Professional Documents
Culture Documents
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I WASIOR
A. Pendahuluan …………………………………………………………………………………………..
B. Gambaran Umum Distrik Wasior ………………………………………………………………….
a. Letak Geografis …………………………………………………………………………………….
b. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk .……………………………………………………………
c. Sosial Budaya ………………………………………………………….……………………………
d. Sumber Daya Alam …………………………………………………………………………………
e. Ekonomi ……………………………………………………………………………………………..
f. Relasi Kekuasaan ………………………………………………………………………………….
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………
B. Rekomendasi …………………………………………………………………………………………..
LAMPIRAN
WASIOR
A. PENDAHULUAN
Konflik di Wasior telah terjadi sekitar satu setengah tahun lamanya, diawali dengan satu peristiwa
konflik kekerasan yang muncul pada tanggal 13 juni 2001 di desa Wondiboy dan sampai kami (Tim
AlDP) keluar dari Wasior, sesungguhnya konflik belum benar-benar usai apalagi untuk mengatakan
bahwa “…sudah tidak ada lagi masalah“ di Wasior.
Sebenarnya, jauh sebelum peristiwa Wondiboy terjadi, telah muncul konflik tertutup (laten),
di mana konflik tersebut dipicu dengan kehadiran perilaku pihak perusahaan yang tidak memenuhi
kesepakatan yang telah dibuat dengan masyarakat pemilik hak ulayat. Akan tetapi selama kurun
waktu tersebut tidak pernah ada upaya dari perusahaan untuk melakukan komunikasi maupun
pendekatan yang persuasif dengan masyarakat pemilik hak ulayat guna mengurangi konflik,
hingga akhirnya konflik menjadi semakin tajam.
Malah perusahaan memilih pola-pola umum yang biasa dilakukan oleh pihak perusahaan jika
investasinya terganggu oleh masyarakat, yakni dengan menggunakan pendekatan kekerasan,
meminta pengamanan dari pihak Brimob. Sembari dengan itu pemerintah juga tidak memberikan
perhatian yang serius, hanya bersifat pasif menghadapi konflik yang makin tajam tersebut.
Masyarakat kemudian memilih pola baru menurut mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan
mereka, yakni dengan melibatkan pihak yang diduga sebagai TPN/OPM. Hal ini terjadi karena
masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah – termasuk aparat keamanan --
yang selama ini seharusnya melindungi rakyat. Pilihan dalam mengelolah konflik tersebut ternyata
justru memunculkan satu konflik terbuka dengan kekerasan yang kemudian menjadi peluang bagi
munculnya kekerasan-kekerasan serupa, bahkan jauh lebih berbahaya. Diikuti dengan Operasi
Tuntas 2001 yang cenderung dilakukan secara sporadis dan meluas justru telah menimbulkan
kerugian dan korban yang tidak sedikit dari masyarakat yang tidak berdosa.
Karena seperti juga konflik-konflik kekerasan yang terjadi di tempat lain, tindakan yang diambil oleh
pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan setelah terjadinya konflik – mengelola konflik –
senantiasa menggunakan idiom-idiom kekerasan serupa. Lihat saja kasus Abepura, 7 Desember
2000 pasca penyerangan Polsek Abepura atau kasus Wamena, Oktober 2000 dan kasus Merauke,
November 2000, pasca pengibaran bendera Bintang Kejora. Kekerasan senantiasa menghasilkan
kekerasan dan rakyat diabaikan, bahkan dijadikan sasaran dari mengalirnya kekerasan yang sama.
Sehingga pengelolaan konflik semacam itu justru membuat penyelesaian konflik menjadi tidak
fokus, cenderung mengaburkan akar masalah dari konflik sesungguhnya, melibatkan
(mengundang) lebih banyak pihak yang berkonflik dan yang lebih serius adalah menghasilkan
korban kekerasan yang jauh lebih banyak, yang ironisnya sampai sekarang tidak pernah ada upaya
untuk mengadili praktek-praktek mengatasi “kekerasan dengan kekerasan yang lebih berbahaya“
tersebut.
Akibat dari keliru dalam memanage konflik, telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan
kehidupan rakyat. Hutan, tanah dan kekayaan lautnya tak dapat lagi dikelola secara baik, sarana
umum dan rumah-rumah hancur dibakar, lembaga atau institusi-intitusi lokal menjadi lumpuh dan
tidak dapat diberdayakan, kecuali untuk kepentingan kekerasan itu sendiri, sehingga hampir tak
ada asset yang bisa “diselamatkan“.
Kondisi Umum
Wasior adalah sebuah daerah distrik, dengan Wasior Kota sebagai ibukotanya. Wasior sebenarnya
menjadi pusat aktifitas dari beberapa wilayah di dekatnya. Dulu di desa Maniwak (Miey), di sebuah
bukit yang bernama Aitumeri, yang berarti Teluk yang tenang, telah didirikan sekolah pendidikan
Guru, setingkat SMP, oleh seorang tokoh rohani, I.S. Kijne.
