You are on page 1of 60

BAB I

PENDAHULUAN dan GAMBARAN UMUM

PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya kami telah berhasil
menyelesaikan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di Papua pada lima kabupaten, yakni Jayapura ,
Biak, Manokwari, Jayawijaya dan Merauke. Penelitian dimaksud untuk melakukan pemetaan terhadap pelaku, motif, dan
modus dari konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama kurun waktu 1995 – 2001.
Penelitian ini berangkat dari 3 pertanyaan pokok. Pertama siapa, kedua motifnya apa dan ketiga modus yang
digunakan dari jawaban ini dapat dijabarkan lebih lanjut mengenai variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik
pelanggaran HAM, mengetahui potensi konflik dan perspektif ke depan untuk membangun Papua baru yang lebih adil
dan demokratis.

A. Maksud dan Tujuan Penelitian


 Untuk memperoleh data yang obyektif mengani motif dan pelanggaran HAM .
 Untuk mengetahui jenis-jenis pelanggaran HAM
 Untuk mengetahui variable dominan penyebab terjadinya Pelanggaran HAM
 Untuk memberikan masukan kepada semua pihak mengenai potensi potensi sumber konflik yang
menyebabkan terjadinya Pelanggaran HAM.
 Untuk menggagas model penguatan akses masyarakat dalam rangka mencegah konflik Pelanggran HAM.

Penelitian ini menghasilkan pemetaan dari tujuan tersebut di atas sehingga bukan untuk menunjukkan siapa yang
salah dan siapa yang benar karena hal tersebut merupakan kewenangan yuridiksi dari lembaga peradilan. Oleh
karena itu, maka menjadi sangatlah penting membawa kasus–kasus tersebut ke proses hukum melalui mekanisme
hukum yang adil dan benar – memproses semua pihak yang terlibat secara transparan dan jujur. Dengan demikian,
ada pertanggungjawaban hukum dari semua pihak.

B. Target Yang diharapkan


Teridentifikasinya : Modus, Motif, Pelaku dan Jenis-jenis Pelanggaran HAM selama kurun waktu 1995-2001 pada 5
(lima) daerah penelitian.

C. Methode Penelitian
Jenis penelitian bersifat eksploratif dan deskriptif dengan sasaran penelitian melalui pendekatan proposional dan
representatif .Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empirik : Observasi dan wawancara.
Tehnik pengelolaan data dilakukan dengan : Editing, coding dan Tabulasi. Sedangkan tehnik analisa data melalui
Kualitatif dan Kuantitatif.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, data diperoleh dari dokumentasi tertulis baik berupa
buku, majalah, koran, serta dokumen-dokumen yang tidak diterbitkan (untuk kalangan terbatas). Selain itu data juga
diperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus serta diskusi kritis dengan pakar / tokoh
informan yang diwawancarai yang merupakan representasi dari masyarakat, yakni tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat, tokoh perempuan, LSM, aktifis HAM, jurnalis, Pemerintah, Militer, Cendikiawan dan kelompok sipil
bersenjata.
Secara tehnis, tahapan pemetaan ini dilakukan sebagai berikut :
Tahap I : Penelitian diawali dengan Training methodelogi selama 2 hari
Tahap II : Penelitian ke masing-masing daerah selama 70 hari
Tahap III : Perumusan hasil penelitian selama 15 hari
Tahap IV : Presentase hasil penelitian / daerah selama 5 hari
Tahap V : Perbaikan hasil penelitian selama 10 hari
Tahap VI : Diskusi terfokus bersama pakar selama 4 hari
Tahap VII : Perbaikan dan persiapan seminar selama 14 hari
Tahap VIII : Seminar selama 1 hari
Tahap IX : Perbaikan hasil secara keseluruhan / final selama 14 hari.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 1


D. Lokasi Penelitian
Ketika menentukan 5 lokasi daerah penelitian tentang Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM, nampaknya
sangat sulit dipilih secara acak, disebabkan setiap daerah di Papua berpotensi konflik yang dapat mengakibatkan
terjadi Pelanggaran HAM. Karenanya kami mencoba memilih dengan mempertimbangan alasan geografis : Utara –
Selatan, Laut – gunung, dalam dan perbatasan, sehingga menghasilkan 5 lokasi dari 5 lokasi tersebut kami
mengadakan penelitian pada Kecamatan, Kelurahan/desa dengan pertimbangan geografis (jumlah kecamatan dan
kelurahan/desa), demografis (heterogenitas penduduk) dan kecenderungan konflik yang terjadi berdasarkan data
awal yang kami himpun .
 Kabupaten/Kodya Jayapura dengan wilayah yang sangat luas karena meliputi 2 wilayah admintsrasi terdiri atas
24 kecamatan 6 Kelurahan dan 225 Desa. Maka penelitian dilakukan pada 11 Kecamatan dan 22
Kelurahan/Desa.
1. Kec. Demta : Desa Muris kecil
Desa Ambora
2. Kec. Genyem : Kel.Pobaim
Kel.Tabri
Desa Besum
Desa Karya Bumi
3. Kec. Kemtuk Gresi : Desa Sabron Samon
4. Kec. Sentani : Kel. Inakombe
Kel. Sentani Kota
5. Kec. Abepura : Kel. Hedam
Kel. Asano
6. Kec. Jayapura : Jayapura Kota
7. Kec. Sarmi : Kel. Sarmi Kota
Kel. Mararena
8. Kec. Tor Atas : Desa Samanente
Desa Safron
9. Kec. Pantai Timur : Betaf
Kuefa
10. Kec. Bonggo : SP VII
SP VIII
11. Kec.Arso : Arso Kota
Arso PIR IV

 Kabupaten Biak Numfor


Secara adminstrasi Biak Numfor membawahi 12 Kecamatan 11 kelurahan dan 142 Desa. Maka penelitian
dilakukan pada 5 Kecamatan dan 26 kelurahan/desa.
1. Kec. Biak Selatan : Kel. Waufnor
Kel. Burokup
Desa Sumberker
Desa Ambroben
Desa Mandala
2. Kec. Biak Timur : Desa Mnurwar
Desa Wonigi
Desa Angraidi
Desa Oswer
3. Kec. Biak Utara : Desa Andey
Desa Korem
Desa Keruboi
Desa Warsa
4. Kec. Biak Barat : Desa Sopen - Desa Krisdori
Desa Sarwa - Desa Wardo
Desa Farusi Adadikam - Desa Kafdadi
Desa Wari - Desa Wafendori
5. Kec. Supiori Selatan : Desa Mansram
Desa Bu Busdon
Desa Misarway
Desa Amingweri

Pendahuluan dan Gambaran Umum 2


 Kabupaten Manokwari
Terdiri dari 17 Kecamatan 11 kelurahan dan 557 desa.
Lokasi penelitian pada 4 Kecamatan dan 24 Kelurahan/desa :
1. Kec. Manokwari : Kel. Fanindi
Kel. Sanggeng
Kel. Kwawi
Kel. Pasir Putih
Kel. Amban
2. Kec. Wasior : Kel/desa Mandomawi 1
Kel/Desa Mandomawi 2
Desa Kebouw
Desa Wondiboi
Desa Isuy
Desa Ramiki
Desa Rasey
Desa Tandia
Desa Sanderawaoy
Desa Wasior Kota
3. Kec.Babo : Kel/Desa Babo
Desa Tafoi
Desa Tanah Merah
Desa Plasma
4. Kec. Bintuni : Kel/Desa Bintuni
SP II
SP IV
Kilo II

 Kabupaten Merauke .
Terdiri dari 23 Kecamatan 512 desa, 9 kelurahan dan 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.
Lokasi penelitian berlangsung pada 9 Kecamatan 27 kelurahan / desa.
1. Kec. Merauke : Kel. Mandala
Kel. Maro
Kel. Bambu Pemali
Kel. Rimba Jaya
Kel. Kelapa Lima
Desa Sota
2. Kec. Citak Mitak : Desa Senggo
Desa Tamanim
3. Kec. Suator : Kota Kecamatan Suator
4. Kec. Atsy : Desa Atsy
Desa Yasiu
5. Kec. Assue : Desa Eci
Desa Asgon
6. Kec. Kimaam : Desa Kimaam ( kota Kecamatan)
Desa Wogekel (Wanam Camp)
Desa Kiworo
7. Kec. Mandobo : Desa Maju ( kota Kecamatan )
Desa Persatuan
Desa Perjuangan
Desa Mawan
8. Kec. Jair : Desa Gententiri
Desa Asiki
9. Kec. Kurik : Desa Kurik I
Desa Ivimahad
Desa Kurik V

Pendahuluan dan Gambaran Umum 3


 Kabupaten Jayawijaya
Terdiri dari 28 Kecamatan – baru dimekarkan dari 12. Jumlah kelurahan/desa yang semula 269 menjadi 678
sedangkan kelurahan tidak mengalami perubahan yakni 5.
Adapun lokasi penelitian pada 7 Kecamatan dan 24 kelurahan/desa.
1. Kec. Wamena : Kel. Wamena Kota
Desa Assolokobal
Desa Wouma
Desa Wesaput
2. Kec.Bokondini : Kel.Bokondini
Desa Bilubaga
3. Kec. Kelila : Desa Kelila
Desa Timeria
3. Kec. Tiom : Kel.Bokon
Desa Nggolo ( sekarang masuk kec.Pirime)
4. Kec. Oksibil : Desa Bulankop
Desa Kutdol
Desa Yapimaket
5. Kec. Kiwirok : Desa Kukihil
Desa Kiwi
Desa Kubipkop
6. Kec. Mapnduma : Desa Mpenduma
Desa Nolak
Desa Alama
Desa Huarem
Desa Yenggelo
Desa Jigi
Desa Geseleima
Desa Mbua

Dari hasil temuan di lapangan kami menemukan banyak sekali kasus “pelanggaran HAM” akan tetapi sebagai
acuan kami berpangkal pada defenisi pelanggaran HAM yang tertuang dalam UU NO 39 / 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Bab I : Ketentuan Umum pasal 1 : 6
“Pelanggaran adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku’……”

Kalimat “…..tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku….” Menunjukkan indikasi bahwa adanya unsur ( baca : peran)
negara dalam setiap bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi baik karena :
Pertama, kejahatan yang langsung dilakukan (violence by action).
Kedua, karena peraturan (violence by judicial) seperti banyak kasus yang terjadi akibat kebijakan tentang
pengibaran bendera bintang Fajar oleh Gus Dur, perijinan HPH dan sejenisnya.
Ketiga, karena proses pembiaran yang dilakukan oleh negara seperti pertikaian antar kelompok masyarakat akibat
persoalan-persoalan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas sedangkan negara mempunyai tanggungjawab.
Serta perbuatan yang ditimbulkan membawa akibat yang lebih luas bukan saja kepada pelaku dan korban langsung
tetapi juga kepada masyarakat. Karena itu ada 2 indicator penting yang kami pakai dalam meneliti kasus adalah :
peran atau keterlibatan dari negara dan akibat dari peristiwa yang terjadi terhadap masyarakat yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dari peristiwa tersebut.
Untuk periode tahun kami mengambil kurun waktu 1995 s/d 2001 hal ini diharapkan agar dapat mengetahui
kecenderungan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum era reformasi dan setelah era reformasi..Terbukti
bahwa setelah reformasi maka kasus dengan motif politik cenderung meningkat, kategori pelaku bertambah dan
juga meningkatnya wilayah konflik dengan kekerasan bersenjata. Hal ini bisa saja disebabkan karena : Reformasi
ditafsirkan sebagai alat pembenaran untuk mewujudkan kebebasan total dalam segala aspek kehidupan bagi siapa
saja sehingga ada “pemaafan“ yang akan diberikan jika orang bertindak mengabaikan hak-hak orang lain mengingat
sudah puluhan tahun sebelumnya rakyat dipaksa untuk bungkam melalui oleh Orde Baru
Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa tingginya intensitas “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat
Papua akhir-akhir ini – terutama setelah reformasi 1998 – dikarenakan munculnya kesadaran kolektif akan proses
hukum dari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, ketidakadilan pemerintah dan pihak perusahaan serta tindak

Pendahuluan dan Gambaran Umum 4


kekerasan TNI/POLRI. Karena belum adanya persamaan pandangan terhadap hal tersebut maka terjadilah konflik
yang senantiasa menyebabkan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia atau yang biasa disingkat dengan
Pelanggaran HAM di Papua.
Sesungguhnya secara riil adalah sangat sulit untuk memisahkan kasus perkasus secara jelas dan berdiri sendiri
karena ada banyak kasus yang terjadi akibat atau menyusul peristiwa sebelumnya dalam waktu yang relatif sangat
singkat. Sehingga hal tersebut pula yang menghasilkan bahwa terkadang sumber konflik / motif tidak dapat berdiri
sendiri Selain itu dengan membatasi tahun penelitian 1995 – 2001 rasanya juga kurang “ fair” karena banyak kasus
yang saling berkaitan diluar kurun waktu tersebut. Terutama kasus yang berkaitan dengan proses hukum dari
sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Akan tetapi selama periode 1995-2001 kami menemukan 74 kasus dengan
variasi 87 sumber konflik dari tiga motif utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya.
Penelitian dengan dasar kwalitatif ini mencoba juga merumuskan hasil berupa data kwantitatif – sebagai fungsi
pemetaan – yang dapat dilihat melalui motif, modus, pelaku, korban, aspek geografis – teritorial bahkan juga
perubahan/pergeseran motif, perubahan modus, pertambahan pelaku dan meluasnya jenis korban akibat konflik
pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tahun 1995 – 2001.
Ucapan terima kasih disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada masyarakat terutama
yang berada di lokasi penelitian : Jayapura, Manokwari, Biak, Merauke dan Jayawijaya, pemerintah, pihak
TNI/POLRI, teman-teman LSM, para jurnalis serta semua pihak yang telah membantu kami – baik dengan informasi
lisan maupun tertulis.
Terima kasih yang sama kami sampaikan pula kepada pihak USAID – CSSP atas kerjasama yang diberikan.
Disadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak yang harus diperbaiki, diperkaya dan disempurnakan sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari upaya mencegah terjadinya pelanggaran HAM di tanah Papua karena kesadaran
akan adanya suatu “ketidakadilan”. Di saat kita mulai setuju dengan pendapat di atas maka kita selangkah lebih
maju dalam kesadaran kemanusiaan kita sendiri. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan dan untuk itu
didahulukan penyampaian terima kasih.

1-3GAMBARAN UMUM

Pendahuluan dan Gambaran Umum 5


I. Kabupaten Jayapura
A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Jayapura berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
 Bagian Utara berbatasan dengan samudera Pasifik, berada pada 10 27’ LS.
 Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, berada pada 30 49’ LS.
 Bagian Barat berbatasan dengan Kab. Yapen Waropen dan Paniai, berada pada
137 27’ BT.
0

 Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 1410 BT.
B. Luas Wilayah
Berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura, bahwa luas wilayah Kabupaten Jayapura
adalah 61.493 Km2 .
C. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Kabupaten Jayapura pada tahun 2000 yaitu 155.439 jiwa dengan perincian, jumlah laki-laki adalah 82.821 jiwa
serta perempuan 72.618 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura bahwa untuk sumber daya alam
khususnya migas tidak terdapat di Kabupaten Jayapura, sedangkan sumber daya alam dari non migas misalnya di
daerah Arso merupakan daerah perkebunan kelapa sawit dan juga sebagai pusat pertanian di samping Kecamatan
Kemtuk Gresi dan Kecamatan Nimboran, sedangkan hasil hutan ada pada kecamatan Demta
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Kabupaten Jayapura mempunyai 24 Kecamatan dengan perincian 6 kelurahan dan 225 desa.

II. Kabupaten Biak Numfor


A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Biak Numfor berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
 Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 0,550 LS.
 Bagian Selatan berbatasan dengan selat Yapen, berada pada 1,36 LS
 Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Manokwari, berada pada 1340 47’ BT.
 Bagian Timur berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 1360 BT.
B. Jumlah Penduduk
Secara kuantitas, data kepadatan penduduk Kabupaten Biak Numfor, berdasarkan data di Badan Pusat Statistik
hingga tahun 2000, adalah sebanyak 115.958 jiwa. Dengan angka rata-rata kepadatan penduduk per-desanya
sebesar 37,05%.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya alam yang terdapat di Kabupaten Biak Numfor, memang tergolong minus karena tidak
terdapat hasil bumi seperti kandungan migas. Yang ada hanya non-migas berupa kawasan samudara pasifik
yang di dalamnya menghidupkan biota laut yang sangat endemic, mulai dari jenis ikan lautnya yang beragam
dan terumbu karangnya yang unik. Sehingga potensi ini merupakan objek parawisata yang andalan Kabupaten
Biak Numfor khususnya dan Provinsi Papua secara umum.
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Secara administratif, Kabupaten Biak Numfor membawahi 12 Kecamatan, yaitu Kecamatan Biak Kota,
Kecamatan Samofa, Kecamatan Yendidori, Kecamatan Biak timur, Kecamatan Padaido, Kecamatan Biak Barat,
kecamatan Biak Utara, Kecamatan Warsa, Kecamatan Supiori Utara, Kecamat Supiori Selatan, Kecamatan
Numfor Timur dan Kecamatan Numfor Barat. Yang kesemuanya itu, membawahi langsung 11 kelurahan dan
142 desa.

III. Kabupaten Manokwari


A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Manokwari berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
 Bagian Utara berbatasan dengan laut Pasifik, berada pada 00, 35’ LS
 Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Fakfak, berada pada 30, 25’ LS
 Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Sorong, berada pada 1320, 35’ BT
 Bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Biak Numfor, berada pada 1340, 45 BT

Pendahuluan dan Gambaran Umum 6


B. Luas Wilayah
Kabupaten Manokwari memiliki luas wilayah 37.901 Km².
C. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data yang ada pada Pemerintah Daerah, sampai tahun 2002, Kabupaten Manokwari memiliki jumlah
penduduk 201.080 jiwa.
D. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Terdiri atas 17 Kecamatan yang membawahi 11 Kelurahan dan 557 desa.

IV. Kabupaten Merauke


A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Merauke berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya dan berada pada 137º BT.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, berada pada 141º BT.
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mimika dan berada pada 5º LS.
 Sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea dan berada pada 9º LS.
B. Luas Wilayah
Kabupaten Merauke merupakan wilayah tertimur di Indonesia. Kabupaten Merauke yang berada pada
ketinggian 3,5 meter di atas permukaan laut mempunyai luas wilayah 119.749 Km2 atau 28,87% dari luas
propinsi Papua. Bentangan jarak terjauh adalah dari Utara ke Selatan, yaitu sejauh 445 Km. Kecamatan
Kimaam merupakan daerah terluas, yakni 14.357 Km2 atau 11, 99 %, sedangkan Kecamatan Citak Mitak adalah
wilayah terkecil, yaitu 491 Km2 atau 0,41 % dari total luas Kabupaten Merauke.
C. Jumah Penduduk
Berdasarkan hasil registrasi penduduk Badan Pusat Statistik, pada pertengahan tahun 2000, jumlah penduduk
Kabupaten Merauke adalah 304.996 jiwa, yang terdiri dari 157.667 laki-laki dan 147.329 perempuan. Dengan
jumlah tersebut, berarti Kabupaten Merauke memiliki Kepadatan penduduk yang mencapai 2,55 / Km2. Dari
jumlah penduduk tersebut, Kecamatan Merauke merupakan daerah kosentrasi penduduk dengan jumlah 85.400
jiwa, serta yang terkecil adalah di Kecamatan Waropko, dengan jumlah penduduk 3.097 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Kondisi wilayah Kabupaten Merauke yang terdiri dari dataran rendah yang sangat luas dan subur, sangat tepat
untuk menjadikan Kabupaten Merauke sebagai daerah Lumbung Padi Nasional, yang pada tahun 2000 lalu
berhasil memanen 61.773 ton beras. Selain itu, keterbukaan hidrologis dan luasnya tumbuhan bakau pada
pesisir pantai dan sepanjang daerah aliran sungai di sebagian besar daerah Kabupaten Merauke menunjukan
betapa potensialnya habitat fauna air seperti, ikan dan udang, yang tahun 2000 lalu berhasil mengekspor tidak
kurang dari 50.000 ton ikan dan udang. Juga hasil hutan, selain jenis kayu gaharu yang memiliki nilai ekonomi
sangat tinggi, dengan hamparan hutan yang sangat luas, Kabupaten Merauke telah berhasil mengekspor tidak
kurang dari 140.000 M3 pada tahun 2000.
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Secara administratif, setelah dimekarkan, Kabupaten Merauke memiliki 23 kecamatan dengan 512 desa, dan 9
kelurahan serta 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.

V. Kabupaten Jayawijaya
A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Jayawijaya berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
 Bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, berada pada 03º 20’ LS.
 Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merauke dan Mimika, berada pada 05º 12’ LS.
 Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Puncak Jaya dan Paniai, berada pada 137º 19’ BT.
 Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 141º 00’ BT.
B. Luas Wilayah
Wilayah Kabupaten Jayawijaya memiliki luas 52.916 Km2 dengan jarak dari Barat ke Timur sepanjang 339 km
dan dari Utara ke Selatan 209 km.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 7


C. Jumah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya hingga terakhir ( data tahun 2000 ) berjumlah sebanyak 434.036 jiwa,
yang terdiri dari Laki-laki 221. 477 jiwa dan Perempuan 212. 559 jiwa. Berdasarkan persentase, maka
penduduk laki-laki 51,03 % sedangkan perempuan adalah 48,97 % dari jumlah penduduk kabupaten
Jayawijaya. Dimana penduduk terbanyak di Kecamatan Anggruk sebanyak 50.917 jiwa dan yang tersedikit di
kecamatan Iwur sebanyak 4.476 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data dari BP3D, bahwa Kabupaten Jayawijaya memiliki kekayaan sumber daya alam seperti
Tembaga, Besi, Khrom, Aluminium, Emas dan Minyak bumi. Akan tetapi belum dikelola. Hasil hutan juga tidak
kalah potensialnya sebagai sumber daya alam yg dapat diperbaharui.
Kondisi kesuburan tanah dengan iklim pegunungan sangat mendukung pertumbuhan sayur-mayur hidup
dengan subur. Di Kabupaten Jayawijaya juga banyak mengalir sungai dengan arusnya yang deras. Ini sangat
sesuai bila digunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA ).
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Setelah pemekaran daerah Kabupaten Jayawijaya yang dulunya hanya mempunyai 12 telah menjadi 28
kecamatan. Jumlah desa yang awalnya berjumlah 269 menjadi 678 buah. Sedangkan Kelurahan tidak
mengalami perubahan, yaitu 5 kelurahan.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 8


BAB II
WAJAH PELANGGARAN HAM

KABUPATEN / KOTA JAYAPURA

A. Kecamatan Demta
1. 1999
 Pemalangan Log Pound PT. Youliem Sari
Pada tahun 1983 penandatanganan HPH dilakukan di Jakarta antara pihak Pemerintah Pusat dan pihak
pemilik HPH. PT. Youliem Sari, tanpa melibatkan masyarakat dalam kesepakatan yang dilakukan.
Setahun kemudian 1984, PT. Youliem Sari untuk pertama kalinya membuka base camp di demta dan mulai
melakukan pengoperasian dengan penebangan hutan tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik hak
ulayat. Hal ini terus berlangsung selama 5 tahun, yaitu 1988 tindakan tersebut mengundang pertanyaan
dan tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat agar pihak perusahan memberikan ganti rugi atas hak ulayat
yang digunakan oleh perusahaan. Tuntutan tersebut oleh pihak PT. Youliem Sari berjanji akan membayar
kepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar Rp.150,0 per meter dari 10.000 Ha yang digunakan oleh
perusahaan dan berjanji kepada masyarakat pemilik akan membuka sekolah, memberikan bea siswa bagi
para anak didik, membuka sarana kesehatan/ Puskesmas, membangun rumah bagi masyarakat,
memasukkan listrik dan air bersih. Kesepakatan tersebut tidak terealisasi satupun sebagaimana yang
dijanjikan hingga tahun 1989, pihak masyarakat kembali menuntut agar memperhatikan kesepakatan yang
pernah dibuat setahun sebelumnya. Sehingga ketika itu juga dilakukan penandatanganan ulang tentang
janji-janji antara kedua belah pihak.
Pada Tahun 1997 mengirim surat ke Gubernur Papua menuntut PT. Youliem Sari dan meminta gubernur
mengeluarkan rekomendasi ganti rugi sesuai dengan perjanjian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 1998 (5/12) penandatanganan perjanjian perusahaan untuk ganti rugi sebesar Rp. 400 juta.
Pada Tahun 1999 (14/9) pihak masyarakat dan PT. Youliem Sari menandatangani perjanjian untuk
membuka pemalangan yang dilakukan masyarakat untuk pengoperasian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 2000, masyarakat melakukan demonstrasi ke DPRD Propinsi Papua dan Polda Papua,
menuntut PT. Youliem Sari memberikan ganti rugi atas selama kurang lebih 10 tahun.
2. 2000
 Kesewenangan yang dilakukan oleh TNI Pasukan Non Organik
Show force yang dilakukan oleh pasukan non organik (Kopasus, Marinir), maksud dari show force di sini
yaitu bahwa mereka melakukan aksi dengan membunyikan senjata yang diarahkan ke atas, aksi mereka
dilanjutkan dengan melakukan tindakan intimidasi.

B. Kecamatan Nimboran
1. 1996
 Sengketa Tanah Pada Lokasi Transmigrasi (1996)
Besum ditetapkan sebagai wilayah/daerah transmigrasi pada tahun 1980-an. Semenjak itu pula perlawanan
rakyat terhadap kebijakan pemerintah tiap tahun tetap ada, alasanya bahwa pada saat Besum dibuka
sebagai wilayah tarnsmigrasi, Pemerintah belum pernah menyelesaikan persoalan penggantian pemakaian
tanah adat untuk mendatangkan warga trans pada 14 suku yang mempunyai tanah di Besum juga
disebabkan bahwa ada perbedaan antara 14 suku tadi dalam hal menyangkut prosedur pelepasan tanah
adat akibatnya bahwa para tuan tanah mempersengketakan tanah tersebut pada tahun 1996 yang dimana
para warga trans akhirnya tidak bisa menggarap lahan sebesar 300 dan 600 hektar. Dari akumulasi
berbagai macam persoalan dan kekecewaan tersebut akhirnya masyarakat adat dan warga Trans
menghadap Pemerintah tapi dari hasil dari pertemuan tersebut tidak ditanggapi dan hanya dijanjikan bahwa
mereka (Pemerintah) akan segera menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di Besum, yang pada
akhirnya sampai sekarang belum ada realisasi dari janji Pemerintah.
2. 1998
 Kesewenangan Brimob Terhadap Massa Pengibar Bendera Bintang Kejora
Pengibaran Bendera Bintang Kejora terjadi pada bulan 1 Juli 1998 tepatnya di Kota Kecamatan Nimboran
(Genyem). Aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut membuat Camat, Kapolsek Nimboran kaget.
Masyarakat menginginkan bahwa bendera naik pagi dan turun pada sore harinya. Pada proses selanjutnya
terjadi dialog antara masyarakat, Bupati, Camat Nimboran, Kapolsek Nimboran, Kapolres Jayapura dan
Dandim Jayapura. Dialog tersebut berlangsung di ruangan Kapolres Jayapura.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 9


Hasil dialog pihak Polres Jayapura menginginkan mereka yang terlibat dalam aksi pengibaran Bendera
harus ditahan, tetapi Camat serta Kapolsek Nimboran menginginkan bahwa mereka jangan ditahan dan
ditangkap dan mereka(Camat, Kapolsek Nimboran dan tokoh masyarakat) siap menjadi jaminan dan bisa
dipanggil sewaktu-waktu kalau ada surat panggilan, akhirnya mereka tidak jadi ditahan. Keesokan harinya
Brimob turun ke Kota Kecamatan dengan melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap
masyarakat yang terlibat dalam aksi pengibaran Bemdera Bintang Kejora. Sampai akhirnya mereka
ditangkap dalam dilepas dalam beberapa bulan.
3. 1999
 Pencaplokan Tanah Masyarakat
Kasus ini bermula ketika Pdt Andreas Ayomi selaku Ketua Wilayah Gereja XIX Irian Jaya meminta kepada
warga Nimboran dengan sukarela agar memberikan tanah seluas 6 Hektar untuk berkebun.. Tidak lama
kemudian Pdt Andreas Ayomi menjual tanah tersebut kepada Pihak Yasuka dengan luas Tanah melebihi 6
Hektar (57, 96 H) Atas dasar itulah Pihak Yasuka mengklaim bahwa tanah yang mereka miliki sebesar
57,96 Hektar dari hasil pembelian dengan Pdt Andreas Ayomi. Hal inilah yang mejadi awal konflik antara
Adam Tanggarang (pemilik tanah) dengan Pihak Yasuka. Adam Tanggarang selaku pemilik hak atas tanah
tersebut tidak menerima sehingga melakukan perlawanan atas tindakan yang dilakukan oleh Pihak Yasuka.
Atas tuntutan masyarakat, dalam hal ini keluarga Adam Tanggarang, Maka pihak Yasuka melakukan
tindakan hukum yaitu dengan memperkarakan masalah tanah tersebut di Pengadilan Negeri pada Tanggal
4 Juni 1999. Selain itu pihak Yasuka mempertahankan tanah yang mereka tempati sekarang dengan
memakai Kepolisian dari Kesatuan Brimob Jayapura. Dalam kejadian tersebut pihak Yasuka
mendatangkan satu Kompi Brimob untuk mengambil/menangkap pemilik tanah, selain itu mereka
membongkar rumah milik masyarakat dan memukul salah seorang pemuda bernama Decky Sewar, satu
hal yang perlu kami kemukakan bahwa Pihak Polres Jayapura sudah menerima suap. Setelah Pihak
Yasuka memperkarakan kasus tersebut di Pengadilan Negeri Jayapura , maka pihak Keluarga Adam
Tanggarang membawa bukti yang lengkap serta saksi, akhirnya dalam persidangan tersebut pihak Yasuka
Kalah dan hak atas tanah dikembalikan kepada keluarga Adam Tanggarang. Menyangkut putusan dari
Pengadilan Negeri dibacakan pada tanggal 19 Juni 2000.
Di sisi lain bahwa dalam kasus Yasuka sempat terjadi perkelahian antar dua kubu di Pengadilan Negeri
Jayapura. Awalnya hanya bersitegang, tapi tiba-tiba masyarakat (pemuda) mengurung mobil yang
dikendarai Pdt Andreas Ayomi pada pukul 10.30 WP. Akibat kejadian yang mereka alami bahwa pihak
korban sudah melaporkan kejadian ke Polres Jayapura, tetapi pihak Polres tidak respon/ menanggapi surat
yang kami layangkan. Penembakan dan penyisiran terhadap masyarakat dengan memakai stigma
separatis, ternyata dari kasus di atas ada terkesan permainan/rekayasa yang dilakukan oleh pihak
keamanan agar kasus ini tidak terungkap secara jelas dan transparan.

C. Kecamatan Kemtuk Gresi


1. 1999
 Perilaku Kesewenangan Aparat Militer
Tanggal 7 juni 1999 adalah pesta Demokrasi Bangsa Indonesia, dimana setiap masyarakat Indonesia ikut
memberikan hak suaranya dalam pemilu 1999. Suasana ini kemudian dikejutkan dengan peristiwa
penembakan aparat TNI dari Kesatuan 515 Ugratama Yudha bernama Hadi Pryitno terhadap korban Robby
Yauw. Berikut ini kronologis singkat dari peristiwa tersebut seperti yang diceritakan oleh keluarga korban :
Waktu itu tanggal 7 Juni 1999 Robby Yauw yang adalah seorang pelajar SMU di Sentani ikut memberikan
hak suaranya di TPS Desa Besum. Setelah itu di Desa Besum Robby bersama sopir Yohannis Tanditullah
dan kondekur Yan Frits Tayume menggunakan mobil pick up mengantar kulkas untuk di service di Sentani.
Dalam perjalanan ke Sentani, tepat di Desa Sabron Samon dua orang anggota TNI menghentikan mobil
tersebut, tetapi karena jalan tersebut bertanjakan dan tikungannya cukup tajam juga karena rem yang
kurang berfungsi baik, maka sopir berusaha berhenti pada jarak tertentu untuk posisi parkir yang baik.
Ternyata tiba-tiba terdengar bunyi tembakan rentetan kearah mobil dan langsung mengenai sasaran
korban Roby yauw di bagaian jantung mengakibatkan korban meninggal seketika itu juga.
Atas peristiwa tersebut masyarakat marah dan mulai melakukan protes. Pada peristiwa tersebut
masyarakat melakukan aksi dengan mengusung mayat Robby sambil berjalan kaki ke Pos Boroway dan
sampai ke DPRD Propinsi Papua, selain itu atas kejadian tersebut membawa dampak hingga ke Sentani
masyarakat pada saat itu membakar ban-ban mobil dan mengambirkan pasir ditengah-tengah depan
Rumah Bpk Theys Elluay,aksi berlanjut dengan meminta kepada pihak yang berwajib agar pelaku
penembakan diproses secara hukum dan meminta agar jenazah Robby dimakamkan di Depan Koramil
Kecamatan Nimboran, dan akhirnya lewat kesepakatan antara masyarakat dengan Pangdam Trikora Amir
Sembiring dan Ketua DPRD Propinsi Papua N. Kaiway yang akhirnya disepakati bahwa TNI akan
mengganti segala kerugian yg dialami oleh pihak korban kemudian meminta maf atas kejadian tersebut dan
jenazah Robby boleh dimakamkan di Koramil Nimboran tepatnya di bawah papan 8 Sapta Marga TNI
sebagai bukti pelanggaran HAM.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 10


D. Kecamatan Sentani
1. 2000
 Kasus Pembakaran Pasar Sentani (Juli)
Awal mula terjadinya pembakaran Pasar Sentani bermula adanya peristiwa pembunuhan terhadap korban
yang bernama Palo yang terjadi di Tanjung Elmo Sentani yang dilakukan oleh seorang warga yang tidak
diketahui namanya. Oleh pihak keluarga Palo yang berasal dari kampung Ifale mendesak agar pihak aparat
Polsek Sentani agar segera menangkap pelaku pembunuhan yang dicurigai masyarakat Kampung Ifale
sengaja disembunyikan oleh warga disekitar Pasar Sentani. Namun keterlambatan aparat kepolisian
(Polsek Sentani) dalam menangani peristiwa tsb, maka kembali lagi terjadi pembunuhan dan pembalasan
oleh warga masyarakat terhadap salah seorang warga pasar Berinisial A. Peristiwa ini kemudian memicu
kemarahan warga pasar Sentani dan terjadi bentrok antar warga menyebabkan salah seorang warga
masyarakat Kampung Kehiran berinisial CW di bunuh di pasar Sentani , kemudian pasar sentani semakin
tegang.
Tanggal 8 Juni 2000, tepatnya pukul 15.00 WP, kampung Kehiran dan kampung Yoboi dinformasikan
bahwa CW dibunuh oleh warga pasar Sentani, mendengar itu warga kampung Kehiran dan Yoboi dalam
jumlah ratusan orang berlari menuju pasar sentani dengan parang, panah, tombak dan alat tajam lainnya
untuk melakukan perlawanan dan melakukan pembakaran-pembakaran pasar Sentani dan rumah-rumah
warga pasar sentani.
Pada pukul 17.00 aparat keamanan dari kesatuan TNI 751 Sentani sebanyak 6 Truk dengan kekuatan
bersenjata otomatis melakukan penembakan kearah warga masyarakat. Dalam peristiwa ini seoarang
korban tertembak oleh aparat langsung mati ditempat. Dan korban DW tertembak dikaki kanan dan masih
hidup sampai saat ini. Menurut salah satu responden yg kami wawancarai bahwa kejadian pembakaran
Pasar Sentani tidak lepas dari peranan Pemerintah bahwa sebelum terjadinya peristiwa tersebut ada
beberapa indikasi keterlibatan pemerintah, diantaranya ada surat edaran dari Bupati Jayapura yang
mengatakan bahwa sebelum tgl 7 harus dikosongkan pemukiman Pasar Sentani, kemudian ada pertemuan
yang dilaksanakan di hotel Sentani tentang pemindahan Pasar Sentani. Dari kedua indikasi keterlibatan
Pemerintah maka jelaslah bahwa ini merupakan hasil rekayasa yang dilakukan oleh pemerintah agar para
warga pasar sentani pindah dengan alasan bahwa pasar tidak dipergunakan karena ada peristiwa
pembakaran pasar Sentani.Dampak dari peristiwa tsb yaitu korban nyawa dan cacat tubuh yang tertembak
oleh pihak aparat keamanan sedangkan kerugian materaial mencapai Rp 9,7 Milyard.
2. 2001
 Meninggalnya Ketua PDP, Theys H Elluay dan Pembakaran Aset Perekonomian
Hari Sabtu Tanggal 10 November 2001
Sekitar pukul 19.00 WIT, Theys Hiyo Eluay menuju markas Satgas Tribuana di Hamadi guna mengikuti
resepsi Hari Pahlawan atas undangan Komandan Satgas Tribuana. Sekembali dari resepsi, sekitar pukul
22.15 WIT, informasi via hand phone dari Aris Masoka, sopir Theys Hiyo Eluay, ke Ny. Yaneke Eluay,
mengatakan bahwa bapak Theys diculik oleh sekelompok Amber (Pendatang) yang berbadan tegap, dan
mobil dibawa lari oleh mereka.
Minggu Tanggal 11 November 2001, Pukul 12.30, istri Theys Hiyo Eluay, dengan didampingi kuasa hukum
beliau, melaporkan perihal tersebut ke Polda Papua. Tim Kepolisian yang melakukan upaya pencarian
sejak malam sebelumnya akhirnya berhasil menemukan Theys Hiyo Eluay bersama mobilnya di daerah
Koya Tengah dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Sedangkan sopir beliau tidak berada di tempat.
Kabar meninggalnya Theys H. Eluay telah menyulut kemarahan beberapa orang masyarakat Papua. Di
Sentani, aksi spontanitas mereka ekpresikan dengan membakar beberapa bangunan pertokoan dan
perkantoran. Akan tetapi aksi tidak meluas.
Setelah diotopsi di RSUD Jayapura, keesokan harinya jenazah disemayamkan di gedung DPRD Papua,
kemudian jenazah dengan diirngi puluhan ribu massa dibawa menuju ke kediaman almarhum di Sentani
pada tanggal 13 November. Suasana ketegangan sangat terasa di seluruh kota Jayapura.
Setelah disemayamkan di rumah duka, pada 17 November, jenazah dikebumikan di lapangan Sepak Bola
Sentani.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 11


