You are on page 1of 28

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I WASIOR
A. Pendahuluan …………………………………………………………………………………………..
B. Gambaran Umum Distrik Wasior ………………………………………………………………….
a. Letak Geografis …………………………………………………………………………………….
b. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk .……………………………………………………………
c. Sosial Budaya ………………………………………………………….……………………………
d. Sumber Daya Alam …………………………………………………………………………………
e. Ekonomi ……………………………………………………………………………………………..
f. Relasi Kekuasaan ………………………………………………………………………………….

BAB II FAKTA DAN DINAMIKA KONFLIK WASIOR


A. Gambaran Situasi Konfliik Wasior …………………………………………………………………
B. Peran dan Posisi Para Pihak Dalam Konflik ……………………………………………………..
a. Pihak-Pihak yang Berkonflik ……………………………………………………………………….
b. Pihak yang Menjadi Pendukung Konflik ………………………………………………………….
c. Pihak yang Terimbas Konflik ………………………………………………………………………
d. Pihak yang Mempunyai Hubungan yang Sangat Kuat dengan Pihak yang Berkonflik………
e. Kelompok-Kelompok yang Muncul Akibat Konflik ………………………………………………

BAB III MEMBONGKAR BELENGGU KONFLIK


A. Pola Penanganan Konflik yang Telah Dilakukan Para Pihak…………………………………..
B. Akibat dari Pengelolaan Konflik, yang Telah Dilakukan oleh Para Pihak …………………..
a. Hukum………………………………………………………………………………………………..
b. Ekonomi………………………………………………………………………………………………
c. Sosial Kemasyarakatan……………………………………………………….……………………

BAB IV MEMECAH BELENGGU KEBEKUAN


A. Keterlibatan Institusi Luar Pada Konflik Wasior………………………………………………….
B. Persoalan Riil yang Dihadapi ………………………………………………………………………..
a. Persoalan Hak Ulayat dan Kopermas……………………………………………………………..
b. Perilaku Aparat Keamanan…………………………………………………………………………
c. Kondisi Rill Kelembagaan yang (Pernah) Ada…………………………………………………...
C. Kendala yang Dihadapi dan Solusi yang Dilakukan……………………………………………..
a. Wasior Masih Sebagai Daerah Operasi Tuntas 2001………………………………………….
b. Tingkat Kecurigaan Masyarakat yang Begitu Tinggi dan Trauma yang Masih Membekas ...

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………………
B. Rekomendasi …………………………………………………………………………………………..

LAMPIRAN

Laporan Wasior : Wasior 1


BAB I

WASIOR

A. PENDAHULUAN

Konflik di Wasior telah terjadi sekitar satu setengah tahun lamanya, diawali dengan satu peristiwa
konflik kekerasan yang muncul pada tanggal 13 juni 2001 di desa Wondiboy dan sampai kami (Tim
AlDP) keluar dari Wasior, sesungguhnya konflik belum benar-benar usai apalagi untuk mengatakan
bahwa “…sudah tidak ada lagi masalah“ di Wasior.
Sebenarnya, jauh sebelum peristiwa Wondiboy terjadi, telah muncul konflik tertutup (laten),
di mana konflik tersebut dipicu dengan kehadiran perilaku pihak perusahaan yang tidak memenuhi
kesepakatan yang telah dibuat dengan masyarakat pemilik hak ulayat. Akan tetapi selama kurun
waktu tersebut tidak pernah ada upaya dari perusahaan untuk melakukan komunikasi maupun
pendekatan yang persuasif dengan masyarakat pemilik hak ulayat guna mengurangi konflik,
hingga akhirnya konflik menjadi semakin tajam.
Malah perusahaan memilih pola-pola umum yang biasa dilakukan oleh pihak perusahaan jika
investasinya terganggu oleh masyarakat, yakni dengan menggunakan pendekatan kekerasan,
meminta pengamanan dari pihak Brimob. Sembari dengan itu pemerintah juga tidak memberikan
perhatian yang serius, hanya bersifat pasif menghadapi konflik yang makin tajam tersebut.
Masyarakat kemudian memilih pola baru menurut mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan
mereka, yakni dengan melibatkan pihak yang diduga sebagai TPN/OPM. Hal ini terjadi karena
masyarakat telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah – termasuk aparat keamanan --
yang selama ini seharusnya melindungi rakyat. Pilihan dalam mengelolah konflik tersebut ternyata
justru memunculkan satu konflik terbuka dengan kekerasan yang kemudian menjadi peluang bagi
munculnya kekerasan-kekerasan serupa, bahkan jauh lebih berbahaya. Diikuti dengan Operasi
Tuntas 2001 yang cenderung dilakukan secara sporadis dan meluas justru telah menimbulkan
kerugian dan korban yang tidak sedikit dari masyarakat yang tidak berdosa.
Karena seperti juga konflik-konflik kekerasan yang terjadi di tempat lain, tindakan yang diambil oleh
pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan setelah terjadinya konflik – mengelola konflik –
senantiasa menggunakan idiom-idiom kekerasan serupa. Lihat saja kasus Abepura, 7 Desember
2000 pasca penyerangan Polsek Abepura atau kasus Wamena, Oktober 2000 dan kasus Merauke,
November 2000, pasca pengibaran bendera Bintang Kejora. Kekerasan senantiasa menghasilkan
kekerasan dan rakyat diabaikan, bahkan dijadikan sasaran dari mengalirnya kekerasan yang sama.
Sehingga pengelolaan konflik semacam itu justru membuat penyelesaian konflik menjadi tidak
fokus, cenderung mengaburkan akar masalah dari konflik sesungguhnya, melibatkan
(mengundang) lebih banyak pihak yang berkonflik dan yang lebih serius adalah menghasilkan
korban kekerasan yang jauh lebih banyak, yang ironisnya sampai sekarang tidak pernah ada upaya
untuk mengadili praktek-praktek mengatasi “kekerasan dengan kekerasan yang lebih berbahaya“
tersebut.
Akibat dari keliru dalam memanage konflik, telah memberikan dampak negatif terhadap tatanan
kehidupan rakyat. Hutan, tanah dan kekayaan lautnya tak dapat lagi dikelola secara baik, sarana
umum dan rumah-rumah hancur dibakar, lembaga atau institusi-intitusi lokal menjadi lumpuh dan
tidak dapat diberdayakan, kecuali untuk kepentingan kekerasan itu sendiri, sehingga hampir tak
ada asset yang bisa “diselamatkan“.

Laporan Wasior : Wasior 2


Banyak orang tanpa dosa yang menjadi korban seperti mati terbunuh, teraniaya, cacat seumur
hidup, melarikan diri ke pulau-pulau atau ke daratan tanah besar tapi masih sangat banyak yang
tetap bertahan di Wasior yang terus menerus mengalami tekanan karena kekerasan phisik dan
psikologis yang mempengaruhi mereka sehingga sangat sulit untuk melakukan aktifitas kehidupan
secara normal kembali.
Sikap pemerintah kemudian lebih banyak memberikan bantuan dalam bentuk rehabilitasi sarana
umum dan perbaikan kembali pemukiman yang rusak, hancur atau dibakar. Namun hal tersebut
selalu mengundang perdebatan keuntungan di tingkat para pelaku ekonomi, kontraktor termasuk
pemerintah sendiri. Sehingga rakyat yang telah susah masih terus diperalat dan dibodohi.
Masyarakat “terkurung dan tertekan” untuk waktu yang relatif lama, bahkan nyaris terisolir dari
persoalan dan kepedulian orang-orang di tanah besar, sehingga sulit dibayangkan bahwa
masyarakat akan segera bangun dari ketakutan dan kondisi traumatik akibat derita yang panjang.
Apalagi kedatangan pihak luar senantiasa membicarakan hal yang berkaitan dengan persoalan
senjata yang hilang. Memang, kita tidak boleh menganggap bahwa peristiwa 13 Juni 2001 di
Wondiboy adalah peristiwa kecil, tetapi kita tidak boleh juga mereduksi realitas kejahatan
kemanusiaan lainnya yang telah terjadi sebelum atau setelah peristiwa tersebut, terutama akibat
yang ditimbulkan dari Operasi Tuntas 2001.
Terhadap semua ini, masih belum cukupkah untuk meminta pertanggungjawaban hukum dan sosial
terhadap semua pelaku konflik di Wasior ?

Banyak derita yang tersisa di sana,Wasior….


Melebihi dari apa yang kami tuliskan di sini.

Laporan Wasior : Wasior 3


B. GAMBARAN UMUM DISTRIK WASIOR

Kondisi Umum

Wasior adalah sebuah daerah distrik, dengan Wasior Kota sebagai ibukotanya. Wasior sebenarnya
menjadi pusat aktifitas dari beberapa wilayah di dekatnya. Dulu di desa Maniwak (Miey), di sebuah
bukit yang bernama Aitumeri, yang berarti Teluk yang tenang, telah didirikan sekolah pendidikan
Guru, setingkat SMP, oleh seorang tokoh rohani, I.S. Kijne.
Di masa pemerintahan Belanda, Wasior telah menjadi distrik dengan wilayah mencakupi kota
Nabire. Dalam perkembangannya, Nabire telah menjadi sebuah ibukota kabupaten, bahkan kini
telah pula dimekarkan menjadi dua daerah setingkat kabupaten. Sedangkan Wasior masih tetap
dengan status semula, distrik.
Untuk menempuh daerah yang berada di teluk Wondama ini, dari Manokwari dapat menggunakan
jasa transportasi laut, yakni Kapal Perintis dengan jadwal setiap 1 kali dalam 2 minggu dengan
waktu tempuh sekitar 11 jam, atau kapal kayu pada setiap minggunya dengan waktu tempuh
sekitar 20 jam. Selain itu dapat pula ditempuh lewat jasa transportasi udara dengan menggunakan
pesawat maskapai penerbangan swasta dan juga penerbangan reguler Merpati Nusantara Airlines
jenis Twin Other, sekali seminggu, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit.
Distrik Wasior memiliki jumlah kampung sebanyak 24 buah. Pada tahun 2001, terjadi pemekaran
atas kampung-kampung tersebut. Hal ini dilakukan atas dasar adanya rencana pembentukan
daerah kabupaten Wandama. Sehingga jumlah keseluruhan dari kampung yang dimekarkan
menjadi 38 buah kampung.
Lokasi perkampungan penduduk umumnya berada di pesisir pantai, sehingga perahu (long boat)
menjadi alat transportasi yang sangat efektif. Selain itu, ada pula perkampungan penduduk yang
berada di daerah pedalaman. Untuk menempuhnya, harus melalui kendaraan roda dua atau roda
empat, tetapi ada kampung yang sama sekali tidak bisa dilalui oleh kendaraan, sehingga untuk
menempuh daerah tersebut, harus dilalui dengan berjalan kaki.
Seperti daerah lain di Papua, masyarakat Wasior mengandalkan siklus hidup mereka pada
kemurahan alam (hutan, laut dan sungai). Hal ini terlihat dari aktivitas ekonomi masyarakat yang
pada umumnya adalah meramu, berburu serta bertani atau sebagai nelayan. Aktivitas ini telah
terbukti mampu menjaga kelangsungan hidup mereka sekian dasawarsa lamanya.

a. Letak Geografis dan Letak Wilayah


 Sebelah Utara : Kabupaten Biak Numfor
 Sebelah Selatan : Kabupaten Fak-Fak
 Sebelah Barat : Distrik Babo dan Windesi
 Sebelah Timur : Kabupaten Nabire dan Paniai

b. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk


Distrik Wasior memiliki luas wilayah sebesar 3.602 km2. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun
2000, penduduk distirk Wasior berjumlah 9.456 jiwa, yang terdiri dari 4.887 laki-laki dan 4.569
perempuan. Dengan jumlah tersebut, berarti distrik Wasior memiliki kepadatan penduduk sekitar 2,6
%. Sebagai ibukota distrik, Wasior Kota merupakan daerah konsentrasi penduduk terbesar, dengan
jumlah penduduk 1.061 jiwa. Kampung dengan wilayah terluas adalah Yopenggar yaitu sebesar 386