Di masa pemerintahan Belanda, Wasior telah menjadi distrik dengan wilayah mencakupi kota
Nabire. Dalam perkembangannya, Nabire telah menjadi sebuah ibukota kabupaten, bahkan kini
telah pula dimekarkan menjadi dua daerah setingkat kabupaten. Sedangkan Wasior masih tetap
dengan status semula, distrik.
Untuk menempuh daerah yang berada di teluk Wondama ini, dari Manokwari dapat menggunakan
jasa transportasi laut, yakni Kapal Perintis dengan jadwal setiap 1 kali dalam 2 minggu dengan
waktu tempuh sekitar 11 jam, atau kapal kayu pada setiap minggunya dengan waktu tempuh
sekitar 20 jam. Selain itu dapat pula ditempuh lewat jasa transportasi udara dengan menggunakan
pesawat maskapai penerbangan swasta dan juga penerbangan reguler Merpati Nusantara Airlines
jenis Twin Other, sekali seminggu, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit.
Distrik Wasior memiliki jumlah kampung sebanyak 24 buah. Pada tahun 2001, terjadi pemekaran
atas kampung-kampung tersebut. Hal ini dilakukan atas dasar adanya rencana pembentukan
daerah kabupaten Wandama. Sehingga jumlah keseluruhan dari kampung yang dimekarkan
menjadi 38 buah kampung.
Lokasi perkampungan penduduk umumnya berada di pesisir pantai, sehingga perahu (long boat)
menjadi alat transportasi yang sangat efektif. Selain itu, ada pula perkampungan penduduk yang
berada di daerah pedalaman. Untuk menempuhnya, harus melalui kendaraan roda dua atau roda
empat, tetapi ada kampung yang sama sekali tidak bisa dilalui oleh kendaraan, sehingga untuk
menempuh daerah tersebut, harus dilalui dengan berjalan kaki.
Seperti daerah lain di Papua, masyarakat Wasior mengandalkan siklus hidup mereka pada
kemurahan alam (hutan, laut dan sungai). Hal ini terlihat dari aktivitas ekonomi masyarakat yang
pada umumnya adalah meramu, berburu serta bertani atau sebagai nelayan. Aktivitas ini telah
terbukti mampu menjaga kelangsungan hidup mereka sekian dasawarsa lamanya.
c. Sosial Budaya
Di daerah pesisir pantai, distrik Wasior didiami oleh Suku Maniwak dan Roon. Sedangkan di daerah
pedalaman dihuni oleh suku Mairasi, Toro, Mere dan Kuri. Marga yang termasuk dalam suku
Maniwak di antaranya adalah Webori, Imbore, Wamori, Yerenusi, Samberi, Karami, Runaki, Enoap,
Mandakiri, Imburi dan Ramar. Sedangkan Ayemseba dan Betai adalah marga pada suku Roon, di
pulau-pulau Roon.
Suku Mairasi antara lain bermarga Natama dan Nyalo, suku Toro bermarga Urio, Suku Mere
bermarga Kabiyeta, dan suku Kuri bermarga Resideso dan Rinsawa.
Seperti juga kebiasaan hidup orang Papua pada umumnya,sebagai “anak adat“, maka keseluruhan
dari suku ini sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta alam yang menjadi sumber utama
kehidupan mereka. Kepercayaan mereka pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya dan adanya
hubungan yang sangat erat antara mereka dengan alam sekitarnya. Alam dianggap sangat baik
karena telah memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi mereka, alam tidak hanya bermakna
ekonomis, namun juga merupakan sumber inspirasi religius yang sangat sakral. Karenanya mereka
sangat menghormati hutan, laut dan tanah, serta sangat santun memperlakukan makro kosmos
ekosistem kehidupan tersebut.
Mayoritas penduduk Wasior beragama Kristen Protestan, yaitu 8.926 jiwa. Menyusul Katholik 206
jiwa, dan selebihnya Islam dengan 322 jiwa. Sebagian besar yang beragama Islam berasal dari
pendatang.
Peran perempuan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam upacara adat,
keagamaan maupun acara kemasyarakatan. Tetapi kaum pria tetap sebagai penentu terhadap
semua keputusan yang timbul akibat kepentingan keagamaan, sosial maupun adat istiadat.
d. Sumber Daya Alam
Komoditi andalan distrik Wasior pada umumnya adalah Coklat, Kelapa, Kopi, Pala, Cengkih dan
juga perikanan. Selain itu, perbandingan antara luas wilayah dengan jumlah penduduk Wasior,
telah mengisyaratkan akan besarnya daerah yang belum tersentuh atau pun dikelola dengan baik.