E. Kecamatan Abepura
1. 1996
 Pembakaran Pasar Abepura (Maret)
Peristiwa pembakaran Pasar Abepura sebagai rentetan peristiwa di Sentani, Abepura dan Jayapura atas
wafatnya Tokoh Politik Papua Thomas Wanggai secara tidak wajar di LP Cipinang – Jakarta .
Berikut Kronologis Kasus yang dihimpun oleh Tim Peneliti Aliansi Demokrasi Untuk Papua (AlDP).
Tanggal 16 Maret 1996. Berita Kematian Thomas Wanggai sampai di keluarga Besar Wanggai di- Dok IX
Jayapura dan oleh Keluarga Besar Wanggai meminta agar Jenazah Thomas Wanggai dikirim ke Jayapura.
Tanggal 17 Maret 1996. Dilaksanakan rapat untuk membentuk Panitia penjemputan Jenazah Alm Thomas
Wanggai. Untuk mengkoordinir penjemputan ini dipercayakan Kepada para Mahasiswa sekaligus
pengarahan massa penjemputan.
Tanggal 18 Maret 1996. Pukul 07.00 s/d 09.30 WP : Massa Simpatisan Thomas Wanggai dari Jayapura,
Abepura & Sentani dengan menggunakan kenderaan maupun berjalan kaki ke Sentani bermaksud
menunggu dan sekaligus mengiringi jenasah dari Sentani sampai ke Jayapura.
a. Sentani
Pukul 10.00 WP : Jenasah tiba di Bandar Udara Sentani dengan menggunakan pesawat, setelah itu
jenasah diturunkan dari pesawat dan langsung dinaikkan di mobil jenasah. Di halaman bandar udara
penjagaan sangat ketat sekali, karena ribuan massa hadir untuk menjemput jenasah. Aparat
Keamanan menahan mobil dan meloloskan mobil jenasah tersebut melewati jalan Yabaso Sentani dan
keluar melalui pompa bensin dengan truk tentara yang dikawal ketat menuju Jayapura dengan melalui
Abepura. Massa simpatisan yang menjemput yang terdiri dari para Pelajar, Mahasiswa dan
masyarakat bersama-sama bergabung di Kampus Uncen
b. Abepura
Pukul 09.30 WP : Mobil Jenasah yang berisi peti mayat kosong dikawal oleh aparat TNI dan POLRI
tiba didepan Kampus Uncen langsung dihadang oleh para Mahasiswa dan bermaksud mengarahkan
jenasah ke Aula Kampus Uncen untuk penghormatan terakhir. Dengan perlahan mobil Ambulance
yang diduga membawa peti kosong mengambil haluan kanan dan ternyata diketahui oleh para
mahasiswa bahwa peti yang berada didalam mobil jenasah kosong.
Dalam situasi itu Truk Tentara yang membawa jenasah Thomas Wanggai berhasil melarikan jenasah
itu dan diikuti oleh mobil Ambulance dengan kecepatan tinggi. Karena penculik jenasah itu,
menyebabkan para mahasiswa marah dan terjadilah pelemparan dan pembakaran mobil, Taxi, Truk
dan motor roda dua di depan Kampus Uncen. Massapun melakukan long March dari Abepura menuju
Jayapura sambil melakukan pelemparan dan pembakaran-pembakaran sesampainya massa
simpatisan Thom Wanggai di Skyline. Mereka dihadang oleh pasukan Tentara dan Kepolisian agar
tidak sampai ke Jayapura. Akhirnya massa simpatisan Thom Wanggai kembali ke Abepura dan
bermaksud membakar Kantor Pengadilan Negeri. Kira-kira pukul 10.00 WP Aparat Kemanan
melepaskan tembakan untuk membubarkan massa.
Massa pun kemudian berpencar hingga ke Pasar dan melakukan pembakaran terhadap terhadap
Pasar Abepura, sehingga menyebabkan penikaman oleh warga sekitar Pasar Abepura terhadap 3
orang asal suku Wamena dalam keadaan luka parah sehingga dilarikan ke Rumah Sakit Dok II
Jayapura. Pada korban Jiwa , harta benda dan penangkapan sewenang-wenang oleh Aparat
Keamanan trehadap Massa simpatisan Thomas Wanggai.
2. 1998
 Uncen Berdarah
Peristiwa ini diawali oleh kegiatan mimbar bebas yang dilakukan oleh mahasiswa Uncen yang dikoordinir
langsung Senat Mahasiswa Universitas Cenderawasih pada hari Jumaat tanggal 03 Juli 1998, aksi tersebut
bertempat di depan Ruang Rektorat lama Kampus Uncen Abepura. Aksi itu pada intinya menuntut
diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, sebelum aksi mimbar bebas itu
dilaksanakan di Uncen terlebih dahulu mereka laksanakan di Kantor DPRD Propinsi Papua. Aksi mimbar
bebas ini dilaksanakan merupakan rangkaian dari kegiatan yang dilangsungkan sejak tanggal 01 Juli 1998.
Setelah beberapa hari melangsungkan Demonstrasi di Gedung DPRD maka para mahasiswa mengalihkan
kegiatan mereka di Kampus Uncen tanggal 03 Juli 1998. Kegiatan mimbar bebas itu sendiri dimulai pada
pukul 10.00 WP. Selama berlangsungnya aksi tersebut tidak ada tanda-tanda akan terjadi chaos semuanya
berjalan dengan tertib, aman dan damai, tapi tiba-tiba saja terjadi keributan tatkala ada anggota intel Polres
Jayapura duduk diatas pagar dan ini diketahui oleh para mahasiswa, mereka langsung memukul dan
menghajar intel tersebut sehingga mengakibatkan suasana menjadi kacau balau, oknum yang diduga intel
tersebut mengalami luka yang serius disamping itu senjata yang ia miliki dirampas. Tak lama kemudian
muncul mobil patroli dan langsung melepaskan tembakan dan mengejar para mahasiswa yang mengikuti
aksi mimbar bebas, akibatnya bahwa dari kejadian tersebut telah menelan korban Mahasiswa Fakultas
Hukum Semester IV yang bernama Steven Suripaty yang pada waktu itu tengah menyaksikan aksi mimbar

Pendahuluan dan Gambaran Umum 12


bebas. Steven Suripaty tertembak di Gedung PGSD-Uncen dengan mengalami luka yang serius, tembakan
peluru nyasar yang dilakukan oleh Militer mengenai kepala Steven Suripaty dan tergeletak tak berdaya,
disamping itu tembakan tersebut mengenai siswa SMP St Aquino yang bernama Monim pada bagian kaki.
Melihat Steven Suripaty tergeletak tak berdaya, seketika itu pula para Mahasiswa langsung membawanya
kerumah sakit Dok II Jayapura. Selama dirawat di RS Dok II penjagaan yang dilakukan oleh mahasiswa
sangat ketat sekali dan ekstra hati-hati. Akhirnya selama sempat dirawat Di Rumah Sakit kurang lebih 14
hari, Steven Suripaty meninggal dunia akibat tembakan yang mengenai dikepala. Mendengar kabar Steven
Suripaty Meninggal dunia maka seketika itu Uncen berkabung. Pasca Kematian Steven Suripaty pihak
Uncen langsung membentuk Tim Pencari Fakta yang beranggotakan dari unsur Dosen dan Mahasiswa
yang diketuai oleh Elly Lewerissa, SH, M.H. Hasil dari investigasi tersebut ada indikasi kuat bahwa institusi
TNI terlibat dengan berdasarkan fakta di lapangan yaitu berupa peluru , motif, modus serta keterangan dari
para saksi. Meskipun Tim Pencari Fakta telah bekerja secara optimal dan sudah merampungkan hasil
laporannya dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib tapi hingga kini belum ditindaklanjuti hasil
laporan tersebut.
3. 2000
 Konflik Etnik (November)
Konflik yang terjadi di pasar Abepura pada tanggal 14 November 2000 berawal dari 2 (dua) orang pemuda
Papua yang mabuk, masuk ke warung makan milik pendatang (makassar). Setelah selesai makan kedua
pemuda tadi tidak membayar. Oleh pemilik warung diminta untuk harus membayar, dan kedua pemuda tadi
“membayar” dengan pukulan kepada pemilik warung kejadian ini terjadi kurang lebih pukul 16.00 WP.
Akibat dari kejadian tersebut warga pemilik warung dan massa sekitarnya melakukan reaksi untuk
membalas perbuatan kedua pemuda tadi dan akhirnya meluas kepada seluruh warga penghuni pasar yang
kemudian melakukan reaksi tanpa melihat siapa pelakunya. Reaksi warga pribumi yang berjualan di pasar
menjadi sasaran dari warga pasar.
Warga pribumi yang berjualan berlarian untuk menyelamatkan diri sebagian besar kelompok tersebut
berlari dan berkumpul di sepanjang jalan depan toko Garuda dan kantor LBH-Papua. Pada saat itu terjadi
aksi pelemparan batu dari warga pribumi (yang dikejar) kepada warga pasar yang mengejar dengan
peralatan tajam.
Masyarakat disekitar tempat kejadian yang ingin mengetahui apa yang sedang terjadi (sebagian besar
warga pribumi) berkumpul bersama-sama dengan warga pribumi yang dikejar dari pasar. Akhirnya terjadi
kelompok-kelompok yaitu bagian atas (sepanjang jalan) bagian besar warga pribumi dan kelompok di pasar
bagian besar warga pendatang dan terjadilah baku serang antara warga pasar dan warga pribumi.
Warga pendatang yang menggunakan alat tajam, panah wayar, senjata rakitan dsb melakukan
penyerangan kepada warga pribumi dan masyarakat yang melihat kejadian dengan melepaskan panah
sehingga menyebabkan warga yang tidak tahu persoalan menjadi korban. Juga sebaliknya warga pribumi
dan masyarakat melakukan serangan balik dengan menggunakan batu, kayu dsb juga menyebabkan
korban dari warga pasar. melihat kondisi tersebut ada sebagian warga pribumi kemudian mengambil
tombak, panah dan parang untuk menyerang warga pasar namun niat tersebut bisa dihalangi oleh warga
disekitar tempat kejadian.
Ketika konflik terjadi sudah cukup lama (2 jam atau pukul 18.00 WP), kemudian 4 (empat) orang polisi
datang, namun masyarakat melempari mereka karena kejengkelan masyarakat atas keterlambatan polisi
dalam menyikapi keadaan. Akibat perlakuan massa ini, maka Petugas dari Polsek Abepura kembali ke
markasnya. Setelah itu kurang lebih 3 jam kemudian Polisi dar kesatuan Brimob (PHH) dengan peralatan
lengkap datang untuk mengamankan lokasi dan membuat batasan-batasan (garis demarkasi) bagi kedua
kubu yang bertikai. Anehnya, Brimob kemudian menghadang kelompok pribumi sementara kelompok
warga pasar tidak sehingga mereka bebas berkeliaran dengan membawa peralatan tajam.
Ketua KKSS Kota Jayapura - Salam Usman – setelah mengetahui adanya peristiwa tersebut segera datang
ke lokasi kejadian. Anehnya bahwa ada di antara massa yang menghadang maksud baik dari Ketua KkSS
tersebut. Sekelompok orang ini kemudian dicurigai oleh KKSS sebagai kelompok yang bukan sebagai
warga pasar Abepura. Karena bagaimanapun juga hampir semua warga pasar mengenal Bpk. Salam
Usman, paling tidak mengetahui peran dan fungsi KKSS.
Aparat terus berjaga-jaga di lokasi kejadian sampai hari keempat.. pada hari keempat, Aparat Keamanan
melakukan sweeping dan yang didapati hanya sebuah clurit dan sebuah badik.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 13


4. Penyerangan Polsek Abepura (Desember)
Pada 7 Desember 2000, sekitar pukul 01.30 sekelompok masa yang berjumlah kira-kira 15 orang
berpakaian celana pendek, kaos bola kaki, dan tanpa menggunakan sepatu atau sandal, memasuki
halaman mapolsek abepura. Kedatangan mereka di terima oleh petugas piket jaga Briptu Darmo secara
baik. Dua dari mereka mendekati meja piket, tiga orang ke ruang televiisi dan sepuluh orang bediri di pintu
gerbang. Setelah terjadi percakapan salah seorang yang mendekati meja piket dengan petugas langsung
mengayunkan senjata tajam berupa kapak untuk menyerang Briptu Darmo. Begitu juga terhadap Bripka
Yoyok Sugiarto. Sementara itu hampir dalam waktu yang bersamaan tiga orang yang berada di ruang
televisi menyerang Bripka Mesak Kareni dengan parang dan kapak. Sepuluh orang yang berada di
halaman menyerang Brigpol Petrus Epaa. Akibat penyerangan tersebut mengakibatkan Brigpol Petrus
Epaa tewas, sedangkan Bripka Darmo, Bripka Mesak Kareni dan Bripka Yoyok Sugiarto, mengalami luka-
luka. Selain itu massa yang masuk juga mengambil sepucuk senjata jenis Mouser milik Polsek. Massa
kemudian berpencar di sekitar lingkaran Abepura setelah adanya penembakan aparat polsek.
a. Pembakaran Ruko
Dalam hampir waktu yang bersamaan dengan masuknya kelompok tak di kenal ke polsek abepura,
terjadi pembakaran ruko di Jl. Gerilyawan yang berjarak sekitar 100 meter dari polsek abepura di
lakukan oleh kelompok massa lain yang tak di kenal. Ruko yang terbakar terdiri dari satu Rumah
Makan Padang, dan satunya lagi toko pakaian dan Arloji ‘Restu Ibu’ milik tuan Darwis yang kebetulan
terjadinya peristiwa tersebut tidak berada di TKP.
b. Pembunuhan satpam di Kantor Dinas Otonom tk.I Papua -Kota Raja
Sekitar pukul 05.00 atau menjelang pagi di temukan mayat Markus Padana di kantor dinas Otonom
Propinsi Papua yang berjarak sekitar 2 km dari Mapolsek abepura. Markus Padana seharinya bekerja
sebagai satpam di Kantor Dinas Otonom Kota raja. Korban diperkirakan tewas akibat luka bacok pada
leher, luka tombak pada bagian perut.
c. Tindakan Kepolisian Pasca Penyerangan Polsek abepura.
Beberapa saat kemudian setelah penyerangan tersebut, anggota polsek abepura yang piket malam itu
melaporkan kejadian itu kepada kapolsek AKBP. Alex Korwa melalui telpon. Dan salah seorang
anggota polsek Mesak Kareni langsung melaporkan ke Brimobda di Kota raja untuk meminta tenaga
pengamanan. Setelah menelepon, wakapolda, kapolres mengeluarkan perintah pengejaran dan
penyisiran.
d. Pengejaran ke asrama-asrama dan pemukiman Warga pegunungan.

Di Asrama Ninmin, Satuan Brimob, sekitar pukul 02.00 dini hari di bawah komandan Bripka Hans
Fairnap menggerbek mahasiswa yang sedangpulas tidur. Setelah melakukan tindak kekerasan,
beberapa anggota Brimob tersebut membawa para mahasiswa dan pelajar yang berjumlah 23 orang
dengan truk Brimob ke Polres Jayapura.
Di pemukinan warga Kobakma Mamberamo, Wamena dan kampung Wamena di Abe Pantai, satu regu
Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim sekitar pukul 05.30 WP, tanggal 7 Desember,
mengepung rumah-rumah warga sambil melepaskan tembakan. Anggota memerintahkan semua
warga yang berjumlah sekitar 75 KK untuk berkumpul di gereja GIDI dan melakukan pemukulan
sebagian warga dengan popor senjata. Setelah dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kelompok laki-
laki terus di pukul dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars sambil melepaskan
tembakan untuk menakut-nakuti warga. Kemudian anggota Brimob membawa 4 orang, yaitu Matias
Heluka, Yepam Yokosam, Yonir wanimbo dan Arnol Mundu Soklayo dengan paksa ke Polsek Abepura.
Di Asrama Yapen Waropen, satuan Brimob yang terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan Iptu Suryo
Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT, juga melakukan penyiksaan.
Ketika melarikan diri, satu diantara mahasiswa penghuni asrama yang bernama Timotius Sirami
mengalami luka di bagian kepala (8 jahitan) akibat terserempet peluru. 4 orang dari mereka berhasil
ditangkap, 3 orang di antara mereka yaitu Yason Awaki, Yedit Koromat dan John Ayer di pukul
dengan popor senjata dan di tendang, kemudian diseret, diangkat dan dilemparkan ke dalam truk
selanjutnya dibawa ke polsek abepura. Sedangkan seorang lagi, Djen Mambrasar menyusul yang
lainnya ke Polsek Abepura.
Di pemukiman warga suku Lani asal Mamberamo dan wamena Barat di Jalan Baru Kotaraja, Satu regu
anggota Brimob dipimpin Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 08.00 WP, tanggal 7 Desember. Anggota
Brimob bergerak masuk ke dalam pemukiman penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Dan
memaksa para warga yang berada di halaman rumah untuk tiarap. Bersamaan dengan itu beberapa
anggota Brimob mulai melakukan pemukulan terhadap warga dengan popor senjata dan menendang
serta menginjak bagian dada dan kaki warga yang sudah bertiarap. Sebagian anggota Brimob yang
lain memasuki rumah-rumah dan memaksa orang-orang keluar untuk bergabung dengan warga yang
sudah berada di halamansebelumnya. Selain itu aparat Brimob mengambil parang, sabit, panah dan
pisau-pisau dapur di dalam rumah penduduk. Kemudian mereka dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu
laki-laki dan perempuan. Di sini, anggota Brimob membawa 48 orang dengan paksa ke Polres
Jayapura.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 14


Di pemukiman Warga suku Yali,Anggruk di Skyline, satu regu Brimob dibawah pimpinan Brigpol John
Kamudi sekitar pukul 09.00 WIT hari yang sama. Anggota Brimob mengepung rumah tempat kediaman
Elkius Suhuniap dan langsung melepas tembakan ke udara. Ketika berusaha melarikan diri, ia di
tembak anggota Brimob dari jarak 3 meter yang langsung tewas di tempat akibat luka tembak di
punggung tembus bagian dada sebelah kanan. Adik sepupu Elkius, yang bernama Lilimus Suhuniap
yang juga lompat keluar lewat jendela, langsung ditangkap anggota Brimob. Korban lainnya yaitu Agus
Kabak, di tembak di bagian tubuh sisi kanan tembus perut bagian atas. Agus berusaha sembunyi di
semak dekat kali, dan dalam keadaan luka, ia berhasil dari kejaran anggota Brimob yang kemudian
menyeret jenasah Elkius dan menggiring Lilimus ke Polres Jayapura.
Di Asrama IMI (Ilaga) di Kampkey, Abepura. Kembali Satu regu Brimob, masih dibawah pimpinan Iptu
Suryo Sudarmadi sekitar pukul 23.00 WIT. Asrama ini di huni oleh mahasiswa dan pelajar asal daerah
Ilaga Kabupaten Puncak Jaya. Anggota Brimob langsung mengepung asrama sambil melepaskan
tembakan ke udara. Sebagian penghuni yang sedang duduk di halaman asrama langsung di
perintahkan diam di tempat dan angkat tangan. Sebagian lagi dari anggota Brimob memasuki asrama.
Ada yang mendobrak pintu dan ada yang masuk melalui belakang. Sesampai di dalam asrama
anggota Brimob membangunkan secara paksa Teofilus Murib, Erenis Tabuni, Kelinus Tabuni dan
Naman Tabuni yang sedang tidur di dalam kamar dengan memukul dan menodongkan senjata dan
selanjutnya diseret ke halaman asrama. Anggota Brimob juga mengobrak-abrik isi kamar dan
mengambil dompet. Selanjutnya anggota Brimob mengumpulkan mereka yang berjumlah 14 orang
laki-laki. Setelah melalui penyiksaan yang panjang, mereka selanjutnya dibawa ke Polres Jayapura.

Tidak sampai di situ, di Polres Jayapura, beberapa masyarakat yang berhasil ditangkap dan dibawa ke
Polres langsung disambut dengan siksaan. Perempuan dan laki-laki, semua mendapat perlakuan yang
sama. Beberapa dari mereka berasal dari asrama Ninmin, yakni sebanyak 23 orang; 14 laki-laki, 8
perempuan dan 1 orang anak perempuan berusia 7 tahun di perintahkan turun dari truk langsung di
pukul satu per satu oleh aparat kepolisian dengan tongkat plastik, popor senjata, skop, rotan dan
balok.
Mereka kemudian didata dan dipisahkan laki-laki dari perempuan, sekitar pukul 05.30 para korban laki-
laki di masukkan kedalam ruang besuk tahanan polres sambil di pukul dan di tendang. Mereka juga di
pisahkan antara pelajar dan mahasiswa. Disana mereka terus di pukul dan di siksa sehingga lantai dan
dinding ruangan penuh darah akobat luka-luka yang di derita. Dan beberapa orang dari mereka di
perintahkan untuk membersihkan darah tersebut dengan air dan dipaksa meminumnya. Salah seorang
yang bernama Eky Gwijangge rambutnya dipotong dan dipaksa memakan potongan rambut itu sambil
ditodong dengan pisau di leher. Setelah itu satu per satu diinterogasi di ruang ruang serse Polda di
bawah pimpinan kasat serse AKBP Drs. Prasetyo Widiono, setelah itu mereka dibawa kembali ke
ruangan tahanan Polres dan sebagian dibawa lagi ke dalam sel. Di dalam sel mereka disatukan
dengan tahanan lainnya sehingga berdesak-desakkan. Di sana mereka bertemu dengan seorang
tahanan WNA asal Swiss, bernama Iten Oswald Joseph mereka menyaksikan Ory Ndrongky tewas di
tahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan yang dilakukan aparat polres.
Kira-kira pukul 09.00 wpb 48 orang berasal dari jalan baru dalam kondisi babak belur diangkut dengan
satu truk Brimob tiba di Polres Jayapura. Mereka diturunkan satu per satu sambil dipukul terus
menerus dan digiring ke ruang besuk tahanan Polres dan rambut para korban diberi cat warna putih
sambil terus dipukul dan disiksa. Para korban yang berasal dari jalan baru ini dibebaskan pada tanggal
8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 wpb. Pukul 03.00 dini hari tanggal 8 Desember 2000 14 orang
penghuni asrama IMI diangkut ke Polres Jayapura, sampai ke Polres Jayapura mereka terus dipukul
dan disiksa berulang kali secara bergantian.
Pukul 05.00 wpb mereka dimasukkan ke dalam ruang tahanan Polres Jayapura. Pukul 16.00 sebanyak
14 orang dipulangkan dengan menggunakan truk polisi. Sementara itu pada pukul 08.00 para korban
yang ditangkap di asrama Yapen Waropen dan Abe Pantai tiba di Polsek Abepura, merekapun dipukul
dan disiksa secara bergilir oleh aparat kepolisian.
Semua tahanan baru dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 17.00 wpb setelah
terlebih dulu dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama
dan wajib lapor.
 Penahanan Komponen PDP
Pada tanggal 28 November 2000 Sekjen PDP Thaha Al Hamid ditangkap jajaran Polda Irja untuk diminta
keterangannya atas dugaan keterlibatannya dalam Deklarasi 12 November 1999, tidak lama kemudian
Pentolan PDP lainnya Pdt Herman Awom, Don Flassy, Jhon Mambor serta Ketua PDP Theys H Eluay juga
ditahan di Polda Papua. Pada Tanggal 29 November 2000 mereka resmi menjadi tahanan Polisi dan
dikurung di Polda. Kapolda Mengatakan bahwa penangkapan dan penahanan mereka tidak ada kaitannya
dengan rencana issue 1 Desember, sekali lagi Kapolda hanya mengatakan bahwa mereka ditangkap
karena diduga merencanakan makar. Adapun proses penahanan yang mereka lalui diantaranya :
Ditahan di Polda dari tanggal 05 s/d 25 Desember 2000, perpanjangan penahanan oleh Kepala Kejaksaan
Negeri Jayapura dari tanggal 26 s/d 29 Desember 2000, oleh Jaksa Penuntut Umum dari tanggal 29

Pendahuluan dan Gambaran Umum 15


Desember 2000 s/d 17 Januari 2001, penetapan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri Jayapura dari 18
Januari s/d 16 Februari 2001, Penetapan perpanjangan Ketua Pengadilan Negeri dari Tanggal 17 Februari
s/d 15 Maret 2001, penangguhan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Jayapura pada tanggal 16 Maret
2001. Selama proses hukum yang mereka lewati Ketua PDP Theys Eluay sempat di RS Cikini – Jakarta
juga Bpk Jhon Mambor dirawat RS Jakarta. Setelah dilakukan penangguhan penahanan oleh Kejaksaan
Negeri Jayapura maka pada tanggal 14 Mei 2001 kasus tersebut akhirnya dilimpahkan pada Pengadilan
Negeri Jayapura dengan dakwaan melakukan kegiatan makar, kegiatan itu diantaranya Deklarasi 12
November 2000, Mubes Papua, Peringatan 1 Desember dan Konggres II Papua tgl 29 Mei s/d 04 Juni 2000
. Satu hal yang tak bisa dilupakan bahwa selama persidangan suasana aman, damai dan tenteram tapi
juga telah memakan korban yaitu Tewasnya Ketua PDP pada bulan November 2001. Tapi kasus tersebut
akhinya dilanjutkan terus sampai dengan akhir persidangan PDP dengan putusan bebas pada tanggal 04
Maret 2002.

F. Kecamatan Sarmi
1. 2000
 Penyerangan TPN/OPM Oleh Polsek Sarmi
Kontak senjata antara pihak TPN/OPM dengan Polsek Sarmi terjadi pada bulan November 2000 tepatnya
di Pasar Sarmi-Kota Pukul 14.00 WP. Awal mula peristiwa tersebut terjadi ketika sekelompok TPN/OPM
berbelanja di Pasar untuk kebutuhan hidup. Pada saat mereka berbelanja mereka bertemu dengan salah
satu anggota Polsek Sarmi, mereka terlihat terlibat pembincangan yang sungguh bersahabat, maklum
anggota Polsek Sarmi tersebut sudah saling kenal baik dengan mereka (TPN/OPM) sehingga mereka
sangat akrab. Tiba-tiba saja pasukan Polsek Sarmi menyerang dan membuat kelompok TPN/OPM
menghindar dan lari bersembunyi. Pada saat peristiwa tersebut Pasukan Polsek Sarmi berhasil melukai
beberapa orang dan satu orang diantaranya tewas ditempat kejadian. Selain itu peluru yang ditembakkan
oleh Pasukan Polsek Sarmi melukai dua orang warga sipil, dua orang tersebut terkena peluru nyasar ketika
peristiwa berlangsung. Camat Sarmi pada saat itu langsung memerintahkan membawa korban ke Rumah
Sakit Jayapura dengan mencarter pesawat dari Sarmi ke Jayapura.

G. Kecamatan Tor Atas


1. 2000
 Perampasan Senjata oleh TPN/OPM
Pada tanggal; 25 Desember tahun 2000 sekitar pukul 11.00 WP siang anggota TPN/OPM menyerang
seorang anggota Polsek yang kebetulan pada waktu itu bertugas di Desa Samanente dan dalam
penyergapan tersebut mereka berhasil mengambil satu pucuk senjata. Markas Polisi Sektor Kecamatan Tor
Atas diserang oleh kelompok TPN/OPM. Penyerangan tersebut sebagai upaya TPN/OPM bermaksud
mengambil senjata. Penyerangan dan penyergapan dilakukan terhadap salah seorang Polsek tepatnya di
Desa Konerjan kira-kira 10 Km dari Polsek Tor Atas . Akibat dari peristiwa tersebut masyarakat menjadi
takut dan trauma atas kejadian yang menimpa pada daerah mereka. Di sisi lain berdampak pada
penempatan pos-pos militer yang dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Tor Atas adalah daerah merah.

Kecamatan Betaf ( Pantai Timur)


1. 2001
 Kontak Senjata TPN/OPM di Pos Satgas Tribuana (Februari)
Peristiwa ini diawali ketika TPN/OPM tiba-tiba menyerang Pos Satuan Tugas (Satgas Tribuana) Di Desa
Kuefa (Basecamp PT Sumalindo) pada hari sabtu tanggal 03 Februari 2001 . Dalam aksi tersebut lima
orang tewas terdiri dari empat anggota Satgas Tribuana dan satu anggota OPM/TPN. 8 pucuk senjata api
dibawa kabur oleh OPM/TPN. Penyerangan yang dilakukan oleh OPM/TPN hari Sabtu tanggal 03 Februari
2001 sekitar pukul 17.00 WP dengan menggunakan senjata Tradisional seperti panah, parang dll kekuatan
OPM/TPN diperkirakan pada saat penyerangan sekitar 50 orang.
Di Pos Kuefa sebelum penyerangan ada 7 orang yang bertugas dan mereka sedang melakukan
penyuluhan tentang Otonomi kepada masyarakat setempat. Keempat anggota Satgas Tribuana yang tewas
yaitu Serka Warni, Serda Zulkarnaen, Serka Nandang dan Pratu Sudirman, keempatnya mengalami luka
bacok, luka tusuk disekujur tubuh dan mengalami pendarahan yang terus menerus. Sedangka satu
anggota OPM/TPN yang bernama Messakh Dawer tewas ditempat kejadian dalam kontak senjata.
Sebelum dilakukan penyerangan oleh Kelompok OPM/TPN berdasarkan informasi masyarakat setempat
bahwa kelompok tersebut berteriak agar aparat keamanan segera mengembalikan dua pucuk mouser milik
mereka (TPN/OPM) yang diserahkan oleh pimpinan TPN/OPM Max Rumbiak kepada pihak Keamanan.
Akibat dari peristiwa tersebur masyarakat menjadi takut hal ini disebabkan karena pasukan yang
ditempatkan pada wilayah Betaf melakukan penyisiran dibeberapa tempat yang diduga menjadi

Pendahuluan dan Gambaran Umum 16


tempat/basis TPN/OPM, masyarakat lalu berlari dan meminta perlindungan kepada Bpk Camat, pada saat
itu Bpk Camat sendiri memberikan jaminan kepada pihak keamanan bahwa warganya/ masyarakatnya
tidak akan berbuat yang tidak diinginkan.

Kecamatan Bonggo
1. 2000
 Terlantarnya Warga Trans Di Lokasi Transmigrasi
Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi nasional, menempatkan 65 KK
transmigran umum dari NTT dan Jawa ditambah 35 KK transmigran local di Satuan Pemukiman/SP VIII
Armopa, Bonggo. Para transmigran yang didatangkan tepat dengan Krisis Moneter yang tengah melanda
Negara Indonesia ini ditempatkan pada lokasi yang sudah dibuka dua tahun sebelumnya. Lokasi sudah
menjadi hutan kembali, rumah-rumah penduduk tergenang dalam air rawa karena tidak ada drainase. Tidak
ada fasilitas infrastruktur yang memadai seperti gedung sekolah untuk anak-anak usia sekolah dasar dan
tenaga guru, Puskesmas dan petugas kesehatannya, kantor KUPT, rumah ibadah (Mesjid dan gereja).
Jalan raya dan sarana transportasi serta pasar pun tidak ada. Jembatan-jembatan timbunan pun putus
karena banjir. Sementara jarak lokasi SP VIII dengan kota Sentani, Jayapura lebih dari 300 km. Warga
harus berjalan kaki sejauh 50 km untuk mendapatkan kendaraan di kali Miruway, SP. IV Bonggo. Mereka
dapat meneruskan perjalanan ke kota dengan menumpangi bus kendaraan angkutan umum dengan tariff
Rp. 40.000 – 50.000 per-orang.
Karena lokasi itu tanah berawa dan tidak ada drainasenya, maka tidak ada hasil tanaman pangan seperti
jagung, padi dan singkong yang tidak bisa tumbuh. Tanah di lokasi tidak cocok untuk bertani. Sementara
jaminan hidup (Jadup) dari Deptrans itu tersendat-sendat, bahkan selama enam bulan warga tidak
menerima jaminan hidup. Akhirnya warga menderita kelaparan yang mengakibatkan munculnya berbagai
macam penyakit hingga tercatat 18 korban meninggal di lokasi.
Pengalaman penderitaan di atas yang mendorong para transmigran umum dari Jawa dan NTT yang
bermukim di lokasi Armopa VIII Bonggo ini untuk keluar meninggalkan lokasi transmigrasi. Mereka
mengungsi ke kota Jayapura dengan membawa aspirasi tuntutan untuk dipulangkan kembali ke daerah
asal masing-masing. Mereka mendatangi Kakandep Transmigrasi Kabupaten Jayapura, Ir. Yan Pali,
Kakanwiltrans Propinsi Papua/ Irian Jaya, Ir. Budi Sinulingga, dan Ketua DPRD Propinsi Papua/Irian Jaya,
Nathaniel Kaiway,SH (alm). Namun unjukrasa yang dilakukan berkali-kali sejak Februari 2000 hingga Juli
2000 itu ternyata hanya membuahkan hasil teror, intimidasi dan ancaman hukuman penjara yang terbukti
dengan tiga orang juru bicara warga ditahan selama 68 hari di Polres Jayapura dengan tuduhan
provokator/penghasutan, pasal 160 KUHAP. Selama perjuangan mereka untuk menuntut perlakuan adil
dari pemerintah di Jayapura ini telah tercatat dua orang korban meninggal. Hingga bulan November 2001
ini nasib para ‘pengungsi’ korban pembangunan transmigrasi di Propinsi Papua ini terkatung-katung. Meski
demikian, mereka masih terus berjuang menuntut pemerintah dengan mengambil sikap tetap bertahan di
tempat penampungan di halaman kantor LBH Papua sebagai aksi protes terhadap pemerintah Indonesia
dalam hal ini pemerintah Daerah Propinsi Papua
Warga transmigran eksodus Bonggo ini masih bermukim di halaman kantor LBH Papua. Jumlahnya masih
30 KK (115 jiwa), laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ke-30 KK ini mayoritas warga dari Timor Barat, NTT
ditambah sejumlah KK dari Jawa Barat.