Laporan Wasior : Wasior 4


Km2, dengan jumlah penduduk 179 jiwa. Sedangkan kampung Rado adalah wiayah terkecil dengan
luas 5 Km2.
Kaum urban (pendatang) yang umumnya berasal dari Sulawesi (Buton, Bugis, Makassar), Maluku,
Jawa dan juga Sumatera lebih terkosentrasi di Wasior Kota. Mereka lebih banyak bekerja sebagai
pedagang, sebagian menjadi guru, aparat pemerintah termasuk aparat kemanan. Sedangkan di
kampung-kampung lain, presentase mereka sangat kecil, bahkan ada yang tidak terdapat kaum
urban.

c. Sosial Budaya
Di daerah pesisir pantai, distrik Wasior didiami oleh Suku Maniwak dan Roon. Sedangkan di daerah
pedalaman dihuni oleh suku Mairasi, Toro, Mere dan Kuri. Marga yang termasuk dalam suku
Maniwak di antaranya adalah Webori, Imbore, Wamori, Yerenusi, Samberi, Karami, Runaki, Enoap,
Mandakiri, Imburi dan Ramar. Sedangkan Ayemseba dan Betai adalah marga pada suku Roon, di
pulau-pulau Roon.
Suku Mairasi antara lain bermarga Natama dan Nyalo, suku Toro bermarga Urio, Suku Mere
bermarga Kabiyeta, dan suku Kuri bermarga Resideso dan Rinsawa.
Seperti juga kebiasaan hidup orang Papua pada umumnya,sebagai “anak adat“, maka keseluruhan
dari suku ini sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta alam yang menjadi sumber utama
kehidupan mereka. Kepercayaan mereka pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya dan adanya
hubungan yang sangat erat antara mereka dengan alam sekitarnya. Alam dianggap sangat baik
karena telah memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bagi mereka, alam tidak hanya bermakna
ekonomis, namun juga merupakan sumber inspirasi religius yang sangat sakral. Karenanya mereka
sangat menghormati hutan, laut dan tanah, serta sangat santun memperlakukan makro kosmos
ekosistem kehidupan tersebut.
Mayoritas penduduk Wasior beragama Kristen Protestan, yaitu 8.926 jiwa. Menyusul Katholik 206
jiwa, dan selebihnya Islam dengan 322 jiwa. Sebagian besar yang beragama Islam berasal dari
pendatang.
Peran perempuan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam upacara adat,
keagamaan maupun acara kemasyarakatan. Tetapi kaum pria tetap sebagai penentu terhadap
semua keputusan yang timbul akibat kepentingan keagamaan, sosial maupun adat istiadat.
d. Sumber Daya Alam
Komoditi andalan distrik Wasior pada umumnya adalah Coklat, Kelapa, Kopi, Pala, Cengkih dan
juga perikanan. Selain itu, perbandingan antara luas wilayah dengan jumlah penduduk Wasior,
telah mengisyaratkan akan besarnya daerah yang belum tersentuh atau pun dikelola dengan baik.
Sehingga sejak 1992, para kapitalis asing sudah menanamkan investasinya di sektor kehutanan,
HPH dan atau IPH, yang antara lain adalah PT. Dharma Mukti Persada (PT. DMP) di kampung
Wombu serta PT. Vatika Papuana Perkasa (PT. VPP) dan PT. Tri Jaya Sukses Lestari (PT. TJSL)
di kampung Wondiboy. Tiga perusahaan yang akhirnya menjadi sumber persoalan di Wasior.

e. Ekonomi
Telah digambarkan bahwa masyarakat Wasior mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup dengan cara mengelola secara traditional kekayaan laut, hutan dan sungai. Ada
juga yang bekerja sebagai guru, pegawai kecamatan, mantri dan lain sebagainya. Setelah
perusahaan masuk, maka ada sebagian masyarakat Wasior yang bekerja sebagai buruh

Laporan Wasior : Wasior 5


perusahaan, walaupun dengan jaminan kesejahteraan yang kurang layak, seperti tidak tersedianya
pemukiman ataupun biaya penggantian pemukiman, karena pemukiman pegawai perusahaan lebih
banyak diperuntukkan bagi orang yang bukan dari Wasior.

f. Relasi Kekuasaan
Wasior sejak jaman Belanda telah sarat dengan aktifitas pemerintah, tetapi ketika bergabung ke
pemerintah Indonesia justru tidak banyak perubahan yang berarti, bahkan jauh tertinggal dari
beberapa daerah lainnya, Nabire misalnya. Seperti juga kebanyakan wilayah yang terletak jauh dari
kota kabupaten, maka pelayanan dan aktifitas pemerintahan berjalan sangat lambat. Kalaupun ada
biasanya hanya terfokus di Wasior kota.
Setelah perusahaan masuk, peran perusahaan menjadi dominan, karena ada tawaran pilihan hidup
yang lain. Selain itu luasnya wilayah yang dikuasai oleh perusahaan dan lemahnya kontrol
pemerintah terhadap aktifitas perusahaan menyebabkan pihak perusahaan menjadi signifikan
terhadap perubahan perikehidupan, relasi antara perusahaan dan aparat keamanan berjalan baik.
Peran lembaga adat, setidaknya sampai akhir 2000, relatif cukup bisa diandalkan menjadi tempat
aspirasi rakyat. Akan tetapi kemudian bersamaan dengan besarnya peran perusahaan, dimulainya
konflik tertutup (sebelum peristiwa 31 Maret 2001) justru “dilemahkan“ dan ada yang juga beralih
kepada kekuatan lain. Pada situasi tersebut, peran kaum perempuan praktis tidak ada, bahkan
kehilangan akses dan kontrol, sedangkan peran kaum pria sangat dominan karena pengambilan
keputusan lebih banyak melibatkan kaum pria dari berbagai komponen ketimbang keterwakilan
kaum perempuan.

Laporan Wasior : Wasior 6


BAB II

FAKTA DAN DINAMIKA KONFLIK WASIOR

B. GAMBARAN SITUASI KONFLIK WASIOR

Ada pendapat yang mengatakan bahwa, yang namanya konflik Wasior adalah kejadian tanggal 13 Juni
2001, atau setidaknya kejadian tanggal 31 Maret 2001. Maka keterlibatan para pihak setelah tanggal
tersebut dipandang sebagai keterlibatan para pihak setelah konflik. Akan tetapi ada juga yang berpendapat
bahwa konflik di Wasior pada tanggal tersebut justru baru dimulai (secara terbuka), karena sampai saat ini
konflik di Wasior belum benar-benar berakhir.

Masuknya perusahaan yang mengelolah hasil hutan di distrik Wasior (Wombu dan Wondiboy)
sebenarnya merupakan harapan positif bagi perbaikan ekonomi masyarakat dan peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Manokwari. Selain itu, turut menjawab persoalan
pengangguran yang terus membengkak setiap tahunnya. Bahkan secara khusus bagi masyarakat
yang hidup dan menetap di sekitar konsesi perusahaan, mempunyai harapan yang tidak kecil
terhadap perbaikan kondisi hidup mereka. Hal ini juga menjadi alasan dari pihak perusahaan
bersama Kopermas yang kemudian berhasil meyakinkan masyarakat disertai dengan janji-janji.
Bujukan perusahaan dan Kopermas dilakukan bersamaan dengan proses penjinakan atau
domestikasi terhadap tokoh-tokoh masyarakat setempat. Hingga pada awal masuk dan
beroperasinya perusahaan tidak mengalami kendala yang berarti. Masyarakat dengan antusias
yang tinggi mendukung semua aktifitas perusahaan.
Akan tetapi setelah sekian waktu lamanya proses pengelolaan kayu berlangsung, masyarakat
mulai menyadari adanya berbagai ketimpangan yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat
pemilik hak ulayat. Ini tentu bukan tanpa alasan, bahwa selama ini masyarakat tidak pernah
dilibatkan sekali pun pada setiap kali melakukan kesepakatan harga. Karena negosiasi harga
hanya dilakukan oleh pihak perusahaan dengan Kopermas, sedangkan masyarakat sebagai pemilik
sah atas hutan dan segala isinya hanya terlibat dalam melaksanakan keputusan saja.
Kopermas yang seharusnya diharapkan mampu menampung kebutuhan dan harapan rakyat,
berbeda sekali dalam prakteknya, karena ternyata pengurus Kopermas adalah orang-orang kota,
atau paling tidak orang yang tidak mempunyai tanah di Wasior, sedangkan tokoh-tokoh adat yang
tercantum dalam kepengurusan Kopermas hanya digunakan sebagai “bemper” ketika berhadapan
dengan rakyat.
Selain itu, pihak perusahaan belum memenuhi apa yang telah mereka sepakati untuk diberikan
kepada masyarakat, seperti pembangunan rumah penduduk, pengadaan sarana air bersih dan
penerangan sepanjang daerah yang dilalui perusahaan serta janji-janji lainnya. Tidak jarang pula,
kompensasi yang seharusnya masyarakat terima telah dipotong untuk hal-hal yang tidak jelas oleh
Kopermas. Di saat bersamaan, ada beberapa pihak di luar mereka yang mencari keuntungan dari
kehadiran perusahaan tersebut dengan memanfaatkan posisi tokoh-tokoh yang dekat dengan
rakyat sehingga memperoleh pembayaran dari hasil hutan yang dieksploitasi.
Kasus di Wombu, setidaknya sejak tahun 1995 – 1996, perusahaan kayu PT. DMP yang beroperasi
di sana, tidak lagi melakukan pembayaran kepada masyarakat pemilik hutan setelah selama 9
tahun beroperasi. Sementara di Wondiboy, lokasi eksploitasi perusahaan kayu PT. VPP dan PT.
TJSL, juga telah mulai mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat. Salah satu isi dari

Laporan Wasior : Wasior 7


kesepakatan adalah bahwa pembayaran akan dilakukan pada setiap kali pengapalan kayu. Namun
pada 3 kali pengapalan terakhir, pihak perusahaan tidak pernah lagi memenuhi janjinya.
Semula banyak masyarakat hanya bersikap diam saja, akan tetapi ada inisiatif dari marga Yoteni –
salah satu pemilik ulayat – menuntut perusahaan agar melunasi pembayaran senilai Rp. 2 milyar.
Tuntutan ini dimaksudkan hanya untuk mengingatkan kelalaian pihak perusahaan. Masyarakat
lantas mengekspresikan tuntutannya dengan menahan speed boat milik perusahaan sebagai
jaminan, setelah memberikan toleransi sekian waktu lamanya.
Oleh perusahaan, tindakan masyarakat tersebut dinilai sebagai kendala untuk tetap melakukan
produktifitas. Maka aksi masyarakat dibalas oleh perusahaan dengan mendatangkan Brimob untuk
melakukan tekanan terhadap masyarakat, mengamankan seluruh asset perusahaan sekaligus
menjadikan Brimob sebagai tameng perusahaan ketika berhadapan dengan protes masyarakat.
Sikap perusahaan yang tetap mempertahankan keinginannya sendiri mendapat dukungan dari
sikap over proteksi dari aparat Brimob terhadap perusahaan.
Peristiwa yang semakin menambah kekecewaan masyarakat tersebut tidak lantas merubah
keputusan pihak perusahaan. Pihak perusahaan tetap tidak mau menjawab tuntutan masyarakat.
Wujud dari kekecewaan tersebut adalah dengan memberitahukan persoalan ini kepada Daniel
Awom dan Ayomi, pimpinan TPN/OPM di teluk Wandama. Keluhan masyarakat mengenai perilaku
perusahaan dan Brimob ini kemudian disikapi oleh kelompok TPN/OPM dengan cara mereka
sendiri.
Pada 31 Maret 2001, di Wombu, kelompok yang diidentifikasi sebagai TPN/OPM ini memulai
aksinya dengan mengahadang manajer dan karyawan perusahaan PT. DMP serta 6 angota
Brimob. Pada insiden ini, 3 orang karyawan perusahaan meninggal dunia. Demikian juga yang
terjadi pada 13 Juni 2001 di Wondiboy. Ketika perusahaan PT. VPP tetap tidak menghiraukan
tuntutan masyarakat untuk memberikan pembayaran pada saat pengapalan kayu dan justru akan
melakukan pengapalan kayu untuk kali ke 4, telah juga diserang oleh kelompok Daniel Awom cs,
sehingga menewaskan 5 orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan PT. VPP serta
membawa kabur 6 pucuk senjata milik anggota Brimob bersama peluru dan magazennya.
Rentetan 2 insiden berdarah tersebut telah menghentakkan kondisi sosial politik di Papua pada
umumnya dan kabupaten Manokwari serta distrik Wasior pada khususnya. Kasus yang semula

Ekonomi
POLITIK
berangkat dari motif ekonomi seketika berubah menjadi motif politik. Bagi pihak kepolisian Papua,
tindakan sekelompok masyarakat tersebut tidak hanya dipandang sebagai pidana pembunuhan,
tetapi merupakan rongrongan terhadap kedaulatan NKRI, sehingga dikenai pasal makar dalam
KUHP. Untuk menyikapi kondisi tersebut, maka pihak Polda Papua langsung melakukan droping
pasukan Brimob ke Wasior – yang didatangkan dari Manokwari, Sorong, Jayapura dan Biak –
dengan menggunakan pesawat Helikopter dan kapal serta menetapkan distrik Wasior sebagai
daerah operasi berlabel “Operasi Tuntas 2001”, dengan target pengejaran terhadap kelompok
TPN/OPM dan pengembalian 6 pucuk senjata yang telah dibawa lari.
Sejak ditetapkannya Wasior sebagai daerah operasi, justru menjadikan penderitaan rakyat Wasior
berkepanjangan, karena terjadi perubahan yang sangat besar dalam bidang kemanusiaan,

Laporan Wasior : Wasior 8


perekonomian serta hukum. Seluruh kehidupan individu dan sosial kemasyarakatan terganggu,
terhambatnya hak-hak masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan umum seperti sarana
pendidikan, kesehatan, perekonomian dan lain-lain.