Sehingga sejak 1992, para kapitalis asing sudah menanamkan investasinya di sektor kehutanan,
HPH dan atau IPH, yang antara lain adalah PT. Dharma Mukti Persada (PT. DMP) di kampung
Wombu serta PT. Vatika Papuana Perkasa (PT. VPP) dan PT. Tri Jaya Sukses Lestari (PT. TJSL)
di kampung Wondiboy. Tiga perusahaan yang akhirnya menjadi sumber persoalan di Wasior.
e. Ekonomi
Telah digambarkan bahwa masyarakat Wasior mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan cara mengelola secara traditional kekayaan laut, hutan dan sungai. Ada
juga yang bekerja sebagai guru, pegawai kecamatan, mantri dan lain sebagainya. Setelah
perusahaan masuk, maka ada sebagian masyarakat Wasior yang bekerja sebagai buruh
f. Relasi Kekuasaan
Wasior sejak jaman Belanda telah sarat dengan aktifitas pemerintah, tetapi ketika bergabung ke
pemerintah Indonesia justru tidak banyak perubahan yang berarti, bahkan jauh tertinggal dari
beberapa daerah lainnya, Nabire misalnya. Seperti juga kebanyakan wilayah yang terletak jauh dari
kota kabupaten, maka pelayanan dan aktifitas pemerintahan berjalan sangat lambat. Kalaupun ada
biasanya hanya terfokus di Wasior kota.
Setelah perusahaan masuk, peran perusahaan menjadi dominan, karena ada tawaran pilihan hidup
yang lain. Selain itu luasnya wilayah yang dikuasai oleh perusahaan dan lemahnya kontrol
pemerintah terhadap aktifitas perusahaan menyebabkan pihak perusahaan menjadi signifikan
terhadap perubahan perikehidupan, relasi antara perusahaan dan aparat keamanan berjalan baik.
Peran lembaga adat, setidaknya sampai akhir 2000, relatif cukup bisa diandalkan menjadi tempat
aspirasi rakyat. Akan tetapi kemudian bersamaan dengan besarnya peran perusahaan, dimulainya
konflik tertutup (sebelum peristiwa 31 Maret 2001) justru “dilemahkan“ dan ada yang juga beralih
kepada kekuatan lain. Pada situasi tersebut, peran kaum perempuan praktis tidak ada, bahkan
kehilangan akses dan kontrol, sedangkan peran kaum pria sangat dominan karena pengambilan
keputusan lebih banyak melibatkan kaum pria dari berbagai komponen ketimbang keterwakilan
kaum perempuan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa, yang namanya konflik Wasior adalah kejadian tanggal 13 Juni
2001, atau setidaknya kejadian tanggal 31 Maret 2001. Maka keterlibatan para pihak setelah tanggal
tersebut dipandang sebagai keterlibatan para pihak setelah konflik. Akan tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa konflik di Wasior pada tanggal tersebut justru baru dimulai (secara terbuka), karena sampai saat ini
konflik di Wasior belum benar-benar berakhir.
Masuknya perusahaan yang mengelolah hasil hutan di distrik Wasior (Wombu dan Wondiboy)
sebenarnya merupakan harapan positif bagi perbaikan ekonomi masyarakat dan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Manokwari. Selain itu, turut menjawab persoalan
pengangguran yang terus membengkak setiap tahunnya. Bahkan secara khusus bagi masyarakat
yang hidup dan menetap di sekitar konsesi perusahaan, mempunyai harapan yang tidak kecil
terhadap perbaikan kondisi hidup mereka. Hal ini juga menjadi alasan dari pihak perusahaan
bersama Kopermas yang kemudian berhasil meyakinkan masyarakat disertai dengan janji-janji.
Bujukan perusahaan dan Kopermas dilakukan bersamaan dengan proses penjinakan atau
domestikasi terhadap tokoh-tokoh masyarakat setempat. Hingga pada awal masuk dan
beroperasinya perusahaan tidak mengalami kendala yang berarti. Masyarakat dengan antusias
yang tinggi mendukung semua aktifitas perusahaan.
Akan tetapi setelah sekian waktu lamanya proses pengelolaan kayu berlangsung, masyarakat
mulai menyadari adanya berbagai ketimpangan yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat
pemilik hak ulayat. Ini tentu bukan tanpa alasan, bahwa selama ini masyarakat tidak pernah
dilibatkan sekali pun pada setiap kali melakukan kesepakatan harga. Karena negosiasi harga
hanya dilakukan oleh pihak perusahaan dengan Kopermas, sedangkan masyarakat sebagai pemilik
sah atas hutan dan segala isinya hanya terlibat dalam melaksanakan keputusan saja.
Kopermas yang seharusnya diharapkan mampu menampung kebutuhan dan harapan rakyat,
berbeda sekali dalam prakteknya, karena ternyata pengurus Kopermas adalah orang-orang kota,
atau paling tidak orang yang tidak mempunyai tanah di Wasior, sedangkan tokoh-tokoh adat yang
tercantum dalam kepengurusan Kopermas hanya digunakan sebagai “bemper” ketika berhadapan
dengan rakyat.
