Professional Documents
Culture Documents
A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Berdasarkan ketentuan pasal 1233 BW, perjanjian merupakan salah satu sumber yang
bisa menimbulkan perikatan.1 Adapun pengertian dari perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
itu.2
Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari
perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan
yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh
legislator, para praktisi hukum, serta juga pada cendekiawan hukum, menjadi aturan-aturan
hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui
Perjanjian atau kontrak merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh orang untuk
mendapatkan harta kekayaan yang diperlukan dalam hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita bisa dengan mudah menemukan orang yang mengadakan berbagai perjanjian, misalnya
jual beli, tukar-menukar, pemberian kuasa, penitipan barang, perjanjian kerja, dan
sebagainya.
agreement (bahasa Inggris), contract convention (bahasa Prancis), pacte conventie contractus
1
Dalam ketentuan pasal 1233 BW disebutkan : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan, baik karena
undang-undang.”
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008
3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, h. 1
(bahasa Latin), kontrakt vertrag (bahasa Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah
BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini
dapat dilihat jelas dari judul Bab II Buku III BW. Judul dari Bab II Buku III BW adalah
“Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Dari judul
tersebut dapat diberikan makna bahwa kontrak adalah perjanjian, dan perjanjian adalah
kontrak.4
bahwa “kontrak adalah perjanjian yang tertulis” dan justru pengertian yang terakhir inilah
Kenyataan ini, menurut hukum logika dikenal sebagai kesalahan logis (fallacy of
relevance) jenis argumentum ad verecvundian, yaitu penalaran yang mendasarkan atau yang
menggantungkan pada pendapat orang yang memiliki otoritas.5 Dalam hal ini yaitu pendapat
Subekti, sebagai seorang penulis dari berbagai buku hukum dan juga seorang mantan Ketua
Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam suatu kesempatan perkuliahan Magister Hukum
Bisnis Universitas Gadjah Mada, bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada
kontrak. Kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang
Sedangkan perjanjian dapat saja berarti social agreement yang belum tentu
menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.6 Dengan demikian pembedaan dua istilah
4
F. X. Suhardana, Contract Drafting : Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 2008, h. 8
5
Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas Atma Jaya, Yoogyakarta, 2007, h. 5
6
H. R. Daeng Naja, Contract Drafting : Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, h. 2
ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat
Mengutip apa yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa kontrak
adalah perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu hal khusus (Contract is agreement betwen two or more persons
Hal pokok dalam definisi tersebut adalah bahwa kontrak dipandang sebagai persetujuan
dari dua pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu
hal tertentu. Sedangkan menurut G.H. Treitel : “a contract is an agreement giving rise to
obligations which are enforced or recognised by law.”9 Lebih lanjut dikemukakan oleh
Treitel bahwa : “The first requisite of a contract is that the parties should have reached
agreement”.10
Dalam hal ini, pengertian yang diutarakan oleh Treitel menekankan pada kesepakatan
para pihak dan tidak menyebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian tertulis. Ronald A.
promise is made by one person in exchange for the act or the refraining from the doing of
an act by another”.11
7
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, h. 25
8
F. X. Suhardana, op. cit., h. 11
9
G. H. Treitel, The Law of Contract, Sweet & Maxwell, London, 2003, h. 1
10
Ibid., h. 8
11
Ronald A. Anderson dan Walter A. Kumpf, Business Law, South-Western Publishing, Cincinnati, 1973, h. 79
Pothier tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan
pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian
dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah
(wijzegen) perikatan.
Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat
dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan
perjanjian.13
(overeenkomst) dengan istilah kontrak. Selain itu dalam praktik kedua istilah tersebut juga
dipergunakan dalam kontrak komersial, misalnya dalam perjanjian waralaba, perjanjian sewa
Didalam BW, pengertian perjanjian terdapat dalam ketentuan pasal 1313, yaitu “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”.
Perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan pasal 1313 BW hendak menjelaskan bahwa
perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan,
maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.14
Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang
terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 BW adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas.15
Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.
12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 12
13
Ibid., h. 13
14
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 7
15
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 65
Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan
hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda
dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III BW. Perjanjian yang diatur dalam Buku III
BW kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.
1. Ada pihak-pihak yang menjadi subjek, sedikitnya dua pihak dan masing-
masing bisa terdiri atas orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan
hukum dengan badan hukum. Dengan demikian tidak mungkin dikatakan ada perjanjian
sebagai pernyataan kehendak para pihak yang saling mengisi. Kesepakatan tersebut
3. Ada objek yang berupa benda. Objek perjanjian adalah harta benda yang dapat
diperdagangkan.
perkataan lain bahwa perjanjian bermaksud mengalihkan hak atas harta benda yang
berkontrak atau partij otonomie sebenarnya perjanjian dapat dibuat secara lisan
sehingga dikenal sebagai kontrak lisan, bisa pula berbentuk tertulis kecuali Undang-
Undang menentukan lain, yaitu yang dalam teori dikenal dengan sebutan kontrak
formal seperti kontrak perdamaian, kontrak penjaminan tanah, kontrak pendirian
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih;
7. Akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal
balik;
undangan.16
Sistem pengaturan hukum perjanjian dalam Buku III BW adalah sistem terbuka (open
system), atau juga disebut sebagai aanvullend recht.17 Artinya bahwa setiap orang bebas
untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam
16
Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
(selanjutnya disingkat Salim H. S. II), h. 15
17
Namun perlu diperhatikan bahwa dalam Buku III BW terdapat pula ketentuan yang keberadaannya tidak
boleh disimpangi. Dengan kata lain, terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat dwingend recht atau imperative
law. Lihat ketentuan pasal 1319 BW
undang-undang.18 Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Subekti berpendapat bahwa dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-
undang bagi kita sendiri.19 Dalam ketentuan tersebut terdapat azas kebebasan berkontrak.
ini berlatar belakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman
Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance
melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan
Rousseau.21
Azas kebebasan berkontrak merupakan salah satu azas utama dan sangat penting dalam
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:
perundang-undangan.22
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut azas kebebasan berkontrak, para
pihaklah yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih untuk mengatur
18
Salim H. S. I, op. cit., h. 7
19
R. Subekti, op. cit., h. 14
20
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 83
21
Ibid., h. 84
22
Ahmadi Miru, op. cit., h. 4
perjanjian mereka, hukum yang berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar
penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari perjanjian yang mereka buat.