C. PERAN DAN POSISI PARA PIHAK DALAM KONFLIK


a. Pihak-Pihak yang Berkonflik
Sebenarnya pihak yang berkonflik secara langsung adalah masyarakat pemilik hak ulayat dan
pihak perusahaan, yakni PT. VPP. Hal ini terjadi karena pihak perusahaan tidak mau
mengganti kerugian kepada masyarakat pemilik hak ulayat sesuai dengan janji yang
disepakati. Selain itu, perusahaan tidak melakukan pembayaran terhadap masyarakat pada
setiap pengapalan kayu yang dilakukan. Selama konflik berlangsung, pihak perusahaan
menghentikan kegiatannya. Akan tetapi setelah konflik menjadi meluas, melibatkan banyak
pihak dan terlebih ketika isu konflik mulai bergeser dari konflik motif ekonomi menjadi konflik
politik, maka perusahaan mulai elakukan ktifitas dalam rangka persiapan pengapalan. Pada
saat berubahnya isu konflik, maka mulai mengundang banyak pihak yang sibuk mengurus
pengembalian senjata.
Sekarang muncul pula perusahaan baru yang berusaha mulai membangun kebersamaan
dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan mengalihkan perhatian masyarakat dari konflik yang
lama. Akan tetapi diindikasikan bahwa perusahaan yang baru adalah bagian dari perusahaan
yang terdahulu, hanya berganti nama untuk menghindari tanggung jawab.
b. Pihak yang Menjadi Pendukung Konflik
Adalah pihak yang diindikasikan sebagai TPN/OPM datang dari pihak masyarakat pemilik hak
ulayat dengan cara melakukan pembunuhan terhadap aparat Brimob dan pekerja perusahaan
(kasus 13 Juni 2001di desa Wondiboy). Selain itu pihak Brimob yang dinilai masyarakat
sebagai pihak yang mendukung keberadaan perusahaan dalam rangka melakukan tindakan
pengamanan terhadap kepentingan perusahaan, paling tidak muncul pasca kejadian 31 Juni
2001. Pada saat pihak perusahaan dicegat masyarakat pemilik hak ulayat dan perusahaan
melaporkan kejadian tersebut pada pihak Brimob. Setelah kejadian 13 Juni 2001 di desa
Wondiboy, menyusul perampasan 6 pucuk senjata oleh TPN/OPM.
Secara khusus, maka TPN/OPM menjadi target dari Operasi Tuntas 2001. adapun pihak
TPN/OPM enolak semua tim yang datang dengan negosiasi soal pengembalian senjata,
bahkan sampai mencederai masyarakat yang diminta oleh pemerintah, dalam hal ini aparat
Brimob, untuk datang ke desa Ambumi. Terdapat indikasi kuat, bahwa ada sebagian dari
pengurus Lembaga Adat, dalam hal ini Dewan Perwakilan Masyarakat Adat (DPMA), yang
menjadi bagian dari TPN/OPM dan turut melakukan penyerangan terhadap pos Brimob dan
base camp perusahaan di Wondiboy, namun perlu diselidiki lebih lanjut.
c. Pihak yang Terimbas Konflik
Hampir dapatdipastikan, konflik di Wasior – terutama setelah penyerangan 13 Juni 2001 di
desa Wondiboy – menjadi konflik yang meluas sporadis terhadap banyak pihak, terutama
masyarakat. Tidak saja pada masyarakat yang memang memiliki hak ulayat, tetapi terhadap
seluruh masyarakat di distrik Wasior. Hal ini terbukti dengan dilakukannya penyisiran yang
disertai dengan penganiayaan, intimidasi, pembakaran rumah penduduk dan tindakan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh aparat Brimob pasca peristiwa 13 Juni 2001, hampir di

Laporan Wasior : Wasior 9


seluruh pemukiman penduduk, terutama di desa-desa bagian selatan Wasior: Sandrawoy,
Tandia, Issuy, Issei, Wondamawi 1, Wondamawi 2, Wasior 1, Wasior 2 dan Wondiboy.
Sedangkan desa di bagian utara di antaranya adalah Rado dan Dotir. Selain itu juga kepada
semua masyarakat, atau orang-oreang yang masuk dan keluar dari Wasior, senantiasa
dikenakan sweeping (pengecekan) identitas dengan perlakuan kasar.
d. Pihak yang Mempunyai Hubungan yang Sangat Kuat Dengan Pihak yang Berkonflik.
Aparat Brimob adalah pihak yang sangat signifikan terhadap intenstitas dan meluasnya konflik
Wasior. Bersamaan dengan perubahan tersebut, maka keterlibatan dan tanggung jawab pihak
perusahaan terabaikan. Konflik telah berubah antara masyarakat dengan perusahaan, terjadi
fenomena yang berbeda antara rakyat dengan TPN/OPM – karena walaupun konflik berubah
dan meluas menjadi konflik politik – karena keterlibatan kelompok yang dindikasikan sebagai
kelompok TPN/OPM, akan tetapi “masyarakat” masih juga menjadi sasaran konflik dan
dimusuhi sebagai pihak yang mempunyai hubungan sangat kuat dengan kelompk TPN/OPM.
Walaupun kenyataannya ada juga masyarakat yang dianiaya oleh kelompok TPN/OPM kaerna
dicurigai sebagai mata-mata penguasa dalam upaya membantu pengembalian senjata.
e. Kelompok-Kelompok yang Muncul Akibat Konflik
Dari kondisi yang terus berkepanjangan, telah menyebabkan munculnya komponen dalam
masyarakat yang dapat disebut sebagai kelompok abu-abu. Kelompk ini bertujuan untuk
mencari selamat sendiri tanpa memperhatikan penderitaan yang dialami oleh masyarakat.
Terhadap perusahaan, mereka menjadi alat untuk melindungi kepentingan perusahaan,
sedangkan bagi pihak aparat keamanan, mereka berfungsi sebagai sumber informasi dan
penunjuk jalan. Selain itu, mereka juga melakukan serangkaian tindakan provokasi terhadap
masyarakat umum. Mereka cenderung melakukan tekanan psikologis pada rakyat dengan
memfitnah, mengadu domba, dan menyebarkan kebohongan.
Di samping itu, muncul pula satu kelompok yang bisa dipersamakan dengan kelompok milisi.
Kelompok ini menjadi barisan ke dua dari pihak aparat yang selalu menekan rakyat dengan
menggunakan kekerasan fisik, seperti memukul, menakut-nakuti rakyat dengan senjata api
milik aparat. Ikut memaksa atau menekan masyarakat agar memenuhi atau mengikuti
keinginan aparat.