Kecamatan Arso
1. 1999
 Kasus Penyanderaan Warga Sipil Arso Pir IV (Mei)
Pada Tanggal 31 Mei 1999 sebelas Warga Arso disandera oleh Kelompok OPM Hans Bomay. Kelompok
OPM/TPN Pimpinan Hans Bomay tiba-tiba saja memasuki daerah PIR IV-Arso dan menyandera 11 orang
pada peristiwa tersebut. Ke sebelas Warga Arso yang disandera terdiri dari empat orang laki-laki dan tujuh
orang laki-laki. Peristiwa tersebut terjadi tepat pukul 14.30 WP. Pada saat penyanderaan Kelompok
TPN/OPM mempergunakan senjata dan alat tajam tradisional berupa panah dan tombak. Dampak dari
peristiwa penyanderaan tersebut masyarakat sekitarnya mengalami ketakutan. Dari sebelas orang yang
disandera empat orang tewas, kesemuanya laki-laki. Sebelum penyanderaan terjadi, Kelompok TPN/OPM
Pimpinan Hans Bomay ingin bertemu dengan Pangdam Trikora di Jayapura, tetapi setelah mereka sampai
ditempat tujuan Pangdam tidak berada di tempat. Mereka akhirnya kecewa dan sesampainya dilokasi PIR
IV-Arso langsung menyandera sebelas orang warga Trans, selain itu menurut informasi dari korban bahwa
satu hal yang mereka tuntut yaitu merdeka dalam arti lepas dari NKRI, sedangkan korban penyanderaan
tersebut mengalami ketakutan., tetapi akhirnya mereka dibebaskan oleh Tentara PNG di lembah Bewani,
selanjutnya proses pengembalian para korban penyanderaan diselesaikan sepenuhnya oleh pemerintah
Papua New Guinea (Tentara dan polisi PNG). Mereka disandera kurang lebih satu bulan dengan

Pendahuluan dan Gambaran Umum 17


berpindah-pindah tempat di dalam hutan. Penjemputan para korban penyanderaan langsung disambut oleh
Pangdam Trikora Amir Sembiring.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 18


KABUPATEN BIAK NUMFOR

A. Kecamatan Biak Selatan


1. 1995
 Pembakaran Pasar (Januari)
Berawal dari perkelahian antara seorang pembeli, Kaleb Yawan, yang kebetulan beretnis Papua, dengan
seorang pedagang yang kebetulan juga berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis) di areal pasar dan telah
mengakibatkan pembeli tersebut meninggal dunia di tempat kejadian akibat pendarahan hebat setelah
terkena pukulan alat/senjata tajam. Oleh pihak keamanan, Polisi, mayat tersebut tidak langsung diserahkan
kepada pihak keluarga korban, sebab masih akan diautopsi. Sikap pihak Kepolisian tersebut telah
memancing amarah keluarga korban yang sempat bersitegang dengan pihak Kepolisian setelah 1 minggu
mayat belum juga dikembalikan kepada keluarga korban.
Peristiwa tersebut ternyata telah menimbulkan solidaritas etnis di kalangan masyarakat Papua. Mereka
kemudian membentuk kelompok-kelompok serta melengkapi diri mereka dengan berbagai bentuk senjata
tajam dan mengancam akan membunuh ( balas dendam ) 1 orang pendatang sebagai ganti dari keluarga
mereka yang telah meninggal dunia. Ancaman inilah yang kemudian menyebabkan seorang oknum
pendatang mengintruksikan kepada seluruh pemilik kios di areal pasar untuk menutup toko dan kiosnya
serta berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang akan terjadi.
Seorang responden mengatakan bahwa aksi pedagang tersebut disertai larangan
dari pihak keluarga korban yang menuntut harus ada korban di pihak masyarakat
Papua sebagai ganti keluarga mereka yang telah meninggal dunia.
Masih dengan amarah yang sangat, pihak keluarga korban serta beberapa orang masyarakat Papua telah
menstabilokan persoalan ini sebagai pertikaian etnis. Malam harinya, sekitar pukul 02.30 dini hari waktu
setempat, mereka berhasil membawa lari bahan bakar bensin setelah membobol gudang toko Palaka. Oleh
mereka, bensin hasil curian tadi kemudian disiram di kios-kios yang diperkirakan ada orang yang
menjaganya lantas dibakar dengan menggunakan sejenis bahan peledak (dopis) yang telah mereka
persiapkan sebelumnya. Api merambat begitu cepat dan melalap sebagian besar kompleks pasar, setelah
sebagian lainnya berhasil diselamatkan oleh tim pemadam kebakaran.
Akibatnya, 1 orang langsung meninggal dunia dan 6 orang mengalami luka yang cukup serius, serta 2
orang lainnya hanya mengalami luka ringan. Sedangkan kerugian material diperkirakan mencapai milyaran
rupiah. Kota Biak langsung menjadi sepi dan lengang dengan aroma ketegangan yang sangat tinggi.
Nuansa konflik etnis sangat terasa sekali. Hal ini terlihat dari banyaknya kelompok massa yang
bergerombol berdasarkan etnis (Papua dan non Papua) di beberapa tempat. Masing-masing orang dalam
kelompok tersebut melengkapi diri dengan berbagai macam senjata tajam. Akan tetapi ketegangan tersebut
tidak berubah menjadi sebuah konflik horizontal yang besar, karena masing-masing pimpinan suku dari
yang bertikai bertemu dan bersepakat untuk mengakhiri perseteruan tersebut. Masalah dianggap selesai
setelah masing-masing kelompok melakukan ritual adat berdasarkan aturan adatnya dan berjanji berdamai
serta tidak saling mengganggu lagi setelah sebelumnya mereka membuat perjanjian jika nanti ada lagi dari
etnis pendatang (Bugis) yang berbuat hal serupa, mereka akan dipulangkan kembali ke daerah asalnya.
2. 1998
 Biak Berdarah (6 Juli)
2 Juli, pukul 04.45 WIT, bendera Bintang Kejora sudah berkibar di atas ketinggian 35 m menara air.
Melihat hal tersebut, ratusan massa sipil Papua kemudian terkosentrasi di sekitar menara. Hanya beberapa
saja yang berada di bawah menara. Hal ini, oleh Filep Karma, yang disebut-sebut sebagai pimpinan massa,
kemudian mencoba untuk menarik perhatian sebagian besar massa yang hanya berdiri cukup jauh dari
menara dengan memanggil mereka untuk bersama-sama dengan massa lainnya yang berada di bawah
menara. Akan tetapi, ajakan tersebut tidak diindahkan. Beberapa saat kemudian, usaha Filep Karma kini
terbantu dengan kehadiran sekelompok pemain musik yang berasal dari Biak Timur. Mereka kemudian
menyanyi dan menari sehingga menarik simpati dari sebagian besar massa yang tadinya hanya berada
cukup jauh dari menara, sehingga diperkirakan jumlah massa yang berada dekat dengan menara air telah
mencapai 1.000-an orang.
Atas peristiwa tersebut, maka Bupati, Danrem 173 dan Kapolres serta Ketua Pengadilan Negeri Biak
Numfor, mencoba untuk bernegosiasi dengan Filep Karma untuk menurunkan bendera Bintang Kejora.
Negosiasi gagal. Akan tetapi pihak Muspida Biak Numfor tidak kehabisan akal, orang tua Filep Karma yang
berada di RSUD Biak Numfor dihadirkan untuk membujuk Filep Karma agar menurunkan Bendera Bintang
Kejora. Hasilnya, semua upaya tersebut tetap saja tidak menyurutkan niat Filep Karma.
Sekitar pukul 15.30, Pasukan Anti Huru-hara mencoba untuk menghalau massa pengibar bendera yang
tetap saja bertahan di tempat. Halauan PHH ini kemudian menimbulkan perlawanan dari massa. Akhirnya,
13 orang dari pihak PHH mengalami luka-luka dan 2 di antaranya dinyatakan kritis, sementara beberapa

Pendahuluan dan Gambaran Umum 19


orang dari massa pengibar bendera juga mengalami luka yang serius. Walaupun insiden tersebut telah
menimbulkan korban, namun massa tetap saja bertahan di tempat. Bendera tetap tegar di atas menara air.
Tanggal 3 Juli. Massa yang mengetahui ada Kapal Putih (KM. Dobonsolo) yang akan berlabuh di dermaga
Biak Numfor (lokasi dermaga tidak berjauhan dengan menara air, tempat berkibarnya Bendera Bintang
Kejora), mencoba untuk meluaskan daerahnya sampai di dermaga. Tumpahnya massa di dermaga tentu
saja membuat nahkoda KM. Dobonsolo merasa ketakutan untuk merapat ke dermaga. Namun sekelompok
penumpang KM. Dobonsolo, yang terdiri dari beberapa Pendeta (yang baru saja pulang dari kegiatan
keagamaan di Manokwari) menemui Nahkoda dan menawarkan jasa untuk berdialog dengan rombongan
massa. Sementara itu, di dermaga, Ketua DPRD Biak Numfor mencoba untuk melakukan negosiasi dengan
Filep Karma. Hasilnya, Filep Karma mengizinkan KM. Dobonsolo merapat ke dermaga dan berjanji akan
menjamin keselamatan penumpangnya.
4 Juli. Pihak Gereja yang sangat menyesalkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 2 Juli tersebut. Guna
mencegah timbulnya korban yang lebih besar lagi, maka pihak Gereja berinisiatif mengutus 6 orang
Pendeta untuk melakukan negosiasi dengan Filep Karma sebagai pimpinan massa, yang kini sudah
mempersenjatai diri mereka dengan senjata, parang, tombak bahkan bom Molotov setelah mendengar ada
sekelompok massa Papua lain yang bekerja sama dengan pihak TNI dan Polisi akan membubarkan
mereka. Hasilnya, berbagai macam senjata telah dikumpulkan dan dibuang ke laut. Akan tetapi, dengan
hanya mengandalkan Al Kitab (Injil), massa tetap bertahan di bawah naungan bendera yang masih saja
berkibar di atas menara air. Sebagian massa telah bertekad lebih baik mati di bawah bendera. 5 Juli. Pukul
12.00 WIT, usai Kebaktian di Gereja, kembali pihak gereja, kini diwakili oleh Pendeta Hagar Maryem
bersama beberapa jemaatnya, mencoba menemui dan membujuk Filep Karma agar mau menurunkan
bendera Bintang Kejora. Negosiasi kembali gagal.
Gagalnya negosiasi yang berulang kali tersebut, tidak membuat pihak yang peduli dengan kemanusiaan
putus asa. Pukul 15.00 WIT pada hari yang sama, Gereja GKI, Bupati serta Danrem 173 Biak Numfor
kembali menemui massa dengan maksud yang masih tetap sama, yakni penurunan bendera Bintang
Kejora. Tetap gagal.
Di lain pihak, Tripika (Camat, Dan Ramil serta Kapolsek) Biak Barat, diindikasikan berupaya untuk
mengadu massa pengibar bendera dengan masyarakat di Biak Barat. Massa (dari Biak Barat) yang sudah
berkumpul kemudian menyadari besarnya resiko yang akan dihadapi, mereka akhirnya memutuskan untuk
kembali dan membatalkan niat awalnya untuk menyerang (membubarkan) massa Papua lain yang
bertahan dengan kibaran bendera Bintang Kejora di menara air.
Anehnya, beberapa orang dari massa tersebut ada yang tidak paham untuk apa
mereka dikumpulkan oleh pihak Tripika.
Pada 5 Juli, kembali pihak Tripika Biak Barat mengumpulkan massa (sebagai pengganti massa yang
dimaksudkan untuk mmbubarkan pengibar bendera) dengan mewajibkan 11 desa yang ada di dalam
wilayah administrasinya untuk mengumpulkan masing-masing 30 orang warga dilengkapi dengan berbagai
macam senjata. Namun, oleh Bupati Biak Numfor, massa yang sudah kembali terkumpul di suruh pulang
setelah sebelumnya Danrem memberikan uang tunai sebesar Rp. 500.000,- kepada mereka.
Upaya adu domba dari pihak pemerintah dengan cara membelokan arah konflik
dari vertical menjadi horizontal sangat terlihat dari upaya yang dilakukan oleh pihak
Tripika Kecamatan Biak Barat dan ketidakpahaman beberapa orang dari massa
yang berhasil dikumpulkan pihak Tripika Biak Barat tersebut.
6 Juli, pukul 05.30 WIT. Pasukan gabungan yang terdiri dari Brimob, Polres Biak Numfor, Yonif 733, Korem
173 dan Kodim 1703 Biak Numfor serta Marinir yang ada di pangkalan Biak Numfor serta beberapa
pasukan non organik yang ada di Biak Numfor, menyerbu pihak massa sipil yang berada di sekitar menara
air dengan hujan peluru tajam. Tindakan brutal dari aparat keamanan telah mengakibatkan puluhan orang
luka-luka bahkan 8 orang lainnya langsung meninggal di tempat kejadian. Tidak sampai di sini, aparat
kemudian meluaskan operasinya ke pemukiman penduduk yang ada di sekitar menara air. Ratusan orang
sambil terus dianiaya oleh aparat digiring menuju pelabuhan. Sampai di pelabuhan, massa disuruh
berbaring dan manatap panasnya matahari sambil tidak henti-hentinya aparat keamanan menginjak dan
menganiaya mereka. Banyak sekali masyarakat sipil yang tidak terlibat sama sekali dan tidak tahu menahu
dengan persoalan pengibaran bendera Bintang Kejora menjadi sasaran amuk aparat keamanan.
Pasca peristiwa tersebut, di sekitar perairan dan pantai Biak, ditemukan sekitar 32 mayat yang tidak
dikenal. Di antaranya ada yang memakai baju bergambar Golkar dan logo OSIS. Beberapa dari mayat
tersebut sudah tidak utuh lagi anggota tubuhnya, payudara terpotong, kemaluan rusak berat, kepala
digunduli dan lain-lain. Anehnya, oleh pemerintah setempat, dinyatakan bahwa mayat-mayat berbaju
Golkar dan berlambang OSIS tersebut adalah korban tsunami yang mengguncang negara PNG.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 20


Bagaimana mungkin di PNG ada partai Golkar dan lambang yang persis
dengan lambang organisasi anak sekolah di Indonesia? Juga secara
geografis, letak sungai Mamberamo di daerah Jayapura –memisahkan
daerah Biak Numfor dengan PNG– sangat memungkinkan mayat korban
tsunami di PNG tidak mampu menyeberangi derasnya arus Mamberamo.
Atas tragedi kemanusiaan tersebut, telah mengundang simpati berbagai lembaga kemanusiaan, baik lokal,
nasional maupun internasional. Akan tetapi rekomendasi dari semua lembaga pekerja HAM tersebut tidak
pernah ditindaklanjuti sampai ke pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukan oleh negara tersebut.
Bahkan rekomendasi dari lembaga yang bertugas menangani persoalan-persoalan kemanusiaan setingkat
Komnas HAM sekalipun, tidak mampu membuka kata dan mata hati para penguasa negeri ini. Kembali peti
es hukum dan politik negeri ini terisi oleh kasus yang berlabel Biak Berdarah.

B. Kecamatan Biak Timur


1. 1996 - 2001
 Pencaplokan Tanah Masyarakat Adat
Lagi-lagi aparat negara, Kepala Kecamatan dan Polsek Biak Utara melakukan tindakan yang merugikan
rakyatnya sendiri. Adalah pencaplokan hutan yang menjadi hak ulayat masyarakat di desa Marau,
Mnurwar, Tanjung Barari, Sepse dan desa Rimba Jaya serta desa Makmakerbo. Untuk menyuplai
permintaan agen kayu yang membutuhkan dalam jumlah besar, mereka lalu melakukan eksploitasi hutan
tanpa melakukan pembicaraan dengan masyarakat adat sebagai pemilik yang sah atas hutan yang
dieksploitasi tersebut.
Kepala desa dengan dibantu oleh pihak Kepolisian secara rutin mengkontrol daerah tebangan. Akan tetapi
kontrol tersebut kemudian berubah menjadi proses intimidasi terhadap masyarakat yang hidup di sekitar
hutan. Tidak jarang intimidasi dilakukan dengan tidak diperbolehkannya masyarakat masuk ke areal hutan
yang menjadi areal eksploitasi tersebut. Bahkan beberapa kali di antaranya mereka mengeluarkan aturan
yang justru melanggengkan usaha ekonominya. Masyarakat menjadi bingung dan tidak tahu harus
berladang di tempat mana, sebab sebagian besar hutan telah diklaim sebagai milik pemerintah. Jangankan
berpikir kelangsungan anak dan cucunya, untuk kehidupan sehari-hari merekapun tidak ada yang bisa
menjamin.
Sikap diamnya masyarakat atas ulah pemerintah tersebut, kemudian berubah menjadi apatis dan
cenderung pasrah atas nasib yang menimpa mereka. Toh, kalaupun mereka melaporkan hal ini ke pihak
berwajib tentu saja tidak akan ditanggapi. Sebab yang melakukan eksploitasi adalah pihak pemerintah juga.
Hal lain adalah mereka takut jangan sampai dicap OPM –seperti desa-desa lain yang bertetangga dengan
desa mereka– jika harus protes atas kebijakan tersebut ikut pula menjadi penyebab kepasrahan
masyarakat.
Belum ada usaha untuk menghalangi tindakan aparat pemerintah tersebut, minimal sampai usainya proses
penelitian ini dilakukan.
2. 2001
 PHK Karyawan Hotel Marauw (Juni)
Karena tidak mampu lagi membiayai operasionalnya setelah terus menerus mengalami kerugian, maka
penguasaan aset Hotel Marau dinyatakan dialihkan ke pihak Pemda Biak Numfor. Ketidakmampuan
perusahaan inilah yang telah berdampak pada di-PHK-nya 500 orang karyawan hotel.
Persoalannya adalah, ke 500 orang karyawan tersebut sudah tidak mendapatkan gaji selama 10 bulan
sebelum di-PHK. Ditambah lagi proses PHK tersebut yang tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah
ditandatangani karyawan ketika masuk bekerja, bahwa karyawan yang terkena PHK akan diberikan
pesangon, tetapi kenyataannya hal tersebut tidak terealisasi.
Mengetahui bahwa aset Hotel Marau telah dialihkan ke pihak Pemda Biak Numfor, kelompok karywan
tersebut lantas mengadukan nasib mereka ke Pemda Biak Numfor dan bermaksud untuk meminta gaji dan
pesangon yang belum dibayar. Belum ada realisasi kongkrit dari pemerintah setempat, minimal sampai
bulan Mei 2002 ini, selain janji pihak Pemda Biak Numfor, bahwa persoalan gaji dan pesangon karyawan
tersebut telah dianggarkan pada RAPBD tahun ini (2002).

Pendahuluan dan Gambaran Umum 21


C. Kecamatan Biak Utara
1. 1995
 Klaim Atas Tanah Ulayat
Pertikaian dua marga yang mempersoalkan kepemilikan tanah antara marga Komboi (marga asli dari
kampung tersebut) dan marga Rumaropen (marga pendatang) kejadian ini terjadi di desa Karuboi pada
tahun 1995 yang menewaskan satu keluarga dari marga Rumaropen dibakar habis dengan rumahnya,
korban semuanya berjumlah 5 orang. Insident ini kemudian diselesaikan secara adat oleh kedua belah
pihak.
3. 2001
 Pencaplokan Tanah Masyarakat Adat
Lagi-lagi aparat negara, Kepala Kecamatan Biak Utara melakukan tindakan yang merugikan rakyatnya
sendiri. Adalah pencaplokan tanah yang berupa lahan tidur (bekas lokasi penumpukan pasir akibat
bencana tsunami di Biak tahun 1996) seluas 1 ha yang menjadi hak masyarakat yang menetap di sekitar
tempat tersebut, yang hendak dijadikan penambakan udang selama 10 tahun.
Oknum Kepala Kecamatan tersebut hanya melakukan perjanjian dengan pihak perusahaan yang berasal
dari Korea. Ketika hal tersebut dikonfirmasikan oleh masyarakat pemilik ke pemerintah kecamatan, mereka
justru dianjurkan untuk mendukung proyek yang diklaim sebagai proyek pemerintah tersebut. Masyarakat
yang tidak puas atas jawaban tersebut lantas melakukan aksi dengan menutup saluran air yang menuju ke
tambak dan memalang kantor perusahaan. Belum ada bentuk penyelesaian yang kongkrit atas persoalan
tersebut.

D. Kecamatan Biak Barat dan Kecamatan Supiori Selatan


 Terbelenggunya Masyarakat Atas Label Desa Separatis
Kasus yang satu ini terjadi pada setiap desa yang diberikan stigma bahwa desa tersebut adalah desa separatis
sehingga pihak TNI melakukan social deference terhadap masyarakat yang over protective dari intimidasi secara
tidak langsung ini kemudian menyebabkan masyarakat di desa tersebut mengalami kecemasan yang sangat
mencekam. Umumnya desa-desa yang diberikan stigma ini terdapat di Biak barat desa Sarwa, desa Napdori, desa
Krisdori, desa Orkdori, Desa Farusi Adadikam dan desa Sopen sedangkan kecamatan Supiori selatan desa
Marsram.
Stigma akan desa separatis, umumnya nampak pada setiap kecamatan yang dianggap sarangnya TPN / OPM,
anggapan ini secara perlahan-lahan menimbulkan diskriminasi rasial yang tidak kentara hingga masyarakat
setempat terisolir dari jangkauan pembangunan dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalam
realitasnya memang ada program pembangunan yang diarahkan kedesa-desa tersebut seperti program air
bersih, pembangunan MCK dan kegiatan bhakti sosial yaitu pengobatan secara cuma-cuma namun ternyata
selalu dimotori oleh militer yang berbusana tukang bangunan, tukang air dan juru rawat. Konon BIDES yang
ditugaskan di desa Farusi Adadikam yang merupakan putri asal desa tersebut mendadak dimutasikan ke RSUD
Biak, sampai sekarang tidak ada petugas kesehatan di desa-desa tersebut. Dengan sangat terpaksa, warga
harus setiap bulannya menunggu program kesehatan yang sangat unik tapi mencekam ini untuk memenuhi
kebutuhan akan kesehatannya.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 22


KABUPATEN MANOKWARI

Kota Manokwari
1999
Kasus Pelabuhan (24 – 25 September)
Bermula dari terdengar khabar akan datangnya gelombang pengungsi dari Ambon pada tanggal 24
September 1999 dengan menumpang kapal KM. Dobonsolo. Kabar angin itu kemudian diresponsi oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan petaka, karena disinyalir diantara rombongan
pengungsi tersebut terdapat provokator-provokator yang akan mengacaukan stabilitas di tanah Papua.
Selanjutnya masyarakat mengadakan pertemuan dengan pihak Muspida serta kepolisian, yang amna hasil
pertemuan tersebut membuahkan kesepakatan yaitu Pemuda dan Satgas diberikan kesempatan untuk
melakukan sweeping dan bekerjasama dengan aparat kepolisian di pelabuhan Manokwari. Memang pada
saat itu Pemda menyetujui akan tetapi dari pihak kepolisian kurang menyetujui aksi sweeping tersebut.
Pada tanggal 24 September 1999 (pagi hari) ada pengumuman dari pihak Kepolisian melalui RRI yang
isinya ”tidak dibenarkan mengadakan sweeping kepada penumpang-penumpang kapal di Pelabuhan”. Sore
harinya sekelompok Pemuda dan Satgas mendatangi pelabuhan dengan membawa spanduk yang
bertuliskan “Kami Rakyat Papua Menolak Provokator-Provokator dari Maluku”, dan melakukan sweeping.
Tidak lama kemudian terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa yang melakukan sweeping,
karena massa marah melihat seorang anak kecil yang dipukul aparat. Aparat kemudian menangkap 9
orang Pemuda dan Satgas, massa kemudian melakukan negosiasi dengan aparat untuk dapat
membebaskan ke 9 orang yang ditangkap itu, akan tetapi aparat tidak menggubris tuntutan massa, bahkan
menghalau massa dengan melakukan penembakan ke udara untuk membubarkan massa. Hal ini justru
membuat massa panik dan marah atas perlakuan aparat, kemudian massa lari sambil balas melempar ke
arah aparat. Berikut terjadi kejar mengejar sampai di Jl. Siliwangi, dan Jl. Merdeka sampai di Kantor Pos
Pusat tepatnya di depan Bank Mandiri lama yang sekarang menjadi PLN, massa berhadap-hadapan
dengan aparat Kepolisian dari sebelah pelabuhan menghadap ke arah Sanggeng Kota sementara massa
menghadap ke arah Pelabuhan. Kembali terjadi keributan antara aparat dengan massa yang menuntut
untuk dilepaskan rekan mereka yang ditahan pada saat keributan terjadi di pelabuhan, kemudian dilakukan
negosiasi untuk melepaskan ke 9 orang yang ditangkap oleh aparat. Akan tetapi negosiasi gagal kemudian
aparat Kepolisian melakukan penembakan ke udara dan mengejar mereka, massa kembali bubar dan lari
kearah Sanggeng kemudian terpecah, ada yang kearah Sanggeng, Borasi dan Fanindi.
Polisi terus mengejar massa, yaitu lewat 2 arah bawah (pasar Sanggeng) arah atas Jl. Diponegoro
kendaraan yang lewat atas ini terdiri atas dari 2 kendaraan yaitu mobil Daihatsu Rocky yang dikendarai
Kasat Intel Polres Manokwari (saat itu, Letda Hamdani) bersama 3 orang anggota kepolisian, kemudian di
belakang mobil itu ada sebuah truck penuh dengan anggota kepolisian (Dalmas) yang menggunakan
pakaian anti hura-hara lengkap dengan senjata. Di sepanjang jalan mereka terus menerus mengeluarkan
tembakan kemudian turun lewat Jl. Taman Makam Pahlawan ke Jl. Yos Sudarso, tepatnya di perempatan
antara Jl. Yos Sudarso – Pasar Ikan – Pahlawan. Di bawah Trafick Light depan komplek Fasarkhan ada
sekelompok massa yang cukup banyak berkumpul di situ untuk melihat apa yang terjadi, karena
mendengar bunyi tembakan yang dikeluarkan oleh aparat. Pada saat meluncur ke bawah, kedua mobil itu
dibagi dalam 2 jalur, truk yang membawa anggota Dalmas pada saat melucur mendekati massa langsung
melakukan tembakan kearah massa. Massa menjadi panik sehingga lari terpencar untuk menyelamatkan
diri. Di perempatan itu ada seorang di antara massa yang berdiri yaitu Jhon Wamafma karena panik juga
maka ia berlari menyelamatkan diri tiba-tiba ia jatuh terkena tembakan. Menurut salah satu orang saksi
yang sempat tiarap/berlindung (jongkok) tepat dibawah Trafic Light di bawah bak mobil truk anggota
(Dalmas) dia melihat bahwa ada beberapa senapan/senjata diarahkan pada massa dan terdengar pula
letupan bunyi senjata berturut-turut, tetapi saksi (orang tersebut) tidak dapat memastikan apakah
senapan/senjata tersebut yang digunakan untuk menembak massa atau bunyi dari senjata yang lain. Ada
dua orang saksi lain yang lari dan berlindung di gedung sekitar jalan itu salah seorang diantaranya sempat
melihat korban yang jaraknya sekitar 20-30 meter mencoba lari, kemudian jatuh dan lari lagi lalu jatuh lagi
setiap bunyi tembakan, akan tetapi dia tidak mengenali siapa-siapa orang yang jatuh-jatuh tersebut, nanti
setelah keadaan aman barulah dia melihat bahwa orang tersebut adalah John Wamafma dan polisi sudah
ada yang datang di lokasi itu. Saksi lainnya mengatakan (orang-orang di sekitar lokasi kejadian), ketika
mendekati lokasi mayat tadi sempat mendengar bunyi botol-botol yang dipecahkan disekitar lokasi tersebut,
setibanya di lokasi ternyata ada mayat yang sudah dikerubungi banyak orang dan disekitar mayat tersebut
banyak pecahan botol. Tidak lama setelah truk polisi datang lalu mayat itu diangkut petugas ke atas truk
dibawa ke rumah sakit. Belakangan setelah kejadian ada informasi di koran menurut polisi bahwa orang
tersebut mati karena boom Molotov dalam botol yang dipegangnya pecah, padahal menurut keterangan
(visum) dokter pada beberapa bagian tubuh korban ada lobang yang saling berhubungan serta pinggiran
luka tidak rata dan ada bekas luka bakar.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasukan terbagi menjadi dua bagian ada yang menuju
jalan ke atas dan ada yang kebawah, yang menuju jalan kebawah ini kemudian melepaskan tembakan

Pendahuluan dan Gambaran Umum 23


kearah massa yang berlarian. Tepat didepan Kantor Pos Sanggeng ada satu lagi korban tertembak pada
bagian belakang tubuh korban dan terjatuh kedalam parit, orang tersebut biasa dipanggil Momo nama
aslinya Abraham Mambraku. Disekitar lokasi ini juga ada lagi korban lainnya namanya Nehemia Kapissa
tertembak pada bagian pinggul bagian kanan.
Besoknya tanggal 25 September 1999 pagi massa mulai mendatangi rumah sakit untuk membawa pulang
mayat John Wamafma, diperjalan sekitar Jalan Merdeka dekat pos Polisi yang dijaga oleh Polisi, Marinir
dan sebagian Angkatan Darat. Massa mulai beringas ketika melihat ada Polisi yang berjaga di pos tersebut
kemudian melakukan pelemparan ke arah Polisi dan pada saat pelemparan itulah Polisi mulai melepaskan
tembakan peringatan. Massa kemudian menjadi panik dan berlarian tak tentu arah, salah satu dari massa
yang berlarian tadi ada yang tertembak pada bagian kepala namanya Markus Kambu selanjutnya korban
dibawa berobat ke rumah sakit AD di Jakarta. Dua jam setelah kejadian di depan gedung DPRD Manokwari
polisi datang dengan mengendarai truck kembali melepaskan tembakan ke arah massa yang berdiri di
pinggir jalan, ada satu lagi korban yang tertembak pada bagian paha sebelah kiri namanya Yan Makabori.
2. 2000
 Kasus Amban Pantai (13 Desember )
Hiskia Opur adalah seorang operator sensor (Chain saw) yang dipekerjakan oleh dinas kehutanan untuk
melakukan survei jalan dan pematokan areal hutan lindung di Testega, Kecamatan Anggi. Pada tanggal 13
Desember 2000 pagi hari, karena tidak ada kayu bakar dirumah, orangtuanya menyuruh Hiskia untuk
memotong kayu bakar dengan sensor (chain saw) didepan rumah tepat dimuara kali Pami Amban Pantai.
Tidak lama berselang datang sebuah truk milik Hock Marani yang bertempat tinggal di Fanindi Bengkel
Tan, yang dikemudikan oleh Wilson Hihatubun untuk mengangkut pasir. Dalam truk tersebut ada 6 orang
pemuda 5 asal Biak, 1 asal Serui.
Mereka sudah dua kali mengambil pasir secara diam-diam, dimana pasir yang mereka muat itu sudah dibeli
oleh CV. Fulica untuk membuat talud jembatan kali Pami yang terletak di Amban Pantai dari orang tua
Hiskia. Pada ret (Trip) yang ketiga saat mereka mau mengambil pasir lagi, anak Hiskia melapor kepada
bapaknya yang sedang memotong kayu bakar di muara kali “bapak truk yang tadi pagi angkat pasir ada
datang mengambil pasir lagi”. Begitu mendengar laporan dari anaknya Hiskia langsung menghentikan
kegiatannya dan pergi melihat truk yang saat itu sudah memuat pasir ± ½ truck, kemudian Hiskia bicara
dengan mereka agar pasir yang mereka muat itu jangan diambil karena sudah dibeli oleh CV. Fulica dari
orang tuanya. Hiskia katakan pada mereka silahkan ambil pasir disini namun harus ada persennya karena
pasir yang sudah kamu ambil itu sudah dibeli. Akan tetapi mereka menolak untuk memberikan persenan
sehingga Hiskia tetap bersikeras kepada mereka untuk menurunkan kembali pasir yang sudah diisi dalam
truk, setelah terjadi adu mulut antara Hiskia dan 6 orang ditambah 1 orang supir. Kemudian mereka (6
orang bersama sopir tersebut)mengalah dan meninggalkan areal penambangan pasir. Namun tak lama
kemudian mereka datang kembali dengan membawa dua orang anggota Brimob yang berasal dari Tanah
Merah (Jayapura) dan satu lagi berasal dari Key temannya Wilson Hihatubun. Ketika mereka tiba dengan
sikap arogan anggota Brimob asal Jayapura ini langsung memukul Hiskia dengan popor senjata dan
dinaikan ke atas truk. Dalam perjalanan menuju pos Brimob sepanjang jalan Hiskia dipukuli oleh kedua
anggota brimob tersebut. Tiba dipos Brimob ada 5-6 orang anggota Brimob lainnya yang langsung
melakukan penyiksaan dengan cara ditendang, dipukul dan diinjak dengan menggunakan sepatu lars
sampai Hiskia jatuh pingsan, dalam keadaan tidak sadarkan diri Hiskia diangkat dan dibawa ke belakang
gedung Pepera (Posko Brimob), Kemudian para anggota Brimob menyiram tubuh Hiskia dengan 3 ember
air. Menurut para saksi mata Hiskia sudah tidak bergerak saat itu dan suhu tubuhnya dingin. Selanjutnya
Hiskia dibawa ke RSUD Manokwari, tiba dirumah sakit Hiskia Opur sudah tidak bernyawa lagi.
3. 2001
 Kasus Fanindi Dalam (1 Mei)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, Peristiwa Fanindi Dalam adalah peristiwa yang sarat dengan
rekayasa. Hal ini diketahui dari hasil diskusi dengan beberapa nara sumber yang ada di Manokwari.
Peristiwa ini dimulai dengan keinginan pihak keamanan untuk menurunkan bendera Bitang Kejora. Upaya
kearah ini telah dilakukan oleh pihak keamanan dengan cara pendekatan kepada pihak Panel Presidium
Dewan Papua Manokwari, tetapi pihak Panel Manokwari tetap bertahan pada kesepakatan dan ijin yang
diberikan oleh Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, dimana hasil keputusannya adalah
bendera Bintang Kejora dapat dikibarkan sebagai lambang kultur asalkan bersamaan dengan bendera
Merah Putih dan harus lebih besar dan lebih tinggi dari bendera Bintang Kejora. Menurut keterangan
anggota Panel, dalam berbagai pertemuan dengan Kapolres Manokwari pada waktu itu AKBP Bambang
Budi Santoso selalu menekankan kepada Panel untuk segera menurunkan bendera Bintang Kejora dengan
menyebutkan bahwa Kab, Manokwari adalah daerah yang sangat bandel, jika dibandingkan Kabupaten lain
yang telah menurunkan bendera Bintang Kejora, inilah yang menyebabkan Kapolres Manokwari dan
Jajarannya selalu mendapatkan tekanan dari Kapolda Papua dan Kapolri. Selain pertemuam dengan
Panel PDP Manokwari, aparat keamanan juga telah menurunkan berdera Bintang Kejora dibeberapa
tempat seperti di Kelurahan Amban, Kelurahan Wosi, Desa Aroi dan beberapa tempat lainnya.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 24


Peristiwa ini, diawali dengan penghadangan kendaraan milik Setwilda Manokwari (baru dilantik pagi tadi)
yang lagi merayakan kemenangannya, oleh sekelompok pemuda yang tidak dikenal. Pada saat
penghadangan, terjadi pertengkaran mulut antara para penghadang dengan Setwilda baru dan sempat
keluar kata-kata kasar dari mulut setwilda baru, sehingga memicu kemarahan kelompok pemuda yang
menghadang. Dalam kemarahannya kelompok pemuda tersebut kemudian membakar mobil setwilda dan
berlari menuju ke arah Pos Satgas Papua (rumah kediaman ketua LMA Manokwari yang juga sebagai
Ketua Panel Manokwari). Pihak keamanan menganggap peritiwa ini dilakukan oleh pihak Satgas Papua,
kemudian melakukan pengejaran dan penembakan kearah anggota satgas Papua yang bertahan di depan
wartel Surya, karena tidak mampu lagi bertahan atas tekanan aparat yang terus menerus menembaki.
Kemudian mereka mengundurkan diri ke kawasan Fanindi Dalam (lokasi Rumah Ketua LMA
Manokwari/Posko). Aparat terus mendesak menuju posko LMA dan berhasil menurunkan bendera Bintang
Kejora serta membubarkan posko. Massa disekitar itu tetap berusaha untuk mempertahankan berkibarnya
bendera Bintang Kejora, maka terjadilah bentrok antara aparat keamanan dengan anggota Satgas dan
massa. Kasus Fanindi mengakibatkan korban 7 orang luka tembak dan penganiayaan terhadap
masyarakat.

