You are on page 1of 14

BAB II

Tinjauan Umum Tentang Hukum Perjanjian

A. PENGERTIAN PERJANJIAN

Berdasarkan ketentuan pasal 1233 BW, perjanjian merupakan salah satu sumber yang

bisa menimbulkan perikatan.1 Adapun pengertian dari perikatan adalah suatu perhubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut

sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan

itu.2

Meskipun bukan yang paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari

perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan

yang juga ternyata banyak dipelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh

legislator, para praktisi hukum, serta juga pada cendekiawan hukum, menjadi aturan-aturan

hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui

dari waktu ke waktu.3

Perjanjian atau kontrak merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh orang untuk

mendapatkan harta kekayaan yang diperlukan dalam hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari,

kita bisa dengan mudah menemukan orang yang mengadakan berbagai perjanjian, misalnya

jual beli, tukar-menukar, pemberian kuasa, penitipan barang, perjanjian kerja, dan

sebagainya.

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenskomst (bahasa Belanda), contract,

agreement (bahasa Inggris), contract convention (bahasa Prancis), pacte conventie contractus
1
Dalam ketentuan pasal 1233 BW disebutkan : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan, baik karena
undang-undang.”
2
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2008
3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, h. 1
(bahasa Latin), kontrakt vertrag (bahasa Jerman), dan sebagainya yang merupakan istilah

yang dalam hukum kita dikenal sebagai “kontrak” atau “perjanjian”.

BW menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama. Hal ini

dapat dilihat jelas dari judul Bab II Buku III BW. Judul dari Bab II Buku III BW adalah

“Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Dari judul

tersebut dapat diberikan makna bahwa kontrak adalah perjanjian, dan perjanjian adalah

kontrak.4

Sementara itu banyak kalangan berpendapat sama sebagaimana Subekti berpendapat,

bahwa “kontrak adalah perjanjian yang tertulis” dan justru pengertian yang terakhir inilah

yang jamak diterima dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

Kenyataan ini, menurut hukum logika dikenal sebagai kesalahan logis (fallacy of

relevance) jenis argumentum ad verecvundian, yaitu penalaran yang mendasarkan atau yang

menggantungkan pada pendapat orang yang memiliki otoritas.5 Dalam hal ini yaitu pendapat

Subekti, sebagai seorang penulis dari berbagai buku hukum dan juga seorang mantan Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam suatu kesempatan perkuliahan Magister Hukum

Bisnis Universitas Gadjah Mada, bahwa perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada

kontrak. Kontrak merujuk pada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang

diperoleh kedua belah pihak.

Sedangkan perjanjian dapat saja berarti social agreement yang belum tentu

menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.6 Dengan demikian pembedaan dua istilah

4
F. X. Suhardana, Contract Drafting : Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 2008, h. 8
5
Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas Atma Jaya, Yoogyakarta, 2007, h. 5
6
H. R. Daeng Naja, Contract Drafting : Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, h. 2
ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat

secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.7

Mengutip apa yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa kontrak

adalah perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu hal khusus (Contract is agreement betwen two or more persons

which creates an obligation, to do or not a particular thing).8

Hal pokok dalam definisi tersebut adalah bahwa kontrak dipandang sebagai persetujuan

dari dua pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan sesuatu

hal tertentu. Sedangkan menurut G.H. Treitel : “a contract is an agreement giving rise to

obligations which are enforced or recognised by law.”9 Lebih lanjut dikemukakan oleh

Treitel bahwa : “The first requisite of a contract is that the parties should have reached

agreement”.10

Dalam hal ini, pengertian yang diutarakan oleh Treitel menekankan pada kesepakatan

para pihak dan tidak menyebutkan bahwa kontrak adalah perjanjian tertulis. Ronald A.

Anderson dan Walter A. Kumpf memberikan pendapat mengenai contract:

“Generally a contract is an exchange of promises or assents by two or more persons,

resulting in an obligation to do or to refrain from doing a particular act, which

obligation is recognize or enforced by law. A contract may also be formed when a

promise is made by one person in exchange for the act or the refraining from the doing of

an act by another”.11

7
Y. Sogar Simamora, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, h. 25
8
F. X. Suhardana, op. cit., h. 11
9
G. H. Treitel, The Law of Contract, Sweet & Maxwell, London, 2003, h. 1
10
Ibid., h. 8
11
Ronald A. Anderson dan Walter A. Kumpf, Business Law, South-Western Publishing, Cincinnati, 1973, h. 79
Pothier tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan

pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian

dimana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan (opheffen) atau merubah

(wijzegen) perikatan.

Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya perikatan.12

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, Agus Yudha Hernoko sependapat

dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan

perjanjian.13

Dimana dalam BW disamakan pengertian antara perjanjian atau persetujuan

(overeenkomst) dengan istilah kontrak. Selain itu dalam praktik kedua istilah tersebut juga

dipergunakan dalam kontrak komersial, misalnya dalam perjanjian waralaba, perjanjian sewa

guna usaha, kontrak kerjasama, perjanjian kerjasama, kontrak kerja konstruksi.

Didalam BW, pengertian perjanjian terdapat dalam ketentuan pasal 1313, yaitu “Suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”.

Perbuatan yang disebutkan dalam ketentuan pasal 1313 BW hendak menjelaskan bahwa

perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan,

maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata.14

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang

terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 BW adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas.15

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

12
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 12
13
Ibid., h. 13
14
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 7
15
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 65
Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan

hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda

dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III BW. Perjanjian yang diatur dalam Buku III

BW kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa perjanjian mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

1. Ada pihak-pihak yang menjadi subjek, sedikitnya dua pihak dan masing-

masing bisa terdiri atas orang dengan orang atau orang dengan badan hukum atau badan

hukum dengan badan hukum. Dengan demikian tidak mungkin dikatakan ada perjanjian

jika subjeknya hanya satu;

2. Ada persetujuan (kesepakatan) diantara para pihak. Kesepakatan digambarkan

sebagai pernyataan kehendak para pihak yang saling mengisi. Kesepakatan tersebut

terbentuk melalui penawaran-penawaran yang disampaikan oleh para pihak yang

kemudian bertemu pada satu titik.

3. Ada objek yang berupa benda. Objek perjanjian adalah harta benda yang dapat

diperdagangkan.

4. Ada tujuan yang bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan). Dengan

perkataan lain bahwa perjanjian bermaksud mengalihkan hak atas harta benda yang

menjadi objek perjanjian.

5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis. Berdasarkan asas kebebasan

berkontrak atau partij otonomie sebenarnya perjanjian dapat dibuat secara lisan

sehingga dikenal sebagai kontrak lisan, bisa pula berbentuk tertulis kecuali Undang-

Undang menentukan lain, yaitu yang dalam teori dikenal dengan sebutan kontrak
formal seperti kontrak perdamaian, kontrak penjaminan tanah, kontrak pendirian

perseroan terbatas, perjanjian hibah.

Sedangkan unsur-unsur perjanjian menurut teori lama adalah sebagai berikut:

1. Adanya perbuatan hukum;

2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;

3. Persesuaian ini harus dipublikasikan atau dinyatakan;

4. Perbuatan hukum terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih;

5. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung

satu sama lain;

6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

7. Akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal

balik;

8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-

undangan.16

B. AZAS KEBEBASAN BERKONTRAK

Sistem pengaturan hukum perjanjian dalam Buku III BW adalah sistem terbuka (open

system), atau juga disebut sebagai aanvullend recht.17 Artinya bahwa setiap orang bebas

untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam

16
Salim H. S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
(selanjutnya disingkat Salim H. S. II), h. 15
17
Namun perlu diperhatikan bahwa dalam Buku III BW terdapat pula ketentuan yang keberadaannya tidak
boleh disimpangi. Dengan kata lain, terdapat ketentuan-ketentuan yang bersifat dwingend recht atau imperative
law. Lihat ketentuan pasal 1319 BW
undang-undang.18 Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338

ayat (1) BW, yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.”

Subekti berpendapat bahwa dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-

undang bagi kita sendiri.19 Dalam ketentuan tersebut terdapat azas kebebasan berkontrak.

Azas kebebasan berkontrak dinamakan juga azas otonomi “konsensualisme”, yang

menentukan adanya (raison d’etre, het bestaanwaarde) perjanjian.20 Kebebasan berkontrak

ini berlatar belakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman

Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance

melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan

Rousseau.21

Azas kebebasan berkontrak merupakan salah satu azas utama dan sangat penting dalam

suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:

1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.22

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa menurut azas kebebasan berkontrak, para

pihaklah yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih untuk mengatur

18
Salim H. S. I, op. cit., h. 7
19
R. Subekti, op. cit., h. 14
20
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 83
21
Ibid., h. 84
22
Ahmadi Miru, op. cit., h. 4
perjanjian mereka, hukum yang berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar

penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari perjanjian yang mereka buat.