BAB III
Laporan Wasior : Wasior 10
MEMBONGKAR BELENGGU KONFLIK

POLA PENANGANAN KONFLIK YANG TELAH DILAKUKAN PARA PIHAK

Telah digambarkan sejak awal bahwa akar persoalan utama konflik Wasior adalah tuntutan hak
ulayat masyarakat pemilik hutan terhadap pihak perusahaan yang telah mengingkari kesepakatan
yang dibuat bersama. Pilihan masyarakat untuk menyelesaikan masalah adalah dengan cara
memberitahukannya ke pihak TPN/OPM karena sudah kehilangan kepercayaan terhadap aparat
penegak hukum yang seharusnya diharapkan dapat menjaga dan melindungi kepentingan hukum
mereka, tetapi ternyata nampaknya lebih berpihak kepada perusahaan. Akan tetapi masyarakat
sendiri tidak menyangka sama sekali bahwa reaksi kelompok TPN/OPM memilih cara-cara
kekerasan seperti yang telah terjadi.
Masyarakat juga kehilangan kepercayaan dan putus asa kepada Lembaga Masyarakat Adat (LMA),
lembaga yang awalnya berperan menyelesaikan setiap persoalan yang muncul antara masyarakat
dan perusahaan telah diidentifikasi pula oleh masyarakat sebagai lembaga yang tak beda jauh
dengan perusahaan dan Kopermas yakni lebih menitikberatkan keuntungan buat kelompok mereka
sendiri.
Reaksi yang diperlihatkan pihak Pemerintah Daerah dan juga Polda termasuk DPR Papua, gereja,
serta beberapa kalangan terhadap pembunuhan anggota Brimob dan karyawan perusahaan serta
hilangnya 6 pucuk senjata disadari atau tidak telah merubah pandangan bahkan juga penilaian-
penilaian terhadap thema persoalan dari isu ekonomi kepada isu politik. Apalagi hal ini diikuti
dengan sikap dan besarnya attention terhadap 6 pucuk senjata yang hilang – dengan tidak
berimbang dalam menyikapi ekses sosial yang dihadapi dan diterima masyarakat akibat dari
Operasi Tuntas 2001. Apalagi untuk menyelesaikan akar persoalan utama.
Hal ini terlihat dari banyaknya tim yang diturunkan – bentukan pemerintah, DPRD, gereja, LSM
serta lembaga lainnya – hanya memfokuskan misi pada satu target pengembalian senjata. Kondisi
ini semakin diperkuat pula oleh pola pemberitaan media massa yang terus memblow up isu politik
tetapi tidak pernah mencoba untuk mengangkat persoalan utama atau mengangkat soal
penderitaan yang dialami masyarakat akibat tindakan Brimob dilakukan diluar proses hukum yang
adil dan benar. Kita mencatat banyak sekali kejadian kejahatan kemanusiaan yang menyertai
Operasi Tuntas 2001.
Pada acara Musyawarah Adat Wandama, pada 25 – 27 Juli 2002, nampak bahwa pemerintah
Manokwari kurang memberi perhatian terhadap penderitaan traumatik yang dihadapi masyarakat
Wasior. Hal ini nampak pada acara musyawarah tersebut, thema-thema yang dibahas hanya
berfokus pada pembahasan pembentukan kabupaten Wandama, penetapan caretaker Bupati, serta
sosialisasi Otonomi Khusus dan sama sekali tidak menyinggung penyelesaian persoalan
penderitaan rakyat Wasior. Bahkan pada saat yang bersamaan, seluruh kepala kampung yang
berjumlah 38 orang dipaksa untuk membuat pernyataan menolak keberadaan kelompok TPN/OPM.
Bentuk nyata kepedulian pemerintah hanya terlihat pada banyaknya tim yang turun baik dari
pemerintah propinsi maupun kabupaten dengan bentuk bantuan berupa bahan makanan,
rehabilitasi fisik sarana umum dan pemukiman penduduk – meski juga menimbulkan persoalan
tersendiri di masyarakat. Bagi warga masyarakat yang telah mengungsi ke pulau-pulau lain atau ke
kota Manokwari kurang mendapat perhatian dari pemerintah dengan pertimbangan mereka yang
engungsi lebih banyak berada pada rumah-rumah keluarga. Akan tetapi tidak disadari bahwa
Laporan Wasior : Wasior 11
mereka telah kehilangan sumber-sumber mata pencaharian di Wasiordan menjadi tanggungan bagi
keluarga yang lain. Begitu juga dengan banyaknya anak-anak yang menjadi putus sekolah karena
harus meninggalkan kampung halaman.
Di Jayapura, gerakan mahasiswa telah berhasil mendesak kalangan DPRD Papua dengan
membentuk tim ahli untuk pengusutan kasus Wasior. Tim yang terdiri dari DPRD, LSM, mahasiswa,
pers dan pengacara/advokad ini telah merumuskan mekanisme dan tekhnis kerja di lapangan.
Kesiapan tim yang sudah sampai di tingkat akhir kemudian menjadi tidak jelas ketika Muspida
Papua (Gubernur, Kapolda, dan Pangdam) yang sudah terjun ke lokasi pada bulanJuli 2001,
membantah adanya praktek pelanggaran HAM di Wasior.
Rupanya ini telah dipahami sebagai Warning oleh DPRD untuk tidak perlu
melanjutkan upaya pengusutan kasus Wasior. Ketika DPRD didesak jawabannya
adalah tidak ada biaya yang disediakan untuk itu.
Lembaga adat, LMA dan DPMA yang diharapkan mampu menjadi pioner untuk memproteksi hak-
hak termasuk keselamatan jiwa warga adat, tidak mampu berbuat banyak ketika nyawa mereka
sendiri terancam. Pengurus kedua lembaga adat ini terpencar menyelamatkan diri masing-masing.
Wakil Ketua II DPMA, sdr. Ramar yang meninggal dunia karena siksaan Brimob di tahanan Polres
Manokwari serta Sekretarisnya yang lari ke Jayapura merupakan bukti ketidakberdayaan lembaga
tersebut dalam menghadapi tekanan Operasi Tuntas 2001.
Pihak TPN/OPM sendiri menjawab semua upaya tim dengan menyampaikan tuntutannya:
1. Kembalikan kedaulatan Papua
2. Hidupkan kembali Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, guru Ramar dan semua
yang telah terbunuh pasca kasus Wondiboy.
Tentu saja tuntutan ini hanya alasan mereka untuk tetap bersikukuh pada pendiriannya. Karena hal
yang sangat tidak mungkin untuk menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Sehingga
negosiasi tentang penyelesaian persoalan Wasior kembali mengalami kegagalan.
Tuntutan dan pandangan pihak TPN/OPM tersebut menjadi alasan pihak aparat Brimob untuk terus
melakukan operasi pengejaran sembari dengan itu proses intimidasi kepada masyarakat tetap
berlanjut. Selain itu aparat Brimob mendesak para tokoh masyarakat, tokoh adat serta para kepala
kampung yang berjumlah 38 orang untuk membuat pernyataan menolak keberadaan TPN/OPM
serta menganjurkan mereka untuk meninggalkan daerah teluk Wandama.
Kelompok TPN/OPM terlihat sangat marah dengan pernyataan ini.
Kepada para kepala kampung, Daniel Awom lantas mengatakan bahwa
mereka cukup mengurusi saja penderitaan rakyatnya yang tersiksa, dan
tidak perlu mencampuri persoalan mereka.
(Wawancara dengan informan).
Pasca kasus Wondiboy, pimpinan TPN OPM yakni Daniel Awom dan Ayomi dikabarkan meninggal
dunia. Maka Koridama lantas tampil memimpin kelompok mereka. Dalam perkembangannya,
perseteruan internal kemudian mengancam soliditas kelompok mereka. Konflik yang tidak mampu
diselesaikan tersebut pada akhirnya telah membuat beberapa anggotanya berkhianat dan
menyatakan diri keluar dari barisan TPN/OPM.
Pada perkembangannya, kelompok inilah yang menyerahkan 3 dari 6
pucuk senjata yang dirampas pada 13 Juni 2001 lalu. Mereka adalah
Petrus Rum, Boy Nuro dan Matani.
(Wawancara dengan dengan informan).

Laporan Wasior : Wasior 12


Waktu terus berjalan dan tim negosiasi masih saja silih berganti menemui kelompok Koridama yang
tetap tidak berubah dari sikapnya semula. Diakui oleh Polda Papua, bahwa mereka telah kehabisan
akal menghadapi kebandelan Koridama (Cenderawasih Pos, 10 November 2002), meski
Komandan Satuan Brimoda Papua telah diterjunkan langsung memimpin operasi, di samping
upaya persuasif lainnya telah ditempuh pihaknya.
Kehadiran Dansat Brimobda Papua ini menurut Kapolda Papua adalah
dimaksudkan untuk menghindari tindakan anak buahnya yang
anarkis.
Padahal sebelumnya pihak Polda Papua (Kapolda) telah
membantah adanya tuduhan sikap arogansi anggotanya
terhadap masyarakat sipil
(Cenderawasih Pos, 10 November 2002).
Pada hari Jumat 4 Oktober 2002, 17 orang masyarakat sipil ditambah 3 orang kepala kampung
kembali diintimidasi (salah seorang warga mengaku ditampar oleh Moses Ramar, salah seorang
purnawirawan TNI yang dipakai oleh anggota Brimob pada peristiwa itu), oleh Brimob agar
menemui pihak TPN/OPM
dan mendesak mereka untuk segera mengembalikan senjata. Tanpa pilihan lain, masyarakat
dengan sangat terpaksa menuruti keinginan Brimob yang berpesan agar pulang – diharuskan -
membawa hasil positif. Mereka dilepas tanpa security protection apapun dari Brimob. Akan tetapi
kehadiran mereka di kampung Ambumi justru semakin menyulut kemarahan Koridama cs, setelah
sebelumnya menerima pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 38 orang kepala kampung pada
waktu pelaksanaan Musyawarah Adat Wandama, 25 – 27 Juli 2002.
“…. Kepala kampung Kaiby (Lodewik Imbiri), Wondamawi I (Yosep
Woriso) dan Wondamawi II (David Auri) dipisahkan tersendiri dari
penduduk kampung, kemudian Koridama memukul mereka, sedangkan
masyarakat biasa tidak diapa-apakan. Kami kemudian pulang sambil
memapah Yosep Worisio yang luka parah akibat perlakuan Koridama
cs.
(Wawancara dengan LI).
Setelah melampiaskan kemarahannya, Koridama sempat berpesan untuk tidak ada lagi
kelompok masyarakat yang mencoba untuk melakukan negosiasi soal pengembalian
senjata. Ironisnya, pihak kepolisian seakan lepas tangan terhadap apa yang diderita oleh
salah seorang kepala kampung yang mengalami luka serius akibat kemarahan kelompok
TPN/OPM tersebut.
Hal yang mestinya dipahami adalah bahwa di tengah konflik kekerasan yang diwarnai dengan
adanya kelompok bersenjata maka sudah pasti masyarakat sipil sangat tertekan dan terhimpit di
antara keduanya. Maka mereka tidak dapat digunakan sebagai tameng, apalagi diposisikan
sebagai kelompok yang paling bertanggungjawab terhadap konflik dan harus berhadapan dengan
kekuatan bersenjata lainnya.
Atas peristiwa tersebut, Brimob bermaksud melakukan pengejaran terhadap kelompok TPN/OPM di kampung Ambumi, lokasi yang
harus ditempuh dari Wasior kota dengan menggunakan long boat sekitar 45 menit. Pada saat itu memang kampung Ambumi dalam
keadaan kosong karena warganya telah mengungsi. Walau sempat terjadi kontak senjata, namun belum berhasil untuk
menangkap dan merampas senjata yang tersisa.

Maka dengan tiba-tiba pasukan dari Operasi Tuntas 2001 tersebut membakar 12 buah rumah yang tersisa di kampung Ambumi
pada tanggal 6, 7 dan 9 Oktober 2002.

Laporan Wasior : Wasior 13


“……tanggal 6 Oktober 2002, kampung kami kembali dibumihanguskan
oleh aparat Brimob dengan membakar 12 buah rumah. Kepulan
asapnya sangat jelas terlihat dari Wasior Kota. Sekarang di Ambumi
sudah benar-benar kosong, tidak ada penduduk sama sekali yang
bertahan”.
(wawancara dengan kepala kampung Ambumi).
Untuk kesekian kalinya sikap kesewenangan-wenangan aparat keamanan terjadi lagi dan tidak
mendapat perhatian dari pihak lain, terutama pihak-pihak yang berwenang. Bahkan Sesdispen
Polda Papua, Kompol Josef Iswanto, menegaskan bahwa: “Upaya Persuasif terus dikedepankan
untuk meminta Koridama menyerahkan senjata. Dan kalau itu berhasil, Polda siap memberikan
ganti rugi terhadap semua kerusakan yang dialami masyarakat selama ini”.
Tetapi dikatakan pula, “Regu Brimobda Papua yang diturunkan sempat melakukan kontak senjata
dengan Koridama meski tidak ada korban jiwa. Jika Koridama masih tetap bersikeras, maka Polda
Papua akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya”. (Papua Post, Rabu, 23 Oktober
2002).
Kalimat ini mengandung dua hal penting. Pertama, mengenai adanya
tindakan kekerasan (non persuasif) dan Kedua, kecenderungan
pengrusakan asset-aset masyakarat yang selama ini terjadi akibat
Operasi Tuntas 2001 (extrajudicial) .
Hampir tidak nampak upaya dari aparat Brimob melalui Operasi Tuntas 2001 untuk melokalisir
konflik yang terjadi bahkan cenderung meluaskan wilayah ( korban ) konflik. Hal ini terlihat dari
melebarnya target wilayah operasi yang tidak hanya dipusatkan di Wombu dan Wondiboy sebagai
lokasi pecahnya konflik awal atau di Ambumi sebagai persembunyian Koridama tetapi melebar
sampai mencakupi semua daerah teluk Wandama. Ini terlihat juga dari dipilihnya Wasior Kota
sebagai markas operasi. Padahal Ambumi masih harus ditempuh selama kurang lebih 45 menit
dari Wasior dengan menggunakan long boat. Aparat hanya pulang dan pergi setiap harinya tanpa
bermalam di Ambumi. Dengan dipilihnya Wasior Kota sebagai markas operasi telah menjadikan
masyarakat hidup dalam ketakutan karena aparat berada hampir di setiap waktu dan sudut
Wasior. Pertama akibat trauma yang telah mereka alami dan kedua sikap Brimob yang sesekali
masih terlihat arogan.
Kami menderita, jangan siksa kami yang tidak tau hal kalau mau Operasi penyisiran
kasih keluar kami dulu dari kampung, supaya bisa sisir apa saja.
(wawancara dengan informan)
Di saat upaya Brimob mengalami hambatan ada hal lain yang terasa janggal yang kemudian
banyak dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh banyak orang, bahwa pihak Koramil (TNI)
Wasior memiliki kedekatan hubungan tersendiri dengan kelompok Koridama. Bahkan Koridama
selalu berpesan kepada semua tim yang akan menemuinya, bahwa jika tidak melalui Koramil maka
dia tidak akan bersedia untuk menemui mereka. Tetapi anehnya, mengapa kondisi tersebut tidak
dimanfaatkan oleh Brimob sebagai alternatif upaya pengembalian senjata yang berlarut-larut?
Tidakkah mustahil jika Brimob tidak mengetahuinya? Ada apa dengan kondisi tersebut ?
Sebenarnya waktu itu senjata telah mau diserahkan lewat Koramil, tetapi Brimob
sudah duluan melakukan operasinya. Akhirnya kelompok Koridama kembali masuk
hutan. Selain itu, Koridama juga sering makan dan tidur di Koramil.
(Wawancara dengan HA)
Pihak Brimob terus melakukan pengejaran dan upaya pengembalian 3 pucuk senjata yang belum
dikembalikan pihak TPN/OPM dan hal yang tak bisa dipungkiri adanya – sebagai konsekuensi

Laporan Wasior : Wasior 14


logis dari hal tersebut adalah makin besarnya biaya operasi dan ongkos sosial, kerugian dari
masyarakat dan pemerintah atas rusaknya sarana publik, hancurnya aset ekonomi dan bangunan
serta harta milik masyarakat. Secara psikologis masyarakat mengalami kehidupan traumatik yang
berkepanjangan, menjadi korban, meninggal atau cacat seumur hidup. Pihak perusahaan yang
telah mengeruk keuntungan besar – sebagai pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab –
malah seolah-olah kini telah lepas tangan, bersembunyi di balik aparat keamanan dan
hilang dari sorotan publik. Begitu pula halnya Kopermas. Tak pernah ada pihak berwenang yang
meminta pertangungjawaban dan penyelesaian dari pihak perusahaan ataupun Kopermas.
Kopermas ini disinyalir fiktif. Hal ini setelah masyarakat melakukan
pengecekan lapangan. Baik di kota Manokwari ataupun di Wasior,
sama sekali itidak diketemukan kantor maupun pengurusnya.
(Wawancara dengan DR)
Padahal rentetan tragedi kemanusiaan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi, jika saja pihak
Kopermas bersikap transparan serta pihak perusahaan berlaku bijak dan memenuhi kewajiban -
kewajiban utama dalam menjalankan aktivitas ekonominya serta memenuhi kesepakatan-
kesepakatan yang telah diperjanjikan dengan masyarakat pemilik hak ulayat. Juga kepada pihak
keamanan, Brimob, tidak semestinya menjadi anjing herder (meminjam istilah Kapolda Papua) bagi
perusahaan yang senantiasa siap menggonggongi mereka yang dianggap akan mengganggu
produktivitas perusahaan.