Selain itu, pihak perusahaan belum memenuhi apa yang telah mereka sepakati untuk diberikan
kepada masyarakat, seperti pembangunan rumah penduduk, pengadaan sarana air bersih dan
penerangan sepanjang daerah yang dilalui perusahaan serta janji-janji lainnya. Tidak jarang pula,
kompensasi yang seharusnya masyarakat terima telah dipotong untuk hal-hal yang tidak jelas oleh
Kopermas. Di saat bersamaan, ada beberapa pihak di luar mereka yang mencari keuntungan dari
kehadiran perusahaan tersebut dengan memanfaatkan posisi tokoh-tokoh yang dekat dengan
rakyat sehingga memperoleh pembayaran dari hasil hutan yang dieksploitasi.
Kasus di Wombu, setidaknya sejak tahun 1995 – 1996, perusahaan kayu PT. DMP yang beroperasi
di sana, tidak lagi melakukan pembayaran kepada masyarakat pemilik hutan setelah selama 9
tahun beroperasi. Sementara di Wondiboy, lokasi eksploitasi perusahaan kayu PT. VPP dan PT.
TJSL, juga telah mulai mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat. Salah satu isi dari
Ekonomi
POLITIK
berangkat dari motif ekonomi seketika berubah menjadi motif politik. Bagi pihak kepolisian Papua,
tindakan sekelompok masyarakat tersebut tidak hanya dipandang sebagai pidana pembunuhan,
tetapi merupakan rongrongan terhadap kedaulatan NKRI, sehingga dikenai pasal makar dalam
KUHP. Untuk menyikapi kondisi tersebut, maka pihak Polda Papua langsung melakukan droping
pasukan Brimob ke Wasior – yang didatangkan dari Manokwari, Sorong, Jayapura dan Biak –
dengan menggunakan pesawat Helikopter dan kapal serta menetapkan distrik Wasior sebagai
daerah operasi berlabel “Operasi Tuntas 2001”, dengan target pengejaran terhadap kelompok
TPN/OPM dan pengembalian 6 pucuk senjata yang telah dibawa lari.
Sejak ditetapkannya Wasior sebagai daerah operasi, justru menjadikan penderitaan rakyat Wasior
berkepanjangan, karena terjadi perubahan yang sangat besar dalam bidang kemanusiaan,
BAB III
Laporan Wasior : Wasior 10
MEMBONGKAR BELENGGU KONFLIK
Telah digambarkan sejak awal bahwa akar persoalan utama konflik Wasior adalah tuntutan hak
ulayat masyarakat pemilik hutan terhadap pihak perusahaan yang telah mengingkari kesepakatan
yang dibuat bersama. Pilihan masyarakat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan cara
memberitahukannya ke pihak TPN/OPM karena sudah kehilangan kepercayaan terhadap aparat
penegak hukum yang seharusnya diharapkan dapat menjaga dan melindungi kepentingan hukum
mereka, tetapi ternyata nampaknya lebih berpihak kepada perusahaan. Akan tetapi masyarakat
sendiri tidak menyangka sama sekali bahwa reaksi kelompok TPN/OPM memilih cara-cara
kekerasan seperti yang telah terjadi.
Masyarakat juga kehilangan kepercayaan dan putus asa kepada Lembaga Masyarakat Adat (LMA),
lembaga yang awalnya berperan menyelesaikan setiap persoalan yang muncul antara masyarakat
dan perusahaan telah diidentifikasi pula oleh masyarakat sebagai lembaga yang tak beda jauh
dengan perusahaan dan Kopermas yakni lebih menitikberatkan keuntungan buat kelompok mereka
sendiri.
Reaksi yang diperlihatkan pihak Pemerintah Daerah dan juga Polda termasuk DPR Papua, gereja,
serta beberapa kalangan terhadap pembunuhan anggota Brimob dan karyawan perusahaan serta
hilangnya 6 pucuk senjata disadari atau tidak telah merubah pandangan bahkan juga penilaian-
penilaian terhadap thema persoalan dari isu ekonomi kepada isu politik. Apalagi hal ini diikuti
dengan sikap dan besarnya attention terhadap 6 pucuk senjata yang hilang – dengan tidak
berimbang dalam menyikapi ekses sosial yang dihadapi dan diterima masyarakat akibat dari
Operasi Tuntas 2001. Apalagi untuk menyelesaikan akar persoalan utama.
