Sosok N. H Dini mengawali karier sebagai penulis berawal dari kebiasaan
menonton pertunjukan-pertunjukn keliling yang bernilai seni pada zamannya. Hobinya yang gemar menikmati pertunjukan seni berlanjutke lingkungan keluarga. Orang tua dan saudara N.H Dini yang memberikan dukunag penuh terhadap kemampuan menulisnya tentu sangat mendorong motivasinya untuk menghasilkan karya-karya besar. Dari membaca satu dua bukunya, akan segera terasa karakter Dini yang 'dingin', tenang, adil, ramah, teguh, memiliki citra diri yang kuat, pemerhati kehidupan yang kritis, dan 'rasa' Jawa yang kental. Kepekaannya terhadap lingkungan dan karakter manusia-manusia di sekelilingnya bermula dari keluarganya. Masa kecilnya istimewa dan menjadi dasar yang bermakna bagi kelanjutan hidup setelah masa itu. Ia menulis beberapa buku seri kenangan untuk setiap masa itu. Sebuah Lorong di Kotaku menceritakan kisahnya dan keluarga ketika ia masih sangat muda dan belum sekolah. Sekayu adalah kisah sehari-hari peristiwa ia mulai SD, SMP, dan masa remaja berikut peristiwa- peristiwa yang melingkupi keluarga. Proses kreatif awal dari kemampuan menulis N. H Dini diawali dai kegemarannya membaca. Dengan membaca ia mendapatkan banyak ide. Proses kreatif kedua yang dilalui N. H Dini dalam kepengarangan adalah cara memilih tema dan bagaimana cara ia mengarang. Gaya kepengarangan N. H Dini lebih tearsa konvensional. Hal ini dikarenakan ia tidak menggunakan teknik dan cara-cara tertentu. Karena menurut Dini, teknik bukanlah tujuan melainkan hanya sekedar alat. Tujuandari sebua cerita adalah tema dan ide. Sehingga teknik penulisan nya disertai dengan kekayaan dukungan tema dan sarat dengan ide cemerlang. Namun kelebihan ide dan tema yang dimiliki oleh Dini bukan tanpa kekurangan. Gay penulisannya yang detail dan terkesan emnceritakan terlalu lengkap deskripsi tokoh dn tempat dlam ceritanya tntu membuat pembaca merasa bosan dan jenuh. Karena dengan deskripsi yang terlalu lengkap akan terkesan bertel-tele. Dini selalu memilih dulu jenis tulisan yang akan ditulisnya. Ia hanya membagi wadah tuisan itu menjadi dua macam, yaitu tulisan panjang dan tulisan pendek. Menurut Dini, menyelesaikna tulisan tidak pernah mudah, seperti halnya memulainya. Khir dari suatu karangan mengandung simpulan dari isi tulisan itu sendiri. Tahap ketiga dari proses kreatif N. H Dini yaitu perihalpengalaman juga tiak gampang menafsirkannya. Dini tidak trmasuk ke dalam daftar seniman yang produktif. Karena ia sering membutuhkan waktu berthun-tahun untuk menyelesaikan karangannya. Hal ini sesuai dengan ciri karangannya yaitu “menyeluruh”. Maksud konsep menyeluruh ini adalah bahwa Dini tidak akan menyelesaikan karangannya sebelum ada rasa puas di hatinya. Maka tak heran jika penulisan novel-novelnya mampu mengahbiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk pengumpulan data yang detail. Padahal proses mengetiknya hanya satu bulan saja. Permasalahan-permasalahan yang kerap kali ditulis oleh Dini yaitu permasalahan tentang perempuan dan seks. Dini setiap kali menampilkan nama perempuan dalam tokoh-tokoh di novelnya. Seorang pengamat mengatakan bahwa tokoh- tokoh perempuan yang diciptakan pengarang perempuan lebih merupakan manusia perempuan dan bukan sekadar konsep mengenai bagaimana seharusnya menjadi perempuan. Dalam satu tulisan Sapardi Djoko Damono, tokoh perempuan yang 'diciptakan' oleh laki-laki lebih merupakan konsep, yakni apa yang oleh laki-laki dianggap sebagai 'perempuan. Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. "Saya spontan menuliskannya. Kalau sekarang saya disuruh membacakannya di depan umum, saya baca. Hal itu unsur kehidupan juga, seperti bernafas. Kenapa kalau bernafas tidak malu. Seks dalam bentuknya tersendiri adalah satu puisi," ujarnya. Melani Budianta, pemerhati sastra di Jakarta mengatakan, sastra populer hasil karya perempuan pengarang di akhir 1990-an telah memunculkan sebuah generasi baru, yang berani mengeksplorasi seksualitas lebih dalam, memakai cara penulisan yang berbeda dan bahasa yang lebih puitis. Namun karya mereka sama sekali tidak dipandang sebagai pornografi, misalnya Saman karya Ayu Utami dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu. Esais Nirwan Dewanto mengatakan seksualitas bukanlah sesuatu yang baru. Nh Dini sudah menggarap masalah tersebut pada novel Pada Sebuah Kapal, hanya saja Dini tidak begitu radikal. Dini memilih kalimat-kalimat sederhana untuk menggambarnya satu peristiwa. Mudah menebak arah simpatinya. Satu hari, kakaknya, Maryam, menikah. Waktu upacara pidakan, yaitu kaki pengantin lelaki menginjak telur lalu kakinya dibasuh pengantin wanita, Dini tidak merasa terharu dengan simbol seorang istri melayani suami itu. Waktu itu hatinya malah merana melihat telur dibuang-buang hanya digunakan sebagai perlambang (Sekayu, 174). Ia menulis berbagai peristiwa dengan latar belakang kesulitan ekonomi yang merata di mana-mana. Ia menampilkan sistem transportasi buruk. Naik bis untel-untelan, penumpang seperti ikan tongkol dipaksa masuk lebih banyak, juga masalah kereta api. Hingga kini, lukisan tersebut masih tetap abadi, bahkan mungkin lebih buruk dengan banyaknya kecelakaan yang mengiringinya di akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007. Sungguh ironis tapi itulah yang terjadi. Dini menata kalimat-kalimatnya dengan cermat, tak terburu-buru, tekun, runut. Ia memperhitungkan kata-katanya. Ia sudah berbahasa dengan baik, bahkan sejak awal ia memulai debut menulis dan mendapat keuntungan dari sana, dimulai di masa SMP. Ia menyukai proses dalam menulis. Baginya, hal yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, ia tulis dulu di catatannya dengan tulis tangan.