Azas kebebasan berkontrak merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui

sebagian besar negara di dunia ini sehingga dapat dikatakan merupakan prinsip universal.23

Azas kebebasan berkontrak menjadi salah satu azas yang utama, dikarenakan azas ini bisa

mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam melakukan transaksi bisnis yang senantiasa

berkembang seiring perkembangan teknologi. Kedudukan azas kebebasan berkontrak ini

semakin diperkuat dengan ketentuan pasal 1319 BW, yang memuat:

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal

dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam

bab ini dan bab yang lalu.”

Dengan kata lain, ketentuan pasal 1319 BW mengakui akan adanya perjanjian-perjanjian

selain yang terdapat dalam BW. Perjanjian-perjanjian yang tidak terdapat dalam Buku III BW

ini dinamakan perjanjian tak bernama atau kontrak innominaat.24

C. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN

Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian agar sebuah perjanjian bisa

memiliki kekuatan untuk memaksa para pihak. Adapun syarat sah perjanjian menurut

ketentuan pasal 1320 BW adalah:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan para pihak pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari azas

konsensualitas.25 Azas konsensualitas memperlihatkan bahwa sebuah perjanjian timbul

seketika setelah para pihak mecapai kesepakatan atau consensus. Kesepakatan

mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing


23
F.X Suhardana, op. cit., h. 20
24
Salim H. S. II, op. cit., h. 1
25
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 94
untuk menutup sebuah perjanjian; pernyataan salah satu pihak “cocok” dengan

pernyataan pihak yang lain.26 Kesepakatan bisa terjadi setelah para pihak sebelumnya

melakukan proses penawaran dan penerimaan. Harold F. Lusk berpendapat bahwa

untuk melahirkan sebuah perjanjian, para pihak harus berada pada kondisi mutual

understanding antar pihak, dan kondisi mutual understanding terjadi dengan salah satu

pihak melakukan penawaran dan penerimaan oleh pihak lainnya.27 Kesepakatan

merupakan hal yang substansial dalam sebuah perjanjian, Nigel Savage dan Robert

Bradgate berpendapat:

“for there to be a legally binding contract there must be an agreement, that is, a

reasonably definite understanding between two or more persons.”28

Pernyataan kehendak bukan hanya dengan kata-kata yang tegas dinyatakan, tetapi juga

kelakuan yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian.29

Sudikno mertokusumo menyatakan bahwa ada lima cara terjadinya persesuaian

pernyataan kehendak, yaitu:

1) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

2) Bahasa yang sempurna secara lisan;

3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal

ini mengingat dalam kenyataanya sering kali seseorang menyampaikan dengan

bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4) Bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawannya; dan

5) Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.30

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

26
J. H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (terjemahan Djasadin Saraghi), Universitas Airalangga,
Surabaya, 1985, h. 2
27
Harold F. Lusk, Business Law : Principles and Cases, Richard D. Irwin, Illinois, 1966, h. 90
28
Nigel Savage dan Robert Bradgate, Business Law, Butterworth, London, 1993, h. 185
29
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 2
30
Salim H. S. et al., op. cit., h. 9
Kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dirumuskan sebagai kemungkinan

melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa diganggu

gugat.31 Subjek hukum dalam melakukan perjanjian bisa merupakan natuurlijk persoon

ataupun rechtspersoon. Menurut ketentuan pasal 1330 BW, natuurlijk persoon

dikatakan tidak cakap untuk melakukan sebuah perbuatan hukum adalah ketika:

1) Orang-orang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu; (namun ketentuan ini telah

dihapus dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan pasal

31 undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan)

` Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan

Notaris, dan Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia, seseorang dikatakan telah cakap dalam melakukan perbuatan hukum jika telah

berusia 18 tahun.