Hal ini terlihat dari banyaknya tim yang diturunkan – bentukan pemerintah, DPRD, gereja, LSM
serta lembaga lainnya – hanya memfokuskan misi pada satu target pengembalian senjata. Kondisi
ini semakin diperkuat pula oleh pola pemberitaan media massa yang terus memblow up isu politik
tetapi tidak pernah mencoba untuk mengangkat persoalan utama atau mengangkat soal
penderitaan yang dialami masyarakat akibat tindakan Brimob dilakukan diluar proses hukum yang
adil dan benar. Kita mencatat banyak sekali kejadian kejahatan kemanusiaan yang menyertai
Operasi Tuntas 2001.
Pada acara Musyawarah Adat Wandama, pada 25 – 27 Juli 2002, nampak bahwa pemerintah
Manokwari kurang memberi perhatian terhadap penderitaan traumatik yang dihadapi masyarakat
Wasior. Hal ini nampak pada acara musyawarah tersebut, thema-thema yang dibahas hanya
berfokus pada pembahasan pembentukan kabupaten Wandama, penetapan caretaker Bupati, serta
sosialisasi Otonomi Khusus dan sama sekali tidak menyinggung penyelesaian persoalan
penderitaan rakyat Wasior. Bahkan pada saat yang bersamaan, seluruh kepala kampung yang
berjumlah 38 orang dipaksa untuk membuat pernyataan menolak keberadaan kelompok TPN/OPM.
Bentuk nyata kepedulian pemerintah hanya terlihat pada banyaknya tim yang turun baik dari
pemerintah propinsi maupun kabupaten dengan bentuk bantuan berupa bahan makanan,
rehabilitasi fisik sarana umum dan pemukiman penduduk – meski juga menimbulkan persoalan
tersendiri di masyarakat. Bagi warga masyarakat yang telah mengungsi ke pulau-pulau lain atau ke
kota Manokwari kurang mendapat perhatian dari pemerintah dengan pertimbangan mereka yang
engungsi lebih banyak berada pada rumah-rumah keluarga. Akan tetapi tidak disadari bahwa
Laporan Wasior : Wasior 11
mereka telah kehilangan sumber-sumber mata pencaharian di Wasiordan menjadi tanggungan bagi
keluarga yang lain. Begitu juga dengan banyaknya anak-anak yang menjadi putus sekolah karena
harus meninggalkan kampung halaman.
Di Jayapura, gerakan mahasiswa telah berhasil mendesak kalangan DPRD Papua dengan
membentuk tim ahli untuk pengusutan kasus Wasior. Tim yang terdiri dari DPRD, LSM, mahasiswa,
pers dan pengacara/advokad ini telah merumuskan mekanisme dan tekhnis kerja di lapangan.
Kesiapan tim yang sudah sampai di tingkat akhir kemudian menjadi tidak jelas ketika Muspida
Papua (Gubernur, Kapolda, dan Pangdam) yang sudah terjun ke lokasi pada bulanJuli 2001,
membantah adanya praktek pelanggaran HAM di Wasior.
Rupanya ini telah dipahami sebagai Warning oleh DPRD untuk tidak perlu
melanjutkan upaya pengusutan kasus Wasior. Ketika DPRD didesak jawabannya
adalah tidak ada biaya yang disediakan untuk itu.
Lembaga adat, LMA dan DPMA yang diharapkan mampu menjadi pioner untuk memproteksi hak-
hak termasuk keselamatan jiwa warga adat, tidak mampu berbuat banyak ketika nyawa mereka
sendiri terancam. Pengurus kedua lembaga adat ini terpencar menyelamatkan diri masing-masing.
Wakil Ketua II DPMA, sdr. Ramar yang meninggal dunia karena siksaan Brimob di tahanan Polres
Manokwari serta Sekretarisnya yang lari ke Jayapura merupakan bukti ketidakberdayaan lembaga
tersebut dalam menghadapi tekanan Operasi Tuntas 2001.
Pihak TPN/OPM sendiri menjawab semua upaya tim dengan menyampaikan tuntutannya:
1. Kembalikan kedaulatan Papua
2. Hidupkan kembali Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, guru Ramar dan semua
yang telah terbunuh pasca kasus Wondiboy.
Tentu saja tuntutan ini hanya alasan mereka untuk tetap bersikukuh pada pendiriannya. Karena hal
yang sangat tidak mungkin untuk menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Sehingga
negosiasi tentang penyelesaian persoalan Wasior kembali mengalami kegagalan.
Tuntutan dan pandangan pihak TPN/OPM tersebut menjadi alasan pihak aparat Brimob untuk terus
melakukan operasi pengejaran sembari dengan itu proses intimidasi kepada masyarakat tetap
berlanjut. Selain itu aparat Brimob mendesak para tokoh masyarakat, tokoh adat serta para kepala
kampung yang berjumlah 38 orang untuk membuat pernyataan menolak keberadaan TPN/OPM
serta menganjurkan mereka untuk meninggalkan daerah teluk Wandama.
Kelompok TPN/OPM terlihat sangat marah dengan pernyataan ini.