Kecamatan Wasior
2001
 Kasus Desa Wombu (31 Maret)
Perusahaan HPH yang beroperasi di desa Wombu yaitu PT. Dharma Mukti Persada yang telah beroperasi
di daerah ini selama 9 (sembilan) tahun. Sepanjang perusahaan beroperasi hak masyarakat sebagian tidak
dibayar oleh perusahaan.
Menurut keterangan masyarakat adat, Perusahaan belum memberikan
pembayaran fee kepada suku Mayrasi dan suku Mere pada tahun 1995 dan
1996 (dua tahun berturut-turut) hal inilah yang selalu dituntut oleh
masyarakat.
Sebagai reaksi ketidak puasan maka masyarakat pemilik hak ulayat melakukan pemalangan jalan
perusahaan pada tanggal 31 Maret 2001. Mereka menghadang manajer dan karyawan perusahaan serta
6 orang anggota Brimob di kilometer 35, maka terjadi kontak senjata yang mengakibatkan 3 orang
karyawan perusahaan meninggal dunia.
Masyarakat Desa Wombu mengungsi ke kehutan karena terdengar informasi, pihak aparat keamanan
akan menembaki siapa saja yang mereka temui di desa wombu, dengan alasan telah terjadi
persekongkolan antara masyarakat adat dengan pihak TPN-OPM.
 Kasus Desa Rasiey (3 Mei)
Asal mula kasus ini digambarkan sebagai berikut, 22 orang masyarakat (pemuda) dari Pegunungan tengah
dan Nabire diundang oleh masyarakat desa Rasiey untuk mengadakan pesta adat (ibadah pengucapan
syukur) kehadiran mereka di Rasiey oleh aparat dicurigai sebagai anggota TPN/OPM dari pegunungan
tengah yang datang untuk memberikan latihan bagi anggota TPN/OPM di Wasior. karena merasa tidak
aman sebab sudah cap sebagai anggota TPN/OPM maka mereka mengungsi ke Raimubaba yang letaknya
diantara Nanimori dan Dusner. Mereka berdiam di sini selama kurang lebih 3 minggu (proses mengapa
mereka kembali lagi ke desa Rasiey tidak dipaparkan dalam tulisan ini, karena menyangkut keamanan,
sebab ditemukan dugaan ada rekayasa antara aparat dengan orang yang mengantar mereka ke
Raimubaba). Saat mereka tiba kembali di Rasiey tiba-tiba diserang oleh aparat dengan cara menembak ke
arah perahu, akibat dari penembakan ini, 6 orang hilang, 16 orang ditangkap, 3 orang yang tertembak dan
mengalami luka-luka. Dari 3 orang yang tertembak. Selanjutnya mereka dibawa ke Manokwari untuk
diproses hukum, dalam persidangan, karena tidak terbukti atas tuduhan yang diberikan (tuduhan makar)
maka, pihak jaksa merubah tuntutannya melanggar Undang-Undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951
tentang membawa senjata tajam. Hasilnya adalah, Putusan pengadilan Negeri Manokwari kepada mereka
adalah rata-rata 1 tahun hukuman penjara dipotong masa tahanan.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 25


 Kasus Desa Wondiboy (13 Juni)
Kasus Wondiboy, 13 Juni 2001, berawal dari tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat kepada perusahaan.
CV. Vatika Papuana Perkasa dan CV. Trima Jaya Sukses Lestari sebagai kontraktor perusahaan HPH
yang beroperasi di desa Wondiboy, selama beroperasi perusahaan telah mengabaikan kesepakatan-
kesepakatan yang antara lain pembangunan perumahan penduduk, pengadaan air bersih untuk penduduk
dan penerangan (Listrik) sepanjang wilayah yang dijangkau perusahaan. Di sisi lain sistem pembayaran
yang tidak transparan (terbuka), memunculkan rasa tidak puas dari keret-keret pemilik hak ulayat kepada
perusahaan (sudah ada 3 kali pengapalan, menurut perjanjian antara perusahaan dengan masyarakat
adat, ialah setiap kali pengapalan harus ada pembayaran), maka pada saat rencana pengapalan kayu log
yang ke- 4 inilah terjadi kasus penyerangan kepada pos Brimob yang bertugas di Log Pon.
Sebelum terjadinya penyerangan ke pos Brimob pernah terjadi sebuah bentrok kecil, dimana pemilik hak
dari marga Yoteni yang diwakili oleh dua orang (nama kedua orang ini tidak ditampilkan karena alasan
keamanan), menuntut perusahaan agar membayar 2 (dua) Milyar, tuntutan sebesar ini dimaksudkan agar
ada perhatian yang serius dari perusahan.
Dan karena perusahaan tidak mengabulkan permintaan tersebut, pelampiasan dari tuntutan mereka ialah
menahan speed boat perusahaan sebagai jaminan. Penahanan speed boat dirasakan perusahaan
mengganggu produktivitas. Maka mantan kepala Desa Tandia ( Markus Webori ) yang sekaligus menjabat
sebagai Manejer Camp CV. Vatika Papuana Perkasa mengontak pimpinan perusahaan di Manokwari untuk
mendatangkan aparat keamanan dalam rangka mengamankan aset perusahan. Aparat keamanan (Brimob)
didatangkan oleh Pak. Nataniel Kateri direktur CV Vatika Papuana Perkasa dan Mr Ling Ai Ung Direktur
Trimajaya Sukses Lestari (perusahaan kontraktor pelaksana eksploitasi hutan).
Dampak dari kehadiran pihak keamanan di Desa Wondiboy adalah masyarakat adat mulai tidak percaya
kepada pihak pemerintah (aparat sipil maupun keamanan) mereka beranggapan bahwa seharusnya
pemerintahlah yang membela kepentingan masyarakatat adat bukan sebaliknya membela perusahaan.
Lebih lanjut menurut keterangan beberapa masyarakat, ada anggota TPN-
OPM yang berada di Kecamatan Wasior, mereka sangat bersimpati dengan
persoalan yang dialami oleh masyarakat adat dan sangat sakit hati terhadap
perbuatan pihak perusahaan yang dilindungi oleh aparat pemerintah. Selain
itu, penyerangan ke kamp (Logpon) perusahaan dan Brimob sebagai akibat
sakit hati dari perlakuan Brimob pada saat penyerangan yang terjadi di Desa
Rasiey terhadap 22 orang Paniai.
Pada Tanggal, 13 Juni 2001, dini hari jam 03.00 Wit, sekelompok masyarakat sipil bersenjata masuk ke
kamp (logpound) perusahaan dan membunuh 5 orang anggota Brimob dan 1 orang karyawan serta
mengambil 6 pucuk senjata. Pagi hari 16 0rang karyawan yang hendak masuk kerja tiba-tiba mereka
ditangkap dan dipukul dengan alasan mengetahui/ikut dalam peristiwa ini dengan todongan senjata mereka
disuruh naik ke atas speed boat oleh anggota Brimob dan Polisi dibawa ke Manokwari untuk ditahan di
Polres Manokwari.
Pasca peristiwa menyerangan pos Brimob di Log Pon Wondiboy terjadi penangkapan semena-mena,
penganiayaan, pembakaran rumah penduduk, bahkan penembakan oleh aparat keamanan pada
masyarakat adat, peristiwa seperti ini terjadi di beberapa desa.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut :
a. Penganiayaan : 74 orang
b. Penembakan, : 11 orang meninggal dan 1 orang luka berat
c. Rumah yang rusak : 63 unit

Pendahuluan dan Gambaran Umum 26


No Modus Desa Kejadian Jumlah Keterangan
Wondiboy 19 org
Isuy 9 org
Rasiey 3 org
1. Penganiayaan Isey 4 org
Tandia 10 org
Kaibi 1 org
Kabuow 18 org
2. Penembakan luka Wondiboy 1 org
Wondiboy 1 org
Isuy 2 org
Penembakan/
Sanderawoy 1 org
3. Penganiayaan
Iriaty 5 org
(meninggal)
Ramiki 1 org
Wasior Kota 1 org
Wondiboy 5 bh sementara ini
Isuy 1 bh issu yang
Pengrusakan/ sangat
Isey 3 bh
4. Pembakaran mengganggu
Sanderawoy 50 bh 1 kampung
Rumah masyarakat aktifitas
Iriaty 3 bh
Wasior kota 1 bh masyarakat
adalah
adanya team kemanusiaan (tim penyelamatan senjata), team ini beranggotakan masyarakat setempat dan
dibantu oleh aparat keamanan. Tetapi sampai saat ini tidak jelas siapa anggota team tersebut, sehingga
membuat masyarakat mulai saling mencurigai diantara mereka sendiri dan yang sangat berbahaya adalah,
kecurigaan ini bukan hanya terjadi antara anggota masyarakat didalam satu desa tetapi antara masyarakat
satu desa dengan desa yang lain. Selain itu ada juga satu team yang dibentuk oleh masyarakat Wandama
di rantau, team ini diberi nama Team Peduli Kemanusiaan Teluk Wandama, dengan tujuan
mengupayakan agar pemerintah segera membangun kembali rumah-rumah yang dirusak oleh aparat
keamanan.

C. Kecamatan Babo
1. Lintas Kasus yang Dilakukan oleh Djayanti Group (1995 – 2001)
Djayanti Group merupakan salah satu perusahan besar yang terdiri dari beberapa perusahan, yang melakukan
berbagai eksplorasi dan eksploitasi di Kecamatan Babo. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kawasan ini
diperoleh gambaran tentang aktifitas Djayanti Group sebagai berikut, (peneliti mencoba mengangkat beberapa
persoalan yang diakibatkan oleh tiga perusahan yang tergabung dalam Djayanti Group)
 Pelanggaran Wilayah Penangkapan Ikan
Menurut laporan masyarakat bahwa, berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh pemeritah kepada PT. Bintuni
Mina Raya hanya boleh beroperasi 4 Mil dari bibir pantai, tetapi realitanya, kapal-kapal mereka beroperasi
sampai dibibir pantai pada hal kawasan ini biasanya dijadikan tempat untuk mencari ikan oleh para nelayan
tradisional.
Masyarakat adat telah beberapa kali meminta kepada Pemerintah (Camat dan Dinas Perikanan) untuk
menegur perusahan, agar tidak melanggar batas wilayah operasi masyarakat adat (nelayan tradisional)
tetapi sampai saat penelitian ini berjalan, pelanggaran tetap berlangsung.
Saleh Fimbay (Sekertaris LMA Babo) :
Masalah batas 4 Mil ini kami sudah pernah bicarakan dengan pihak Pemerintah tetapi
tidak ada perhatian. Masyarakat juga pernah minta perhatian dari perusahan, tetapi
Perusahan Djayanti ini seperti perusahan adat, jadi dia seenaknya bikin apa saja disini,
dan saya jadi bingung pemerintah ini ada untuk urus apa, dan untuk siapa ?
Perlu diketahui bahwa, perusahan ini bekerja pada seluruh perairan kawasan teluk Bintuni, bahkan menurut
laporan masyarakat, bila air pasang kapal-kapal mereka masuk sampai ke sungai-sungai.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 27


 Ketidakjelasan Areal Perkebunan Perusahaan
Areal perkebunan PT. Varita Maya Tani terdapat di Desa Tofoy tepatnya di atas tanah ulayat milik suku
Irarutu, Menurut keterangan Kepala Desa Tofoy, masyarakat sampai saat ini tidak mengetahui secara jelas
sebenarnya luas lahan yang dipakai untuk lokasi perkebunan ini, dan berapa besar serta apa saja yang
menjadi hak masyarakat adat ? Menurut mereka seharusnya ada dua persoalan yang harus dibicarakan
secara terpisah, yaitu :
1. Berapa Luas dan berapa besar harga tanah ?
2. Berapa recognisi dari hutan yang ditebang (eksploitasi) ?
Kedua persoalan ini harus dibicarakan terpisah karena, yang memiliki ijin perkebunan yaitu PT. Varita Maya
Tani. Sedangkan kayu dikelolah oleh PT. Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu),
selain itu karena aktifitas kedua perusahan ini berbeda. Lebih lanjut diakui oleh Kepala Desa bahwa
memang masyarakat pemilik hak ulayat pernah menerima uang recognisi sebesar Rp 100.000.000,-
dengan perincian Rp 500,-/m², yang dipahami oleh masyarakat adalah sebagai berikut.
Ijin yang dikeluarkan oleh Dirjen Pengolahan Hutan Produksi bagi PT. Agoda Rimba Irian No.
137/KPTS/KWL.d/2000 adalah seluas 6.300 Ha. Artinya sebesar itu pula (paling tidak saat ini) ijin yang
diperoleh untuk areal perkebunan. Bila demikian masyarakat adat beranggapan bahwa, uang recognisi
untuk tanah ulayat sebesar 6.300 Ha X 100 m² X Rp 500 = Rp 315.000.000,- (tiga ratus lima belas juta
rupiah) dengan demikian ada selisih yang besar antara nilai yang harus diterima dengan yang telah
diterima.
Untuk kegiatan pengambilan kayu oleh PT Agoda Rimba Irian dalam bentuk IPK terjadi beberapa kali
pergantian nilai fee. Menurut keterangan Kepala Desa Tofoy, pergantian nilai fee ini akibat ketidak jujuran
pihak Perusahan dan aturan (SK Gubernur) yang tidak berpihak pada masyarakat adat, sebagai contoh SK
Gubernur yang tidak berpihak ialah SK Gubernur 1995, nilai fee sebesar Rp 500,- (lima ratus, rupiah)/m³.
Setelah tahun 1999, akibat ketidak puasan masyarakat adat maka naik lagi menjadi Rp 1.000,-/m³ sampai
saat ini. Menurut Kepala Desa, mereka telah mendengar bahwa, besar nilai fee ini telah naik lagi tetapi
dibagi berdasarkan jenis kayu (Klas) yaitu, Klas Merbau Rp 2.000,- per meter kubik sedangkan untuk klas
kayu campuran Rp 600,- per meter kubik. Namun sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan
kepastian tentang berapa fee yang sebenarnya. Bahkan sampai saat ini masyarakat tidak pernah tahu
dengan pasti berapa besar produksi perusahan
 Pembangunan Pemukiman Transmigrasi
Di Desa Tofoy ada 2 SP (Satuan Pemukiman) Transmigrasi yang dibangun disini, menurut laporan kepala
desa, 2 SP ini dibangun untuk menunjang kegiatan PT. Varita Maya Tani, lokasi pemukimannya diatas
tanah ulayat Marga Ateta, Inanosa, Wamay dan Bayumi, tanpa ada pelepasan tanah adat (hak ulayat).
Persoalan ini pernah dibicarakan dengan pemerintah (pihak Transmigrasi) tetapi sampai saat ini belum
ada jawaban. Padahal jika ada warga transmigrasi yang tidak betah tinggal dilokasi mereka dengan
leluasa dapat menjual rumah dan lahannya kepada pihak lain (orang luar). Jadi terlihat dengan jelas
bahwa, para pemilik hak ulayat tidak mendapat suatu apapun dari tanah ulayatnya tetapi warga
transmigrasi (asal Pulau Jawa) yang tidak memiliki hak apapun atas tanah pemukiman dapat menjual dan
memperoleh uang. Lebih lanjut menurut kepala desa, mereka tidak berani menekan PT. Varita Maya Tani
(Keberadaan 2 SP Transmigrasi atas kepentingan perusahan ini) karena takut. kepada pihak keamanan.
 Pemukulan Karyawan PT. Varita Maya Tani.
Ada keinginan oleh para pekerja diperkebunan PT. Varita Maya Tani untuk memohon perhatian dari pihak
perusahan agar menaikan upah mereka. Pada hari kejadian, ada pertemuan antar karyawan, yang
dipelopori oleh beberapa orang, menurut keterangan beberapa orang, inti pertemuan itu ialah meminta
kepada perusahan agar upah mereka disesuaikan dengan ketentuan Upah Minimum Regional Papua
(UMR) terakhir dari, Rp 420.000,- menjadi Rp 530.000,- . Pada saat pertemuan sedang berlangsung
datang pihak keamanan untuk membubarkan rapat tersebut bahkan peserta rapat tersebut dipukul dan
digertak dengan tembakan. Akibat perbuatan pihak keamanan tersebut, beberapa orang yang mengikuti
pertemuan itu mengalami luka-luka, diantaranya yaitu;
1. Amirudin
2. Latif Manuama
3. Alfred Inanosa
4. Elieser
5. Vitalis
6. Ruben
7. Tinus Inanosa
8. Ferdinan
Peristiwa ini membuat para karyawan selalu bertanya, untuk apa aparat keamanan berada di Tofoy kalau
hanya untuk melindungi pihak perusahan ? Bila ada karyawan / masyarakat yang melakukan kesalahan
aparat mengambil tindakan itu baru benar, dan kami bisa terima. Apakah jika karyawan memperjuangkan
perbaikan nasib itu merupakan tindakan yang salah?

Pendahuluan dan Gambaran Umum 28


 Pembentukan SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia)
Kesadaran akan berserikat ternyata telah tumbuh dan berkembang dikalangan pekerja yang berada di
Kawasan Teluk Bintuni, terutama mereka yang bekerja pada Djayanti Group. Yonathan Kailele (salah satu
pekerja di saw mill Djayanti Group), mendapat mandat dari SBSI sorong untuk mendirikan cabang SBSI di
Tofoy, dengan tujuan agar mereka dapat membela hak-hak para karyawan. Yonathan Kailele mulai
menghimpun para pekerja (mendaftar dan membentuk cabang SBSI), beberapalama kemudian dia
bermaksud berangkat ke kota Sorong untuk melaporkan perkembangan kegiatannya, tetapi Yonathan tidak
mendapat izin dari pihak perusahan. Dia tetap memaksa untuk berangkat, pada saat berada diatas kapal
datang beberapa aparat keamanan memaksa Yonathan untuk membatalkan niatnya, tetapi Yonathan
bersikeras untuk berangkat (bahkan dia bersedia membayar ongkos kapal sebesar Rp 100.000,-). Karena
merasa perintah mereka (aparat) tidak diindahkan, Yonathan pun dipukul. Menurut keterangan beberapa
karyawan yang berada ditempat kejadian (nama-nama ada pada peneliti, mereka mohon untuk tidak
ditampilkan namanya karena takut dipecat perusahan). Yonathan, walaupun dipukul masih tetap saja
berangkat ke Sorong. Selanjutnya sampai saat ini mereka tidak mendapat kabar lagi dari Yonathan, tetapi
para pekerja ini tetap berharap kedepan ada sebuah institusi yang berpihak kepada karyawan berdiri di
Kec. Babo untuk membela kepentingan mereka.
Peneliti AlDP pernah mengkonfirmasikan masalah ini kepada Pihak pemerintah dalam hal ini Dinas
Tenaga Kerja Manokwari. (Drs. H. Kaharuddin Latarang. KASUBDIN Perlindungan Tenaga Kerja), tetapi
terkesan persoalan ini kurang mendapat perhatian dengan beberapa alasan antara lain;
- Pendirian SBSI, seharusnya tidak melalui Kab. Sorong, tetapi harus melalui
Kabupaten Manokwari karena Perusahan Djayanti Group camp Tofoy (saw
mill, tempat Yonathan Kailele bekerja) berada diwilayah kerja Dinas Tenaga
Kerja Kab. Manokwari. apa lagi pihak SBSI dan Yonathan Kailele, tidak
pernah melaporkan keberadaanya kepada Dinas Tenaga Kerja Kab.
Manokwari.
- Bila di bandingkan dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), aktifis
SBSI dinilai lebih sering melakukan protes.
Alasan-alasan inilah yang membuat para petugas Dinas Tenaga Kerja Kab. Manokwari tidak bersimpati.
Tetapi menurut keterangan beberapa pekerja di Djayanti Group (Camp Tofoy). Pihak Dinas Tenaga Kerja
Kab. Manokwari, sebenarnya tidak berpihak pada para pekerja terbukti, para petugas Dinas Tenaga Kerja
Kab. Manokwari bila datang ke Tofoy, sekalipun tidak pernah bertemu dengan para pekerja. Dari hasil
penelitian ini, diketahui bahwa persoalan-persoalan yang timbul lebih diakibatkan oleh ketidak terbukaan
pihak Djayanti dan keterbatasan informasi menyangkut undang-undang maupun aturan-aturan ketenaga
kerjaan, serta apa yang menjadi hak dan kewajiban pekerja.
 Tanah Termurah di Dunia
Desa Tanah Merah merupakan salah satu desa yang berada di wilayah kecamatan Babo, dengan luas
wilayah 9,470Km². ± 24,9% dari luas Kabupaten Manokwari(± 37.901 Km² luas Kab. Manokwari, Data
Bapeda Dati I Papua, 1999). Dimana desa tersebut dihuni oleh 511 jumlah jiwa (110 KK) yang pada
umumnya mereka tergabung dalam suku Simuri (data Team Peneliti Unipa, 2002) – salah satu suku asli
Teluk Bintuni dimana kawasan mereka, berikut akan dieksploitasi sumberdaya alamnya oleh Pertamina-
Arco. Sementara marga/keret-nya berjumlah 9 marga yang terdiri dari; Kamisopa, Sabandafa, Dokasi,
Wayuri, Agofa, Siwana, Mayera, Masipa dan Dofa. Dimana mereka sudah tinggal atau bermukim sejak
lama diatas hak ulayat marga Soway.
Rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh yang akan dibangun di desa Tanah Merah menjadikan
sebuah permasalahan bagi penduduk setempat, karena mau atau tidak mau, suka atau tidak suka mereka
harus rela untuk meninggalkan tempat yang selama ini didiaminya, untuk berpindah ke lokasi pemukiman
baru yaitu desa Saengga yang jaraknya lebih kurang 500m (dihuni oleh suku Simuri).
Pada tanggal 20 Mei 1999 yang kemudian lebih dipertegas lagi pada tanggal 19 Juli 1999 ada sejumlah
negoisasi yang disepakati oleh pemegang hak ulayat marga Simuna dengan pihak Pertamina-Arco, yang
difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari. Salah satunya adalah akan dilakukan program (relokasi
dan resettlement) dengan melibatkan masyarakat desa Tanah Merah dan masyarakat desa Saengga.
Guna mendukung pelaksanaan relokasi dan resettlement penduduk Tanah Merah maka dalam kedua
kesepakatan itu memuat juga hal sebagai berikut :
a. Marga Simuna telah melepaskan hak atas tanah adatnya seluas 200 ha kepada Pertamina-Arco untuk
keperluan relokasi dan resettlement.
b. Harga tanah disepakati sebesar Rp. 150.000,- per hektar.
Sementara ganti rugi tanaman dan tumbuhan disepakati berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Manokwari Nomor: 213 tahun 1997 tanggal 12 Mei 1997.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah mengenai harga tanah yang menurut peneliti jauh dibawah
harga standar sehingga menimbulkan tanda tanya sebagai berikut ;

Pendahuluan dan Gambaran Umum 29


a. Apakah harga tanah Rp.15 per meter² layak untuk ukuran sekarang ?
b. Apakah karena ketidak pahaman masyarakat atas harga Rp. 150.000,-/hektar, sehingga dipahami lain
oleh masyarakat bahwa Rp. 150.000,- itu adalah /m² ?
c. Ataukah ada intervensi pihak ketiga dengan cara mengintimidasi masyarakat untuk menerima
kesepakatan tersebut ?
Ketika peneliti tiba di desa Tanah Merah yang menjadi obyek daerah penelitian, terlihat masyarakat
terkesan apatis bahkan cenderung apriori terhadap orang-orang baru yang datang di desa itu. Ternyata ada
kesepakatan yang dibuat dari sebuah lembaga yang di bentuk Community Developmen BP dan
masyarakat desa Tanah Merah (masyarakat setempat menyebutnya dengan comite) untuk tidak menerima
bahkan berbicara dengan orang baru yang datang ke desa itu, terutama organisasi-organisasi
kemasyarakatan (LSM).
Menurut keterangan yang peneliti dapat dari Team Sensus Ekonomi Unipa
2002 (setelah peneliti kembali ke Manokwari), mereka juga sampai 3 kali
mendapat perlakuan yang sama, bahkan ada yang mengancam akan
memotong leher salah satu dari Team Sensus Ekonomi Unipa 2002.
Kami mungkin masih beruntung karena ada salah satu tokoh masyarakat namanya Salim Masipa
(responden yang ditunjuk oleh Key Person di kec. Babo) masih mau menerima kami kendati kelihatan
setengah hati untuk memberikan keterangan. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang selalu gelisah saat
kami berbincang-bincang bahkan ketika salah satu dari peneliti menawarkan untuk merekam wawancara
tersebut, beliau menolak dengan alasan sedang melakukan pelatihan komite. Sehingga baru saja dialog
berlangsung beberapa saat kemudian beliau pamit untuk pergi mengikuti kembali pelatihan dan berjanji
akan segera menemui peneliti setelah pelatihan selesai. Akan tetapi pak Salim Masipa tidak muncul sampai
pelatihan usai. Satu jam kemudian beliau muncul akan tetapi belum lagi kami sempat berbincang-bincang,
tiba-tiba terjadi keributan yang berasal dari sekelompok pemuda mabuk dan berakhir dengan perkelahian
diantara mereka. Ditengah keributan itu kami sempat mendengar teriakan-teriakan dari mereka antara lain;
“stop sudah latihan, bubarkan komite, komite apa itu, kami ini marga Masipa
tetap saja miskin yang jadi kaya itu orang lain !”
Kejadian tersebut membuat kami menangguhkan perbincangan dengan pak Salim Masipa karena beliau
harus menenangkan keadaan, kami sempat menunggu beberapa saat akan tetapi keributan tidak juga
reda, akhirnya kami mengambil inisiatif untuk segera meninggalkan desa tersebut dan kembali nanti
setelah keadaan tenang.
Ternyata rencana pembangunan Kilang LNG Tangguh masih banyak menyimpan permasalahan dalam
masyarakat, seperti boom waktu yang dapat meledak setiap saat jika tidak diantisipasi dan dicarikan
solusinya. Teriakan-teriakan pemuda mabuk itu mengungkapkan rasa ketidakpuasan atas hadirnya mega
proyek tersebut – ini hanya sebuah contoh kecil dampak dari keberadaan Kilang LNG Tangguh yang belum
beroperasi, apalagi kalau sudah berproduksi ?
Dari hasil wawancara singkat yang dapat peneliti catat dengan bapak Salim Masipa adalah sebagai berikut;
“Harga tanah yang paling murah didunia ini hanya ada di desa Tanah Merah,
Rp.15/m², bahkan lebih murah dari harga satu buah gula-gula“.
ketika peneliti mencoba menanyakan kenapa tidak dibicarakan lebih lanjut dengan pihak Pertamina – Arco
? Jawabannya adalah;
“Kami ini hanya orang kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa, kami pikir bahwa
biar kami tolak juga perusahaan itu akan tetap ada“.
Pembangunan Kilang LNG Tangguh di kawasan Teluk Bintuni terkesan dipaksakan, tanpa menghiraukan
dampak-dampak yang akan muncul dikemudian hari akibat persoalan-persoalan yang tidak diselesaikan
secara baik dengan masyarakat setempat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah yang hendak di eksploitasi
sumberdaya alamnya.

D. Kecamatan Bintuni
1. 2001
 Penyerangan Polsek Bintuni (26 Agustus)
Peristiwa ini bermula dari aspirasi Masyarakat Papua yang berada di Kec. Bintuni untuk menuntut kembali
kemerdekaan yang pernah diproklamirkan pada 1 Desember 1961. Seiring dengan bertiupnya angin
reformasi maka di kecamatan ini banyak pemuda yang menghimpunkan dirinya bergabung dengan Satgas
Papua, salah satu pemuda yang berkumpul dalam satgas papua ialah Yulian Nauw.
Pada tanggal 26 Agustus 2001 malam, Saudara Max Ronsumbre dan beberapa temannya berkumpul
untuk minum-minuman keras, tiba-tiba datang beberapa anggota polisi menangkap mereka, pada proses
penangkapan ini tidak terjadi keributan apa-apa, selain itu penangkapan ini tidak diketahui pula oleh para

Pendahuluan dan Gambaran Umum 30


anggota Satgas Papua, dini hari kira-kira pukul 04.00 WIT baru peristiwa tersebut diketahui oleh mereka.
Yulian Nauw dan beberapa temannya merasa tidak terima akan kejadian ini,
(Pada banyak kasus mabuk, biasanya polisi tidak mengambil tindakan apapun,
kecuali si pemabuk melakukan tindakan yang melanggar ketertiban. Menurut
keterangan beberapa saksi, Max Ronsumbre dan teman-temannya tidak
melakukan pelanggaran apapun)
langsung mendatangi Polsek Bintuni untuk minta agar Max Ronsumbre dan teman-temannya dibebaskan.
Menurut keterangan saksi mata, bahwa ada teman Yulian Nauw yang membawa senjata tradisional. Polisi
menganggap tindakan ini merupakan penyerangan, sehingga kedatangan Yulian dan teman-temannya
langsung disambut dengan tembakan dan pemukulan.
Dampak kejadian ini adalah :
(1). Yulian Nauw mengalami luka tembak dan menjadi cacat seumur hidup, padahal Yulian adalah tulang
punggung dalam keluarga keluarga Baldus Nauw.
(2). Penangkapan terhadap beberapa aktifis Papua Merdeka.
Sementara itu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah mengirim Yulian Nauw ke Surabaya
untuk berobat (Yulian telah berada kembali di Bintuni, tetapi dalam keadaan cacat seumur hidup)
sedangkan upaya masyarakat adalah meminta berbagai pihak untuk dapat melepaskan mereka dari jerat
hukum.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 31


KABUPATEN MERAUKE

I. Kecamatan Merauke
1. 1996
 Pencaplokan Tanah Adat
Berawal dari keinginan Yakob Banggo, salah satu dari 2 marga pemilik tanah, sekaligus –waktu itu–kepala
desa Sota, yang mengusulkan kepada Pemda Merauke agar mendatangkan transmigran di daerah
tersebut. Atas kehadiran para transmigran, marga Ndiken, sebagai pemilik sah hak ulayat lainnya yang
merasa tidak pernah dilibatkan sebelumnya –juga tidak mendapatkan ganti rugi– lantas mengadukan hal ini
kepada Pemda Merauke, tetapi tidak mendapatkan tanggapan.
Pada tahun 2000, (Yakob Banggo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa) kembali marga Ndiken
menuntut ganti rugi. Atas tuntutan tersebut, Pemda Merauke menjanjikan untuk mempertemukan kedua
marga pemilik tanah dan akan memberikan ganti rugi. Akan tetapi hal tersebut belum terealisasi sampai
sekarang. Alasan Pemda Merauke adalah Perda tentang tanah belum dirampungkan.
Sementara itu, transmigran yang menempati kawasan sengketa tersebut sampai sekarang
belum mendapatkan sertifikat tanah. Padahal keberadaan mereka telah menjadi tanggung jawab Pemda
Merauke. Akibatnya, transmigran kebingungan menentukan sikap. Hendak membangun rumah dan
keperluan lain yang berhubungan dengan tanah yang ditempatinya, akan tetapi mereka merasa takut jika
nanti menimbulkan masalah dengan pemilik tanah adat yang tengah menuntut ganti rugi. Dalam
kebimbangannya, sebagian transmigran memilih kembali pulang ke tanah asalnya di Jawa, sedangkan
sebagian lainnya memilih pindah ke daerah lain. Transmigran yang tetap bertahan di lokasi tersebut lantas
mengadukan nasib mereka ke pihak Pemda Merauke yang sampai sekarang belum mendapatkan jawaban
yang pasti.
 Pertikaian Etnis
Berawal dari keributan kecil, telah mengakibatkan perkelahian antara seorang masyarakat Papua dengan
non Papua yang berbuntut pada meninggalnya etnis Papua. Hal ini telah membuat sekelompok masyarakat
Papua melampiaskan kemarahannya kepada etnis non Papua yang berada di dalam dan di sekitar
kompleks pasar. Setelah mengusir keluar masyarakat non Papua (sambil mengancam dengan
menggunakan senjata tradisonal) dari dalam kompleks pasar, beberapa kios dan toko milik etnis non
Papua dirusak dan dijarah.
Pada saat yang bersamaan, di terminal yang merupakan bagian dari pasar Ampera, sekelompok
masyarakat Papua lainnya juga melakukan hal yang sama. Beberapa mobil/taksi tidak diperbolehkan
masuk terminal. Bahkan ada yang sempat dikejar, dirusak dan sopirnya dianiaya. Beberapa orang
dilaporkan mengalami luka-luka dan mengharuskan mereka menjalani perawatan di RSUD Merauke. Selain
luka-luka, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Selama beberapa hari, keadaan kota Merauke
sempat terlihat lengang. Pasar macet total dan sebagian besar toko tutup.
Dari laporan beberapa responden (pelaku – masyarakat Papua), bahwa kemarahan
mereka sebetulnya dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial atas keistimewaan
fasilitas yang diperoleh etnis non Papua dalam pasar. Sebelum kejadian tersebut,
masyarakat Papua tidak boleh menempati areal di dalam pasar. Mereka hanya
berjualan di sekitar pinggiran pasar.
Seorang responden lain (pedagang di dalam pasar – etnis non Papua),
mengemukakan alasannya, bahwa bagaimana mungkin di los penjualan pakaian,
makanan atau juga kelontongan harus bercampur dengan para penjual buah,
sayur, atau ikan dan daging. Tentunya para konsumen tidak akan ada yang mau
belanja di tokonya karena terkesan kotor.
2. 1999
 Pengrusakan Aset Pemerintah dan Warga Non Papua (September)
Peristiwa penghancuran beberapa bangunan milik pemerintah dan BUMN, serta penjarahan beberapa toko
dan kios milik etnis non Papua berawal dari tenggelamnya KM. Bimas Raya II di perairan laut Merauke,
dengan korban meninggal dunia mencapai 300-an orang.
Kelambanan tim penyelamat ketika mengevakuasi korban pada akhirnya telah menyebabkan sekelompok
masyarakat Papua sudah tidak mampu untuk bersabar lagi. Dalam suasana duka, marah dan lelah
menunggu terlalu lama, (menurut responden berinisial FK) tiba-tiba muncul seorang Papua dalam keadan
mabuk dan tidak mereka kenali, lalu mengeluarkan kalimat bernada menghasut –dengan memakai isu
Papua Merdeka– kepada semua masyarakat Papua yang berada di sekitar pelabuhan. Hasutan itulah yang
telah menyebabkan beberapa perkantoran milik pemerintah (diantaranya Kantor Pelni, Navigasi dan
Administrator Pelayaran) rusak berat akibat amukan massa.
Massa yang kian brutal terus mengarahkan aksinya menuju kantor DPRD Merauke untuk menyampaikan
tuntutannya. Sepanjang jalan yang mereka lalui (Jl. Brawijaya dan Jl. TMP Polder), beberapa toko dan kios

Pendahuluan dan Gambaran Umum 32


milik etnis non Papua menjadi korban penjarahan dan pengrusakan. Tidak puas dengan hal itu, aksi massa
–yang kini telah kental dengan nuansa Papua Merdeka– masih juga melakukan pengrusakan terhadap
bangunan kantor DPRD.
Hal yang patut disesalkan adalah tindakan aparat keamanan yang terkesan membiarkan gelombang massa
dalam jumlah yang cukup besar melakukan aksinya. Hal ini terlihat dari meluasnya wilayah konflik yang
tentu saja menyebabkan kerugian yang semakin bertambah banyak.
Atas peristiwa tenggelamnya kapal, Pemda Merauke memberikan santunan sebesar Rp. 5.000.000,- per
korban. Selain itu, mendatangkan 3 buah kapal untuk melayani daerah-daerah di pedalaman Merauke.
Tetapi yang aneh, Muspida Merauke terkesan tidak menghiraukan korban dari penjarahan yang dilakukan
oleh massa Papua ketika meluapkan amarahnya. Padahal kerugian material di pihak etnis pendatang saat
itu cukup besar. Walaupun telah ada yang dikembalikan, namun sebagian dari pemilik barang yang dijarah
masih belum mendapatkan barangnya. Juga tidak ada upaya dari penegak hukum terhadap para pelaku.
Pasca munculnya tuntutan kemerdekaan secara terang-terangan yang ditandai dengan dikibarkannya
bendera Bintang Kejora Juli 1998 di Jayapura, telah berakibat pada menguatnya institusi dan ideologi
Papua Merdeka di seluruh tanah Papua. Di beberapa daerah kecamatan di pedalaman Merauke, isu yang
beredar lebih besar lagi, yakni bahwa Papua telah merdeka dan masyarakat Papua tinggal datang ke kota
(Merauke) untuk mengambil atau memilih rumah sendiri, dan untuk Satgas Papua telah disediakan uang
dan senjata.
Isu inilah yang telah membuat masyarakat Papua di pedalaman Merauke –tanpa memikirkan
keselamatannya– berbondong-bondong ke kota Merauke dengan menumpang kapal perintis (alternatif
transportasi paling murah) yang mempunyai daya angkut tidak lebih dari 100 orang, akan tetapi
penumpang kapal telah melebihi 700 orang. Dengan over bagasi yang sangat besar ditambah dengan
kondisi kapal yang sudah tua (lama beroperasi di pedalaman Kalimantan) telah menyebabkan tidak kurang
dari 300 orang menjadi korban akibat tenggelamnya kapal.
Pada saat yang bersamaan, di kota Merauke, tengah terbangun isu pertentangan antaragama (Protestan –
Katolik juga Protestan – Katolik – Islam), antarsuku di Papua (Utara –Selatan) juga antar etnis Papua dan
non Papua.
3. 2000
 Penolakan Otonomi (16 Februari)
Sehari sebelumnya, 15 Februari, bakal calon Bupati Merauke (Drs. Jhon Gluba Gebze – sekarang Bupati
Merauke) melakukan kampanye otonomisasi yang disiarkan langsung melalui RRI. Pada 16 Februari,
sekelompok masyarakat sipil Papua menuju bandara Mopah Merauke dengan maksud mencegat kelompok
yang mereka duga sebagai utusan yang akan meminta otonomi ke Jakarta dan meminta sdr Drs. John
Gluba Gebze untuk meluruskan perkataannya di RRI. Aksi kemudian dilanjutkan –setelah upaya negosiasi
yang coba dilakukan oleh Uskup Agung Merauke dan yang lainnya gagal– dengan melakukan pengrusakan
pada kantor RRI yang telah dianggap ikut menyebarluaskan otonomi. Massa Papua yang bersenjatakan
panah dan kampak serta senjata tajam lainnya semakin marah ketika mereka kembali berhadapan dengan
satuan Kepolisian. Akibatnya, seorang anggota Kepolisian dan seorang pegawai RRI terluka parah ketika
berhadapan dengan kelompok massa. Di pihak massa, tercatat seorang langsung meninggal dunia dan 2
orang lainnya luka terkena terjangan peluru aparat.
Tidak sampai di sini. Kelompok massa yang semakin brutal, dengan membawa beberapa jenis senjata
tradisional kemudian mengalihkan obyek amuknya pada kantor Bupati Merauke serta mendatangi Polres
Merauke guna meminta pertanggungjawaban Kepolisian atas jatuhnya korban di pihak mereka. Kapolres
Merauke, Letkol Pol. I Nyoman Rubrata dan Kajari Merauke yang berusaha melakukan negosiasi, tidak
dihiraukan oleh kelompok massa. Melihat gelagat ini, pihak Kepolisian langsung memberikan tembakan
peringatan ke arah kerumunan massa yang belum juga bergeming. Sampai akhirnya seorang dari
kelompok massa –yang ternyata bukan bagian dari kelompok massa penyerang– tertembak dan langsung
menghembuskan nafas terakhirnya, serta 7 orang lainnya mengalami luka-luka, telah mengkocar-kacirkan
barisan massa. Selain itu, di pihak Kepolisian tercatat sekitar 10 orang mengalami luka-luka.
Sampai sekarang, kasus tersebut tidak pernah ada upaya penyelesaian hukum terhadap oknum polisi yang
melakukan penembakan terhadap masyarakat di kantor RRI dan Polres Merauke.
 Kasus Jl. Natuna (4 – 11 November)
Bermula dari persoalan keluarga di Jl. Natuna (yang kebetulan berdekatan dengan Markas Brimob
Merauke dan Posko Satgas Papua) pada 3 November 2000. Masing-masing pihak yang bertikai ada yang
melapor ke Markas Brimob dan ada yang melapor ke Posko Satgas Papua. Ketika anggota Brimob datang
ke TKP, terjadi pertengkaran mulut dengan salah seorang masyarakat Papua yang berada di TKP (salah
satu responden mengatakan bahwa anggota Brimob tersebut dianiaya oleh salah seorang Satgas Papua).

