Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya kami telah berhasil
menyelesaikan Penelitian Pemetaan Daerah Konflik Pelanggaran HAM di Papua pada lima kabupaten, yakni Jayapura ,
Biak, Manokwari, Jayawijaya dan Merauke. Penelitian dimaksud untuk melakukan pemetaan terhadap pelaku, motif, dan
modus dari konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua selama kurun waktu 1995 – 2001.
Penelitian ini berangkat dari 3 pertanyaan pokok. Pertama siapa, kedua motifnya apa dan ketiga modus yang
digunakan dari jawaban ini dapat dijabarkan lebih lanjut mengenai variabel yang berpengaruh terhadap terjadinya konflik
pelanggaran HAM, mengetahui potensi konflik dan perspektif ke depan untuk membangun Papua baru yang lebih adil
dan demokratis.
Penelitian ini menghasilkan pemetaan dari tujuan tersebut di atas sehingga bukan untuk menunjukkan siapa yang
salah dan siapa yang benar karena hal tersebut merupakan kewenangan yuridiksi dari lembaga peradilan. Oleh
karena itu, maka menjadi sangatlah penting membawa kasus–kasus tersebut ke proses hukum melalui mekanisme
hukum yang adil dan benar – memproses semua pihak yang terlibat secara transparan dan jujur. Dengan demikian,
ada pertanggungjawaban hukum dari semua pihak.
C. Methode Penelitian
Jenis penelitian bersifat eksploratif dan deskriptif dengan sasaran penelitian melalui pendekatan proposional dan
representatif .Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan empirik : Observasi dan wawancara.
Tehnik pengelolaan data dilakukan dengan : Editing, coding dan Tabulasi. Sedangkan tehnik analisa data melalui
Kualitatif dan Kuantitatif.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, data diperoleh dari dokumentasi tertulis baik berupa
buku, majalah, koran, serta dokumen-dokumen yang tidak diterbitkan (untuk kalangan terbatas). Selain itu data juga
diperoleh melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus serta diskusi kritis dengan pakar / tokoh
informan yang diwawancarai yang merupakan representasi dari masyarakat, yakni tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat, tokoh perempuan, LSM, aktifis HAM, jurnalis, Pemerintah, Militer, Cendikiawan dan kelompok sipil
bersenjata.
Secara tehnis, tahapan pemetaan ini dilakukan sebagai berikut :
Tahap I : Penelitian diawali dengan Training methodelogi selama 2 hari
Tahap II : Penelitian ke masing-masing daerah selama 70 hari
Tahap III : Perumusan hasil penelitian selama 15 hari
Tahap IV : Presentase hasil penelitian / daerah selama 5 hari
Tahap V : Perbaikan hasil penelitian selama 10 hari
Tahap VI : Diskusi terfokus bersama pakar selama 4 hari
Tahap VII : Perbaikan dan persiapan seminar selama 14 hari
Tahap VIII : Seminar selama 1 hari
Tahap IX : Perbaikan hasil secara keseluruhan / final selama 14 hari.
Kabupaten Merauke .
Terdiri dari 23 Kecamatan 512 desa, 9 kelurahan dan 11 Unit Pemukiman Transmigrasi.
Lokasi penelitian berlangsung pada 9 Kecamatan 27 kelurahan / desa.
1. Kec. Merauke : Kel. Mandala
Kel. Maro
Kel. Bambu Pemali
Kel. Rimba Jaya
Kel. Kelapa Lima
Desa Sota
2. Kec. Citak Mitak : Desa Senggo
Desa Tamanim
3. Kec. Suator : Kota Kecamatan Suator
4. Kec. Atsy : Desa Atsy
Desa Yasiu
5. Kec. Assue : Desa Eci
Desa Asgon
6. Kec. Kimaam : Desa Kimaam ( kota Kecamatan)
Desa Wogekel (Wanam Camp)
Desa Kiworo
7. Kec. Mandobo : Desa Maju ( kota Kecamatan )
Desa Persatuan
Desa Perjuangan
Desa Mawan
8. Kec. Jair : Desa Gententiri
Desa Asiki
9. Kec. Kurik : Desa Kurik I
Desa Ivimahad
Desa Kurik V
Dari hasil temuan di lapangan kami menemukan banyak sekali kasus “pelanggaran HAM” akan tetapi sebagai
acuan kami berpangkal pada defenisi pelanggaran HAM yang tertuang dalam UU NO 39 / 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Bab I : Ketentuan Umum pasal 1 : 6
“Pelanggaran adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku’……”
Kalimat “…..tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku….” Menunjukkan indikasi bahwa adanya unsur ( baca : peran)
negara dalam setiap bentuk Pelanggaran HAM yang terjadi baik karena :
Pertama, kejahatan yang langsung dilakukan (violence by action).