AKIBAT DARI PENGELOLAAN KONFLIK YANG TELAH DILAKUKAN OLEH PARA


PIHAK

a. Hukum
Sikap perusahaan yang telah mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat dengan melanggar
kesepakatan yang telah ada tidak dapat dibenarkan oleh hukum apalagi menempuh cara-cara
kekerasan untuk tetap melakukan aktifitasnya. Hal ini menjadi contoh klasik dari banyak kasus
yang terjadi di Papua dimana perusahaan mengabaikan hak-hak masyarakat pada saat
melakukan investasi dan dengan mudah mempengaruhi tokoh-tokoh masyarakat untuk
memperoleh legitimasi dari rakyat. Mendirikan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk
memanfaatkan kekayaan alam dengan cara mempermainkan hak pemiliknya, seperti pendirian
Kopermas yang hanya memanfaatkan sikap lugu dan terbuka dari masyarakat setempat.
Kasus di Wombu 31 Maret 2001 dan Wondiboy 13 juni 29001 yakni pembataian terhadap 5
orang anggota Brimob dan seorang karyawan perusahaan yang diindikasikan dilakukan oleh
kelompok TPN/OPM merupakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti juga kasus-
kasus yang terjadi sebelum kedua peristiwa tersebut di atas.
Tetapi kejadian panjang yang menyusul dari 2 peristiwa tersebut juga merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Karena tindakan yang ditempuh – terutama dengan Operasi Tuntas
2001 – untuk menangkap pelaku dari ke dua peristiwa tersebut telah menyebabkan banyak
rakyat yang tidak berdosa menjadi korban termasuk rumah, sarana pendidikan, sekolah,
puskesmas, kebun-kebun dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan pola penanganan kasus yang
dilakukan oleh pihak Brimob cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, asas kepatutan
dan norma hukum. Hal ini dapat dilihat dari catatan atas penangkapan dan penahanan
sewenang-wenang terhadap sejumlah orang meski tanpa bukti yang mendukung (lihat data

Laporan Wasior : Wasior 15


penangkapan sewenang-wenang). Bahkan sampai saat ini masih ada orang yang dinyatakan
hilang/tidak kembali pulang ke keluarganya tanpa informasi tentang keberadaannya.
Masyarakat mengidentifikasi atas temuan tulang-belulang manusia sebagai Daud Yomaki, Felix
Urbon dan Henok Marani. Hal ini terlihat dari sobekan kain (pakaian korban) di sekitar lokasi
temuan. Ketiganya adalah sebagian dari yang ditangkap aparat Brimob pasca kasus Wondiboy.
A. (Wawancara dengan DR).
B. Selain itu, terhadap masyarakat yang tidak mengerti apa-apa tetapi harus mengalami
penyiksaaan dan penganiayaan berat, penembakan bahkan pembunuhan kilat dan
penghilangan secara paksa meski tanpa ada keterkaitan sama sekali (lihat data penembakan
dan pembunuhan kilat). Juga pembakaran rumah dan pembumihangusan kampung,
pengrusakan asset ekonomi masyarakat serta fasilitas publik lainnya seperti sekolah jelas-jelas
merupakan tindakan kesewenang – wenangan dan sangat patut disesalkan (data aset
masyarakat yang mengalami kerusakan, lihat di lampiran).
Akibatnya, puluhan kepala keluarga harus mengungsi. Di kampung Sandrawoy, sampai sekarang tidak ada seorang pun yang
berani kembali menginjakkan kakinya di sana. Sebab jika diketahui oleh Brimob, maka akan diinterogasi dengan sejumlah
pertanyaan disertai penyiksaan.

Di Sandrawoy, diduga terdapat kuburan massal. Hal ini didapat dari


pengakuan seorang informan (YL), yang mendapat infomasi dari saudaranya
yang pernah berada di sana sesaat setelah pembumihangusan desa Sandrawoy
(wawancara dengan Informan).
Kesemuanya ini telah menunjukan bahwa pada saat penangkapan terhadap yang diduga
pelaku pembunuhan terhadap 5 orang Brimob dan 1 orang karyawan perusahaan tidak
dilakukan secara profesional. Selain itu terdapat kelemahan dalam hal mengidentifikasi pelaku.
Sehingga rakyat yang tidak tahu apa-apa juga harus menjadi korban amuk aparat Brimob.
Contoh seorang bayi (Nona Kabiay, 3 tahun) dan seorang anak perempuan (Endemina
Numayomi, 15 tahun) di kampung Yopenggar, yang jelas tidak memahami persoalan senjata
atau bahkan aspirasi Merdeka, tetapi harus mengalami cacat seumur hidup setelah kaki dan
tangan mereka ditembus timah panas Brimob. Ayahnya, kepala kampung Yopenggar, dihujam
dengan sangkur pada tubuh bagian belakang dan mulutnya oleh Brimob. Sedangkan ibunya
mampu meloloskan diri dari timah-timah panas Brimob. Selain itu beberapa orang ibu rumah
tangga juga mengalami penyiksaan, bahkan seorang di antaranya meninggal dunia setelah
dituduh sebagai kaki tangan TPN/OPM.
Seorang ibu disiksa hanya karena ketahuan memberikan makanan
kepada guru Ramar yang menderita karena siksaan Brimob.
(Wawancara langsung)
Tidak hanya masyarakat sipil yang mengalami perlakuan sadis. Kepala kampung, mantri
(Willem Korowam) atau bahkan guru (Derek Rumbobiar) dan Kepala Sekolah Ondamawi
(Daniel Yairus Ramar) yang jelas-jelas merupakan aparat pemerintah, tidak luput dari sasaran
aparat.
Seorang tokoh masyarakat (Kaleb Marani, Ketua DPMA), disiksa
dengan tangan terikat di belakang, lantas digiring di hadapan rakyatnya
disertai dengan sejumlah tindakan kekerasan, bahkan tangannya
disundut dengan rokok.
(Wawancara langsung)
Menyusul Operasi Tuntas 2001 tersebut, terdapat sejumlah mayat dengan kematian yang
sangat mengenaskan seperti ditemukannya mayat mutilasi dengan 7 potongan sedangkan
Laporan Wasior : Wasior 16
organ bagian dalam tubuhnya sendiri sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Mayat
yang diidentifikasi sebagai seorang mantri – Willem Korwa, putra daerah Tandia – yang
bertugas di Manokwari tersebut terakhir dilihat warga berjalan bersama beberapa anggota
Brimob.
Padahal kehadiran beliau di Wasior bersamaan dengan anggota Brimob dari
Manokwari. Hubungan pertemanan mereka sudah sangat akrab, tidak jarang korban
memberikan rokok dan mengobati anggota Brimob yang sakit.
(Wawanara dengan HA)
Sementara itu, beberapa orang masyarakat yang menjalani pemeriksaan di penyidik, dipaksa
mengakui apa yang dituduhkan pihak kepolisian terhadap mereka. Bahkan ada yang sampai
meninggal dunia di tahanan Polres setelah tidak mampu menahan siksaan dari pihak
kepolisian. Sedangkan pada persidangan yang tidak terbukti dengan tuduhan awal, dakwaan
diganti dengan tuntutan lain. Hal ini menunjukan bahwa hukum telah dijadikan sebagai alat
kepentingan politik, dan kewibawaan hukum justru telah diinjak-injak oleh penegak hukum
sendiri.
Terlihat jelas ketika proses persidangan terhadap 3 dari 16 orang yang ditangkap pada 3 Mei 2001 – pasca tragedi Wombu.
Dakwaan awalnya adalah makar, tetapi setelah tidak terbukti, maka tuntutan lantas saja diubah pada pelanggaran terhadap UU
Darurat No. 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam. Padahal senjata yang mereka bawa adalah senjata tradisional yang
menurut ilmu etnografi, adalah benda yang memang tidak pernah lepas dari keseharian mereka.
Sikap arogan Brimob ditunjukkan juga kepada masyarakat yang hendak mengambil mayat keluarganya yang telah menjadi korban
penganiayaan Brimob hingga meninggal. Mayat yang hendak dikuburkan secara layak tersebut tidak berhasil diselamatkan setelah
mereka dianiaya oleh anggota Brimob.
Semua rentetan peristiwa tersebut, telah menegaskan kepada kita semua, betapa hukum masih sangat diksriminatif. Masyarakat
yang tidak tahu apa-apa bukan hanya ditangkap, disiksa, dianiaya – bahkan dibunuh – lantas dipaksa mengakui apa yang
dituduhkan kepadanya dan juga harus kehilangan tempat tinggal beserta harta bendanya. Sedangkan aparat Brimob yang jelas-
jelas melakukan penangkapan, penyiksaan, penganiayaan bahkan pembunuhan serta membumihanguskan pemukiman penduduk
bebas hukum. Tentu saja hal ini semakin menambah deretan panjang praktek impunity aparat negara.
Dari fakta konflik di atas, menggambarkan betapa Negara sama sekali tidak punya keinginan melaksanakan kewajibannya untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak asasi warga negaranya. Justru Negara dengan
sangat jelas mempertontonkan proses Violence by Action. Ironisnya, praktek ini sama sekali tidak dianggap sebagai bentuk
pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah bahkan cenderung mendiamkannya dan terkesan terus mempersilahkan aparatnya
untuk mengobrak-abrik Wasior. Proses ini tanpa disadari telah melahirkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang lain, yakni
Violence by Omission ( negara melakukan pembiaran terhadap arogansi aparatnya.).

b. Ekonomi
Pada sektor lain, pemenuhan hak ekonomi masyarakat dengan sendirinya juga terganggu.
Aktifitas ekonomi masyarakat macet total. Mereka tidak lagi bebas mencari ikan sejauh dan
sebanyak yang mereka mampu lakukan dan inginkan. Hasil kebun telah rusak menjadi
santapan binatang pengganggu tanaman. Jangankan untuk menjaga atau memanen hasilnya,
sedang untuk memelihara kebunnya dan bercocok tanam kembali tidak dilakukan karena
masyarakat tidak lagi berani pergi ke kebun.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh masyarakat yang hidup di sekitar areal pecahnya konflik, akan tetapi di daerah lain yang jauh
dari lokasi konflik, termasuk ibukota distrik. Masyarakat tidak lagi boleh berbelanja dalam jumlah yang banyak seperti awal
biasanya. Setiap orang hanya bisa berbelanja untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri. Seperti gula, minyak tanah dan kebutuhan-
kebutuhan pokok lainnya secukupnya saja.
Karena bagi mereka yang berbelanja melebihi kebutuhan hidupnya sendiri akan dicurigai sebagai kaki tangan dan penyuplai
makanan bagi TPN/OPM. Hal ini pernah dialami oleh 2 orang aparat kampung Kabuouw yang berbelanja dengan menggunakan
dana Bangdes untuk kebutuhan aparat kampungnya. Mereka dicurigai akan mempersiapkan logistik untuk TPN/OPM sehingga
ditahan oleh Brimob dan mengalami sejumlah penyiksaan fisik.
Sedangkan bagi pedagang yang ketahuan menjual dagangannya dalam jumlah yang banyak kepada satu orang juga dicurigai
sebagai kaki tangan TPN/OPM maka kepadanya dikenakan sejumlah bentuk penyiksaan. Konsekuensi lainnya adalah toko atau
kiosnya disegel (ditutup) pula oleh aparat.