Pendahuluan dan Gambaran Umum 33


Anggota Brimob yang tidak menerima perlakuan Satgas Papua kemudian memanggil teman-temannya lalu
menodongkan senjata ke salah seorang dari mereka sehingga menimbulkan perseteruan kecil antara
anggota Satgas Papua dan anggota Brimob di TKP. Dankie Brimob selanjutnya melaporkan perihal
pemukulan anggotanya oleh masyarakat Papua tersebut kepada satuan Sabhara Polres Merauke yang
kebetulan mengantar anggota Brimob BKO yang akan berjaga di Polres Merauke.
Laporan resmi Polres Merauke :
Terjadi kesalahan informasi, bahwa tidak benar ada anggota Brimob dianiaya oleh
Satgas Papua.
Pada 4 November 2000, sekitar pukul 11.00 WIT, 2 peleton aparat kepolisian dari Brimob dan Polres
Merauke diturunkan untuk menangkap oknum sipil Papua yang melakukan penganiayaan terhadap
anggota Brimob.
Kehadiran mereka dengan arogansi yang tinggi telah menimbulkan perlawanan dari Satgas Papua di
Posko Jl. Natuna. Akibat perlawanan tersebut, 3 truk pasukan dari Polres dan Brimob Merauke kembali
diturunkan untuk mem-back up satuan sebelumnya. Perlawanan Satgas Papua berhasil dilumpuhkan dan
25 orang massa Papua ditangkap pada saat kejadian, 5 orang lainnya ditembak ketika berusaha melarikan
diri dan menewaskan salah seorang dari mereka (Lukas Base, 29 tahun, laki-laki, etnis Asmat). Tidak
hanya di Jl. Natuna. Aparat keamanan kemudian meluaskan daerah operasinya ke beberapa tempat.
Di Jl. Ampera IV, oknum Polisi menembak salah seorang massa Papua di bahu sebelah kanan (Robertus
Waimu, 21 tahun, etnis Yakai). Sementara di daerah Jl. Raya Mandala (Muli), masyarakat Papua yang
mengadakan perlawanan dengan panah, kampak dan parang memaksa satuan polisi menembak 2 orang
dari mereka, masing-masing Ferry Tandigaimu, suku Mapi dan Aloysia Bivak, suku Asmat). Di Bea Cukai
dan Pintu Air, 2 orang, yakni Adam Baiyt dan Kolitus Kandaimu, masing-masing suku Asmat dan suku Mapi
menyusul menghembuskan nafas terakhirnya. Selain itu, korban luka-luka dari masyarakat Papua yang
harus menjalani opname dan perawatan di RSUD Merauke mencapai 14 orang.
Laporan resmi Polres Merauke :
Upaya tersebut ditempuh setelah di setiap wilayah muncul laporan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Satgas Papua.
Pada saat yang bersamaan, massa Papua (sebagian besar adalah anggota Satgas Papua) yang merasa
frustrasi menghadapi aparat keamanan akhirnya menumpahkan kemarahan mereka kepada masyarakat
etnis pendatang. Maka terjadilah pemalangan jalan, intimidasi, pembakaran kendaraan, pemukulan,
pemerkosaan bahkan pembunuhan. Akibatnya 6 orang etnis non Papua terpaksa mengalami opname dan
perawatan di RSUD Merauke. Tercatat pula, 10 buah truck, 4 buah mobil pick up dan 1 buah mobil jeep di
sandera oleh kelompok Stgas Papua di daerah Mopa Lama.
5 November 2000. Pihak Kepolisian terus mengadakan pengejaran dan pembongkaran terhadap Posko-
Posko Satgas Papua dan penurunan serta penyobekan bendera Bintang Kejora. Sementara itu, di
beberapa tempat, masyarakat etnis Papua juga terus melakukan penganiayaan dan berbagai intimidasi
lainnya terhadap etnis non Papua. Pada hari ini, Sulistio, Risaumidin, Sukarno dan Yono, suku Jawa serta
Sangkala, suku Bugis juga Zet Manggape harus menjalani opname di RSUD Merauke karenanya.
6 November 2000, di daerah Blorep, seorang etnis non Papua dianiaya oleh beberapa orang Papua dan
meninggal setelah mendapatkan perawatan (RB. Purba, suku Batak).
9 November 2000, aparat kepolisian yang kini telah di-back up oleh satuan TNI kembali menembak mati
seorang Papua (Thomas Tombi, suku Muyu) di Mopah Lama. Pada saat yang bersamaan, kelompok
Papua juga melakukan aksinya, seorang dipanah dan satu lagi diperkosa (Abraham Bangaling Lindo dan
Damaris masing-masing suku Toraja). Masyarakat Papua yang semakin frustrasi, terus melakukan aksi
balas dendamnya terhadap etnis non Papua. Kembali 2 orang meninggal dan 4 orang dari etnis non Papua
lainnya menderita luka-luka.
Aksi balas membalas antara massa Papua terhadap etnis non Papua dan aparat keamanan terhadap
masyarakat Papua terus terjadi. Pada 11 November 2000, seorang oknum non Papua (Djuhari, suku Jawa)
dibakar hidup-hidup bersama mobilnya di daerah Mopa Lama dan Ahmad Junaedi, suku Jawa, menderita
luka akibat dianiaya oleh massa Papua, setelah massa Papua mengetahui aparat keamanan kembali
menembak mati salah seorang dari kelompok mereka sehari sebelumnya. Pada saat yang sama, seorang
Papua (Sebastianus Ayep, suku Asmat) harus diopname setelah terkena luka tembak oleh aparat
keamanan.
Pada 16 November, Kapolres Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) mengakui, bahwa sikap represif
anggotanya bukan atas perintahnya, hal itu dilakukan karena luapan emosi saja. Akan tetapi ironisnya,
bahwa peristiwa yang telah merenggut dan mencabut hak hidup manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan
yang paling sempurna tersebut, dianggap tidak pernah ada oleh Muspida dan juga DPRD Merauke. Hal ini
terbukti tidak digubrisnya tuntutan beberapa kelompok masyarakat dan atau kelompok aktivis HAM yang
mendesak untuk diadakannya pengusutan dan upaya hukum terhadap aparat TNI/Polisi sebagai pelaku
atas state crime. Juga terhadap kelompok-kelompok sipil bersenjata (Papua maupun non Papua) yang
telah saling menghilangkan eksistensi kemanusiaan satu sama lainnya.
 Pengibaran Bintang Kejora (2 – 4 Desember)

Pendahuluan dan Gambaran Umum 34


Tanggal 9 November 2000, Muspida tingkat I Papua mengadakan pertemuan dengan Presidium Dewan
Papua (PDP) di Jayapura, yang menghasilkan kesepakatan antara lain, hanya boleh ada 1 bendera
Bintang Kejora yang berkibar di setiap rumah Ketua LMA Kabupaten. Pada tanggal 29 November 2000,
Kapolres Merauke dalam suratnya bernomor B/1859/XI/2000/Res Mrk, perihal, pemberitahuan kepada
Ketua Panel Dewan Papua (Januarius Wiwaron) dan Komandan Satgas Papua di Merauke (Nicolaus
Yeem) menyatakan antara lain, 1 Desember 2000, Bendera Bintang Kejora hanya ada 1 yang dikibarkan di
rumah Ketua LMA Merauke berdampingan dengan Merah Putih.
Akan tetapi, pada tanggal 30 November 2000, pukul 08.00 WIT, pihak Muspida Merauke mengadakan
pertemuan dengan pimpinan dan ketua-ketua fraksi DPRD Merauke yang isinya antara lain melarang
pengibaran bendera pada tanggal 1 Desember 2000.
Kesepakatan tersebut oleh Muspida Merauke, kemudian dibawa dalam pertemuan dengan Dewan Panel
Kabupaten Merauke pada hari yang sama, sekitar pukul 20.00 WIT. Pengakuan seorang responden yang
kebetulan anggota PDP dari Kabupaten Merauke mengatakan bahwa, pada pertemuan tersebut tidak ada
kesepakatan, melainkan pemaksaan kehendak untuk menerima kesepakatan antara Muspida dengan
DPRD Merauke pada pagi harinya.
Setelah kurang lebih 5 jam berselang usai pemaksaan kehendak tersebut, 1 Desember, masyarakat Papua
yang bermaksud mengibarkan bendera Bintang Kejora di lapangan Pemda Merauke mendapat halangan
dari pihak keamanan. Setelah dilakukan negosiasi antara Kapolres dan Bupati Merauke dengan massa
Papua, bendera tidak jadi dinaikan. Masyarakat kembali ke rumah masing-masing.
Pagi hari 2 Desember, sekelompok masyarakat Papua berhasil mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Setelah melalui negosiasi dengan Kepoliisian, maka bendera diturunkan setelah sekitar 30 menit berkibar,
dan masyarakat kembali ke rumah masing-masing. Pada hari yang sama, di daerah Kuda Mati, seorang
non Papua meninggal setelah dianiaya oleh massa Papua beberapa saat setelah mereka kembali dari
lapangan Pemda.
Setelah itu, kembali puluhan etnis Papua, kali ini dengan membawa senjata tradisional, dari arah Kuda Mati
menuju lapangan Pemda Merauke. Ketika melewati kantor pariwisata, beberapa dari kelompok massa
tersebut menurunkan dan menyobek bendera Merah Putih serta bermaksud hendak menyerang aparat
keamanan. Kondisi tersebut kemudian memancing emosi pihak keamanan yang langsung melakukan
penembakan terhadap kerumunan massa Papua hingga akhirnya mengakibatkan 1 orang meninggal di
tempat kejadian dan 6 orang lainnya menyusul setelah tidak berhasil diselamatkan di RSUD Merauke.
Sedangkan 4 orang Papua lainnya mengalami luka-luka. Setelah itu, menyusul 1 orang non Papua
meninggal dunia dan beberapa harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Hari itu juga, pihak kepolisian melakukan pembongkaran Posko Satgas, pengejaran dan penangkapan
terhadap massa Papua yang dicurigai sebagai anggota Satgas di sekitar Kuda Mati dan Jl. Sesate, Gudang
Arang serta kantong-kantong massa Papua sampai tanggal 4 Desember 2000.
Menyangkut LMA, di Kabupaten Merauke jauh sebelumnya telah dibentuk Forum
Komunikasi Cendikiawan Masyarakat Adat Merauke (FKCMAMER) yang diketuai
oleh Januarius Wiwaron. Organisasi ini telah diakui penguasa sebelumnya dan
masyarakat adat Papua sebagai representase dari kelompok adat di Kabupaten
Merauke serta dianggap sebagai LMA Kabupaten. Akan tetapi paham ini tidak
berlaku bagi Bupati Drs. John Gluba Gebze. FKCMAMER bukan LMA, dan
Januarius Wiwaron bukan Ketua LMA. Dengan alasan belum adanya LMA di
Kabupaten Merauke tersebut, maka Muspida Merauke melarang pengibaran
bendera Bintang Kejora.

Kembali, aparat keamanan yang melakukan penyisiran dan penangkapan dengan menggunakan peluru
tajam yang mematikan, belum mampu juga mengidentifikasi pelaku dan yang bukan pelaku. Akibatnya,
masyarakat yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa dengan persoalan Papua Merdeka pun juga
ditangkap, dipukul serta dianiaya oleh aparat kemanan.
Pendeknya, selain perempuan dan orang tua serta bayi semuanya ditangkap, bahkan anak laki-laki yang
masih kecil juga tidak luput dari tindakan brutal aparat keamanan. Sehingga menurut pengakuan
responden (etnis pribumi dan pendatang), di daerah Kuda Mati, setidaknya ada 2 titik yang diduga sebagai
tempat kuburan massal (perlu pembuktian lebih akurat lagi). Selain banyaknya korban yang meninggal dan
luka-luka, juga tidak sedikit masyarakat Papua yang mengungsi sampai ke PNG untuk menyelamatkan diri
dan keluarganya dari kejaran pihak kepolisian.
Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi, isu kemerdekaan Papua telah dipahami dan dimaknai sebagai
gerakan rasialis dan telah diterjemahkan dalam bentuk pengusiran, pengintimidasian, bahkan yang lebih
parah adalah pembunuhan terhadap etnis pendatang yang dianggap sebagai orang-orang Indonesia. Hal
ini juga diperparah dengan rasa frustrasi mereka ketika tidak mampu menghadapi tindakan represif dari
aparat keamanan. Sedangkan di pihak etnis non Papua, semangat mempertahankan diri semakin
dipertebal dengan propaganda nasionalisme dari aparat keamanan dan pemerintah. Akibatnya, nuansa
konflik horizontal semakin kental. Siapa yang diuntungkan ?
Sampai sekarang, Muspida dan DPRD Merauke masih bersikap apatis terhadap peristiwa yang dapat
dikategorikan sebagai violence by action atas state crime tersebut. Hal ini terbukti dari tidak adanya

Pendahuluan dan Gambaran Umum 35


keinginan dari Muspida dan juga DPRD Merauke untuk mengupayakan pengusutan sampai tuntas
persoalan tersebut, apa lagi upaya hukum terhadap pelaku (oknum aparat keamanan dan juga masyarakat
sipil secara keseluruhan). Bahkan Kapolres Merauke (AKBP Yohanes Agus Mulyono) dengan sangat tegas
sekali tidak menyetujui adanya rekonsiliasi di antara pihak-pihak yang bertikai pada peristiwa yang semakin
memperpanjang deretan praktek impunity tersebut.
Menyertai insiden 4 November dan 2 Desember 2000 yang telah mengakibatkan tidak kurang dari 50 orang
etnis non Papua menjadi korban dari tindakan anarkis kelompok Papua. Di beberapa tempat, telah lahir
kelompok-kelompok sipil non Papua bersenjata dalam bentuk keamanan lingkungan yang mempersenjatai
diri mereka dengan parang, tombak, keris, badik bahkan senjata dan bom rakitan.
Menurut salah seorang responden, kebanyakan dari senjata rakitan tersebut
mendapat dukungan peluru dari aparat keamanan (?).
Tindakan mereka berawal dari himbauan Kapolda Papua (Irjen SY. Wenas) pada tanggal 29 September
2000 kepada seluruh etnis pendatang untuk mempersenjatai diri. Himbauan ini telah ditafsirkan oleh
masyarakat non Papua -- setelah sekian lama cenderung berdiam diri dalam ketakutan oleh tindakan
anarkis masyarakat Papua – sebagai legitimasi untuk melakukan perlawanan. Tindakan kelompok
masyarakat sipil non Papua bersenjata ini kerap kali hampir menyamai kebrutalan dan arogansi dari aparat,
bahkan cenderung tindakan mereka berubah menjadi anarkis.

B. Kecamatan Citak Mitak


1. 1995 – 1999
 Kesewenangan aparat Kepolisian
Kehadiran aparat keamanan, dalam hal ini Polisi (Polsek) di Kecamatan Citak Mitak bukannya merupakan
sebagai pelindung dan pengayom masyarkat. Akan tetapi mereka lebih banyak hadir sebagai pelaku
ekonomi. Ironisnya, kerap kali mereka mengunakan cara-cara yang kotor ketika menjalankan usahanya.
Tanpa perasaan malu, masyarakat Papua pencari kayu gaharu atau hasil alam lainnya sering kali diperas
dan intimidasi untuk menjual hasil pencahariannya di bawah standar. Masyarakat dengan keluguan dan
ketakutannya terhadap sosok manusia bersenjata, tanpa berpikir panjang saja menyerahkan apa yang
diminta.
Seorang oknum anggota Polsek, berinisial Bripka RY, berdasarkan laporan dari responden pernah dengan
terang-terangan menganiaya seorang masyarakat hanya karena dianggap bertingkah ketika mengajukan
penawaran harga. Beberapa masyarakat yang sudah terlalu muak dengan sikap dan tingkah lakunya lantas
mengejar oknum polisi tersebut yang kemudian menyelamatkan diri pada salah satu rumah yang ditempati
oknum TNI (dari kesatuan Kostrad) yang juga ditempatkan di Citak Mitak. Kemarahan warga berhasil
diredakan oleh oknum TNI tersebut.
2. 1999 – 2000
 Aspirasi Merdeka
Terbatasnya informasi dan komunikasi serta sumber daya manusia di kecamatan ini, telah menjadikan
mereka sangat gampang termakan oleh isu. Hal inilah yang kemudian membuat kenapa begitu cepat isu
Papua Merdeka mengkristal. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dibantah di kecamatan ini adalah,
keinginan kuat masyarakat untuk Merdeka lepas dari semua penindasan dan kesewenang-wenangan
aparat keamanan (TNI/Polisi).

C. Kecamatan Suator
1. 1997
 Penembakan 7 Orang Suku Terasing Oleh Oknum TNI.
Menjamurnya pencari kayu gaharu sejak 1996, telah menjadikan persoalan tersendiri di kalangan
masyarakat adat di pedalaman Merauke. Ketenangan mereka terusik, hak ekonomi, adat dan budayanya
terampas. Sebagai daerah kecamatan yang baru dimekarkan, kecamatan Suator tentu saja masih sangat
tertinggal dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini terbukti dengan masih adanya suku terasing
dan sangat terisolir dengan alam di luar mereka.
Pencari kayu gaharu yang lebih tergiur oleh uang ketimbang keselamatan dirinya telah membuatnya rela
berjalan puluhan kilo meter bahkan ratusan kilo meter ke dalam hutan. Kehadiran mereka inilah yang telah
dianggap pengganggu oleh suku terasing, karena pencari kayu gaharu tanpa permisi telah memasuki
daerah mereka. Protes masyarakat adat dari suku terasing inilah yang justru dijawab oleh beberapa oknum
pencari kayu dengan membayar seorang oknum anggota Koramil di daerah tersebut untuk memberikan
pengamanan kepada mereka.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 36


Kembali, masyarakat terasing ini bermaksud mengusir pencari kayu tersebut, akan tetapi kesigapan dan
kelihaian anggota TNI tersebut telah berhasil menembak mati 7 orang dari kelompok masyarakat suku
terasing, sementara beberapa diantaranya mengalami luka-luka.
Oknum TNI dan Polri, masih saja seringkali mengabaikan tugas utamanya. Mereka juga terobsesi dengan
besarnya keuntungan materi yang didapatnya jika berhasil. Hal ini merupakan kewajaran bagi mereka,
mengingat gaji mereka yang sangat kecil sedangkan kebutuhan pemenuhan biaya hidup di pedalaman
sangat tinggi, demikian pengakuan seorang responden yang kebetulan seorang anggota kepolisian.

D. Kecamatan Atsy
1. 1999 – 2000
 Arogansi Anggota Satgas dan Masyarakat Papua
Kecamatan Atsy tidak luput dari menguatnya isu Papua merdeka. Praktek intimidasi terhadap etnis non
Papua menjadi hal yang biasa dilihat sehari-hari. Keberanian mengaktualisasikan diri inilah yang dijadikan
peluang untuk menggugat status tanah yang dipakai oleh etnis non Papua sejak jauh sebelumnya.
Intimidasi yang cenderung mengarah ke penganiayaan sering kali dilakukan oleh oknum masyarakat Papua
terhadap etnis non Papua ketika menuntut hak atas tanah juga pada saat oknum Satgas Papua menagih
uang untuk biaya operasional Satgas.
Kecamatan Atsy, sebagai salah satu daerah penghasil kayu gaharu, banyak terdapat rumah keluarga,
warung makan dan penginapan yang beralih fungsi sebagai tempat prostitusi. Ironisnya adalah –
pengakuan 2 orang responden yang kebetulan pegawai negeri namun beda instansi– para wanita ini
dipasok dari Agats dan Timika oleh oknum TNI dan Polisi yang bertugas di Polsek dan Koramil Atsy.

E. Kecamatan Assue
1. 1995 – 2001
 Perilaku Aparat Keamanan
Perlakuan petugas keamanan (TNI dan Polisi) di Kecamatan Assue tidak berbeda dengan Kecamatan
Citak Mitak dan Atsy. Bahkan dalam melakukan manuvernya, mereka telah menguasai semua sentra
kehidupan masyarakat. Beberapa dari mereka menjadi beking dari pengusaha, mendatangkan dan
melindungi WTS, perjudian dan minuman keras. Seorang responden (anggota Polisi) mengakui jika
beberapa dari mereka ada yang melakukan hal tersebut. Laporan dari tokoh masyarakat di Kecamatan
Assue juga memperkuat hal itu. Tindakan oknum kepolisian sering kali bertentangan dengan keinginan dan
aturan adat. Ketika pihak kelompok adat berkeinginan untuk membubarkan judi, minuman keras dan
mengusir WTS, maka mereka senantiasa harus berhadapan dengan senjata aparat kemanan. Tercatat
setidaknya 3 kali kelompok mama-mama dan wanita di kecamatan Assue melakukan unjuk rasa menuntut
pengembalian para WTS liar, tetapi sebanyak itu pula mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian.
Bahkan seorang ibu yang menggerakan demonstrasi tersebut justru ditampar oleh oknum polisi.
Kepolisian sering kali menindak masyarakat yang mabuk dengan dentuman dan popor senjata. Tercatat
pada 1999, 2 orang warga Papua ditembak mati oleh seorang oknum TNI dan pada 2000, seorang Papua
meninggal setelah terkena peluru milik oknum kepolisian (Brimob).
Sampai sekarang tidak pernah ada upaya hukum terhadap pelaku. Kalaupun atasan mereka mengetahui
dan menindak oknum-oknum tersebut, paling berat adalah sanksi administrasi.
Perihal perilaku dan kesewenangan aparat kepolisian dan TNI ini telah dilaporkan oleh LMA ke Muspida
dan instansi terkait, akan tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 37


F. Kecamatan Kimaam
1. 1995 – 2001
 Kesewenangan Perusahaan dan Aparat Keamanan (TNI/Polisi)
Masyarakat lokal, yang hidup di kampung-kampung sekitar pantai barat dan selatan laut dan kali/sungai di
pulau Kimaam sangat menggantungkan kehidupan mereka pada kemurahan alam. Alam bagi mereka tidak
hanya bermakna pada dimensi ekonomi, akan tetapi juga bermakna sosial dan budaya. Selain itu, kondisi
tanah yang bisa dikatakan tidak layak untuk pertanian, karena jika musim hujan tiba, maka semua
permukaan tanah tertutup oleh air. Pun ketika musim kemarau, tanah menjadi retak-retak, kering dan
tandus. Olehnya itu, masyarakat sangat menjaga perairan (laut, kali/sungai dan rawa) sebagai kekayaan
mereka satu-satunya dan tempat mereka menggantungkan hidup.
Sejak kehadiran perusahaan PT. Djarma Aru (Djajanti Grop) di Wanam Camp –serta kapal penangkap ikan
dari Sumatera, Jawa dan Sulawesi– yang melakukan operasinya di perairan (laut dan kali/sungai) pulau
Kimaam, kedamaian masyarakat terusik. Karena bagaimanapun juga sumber penghasilan mereka akan
berkurang. Pula sering kali tanpa pamit, mereka langsung menebar jaring di kali-kali.
Undang-Undang Perairan yang mengatakan bahwa Zona I dari Zona Territorial (± 5 mill dari peisir pantai)
diperuntukam bagi nelayan tradisional. Tapi kenyataannya pihak perusahaan telah jauh memasuki daerah
tersebut bahkan sampai di sepanjang kali dan sungai. Tidak jarang masyarakat yang hidup di sekitar areal
penangkapan ikan menjadi obyek penipuan dari beberapa pencari ikan, bahkan dari aparat keamanan
sekaligus ekonom, serta dari pedagang.
Atas kebijakan perusahaan, pihak Polsek Kimaam diberikan 1 unit kapal pencari ikan yang digunakan untuk
menangkap ikan sendiri. Kehadiran Polisi penangkap ikan ini yang pada prakteknya sering kali melakukan
tindakan intimidasi dengan bentuk menembakan senjata dengan maksud menakut-nakuti, memukul,
menodongkan senjata kepada masyarakat agar mau menjual ikannya dengan harga murah, bahkan tidak
jarang menghina eksistensi orang Papua sebagai suku terasing, kotor, bodoh serta perkataan bermakna
menghina lainnya. Seorang kepala desa Kawe pernah dianiaya oleh aparat keamanan sampai babak belur
dan tidak diberikan makan sehari penuh. Apalagi hanya seorang masyarakat biasa.
Masyarakat lokal yang berusaha mempertahankan hidup di tengah tingginya harga barang yang dijual oleh
para pedagang dan –terkadang– aparat keamanan, akhirnya menaikan harga jual ikan. Akan tetapi, upaya
mereka selalu berhadapan dengan moncong senjata aparat keamanan. Kecewa dan marah, itu hal yang
pasti dirasakan mereka.
Akibat dari seringnya masyarakat diperlakukan demikian, timbul kemarahan masyarakat lokal terhadap
pencari ikan, keamanan dan para pedagang. Sikap antipati ini, telah diterjemahkan dalam bentuk merusak
beberapa jaring dari kapal pencari ikan serta beberapa bentuk protes lain. Atas ulah kelompok masyarakat
tersebut, pihak perusahaan mulai mengikutkan seorang aparat keamanan pada setiap kapal untuk
melindungi pencari ikan.
Pihak perusahaan tentu tidak mugkin kehabisan stok aparat keamanan, sebab di
lokasi perusahaan (Wanam Camp – desa Wogekel), 5 satuan keamanan, yakni
Brimob, Kostrad, Polairud, Pos Polsek, Pos Koramil, plus Satpam perusahaan telah
siap untuk mengamankan asset perusahaan sekaligus asset negara.

Dalam prakteknya, kerap kali kehadiran aparat keamanan melakukan intimidasi dalam bentuk yang lebih
besar lagi, antara lain melakukan penyiksaan terhadap masyarakat yang dianggap pengganggu. Intimidasi
juga biasanya dilakukan dengan melakukan penembakan dengan maksud agar masyarakat tidak
mendekati kapal serta menghalangi kebiasaan-kebiasaan lama aparat kemanan. Tidak jarang, aparat juga
menembakan langsung senjatanya kepada masyarakat, hingga mengakibatkan beberapa dari mereka
mengalami luka.
2. 1999 – 2000
 Arogansi Kelompok Masyarakat Sipil Pro Merdeka
Isu Papua Merdeka juga ikut merambah ke daerah Kimaam. Kehadiran Yakosarai, seorang penasehat
TPN/OPM yang berusaha untuk memobilisir massa pro merdeka dengan membentuk Satgas Papua. Tidak
jarang dari mereka melakukan intimidasi psikis, bahkan fisik terhadap masyarakat non Papua dengan
memakai isu Papua Merdeka. Akan tetapi, belum pernah ada satupun laporan tentang adanya korban jiwa
akibat intimidasi tersebut.
Keberadaan mereka berjalan tidak begitu mulus, karena kelompok Willem Onde yang selalu menyebut diri
dan kelompoknya sebagai TPN (Tentara Pembebasan Nasional Papua), kini membubarkan kelompok
Satgas Papua bentukan Yakosarai.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 38


3. 2001
 Pembunuhan ABK KM. Kiman 15 (23 Juli)
Tanggal 25 Juli 2001, sekitar pukul 10.00 WIT, sekelompok masyarakat Papua di bawah pimpinan Yakob
Mawen membunuh 12 orang ABK Kapal KM. Kiman 15 (kapal milik PT. Djarma Aru) dan menyembunyikan
kapal KM. Kiman 15 di kepala kali Korimen (± 50 km dari tempat kejadian). Tidak ada korban jiwa dari
masyarakat.
Insiden ini tidak dapat dipisahkan dengan point 1 –lihat : Kasus Kesewenangan Aparat Perusahaan dan
Aparat Keamanan (TNI/Polri). Karena akumulasi kemarahan dan kekecewaan terhadap kapal pencari ikan,
perusahaan, aparat keamanan (TNI/Polri), dan pihak Muspika (pemerintah) yang tidak pernah menggubris
pengaduan mereka serta belum pernah sekalipun melakukan kunjungan kerja ke daerah pantai barat, terus
bertumpuk sejak 1995, kini telah diekspresikan melalui perlawanan terhadap kapal pencari ikan.
 Pembakaran Kapal dan Pembunuhan ABK KM. Jala Perkasa
Peristiwa ini masih merupakan rangkaian dari point 1 –lihat : Kesewenangan Aparat Perusahaan dan
Aparat Keamanan (TNI/Polri). Sekelompok masyarakat Papua, masih di bawah pimpinan Yacob Mawen,
dengan menggunakan perahu mendatangi kapal pencari ikan KM. Jala Perkasa (kapal dari Tanjung Balai).
Ketika merapat, seorang dari kelompok masyarakat tersebut meminta rokok pada salah satu ABK, akan
tetapi pada saat yang bersamaan, terdengar bunyi tembakan dari arah anjungan kapal. Bunyi tembakan
tersebutlah yang membuat Yacob Mawen marah dan langsung mengejarnya. Yacob Mawen dan orang
yang membunyikan senjata akhirnya berkelahi sampai di kamar mesin.
Dalam keremangan malam, karena semua lampu kapal dipadamkan, Yacob Mawen keluar dari kamar
mesin, ketika itu seorang dari anak buahnya tidak bisa lagi mengetahui dengan jelas posisi pimpinannya
langsung melepaskan anak panah yang telah mengakibatkan nyawa Yacob Mawen tidak dapat
diselamatkan lagi.
Mengetahui pimpinannya telah meninggal, dengan seketika semua anak buahnya yang sebelumnya berada
di atas perahunya masing-masing menyerbu ke atas kapal. 2 buah drum yang berisi persediaan bahan
bakar ditumpahkan ke atas kapal dan langsung membakar kapal. Seluruh ABK serta-merta menyelamatkan
diri dengan jalan melompat ke kali. Kondisi ini dijadikan kesempatan oleh sekelompok masyarakat Papua
tersebut yang langsung menyerang mereka dengan busur dan anak panah, kampak serta tombak.
Akibatnya, 19 orang ABK KM. Jala Perkasa dan seorang aparat keamanan (Bharada Asep Firkah Fansuri –
tidak diketemukan jenazahnya) dari sat Pol Airud di Wanam Camp langsung meninggal. Seorang ABK
lainnya, Sofyan Hadi, berhasil diselamatkan oleh tim yang diturunkan untuk melakukan evakuasi.
 Pembakaran Desa (September)
Setelah peristiwa 12 Agustus 2001, masyarakat Kawe mengungsi ke kampung Kawe lama. Sementara itu,
akibat dari 2 peristiwa pembunuhan dan pembakaran kapal pada Juli dan Agustus 2000 tersebut,
sekelompok aparat Kepolisian dari satuan Brimob dan Polairud yang bertugas di Wanam Camp (areal
perusahaan) ditambah dengan beberapa anggota dari Polsek Kimaam melakukan pembakaran bevak-
bevak di sekitar aliran kali Kontuar. Selain itu, 9 buah rumah di kampung Sibenda dan 6 buah rumah di
kampung Wetau serta 64 buah rumah masyarakat di desa Kawe (baru) habis dibakar. Beberapa simbol
negara antara lain, bendera Merah Putih, stempel dan arsip/dokumen desa serta baju dinas kepala desa
Kawe ikut terbakar.
 Lapangan Maskura Berdarah (28 November)
Setelah kembali dan mendapatkan rumah dan bevak mereka telah habis terbakar, ditambah dengan
gambaran penderitaan pada point 1, yang terakumulasi dengan kekecewaan dan kemarahan mereka,
maka dengan dibantu oleh beberapa masyarakat dari desa tetangga (Kelilam, Wetau, Sibenda dan Batu
Merah), mereka menyatakan tekadnya untuk menyerang Polsek Kimaam. Kelompok tersebut mereka
namakan Pasukan 3 Buta (menurut mereka adalah, Buta Pendidikan, Buta Kunjungan dan Buta
Kesehatan). Perjalanan menuju kota Kecamatan Kimaam ditambah dengan persiapan mereka di desa
Kodar memakan waktu sekitar 2 minggu. Menanggapi niat dari Pasukan 3 Buta tersebut, pihak Tripika
Kecamatan Kimaam mengirim tim negosiasi yang terdiri dari Ketua LMA Khimakhima, Petrus Xaverius
Yamaka dan seorang guru SD, Primus Berans, ke desa Kodar untuk menemui Pasukan 3 Buta dan
menyarankan untuk tidak melanjutkan niatnya. Akan tetapi usaha tim gagal.
Masih di desa Kodar, pada tanggal 27 November, untuk kedua kalinya tim negosiasi yang kali ini
beranggotakan Ketua LMA Khimakhima, Petrus Xaverius Yamaka; Pastor Gery Ohoiduan, MSc; staf
Kecamatan Kimaam, Fredy Buer; Kepala desa Ilwayab, Johanis Agape Mahuze; guru SD, Primus Berans;
dan seorang purnawirawan TNI – AD, Vinsen Waffa, kembali mendatangi Pasukan 3 Buta. Negosiasi
gagal. Pasukan 3 Buta tetap dengan pendiriannya, bahwa tanggal 28 November, mereka tetap akan
menyerang Polsek Kimaam dan meminta kepada Pastor Gery untuk membunyikan lonceng gereja ketika
Pasukan 3 Buta memasuki kota Kimaam.
28 November. Dengan iringan lonceng gereja, Pasukan 3 Buta yang beranggotakan 65 orang memasuki
kota Kimaam dan berhenti di ujung lapangan Maskura. Sementara itu, 3 orang dari satuan Brimob dari

Pendahuluan dan Gambaran Umum 39


Wanam Camp dan 2 orang anggota Koramil Kimaam telah didatangkan untuk membantu anggota Polsek
Kimaam dan telah siap di ujung lapangan lain dengan senjata di tangan.
Pastor Gery Ohoiduan, M.Sc, dan Pastor Frans Mandagi, M.Sc serta Sekcam Kimaam, Philipus Tokoro,
S.Sos, bermaksud melakukan negosiasi untuk ketiga kalinya dengan Pasukan 3 Buta. Akan tetapi belum
sampai ke lapangan, tembakan peringatan disertai tembakan mendatar yang beruntun dan telah
mengakibatkan 2 orang meninggal seketika, serta yang lainnya luka-luka. Saat itu juga aparat terus
mengejar Pasukan 3 Buta sampai ke kampung Kodar dan kampung-kampung tetangganya.
Akibatnya, 2 orang dari Pasukan 3 Buta, yakni Yohanis Racu tertembak di dada dan lengan kiri serta
Ruben Munbera, tertembak di paha, lutut dan bokong, langsung meninggal di tempat. Beberapa lainnya
mengalami luka-luka, 2 diantaranya dievakuasi ke RSUD Merauke dengan menggunakan helicopter
bersama-sama dengan rombongan Kapolres, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Merauke yang turun langsung
ke TKP.
Pengakuan Pasukan 3 Buta, mereka sedang dalam posisi menari-nari dan belum melewati tiang bendera
sebagai batas antara kedua pasukan ketika tembakan terdengar. Melihat bekas proyektil peluru aparat di
dinding SD YPPK St. Don Bosco, yang berada di ujung lapangan Maskura, dimana Pasukan 3 Buta
berhenti. Sebagian besar bekas proyektil tersebut mengarah ke bagian dada dan kepala. Jelas terlihat
bahwa pihak aparat tidak menerapkan sepenuhnya Prosedur Tetap (Protap) pengendalian massa.
Atas rentetan tragedi kemanusiaan di Kecamatan Kimaam tersebut, telah mengundang simpati dari para
pejuang HAM di kota Merauke yang kemudian membentuk FORMED (Forum Merauke untuk Demokrasi),
serta bertindak sebagai Tim Pencari Fakta dan telah melaporkan hasilnya ke pihak Pemda Merauke. Belum
ada tanggapan serius dari Pemda Merauke, minimal sampai akhir bulan Mei 2002.