Kedua, karena peraturan (violence by judicial) seperti banyak kasus yang terjadi akibat kebijakan tentang
pengibaran bendera bintang Fajar oleh Gus Dur, perijinan HPH dan sejenisnya.
Ketiga, karena proses pembiaran yang dilakukan oleh negara seperti pertikaian antar kelompok masyarakat akibat
persoalan-persoalan yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas sedangkan negara mempunyai tanggungjawab.
Serta perbuatan yang ditimbulkan membawa akibat yang lebih luas bukan saja kepada pelaku dan korban langsung
tetapi juga kepada masyarakat. Karena itu ada 2 indicator penting yang kami pakai dalam meneliti kasus adalah :
peran atau keterlibatan dari negara dan akibat dari peristiwa yang terjadi terhadap masyarakat yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dari peristiwa tersebut.
Untuk periode tahun kami mengambil kurun waktu 1995 s/d 2001 hal ini diharapkan agar dapat mengetahui
kecenderungan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum era reformasi dan setelah era reformasi..Terbukti
bahwa setelah reformasi maka kasus dengan motif politik cenderung meningkat, kategori pelaku bertambah dan
juga meningkatnya wilayah konflik dengan kekerasan bersenjata. Hal ini bisa saja disebabkan karena : Reformasi
ditafsirkan sebagai alat pembenaran untuk mewujudkan kebebasan total dalam segala aspek kehidupan bagi siapa
saja sehingga ada “pemaafan“ yang akan diberikan jika orang bertindak mengabaikan hak-hak orang lain mengingat
sudah puluhan tahun sebelumnya rakyat dipaksa untuk bungkam melalui oleh Orde Baru
Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa tingginya intensitas “perlawanan” yang dilakukan oleh masyarakat
Papua akhir-akhir ini – terutama setelah reformasi 1998 – dikarenakan munculnya kesadaran kolektif akan proses
hukum dari sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, ketidakadilan pemerintah dan pihak perusahaan serta tindak
1-3GAMBARAN UMUM
Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 1410 BT.
B. Luas Wilayah
Berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura, bahwa luas wilayah Kabupaten Jayapura
adalah 61.493 Km2 .
C. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura berdasarkan hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
Kabupaten Jayapura pada tahun 2000 yaitu 155.439 jiwa dengan perincian, jumlah laki-laki adalah 82.821 jiwa
serta perempuan 72.618 jiwa.
D. Potensi Sumber Daya Alam
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayapura bahwa untuk sumber daya alam
khususnya migas tidak terdapat di Kabupaten Jayapura, sedangkan sumber daya alam dari non migas misalnya di
daerah Arso merupakan daerah perkebunan kelapa sawit dan juga sebagai pusat pertanian di samping Kecamatan
Kemtuk Gresi dan Kecamatan Nimboran, sedangkan hasil hutan ada pada kecamatan Demta
E. Pembagian Wilayah Pemerintahan.
Kabupaten Jayapura mempunyai 24 Kecamatan dengan perincian 6 kelurahan dan 225 desa.
V. Kabupaten Jayawijaya
A. Batas Wilayah dan Letak Geografis
Secara geografis, Kabupaten Jayawijaya berbatasan dan mempunyai garis meridian sebagai berikut :
Bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Jayapura, berada pada 03º 20’ LS.
Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merauke dan Mimika, berada pada 05º 12’ LS.
Bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Puncak Jaya dan Paniai, berada pada 137º 19’ BT.
Bagian Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea, berada pada 141º 00’ BT.
B. Luas Wilayah
Wilayah Kabupaten Jayawijaya memiliki luas 52.916 Km2 dengan jarak dari Barat ke Timur sepanjang 339 km
dan dari Utara ke Selatan 209 km.
