenis
berdasarkan cara pengambilan keputusan yaitu, euthanasia sukarela dan
tidak sukarela. Euthanasia sukarela adalah euthanasia yang diminta secara
sadar oleh seseorang atas dirinya. Sedangkan euthanasia tidak sukarela
adalah euthanasia yang keputusan untuk euthanasia diambil oleh orang lain
atas diri seseorang. Euthanasia tidak sukarela dapat dibagi lagi menjadi dua,
berdasarkan asumsi yang melandasinya yaitu, euthanasia diandaikan dan
dipaksakan. Euthanasia diandaikan adalah euthanasia yang tidak diusulkan
karena pasien entah karena tidak sadar atau terlalu muda untuk berbicara.
Dalam hal ini individu yang sakit diandaikan akan meminta mata jikalau ia
dapat menyatakan keinginannya. Kemudian euthanasia dipaksakan adalah
euthanasia yang dilakukan kepada pasien yang sadar tetapi tidak diminta
persetujuannya.
Euthanasia juga dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan tindakan medis
yang diberikan yaitu, euthanasia aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah
tindakan medis yang mempercepat kematian seseorang, sedangkan
euthanasia pasif adalah tindakan medis yang muncul tatkala orang gagal
melakukan sesuatu yang perlu dilakukan sebagai bagian dari kegiatan di
mana orang terlibat; atau gagal melakaukan sesuatu yang menjadi bagian
dari pelaksanaan suatu rencana atau maksud; atau gagal dalam
menjalankan tugas yang untuk itu orang dibayar; atau gagal melakukan
sesuatu yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Penulis melihat permasalahan euthanasia terbagi dalam dua hal, yaitu
rasionaliasi euthanasia dan dorongan (drive) yang melatarbelakanginya.
Penulis melihat bahwa kecenderungan utama manusia adalah untuk hidup.
Mengapa demikian ? hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang tetap
ingin lancar dalam menjalani kehidupannya. Banyak orang yang sakit
kemudian berusaha “mengobatinya” dengan “obat”, baik sesuai dengan
dosis ataupun melebihi dosis. Kehidupan menjadi sedemikian diperjuangkan
(survival of the fittest). lalu mengapa ada yang meminta agar diberi tindakan
euthanasia? Ada beberapa jawaban. Pertama, karena mengalami rasa sakit
yang amat sangat. Kedua, karena sakit secara psikologis, dan ketiga, karena
masalah ekonomi. Nampaknya jawaban kedua dan ketiga dapat
dikesampingkan dan memfokuskan diri kepada masalah rasa sakit.
Jawaban-jawaban yang dapat dipikirkan tentang sebab pengambilan
tindakan euthanasia sudah diutarakan. Kini mulailah fase rasionalisasi atas
euthanasia. Euthanasia dirasionalisasi berdasarkan :
1. Otonomi pribadi
2. Melepaskan diri dari sakit
3. Masalah kualitas hidup

Dari uraian di atas, penulis yang membedakan antara dorongan utama dan
rasionalisasi euthanasia, melihat bahwa individu menghendaki euthanasia
karena permasalahan yang sedang dihadapi. Penulis yakin bahwa individu
akan terus menjalani kehidupannya seandainya permasalahan yang dihadapi
dapat terselesaikan. Jadi, menurut penulis permasalahannya bukan terletak
pada hidup itu sendiri. Memang karena hidup kita dapat merasakan sakit,
tapi bukan hanya itu, bahagia dan hal yang lainpun kita rasakan. Sehingga
apakah tepat jika kemudian yang diselesaikan adalah hidup, dalam artian
untuk diakhiri. Bukankah permasalahannya terletak pada sesuatu di luar
hidup?
Ketika membahas tentang rasa sakit, telah ada alat dan obat yang dapat
digunakan untuk mengurangi bahkan menghilangkan rasa sakit, sehingga
alasan rasa sakit untuk diberikan tindakan euthanasia tidak lagi kuat. Pasien
yang menunjukkan kemajuan tentu akan terus diusahakan untuk hidup.