G. Kecamatan Mandobo
1. 1995 – 1999
 Reklaiming Hutan oleh Masyarakat Adat
Selain kecamatan Jair dan Muting, Mandobo juga merupakan daerah konsensi perusahaan PT. Bade
Makmur Orisa, sebagai pemilik izin HPH. Di kecamatan ini pun, pihak perusahaan tidak pernah melbatkan
masyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah dan hutan sejak awal beroperasinya (1994). Kejadian ini
terus berlangsung sampai pertengahan 1999.
Pada 1999 – 2001, setelah ada SK Gubernur mengenai harga kayu, perusahaan baru mau mulai
membayarkan kompensasi. Tuntutan demi tuntutan terhadap perusahaan pada areal hutan yang sama
kerap kali muncul. Ternyata perusahaan tidak pernah menuntaskan persoalan sampai ke akar-akarnya.
Lihat point 1 denga kasus yang sama di kecamatan Jair.
2. 1998 – 2000
 Arogansi Kelompok Papua Sipil Bersenjata
Di Kecamatan Mandobo, kelompok perjuangan Papua Merdeka terbagi dalam tiga faksi, yakni SORANDA,
Willem Onde –yang mengkalim diri sebagai TPN/OPM– dan Satgas Papua. Kecenderungan arogansi
mereka terhadap kelompok non Papua sangat terasa ketika memasuki tahun 1999 – 2000.

H Kecamatan Jair
1. 1995 – 1999
 Reklaiming Hutan Oleh Masyarakat Adat
PT. Bade Makmur Orisa memulai operasinya sejak tahun 1994, sampai sekarang terus melakukan
penebangan yang pada awalnya tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Pada 1999, ketika masyarakat
mulai berani menuntut haknya, perusahaan baru mulai membayar kepada masyarakat adat. Akan tetapi
kendala terus bermunculan. Setiap kali selesai diadakan pembayaran, selalu saja ada tuntutan baru atas
areal hutan yang sama. Apa sebab demikian ?
Pihak perusahaan dalam setiap menyelesaikan pembayaran hanya meminta pihak pemerintah untuk
menentukan batas dan pemilik yang sah. Padahal yang lebih memahami dan mengerti setiap sudut batas
adat atas hutan yang menjadi daerah konsensi perusahaan adalah masyarakat adat sendiri, bukan
pemerintah. Akhirnya perusahaan kewalahan sendiri menghadapi para penuntut ini. Mestinya perusahaan
juga memahami strata adat dan kepemilikan hutan menurut hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.
2. 1998 – 2001
 Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata
Pengaruh Willem Onde sampai juga di Kecamatan Jair. Begitu pula SORANDA yang berbasis di
Kecamatan Mandobo serta Satgas Papua di Kecamatan Jair. Pertikaian mereka dalam perebutan
pengaruh dan wilayah kekuasaan kerap kali terjadi. Misalnya pada September 2000, Wilem Onde
membubarkan kelompok Satgas Papua yang sedang melakukan latihan, dan menuntut untuk segera

Pendahuluan dan Gambaran Umum 40


membubarkan kelompok Satgas Papua, serta melarang penaikan bendera Bintang kejora pada 1
Desember 2000. Padahal pada November 1999, Willem Onde-lah yang mengkoordinir masyarakat Papua
untuk melakukan aksi penaikan bendera Bintang Kejora.
Selain itu, Willem Onde juga sering kali melakukan serangan (menakut-nakuti) terhadap masyarakat Auyu
sebagai penduduk asli yang sah di Asiki (lokasi peusahaan plywood – PT. Korindi Group), dan tidak jarang
pula di tempat-tempat umum (pasar), kelompok Willem Onde menembakan senjata berkali-kali dengan
maksud menakut-nakuti masyarakat. Juga sering kali melakukan pemalangan terhadap setiap mobil dari
dan ke kota Merauke. Ketika hal ini dikonfirmasikan ke pihak kepolisian, secara implisit, Kapolsek Jair
mengakui bahwa ada ketakutan tersendiri pada kekuatan lain yang ada di belakang barisan Willem Onde
jika harus menindaknya.
Kelompok Willem Onde sering kali melakukan pemerasan terhadap perusahaan. Sehingga atas koordinasi
dengan semua satuan keamanan di sekitar Perusahaan (Kopasus, Kostrad, Brimob, Koramil dan Polsek –
Kapolsek Jair tidak mengakui jika ada koordinasi tersebut), maka perusahaan memberikan 1 unit rumah
kepada kelompok Willem Onde sebagai Markas, dan memberikan tunjangan makanan dan uang setiap
bulannya. Hal yang diakui oleh Kapolsek Jair tersebut, (karena pernah menyaksikan langsung) dibantah
oleh pihak perusahaan.
Dampak yang timbul pada masyarakat adat di sekitar perusahaan adalah, kecemburuan sosial atas sikap
perusahaan pada perlakuan istimewa terhadap Willem Onde, sedangkan dia bukan suku asli di daerah
tersebut (Willem Onde adalah suku Muyu di Kecamatan Waropko).
3. 2001
 Penyanderaan karyawan dan Pimpinan PT. Korindo Group (17 Januari 2001).
Aksi Willem Onde berawal dari kekecewaannya ketika mabuk di kota Merauke, dan dihajar oleh seorang
anggota Brimob. Pada saat yang bersamaan, anak buahnya yang berada di markas perusahaan di Asiki,
meminta 6 drum bahan bakar kepada perusahaan, akan tetapi pihak perusahaan tidak menghiraukan
permintaan mereka. Kekecewaan dan kemarahan terhadap penolakan perusahaan atas permintaan anak
buahnya ditambah dengan kejengkanyya terhadap anggota Brimob di kota Merauke telah dilampiaskannya
dengan menyandera 16 orang karyawan perusahaan, termasuk salah satu pimpinan perusahaan
berkebangsaan Korea.
Proses pembebasan berhasil setelah Bupati dan Kapolres Merauke –yang turun langsung– menjanjikan
untuk memenuhi tuntutan Willem Onde dalam bentuk uang senilai Rp. 1 milyar dan bertemu dengan
Presiden Republik Indonesia.

I Kecamatan Kurik
1. 1995 – 2001
 Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata
Munculnya kelompok sipil Papua bersenjata pada prakteknya sering kali melakukan intimidasi dan
kekerasan fisik terhadap masyarakat non Papua di Kecamatan kurik. Setiap orang yang lewat di depan
Posko Satgas harus diperiksa. Bagi kendaraan bermotor, wajib memperlambat laju kendaraannya. Tidak
hanya kepada masyarakat non Papua sikap ini diberlakukan, akan tetapi beberapa masyarakat Papua juga
mengalami hal yang sama. Tidak jarang kekerasan fisik bahkan juga penganiayaan dari Satgas Papua ini
dialami oleh beberapa masyarakat non Papua.
Kecenderungan anarkis dari kelompok pro merdeka ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan
masyarakat non Papua dan telah diterjemahkan dalam bentuk kelompok-kelompok sipil bersenjata pada
awal tahun 2000. Mereka mengorganisir diri dengan maksud untuk berjaga-jaga terhadap kelompok Papua
yang melakukan intimidasi terhadap mereka (perlawanan ?).
Nuansa konflik horizontal ini mereda ketika ada penempatan pasukan keamanan (Brimob) di Kecamatan
Kurik.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 41


KABUPATEN JAYAWIJAYA

A. Kecamatan Wamena Kota


1. 2000
 Wamena Berdarah (6 Oktober)
Sebagai pusat kendali dari semua pembangunan, di mana telah terjadi perubahan dalam semua bidang yang
signifikan terutama dalam bidang politik yang mana setelah terjadinya reformasi, eskalasi kegiatan politik
semakin meningkat berkaitan dengan aspirasi masyarakat untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Apalagi bendera Bintang Kejora dapat berkibar dengan bebas di semua tempat
setelah mendapat ijin / restu dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal inilah yang melatarbelakangi
terjadinya peristiwa Wamena berdarah yang terjadi pada hari Jumat tanggal 6 Oktober 2000.
Adapun kronologis dari peristiwa Wamena berdarah adalah sebagai berikut :
a. Pkl. 06.00 WIT
Aparat terdiri dari pasukan gabungan (Dalmas, Brimob dan TNI) yang mana didominasi oleh Brimob
mulai beraksi menurunkan bendera Bintang Kejora di bawah pimpinan Kapolres Jayawijaya Daniel
Suripatty. Brimob mulai bergerak ke Sinakma Atas. Di Sinakma Brimob tidak datang untuk menurunkan
bendera walaupun ada 3 posko di sana. Hal ini karena benderanya telah diturunkan oleh masyarakat.
b. Pkl. 06.30 WIT
Pasukan Brimob melakukan penurunan bendera Bintang Kejora di posko I – PGRI Sinakma Bawah yang
berada di Jl. Bhayangkara. Semua anggota Satgas lari karena aparat mengeluarkan tembakan beberapa
kali. Tidak ada korban. Bendera diturunkan, lalu tiangnya digergaji dengan sensor, sedang honai posko
dibakar. Benderanya dibawa oleh polisi. Tak satupun anggota Satgas yang di bawa ke Mapolres.
c. Pkl. 06.45 WIT
Pasukan Brimob menurunkan bendera bintang Kejora di posko II- YPK, Jl. Bhayangkara, 100 m dari
posko I. Posko II ini berada di depan gubuk anak–anak sekolah dari kampung– kampung yang kebetulan
sekolah di PGRI dan YPK. Pasukan datang dengan tembakan peringatan beberapa kali. Mereka datang
dengan menggunakan 3 buah truk dan 2 mobil. Semua Satgas melarikan diri mencari perlindungan ke
asrama YPK, 50 m dari TKP. Tembakan beruntun menyusuli mereka. Tidak ada korban jiwa di sini.
Bendera diturunkan secara paksa oleh aparat, tiang bendera langsung digergaji dengan sensor, honai
posko dirusak. Bendera dibawa ke Mapolres, 7 orang dipaksa naik ke atas truk aparat di mana 6 orang
diantaranya adalah anak sekolah sedang seorang lagi adalah wakil ketua satgas di posko tersebut. Itu
merupakan gelombang pertama. Gelombang ke dua, 28 orang lagi diangkut dari gubuk yang sama.
Sehingga dari posko II semuanya 35 orang yang ditangkap dan disiksa di Mapolres Jayawijaya.
d. Pkl 07.00 WIT
Pasukan Brimob bersama ketujuh orang (gelombang I) dari posko II itu tiba di posko satgas III di
Sinapuk. Di sana hanya ada seorang bapak dan 3 orang ibu yang berada di dalam honai. Ketika pasukan
mulai mendobrak pintu pagar untuk masuk menurunkan bendera bapak itu berkata :
“Kamu mau menurunkan bendera atas perintah siapa ? Apakah Presiden yang
perintah ?“.

Kapolres menjawab dengan tegas


“Saya ini Kapolres Jayawijaya. Saya yang perintahkan untuk turunkan bendera
bintang Kejora”.
Brimob pun mulai beraksi dengan menurunkan bendera dan selanjutnya tiang bendera disensor. 2 orang
Satgas yang baru muncul dari rumah kediamannya yang berada tidak jauh dari posko langsung dipaksa
naik ke truk. Honai posko tidak dirusak dan bendera dibawa oleh polisi.
e. Pkl 07.15 WIT
Pasukan Brimob tiba di posko IV di Kama. Mereka langsung menurunkan bendera secara paksa, tiang
bendera digergaji dengan sensor, honai posko dibakar, seorang satgas ditendang oleh Brimob hingga
jatuh tersungkur tak berdaya lalu ditarik dengan kasar dinaikkan ke mobil.
f. Pkl 07.30 WIT
Pasukan tiba di posko V di pertigaan Hom-Hom, Pikhe dan pasar baru di Jl. Pikhe. Posko ini
berdampingan dengan pos penjagaan kehutanan Jayawijaya. Bendera diturunkan dengan paksa oleh
aparat menggunakan sensor. Terjadi bentrokan fisik antara aparat dengan satgas papua. 2 orang Satgas
Papua terluka dan 1 brimob terluka. Brimob mengeluarkan tembakan beruntun, akibatnya semua
anggota satgas mundur. Bendera dibawa brimob, honai posko dirusak dan 15 orang ditangkap dan
dibawa ke Mapolres.
g. Pkl 07.50 WIT
Pasukan mulai lagi beraksi di posko honai resort di jln. Pikhe. Bendera diturunkan secara paksa, tiang
bendera disensor aparat dan honai posko dirusak. Bendera di bawa oleh aparat dan 6 orang ditangkap.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 42


Beberapa menit kemudian warga Pikhe mulai berkumpul di pertigaan dengan maksud ingin menyerang
pasukan Brimob. Warga Pikhe akhirnya membatalkan rencana penyerangan itu karena dilarang oleh
tua–tua adat. Namun di hadapan pasukan mereka berteriak :
“Kami naikkan bendera bukan untuk membentuk negara dalam negara. Tapi ingat
justru karena kalian (TNI/Polri) yang pernah merampas negara kami dengan segala
macam alasan. Kami minta tanah air kami dikembalikan sekarang juga. Kami
bangsa Papua yang berada di lembah Baliem sekarang ini juga siap melawan
kalian dengan tombak dan jubi demi tanah yang kami cintai ini“.
Pasukan brimob tidak peduli. Dan atas perintah Kapolres mereka kembali ke Mapolres.
h. Pkl 08.00 WIT – 08.20 WIT
Pasukan yang beroperasi tiba di mapolres Jl. Bhayangkara. Bendera–bendera hasil sitaan di simpan di
Mapolres. Sedangkan ke-59 orang yang ditangkap langsung dimasukkan ke dalam tahanan dan
selanjutnya penyiksaan mulai berlangsung dengan sadis. Mereka dipukul dengan tangan, popor
senapan, rotan, ban pinggang/kopel dan ditendang dengan sepatu lars. Siksaan berat dialami oleh
mereka, padahal sebagian besar dari mereka adalah anak–anak sekolah yang tidak tahu apa–apa.
Nampak beberapa dalmas dan Brimob papua asli yang tidak dipersenjatai yang sempat menahan aparat
untuk tidak lagi melakukan penyiksaan karena kondisi mereka sudah sempoyongan.
i. Pkl. 08.30 WIT
Atas perintah kapolres, pasukan mulai beraksi lagi di posko induk Jl. Trikora kompleks lama Wamena
Kota. Aksi kekerasan digelar aparat, bendera bintang kejora diturunkan secara paksa dengan menyensor
tiang bendera. Pasukan mengejar anggota satgas dengan tembakan beruntun. Terjadi bentrokan fisik
sehingga beberapa anggota satgas papua luka– luka. Bendera disita, tetapi tidak ada yang berhasil
ditangkap. Polisi kembali ke Mapolres. Suasana Wamena mencekam. Berbagai aktivitas warga macet
dan semua orang diliputi ketakutan.
j. Pkl 09.00 – 14. 59 WIT
Suasana Wamena Kota menjadi tegang. Tetapi belum ada orang yang bereaksi untuk mengungsi.
Sementara itu Brimob mengirim berita kepada satgas di Posko Maflima dan Wouma di daerah misi/jalur
Kurima, bahwa tepat pukul 15.00 WIT pasukan akan datang untuk menurunkan bendera. Mendengar
berita itu, satgas Papua di kedua posko bersama para pencinta Bintang Kejora membalas berita ke polisi
bahwa mereka akan siap melawan dengan tombak dan anak panah. Bahwa mereka siap mati demi
tanah leluhur mereka yang telah dirampas.
k. Pkl 15.00 WIT
Pasukan gabungan (TNI/POLRI) sudah berada di pasar kaget kompleks Missi Jl. A. Yani Tolikara.
Anggota pasukan ini menggunakan 3 buah truk. Sementara itu sekitar 2.000 orang masyarakat asli dari
arah Kurima sudah berada di sebelah jembatan Tolikara – Wouma. Melihat masyarakat yang
bersenjatakan jubi, tombak dan parang mulai menyeberang jembatan untuk maju menyerang, pasukan
gabungan itu bergerak mundur sampai di depan gereja Katolik. Orang Baliem dari Kurima dan Wouma
yang berbudaya perang itu berarak– arakan maju tanpa melepaskan anak panah. Setelah mereka
melewati perempatan pasar kaget itu terdengar bunyi tembakan beruntun dari arah rumah–rumah
penduduk sipil di sekitar pasar kaget. Bunyi tembakan itu bukan bunyi tembakan peringatan, tetapi
sekaligus tembakan isyarat perang. Peluru tajam yang diberondongkan aparat berhamburan. Akibatnya
korban berjatuhan.
Pasukan berlindung di rumah–rumah penduduk sipil dan di dalam truk, lantas memberondongkan peluru
tajam. Dalam suasana demikian masyarakat menjadi tegang. Akhirnya sasaran penyerangan sebenarnya
aparat, tetapi karena mereka bersembunyi di dalam rumah warga akhirnya membangkitkan kemarahan
massa dan melampiaskan emosionalnya terhadap masyarakat pendatang. Warga dibunuh serta dibantai.
Rumah– rumah warga pendatang dibakar karena diduga masih ada pasukan bersenjata yang berlindung
di dalamnya. Maka korbanpun berjatuhan, termasuk warga sipil yang tak berdosa dan tak tahu apa–apa
seperti bayi–bayi belia.
Pertikaian fisik yang sengit itu berlangsung hingga pukul 18.00 WIT. Korban luka–luka yang sempat
dilihat langsung dilarikan ke RS, sementara korban tewas belum dapat dikumpulkan karena suasana
belum mengijinkan. Pasukan bersenjata kembali ke markasnya dan masyarakat juga demikian. Suasana
kota tegang. Ibu kota kabupaten Jayawijaya dalam sekejap berubah menjadi kota mati yang sunyi
senyap. Hingga pukul 24.00 WIT di RSUD Wamena tercatat 21 korban luka–luka dan 3 orang meninggal
dunia.
Setelah peristiwa Jumat berdarah tersebut aparat mengambil langkah–langkah represif yang dibantu
pasukan dari Jayapura. Berbagai langkah diambil guna pemulihan keamanan. Dalam operasi penyisiran
tersebut di sekitar TKP terjadi berbagai penyiksaan dan intimidasi. Tercatat 7 orang ditangkap dan
ditahan. 2 orang di antaranya menderita luka berat. Selain itu seorang fotografer asal NTT ( TIFA PAPUA
), Yoseph Udin tewas dianiaya polisi.
Jadi jumlah seluruh korban akibat peristiwa 6 Oktober tersebut yaitu 32 orang meninggal dan 53 lainnya
mengalami luka baik ringan maupun berat akibat penyiksaan yang dilakukan aparat. Korban semua
dikubur secara massal di pekuburan Sinakma dengan memisahkan yang beragama Islam dan Kristen.
Selain itu ada pula yang dikubur di kampung karena permintaan dari keluarganya.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 43


Dari peristiwa tersebut tergambarkan kesewenang–wenangan aparat Kepolisian di mana telah
mengambil tindakan secara sepihak melanggar kesepakatan yang telah di buat dengan anggota
Presidium dan Panel Kabupaten Jayawijaya. Sebelum terjadi peristiwa itu ada negosiasi dengan panel
dan Presidium dan menghasilkan kesepakatan bahwa bendera Bintang Kejora akan diturunkan setelah
anggota Presidium (Pdt. Obed Komba) mengadakan pertemuan dengan PDP di Jayapura. Pada tanggal
3 Oktober 2000 ada pertemuan PDP dengan Muspida tentang rencana penurunan bendera yang diberi
batas akhir hingga tanggal 19 Oktober setelah PDP pulang bertemu dengan Presiden Gus Dur. Inipun
bukanlah merupakan harga mati.
Di Jayawijaya sendiri telah ada usaha untuk menurunkan bendera di Sinakma dan juga beredar isu telah
diturunkannya bendera dan benderanya disobek–sobek serta poskonya pun dibakar. Akhirnya pada
tanggal 6 Oktober peristiwa itu terjadi yang dimulai dengan penurunan bendera secara paksa dengan
cara disensor tiangnya dan posko dibakar dan dirusak.
Peristiwa yang menelan korban jiwa tidak sedikit tersebut membuat semua pihak kaget sebab setahu
mereka akan ada sosialisasi dulu dari Pdt. Obed Komba setelah kepulangannya dari Jayapura. Namun
beliau belum pulang untuk sosialisasi peristiwa tragis tersebut sudah meledak.
Selain itu yang cukup mengerikan adalah jatuhnya korban dari pihak sipil pendatang yang tidak tahu–
menahu persoalan. Menurut cerita masyarakat bahwa pada waktu itu pasukan Brimob yang menembaki
massa bersembunyi di rumah penduduk sipil. Mereka masuk ke dalam rumah secara paksa. Akhirnya
massa pun menyerang penduduk sipil untuk melampiaskan emosi mereka karena dirasa menyimpan
musuh mereka. Hal ini terlihat dari luka korban tembak yang semuanya terletak di samping kiri dan kanan
tubuh korban. Selain itu pada bulan Pebruari – Maret 2001 telah terjadi penyerangan anggota Kodim
terhadap anggota Brimob yang berjaga-jaga pada waktu sidang kasus Makar Panel dan Presidium
Kabupaten Jayawijaya. Penyerangan ini dilakukan karena ada istri salah satu anggota Kodim yang ikut
terbunuh pada waktu peristiwa 6 Oktober tahun 2000. Fakta inilah yang memperkuat dugaan bahwa
pada waktu itu bila anggota Brimob tidak masuk secara paksa maka peristiwa mengerikan tersebut tidak
terjadi. Menurut cerita masyarakat yang lain bahwa penurunan bendera dilakukan diakibatkan Kepolisian
tidak mendapat proyek sehingga melampiaskan emosi mereka. Yang ironis sekali setelah kejadian itu
anggota Panel dan Presidium yang berjumlah 5 orang ditangkap dan dituduh sebagai pelaku peristiwa 6
Oktober. Mereka yang ditangkap adalah :
a. Pdt. Obed Komba ( Anggota Presidium Kab. Jayawijaya )
b. Murjono Murib, S.Pd ( Ketua Panel Kab. Jayawijaya )
c. Yafeth Yelemaken ( Sekretaris Panel Kab. Jayawijaya )
d. Pdt. Yudas Meage ( Anggota Panel Kab. Jayawijaya )
e. Ibu Amelia Jigibalom ( Anggota Panel Kab. Jayawijaya )
Penangkapan dan penahanan terhadap mereka terasa sangat janggal. Hal ini dikarenakan pada waktu
sebelum mereka ditangkap diadakan pertemuan di kantor Bupati, dimana mereka diminta untuk
mempertanggung jawabkan peristiwa tersebut berserta dengan 17 anggota Satgas Papua yang
ditangkap pada waktu terjadi penurunan bendera. Dengan kejadian itu Presidium dan panel serta
masyarakat sipil dijadikan kambing hitamnya. Tetapi karena merasa tidak berbuat jadi mereka tidak mau.
Akhirnya mereka langsung ditangkap dan diperiksa di kantor Polisi. Pemeriksaan mereka dilakukan
bergiliran hingga dini hari. Namun yang lebih tragis lagi pemberitaan yang dilakukan ke luar Wamena
(Jakarta) tersiar bahwa pelaku kasus 6 Oktober sudah tertangkap. Namun dalam pemeriksaan di
Kepolisian dan Pengadilan Negeri Wamena para terdakwa diperiksa berkaitan dengan kasus Makar di
mana mereka ditanya seputar keikutsertaan mereka pada Mubes, Kongres dan kegiatan– kegiatan
lainnya. Dengan demikian, yang terjadi adalah proses pembelokan masalah.
Selain itu dampak lain adalah terjadi gelombang pengungsian besar–besaran ke luar dari Wamena
(Jayapura dan Merauke) sekitar 4.000 – 5.000 orang. Sedang yang lain diungsikan di Makodim 1702,
Mapolres Jayawijaya, rumah–rumah ibadah, rumah penduduk, Lembaga Pemasyarakatan dan Hotel
Nayak serta Maranu Jaya yang keseluruhan berjumlah 6.144 orang.
Menurut keterangan warga yang lain bahwa tindakan di luar dari kesepakatan ini diambil karena pihak
Kepolisian tidak mendapat dana proyek. Akhirnya melampiaskan emosinya dengan melakukan
penurunan bendera secara paksa dengan tidak mempedulikan kesepakatan yang telah dibuat dengan
anggota Presidium dan Panel Jayawijaya.
Telah ada upaya untuk mengadakan perdamaian yang dilakukan oleh Pemda dengan melibatkan seluruh
Tokoh Agama, Adat dan masyarakat yaitu dengan mengadakan upacara adat. Tetapi masyarakat
menolak karena acara itu hanya formalitas saja sedang yang harus dilakukan adalah mencari siapa yang
bertanggung jawab peristiwa tersebut. Akhirnya peristiwa Wamena Berdarah hingga sekarang tidak jelas
karena tidak ada yang mau bertanggung jawab.
B. Kecamatan Tiom
1. 2000
 Pemaksaan Penurunan Bendera Bintang Kejora
(15 Desember)

Pendahuluan dan Gambaran Umum 44


a. Pada tanggal 14 Desember 2000, masyarakat meminta ijin untuk menaikkan bendera Bintang Kejora,
tetapi tidak diijinkan. Walaupun demikian masyarakat tetap mengibarkan bendera. Namun setelah
melalui proses negosiasi akhirnya bendera Bintang Kejora bisa diturunkan.
b. Pada tanggal 15 Desember 2000, masyarakat menaikkan bendera di desa Nggolo. Mendengar itu
aparat TNI dari kesatuan Yonif 721 yang diperbantukan pada Yonif 713 berjumlah 4 orang bergerak
naik bermaksud untuk menurunkan bendera tersebut (letak pengibaran bendera di gunung).
Setibanya di sana militer dengan paksa menurunkan bendera yang sebelumnya menembak tiang bendera.
Kepada anak–anak yang menjaga tiang bendera diperintahkan untuk segera menurunkan bendera. Tetapi
mereka berkata bahwa mereka hanya di suruh menjaga. Lalu aparat menembak lagi sehingga anak–anak
kecil tersebut melarikan diri.
Kemudian aparat berhasil menurunkan bendera dan langsung pulang dengan menggiring 13 anggota
masyarakat. Di tengah perjalanan mereka dihadang oleh masyarakat yang jumlahnya banyak dan
mengepung aparat. Mereka bersenjatakan anak panah, parang, kapak dan alat tajam lainnya.
Aparat kemudian melepaskan tembakan peringatan. Tetapi hal itu tidak membuat masyarakat takut.
Akhirnya masyarakat menyerbu aparat. 2 orang anggota melarikan diri ke base kamp suatu perusahaan
yang sedang beroperasi di sana untuk mengambil motor. Dua (2) orang lagi melarikan diri hingga ke kali
Tiom. Di tempat ini terjadi kontak fisik. Beberapa warga luka kena tembak sedang 1 orang aparat mati
terkena anak panah di leher (Kopda Sahrudin). Tetapi dalam kondisi sekarat, aparat tersebut sempat
menembak warga yang memanah dia. Kejadian ini terjadi di dekat jembatan besar sebagai sarana
penghubung desa tersebut dengan ibu kota kecamatan. Tembakan itu tepat di kening warga masyarakat
tersebut sehingga langsung mati di tempat.
Sedangkan aparat yang satunya yang mengalami luka–luka akibat terkena panah dan kena bacokan
diantar pulang oleh masyarakat ke Koramil di Bokon.
Kemudian Dan Ramil dengan beberapa orang dari Koramil datang ke TKP untuk mengambil mayat anggota
tetapi masyarakat bersikeras untuk menahannya. Tetapi setelah diadakan negosiasi akhirnya jenazah
aparat tersebut berhasil dibawa pulang. Kemudian keesokan harinya mayat Kopda Sahrudin diterbangkan
dari lapangan Sentani menuju ke Makasar.
Pada peristiwa itu senjata aparat yang dibunuh berhasil dibawa kabur oleh masyarakat.
Kejadian ini berawal dari pelaporan anak buah perusahaan yang sedang beroperasi di sana bahwa ada
penaikan bendera di gunung di desa Ngolo. Mendengar laporan tersebut 4 orang anggota TNI langsung
bergerak ke sana tanpa melapor/koordinasi ke pimpinan terlebih dahulu (Babinsa). Padahal menurut sistem
militer hal ini terlebih dahulu harus dilaporkan ke pimpinan dan bila disetujui oleh pimpinan baru bisa
dilaksanakan.
4 (empat) orang aparat tersebut adalah :
1. Kopral Dua Sahrudin (meninggal dunia).
2. Kopral Dua Zulkifli
3. Prajurit Satu Nasir
4. Prajurit Satu Asril
Pada kejadian tersebut yang uniknya adalah salah seorang aparat yang terluka justru di antar ke Koramil di
Bokon, sedang yang seorang ditembak dengan anak panah hingga meninggal. Menurut cerita warga
bahwa aparat yang mati adalah aparat yang sangat arogan dan sangat kejam terhadap masyarakat karena
beliau bekas aparat dari Timor–Timur.
Berdasarkan responden yang lain bahwa penaikan bendera disebabkan karena warga yang meminta dana
Bangdes tidak diberikan oleh Kecamatan. Menurut informan tersebut Camat Tiom berkata bahwa uang
Bangdes tersebut adalah milik Republik Indonesia bukan milik orang Papua. Stigma TPN/OPM yang
diberikan kepada masyarakat telah memancing kemarahan warga sehingga menaikkan bendera Bintang
Kejora.
Mendengar kejadian itu aparat bergerak mendatangi honai yang menjadi posko Satgas Papua di sekitar
TKP dan langsung di rusak dan di bakar, sehingga menyebabkan 3 warga meninggal. Suasana semakin
mencekam dengan kondisi tersebut apalagi ada pemalangan bagi masyarakat pendatang (perdagangan).
Kondisi ini semakin membuat masyararakat resah dan diliputi ketakutan. Apalagi beredar isu akan ada
penyerangan dari TPN/OPM terhadap Posko militer di ibukota Kecamatan Tiom.
Setelah kejadian tersebut Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat setempat dikumpulkan dan disuruh
mencari senjata yang hilang. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 17 Desember 2000, senjata yang
dirampas oleh warga pada waktu terjadi kontak fisik dikembalikan lagi kepada aparat setelah didesak oleh
Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. Sedangkan dari peristiwa itu, aparat militer yang melakukan
indisipliner tersebut tidak diambil tindakan yang tegas.
Sehingga dari kasus penaikan bendera tersebut, 1 orang tentara dan 4 orang warga masyarakat meninggal
dunia (Tinius Wandik, Terius Tabuni, Wekinus Wenda dan Banbier Wenda) serta 3 orang luka tertembak.
Bahkan ketika Tim Peneliti AlDP tiba di lokasi, ada rencana dari TPN/OPM akan melakukan penyerangan
terhadap pos militer. Pasukan OPM telah bersiap sedia di balik gunung. Untung saja Tokoh Agama di sana
melarang dan mengusir mereka agar jangan melakukan penyerangan.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 45


C. Kecamatan Bokondini
1. 1999
 Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)
Di Kecamatan ini tidak terjadi konflik yang berskala besar. Tetapi akibat peningkatan eskalasi kegiatan
politik sehingga militer mengerahkan kekuatan guna terus mengawasi gerak – gerik warga dari berbagai
aktivitasnya. Hal ini tentu saja meresahkan warga karena mereka merasa tidak bebas untuk bergerak
karena akan di terror serta diintimidasi. Hal ini terjadi pada tokoh – tokoh yang berperan di sana (tokoh
agama, masyarakat, dll).
Peristiwa yang terjadi di Bokondini ini bermula dari pengibaran bendera pada tanggal 1 Desember 1999,
akibat Bupati David Hubi tidak menijinkan pengibaran di Wamena. Pengibaran ini di lakukan pukul 07.20
WIT dan diturunkan pada pukul 15.45 WIT setelah Pdt. Obed Komba didatangkan dengan helikopter dari
Wamena. Akibat pengibaran bendera tersebut maka pada tanggal 12 Desember di Wamena Polres
Jayawijaya memeriksa 9 orang pelaku pengibaran bendera. Dan pada tanggal 19 Desember ditangkap lagi
1 orang pelaku pengibaran bendera yang kesemuanya berjumlah 10 orang.
Di Kecamatan Bokondini aparat keamanan dalam memperlakukan masyarakat telah bertindak di luar
batas–batas kemanusiaan. Harga diri sebagai manusia sangat begitu tidak dihargai padahal mereka adalah
manusia yang juga ingin hidup bebas beraktifitas sebagaimana mestinya. Kondisi ini pernah dilaporkan
beberapa kali kepada Bupati David Hubi dan juga Dandim Kabupaten Jayawijaya namun sepertinya tidak
digubris.
Dampak peristiwa itu akhirnya masyarakat menjadi resah karena diteror dan diintimidasi oleh aparat.
Hingga sekarang daerah ini menjadi mencekam karena gerak–gerik mereka diawasi terus. Masyarakat
menjadi tidak bebas di tanahnya sendiri, hal ini dikarenakan adanya penambahan pasukan dalam jumlah
yang besar. Aparat keamanan menunjukkan kesewenang–wenangannya (show power) dan menakuti–
nakuti warga dan mengancam dengan senjata sehingga warga semakin takut dan ada warga yang akhirnya
meninggalkan kampungnya untuk pergi ke kampung lain atau ke hutan (mengungsi).
Pada saat Peneliti tiba di Bokondini, Bendera bintang kejora masih berkibar di daerah Bilu baga yang
merupakan dampak dari traumatis pengalaman tahun 1977 dan aspirasi politik yang terjadi di seluruh
Papua. Akibatnya masyarakat di kecamatan Bokondini khususnya desa Bilubaga mengalami ketakutan dan
kecemasan akan terjadinya konflik antara militer dengan pengikut bapak Yatan Weah dan Elias
Baminggen. Tokoh adat desa Bilubaga meminta kepada Tim Peneliti (AlDP) untuk memfasilitasi ke PDP
memberikan penguatan kepada masyarakat desa Bilubaga agar bendera diturunkan sehingga potensi
konflik pelanggaran HAM dapat dihindari. Sekarang ini bendera Bintang Kejora telah di turunkan setelah
ada perintah dari Presidium Dewan Papua (PDP) yang difasilitasi oleh AlDP. Sehingga ketakutan akan
terjadinya konflik yang dikuatirkan oleh masyarakat menjadi sedikit berkurang.
Sebagai contohnya, bahwa di ibu kota Kecamatan Bokondini, responden (Ketua Klasis Bokondini) ditodong
dengan senjata karena dituduh mengijinkan tim peneliti untuk bertemu dengan korban penyiksaan tahun
2002 (Tote Weah dan Jondi Weah) serta Elias Baminggen. Akibatnya Tim Peneliti juga diancam akan
dibunuh apabila datang ke Ibu kota Kecamatan Bokondini.