A. Kecamatan Demta
1. 1999
Pemalangan Log Pound PT. Youliem Sari
Pada tahun 1983 penandatanganan HPH dilakukan di Jakarta antara pihak Pemerintah Pusat dan pihak
pemilik HPH. PT. Youliem Sari, tanpa melibatkan masyarakat dalam kesepakatan yang dilakukan.
Setahun kemudian 1984, PT. Youliem Sari untuk pertama kalinya membuka base camp di demta dan mulai
melakukan pengoperasian dengan penebangan hutan tanpa sepengetahuan masyarakat pemilik hak
ulayat. Hal ini terus berlangsung selama 5 tahun, yaitu 1988 tindakan tersebut mengundang pertanyaan
dan tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat agar pihak perusahan memberikan ganti rugi atas hak ulayat
yang digunakan oleh perusahaan. Tuntutan tersebut oleh pihak PT. Youliem Sari berjanji akan membayar
kepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar Rp.150,0 per meter dari 10.000 Ha yang digunakan oleh
perusahaan dan berjanji kepada masyarakat pemilik akan membuka sekolah, memberikan bea siswa bagi
para anak didik, membuka sarana kesehatan/ Puskesmas, membangun rumah bagi masyarakat,
memasukkan listrik dan air bersih. Kesepakatan tersebut tidak terealisasi satupun sebagaimana yang
dijanjikan hingga tahun 1989, pihak masyarakat kembali menuntut agar memperhatikan kesepakatan yang
pernah dibuat setahun sebelumnya. Sehingga ketika itu juga dilakukan penandatanganan ulang tentang
janji-janji antara kedua belah pihak.
Pada Tahun 1997 mengirim surat ke Gubernur Papua menuntut PT. Youliem Sari dan meminta gubernur
mengeluarkan rekomendasi ganti rugi sesuai dengan perjanjian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 1998 (5/12) penandatanganan perjanjian perusahaan untuk ganti rugi sebesar Rp. 400 juta.
Pada Tahun 1999 (14/9) pihak masyarakat dan PT. Youliem Sari menandatangani perjanjian untuk
membuka pemalangan yang dilakukan masyarakat untuk pengoperasian PT. Youliem Sari.
Pada tahun 2000, masyarakat melakukan demonstrasi ke DPRD Propinsi Papua dan Polda Papua,
menuntut PT. Youliem Sari memberikan ganti rugi atas selama kurang lebih 10 tahun.
2. 2000
Kesewenangan yang dilakukan oleh TNI Pasukan Non Organik
Show force yang dilakukan oleh pasukan non organik (Kopasus, Marinir), maksud dari show force di sini
yaitu bahwa mereka melakukan aksi dengan membunyikan senjata yang diarahkan ke atas, aksi mereka
dilanjutkan dengan melakukan tindakan intimidasi.
B. Kecamatan Nimboran
1. 1996
Sengketa Tanah Pada Lokasi Transmigrasi (1996)
Besum ditetapkan sebagai wilayah/daerah transmigrasi pada tahun 1980-an. Semenjak itu pula perlawanan
rakyat terhadap kebijakan pemerintah tiap tahun tetap ada, alasanya bahwa pada saat Besum dibuka
sebagai wilayah tarnsmigrasi, Pemerintah belum pernah menyelesaikan persoalan penggantian pemakaian
tanah adat untuk mendatangkan warga trans pada 14 suku yang mempunyai tanah di Besum juga
disebabkan bahwa ada perbedaan antara 14 suku tadi dalam hal menyangkut prosedur pelepasan tanah
adat akibatnya bahwa para tuan tanah mempersengketakan tanah tersebut pada tahun 1996 yang dimana
para warga trans akhirnya tidak bisa menggarap lahan sebesar 300 dan 600 hektar. Dari akumulasi
berbagai macam persoalan dan kekecewaan tersebut akhirnya masyarakat adat dan warga Trans
menghadap Pemerintah tapi dari hasil dari pertemuan tersebut tidak ditanggapi dan hanya dijanjikan bahwa
mereka (Pemerintah) akan segera menindaklanjuti permasalahan yang terjadi di Besum, yang pada
akhirnya sampai sekarang belum ada realisasi dari janji Pemerintah.