Sedangkan pengertian badan hukum (rechtspersoon) menurut Chidir Ali mencakup

beberapa hal, yaitu:

1) Perkumpulan orang (organisasi);

2) Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam

hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);

3) Mempunyai harta kekayaan sendiri;

4) Mempunyai pengurus;

5) Mempunyai hak dan kewajiban;


31
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 20
6) Dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.32

Suatu badan hukum dikatakan cakap melakukan perjanjian harus diukur dari aspek

kewenangan organ yang melaksanakan. Kewenangan merupakan salah satu syarat yang

menentukan keabsahan kontrak yang dibuat oleh badan hukum, baik badan hukum privat

maupun badan hukum publik.33

Hal ini terkait kedudukan badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu

yang diciptakan oleh hukum guna memenuhi kebutuhan perkembangan kehidupan

bermasyarakat.34 Dalam badan hukum perseroan terbatas, direksi adalah organ perseroan

yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan

perseroan terbatas tersebut.35 Sehingga sebuah perseroan terbatas dikatakan cakap melakukan

perjanjian apabila dilakukan oleh direksi atau oleh organ yang secara struktural berada

dibawah direksi telah diberi kuasa oleh direksi sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar

perseroan.

3. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-

kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang

ada dan nanti akan ada.36 Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya sama sekali

tidak dapat ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat.37 Didalam berbagai literatur

disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok sebuah

perjanjian (onderwerp der overeenskomst). Suatu hal tertentu merupakan pokok

perjanjian, objek perjanjian, prestasi yang wajib dipenuhi. Jika pokok perjanjian, atau

objek perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak mungkin

32
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 2005, h. 21
33
Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 210
34
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT, Forum Sahabat, Jakarta,
2008, h. 1
35
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, LN tahun 2007 No. 106, ps. 1 angka 5
36
Mariam Darus Badrulzaman et al., op. cit., h. 79
37
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 25
dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig, void).38 Ahmadi Miru berpendapat

bahwa hal tertentu dalam sebuah kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang,

keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.39 Kartini Muljadi dan Gunawan

Widjaja berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah

ditentukan jenisnya, meliptui tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu,

melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan untuk tidak

berbuat sesuatu.40

“Memberikan sesuatu” adalah kewajiban seseorang untuk memberikan sesuatu atau

menyerahkan sesuatu. Memberikan sesuatu dapat diartikan baik penyerahan nyata

maupun penyerahan yuridis. “Berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi berwujud berbuat

sesuatu atau melakukan perbuatan tertentu yang positif. “Tidak berbuat sesuatu” yaitu

untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan, misalnya tidak

mendirikan bangunan yang menutupi pemandangan. Untuk menentukan barang yang

menjadi objek perjanjian, dapat digunakan berbagai cara seperti: menghitung,

menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus

ditentukan apa yang harus dilakukan oleh para pihak. Untuk menentukan tentang hal

tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak.

4. Suatu sebab yang diperbolehkan/causa yang diperbolehkan

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong

orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan “causa yang diperbolehkan”

dalam pasal 1320 BW bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang

mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu

sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai para pihak.41 Undang-undang

38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bamdung, 1990 (selanjutnya
disingkat Abdulkadir Muhammad II), h. 231
39
Ahmadi Miru, op. cit., h. 30
40
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., h. 158
41
Abdulkadir Muhammad II, op. cit., h. 232
tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. yang

diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang adalah isi perjanjian itu, yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai para pihak, apakah dilarang oleh undang-

undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau

tidak.42

Suatu perjanjian dapat bersifat tidak diperbolehkan dalam berbagai hal, yaitu:

1) Penutupan perjanjian tidak diperbolehkan;

Misal: jual beli antara suami-istri dilarang

2) Cara timbulnya perjanjian tidak diperbolehkan;

Misal: penutupan perjanjian schenking yang tidak dalam bentuk akta otentik

3) Isi perjanjian tidak diperbolehkan;

Misal: Para pihak menutup perjanjian yang menentukan bahwa salah satu

pihak membuat kalender pornografi

4) Cara pelaksanaan perjanjian tidak diperbolehkan;

5) Maksud para pihak tidak diperbolehkan.43

Selain itu, perjanjian adalah batal jika perjanjian tersebut tanpa causa. Perjanjian

adalah tanpa tanpa causa, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat

perjanjian tidak akan tercapai.44 Misalnya, para pihak mengadakan novasi atas sesuatu

perikatan yang tidak ada.

Syarat pertama dan kedua pasal 1320 BW disebut syarat subjektif, karena melekat

pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian

dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap

mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum waktu lima tahun.

42
Dalam pasal 1337 BW disebutkan: “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
43
J. H. Nieuwenhuis, op. cit., h. 27
44
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, h. 63
Syarat ketiga dan keempat pasal 1320 BW disebut syarat objektif, karena mengenai

sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.

Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu

pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka hakim, dan hakim

menyatakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif.

You might also like