D. Kecamatan Kelila
1. 1999
 Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)
Aparat sering melakukan banyak tindakan kekerasan, baik itu penyiksaan secara fisik maupun non fisik
seperti, intimidasi, terror serta beban psikologis karena dihina, dicaci maki dan diberikan stigma inferior
(malas, bodoh dan primitif). Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat di Kelila dicap sebagai Daerah
Merah. Warga menjadi tidak bebas bergerak di wilayahnya sendiri. Sebelum tahun 1999, teror dan
intimidasi lainnya terus dilakukan oleh aparat karena daerah ini dianggap sebagai daerah merah. Akibat
pendekatan represif yang dilakukan oleh militer dan juga berbagai stigma yang mendiskreditkan warga
sehingga telah menjadi stereotip warga bahwa militer identik dengan kekerasan.
Setelah 1999, eskalasi kegiatan politik semakin meningkat dimana roda reformasi bergulir melanda negeri
dan juga setelah diijinkannya pengibaran bendera oleh Penguasa. Suasana telah berubah semakin
mencekam karena tindakan terror, penyiksaan menunjukkan peningkatan yang signifikan
Aparat militer khususnya pasukan non organik yang ditempatkan di sana tidak berusaha untuk beradaptasi
dengan masyarakat, tetapi malah mempertontonkan kehebatannya dengan menggunakan senjata (show
power). Berbagai aturan-aturan adat telah dilecehkan dan menganggap bahwa dialah hukum yang berlaku.
Penghormatan terhadap tokoh yang berperan dirasa sudah tidak ada. Padahal bagi masyarakat seperti
tokoh adat dan tokoh Agama begitu dihormati dan dihargai. Simbol-simbol adat (topi kepala suku) sebagai
lambang keagungan masyarakat adat dan hanya dipakai pada acara-acara khusus saja (bersifat sakral),
kini dipermainkan seperti barang sampah, padahal seharusnya simbol tersebut. Apa yang diinginkan harus

Pendahuluan dan Gambaran Umum 46


dipenuhi dan bila tidak maka akan berhadapan dengan moncong senapan. Keadaan ini semakin
menjadikan kebencian yang mendalam kepada militer apalagi memori 1977 belum hilang dari ingatan di
mana terjadi pembantaian besar-besaran dan kini memoria pasionis tersebut kembali bertambah dengan
banyaknya penyiksaan, teror, intimidasi, penyiksaan dan berbagai macam tekanan yang membuat
masyarakat depresi.

F. Kecamatan Mapnduma
1. 1996
 Penyanderaan Tim Lorentz (8 Januari)
Kejadian ini bermula dari kedatangan Tim Lorenzt ke Mapnduma pada tahun 1996 untuk melakukan
penelitian terhadap tumbuhan dan tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Lorentz. Masyarakat
merasa kurang suka melihat keadaan ini karena bertentangan dengan budaya setempat. Mereka
menyandera dan membawa tim tersebut ke tengah hutan.
Adapun kronologis peristiwa dari penyanderaan hingga pembebasan dan akhirnya diadakan operasi
penyisiran, adalah :
a. Tanggal 8 Januari 1996
Penyanderaan mulai dilakukan oleh TPN/OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Yudas
Kogoya. Tim peneliti yang disandera berjumlah 24 orang.
b. Bulan Pebruari – Maret 1996
Ada usaha negosiasi terhadap penyandera oleh Palang Merah Internasional (ICRC) yang dilakukan
oleh Silviana Bonday, namun upaya pembebasan sandera gagal di lakukan.
c. 8 Mei 1996
Dilakukan operasi pembebasan sandera oleh Kopassus yang di pimpin oleh Mayjen Prabowo. Sedang
yang diturunkan di Mapnduma di pimpin oleh Kapten Made. Selain itu juga dari kesatuan lain seperti
Kostrad, Pasukan Kasuari dsb.
d. Maret – Mei 1996
Terjadi pembantaian besar–besaran, kebun, rumah dan gereja dirusak serta dibakar. Kampung
dimusnahkan
e. Juni – Agustus 1996
Terjadi pemerkosaan terhadap seorang perempuan dewasa. Hal ini dilaporkan ke komandan atas
perbuatan anak buahnya namun sebagai bentuk upaya perdamaian hanya diberikan beras sebanyak
150 Kg.
Penyanderaan yang dilakukan terhadap tim peneliti terjadi diakibatkan ketidakpahaman peneliti Lorentz
mereka terhadap budaya lokal, di mana mereka mengambil tanah dan tumbuhan yang akan digunakan
untuk keperluan penelitian dan akan diangkut ke Wamena Kota dan akhirnya ke luar dari Papua. Padahal
kegiatan tersebut bertentangan dengan adat yang berlaku dan menyebabkan warga tersinggung dan
marah. Masyarakat merasa seluruh hasil bumi mereka akan diangkut ke luar dan nantinya mereka tidak
akan dapat hidup lagi karena semuanya telah habis.
Untuk peristiwa tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan yang terdiri dari :
I. Periode Pra penyanderaan
Sosialisasi oleh Tim Peneliti tentang tujuan kedatangan mereka. Namun dalam rapat tersebut
pendapat salah seorang (dikemudian hari diketahui pelaku penyanderaan) tidak diterima, yang
mengakibatkan dia marah dan melaporkan hal ini kepada Kelly Kwalik.
Pertanyaan dia adalah tentang pengalaman suku Amungme yang memprihatinkan dan tragis, di mana
hanya jadi penonton atas pengrusakan habitat mereka yaitu dengan beroperasinya PT. Freeport.
Ketakutan dan kecemasan inilah yang membuat warga tersebut marah dan ke luar dari ruangan
karena pendapatnya tidak diterima. Kemudian tidak berapa lama dia datang dengan sejumlah
temannya dan langsung melakukan penyanderaan terhadap 24 orang peneliti, termasuk masyarakat
sipil yang mengikuti rapat tersebut (tanggal 8 januari 1996).
II. Periode Penyanderaan
Peristiwa penyanderaan tersebut telah menarik simpati banyak pihak karena terdapat di dalamnya
peneliti dari Luar Negeri antara lain dari Ingris, Jerman, Belanda. Berbagai pendekatan dilakukan
sebagai upaya pembebasan. Berbagai mediator di pakai guna menjadi negosiator antara ke dua belah
pihak (pemerintah/ABRI dengan OPM).
Pendekatan persuasif telah dilakukan antara lain oleh pihak gereja, ICRC, militer, Tokoh Masyarakat
Lokal dan Pemda Jayawijaya.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 47


Namun karena negosiasi tidak berhasil, maka langkah yang diambil selanjutnya adalah melakukan
operasi militer. Di sinilah awal terjadinya berbagai peristiwa yang menakutkan dan mencekam.
Militer kemudian membuat basis pangkalan di daerah sekitar penyanderaan seperti di Keneyam, yang
jumlah mereka sangat banyak dan dari berbagai kesatuan seperti dari Kostrad, Kodam VIII Trikora,
Pasukan Kasuari, kopassus dll. Mobilisasi pasukan ini dilakukan dengan menggunakan pesawat
helikopter. Selain itu juga dilakukan “Silent Operation“. Operasi yang dilakukan dan terkesan Show
Power semakin membuat warga diliputi rasa ketakutan, shock karena tertekan dan tidak bebas, karena
takut dituduh sebagai anggota dari TPN/OPM.
Padahal ketika merencanakan pembebasan sandera telah diperingatkan oleh ketua Klasis untuk
berhati-hati, bahwa harus dibedakan mana yang masyarakat sipil biasa dan mana yang anggota
TPN/OPM. Namun pada kenyataannya hal tersebut tidak diindahkan. Militer melakukan penyisiran dan
mengejar warga hingga ke dalam hutan yang menyebabkan warga banyak yang mati tertembak.
Bahkan rumah warga ada yang dijadikan basis militer sehingga mereka pergi mengungsi ke keluarga
mereka. Selain itu sekolah juga turut dipakai sehingga aktifitas belajar terganggu. Warga dilarang
untuk tidak boleh ke mana-mana padahal mereka bisa bertahan hidup dari hasil berkebun.
Selain itu, militer juga melakukan penyisiran terhadap kampung-kampung yang ada. Warga karena
yang akhirnya melarikan diri ke hutan-hutan yang diperkirakan berjumlah sekitar 500 Jiwa. Kemudian
militer juga melakukan penyisiran di pinggir-pinggir kampung dan banyak membunuh warga karena
dituduh termasuk anggota penyandera. Padahal mereka inilah para warga yang mengungsi ke hutan-
hutan.
Bahkan ada pula yang mati karena kelaparan sebab tidak mempunyai cadangan makanan. Warga
yang menyerahkan diri karena sudah kelaparan juga disiksa dan dibunuh. Warga yang telah mati
ditembak, lantas ditinggalkan begitu saja hingga mayatnya dimakan oleh binatang liar.
Militer yang melakukan penyisiran ke kampung-kampung terus melakukan kekerasan serta meneror
masyarakat. Setidaknya ada 5 (lima) desa yang diobrak-abrik oleh aparat rumah dan tanaman dirusak
dengan bom. Tempat ibadah (Gereja) di Soroama juga dihancurkan dengan bom. Perempuan
diperkosa (dewasa + di bawah umur). Bahkan ada perempuan yang hamil digilir oleh 7 orang aparat.
Penembakan membabi buta dilakukan sehingga banyak yang cedera hingga cacat dan juga mati.
Penganiayaan juga terus dilakukan dan bahkan ada seorang warga yang disuruh minum air kencing
(urine) aparat, yang bernama Leon Nerigi.
Ke-5 lima desa yang menjadi daerah paling parah yaitu :
a. Desa Geseleima
b. Desa Yenggelo
c. Desa Alama
d. Desa Huarem
e. Desa Nolak
Eskalasi kekerasan militer semakin meningkat tatkala penyandera menunda pembebasan sandera.
Akhirnya warga kembali mengalami penderitaan. Rumah ibadah dan sarana lainnya digunakan
sebagai basis militer. Hutan dirusak dengan cara dibom yang akan digunakan sebagai tempat
pendaratan helicopter. Juga ada tokoh agama mengalami nasib yang tragis dimana ditembak hingga
mati di depan gereja yang dilakukan oleh Yonif 751, yang sebelumnya gereja tersebut lebih dahulu di
bom dari udara. Jadi penyisiran yang dibuat oleh aparat militer dilakukan baik dari darat maupun dari
udara. Juga pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan bom yang ditinggalkan oleh aparat di rumah
penduduk di mana mengakibatkan 5 orang meninggal dan 2 orang lainnya luka – luka.
Ketika terjadi pembebasan sandera telah diberikan bantuan berupa bahan makanan kepada
masyarakat. Namun ternyata usaha bantuan kemanusiaan dinodai oknum tertentu di mana helicopter
yang berencana menurunkan bahan makanan, tetapi di dalamnya telah bersiap pasukan dari luar
negeri untuk menghabisi warga, karena pada waktu itu ada pertemuan antara masyarakat dengan
penyandera. Masyarakat mengira helicopter itu akan menurunkan bahan makanan seperti biasanya
karena terlihat dari pesawat tersebut dikeluarkan bendera lambang Palang Merah. Masyarakat
mendekati pesawat itu. Tetapi kemudian ketika pintu pesawat dibuka maka tembakan membabi buta
dilakukan oleh pasukan yang memang telah berada pada posisi siap tempur. Akhirnya korban pun
tidak bisa dihindarkan. Warga yang selamat kemudian mengungsi lagi ke hutan. Ada warga yang mati
di tempat, ada yang akhirnya cacat seumur hidup dan lainnya luka-luka.
Menurut responden, pesawat yang dipakai dalam operasi pembebasan sandera adalah milik PT.
Freeport yang dipakai oleh Air Fast untuk melakukan pengejaran dan menembak masyarakat hingga
ke hutan. Dan juga helikopter militer TNI berjenis Twin Otter maupun Puma.
Pada tanggal 15 Mei 1996 para sandera dibebaskan, namun ada 2 orang peneliti yang meninggal
yaitu Nafi (Sulawesi Utara) dan Matias dari Ambon. Sedangkan di pihak TPN/OPM meninggal 1 orang.
Selama terjadi penyisiran dan selama operasi pembebasan di lakukan, kurang lebih ratusan jiwa
meninggal (menurut responden 300) dan banyak penduduk yang mengungsi serta perempuan-
perempuan kampung yang diperkosa, namun karena malu sehingga tidak dilaporkan. Ada yang
menderita cacat. Namun yang paling berat adalah beban mental (kondisi psikologis) yang dirasakan
akibat operasi pembebasan sandera. Kondisi ini semua pernah dilaporkan oleh warga kepada Els-

Pendahuluan dan Gambaran Umum 48


HAM (Lembaga Studi dan Advokasi HAM) di Jayapura. Sedang pemerintah nampaknya bersifat apatis
melihat kondisi tersebut.
III. Periode Pasca Penyanderaan
Keadaan ini (setelah pembebasan sandera pada tanggal 15 Mei 1996) tidak secara otomatis langsung
menghilangkan penderitaan warga. Karena setelah itu penyiksaan, pembunuhan dan bentuk
kekerasan lainnya tetap dirasakan. Karena walaupun telah di cabut status Mapnduma dari Daerah
Operasi Militer (DOM) menjadi Pengawalan Daerah Rawan (PDR), toh tindak kekerasan terus terjadi.
Pernah terjadi di Keneyam yaitu peledakan bom yang ditinggalkan oleh aparat dimana mengakibatkan
5 orang meninggal dunia dan 2 orang luka-luka. Juga anak ketua Klasis yang bernama Joni, ikut
meninggal karena tertembak oleh pasukan 751 pada tanggal 16 Juni 2000, bahkan ada anak
perempuan yang berumur 3 dan 11 tahun di perkosa.

G. Kecamatan Oksibil
1. 1996
 Perilaku Kelompok Sipil Bersenjata
Daerah ini merupakan salah satu dari 6 (enam) Kecamatan yang berada di sebelah Timur Kabupaten
Jayawijaya. Konflik yang terjadi di sini pada umumnya akibat ulah militer yang bertindak di luar aturan. Hal
ini di karenakan daerah ini dekat dengan negara tetangga, PNG.
Adapun kasus yang terjadi pada tahun 1996 di Desa Kutdol Kecamatan Oksibil yaitu :
Kasus ini berawal dari seorang anggota OPM, bernama Titus Uropdana yang tinggal bersama dengan
Komandan OPM Paulus Kaladana di perbatasan wilayah Oksibil dengan Kiwirok dan PNG (Yapsi). Pada
saat itu di daerah tersebut terdapat seorang anak perempuan yang orang tuanya memiliki hutang terhadap
keluarganya Titus Uropdana. Pada saat Titus Uropdana menagih hutang tersebut untuk segera dibayar,
keluarga yang berhutang malah mengembangkan isyu bahwa Titus membayar orang untuk membunuh
keluarga yang berhutang tersebut.
Pada awalnya pula Titus Uropdana ini bukanlah anggota OPM, dalam hal ini yang menjadi anggota OPM
adalah adiknya yang bernama Xaverius Uropdana. Kemudian Titus tersebut melaporkan permasalahannya
kepada adiknya Xaverius Uropdana yang kemudian keduanya bersama rombongan OPM lainnya dengan
membawa senjata lantas mendatangi kampung tempat tinggal keluarga yang berhutang tersebut dan
membunuh serta mengambil hasil ternak dan kebun para warga Kampung. Setelah selesai melakukan hal
itu, kemudian mereka turun ke kampung berikutnya. Kebetulan pada saat itu Hari Jumat, TNI bersama
masyarakat sedang ke Desa Kutdol untuk melaksanakan ABRI Masuk Desa. Mendenganr hal itu,
rombongan Titus dan Xaverius Uropdana langsung merencanakan penghadangan dan menjaga di jalan
yang akan dilewati oleh TNI dari Kostrad 509 bersama masyarakat.
Pada saat TNI dan masyarakat lewat di jalan tersebut, rombongan Titus dan Xaverius langsung
melepaskan tembakan ke arah TNI dan masyarakat, namun tembakan tersebut meleset. Setelah
melepaskan tembakan, rombongan Titus dan Xaverius berlari kearah kampung tempat di mana keluarga
yang berhutang kepada Titus tersebut tinggal. Akibatnya TNI dari Kostrad 509 mengejar kelompok
penyerang dengan mengepung kampung dan melepaskan tembakan secara beruntun.

Ketika TNI sedang melakukan penyerangan terhadap kelompok Titus dan Xaverius Uropdana, tiba-tiba
Yunus Gobay, seorang anggota Koramil yang kebetulan ikut bersama TNI pada saat itu, berlompat
menerobos masuk menuju ke arah kelompok Titus dan Xaverius Uropdana. Dan pada saat itu pula
Komandan TNI yang bernama Zulkifli langsung menembak anggota Koramil tersebut hingga tewas dan
rombongan OPM Titus dan Xaverius lari masuk hutan. Seorang anggota masyarakat yang bernama
Uropyambul Ningmabin tewas tertembak dan ada pula seorang ibu tua yang meninggal karena terkejut
setelah mendengar suara tembakan terus-menerus.
Setelah kejadian tersebut, masyarakat kemudian memindahkan warga kampung ke Ibukota Desa untuk
menghindari terjadinya konflik susulan.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 49


2. 1996 – 1997
 Penanganan yang Berlebihan
Teror dan intimidasi tersebut dilakukan oleh Kopasus dan Militer dengan menuduh masyarakat menyimpan
senjata dan masyarakat dituduh berhubungan dengan OPM. Teror dan intimidasi dilakukan pula dengan
penodongan senjata kepada masyarakat sehingga masyarakat menjadi takut dan cemas.
Kasus ini telah dilaporkan oleh masyarakat kepada lembaga keagamaan (Keuskupan) dan Kodam XVII
Trikora dan berbagai pihak namun nampaknya tidak ditindak lanjuti.

H. Kecamatan Kiwirok
1. 1995
 Balas Dendam
Adapun runtutan peristiwa yang terjadi mulai tahun 1995 – 2002 antara lain :
Pembantaian yang dilakukan oleh aparat militer pada masa pemberlakuan DOM terhadap masyarakat desa
Kukihil, desa Tapahik hingga desa Marikong Pahik Kecamatan Kiwirok.
Peristiwa ini berawal dari persoalan keluarga yang diadukan oleh Yosepha Taplo yang merupakan anak
dari Hegap Kaweng Taplo ( korban penyiksaan oleh Kapolsek Kiwirok tahun 1982 ) mengadu ke pos 732
dengan mengatakan bahwa di desa Kukihil dan kampung sekitarnya terdapat markas kelompok TPN/OPM
pimpinan Daniel Taplo.
Mendengar laporan tersebut aparat langsung menuju ke desa tersebut dan melakukan operasi. Masyarakat
kemudian di kumpulkan dan ditangkap serta dimasukkan dalam suatu rumah lalu di tembak mati semuanya
dan rumahnya di bakar. Jumlah korban peristiwa tersebut berjumlah 579 orang. Dan salah seorang warga
yang lolos dari peristiwa itu bernama Tabub Kakadier kini telah menjadi kepala desa Asua. Adapun pelaku
pembantaian adalah Komandan Pos Tirton dengan Komandan operasinya Adolof Telepari dengan sandi
Operasi Pembersihan GPK. Setelah kejadian pembantaian tersebut Pos yonif 732 langsung ditarik ke luar
dari kecamatan Kiwirok.
2. Tahun 1996
 Penanganan yang Berlebihan
a. Terjadi pembunuhan terhadap Yusak Taplo salah seorang anggota Majelis Gereja oleh Yonif 403,
pada tanggal 10 Maret pada pukul 06.00 WIT bertepatan dengan hari Minggu.
Peristiwa ini berawal pada pukul 04.00 dini hari, di mana anggota TNI dari Yonif 403 menyerang
kampung Depsos desa Kiwi. Karena ketakutan, korban kemudian berlari ke luar dari rumah. Pada saat
itu korban langsung ditangkap di jalan raya kemudian di tembak mati langsung di seret.
Setelah di tembak mati, mayat korban di jaga oleh aparat dan bagi masyarakat yang mendekat untuk
melihat mayat tersebut akan di tembak. Pelaku penembakan tersebut bernama Prada Supriyono dari
Yonif 403 yang dilakukan di depan Camat Kiwirok Drs. Yusuf Syawal. Korban kemudian di makamkan
pada pukul 15.00 WIT setelah masyarakat pulang dari kebaktian di Gereja. Alasan pembunuhan
tersebut adalah bahwa korban bukan merupakan warga desa Kiwi dan tidak memiliki KTP. Alasan lain
adalah bahwa korban sering menyembunyikan anaknya yang bernama Marius Taplo yang di duga
merupakan anggota TPN/OPM.
b. Tiga (3 ) bulan setelah terjadi penembakan terhadap Yusak Taplo, anak dari korban yang bernama
Marius Taplo di tangkap oleh Team Merah Putih yang sengaja dibentuk yang terdiri dari putra asli
setempat.
Korban kemudian ditangkap lalu di bunuh di desa Okbab yang terletak di antara Kecamatan Kiwirok
dan Kecamatan Okbibab. Alasan pembunuhan terhadap Marius Taplo karena di tuduh sebagai
anggota TPN/OPM dan juga menyebarkan paham / ideologi Kargoisme.
3. Tahun 2001
 Mogok Kerja Pegawai Puskesmas
a. Terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas dan Bidan Puskesmas Kiwirok sebagai akibat dari
pemotongan gaji yang tidak transparan kegunaannya. Pemotongan ini mulai terjadi dari bulan Maret
hingga Desember 2001 dan juga terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) untuk tahun tersebut.
Jumlah pegawai dan Bidan PPT yang dipotong gajinya sebanyak 19 orang dengan total pemotongan
sebesar Rp 42.177.000 yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Kiwirok yaitu Henok Uropmabin.
Dari uraian kasus yang pertama terlihat nampak bahwa tindakan aparat militer sangatlah arogan.
Oknum aparat terlalu over action dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada pendekatan persuasif
yang dilakukan guna menyelesaikan persoalan yang muncul ataupun menyeleksi berita – berita yang
diinformasikan. Akhirnya dengan suatu doktrin agar menumpas habis gerakan separatis menjadi alat
legitimasi untuk melakukan kekerasan yang walaupun korban berasal dari masyarakat sipil tidak tahu –
menahu tentang kegiatan TPN/OPM.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 50


Dan yang sangat disayangkan dan disesalkan bahwa aparat pelaku tindak kekerasan terhadap warga walaupun
sudah di tarik dari Kiwirok namun tidak diambil tindakan tegas kepada mereka, terkesan seolah – olah tindakan
tersebut direstui oleh pimpinannya.
Sedangkan bagi kasus ke dua di mana terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas Kecamatan Kiwirok
yang di latar belakangi akibat pemotongan gaji mereka yang dilakukan oleh pimpinan Puskesmas
tempat mereka bertugas. Upaya untuk memperkaya diri dengan jalan yang tidak benar (korupsi) telah
menyebabkan orang lain menderita kerugian. Selain itu juga beliau sering mengancam pasien dan
menyuruh pulang tanpa alasan yang jelas. Bahkan beliau sering mengambil apa yang menjadi tugas
orang lain dengan alasan, dia adalah putra asli.
Walaupun sudah melapor ke pimpinan di kabupaten dan Propinsi namun tidak di gubris. Warga yang mengalami
kerugian kini tetap menanti akan tegaknya keadilan bagi mereka.
Dampak dari aksi mogok tersebut kini Puskesmas tersebut menjadi terlantar dan pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat tidak berjalan dengan baik.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 51


BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISA
KONFLIK PELANGGARAN HAM DI PAPUA

A. Motif
Dari hasil penelitian sangatlah sulit dipisahkan bahwa tiap kasus berdiri sendiri karena lebih banyak ditemukan
kasus yang terjadi menyusul seketika atau hampir bersamaan dengan peristiwa sebelumnya atau dapat disinyalir
merupakan rentetan kasus. Dari motif / penyebab munculnya konflik pelanggaran HAM ditemukan adanya 3 motif
utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya serta dijumpai bahwa terdapat pergesaran motif sehingga dari 74
kasus terdapat 87 kali konfigurasi motif hal ini terjadi karena bisa saja pada satu peristiwa tidak saja terdapat satu
motif tetapi bisa terdapat 2 atau 3 motif sekaligus yang ketika ditarik ke sumber konflik maka ada 87 pergeseran
motif. Hal ini dapat di lihat pada Matriks Pelanggaran HAM di 5 kabupaten.
Seperti diketahui bahwa sejak lama telah muncul perjuangan dalam rangka menggugat kembali proses masuknya
Papua ke dalam NKRI yang terjadi di beberapa tempat yang didominasi oleh kekuatan bersenjata dengan pola
perjuangan tertutup karena lebih banyak bergerilya berbasis di hutan. Reformasi tahun 1998 memunculkan pola–
pola perjuangan baru yang merupakan babak baru dari perjuangan untuk menggugat kembali proses masuknya
Papua ke dalam NKRI tersebut. Secara internal, kondisi ini ditandai dengan dimulainya dialog Tim 100, kemudian
Mubes Papua 2000 dan Konggres Papua II 2000. Secara eksternal, kondisi ini ditandai dengan perubahan pola
kepemimpinan nasional yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid sehingga memberikan peluang
demokrasi yang lebih besar – walaupun konsistensinya dipertanyakan kemudian – hal ini ditandai dengan
disetujuinya pengibaran bendera Bintang Fajar.
Maka hal tersebut menjadi momentum dari perubahan pola perjuangan Papua Merdeka ke areal yang lebih terbuka.
Kondisi ini disikapi pula dengan berbagai banyak cara berjuang yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat,
ternyata langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan ketetanegaraan dan pemerintahan
(baca : politik pembangunan) di Papua melalui penjinakan (domestikasi), seperti politik bagi-bagi duit yang dilakukan
oleh pemerintah, dana crash program, JPS maupun Otsus – nampaknya hal yang sama merupakan pengulangan
dari sejarah era 60-an (blueprint) ketika proses masuknya Papua ke dalam NKRI : penjinakan dilakukan kepada
para tokoh-tokoh masyarakat.
Dilihat dari matriks Pergeseran Motif / Tahun (Matrix D1) berdasarkan kabupaten, maka ditemukan :
Pertama, motif politik dimulai pada daerah Jawawijaya tahun 1995 dengan peristiwa di desa Kukihil - Kiwirok
berkaitan dengan munculnya keinginan atau aspirasi masyarakat untuk merdeka dan di daerah Biak Numfor
Kecamatan Biak Barat dan Supiori Selatan yang berkaitan dengan terkekangnya masyarakat atas label daerah
separatis yang disebabkan oleh momentum empirik perjuangan masyarakat pada waktu lampau. Motif ekonomi
dimulai di Biak Selatan pada Januari 1995, yakni pembakaran pasar Inpres dan juga di Merauke tentang reclaiming
hutan masyarakat adat di kecamatan Mandobo—sekaligus merupakan motif sosial budaya. Motif sosial budaya
dimulai juga pada desa Karuboi – Biak dan Kecamatan Jair – Merauke mengenai reclaiming hutan masyarakat
adat.
Kedua, terdapat kasus yang terus terjadi atau dapat dipandang terjadi lebih dari setahun yakni selama periode
1995-2001. Biasanya tidak muncul dengan intensitas tinggi atau memuncak akan tetapi dampak / pengaruhnya
terhadap masyarakat setempat tidak dapat dikatakan lebih ringan dari kasus yang muncul sekaligus dalam tempo yg
relatif singkat. Dari motif politik setidaknya ada beberapa desa di Biak Barat dan Supiori Selatan, yakni pada desa-
desa yang diberi stigma TPN/OPM karena dipandang sebagai basis TPN/OPM.
Kondisi ini mempengaruhi psikologis masyarakat karena masyarakat menjadi takut dan merasa tidak aman untuk
melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari.Hal yang sama terjadi pula di daerah Merauke pada Kecamatan Mandobo
dan Kecamatan Kurik. Hanya saja masyarakat yang menjadi korban dari situasi tersebut di wilayah ini justru
masyarakat migran / non Papua akibat ulah kelompok Satgas Papua dan Kelompok papua bersenjata lainnya.
Untuk motif ekonomi yang terus terjadi sepanjang tahun adalah reklaiming atas tanah, hutan dan kekayaaan alam.
Hal ini terjadi di Kecamatan Babo – mulai dari pelanggaran batas wilayah penangkapan ikan oleh perusahaan,
ketidakjelasan luasnya areal perkebunan perusahaan, pengalihan tanah untuk pemukiman transmigrasi dan kasus
Tanah termurah di dunia. Di Merauke untuk alasan yang sama, yakni persoalan reclaiming tanah terjadi juga di
Kecamatan Mandobo, Kecamatan Jair dan penguasaaan asset / kekayaan alam di Kecamatan Kimaam, Assue dan
Citak Mitak.
Untuk kasus dengan motif sosial budaya secara khusus, kasus yang menyangkut persoalan budaya terjadi di desa
Andey di Biak dan di Manokwari – Kecamatan Babo (masih bersinggungan dengan motif ekonomi) serta Merauke
pada Kecamatan Assue, Jair dan Mandobo (juga masih bersinggungan dengan motif ekonomi).

Pendahuluan dan Gambaran Umum 52


 Politik
Dari hasil penelitian dijumpai pelanggaran HAM yang terjadi dengan motif politik yang terjadi sekitar tahun 1995 di
daerah Jayawijaya dan Biak Numfor. Hal ini sendiri perlu diselidiki lebih lanjut apakah ini terjadi berkaitan dengan
siklus peristiwa Wamena 1977 dan Biak 1971 – 1972 akibat akumulasi penderitaan selama 20 tahun yang
tergambar dalam memoria pasionis sehingga memunculkan perlawanan (Tentu saja tanpa bermaksud mengabaikan
kasus–kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi sekitar masa tersebut di daerah lain). Tahun 1999 – 2000,
sedikitnya ada 34 kasus bermotif politik (lihat Matrix D1& D2) yang mencuat terjadi hampir di setiap daerah. Mulai
dari Jayapura, Manokwari, Jayawijaya, Merauke dan Biak . Hal ini justru terjadi pada saat era reformasi : sekali lagi
dapat ditandai sebagai akibat kondisi internal dan eksternal Papua – kebangkitan Nasionalisme Papua dan juga
perubahan kebijakan pemerintahan era Gus Dur.
Adanya beberapa daerah yang merupakan basis TPN/OPM terutama sebagai tempat pengerahan kekuatan
sipil bersenjata seperti Pantai Timur, Tor Atas maupun Betaf yang ditandai sebagai daerah merah termasuk
pada daerah-daerah yang diberi stigma basis TPN/OPM menjadi tempat yang signifikan terhadap munculnya
motif politik. Motif politik mulai pada kasus yang benar-benar nampak dengan pemicunya politik murni seperti
kasus Wamena 6 Oktober 2000; Biak Juli 1998; Merauke November dan Desember 2000 maupun dari kasus
kasus yang muncul seolah–olah bermotif ekonomi dan sosial budaya.
Catatan menarik adalah, bahwa semua kasus yang terjadi berkaitan dengan motif politik selalu mengenai 2
kehendak yang berbeda, yakni bergabungnya Papua dalam NKRI serta Papua yang merdeka terlepas dari
NKRI. Bahkan dari data dapat dilihat dengan sangat lugas seperti contoh semua kasus politik yang terjadi di
Jayawijaya yang hanya berkisar pada 2 kehendak tersebut. Motif politik di sini tidak lagi dikategorikan pada
perbedaan jangka pendek, perubahan kebijakan persoalan politik pembangunan dan sejenisnya, tetapi lebih
pada perdebatan soal nation.

 Sosial Budaya
Motif Sosial budaya tidak saja ditandai dengan penguasaan terhadap sumber daya alam tetapi juga penguasaan
terhadap nilai-nilai yang telah lama ada seperti nilai kepatutan, keharmonisan dan keseimbangan yang semuanya
tercermin dalam kebudayaan Papua. Pergeseran akibat penguasaan terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadi
motif dari pelanggaran HAM. Tanah yang semula bernilai religius magis, berubah menjadi nilai ekonomis. ritual dan
simbol–simbol adat yang semula dihargai berubah menjadi hal yang biasa-biasa saja ,rakyat yang semula sebagai
pemilik hak ulayat serta seluruh kekayaan alam tiba-tiba berubah menjadi buruh dan lain sebagainya.
Masuknya kekuatan-kekuatan kapitalis , perusahaan – Group Center – dapat dilihat dari sejumlah perusahaan
semisal di Kecamatan Kimaam – Merauke, Perusahaan Kayu DMP Wasior – Manokwari, Kecenderungan BP –
LNG Bintuni dan sejenisnya.Pembukaan lahan sebagai pemukiman transmigrasi seperti di Sota – Merauke,
desa Besum dan desa Karya Bumi – Jayapura juga merupakan kisah nyata dari hilangnya penguasaan hak
atas tanah dan kekayaan alam local people. Hal ini biasanya disertai dengan proses alienasi system
demokrasi local ke dalam institusi-institusi formal buatan pemerintah seperti dibentuknya LKMD atau LMA demi
kepentingan pemerintah yang kemudian digunakan oleh pemerintah sebagai representase dari rakyat ketika
pemerintah menyelesaikan persoalan dengan rakyatnya. Intervensi pemerintah terhadap hak ulayat dapat juga
menyebabkan konflik sosial budaya antara local people seperti yang terlihat pada penggunaan lahan
transmigrasi di desa Sota – Merauke tahun 1996, yang masih merupakan permasalahan 2 ( dua ) marga yang
berbeda sampai sekarang ini.
Masuknya nilai-nilai baru dari luar selalu mengalienasi nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya.Sehingga
membingungkan rakyat setempat tentang nilai–nilai yang harus dipatuhi kemudian : benar-salah, baik – buruk,
penting – tidak penting : rakyat mengalami disorientasi nilai dan juga memarginalkan diri mereka pada skema
social : majikan – buruh, pemilik – pekerja : rakyat mengalami disorientasi lokasi pada skema sosial yang
kemudian ada.