2. 1998
Kesewenangan Brimob Terhadap Massa Pengibar Bendera Bintang Kejora
Pengibaran Bendera Bintang Kejora terjadi pada bulan 1 Juli 1998 tepatnya di Kota Kecamatan Nimboran
(Genyem). Aksi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut membuat Camat, Kapolsek Nimboran kaget.
Masyarakat menginginkan bahwa bendera naik pagi dan turun pada sore harinya. Pada proses selanjutnya
terjadi dialog antara masyarakat, Bupati, Camat Nimboran, Kapolsek Nimboran, Kapolres Jayapura dan
Dandim Jayapura. Dialog tersebut berlangsung di ruangan Kapolres Jayapura.
Di Asrama Ninmin, Satuan Brimob, sekitar pukul 02.00 dini hari di bawah komandan Bripka Hans
Fairnap menggerbek mahasiswa yang sedangpulas tidur. Setelah melakukan tindak kekerasan,
beberapa anggota Brimob tersebut membawa para mahasiswa dan pelajar yang berjumlah 23 orang
dengan truk Brimob ke Polres Jayapura.
Di pemukinan warga Kobakma Mamberamo, Wamena dan kampung Wamena di Abe Pantai, satu regu
Brimob dibawah pimpinan Bripka Zawal Halim sekitar pukul 05.30 WP, tanggal 7 Desember,
mengepung rumah-rumah warga sambil melepaskan tembakan. Anggota memerintahkan semua
warga yang berjumlah sekitar 75 KK untuk berkumpul di gereja GIDI dan melakukan pemukulan
sebagian warga dengan popor senjata. Setelah dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kelompok laki-
laki terus di pukul dengan popor senjata dan ditendang dengan sepatu lars sambil melepaskan
tembakan untuk menakut-nakuti warga. Kemudian anggota Brimob membawa 4 orang, yaitu Matias
Heluka, Yepam Yokosam, Yonir wanimbo dan Arnol Mundu Soklayo dengan paksa ke Polsek Abepura.
Di Asrama Yapen Waropen, satuan Brimob yang terdiri dari 15 orang dibawah pimpinan Iptu Suryo
Sudarmadi sekitar pukul 05.30 WIT, juga melakukan penyiksaan.
Ketika melarikan diri, satu diantara mahasiswa penghuni asrama yang bernama Timotius Sirami
mengalami luka di bagian kepala (8 jahitan) akibat terserempet peluru. 4 orang dari mereka berhasil
ditangkap, 3 orang di antara mereka yaitu Yason Awaki, Yedit Koromat dan John Ayer di pukul
dengan popor senjata dan di tendang, kemudian diseret, diangkat dan dilemparkan ke dalam truk
selanjutnya dibawa ke polsek abepura. Sedangkan seorang lagi, Djen Mambrasar menyusul yang
lainnya ke Polsek Abepura.
Di pemukiman warga suku Lani asal Mamberamo dan wamena Barat di Jalan Baru Kotaraja, Satu regu
anggota Brimob dipimpin Iptu Suryo Sudarmadi sekitar pukul 08.00 WP, tanggal 7 Desember. Anggota
Brimob bergerak masuk ke dalam pemukiman penduduk sambil melepaskan tembakan ke udara. Dan
memaksa para warga yang berada di halaman rumah untuk tiarap. Bersamaan dengan itu beberapa
anggota Brimob mulai melakukan pemukulan terhadap warga dengan popor senjata dan menendang
serta menginjak bagian dada dan kaki warga yang sudah bertiarap. Sebagian anggota Brimob yang
lain memasuki rumah-rumah dan memaksa orang-orang keluar untuk bergabung dengan warga yang
sudah berada di halamansebelumnya. Selain itu aparat Brimob mengambil parang, sabit, panah dan
pisau-pisau dapur di dalam rumah penduduk. Kemudian mereka dipisahkan menjadi 2 kelompok, yaitu
laki-laki dan perempuan. Di sini, anggota Brimob membawa 48 orang dengan paksa ke Polres
Jayapura.
Tidak sampai di situ, di Polres Jayapura, beberapa masyarakat yang berhasil ditangkap dan dibawa ke
Polres langsung disambut dengan siksaan. Perempuan dan laki-laki, semua mendapat perlakuan yang
sama. Beberapa dari mereka berasal dari asrama Ninmin, yakni sebanyak 23 orang; 14 laki-laki, 8
perempuan dan 1 orang anak perempuan berusia 7 tahun di perintahkan turun dari truk langsung di
pukul satu per satu oleh aparat kepolisian dengan tongkat plastik, popor senjata, skop, rotan dan
balok.