Ironisnya nasib buruk kelompok masyarakat Wasior – yang pada umumnya – dengan ekonomi
lemah tersebut telah dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi pada level menengah ke atas
Laporan Wasior : Wasior 17
yakni kontraktor proyek-proyek pemerintah. Kehadiran Brimob justru dimanfaatkan untuk
membantu dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat. Contoh yang
paling konkrit adalah pada saat rehabilitasi rumah penduduk yang hancur pasca peristiwa
Wasior.
Para kontraktor memerintahkan masyarakat untuk mengumpulkan bahan material bangunan
yang ada di lokasi (pasir, batu, kayu) tanpa harus memberikan bayaran padahal kontraktor
telah mendapatkan dana untuk biaya material bangunan tersebut. Masyarakat juga diancam
bahwa jika mereka menuntut kepada kontraktor maka proyek akan dialihkan ke daerah lain.
Contoh lainnya, pada proyek pembangunan jalan yang harus melewati lahan perkebunan
penduduk. Tidak ada satu pun ganti rugi yang diberikan atas penggunaan lahan apalagi
kompensasi atas ditebas dan digusurnya tanaman produktif masyarakat seperti pisang, lahan
sagu dan umbi-umbian serta berbagai jenis tanaman lainnya. Karena kondisi traumatik
psikososial akibat perlakuan aparat Brimob, masyarakat tidak mampu melawan lantas lebih
memilih diam, pergi atau manggut-manggut bukan tanda mengerti melainkan mengutuk
perbuatan keji pihak kontraktor.
Ada juga kontraktor dengan tanpa perasaan malu sedikit pun melakukan pendekatan kepada
para kepala kampung – yang daerahnya belum memiliki jalan permanen – dan menyuruh
mereka untuk membuat pernyataan kepada Bupati agar daerahnya dibuatkan jalan. Kepada
mereka, pihak kontraktor mengingatkan untuk tidak lupa mencantumkan nama perusahaannya
sebagai pelaksana proyek pada pernyataan tersebut.
Perilaku kontraktor tersebut telah diketahui oleh aparat Brimob, akan tetapi tidak ada upaya
pencegahan dari aparat Brimob bahkan ada kontraktor yang memberikan fasilitas agar
pelaksanaan proyeknya berjalan lancar. Sehingga praktek-praktek kotor pihak perusahaan terus
berlangsung tanpa ada yang mengusut.

c. Sosial Kemasyarakatan
Perseteruan Brimob dengan kelompok TPN/OPM pimpinan Koridama tersebut pada akhirnya
menyeret masyarakat pada situasi yang sangat tidak menguntungkan. Represifitas aparat
keamanan yang tidak pandang bulu pada akhirnya tidak hanya melahirkan trauma yang
mendalam, bahkan tekanan jiwa atas penderitaan yang mereka alami dan berbagai kondisi
deskalatif lainnya tetapi juga telah melahirkan kelompok baru dalam komunitas masyarakat
yakni kelompok abu–abu. Kelompok yang hanya mau mencari selamat dengan jalan menjadi
informan yang memberikan sejumlah informasi menyangkut keberadaan Koridama di hutan
beserta simpatisannya dalam kota, terkadang juga sebagai kelompok yang membantu mobilitas
Brimob. Yang sangat disayangkan adalah terkadang informasi yang diberikan tidak lagi obyektif
tetapi telah didasarkan atas tendensi pribadi meski tidak punya kaitan sama sekali dengan
kelompok Koridama. Seringkali aparat keamanan langsung merespon informasi yang diterima
tanpa harus disertai bukti yang meyakinkan. Selain itu ada juga kelompok yang mulai
menerapkan cara-cara militer sehingga nampak militer yang sipil atau sipil yang militer: milisi –
sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan kelompok abu–abu – beberapa di antara
mereka telah dilengkapi dengan senjata oleh Brimob untuk menakut-nakuti masyarakat.
Gaya premanisme kelompok ini juga pernah dirasakan oleh tim ALDP. Seorang
anggota tim, pernah diancam akan dibunuh oleh mereka .
Kelompok ini mempunyai andil yang tidak kecil ketika dibutuhkan aparat keamanan yang
hendak bermaksud mengumpulkan masyarakat untuk sesuatu maksud. Di antara mereka

Laporan Wasior : Wasior 18


adalah Moses Ramar, pensiunan TNI bersama adiknya Adrianus Ramar yang mengaku dirinya
adalah anggota Kopassus yang dikirim langsung oleh satuannya di Jakarta, serta Luther
Nandowei, masyarakat biasa.
Peran aktif mereka terlihat ketika Brimob mengumpulkan masyarakat untuk menemui
Koridama tanggal 4 oktober 2002. Pada saat itu, Moses Ramar menampar seorang
warga sipil di hadapan Wakapolres Manokwari yang bertindak selaku pimpinan
operasi pada waktu itu.
Bagi masyarakat, kondisi ini tidak hanya menjadikan masyarakat menjadi tertutup dengan
berbagai hal di luar komunitasnya pada internal komunitasnya sendiri telah lahir rasa saling
curiga yang begitu tinggi.
Di saat masyarakat mengalami dekadensi psikologi yang traumatik, mereka juga semakin
kesulitan untuk membangun relasi sosial, karena di saat yang bersamaan mereka juga
diperhadapkan dengan situasi yang sangat dilematis dan membuat mereka berada pada posisi
terjepit antara dua kekuatan besar yang saling berlawanan yakni kelompok TPN/OPM di satu
sisi dan pihak aparat keamanan di sisi lain. Masyarakat akan dicurigai sebagai kaki tangan
TPN/OPM oleh Brimob jika dianggap tidak bisa bekerjasama polisi, tetapi juga akan dianggap
sebagai informan Brimob ketika diketahui membangun hubungan dengan pihak kepolisian dan
konsekuensi dari keduanya adalah mendapatkan penganiayaan kendati yang dilakukan
TPN/OPM tidak separah yang dilakukan oleh aparat Brimob. Tidak ada lagi saling kepercayaan
sesama mereka sendiri. Perilaku sopan santun adat, mestinya paling kuat untuk menjadi
perekat hubungan di antara mereka sudah terabaikan.

Laporan Wasior : Wasior 19


BAB IV

MEMECAH BELENGGU KEBEKUAN

KETERLIBATAN INSTITUSI LUAR PADA KONFLIK WASIOR


Meski sekarang Wasior dinyatakan telah terbuka, tetapi tidak berarti operasi dengan target
pengembalian senjata telah tuntas. Karena rakyat masih mengalami intimidasi baik secara phisik
maupun psikis dan belum dapat melaksanakan kehidupan secara normal kembali. Dalam kurun
waktu tersebut, banyak sekali lembaga atau institusi dari pihak luar yang datang termasuk
beberapa indvidu yang merasa prihatin dan berperhatian yang mendalam terhadap konflik Wasior
akan tetapi belum ada satu pun lembaga yang bersedia untuk datang dan mencoba hidup
bersama komunitas mereka yang tengah mengalami multi dekadensi akibat serangkaian peristiwa
kemanusiaan sampai pada pemberlakuan “Operasi Tuntas 2001”.
Sebenarnya ada beberapa lembaga yang telah datang ke Wasior. Namun kehadiran mereka masih
terbatas pada bantuan - bantuan tehnis kemanusiaan seperti dalam hal membagi-bagikan sembako
atau pakaian laik pakai namun belum ada yang melakukan hal-hal yang menyentuh pada akar
persoalan seperti hak ulayat, membantu memahami konflik yang terjadi di Wasior secara
komprehensif, membantu memperjuangkan hak-hak dan perlindungan hukum yang seharusnya
diterima oleh masyarakat dalam mengatasi tragedi kemanusiaan atau membangun pemahaman
bersama sejauhmana para pihak terlibat dan harus bertanggungjawab.
Selain itu adanya beberapa aktivitas dari pihak luar telah pula dicurigai oleh masyarakat sebagai
hal yang tidak lebih dari sebuah kamuflase politik. Masyarakat menduga bahwa kehadiran mereka
tidak murni mengemban misi kemanusiaan akan tetapi terkandung maksud yang lain seperti
membawa pesan-pesan “kekerasan” yakni persoalan pengembalian senjata. Senyatanya memang
banyak tim negosiasi – berlabel kemanusiaan – yang telah terjun langsung ke Wasior yang
sebenarnya membicarakan persoalan pengembalian senjata namun tidak pernah membawa hasil.
Banyaknya tim dengan berbagai model ini juga telah membingungkan masyarakat, karena
terkadang kehadiran mereka disertai dengan silent mission. Sehingga bagi masyarakat ada juga
kesan bahwa mereka telah dan akan diadu dengan kekuatan sekelompok masyarakat yang
diidentifikasi TPN/OPM oleh pemerintah. Kondisi ini telah melahirkan rasa apatis bahkan
kecurigaan yang tinggi dari masyarakat kepada setiap orang atau kelompok di luar komunitasnya.
Apalagi masyarakat merasa bahwa 6 pucuk senjata yang hilang tersebut bukan mereka yang
sembunyikan, tapi pihak TPN/OPM.
Seolah-olah masyarakatlah yang salah dan harus bertanggungjawab sendiri atas kejadian di
Wasior.
Menghadapi sekian banyak tim yang datang ke Wasior untuk berurusan dengan pengambalian
senjata, maka masyarakat meminta untuk tidak ada lagi tim yang turun mengurusi senjata. Hal ini
terungkap dalam suatu kesempatan pertemuan dengan anggota DPRD Manokwari.
Wakil Ketua I DPRD Manokwari : Masyarakat menemukan banyak tim yang datang ke Wasior,
mulai dari ELS-HAM, Gereja, Polda ataupun perorangan. Semuanya diakui bekerja baik, tetapi
sudah terlalu banyak malah membingungkan masyarakat. Dan mereka menginginkan jangan
ada lagi tim yang datang yang terkesan memiliki kepentingan pribadi.
(Cepos, 4 Juli 2002).

Laporan Wasior : Wasior 20


Di waktu yang sama ada pula kelompok yang hadir menawarkan (sosialisasi) Otonomi Khusus,
selain itu ada juga Tim yang datang untuk “mengurus“ distrik Wasior menjadi kabupaten Wandama,
tanpa mencoba untuk mulai menyentuh sedikitpun tragedi yang telah menimpa masyarakat.
Seolah-olah kesengsaraan dan penderitaan masyarakat tidak perlu diperhatikan dan “telah
berakhir“. Hal ini menyebabkan semakin apatisnya masyarakat dengan kehadiran berbagai tim.