Kepada para kepala kampung, Daniel Awom lantas mengatakan bahwa
mereka cukup mengurusi saja penderitaan rakyatnya yang tersiksa, dan
tidak perlu mencampuri persoalan mereka.
(Wawancara dengan informan).
Pasca kasus Wondiboy, pimpinan TPN OPM yakni Daniel Awom dan Ayomi dikabarkan meninggal
dunia. Maka Koridama lantas tampil memimpin kelompok mereka. Dalam perkembangannya,
perseteruan internal kemudian mengancam soliditas kelompok mereka. Konflik yang tidak mampu
diselesaikan tersebut pada akhirnya telah membuat beberapa anggotanya berkhianat dan
menyatakan diri keluar dari barisan TPN/OPM.
Pada perkembangannya, kelompok inilah yang menyerahkan 3 dari 6
pucuk senjata yang dirampas pada 13 Juni 2001 lalu. Mereka adalah
Petrus Rum, Boy Nuro dan Matani.
(Wawancara dengan dengan informan).
Maka dengan tiba-tiba pasukan dari Operasi Tuntas 2001 tersebut membakar 12 buah rumah yang tersisa di kampung Ambumi
pada tanggal 6, 7 dan 9 Oktober 2002.
a. Hukum
Sikap perusahaan yang telah mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat dengan melanggar
kesepakatan yang telah ada tidak dapat dibenarkan oleh hukum apalagi menempuh cara-cara
kekerasan untuk tetap melakukan aktifitasnya. Hal ini menjadi contoh klasik dari banyak kasus
yang terjadi di Papua dimana perusahaan mengabaikan hak-hak masyarakat pada saat
melakukan investasi dan dengan mudah mempengaruhi tokoh-tokoh masyarakat untuk
memperoleh legitimasi dari rakyat. Mendirikan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk
memanfaatkan kekayaan alam dengan cara mempermainkan hak pemiliknya, seperti pendirian
Kopermas yang hanya memanfaatkan sikap lugu dan terbuka dari masyarakat setempat.
Kasus di Wombu 31 Maret 2001 dan Wondiboy 13 juni 29001 yakni pembataian terhadap 5
orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan yang diindikasikan dilakukan oleh
kelompok TPN/OPM merupakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti juga kasus-
kasus yang terjadi sebelum kedua peristiwa tersebut di atas.
Tetapi kejadian panjang yang menyusul dari 2 peristiwa tersebut juga merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Karena tindakan yang ditempuh – terutama dengan Operasi Tuntas
2001 – untuk menangkap pelaku dari ke dua peristiwa tersebut telah menyebabkan banyak
rakyat yang tidak berdosa menjadi korban termasuk rumah, sarana pendidikan, sekolah,
puskesmas, kebun-kebun dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan pola penanganan kasus yang
dilakukan oleh pihak Brimob cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, asas kepatutan
dan norma hukum. Hal ini dapat dilihat dari catatan atas penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang terhadap sejumlah orang meski tanpa bukti yang mendukung (lihat data
b. Ekonomi
Pada sektor lain, pemenuhan hak ekonomi masyarakat dengan sendirinya juga terganggu.
Aktifitas ekonomi masyarakat macet total. Mereka tidak lagi bebas mencari ikan sejauh dan
sebanyak yang mereka mampu lakukan dan inginkan. Hasil kebun telah rusak menjadi
santapan binatang pengganggu tanaman. Jangankan untuk menjaga atau memanen hasilnya,
sedang untuk memelihara kebunnya dan bercocok tanam kembali tidak dilakukan karena
masyarakat tidak lagi berani pergi ke kebun.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh masyarakat yang hidup di sekitar areal pecahnya konflik, akan tetapi di daerah lain yang jauh
dari lokasi konflik, termasuk ibukota distrik. Masyarakat tidak lagi boleh berbelanja dalam jumlah yang banyak seperti awal
biasanya. Setiap orang hanya bisa berbelanja untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Seperti gula, minyak tanah dan kebutuhan-
kebutuhan pokok lainnya secukupnya saja.
Karena bagi mereka yang berbelanja melebihi kebutuhan hidupnya sendiri akan dicurigai sebagai kaki tangan dan penyuplai
makanan bagi TPN/OPM. Hal ini pernah dialami oleh 2 orang aparat kampung Kabuouw yang berbelanja dengan menggunakan
dana Bangdes untuk kebutuhan aparat kampungnya. Mereka dicurigai akan mempersiapkan logistik untuk TPN/OPM sehingga
ditahan oleh Brimob dan mengalami sejumlah penyiksaan fisik.
Sedangkan bagi pedagang yang ketahuan menjual dagangannya dalam jumlah yang banyak kepada satu orang juga dicurigai
sebagai kaki tangan TPN/OPM maka kepadanya dikenakan sejumlah bentuk penyiksaan. Konsekuensi lainnya adalah toko atau
kiosnya disegel (ditutup) pula oleh aparat.