Mereka kemudian didata dan dipisahkan laki-laki dari perempuan, sekitar pukul 05.30 para korban laki-
laki di masukkan kedalam ruang besuk tahanan polres sambil di pukul dan di tendang. Mereka juga di
pisahkan antara pelajar dan mahasiswa. Disana mereka terus di pukul dan di siksa sehingga lantai dan
dinding ruangan penuh darah akobat luka-luka yang di derita. Dan beberapa orang dari mereka di
perintahkan untuk membersihkan darah tersebut dengan air dan dipaksa meminumnya. Salah seorang
yang bernama Eky Gwijangge rambutnya dipotong dan dipaksa memakan potongan rambut itu sambil
ditodong dengan pisau di leher. Setelah itu satu per satu diinterogasi di ruang ruang serse Polda di
bawah pimpinan kasat serse AKBP Drs. Prasetyo Widiono, setelah itu mereka dibawa kembali ke
ruangan tahanan Polres dan sebagian dibawa lagi ke dalam sel. Di dalam sel mereka disatukan
dengan tahanan lainnya sehingga berdesak-desakkan. Di sana mereka bertemu dengan seorang
tahanan WNA asal Swiss, bernama Iten Oswald Joseph mereka menyaksikan Ory Ndrongky tewas di
tahanan Polres Jayapura akibat penyiksaan yang dilakukan aparat polres.
Kira-kira pukul 09.00 wpb 48 orang berasal dari jalan baru dalam kondisi babak belur diangkut dengan
satu truk Brimob tiba di Polres Jayapura. Mereka diturunkan satu per satu sambil dipukul terus
menerus dan digiring ke ruang besuk tahanan Polres dan rambut para korban diberi cat warna putih
sambil terus dipukul dan disiksa. Para korban yang berasal dari jalan baru ini dibebaskan pada tanggal
8 Desember 2000 sekitar jam 16.00 wpb. Pukul 03.00 dini hari tanggal 8 Desember 2000 14 orang
penghuni asrama IMI diangkut ke Polres Jayapura, sampai ke Polres Jayapura mereka terus dipukul
dan disiksa berulang kali secara bergantian.
Pukul 05.00 wpb mereka dimasukkan ke dalam ruang tahanan Polres Jayapura. Pukul 16.00 sebanyak
14 orang dipulangkan dengan menggunakan truk polisi. Sementara itu pada pukul 08.00 para korban
yang ditangkap di asrama Yapen Waropen dan Abe Pantai tiba di Polsek Abepura, merekapun dipukul
dan disiksa secara bergilir oleh aparat kepolisian.
Semua tahanan baru dipulangkan pada tanggal 8 Desember 2000 sekitar jam 17.00 wpb setelah
terlebih dulu dipaksa menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama
dan wajib lapor.