Azas kebebasan berkontrak merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui
sebagian besar negara di dunia ini sehingga dapat dikatakan merupakan prinsip universal.23
Azas kebebasan berkontrak menjadi salah satu azas yang utama, dikarenakan azas ini bisa
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam
Dengan kata lain, ketentuan pasal 1319 BW mengakui akan adanya perjanjian-perjanjian
selain yang terdapat dalam BW. Perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam Buku III BW
Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian agar sebuah perjanjian bisa
memiliki kekuatan untuk memaksa para pihak. Adapun syarat sah perjanjian menurut
pernyataan pihak yang lain.26 Kesepakatan bisa terjadi setelah para pihak sebelumnya
untuk melahirkan sebuah perjanjian, para pihak harus berada pada kondisi mutual
understanding antar pihak, dan kondisi mutual understanding terjadi dengan salah satu
merupakan hal yang substansial dalam sebuah perjanjian, Nigel Savage dan Robert
Bradgate berpendapat:
“for there to be a legally binding contract there must be an agreement, that is, a
Pernyataan kehendak bukan hanya dengan kata-kata yang tegas dinyatakan, tetapi juga
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal
5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.30
26
J. H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (terjemahan Djasadin Saraghi), Universitas Airalangga,
Surabaya, 1985, h. 2
27
Harold F. Lusk, Business Law : Principles and Cases, Richard D. Irwin, Illinois, 1966, h. 90
28
Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, Butterworth, London, 1993, h. 185
29
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 2
30
Salim H. S. et al., op. cit., h. 9
Kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dirumuskan sebagai kemungkinan
melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa diganggu
gugat.31 Subjek hukum dalam melakukan perjanjian bisa merupakan natuurlijk persoon
dikatakan tidak cakap untuk melakukan sebuah perbuatan hukum adalah ketika:
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
dihapus dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan pasal
tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan
Indonesia, seseorang dikatakan telah cakap dalam melakukan perbuatan hukum jika telah
berusia 18 tahun.
4) Mempunyai pengurus;
Suatu badan hukum dikatakan cakap melakukan perjanjian harus diukur dari aspek
kewenangan organ yang melaksanakan. Kewenangan merupakan salah satu syarat yang
menentukan keabsahan kontrak yang dibuat oleh badan hukum, baik badan hukum privat
Hal ini terkait kedudukan badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu
bermasyarakat.34 Dalam badan hukum perseroan terbatas, direksi adalah organ perseroan
yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan terbatas tersebut.35 Sehingga sebuah perseroan terbatas dikatakan cakap melakukan
perjanjian apabila dilakukan oleh direksi atau oleh organ yang secara struktural berada
dibawah direksi telah diberi kuasa oleh direksi sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar
perseroan.
kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang
ada dan nanti akan ada.36 Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya sama sekali
tidak dapat ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat.37 Didalam berbagai literatur
disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok sebuah
perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Jika pokok perjanjian, atau
objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin
32
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005, h. 21
33
Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 210
34
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT, Forum Sahabat, Jakarta,
2008, h. 1
35
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, LN tahun 2007 No. 106, ps. 1 angka 5
36
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 79
37
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 25
dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig, void).38 Ahmadi Miru berpendapat
bahwa hal tertentu dalam sebuah kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang,
keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.39 Kartini Muljadi dan Gunawan
melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu.40
maupun penyerahan yuridis. “Berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi berwujud berbuat
sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif. “Tidak berbuat sesuatu” yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan, misalnya tidak
menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus
ditentukan apa yang harus dilakukan oleh para pihak. Untuk menentukan tentang hal
tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak.
Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong
orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan “causa yang diperbolehkan”
dalam pasal 1320 BW bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu
sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai para pihak.41 Undang-undang
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bamdung, 1990 (selanjutnya
disingkat Abdulkadir Muhammad II), h. 231
39
Ahmadi Miru, op. cit., h. 30
40
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 158
41
Abdulkadir Muhammad II, op. cit., h. 232
tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. yang
diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang adalah isi perjanjian itu, yang
menggambarkan tujuan yang hendak dicapai para pihak, apakah dilarang oleh undang-
undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau
tidak.42
Suatu perjanjian dapat bersifat tidak diperbolehkan dalam berbagai hal, yaitu:
Misal: penutupan perjanjian schenking yang tidak dalam bentuk akta otentik
Misal: Para pihak menutup perjanjian yang menentukan bahwa salah satu
Selain itu, perjanjian adalah batal jika perjanjian tersebut tanpa causa. Perjanjian
adalah tanpa tanpa causa, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat
perjanjian tidak akan tercapai.44 Misalnya, para pihak mengadakan novasi atas sesuatu
Syarat pertama dan kedua pasal 1320 BW disebut syarat subjektif, karena melekat
pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian
dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap
42
Dalam pasal 1337 BW disebutkan: “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
43
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 27
44
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, h. 63
Syarat ketiga dan keempat pasal 1320 BW disebut syarat objektif, karena mengenai
sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.
Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka hakim, dan hakim