PERSOALAN RIIL YANG DIJUMPAI


a. Persoalan Hak Ulayat dan Kopermas
Penderitaan masyarakat Wasior belum berakhir ketika muncul pihak Kopermas yang telah pula
menggandeng investor ke distrik Wasior. Hasilnya, sebuah perusahaan yang sejak sekitar 1
tahun terakhir kembali mengeksploitasi hutan di Wondiboy. Seperti biasa, kesepakatan harga
hanya dilakukan oleh pihak Kopermas dengan perusahaan tanpa melibatkan masyarakat
pemilik hutan. Dari aktivitas perusahaan tersebut, masyarakat hanya mendapatkan kompensasi
atas pemakaian tanah adat untuk penampungan kayu serta lokasi tempat tinggal karyawan
perusahaan, di luar kedua hal tersebut, tidak ada kompensasi sepeser pun. Selain itu, telah
dikabarkan pula rencana kehadiran 2 Kopermas lainnya yang menggandeng 2 perusahaan baru
dengan maksud mengeksploitasi hutan di kampung Issuy. Kedua Kopermas ini tanpa
sepengetahuan masyarakat pemilik ulayat lantas membagi hutan yang akan dieksplotasi untuk
masing-masing perusahaan yang digandengnya.
Menyikapi perkembangan demikian maka di Wondiboy, usai kegiatan yang dilaksanakan pada
10 Oktober 2002 oleh Tim ALDP, yang juga diikuti oleh perwakilan dari beberapa kampung di
bagian selatan Wasior (lihat lampiran), seluruh marga (Sarumi, Auri, Yoweni, Bokway,
Ataribaba, Warengga dan Ayomi) pemilik hak ulayat lantas berkumpul dan bersepakat untuk
membentuk sebuah forum antarmereka. Bapak Piethein Auri, lantas
dikukuhkan sebagai pimpinan dari lembaga tersebut. Tugasnya adalah melakukan upaya
proteksi terhadap segala sumber daya alam (hutan, kayu dan laut) yang menjadi hak mereka.
Dalam perkembangannya, setelah melalui diskusi yang cukup panjang dengan Tim ALDP,
kelompok pemilik hutan ini lantas mendatangi pihak perusahaan dan mencoba membicarakan
hak-hak yang harus mereka terima sebagai pemilik yang sah atas hutan yang dikelola oleh
perusahaan.
Mantan kepala kampung Wondiboy, Pithei Auri, yang bertindak sebagai
pimpinan rombongan, mendasarkan tuntutannya pada buku Advokasi
untuk Wasior – materi pada kegiatan tim ALDP – yang ikut dibawa
ketika menghadap pihak perusahaan.
(Pengakuan kepala kampung Wondiboy)
Terjadi negosiasi antar masyarakat dengan pihak perusahaan. Semula pihak perusahaan
bersikeras dengan mengatakan bahwa perusahaan telah banyak mengalami kerugian akan
tetapi karena masyarakat terus menawarkan pilihan-pilihan negosiasi dan tidak mau mundur
maka pihak perusahaan mengabulkan permintaan awal masyarakat yakni memberikan sebuah
mesin diesel yang akan digunakan sebagai pembangkit listrik di kampung Wondiboy.
Perusahaan juga telah menyanggupi permintaan kedua dari masyarakat yakni pengadaan
mesin pemotong kayu, sainsaw. Selain kedua hal tersebut, disepakati pula bahwa akan ada
pertemuan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan langsung antara masyarakat pemilik
hutan dengan pihak perusahaan tanpa melibatkan pihak ketiga. Guna menjaga hubungan baik
dan kelangsungan aktifitas perusahaan.

Laporan Wasior : Wasior 21


Masyarakat mengharapkan kesediaan pengacara ALDP untuk
mendampingi mereka dalam hal pembuatan kesepakatan tersebut.
(Permintaan disampaikan langsung pimpinan kelompok kepada Tim ALDP).
Di Isuy, perseteruan antara 2 Kopermas yang saling memperebutkan lahan olahan kayu
sepertinya akan membuat hubungan yang kurang menguntungkan bagi keduanya. Hal ini
terlihat dari sikap protektif masyarakat adat dan marga pemilik ulayat. Bahwa keberhasilan
masyarakat Wondiboy telah menyadarkan mereka untuk berbuat hal serupa. Maka kepala
kampung Isuy yang ikut pada kegiatan Tim ALDP yang dipusatkan di Wondiboy lantas
berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh marga pemilik ulayat (Wosiri, Marani, Tambawa dan
Suku Kuri), dengan maksud untuk membentuk sebuah ikatan antarmarga. Dan kepala kampung
Isuy Bpk. Septinus Wosiri, menjadi orang yang ditugaskan untuk melakukan segala bentuk
proteksi terhadap segala sumber daya alam mereka.
Kedua peristiwa di atas telah menjadi bukti konkrit, bahwa masyarakat – baik kaum pria maupun
wanita ― lambat laun telah mulai kembali sadar akan hak-hak mereka dan berusaha untuk
memperjuangkan hak tersebut. Bahkan keberanian masyarakat yang langsung menghadap ke
perusahaan ini merupakan model yang cukup baru bagi mereka. Selain itu, upaya proteksi
terhadap segala sumber daya alam yang mereka miliki belum pernah dilakukan selama ini.
b. Perilaku Aparat Keamanan
Pada setiap kegiatan, Tim ALDP selalu melakukan koordinasi dengan pihak pemerintah
setempat dalam hal ini Camat, Koramil dan Polsek. Dan pihak keamanan terkesan berhati-hati
dalam bertindak. Berdasarkan pengakuan dari beberapa orang bahwa Brimob
mempertimbangkan kehadiran Tim ALDP, kendati ini seharusnya lebih dimaknai sebagai sikap
defensif dari para pihak yang telah lama “terlibat” dalam konflik Wasior seperti juga pandangan
beberapa masyarakat yang selalu menaruh perhatian yang tidak sedikit bagi kehadiran tim-tim
yang masuk. Akan tetapi bagi Tim ALDP sendiri “perubahan” perilaku Brimob tersebut tidak
terlalu dirasakan sebab perilaku awal aparat keamanan tidak disaksikan langsung
Akan tetapi salah satu yang menjadi bukti nyata dari perubahan positif tersebut terlihat dari
sikap seorang komandan lapangan Brimob, Bpk. Salmon Samonswabra, setidaknya pada bulan
Oktober 2002, telah mendatangi rumah salah seorang tokoh masyarakat bapak Derek
Rumbobiar untuk menyatakan penyesalan dan permohonan maafnya atas kelakukan mereka
yang pernah menyiksa bapak Derek. Bahkan tidak jarang dalam beberapa kesempatan aparat
tersebut datang mengunjungi rumah pak Derek dengan membawa gula, sabun dan lain-
lainnya. Sikap tersebut tentu saja menjadi tanda tanya tersendiri bagi pak Derek dan
masyarakat, sebab menurut pengakuan mereka, sebelum kehadiran Tim ALDP, hal tersebut
tidak pernah dilakukan.
Perubahan perilaku aparat ini pada akhirnya telah membawa masyarakat pada sebuah harapan
akan kehidupan yang lebih damai dan aman di tanah mereka Wasior sekaligus telah menaruh
harapan yang amat besar kepada Tim ALDP. Hal ini jauh lebih terasa dan suasana
mengharukan hadir ketika Tim ALDP harus segera meninggalkan Wasior. Ketika itu beberapa
orang memohon agar Tim ALDP atau salah seorang dari anggota tim yang bersedia tinggal
lebih lama untuk mendampingi masyarakat dalam hal pemahaman hukum, penegakan HAM
dan secara khusus membantu mengelola konflik yang telah terjadi, mereka juga meminta agar
ALDP membuka pos kontak di Wasior.

c. Kondisi Riil Kelembagaan yang ( Pernah) Ada.

Laporan Wasior : Wasior 22


Deretan tindak kekerasan aparat Brimob di atas juga telah membawa cerita duka bagi eksistensi
institusi-institusi yang telah lahir dan hidup di tengah-tengah masyarakat. DPMA (Dewan
Perwakilan Masyarakat Adat) yang menjadi bukti dari tatanan sistem demokrasi lokal
masyarakat adat Wasior, harus mengalami kemandegan dan kehancuran ketika sebagian
pengurusnya menjadi korban atau lari menyelamatkan diri dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Brimob. Padahal keberadaan DPMA sendiri telah menjadi harapan terakhir bagi
masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut adat istiadat setempat
termasuk dalam hal pengelolaan hak ulayat mereka.
Harapan ini timbul ketika LMA (Lembaga Masyarakat Adat), yang sudah lebih dahulu eksis
berdasarkan UU No. 5/1998, telah diklaim oleh masyarakat sebagai perpanjangan tangan
pemerintah. Meski demikian, toh anggapan masyarakat tersebut tidak lantas menyelamatkan
LMA dari imbas kasus Wasior. Nasibnya tidak jauh berbeda dengan DPMA, sebagian besar
pengurusnya lari menyelamatkan diri. Hingga sekarang kedua lembaga tersebut hanya tinggal
papan nama.
Untuk menyikapi persoalan ini, hal pertama yang dilakukan oleh Tim ALDP adalah melakukan
diskusi dengan Ketua DPMA, Bpk Kaleb Marani yang kebetulan rumahnya dijadikan base
camp Tim ALDP di Wasior. Selanjutnya Tim ALDP bersama Ketua DPMA melakukan
pertemuan pada Kamis, 17 Oktober 2002, dengan seluruh perwakilan kampung yang ada di
Wasior yang dipusatkan di Wasior Kota. Pertemuan dimulai dengan mengindentifikasikan
persoalan yang dihadapi
oleh lembaga-lembaga adat dan membangunan pemahaman bersama akan pentingnya
manfaat dari lembaga dan langkah-langkah bersama yang diambil guna menghidupkan kembali
lembaga tersebut.
Tetapi sebelum rakyat berpikir dan memutuskan apakah lembaga itu harus difungsikan kembali
atau tidak yang jauh lebih substantif adalah bagaimana membangun kesadaran bersama dari
masyarakat untuk bangkit kembali bersama-sama membangun tatanan kehidupan yang sudah
rusak akibat konflik yang berkepanjangan di Wasior. Sehingga nantinya kesadaran tersebut
dapat terorganisir dengan baik, memutuskan efektifitas lembaga yang (pernah) ada sambil
mempertimbangkan kemungkinan perlunya lembaga baru terutama setelah ada rencana
pemekaran Kabupaten Wasior menjadi Kabupaten Wandama.
Dari fakta riil di atas terlihat jelas betapa masyarakat mulai kembali menemukan kepercayaan
dirinya yang sempat hilang bersamaan dengan kejadian pahit yang mereka alami selama 1
tahun lebih. Meski belum pulih total tetapi telah ada upaya-upaya yang positif yang menjadi
kebutuhan bersama guna perbaikan kondisi psikososial masyarakat.

KENDALA YANG DIHADAPI DAN SOLUSI YANG DILAKUKAN

Wasior Masih Sebagai Daerah Operasi Tuntas 2001


Walaupun Wasior sudah dibuka untuk umum, banyak masyarakat yang sudah bisa keluar
masuk wasior namun sebagaimana yang diketahui bahwa wasior masih dalam kondisi belum
benar-benar aman dan bebas dari rasa takut. Sampai Tim ALDP keluar dari Wasior daerah
tersebut masih dijadikan sebagai daerah operasi oleh kesatuan Brimob dalam rangka merebut
kembali senjata yang dirampas oleh kelompok TPN/OPM Koridama cs.
Untuk itu, operasi dalam rangka upaya pengembalian senjata terus dilakukan oleh pihak
keamanan, dalam hal ini Brimob. Pasukan senantiasa dikirim untuk memantau keberadaan
Laporan Wasior : Wasior 23
senjata tersebut seperti juga yang terjadi pada saat Tim ALDP masuk ke Wasior pada tanggal
21 september 2002, bersamaan dengan masuknya pasukan Brimob ke Wasior yang dipimpin
oleh Samonswabra untuk melakukan operasi pengembalian senjata. Dengan keberadaan
Brimob tersebut, harus semakin berhati-hati untuk menghindari konflik baru.

Solusi yang dilakukan :


1. Guna menghindari kecurigaan dan agar terbangun komunikasi dan kepercayaan sesama
komponen yang berada di Wasior, maka Tim memberitahukan maksud kedatangan kepada
semua pihak : pihak keamanan Polsek, Koramil dan masyarakat bahwa kehadiran Tim
ALDP bukanlah untuk mengurus soal senjata, tetapi untuk melakukan pendampingan
langsung terhadap masyarakat yang menjadi korban dari konflik sebagai upaya bersama
dari semua pihak untuk meminimalisir segala akibat yang ditimbulkan dari konflik Wasior.
Selain itu Tim ALDP senantiasa memberitahukan kepada pejabat berwenang apabila
hendak atau setelah melakukan kegiatan di desa tertentu.
2. Upaya untuk mendapatkan informasi selalu dilakukan dengan pendekatan terhadap orang-
orang yang sudah diidentifikasi dengan jelas dapat memberikan informasi. Baik dilakukan
secara individu maupun dengan meminta bantuan dari beberapa teman-teman di kampung
yang dipercayakan sebagai perantara dan juga sebagai referensi bagi orang-orang yang
berkompeten untuk memperoleh keterangan. Sesuai dengan kondisi dan situasi yang
berkembang.