Penahanan Komponen PDP
Pada tanggal 28 November 2000 Sekjen PDP Thaha Al Hamid ditangkap jajaran Polda Irja untuk diminta
keterangannya atas dugaan keterlibatannya dalam Deklarasi 12 November 1999, tidak lama kemudian
Pentolan PDP lainnya Pdt Herman Awom, Don Flassy, Jhon Mambor serta Ketua PDP Theys H Eluay juga
ditahan di Polda Papua. Pada Tanggal 29 November 2000 mereka resmi menjadi tahanan Polisi dan
dikurung di Polda. Kapolda Mengatakan bahwa penangkapan dan penahanan mereka tidak ada kaitannya
dengan rencana issue 1 Desember, sekali lagi Kapolda hanya mengatakan bahwa mereka ditangkap
karena diduga merencanakan makar. Adapun proses penahanan yang mereka lalui diantaranya :
Ditahan di Polda dari tanggal 05 s/d 25 Desember 2000, perpanjangan penahanan oleh Kepala Kejaksaan
Negeri Jayapura dari tanggal 26 s/d 29 Desember 2000, oleh Jaksa Penuntut Umum dari tanggal 29
F. Kecamatan Sarmi
1. 2000
Penyerangan TPN/OPM Oleh Polsek Sarmi
Kontak senjata antara pihak TPN/OPM dengan Polsek Sarmi terjadi pada bulan November 2000 tepatnya
di Pasar Sarmi-Kota Pukul 14.00 WP. Awal mula peristiwa tersebut terjadi ketika sekelompok TPN/OPM
berbelanja di Pasar untuk kebutuhan hidup. Pada saat mereka berbelanja mereka bertemu dengan salah
satu anggota Polsek Sarmi, mereka terlihat terlibat pembincangan yang sungguh bersahabat, maklum
anggota Polsek Sarmi tersebut sudah saling kenal baik dengan mereka (TPN/OPM) sehingga mereka
sangat akrab. Tiba-tiba saja pasukan Polsek Sarmi menyerang dan membuat kelompok TPN/OPM
menghindar dan lari bersembunyi. Pada saat peristiwa tersebut Pasukan Polsek Sarmi berhasil melukai
beberapa orang dan satu orang diantaranya tewas ditempat kejadian. Selain itu peluru yang ditembakkan
oleh Pasukan Polsek Sarmi melukai dua orang warga sipil, dua orang tersebut terkena peluru nyasar ketika
peristiwa berlangsung. Camat Sarmi pada saat itu langsung memerintahkan membawa korban ke Rumah
Sakit Jayapura dengan mencarter pesawat dari Sarmi ke Jayapura.
Kecamatan Bonggo
1. 2000
Terlantarnya Warga Trans Di Lokasi Transmigrasi
Pada awal tahun 1999, Pemerintah Indonesia melalui program transmigrasi nasional, menempatkan 65 KK
transmigran umum dari NTT dan Jawa ditambah 35 KK transmigran local di Satuan Pemukiman/SP VIII
Armopa, Bonggo. Para transmigran yang didatangkan tepat dengan Krisis Moneter yang tengah melanda
Negara Indonesia ini ditempatkan pada lokasi yang sudah dibuka dua tahun sebelumnya. Lokasi sudah
menjadi hutan kembali, rumah-rumah penduduk tergenang dalam air rawa karena tidak ada drainase. Tidak
ada fasilitas infrastruktur yang memadai seperti gedung sekolah untuk anak-anak usia sekolah dasar dan
tenaga guru, Puskesmas dan petugas kesehatannya, kantor KUPT, rumah ibadah (Mesjid dan gereja).
Jalan raya dan sarana transportasi serta pasar pun tidak ada. Jembatan-jembatan timbunan pun putus
karena banjir. Sementara jarak lokasi SP VIII dengan kota Sentani, Jayapura lebih dari 300 km. Warga
harus berjalan kaki sejauh 50 km untuk mendapatkan kendaraan di kali Miruway, SP. IV Bonggo. Mereka
dapat meneruskan perjalanan ke kota dengan menumpangi bus kendaraan angkutan umum dengan tariff
Rp. 40.000 – 50.000 per-orang.
Karena lokasi itu tanah berawa dan tidak ada drainasenya, maka tidak ada hasil tanaman pangan seperti
jagung, padi dan singkong yang tidak bisa tumbuh. Tanah di lokasi tidak cocok untuk bertani. Sementara
jaminan hidup (Jadup) dari Deptrans itu tersendat-sendat, bahkan selama enam bulan warga tidak
menerima jaminan hidup. Akhirnya warga menderita kelaparan yang mengakibatkan munculnya berbagai
macam penyakit hingga tercatat 18 korban meninggal di lokasi.