Ironisnya nasib buruk kelompok masyarakat Wasior – yang pada umumnya – dengan ekonomi
lemah tersebut telah dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi pada level menengah ke atas
Laporan Wasior : Wasior 17
yakni kontraktor proyek-proyek pemerintah. Kehadiran Brimob justru dimanfaatkan untuk
membantu dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Contoh yang
paling konkrit adalah pada saat rehabilitasi rumah penduduk yang hancur pasca peristiwa
Wasior.
Para kontraktor memerintahkan masyarakat untuk mengumpulkan bahan material bangunan
yang ada di lokasi (pasir, batu, kayu) tanpa harus memberikan bayaran padahal kontraktor
telah mendapatkan dana untuk biaya material bangunan tersebut. Masyarakat juga diancam
bahwa jika mereka menuntut kepada kontraktor maka proyek akan dialihkan ke daerah lain.
Contoh lainnya, pada proyek pembangunan jalan yang harus melewati lahan perkebunan
penduduk. Tidak ada satu pun ganti rugi yang diberikan atas penggunaan lahan apalagi
kompensasi atas ditebas dan digusurnya tanaman produktif masyarakat seperti pisang, lahan
sagu dan umbi-umbian serta berbagai jenis tanaman lainnya. Karena kondisi traumatik
psikososial akibat perlakuan aparat Brimob, masyarakat tidak mampu melawan lantas lebih
memilih diam, pergi atau manggut-manggut bukan tanda mengerti melainkan mengutuk
perbuatan keji pihak kontraktor.
Ada juga kontraktor dengan tanpa perasaan malu sedikit pun melakukan pendekatan kepada
para kepala kampung – yang daerahnya belum memiliki jalan permanen – dan menyuruh
mereka untuk membuat pernyataan kepada Bupati agar daerahnya dibuatkan jalan. Kepada
mereka, pihak kontraktor mengingatkan untuk tidak lupa mencantumkan nama perusahaannya
sebagai pelaksana proyek pada pernyataan tersebut.
Perilaku kontraktor tersebut telah diketahui oleh aparat Brimob, akan tetapi tidak ada upaya
pencegahan dari aparat Brimob bahkan ada kontraktor yang memberikan fasilitas agar
pelaksanaan proyeknya berjalan lancar. Sehingga praktek-praktek kotor pihak perusahaan terus
berlangsung tanpa ada yang mengusut.
c. Sosial Kemasyarakatan
Perseteruan Brimob dengan kelompok TPN/OPM pimpinan Koridama tersebut pada akhirnya
menyeret masyarakat pada situasi yang sangat tidak menguntungkan. Represifitas aparat
keamanan yang tidak pandang bulu pada akhirnya tidak hanya melahirkan trauma yang
mendalam, bahkan tekanan jiwa atas penderitaan yang mereka alami dan berbagai kondisi
deskalatif lainnya tetapi juga telah melahirkan kelompok baru dalam komunitas masyarakat
yakni kelompok abu–abu. Kelompok yang hanya mau mencari selamat dengan jalan menjadi
informan yang memberikan sejumlah informasi menyangkut keberadaan Koridama di hutan
beserta simpatisannya dalam kota, terkadang juga sebagai kelompok yang membantu mobilitas
Brimob. Yang sangat disayangkan adalah terkadang informasi yang diberikan tidak lagi obyektif
tetapi telah didasarkan atas tendensi pribadi meski tidak punya kaitan sama sekali dengan
kelompok Koridama. Seringkali aparat keamanan langsung merespon informasi yang diterima
tanpa harus disertai bukti yang meyakinkan. Selain itu ada juga kelompok yang mulai
menerapkan cara-cara militer sehingga nampak militer yang sipil atau sipil yang militer: milisi –
sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan kelompok abu–abu – beberapa di antara
mereka telah dilengkapi dengan senjata oleh Brimob untuk menakut-nakuti masyarakat.
Gaya premanisme kelompok ini juga pernah dirasakan oleh tim ALDP. Seorang
anggota tim, pernah diancam akan dibunuh oleh mereka .
Kelompok ini mempunyai andil yang tidak kecil ketika dibutuhkan aparat keamanan yang
hendak bermaksud mengumpulkan masyarakat untuk sesuatu maksud. Di antara mereka
Tingkat Kecurigaan Masyarakat yang Cukup Tinggi dan Trauma yang Masih Membekas
Akibat dari konflk di wasior menyebabkan masyarakat makin bersikap tertutup dan curiga pada
setiap komponen lembaga yang masuk. Hal ini sebelumnya tidak demikian akan tetapi
beberapa institusi yang masuk tidak mencerminkan kemauan rakyat bahkan mempermainkan
kepercayaan yang telah diberikan rakyat. Karena ada yang mengatakan mau membantu
masyarakat tetapi yang terjadi justru “memaksa” masyarakat untuk turut terlibat dalam proses
pengembalian senjata sehingga rakyat semakin tertekan dan tertutup dengan komunitas dari
luar.