Tingkat Kecurigaan Masyarakat yang Cukup Tinggi dan Trauma yang Masih Membekas
Akibat dari konflk di wasior menyebabkan masyarakat makin bersikap tertutup dan curiga pada
setiap komponen lembaga yang masuk. Hal ini sebelumnya tidak demikian akan tetapi
beberapa institusi yang masuk tidak mencerminkan kemauan rakyat bahkan mempermainkan
kepercayaan yang telah diberikan rakyat. Karena ada yang mengatakan mau membantu
masyarakat tetapi yang terjadi justru “memaksa” masyarakat untuk turut terlibat dalam proses
pengembalian senjata sehingga rakyat semakin tertekan dan tertutup dengan komunitas dari
luar.

Solusi yang dilakukan :


1. Memberikan kepercayaan pada rakyat bahwa kedatangan Tim tidak ada sangkut pautnya
dengan proses pengembalian senjata dengan cara mengajak rakyat merumuskan
kegiatan bersama yang memang dibutuhkan oleh mereka saat itu.
Maka lahirlah beberapa pertemuan secara formal maupun informal secara kolektif
maupun individu yang kesemuanya merupakan ide bersama, termasuk memberikan
penguatan langsung kepada komponen marga yang mengalami konflik dengan pihak
perusahaan.
2. Melakukan pendekatan yang lebih pribadi untuk melakukan diskusi dan memperoleh
informasi terhadap beberapa orang yang masih mengalami ketakutan.

Laporan Wasior : Wasior 24


BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN

Konflik Wasior senyatanya diawali sebagai suatu konflik hak ulayat yang
berdimensi ekonomi dan sosial budaya. Terjadi ketika pihak perusahaan
mengabaikan kesepakatan yang telah dilakukan kepada masyarakat pemilik
hak ulayat dan juga akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang
tegas terhadap perusahaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
gagalnya pemerintah melindungi kepentingan rakyatnya. Selanjutnya konflik
dialihkan menjadi konflik Politik.
2. Reaksi pemerintah terhadap konflik Wasior baru nyata muncul setelah
kejadian tanggal 13 juni 2001 di Wondiboy. Padahal sebelumnya banyak
sekali peristiwa yang menganggu hubungan antara masyarakat pemilik hak
ulayat dengan pihak perusahaan. Akan tetapi pemerintah tidak meresponi
pengaduan masyarakat. Setelah pihak perusahaan dan pemerintah dalam
hal ini aparat Brimob menjadi korban baru kemudian pemerintah mengambil
tindakan, terutama adalah
pelaksanaan Operasi Tuntas 2001.
3. OperasiTuntas 2001 sebagai kebijakan Pemerintah melakukan pengejaran
dan penangkapan terhadap kelompok yang diindikasikan sebagai TPN /
OPM pelaku Peristiwa pembunuhan 13 Juni 2001 dan membawa lari 6 pucuk
senjata telah berubah menjadi tindakan represif aparat keamanan, dalam hal
ini Brimob dengan melakukan sejumlah intimidasi, penganiayaan,
pembakaran dan penghancuran rumah dan saran umum secara sporadis
terhadap warga masyarakat sipil
4. Pemerintah juga mengambil langkah dalam bentuk merehabilitasi bangunan
dan kerugian phisik yang dialami rakyat, mengadili pelaku peristiwa 13 Juni
2001 tetapi tidak sampai pada mengambil langkah-langkah hukum melalui
mekanisme hukum yang adil dan benar terhadap pihak Aparat Keamanan
dalam operasinya yang telah menyebabkan kerugian dan korban dari
masyarakat sipil yang tidak berdosa.
5. Kondisi perekonomian yang tidak stabil telah dimanfaatkan oleh pelaku
ekonomi seperti pihak kontraktor untuk menjadikan masyarakat sebagai alat
kepentingan mereka guna memperoleh keuntungan tanpa benar-benar
mempertimbangkan kebutuhan riil yang dihadapi dan tanggungjawab
pekerjaan yang telah diberikan.
6. Dalam kondisi konflik yang berkepanjangan berikut tekanan dalam situasi
yang sangat terbatas terutama akibat pemberlakukan Operasi Tuntas 2001,
maka sangat sulit diharapkan bahwa masyarakat akan segera bangkit dan
mulai dengan aktifitas sebagaimana biasanya .
Karena itu perubahan-perubahan awal yang dimungkinkan terjadi dari
masyarakat adalah mulai berusaha mengatasi ketakutan, membuka diri

Laporan Wasior : Wasior 25


terhadap pihak–pihak dari luar terutama yang langsung melakukan
pendampingan terhadap mereka. Kemudian baru perlahan-lahan membangkitkan
kepercayaan dan mencoba menjalani kehidupan normal kembali.
REKOMENDASI
1. Dikarenakan akar dari konflik di Wasior adalah masalah hak ulayat maka
perlu posisi konflik dikembalikan dari konflik politik menjadi konflik hak ulayat.
Karenanya semua pihak yang terlibat dalam mengelola konflik harus
bertujuan membangun perdamaian, bertindak profesional dan
bertanggungjawab: Pemerintah, Aparat Brimob, masyarakat, TPN/OPM,
LSM, Institusi maupun Perorangan, Pers dan lain-lain. Secara khusus
meminta pertanggungjawaban dari pihak perusahaan agar menjadi jelas dan
bukan sebaliknya malah pergeseran konflik tersebut menyebabkan pihak
perusahaan seolah-olah “terlupakan” dari tanggungjawabnya dan hanya
mengambil peran yang relatif kecil dari konflik yang semula disebabkan
olehnya.
2. Dikarenakan akar dari konflik di Wasior adalah masalah hak ulayat, maka
semua pihak yang terlibat dalam persoalan hak ulayat harus merumuskan
kembali kesepakatn bersama agar tidak terjadi konflik yang sma dikemudian
hari. Pemerintah perlu memberikan pemahaman dan melakukan kontrol yang
efektif terhadap para investor yang melakukan investasi dan juga terhadap
kontarktor yang melakukan pekerjaan rehabilitasi terhadap sejumlah sarana
Phisik akibat konflik Wasior. Pihak Perusahaan hendaknya memenuhi
kesepakatan yang telah dibuat dengan masyarakat dan juga lebih melibatkan
masyarakat dalam melakukan investasi seperti membuka tingkat partisipasi
masyarakat dalam management dan evaluasi, memberikan bantuan tekhnis
kepada masyarakat yang memerlukan keterampilan-keterampilan atau
bahkan mengembangkan satu jaringan bersama yang lebih efektif guna
menangani potensi konflik dan konflik yang terjadi antara masyarakat dan
pihak perusahaan. Masyarakat hendaknya lebih memberikan suasana yang
ramah terhadap investasi yang ada dan juga mengembangkan pola
kepercayaan dan kemitraan kepada segenap investasi yang masuk dengan
tetap memegang teguh nilai adat dan kemanusiaan.

3. Adanya koordinasi dan kontrol dari para pihak dalam membangun Wasior
kembali sehingga para kontraktor tidak melakukan represif guna kepentingan
ekonomi dalam hal ini memperoleh keuntungan yang merugikan rakyat
setempat. Pemerintah Manokwari khususnya tidak hanya memberikan
proyek tetapi juga harus melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang
dilakukan para kontraktor. Selain itu adanya pelimpahan kewenangan yang
tegas kepada pemerintah Wasior sehubungan dengan rencana terbentuknya
Kabupaten Administratif Teluk Wandama (Wasior dan sekitarnya) agar
proses penyelenggaraan pemerintahan berjalan baik dan efektif.
4. Karena konflik di Wasior telah berubah dari konflik ekonomi menjadi konflik
politik – dengan menggunakan kekerasan bersenjata ― maka harus ada
pertanggungjawaban politik yang jelas dari para pihak yang telah terlibat
dalam konflik politik tersebut. Seperti sejauh mana Operasi Tuntas 2001
Laporan Wasior : Wasior 26
telah dilakukan, hambatan dan juga ekses-ekses yang terjadi selama
Operasi tersebut dilakukan dengan segala konsekwensinya. Penjelasan dari
pihak TPN/OPM tentang sejauh mana keterlibatan, langkah-langkah yang
telah dilakukan dan konsekwensinya. Disertai pandangan kedua belah pihak
untuk membangun perdamaian di Wasior. Hal ini sangat diperlukan untuk
membuktikan bahwa kedua belah pihak turut bertanggungjawab terhadap
masyarakat sipil yang berada di luar konflik tersebut, sehingga tidak ikut
dilibatkan apalagi menjadi korban (Hukum Humaniter).

5. Secara hukum, penyelesaian konflik tersebut harus tetap mengedepankan


prinsip imparsial dan nondiskriminasi. Artinya jika proses hukum terhadap
pelaku penyerangan Brimob 13 Juni 2001 di Wondiboy telah dilakukan –
meskipun dengan perubahan-perubahan tuntutan ditingkat peradilan – akan
tetapi proses hukum belum menyentuh ke soal yang lain, bahkan persoalan
yang menjadi substansi dari munculnya konflik, yakni persoalan hak ulayat
antara pemilik hak ulayat dengan pihak perusahaan. Sehingga perlu ada
pertanggungjawaban.
Hukum dari pihak perusahaan atas srangkaian tindakan wanprestasi yang
telah dilakukan. Begitupula dengan peristiwa tragedi Kemanusiaan yang
terjadi selama Operasi Tuntas 2001 berlangsung perlu ada
pertanggungjawaban Hukum yang jelas agar para korbannya mendapat
perlindungan dan jaminan hukum dan pelakunya diadili menurut mekanisme
hukum yang adil dan benar. Karena itu secara khusus diusulkan dan
dibentuknya Tim Investigasi yang bersifat indenpenden yang terdiri dari
orang-orang yang mempunyai kapasitas dan dapat bertanggung jawab untuk
melakukan serangkaian penyelidikan fakta dan data tragedi Wasior dan
merekomendasikan terbentuknya KPP HAM untuk Wasior
6. Selain itu perlu dirumuskan dan dilakukan bersama alternatif pemecahan
masalah (ADR) diluar lembaga peradilan.Berdasarkan asas kepatutan dan
norma-norma kesusilaan umum yang berlaku dengan cara yang lebih damai
demi menjaga keseimbangan hidup bersama, misalnya upaya rekonsiliasi
dengan melibatkan pihak luar, membentuk jaringan bersama atau
pembayaran denda menurut adat dan lain-lain.
7. Secara khusus, pula perlu ada upaya pendampingan dan kebersamaan
terhadap korban konflik Wasior yang masih mengalami traumatik – tindak
kekerasan – dari serangkaian tragedi kemanusiaan yang telah mereka alami,
seperti training-training konseling untuk menumbuhkan rasa kepercayaan
dan semangat hidup kembali atau training-training preventif upaya
pencegahan terhadap tindak-tindak kekerasan yang bakal mungkin dialami.
8. Terhadap institusi-institusi yang yang telah ada seperti LMA/DPMA perlu
dibenahi kembali baik dari segi kepengurusan, management maupun strategi
dan aksi lapangan yang harus dilakukan. Penguatan seperti ini sangat
penting untuk tetap memaksimalkan peran ketika konflik bahkan juga menjadi
bagian dari upaya conflict resolution. Selain itu masih perlu dilakukan
pendampingan terhadap kelompok-kelompok masyarakat dalam upaya
memberikan penguatan dari segi hukum agar terhindar dari kesewenangan
berbagai komponen terutama yang datang dari luar seperti pihak
Laporan Wasior : Wasior 27
perusahaan. Sehingga masyarakat menjadi komunitas yang kuat
“berpartisipasi aktif dan positif“ ketika membangun interaksi sosial dengan
berbagai pihak.

Laporan Wasior : Wasior 28

You might also like