Untuk pasien yang menurun kondisinya, tetap saja diberikan bantuan yang
dapat diberikan, sampai kematiannya. Sedangkan, untuk pasien yang stabil
kondisinya (koma) dan berkepanjangan, penulis melihat tidak ada batas
sampai kapan sebuah alat kemudian dilepaskan.
Benturan yang mungkin terjadi kepada hal tersebut di atas, sebenarnya
adalah masalah ekonomi. Namun, ketika masuk wilayah yang disebut
masyarakat ini, penilaian buruk akan meluas juga ke arah masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh kekurangpekaan masyarakat akan orang yang
membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan hidupnya. Jadi, penulis
menilai harus ada upaya yang maksimal untuk menyelamatkan hidup,
walaupun dapat menemui kegagalan. Jika menemui kegagalan, maka dapat
saja disebut bahwa hal itu merupakan euthanasia pasif, karena tidak sesuai
dengan rencana dan maksud awal yaitu, menyelamatkan hidup.
Beralih kepada rasionalisasi euthanasia yang telah disebutkan di atas,
penulis dapat memberikan beberapa sanggahan. Pertama, masalah otonomi
pribadi. Keberadaan otonomi pribadi ini sebenarnya dapat ditarik ke arah
otonomi untuk hidup dan untuk mati. Ketika seseorang meminta euthanasia
karena itu otonominya, maka otonominya itu akan menemui otonomi orang
lain. Dalam hal ini, apakah kemudian otonomi seseorang dapat memaksa
otonomi orang lain? Rasanya tidak. Dengan argumen otonomi pun,
perwakilan macam apapun untuk mengambil keputusan euthanasia atas diri
seseorang adalah tidak benar. Otonomi pribadi berarti juga berkaitan dengan
kepemilikan hidup. Apabila memang hidupnya adalah miliknya, apakah itu
berarti dapat semena-mena memperlakukannya? Apakah sebuah lukisan
Pablo Picasso yang saya miliki, itu berarti bahwa saya dapat merusaknya
tanpa penilaian dari orang lain tentang itu?
Kedua, masalah melepaskan diri dari rasa sakit. Rasa sakit yang amat sangat
hendak dikurangi atau dihilangkan dengan menyudahi hidup atau dengan
kematian. Bukankah kematian itu sesuatu yang menjadi puncak rasa sakit?
Jika demikian, apakah dapat diterima untuk menghilangkan rasa sakit
dengan rasa sakit yang lebih sakit? Apakah hal tersebut sebanding? Masih
dapat diterima jika seseorang meninggalkan kenikmatan yang kecil demi
kenikmatan yang lebih besar. Tetapi bagaimana dengan seseorang yang rela
meninggalkan rasa sakit dengan rasa sakit yang lebih besar? Jika dilihat dari
cara pandang hedonisme, tentu hal ini adalah suatu hal yang ditolak atau
tidak dapat diterima.
Ketiga, masalah kualitas hidup. Ada sebuah pernyataan bahwa hidup
seseorang tidak lagi disebut berkualitas ketika seseorang itu hilang
kesadaran atau memiliki cacat fisik atau mental. Tapi apakah lantas itu
sebuah legitimasi untuk membenarkan euthanasia? Rasanya orang yang
cacat mental atau fisik pun masih ingin hidup, karena memang itu naluri
yang kuat pada diri makhluk hidup. Jadi, kualitas hidup seseorang
sebenarnya dibangun oleh diri sendiri (dari dalam), seperti yang diungkap
oleh eksistensialisme, bahwa manusialah yang menentukan esensi dirinya.
Jadi, masalah euthanasia tidak terletak pada persoalan hidup, akan tetapi
harus diupayakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi
oleh si pemohon atau pasien. Kemudian, dengan tetap berusaha, sampai
kematian datang.

You might also like