 Ekonomi
Kekayaan sumber daya alam Papua menjadikan Papua sangat diminati oleh tidak hanya pelaku usaha tetapi
pemerintah – TNI/POLRI. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ekploitasi dan manipulasi kekayaan alam yang
sungguh luar biasa (out of countrol). Sehingga akhirnya semua kelompok kepentingan (pelaku usaha maupun bukan
pelaku usaha) berbondong-bondong mendatangi dan menguasai sumber-sumber kekayaan alam. Nampak dengan
terdapatnya banyak perusahaan, keterlibatan pemerintah dan juga kekuatan TNI/POLRI di daerah-daerah yang
memiliki sumber kekayaan alam. Hal ini menyebabkan rakyat “kehilangan“ kekuatan untuk mengelola kekayaan
alamnya sendiri melalui seperti : pertambangan rakyat, perkebunan rakyat, kendati ada beberapa perusahaan yang
memakai label “rakyat”. Lihat saja penguasaan hak ulayat oleh pihak perusahaan kayu di desa Wombu. Bahkan
para kelompok kepentingan yang bukan pelaku usaha memanfaatkan kondisi tersebut. Lihat saja penguasaan para
aparat TNI/POLRI terhadap daerah yang kaya akan hasil hutan dan laut pada Kecamatan Kimaam di Merauke.
Ternyata motif ekonomi tersebut tidak saja terjadi antara pihak kapitalis – perusahaan dengan masyarakat pemilik
hak ulayat, akan tetapi mulai nampak terjadi juga pada soal tingkat kesejahteraan buruh perusahaan sendiri.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 53


Hal ini dapat dilihat dari kasus tuntutan perbaikan kesejahteraan karyawan dan pembentukan SBSI tahun 1999 –
2001 yang terjadi di Kecamatan Babo – Manokwari dan persoalan PHK karyawan Hotel Marau – Biak, Juni 2001.
Walau kasus tersebut baru terjadi pada sebagian kecil perusahaan akan tetapi berpotensi meledak sewaktu-waktu
pada perusahaan–perusahaan lainnya.
Dominasi sentra-sentra ekonomi rakyat pada kelompok etnis tertentu menyebabkan kecemburuan yang
berakibat pada kesenjangan sosial. Konflik ini biasanya tidak muncul langsung akan tetapi terjadi/muncul
mengikuti konflik yang lain seperti pembakaran pasar sentral Abepura tanggal 18 Maret 1996 setelah
kedatangan jenazah Tom Wanggai dari Jakarta. Pembakaran pasar Inpres Biak awal Januari 1995 akibat dari
pengroyokan antara etnis pendatang dengan pribumi, pengrusakan dan penganiayaan yang terjadi di pasar
Ampera Merauke tahun 1996 sampai pada pembakaran pasar Sentani November 2001 menyusul kasus
penculikan dan pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua.
Bahwa kasus yang terjadi pada sentra eknomi rakyat tersebut disebabkan karena semua sentra ekonomi
rakyat tersebut didominasi oleh kelompok etnis pendatang baik pada pasar-pasar tradisional tetapi juga pada
pemilik modal besar.Penguasaan sumber daya alam melalui masuknya para investor/kapitalis/Groups Center
selalu bersamaan dengan masuknya persoalan ekonomi ke dalam komunitas masyarakat tersebut. Sehingga
sulit ditemui bahwa secara ekonomis masyarakat mengalami perbaikan tingkat kesejahteraan akibat adanya
perusahaan karena biasanya justru terjadi sebaliknya. Pada Kecamatan Kimaam, dimana dulu masyarakat
dengan bebas mencari ikan untuk memenuhi kehidupannya justru setelah ada perusahaan di Wanam Camp.
Masyarakat malah dibatasi areal pencahariaannya, bahkan juga dibatasi nilai jualnya. Kemudian juga kasus
tanah termurah, Rp.15 / m2 = Rp.150.000 untuk 1.000 / m2. Logikanya adalah, tanah seluas 1.000 / m2 tentu
dapat memenuhi kebutuhan sekian orang hidup selama batas waktu yang tidak dapat ditentukan akan tetapi
dengan nilai Rp.150.000 pastilah tidak mampu membiaya hidup seseorang apalagi untuk sepanjang usianya.
Hal yang sama juga terjadi pada perkebunan PIR – Jayapura .
Biasanya tahap awal perusahaan membangunan usahanya jarang sekali melibatkan masyarakat bahkan ada
masyarakat yang tidak mengetahui luas areal sesungguhnya yang dikuasai oleh perusahaan. Seperti luas areal
perusahaan perkebunan pada Kecamatan Babo – Manokwari. Perusahaan selalu menggunakan kekuatan dari
luar baik itu dengan menggunakan campur tangan pemerintah seperti kasus hak ulayat desa Andei Kecamatan
Biak Utara tahun 2000, Kasus BP LNG tahun 2001 (Pembuatan Kesepakatan) dan juga menggunakan
kekuatan TNI/POLRI untuk menjaga kelangsungan usahanya seperti PT. Djarma Aru (Djajanti Group) di
Kimaam – Merauke dan perusahaan DMP di Wasior – Manokwari. Bahkan ada perusahaan yang menggunakan
kekuatan TNI/POLRI lebih dari 1 kesatuan – setidaknya ada 5 kesatuan seperti di Wanam Camp – Kimaam
Merauke .
Selain itu, melimpahnya sumber daya alam/kekayaan alam seperti kayu Gaharu menjadi sebab munculnya
konflik pelanggaran HAM di bidang ekonomi karena perebutan penguasaan sumber daya alam tersebut dengan
cara-cara kekerasan. Seperti di Kecamatan Citak Mitak, Suator, Assue dan Kecamatan Atsy di Merauke. Pihak
keamanan TNI/POLRI ikut melakukan bisnis tersebut dengan melakukan intimidasi terhadap rakyat setempat.
Secara khusus, masalah hak ulayat baik yang berkaitan dengan motif politik, ekonomi dan sosial budaya terjadi
hampir di setiap tempat lokasi penelitian di Papua. Bahkan dapat dilihat dari 87 pergeseran motif maka jika
dipiliah ada sekitar motif politik sebanyak 43 kasus, motif ekonomi 26 kasus dan motif sosbud ada 18 kasus
(lihat Matrix A) serta yang menyangkut hak ulayat terdapat 14 kasus. Antara lain seperti yang terjadi pada kasus
sengketa tanah lokasi transmigrasi desa Besum 1996, Desa Andei Biak utara tahun 2000, desa Yeroboy 1995
di Biak, desa Sota – Merauke tahun 1996 dan Kecamatan Babo di Manokwari, dan lain-lain. Jika hal ini tidak
juga diselesaiakan maka akan selalu berpotensi konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM untuk
waktu-waktu yang akan datang.

B. Modus
Modus atau cara yang digunakan dalam melakukan konflik pelanggaran HAM pada dasarnya tidak terlepas dari
cara-cara kekerasan fisik bahkan sampai menyebabkan kematian dan juga kekerasan/intimidasi secara psikologis.
Modus masih berupa : penangkapan yang sewenang-wenang, penyisiran, penganiayaan, penipuan,mengancam ,
ingkar janji, pembakaran, demonstrasi dan lain-lain.
 TNI – POLRI
Modus yang digunakan selalu berupa kekerasan fisik mulai dari pemukulan, penganiayaan, penangkapan yang
sewenang-wenang, penembakan, penyisiran sampai pembunuhan. Serta kekerasan psikis melalui intimidasi
psikologis juga merupakan hal yang sangat ditakutkan masyarakat modus ini digunakan baik di perkotaan
maupun di daerah yang jauh dari kota. Intimidasi psikologis ini biasanya justru membawa kesan yang
mendalam mengingat pengalaman traumatik masa lalu, memoriapasionis Wamena 77 atau Biak Barat 71-72.
Perilaku TNI/POLRI pada desa-desa di luar kota dimana orang memandang TNI/POLRI sebagai suatu kekuatan
penguasa yang datang dari luar perilaku aparat TNI di daerah perbatasan, aparat POLRI di daerah pedalaman
seperti Kecamatan Assue, Atsy, Kimaam di Merauke serta Kecamatan Bokondini, Tiom, Kelilla di Jayawijaya.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 54


Secara khusus, perilaku aparat Brimob di desa Rasey, Wombu, Wondiwoy di Kecamatan Wasior di Manokwari;
desa-desa di Kecamatan Biak Barat antara lain desa Sarwa, Napdori, Krisdori, Orkdori, Farusi Adadikam; desa
Sopen dan Desa Mansram Kecamatan Supiori Selatan.Selain itu modus yang digunakan adalah penjinakan /
pembudidayaan/domestikasi terhadap kelompok sipil bersenjata terutama yang terjadi di daerah perbatasan
seperti Jayawijaya Timur – Pengunungan Bintang, dikhawatirkan jika target pembudidayaan selesai, maka
kelompok tersebut akan dihabiskan – hal ini perlu diselidiki lebih lanjut.
 Kelompok Sipil bersenjata
Melakukan penganiayaan, penembakan seperti terjadi pada kasus desa Wondiboy – Wasior, kasus
perampasan senjata di Tor Atas pada 25 Desember 2000 di Jayapura, peristiwa desa Kutdol – Oksibil pada
1996 di Jayawijaya, dan juga intimidasi psikologis seperti terjadi di Kecamatan Mandobo dan Kecamatan Jair di
Merauke. Kelompok TPN-OPM yang berada di daerah perbatasan dengan negara PNG biasanya modus yang
digunakan berbeda. Untuk daerah yang berbatasan darat dengan negara PNG modus yang digunakan adalah
penyanderaan, lihat kasus penyanderaan warga PIR VI Arso – Jayapura tahun 1999, kasus Penyanderaan
karyawan PT.Korindo Group 17 Januari 2001 – Merauke dan kasus penyanderaan Tim Peneliti Lorenzt –
Mapnduma 06 Januari 1996.
Sedangkan untuk daerah perbatasan yang terbuka karena berbatasan dengan laut misalnya, maka modus
yang digunakan lebih banyak dengan melakukan kontak senjata dengan TNI/POLRI, seperti daerah pesisir
Pantai Timur Tor Atas dan Sarmi tahun 2000, Betaf tahun 2001– Jayapura; desa Rasiey – Kecamatan Wasior –
Manokwari.
 Kelompok Sipil
Bagi kelompok sipil Papua modus yang digunakan biasanya pembakaran, pemalangan dan juga intimidasi
terhadap kaum migran, selain itu, modus lain yang digunakan adalah dengan mencari kelompok tertentu yang
biasanya “berseberangan” dengan institusi pemerintah dan TNI/POLRI. Hal ini terjadi pada saat rakyat
kehilangan kepercayaan dan harapannya kepada pemerintah dan atau pihak keamanan TNI/POLRI dalam
menyelesaikan persoalan maka mereka memilih alternatif baru, yakni mengadukan persoalan kepada kelompok
sipil bersenjata maupun Satgas Papua. Hal ini nampak pada kasus desa Wombu – Manokwari, pengaduan
masyarakat tentang perusahaan HPH yang sebelumnya telah disampaikan kepada pemerintah tetapi tidak
ditanggapi, desa Kutdol – Jayawijaya : persoalan hutang piutang antara keluarga yang dilaporkan kepada
kelompok TPN/OPM, Merauke Kota : persoalan keluarga di Jl. Natuna, yang mana ada yang melapor kepada
satgas dan ada yang ke Brimob.
Mempersenjatai diri dengan senjata rakitan adalah juga modus baru yang digunakan terutama oleh kaum
migran biasanya terjadi di daerah konsentrasi pemukiman kaum migran seperti daerah transmigrasi.
Kurangnya perhatian dan atau sikap yang tidak tepat dari pemerintah termasuk TNI/POLRI dalam meresponi
pengaduan masyarakat tidak menyebabkan masyarakat berdiam diri saja akan tetapi masyarakat mencoba mencari
cara-cara baru untuk menyelesaikan masalah mereka. Dan cara-cara ini selalu dipandang oleh pemerintah dan
TNI/POLRI sebagai “perlawanan”. Bahayanya adalah, jika kemampuan untuk menemukan cara-cara baru tersebut
digunakan oleh kelompok tertentu untuk mengadu domba antara pemerintah dan TNI/POLRI dengan rakyat.
 Pemerintah dan Perusahaan
Agak sulit membedakan antara pemerintah dan perusahaan. Karena biasanya kedua pelaku ini menggunakan
modus yang sama untuk mengamankan kepentingannya. Modusnya dapat berupa ingkar janji (inkonsistensi),
khusus sikap pemerintah terhadap kebijakan pengibaran bendera Bintang Fajar. Penipuan dan ingkar janji
melalui kesepakatan, perijinan, penyerahan luas wilayah HPH sering dilakukan atau merupakan
persekongkolan antara pemerintah dan perusahaan. Bahkan juga mereka menggunakan pihak ketiga, seperti
kekuatan TNI-POLRI untuk mengamankan kebijakan dan kepentingan usahanya. Termasuk juga membentuk
institusi-institusi formal untuk menggantikan sistem demokrasi local yang telah lama ada dan dijadikan alat adu
dengan rakyat setempat.

C. Pelaku
Sebelum tahun 1996, kasus pelanggaran HAM cenderung didominasi oleh kekuatan bersenjata TNI/POLRI dan
TPN/OPM. Pergeseran sekaligus penambahan pelaku pada pihak perusahaan mulai terjadi di era awal 90-an yang
ditandai dengan munculnya beberapa perusahaan. Di Kecamatan Kimaam – Merauke, Kecamatan Biak Utara –
Biak, Kecamatan Babo – Manokwari. Di era reformasi sekitar tahun 1999 – 2000, terutama akibat motif politik maka
muncul pula kekuatan baru sebagai pelaku yakni Satgas Papua dari pihak pribumi. Mulanya perlawanan yang
dilakukan oleh masyarakat Papua ditujukan kepada pemerintah dan TNI/POLRI akan tetapi ketika tidak sesuai
dengan keinginan mereka maka beralih kepada masyarakat migran karena dianggap bagian dari pemerintah
Indonesia, bagian dari TNI/POLRI dan bagian dari yang menindas mereka. Sehingga memunculkan pula
perlawanan dari kaum migran (momentum internal). Himbauan lewat radio oleh Kapolda Papua, Irjen S.Y. Wenas,
menjelang pengibaran bendera 1 Desember 2000, oleh sebagian kaum migran ditafsirkan sebagai alasan untuk
melakukan perlawanan terhadap pribumi ( momentum eksternal) .Maka lahirlah model-model perlawanan
bersenjatakan rakitan. Seperti yang terjadi di Merauke, Jayapura maupun di Wamena Kota. Ternyata motif politik

Pendahuluan dan Gambaran Umum 55


berpeluang lebih besar terhadap munculnya kasus yang bernuansa horizontal serta berbanding lurus terhadap
bertambahnya jumlah pelaku yang berasal dari masyarakat pribumi maupun migran.
Secara umum dapat dilihat, bahwa selama kurun waktu 1995-2001, TNI, terutama pasukan non organic adalah
pelaku pada hampir seluruh kasus pelanggaran HAM di Jayawijaya, selain beberapa pelaku sipil seperti TPN/OPM.
Untuk daerah Manokwari pelakunya banyak dari Brimob. Beberapa desa di Biak, terutama Biak Barat dan Supiori
Selatan banyak dilakukan oleh TNI, baik organic maupun non organic. Untuk daerah lainnya, Merauke dan Jayapura
ditemukan pelaku yang sangat variatif, hal ini bisa disebabkan bahwa semakin luasnya wilayah, letak geografis
sebagai daerah terbuka, tingginya jumlah penduduk dan heterogenitas penduduk serta banyaknya perusahaan
menyebabkan meningkatnya jumlah/kategori pelaku.
Baik TNI/POLRI, TPN/OPM ditemukan banyak melakukan pelanggaran HAM di sekitar jazirah Jayapura, Jayawijaya
Timur dan Merauke. Secara kwantitatif dapat dilihat bahwa pelaku didominasi adalah POLRI, terutama terjadi
setelah era reformasi. Sedangkan sebelum reformasi adalah pihak TNI. Prosentase keseluruhan adalah POLRI ( 22
%), TNI 19 %, sipil Bersenjata 14 %, sipil tidak bersenjata 14 %, pemerintah 15 %, Perusahaan 10 % serta lain-lain
5 %. Hal ini bisa jadi disebabkan karena, pertama dampak pemisahan institusi TNI/POLRI sehingga sekarang
POLRI yang dikedepankan dalam menghadapi setiap konflik yang terjadi (secara eksternal) akan tetapi bisa juga
disebabkan karena perubahan perilaku (secara internal) hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Selain itu muncul pula pelaku akibat dari banyaknya kekuatan sipil bersenjata yang ada seiring dengan menguatnya
aspirasi Papua Merdeka (motif politik), seperti di Merauke, ada kelompok TPN/OPM, kelompok Satgas Papua dan
Kelompok SORANDA, dan dari non Papua ada kecenderungan muncul kelompok sejenis (Barisan Merah Putih,
Pasukan Jihad dan Laskar Kristus) – perlu dikaji lebih lanjut.

D. Geografis - Teritorial
Pertama, dari keseluruhan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun dapat dilihat terjadi di daerah-
daerah yang jauh dari ibu kota kabupaten : Kecamatan Babo di Manokwari; Kecamatan Jair, Assue dan Mandobo
serta Kimaam yang jauh dari Merauke serta Kecamatan Kiwirok dan Oksibil di Jayawijaya. Hal ini sangat
berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari program pembangunan. Karena
khusus daerah– daerah yang jauh dari ibu Kabupaten dan juga Kecamatan perhatian yang diberikan oleh
pemerintah kepada aparatur negara sangat terbatas sekali. Hal yang sama juga terjadi pada management di
TNI/POLRI terhadap anak buah mereka. Akibatnya baik aparatur negara maupun TNI/POLRI di daerah yang jauh
dari kota kurang mendapat pengawasan sehingga cenderung melakukan tindakan kesewenang–wenangan, kendati
hal ini terjadi juga bagi aparat yang berada di kota.
Kedua, letak geografis termasuk luas wilayah, memberikan peluang yang lebih besar terhadap meningkatnya
pelanggaran HAM baik dari segi kwantitas maupun kwalitas serta melahirkan pelaku-pelaku baru yang sangat luas
dan heterogen, baik dari segi jumlah tiap motif, juga memunculkan pelaku-pelaku yang baru, seperti kekuatan sipil
non papua bersenjata. Terlihat pada daerah Merauke yang sangat luas wilayahnya, Jayapura sebagai ibukota
propinsi dan jumlah penduduk yang banyak juga daerah-daerah terbuka sebagai basis perusahaan : Jayapura –
Merauke dan Manokwari.
Ketiga, bagi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara PNG, mempunyai ciri khusus dalam hal konflik
pelanggaran HAM yang terjadi. Dari kasus yang didapat sepanjang tahun 1995 – 2001 ditemui bahwa kasus dengan
motif politik sebanyak 55 kasus terjadi di sepanjang pesisir Jayapura, sebelah Timur Jayawijaya dan Merauke.
Jazirah ini ditandai sebagai daerah dengan “kekerasan bersenjata” terbanyak. Maka nampak dari besarnya
konsentrasi kekuatan TNI organik maupun non organik dan POLRI disatu pihak, serta juga kelompok sipil Papua
bersenjata atau TPN/OPM di pihak lain.
Kontak senjata sering terjadi di daerah pesisir Jayapura. Nampak kontak senjata paling banyak terjadi di daerah
Kecamatan Pantai Timur (Betaf), Tor Atas, Bonggo dan Sarmi. Dapat dicatat pula bahwa daerah Biak Barat, Supiori
Selatan ini dipandang strategis karena memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi posisi TPN/OPM.Orientasi
ruang ini berubah setelah kekuatan awal di daerah sekitar Biak dan manokwari (basis tertutup) kurang memberikan
ruang gerak yang cukup luas. Kondisi ini dipahami pula sebagai alasan untuk menempatkan pasukan non organic
dan organic secara besar-besaran, sehingga pada daerah-daerah perbatasan selalu terjadinya konflik pelanggaran
HAM.
Daerah yang berbatasan langsung dengan negara PNG dapat dipahami sebagai wilayah yang harus dijaga karena
merupakan batas negara RI dengan PNG sehingga terjadi konsentrasi TNI/POLRI yang cukup besar pada pos-pos
sekitar perbatasan termasuk pos-pos di sekitar pemukiman transmigrasi – di Jayapura, dari sekitar 40 pos TNI – non
Organik, sekitar 75 % berada justru di daerah transmigrasi. Di sisi lain, daerah perbatasan menjadi daerah “ terbuka”
bagi kekuatan Sipil bersenjata TPN/OPM.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 56


E. Peran dalam menyelesaikan Konflik.
 Pemerintah
1. Dari 74 kasus, tidak semua ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah lebih banyak menanggapi semua
kasus sebagai persolan kesejahteraan sehingga lebih banyak melakukan bantuan kemanusiaan yang
sifatnya lebih banyak jangka pendek seperti memberikan bahan makanan dan santunan – kasus di desa
Wouma Wamena, Kasus Wasior – Manokwari dan juga di Merauke, rehabilitasi pasar (kasus Biak Selatan),
pencarian dan membantu evakuasi korban – kasus Kimaam – Merauke, membantu pembebasan sandera –
Kasus Korindo di Merauke, menampung keluhan masyarakat tanpa menindaklanjuti – kasus Puskesmas di
Kiwirok, mengupayakan refungsi badan-badan usaha – kasus hotel Marauw – Biak.
2. Melakukan dialog dengan Masyarakat : pembakaran pasar abepura dan pertikaian etnis, Kasus Desa
Besum dan desa Kayu Bumi, desa Sabron Samon, akan tetapi dari semua dialog biasanya mengeluarkan
kesepakatan dari pemerintah seperti ganti rugi tanah hak ulayat tapi hanya sebagian kecil dari kesepakatan
itu yang kemudian direalisasikan.
3. Membentuk Tim Pencari Fakta seperti kasus Uncen Berdarah di Jayapura dan Biak 1998, Pembentukan
KPP HAM untuk kasus Abepura 2000, pembentukan KOMNAS HAM dan KPN (kasus penculikan dan
pembunuhan ketua PDP) dan pembentukan Pansus melalui DPRD.
4. Ada upaya untuk membuat Peraturan Daerah batas-batas wilayah dan tanah adat, seperti keinginan
pemerintah Merauke tetapi belum juga direalisasikan sampai saaat ini.
5. Ada kasus yang diproses hukum sampai persidangan di pengadilan Negeri, akan tetapi tidak memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar. Kasus Betaf – Jayapura dan Kasus Wasior Manokwari, kasus
Wouma Wamena dan kasus penahanan Tokoh PDP memang sampai pada tingkat pengadilan akan tetapi
terjadi perubahan dalam tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), baik dari pasal-pasal makar ke UU
Darurat No. 12/1951, perubahan pada tuduhan peran/keterlibatan dan juga mengenai lokasi kejadian. Ada
yang ditangkap dan ditahan cukup lama kemudian ditangguhkan,ada yang sudah menjalani beberapa kali
pemeriksaan tetapi kemudian prosesnya tidak dilanjutkan, termasuk pada perkara yang sudah didaftarkan
dan disidangkan di Pengadilan Jayapura setelah sebelumnya telah menjalani penahanan Kepolisian
,Kejaksaan dan pengadilan sekitar seratus hari lebih tetapi kemudian kasusnya “terbengkalai”. Seharusnya
ada pertanggungjawaban hukum terhadap semua pihak yang melakukan proses tersebut.eRehabilitasi dan
pemulihan nama baik bagi mereka yang mengalami “proses extrajudicial” yang telah dilakukan oleh
pemerintah dan para penegak hukum. Selain itu, proses hukum tidak ditujukan kepada semua pihak yang
terilbat dalam kasus tersebut. Dengan kata lain, dari kasus tersebut yang diproses sampai ke pengadilan
hanyalah rakyatnya saja. Lantas bagaimana dengan pelaku lainnya yang terlibat atau turut serta dan juga
pada kasus-kasus yang lain ?
 Institusi Lain
Peran ini banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, melalui proses pendampingan litigasi,
pendampingan hukum di tingkat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, serta upaya non litigasi. Termasuk
dengan melakukan investigasi, membentuk Tim Pencari Fakta dan juga bantuan kemanusiaan : membantu
evakuasi korban dan lain-lain. Juga adanya pendampingan yang terus-menerus terhadap masyarakat yang
senantiasa merasa tidak aman hidupnya sebab selalu berada dalam kondisi penindasan dan intimidasi.
 Masyarakat
Masyarakat selalu berperan dengan menggunakan lembaga adat maupun komunitas-komunitas budaya
lainnya. Mulai dengan memberikan surat kepada pemerintah local, nasional maupun institusi–institusi
internasional, demonstrasi, membentuk forum Komunikasi bersama, melakukan pembangunan kembali pasar
secara swadaya dan juga dialog dengan masyarakat maupun pemerintah .
Peran dari pemerintah, institusi lain dan juga masyarakat sejauh ini masih kurang efektif karena tidak adanya
sinergis dari ketiga komponen tersebut. Pemerintah masih dalam tahapan menerima dan merencanakan tindak
lanjut atau melakukan aksi-aksi jangka pendek, selain proses hukum yang tidak tepat. Hasil-hasil temuan investigasi
yang dilakukan oleh instutusi lain seperti LSM, Tim Pencari Fakta, KPN dan KPP HAM, masih sebatas hasil
dokumentasi yang belum bisa langsung siap dibawa ke proses peradilan, karena mengalami hambatan hukum yang
cukup besar akibat intervensi kepentingan penguasa pada lembaga penegak hukum dan juga lemahnya aturan
hukum yang ada.
Catatan penting lainnya adalah, adanya perbedaan sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik
kemanusiaan di Papua baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Khusus pendekatan yang
dilakukan oleh pemerintah di daerah berbeda-beda. Nampak sekali bahwa tidak ada konsep dasar yang jelas
mengenai para pihak, tujuan dan bentuk-bentuk kewenangan yang harus dilakukan dalam menyelesaikan konflik
pelanggaran HAM. Di Jayapura dan Merauke masih nampak ada upaya dari pemerintah yang cukup “nampak“ juga
di Manokwari – walaupun tidak efektif – untuk meresponi persoalan yang ada, akan tetapi ada juga pemerintah yang
berperan sangat kecil dalam menyelesaikan konflik yang terjadi seperti di Jayawijaya. Hal ini menimbulkan kesan
sangat terbatasnya peran pemerintah di mata masyarakat.

Pendahuluan dan Gambaran Umum 57


BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelanggaran HAM dengan politik disebabkan pada 2 perbedaan pokok, yakni Papua di dalam wilayah NKRI
dan Papua di luar NKRI, merdeka, lepas dari NKRI.
2. Motif politik nampak mencuat setelah era reformasi dan memberikan peluang yang sangat besar terhadap
bertambahnya pelaku pelanggaran HAM.
3. Pelanggaran HAM dengan motif ekonomi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Papua yang tidak
saja dilakukan oleh pelaku usaha tetapi juga oleh oleh pihak-pihak diluar pelaku usaha seperti pemerintah
dan TNI – POLRI.
4. Pelanggaran HAM dengan motif Sosbud terjadi akibat penguasaan sumber daya alam sekaligus nilai-nilai
budaya oleh kelompok luar (non local people) terutama yang dilakukan oleh pihak perusahaan sehingga rakyat
mengalami disorientasi nilai dan disorientasi lokasi.
5. Penyelesaian persoalan di Papua dengan menggunakan pendekatan kekerasan tidak efektif bahkan justru
menimbulkan perlawanan-perlawanan baru karena tidak mendapatkan simpatik rakyat.
6. Tidak pernah ada penyelesaian yang tuntas berdasarkan mekanisme hukum yang adli dan benar—terhadap
semua pihak -- terhadap semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 1995-2001.
7. Karena kondisi geografis dan demografis Papua yang sangat luas dan beragam maka peran media massa
sangat besar sekali untuk mempublikasi suatu kasus pelanggaran HAM terutama yang terjadi di daerah-
daerah pedalaman / terpencil.

B. Rekomendasi
Perubahan policy, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi TNI/POLRI, harus juga diikuti dengan
perubahan yang signifikan pada struktur dan perilaku. Karena kendati beberapa policy telah berubah seperti
penghapusan DOM, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus, maupun UU No.
26/1999 tentang Peradilan HAM, akan tetapi jika pada tingkat implementasi tidak mencerminkan adanya perubahan
seperti misalnya memperpendek jalur birokrasi demi mempermudah pelayanan, mengadili pelaku pelanggaran
HAM, penarikan pasukan non organic, memperhatikan kehendak masyarakat dalam mengeluarkan perijinan HPH,
pengakuan kembali hak-hak dasar masyarakat, pendelegasian wewenang dan lain-lain. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka sesungguhnya yang terjadi adalah pemerintah termasuk TNI/POLRI hanya “bermetamorfosa” dari
bentuk bentuk lama ke dalam bentuk-bentuk yang lebih sempurna. Selain itu segenap komponen masyarakat :
lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, LSM, Pers dan juga kekuatan sipil bersenjata termasuk
TPN/OPM harus terus menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan semua konflik yang ada di Papua.
Sehingga dapat memperbaiki kenyataan (kesalahan) yang terjadi sekarang ini walaupun dikatakan sebagai era
reformasi bagi seluruh komponen termasuk pemerintah dan TNI/POLRI, akan tetapi pelanggaran HAM yang terjadi
baik secara kwantitatif, modus, pelaku dan korban justru meningkat jumlahnya. Karena itu hal-hal yang dapat
direkomendasikan adalah sebagai berikut :
 Politik
1. Mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tersebut bahkan sebelum tahun
1995 dan setelah tahun 2001.Proses ini diawali dengan adanya upaya untuk melakukan inventarisasi
kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM melalui peran serta masyarakat, LSM
dan pihak pemerintah. Mendorong pembentukan dan peran institusi-institusi kenegaraan untuk melakukan
investigasi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan HAM. Seperti mempercepat terbentuknya Komda
HAM , menyiapkan sarana dan prasarana agar terbentuknya Peradilan HAM serta menyelesaikan
perbedaan pandangan mengenai Hak Asasi Manusia di dalam system hukum Indonesia (Perbedaan
antara UU HAM dan UU Otonomi Khusus tentang pembentukan perwakilan dan Komisi Daerah : HAM ).
Serta adanya pelimpahan kewenangan yang sinergis – bukan pelimpahan administrasi antara semua
penegak hukum.
2. Perlu diadakan rekonsiliasi antara semua komponen masyarakat guna mencari solusi yang konkrit, jelas
dan bertanggungjawab. Rekonsiliasi ini harus diprakarsai oleh kelompok-kelompok yang teribat dalam
konflik. Seperti mendorong peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan rakyat.
3. Kebijakan pemerintah mengenai fungsi pertahanan keamanan dari TNI/POLRI perlu ditinjau kembali.
Terutama mengenai kebijakan pengirim dan penempatan pasukan non organic ke wilayah Papua.
4. Perlunya peningkatan partisipasi peran dari negara asing dalam membantu proses penegakan nilai-nilai
kemanusiaan yang sifatnya universal : Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seperti memberikan bantuan
tehnis terhadap terbentuknya Peradilan HAM, termasuk sikap terhadap perilaku penguasa (Indonesia)

Pendahuluan dan Gambaran Umum 58


dalam menjalankan pemerintahannya, yakni secara khusus dimohon agar pemerintah USA tidak mencabut
embargo senjata terhadap pemerintah Indonesia.
5. Penertiban aparat pemerintahan dan keamanan melalui monitoring dan pemberian sanksi yang tegas
terutama kepada aparat Kepolisian yang berada di daerah-daerah pedalaman seperti Merauke :
Kecamatan Atsy, Asgon dan Kimaam yang selalu bertindak sewenang-wenang terhadap aset dan akses
ekonomi rakyat. Juga terhadap aparat pemerintahan yang selalu meninggalkan tugasnya seperti : guru,
tenaga medis dan pegawai kecamatan.
6. Meningkatkan peran institusi pemerintah, LSM dan masyarakat dalam melakukan penguatan terhadap
upaya untuk mencegah terjadinya Pelanggaran HAM melalui advokasi litigasi dan non litigasi termasuk
dengan pembentukan institusi local – model-model pertahanan masyarakat desa yang sesuai dengan
system demokrasi local seperti dibentuknya polisi adat untuk menjaga keamanan kampung .
7. Perbedaan politik yang menyebabkan kekerasan bersenjata baik yang dilakukan oleh TNI/POLRI,
TPN/OPM hendaknya dihentikan dan kelompok-kelompok tersebut termasuk Satgas Papua hendaknya
menghindari segala bentuk intimidasi phisik maupun psikologis terhadap penduduk Papua maupun non
Papua yang sedang melaksanakan kehidupan normal sehari-hari karena itu perlu dilakukan upaya damai
tanpa kekerasan baik yang dilakukan langsung antar pihak maupun dengan menggunakan bantuan pihak
ke tiga (mediasi).
8. Meninjau kembali sejumlah kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah baik untuk kepentingan
jangka pendek seperti bagi-bagi uang ataupun seperti pemekaran wilayah agar semuanya mengacu
kepada kepentingan local people. Hendaknya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah
tidaklah semata-mata menggunakan pendekatan (politik) pembangunan tetapi juga pemerintah turut aktif
mendorong penyelesaian perkara melalui proses hukum dengan memberikan ruang yang sehat terhadap
proses hukum tersebut seperti mendorong tindak lanjut pekerjaan yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta
atau bahkan KPP HAM sehingga mempercepat proses peradilan HAM.

 Ekonomi
1. Menghentikan dominasi kelompok tertentu terhadap sentra-sentra ekonomi rakyat dengan cara
memperhatikan siklusi akumulasi modal agar tidak terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu saja melalui
penghapusan monopoli hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan laut serta memberikan subsidi
terhadap pedagang-pedagang tradisional yang mengalami keterbatasan modal melalui bantuan yang tidak
mengikat. Serta mengarahkan prioritas pembangunan ekonomi dan bantuan/pinjaman luar negeri lebih
kepada pelaku usaha kelas menengah ke bawah dan bukan kepada kapitalis/konglomerat .
2. Melakukan penguatan masyarakat terutama melalui masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber daya
alam yang dimiliki melalui penyediaan tenaga management pola usaha yang berbasis pada pasar-pasar
tardisional yang memasarkan produk-produk local dalam rangka mengurangi ketergantung masyarakat
terhadap produk luar. Pengelolaan tanaman sagu, perikanan, hasil hutan melalui lembaga setempat
3. Memperketat/selektif dalam pemberian ijin investor/ perusahaan yang akan membuka usaha di Papua
seperti penetapan areal HPH, perkebunan dan pertambangan, perikanan dengan mengedepankan equity
partisipation rakyat.Caranya dengan melibatkan masyarakat sejak awal dalam setiap proses usaha yang
berkaitan dengan hak ulayat mereka.
4. Mengontrol standar harga terutama kebutuhan pokok masyarakat pada daerah-daerah
pedalaman/terpencil dengan melakukan subsidi pada sarana transportasi dan juga komunikasi.
5. Perlunya memperhatikan tingkat kesejahteraan TNI/POLRI melalui penyediaan sarana tempat tinggal yang
memadai termasuk subsidi untuk yang bertugas di daerah terpencil.

 Sosial Budaya
1. Perlunya pengetahuan dan pemahaman bagi semua orang terutama non local people terutama termasuk
para investor dan juga TNI/POLRI mengenai nilai-nilai budaya yang ada di tanah Papua agar muncul
penghormatan dan penghargaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Misalnya perlu melakukan kajian yang
mendalam mengenai Analisa Sosial (Ansos) dan kajian antropologis terhadap suatu daerah yang akan
dijadikan tempat usaha/investasi tetapi juga daerah-daerah yang akan dilaksanakan program
pembangunan maupun penempatan pasukan TNI-POLRI.
2. Memberikan penguatan pada masyarakat adat sesuai dengan system demokrasi local dengan jalan
menghidupkan kembali pranata-pranata adat yang mencerminkan kearifan tradisional dan menghindari
munculnya institusi buatan pihak luar yang dapat dipakai untuk menimbulkan konflik antara sesama
masyarakat adat. Seperti menghidupkan kembali penggunaan dusun, pengembalian batas-batas wilayah
yang berdasarkan “pembagian“ administrasi pemerintahan kepada batas-batas wilayah berdasarkan adat.
3. Penanggulangan terhadap penyakit-penyakit social masyarakat seperti perjudian, praktek prostitusi, mafia
kayu, miras dan lain-lain dengan jalan melakukan manegement usaha yang transparan dan menghidari

Pendahuluan dan Gambaran Umum 59


monopoli , penertiban kependudukan desa serta penertiban aparat pemerintahan dan keamanan yang
memback –up praktek-praktek penyakit social tersebut.

4. Diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap dunia pendidikan dan juga sarana dan prasarana
kesehatan terutama pada daerah-daerah perbatasan dan pedalaman Jayawijaya bagian Timur, Kimaam,
Asgon, Atsy di Merauke, Manokwari, Biak dan Jayapura. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan
tenaga guru dan medis, mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah, kehadiran guru dan para
medis termasuk juga perhatian terhadap tingkat kesejahteraan mereka (para guru dan tenaga medis).
5. Memaksimalkan peran media massa terutama di daerah pedalaman untuk membantu mempublikasikan
kasus-kasus yang terjadi melalui upaya membangunan kontak dan jaringan dengan lembaga setempat,
masyarakat, LSM dan lain-lain atau menyediaakan tenaga-tenaga local dengan methode-methode
sederhana yang dapat digunakan membantu memberikan laporan-laporan tentang kasus pelanggaran
HAM.

 Geografis – Teritorial
Agar dihentikannya kekerasan bersenjata terutama pada daerah-daerah yang berbasis TNI/POLRI dan
TPN/OPM karena di daerah tersebut terdapat juga masyarakat sipil yang membutuhkan kehidupan sehari-hari
yang normal dan damai. Akan tetapi jika kekerasan bersenjata tidak dapat dihentikan oleh kedua belah pihak,
maka perlu melokalisir wilayah/daerah tertentu kontak senjata berdasarkan kesepakatan para pihak :
TNI/POLRI dan TPN/OPM (berlaku hukum Humaniter). Hukum yang mengatur tata cara perang dan juga
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil agar rakyat yang tak berdosa tidak menjadi korban –
pertama dan terbanyak– baik secara phisik maupun psikis. Kasus Wasior dan Mapnduma serta Pantai Timur
Betaf adalah contoh nyata TPN/OPM.
Catatan akhir dari rekomendasi ini adalah : Perlunya keterbukaan dalam memberikan informasi yang akurat dan
jujur mengenai peristiwa pelanggaran HAM dari pihak pemerintah, DPRD terutama TNI/POLRI (hanya sebagian
kecil yang bersikap informative seperti Polres Merauke). Semoga dapat menghindari kesan apatis, memberikan data
yang tidak sesuai (data kriminal murni) bahkan intimidasi terhadap para pencari informasi mengenai peristiwa
pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada peneliti kami pada saat mengumpulkan data di lapangan. Hendaknya
kerjasama ini dipandang sebagai rangkaian usaha bersama segenap komponen dalam mengatasi dan mencegah
terjadinya konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
Demikian hasil ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban penelitian yang telah kami lakukan pada 5 lokasi di
Papua : Jayapura, Merauke, Biak, Manokwari dan Jayawijaya. Secara tertulis hasil ini akan kami sampaikan juga
kepada pihak pemerintah sipil maupun militer di Propinsi Papua dari 5 lokasi penelitian.
Semoga hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mencegah terjadinya konflik
pelanggaran HAM di tanah Papua guna mewujudkan terciptanya Papua sebagai Zona Damai untuk semua orang
tanpa memandang suku, ras, agama maupun warna kulit.

Port Numbay, 8 Juni 2002

Aliansi Demokrasi Untuk Papua

Pendahuluan dan Gambaran Umum 60

You might also like