PENUTUP
KESIMPULAN
Konflik Wasior senyatanya diawali sebagai suatu konflik hak ulayat yang
berdimensi ekonomi dan sosial budaya. Terjadi ketika pihak perusahaan
mengabaikan kesepakatan yang telah dilakukan kepada masyarakat pemilik
hak ulayat dan juga akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang
tegas terhadap perusahaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
gagalnya pemerintah melindungi kepentingan rakyatnya. Selanjutnya konflik
dialihkan menjadi konflik Politik.
2. Reaksi pemerintah terhadap konflik Wasior baru nyata muncul setelah
kejadian tanggal 13 juni 2001 di Wondiboy. Padahal sebelumnya banyak
sekali peristiwa yang menganggu hubungan antara masyarakat pemilik hak
ulayat dengan pihak perusahaan. Akan tetapi pemerintah tidak meresponi
pengaduan masyarakat. Setelah pihak perusahaan dan pemerintah dalam
hal ini aparat Brimob menjadi korban baru kemudian pemerintah mengambil
tindakan, terutama adalah
pelaksanaan Operasi Tuntas 2001.
3. OperasiTuntas 2001 sebagai kebijakan Pemerintah melakukan pengejaran
dan penangkapan terhadap kelompok yang diindikasikan sebagai TPN /
OPM pelaku Peristiwa pembunuhan 13 Juni 2001 dan membawa lari 6 pucuk
senjata telah berubah menjadi tindakan represif aparat keamanan, dalam hal
ini Brimob dengan melakukan sejumlah intimidasi, penganiayaan,
pembakaran dan penghancuran rumah dan saran umum secara sporadis
terhadap warga masyarakat sipil
4. Pemerintah juga mengambil langkah dalam bentuk merehabilitasi bangunan
dan kerugian phisik yang dialami rakyat, mengadili pelaku peristiwa 13 Juni
2001 tetapi tidak sampai pada mengambil langkah-langkah hukum melalui
mekanisme hukum yang adil dan benar terhadap pihak Aparat Keamanan
dalam operasinya yang telah menyebabkan kerugian dan korban dari
masyarakat sipil yang tidak berdosa.
5. Kondisi perekonomian yang tidak stabil telah dimanfaatkan oleh pelaku
ekonomi seperti pihak kontraktor untuk menjadikan masyarakat sebagai alat
kepentingan mereka guna memperoleh keuntungan tanpa benar-benar
mempertimbangkan kebutuhan riil yang dihadapi dan tanggungjawab
pekerjaan yang telah diberikan.
6. Dalam kondisi konflik yang berkepanjangan berikut tekanan dalam situasi
yang sangat terbatas terutama akibat pemberlakukan Operasi Tuntas 2001,
maka sangat sulit diharapkan bahwa masyarakat akan segera bangkit dan
mulai dengan aktifitas sebagaimana biasanya .
Karena itu perubahan-perubahan awal yang dimungkinkan terjadi dari
masyarakat adalah mulai berusaha mengatasi ketakutan, membuka diri
3. Adanya koordinasi dan kontrol dari para pihak dalam membangun Wasior
kembali sehingga para kontraktor tidak melakukan represif guna kepentingan
ekonomi dalam hal ini memperoleh keuntungan yang merugikan rakyat
setempat. Pemerintah Manokwari khususnya tidak hanya memberikan
proyek tetapi juga harus melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang
dilakukan para kontraktor. Selain itu adanya pelimpahan kewenangan yang
tegas kepada pemerintah Wasior sehubungan dengan rencana terbentuknya
Kabupaten Administratif Teluk Wandama (Wasior dan sekitarnya) agar
proses penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik dan efektif.
4. Karena konflik di Wasior telah berubah dari konflik ekonomi menjadi konflik
politik – dengan menggunakan kekerasan bersenjata ― maka harus ada
pertanggungjawaban politik yang jelas dari para pihak yang telah terlibat
dalam konflik politik tersebut. Seperti sejauh mana Operasi Tuntas 2001
Laporan Wasior : Wasior 26
telah dilakukan, hambatan dan juga ekses-ekses yang terjadi selama
Operasi tersebut dilakukan dengan segala konsekwensinya. Penjelasan dari
pihak TPN/OPM tentang sejauh mana keterlibatan, langkah-langkah yang
telah dilakukan dan konsekwensinya. Disertai pandangan kedua belah pihak
untuk membangun perdamaian di Wasior. Hal ini sangat diperlukan untuk
membuktikan bahwa kedua belah pihak turut bertanggungjawab terhadap
masyarakat sipil yang berada di luar konflik tersebut, sehingga tidak ikut
dilibatkan apalagi menjadi korban (Hukum Humaniter).