Pengalaman penderitaan di atas yang mendorong para transmigran umum dari Jawa dan NTT yang
bermukim di lokasi Armopa VIII Bonggo ini untuk keluar meninggalkan lokasi transmigrasi. Mereka
mengungsi ke kota Jayapura dengan membawa aspirasi tuntutan untuk dipulangkan kembali ke daerah
asal masing-masing. Mereka mendatangi Kakandep Transmigrasi Kabupaten Jayapura, Ir. Yan Pali,
Kakanwiltrans Propinsi Papua/ Irian Jaya, Ir. Budi Sinulingga, dan Ketua DPRD Propinsi Papua/Irian Jaya,
Nathaniel Kaiway,SH (alm). Namun unjukrasa yang dilakukan berkali-kali sejak Februari 2000 hingga Juli
2000 itu ternyata hanya membuahkan hasil teror, intimidasi dan ancaman hukuman penjara yang terbukti
dengan tiga orang juru bicara warga ditahan selama 68 hari di Polres Jayapura dengan tuduhan
provokator/penghasutan, pasal 160 KUHAP. Selama perjuangan mereka untuk menuntut perlakuan adil
dari pemerintah di Jayapura ini telah tercatat dua orang korban meninggal. Hingga bulan November 2001
ini nasib para ‘pengungsi’ korban pembangunan transmigrasi di Propinsi Papua ini terkatung-katung. Meski
demikian, mereka masih terus berjuang menuntut pemerintah dengan mengambil sikap tetap bertahan di
tempat penampungan di halaman kantor LBH Papua sebagai aksi protes terhadap pemerintah Indonesia
dalam hal ini pemerintah Daerah Propinsi Papua
Warga transmigran eksodus Bonggo ini masih bermukim di halaman kantor LBH Papua. Jumlahnya masih
30 KK (115 jiwa), laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ke-30 KK ini mayoritas warga dari Timor Barat, NTT
ditambah sejumlah KK dari Jawa Barat.
Kecamatan Arso
1. 1999
Kasus Penyanderaan Warga Sipil Arso Pir IV (Mei)
Pada Tanggal 31 Mei 1999 sebelas Warga Arso disandera oleh Kelompok OPM Hans Bomay. Kelompok
OPM/TPN Pimpinan Hans Bomay tiba-tiba saja memasuki daerah PIR IV-Arso dan menyandera 11 orang
pada peristiwa tersebut. Ke sebelas Warga Arso yang disandera terdiri dari empat orang laki-laki dan tujuh
orang laki-laki. Peristiwa tersebut terjadi tepat pukul 14.30 WP. Pada saat penyanderaan Kelompok
TPN/OPM mempergunakan senjata dan alat tajam tradisional berupa panah dan tombak. Dampak dari
peristiwa penyanderaan tersebut masyarakat sekitarnya mengalami ketakutan. Dari sebelas orang yang
disandera empat orang tewas, kesemuanya laki-laki. Sebelum penyanderaan terjadi, Kelompok TPN/OPM
Pimpinan Hans Bomay ingin bertemu dengan Pangdam Trikora di Jayapura, tetapi setelah mereka sampai
ditempat tujuan Pangdam tidak berada di tempat. Mereka akhirnya kecewa dan sesampainya dilokasi PIR
IV-Arso langsung menyandera sebelas orang warga Trans, selain itu menurut informasi dari korban bahwa
satu hal yang mereka tuntut yaitu merdeka dalam arti lepas dari NKRI, sedangkan korban penyanderaan
tersebut mengalami ketakutan., tetapi akhirnya mereka dibebaskan oleh Tentara PNG di lembah Bewani,
selanjutnya proses pengembalian para korban penyanderaan diselesaikan sepenuhnya oleh pemerintah
Papua New Guinea (Tentara dan polisi PNG). Mereka disandera kurang lebih satu bulan dengan
Kota Manokwari
1999
Kasus Pelabuhan (24 – 25 September)
Bermula dari terdengar khabar akan datangnya gelombang pengungsi dari Ambon pada tanggal 24
September 1999 dengan menumpang kapal KM. Dobonsolo. Kabar angin itu kemudian diresponsi oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan petaka, karena disinyalir diantara rombongan
pengungsi tersebut terdapat provokator-provokator yang akan mengacaukan stabilitas di tanah Papua.
Selanjutnya masyarakat mengadakan pertemuan dengan pihak Muspida serta kepolisian, yang amna hasil
pertemuan tersebut membuahkan kesepakatan yaitu Pemuda dan Satgas diberikan kesempatan untuk
melakukan sweeping dan bekerjasama dengan aparat kepolisian di pelabuhan Manokwari. Memang pada
saat itu Pemda menyetujui akan tetapi dari pihak kepolisian kurang menyetujui aksi sweeping tersebut.
Pada tanggal 24 September 1999 (pagi hari) ada pengumuman dari pihak Kepolisian melalui RRI yang
isinya ”tidak dibenarkan mengadakan sweeping kepada penumpang-penumpang kapal di Pelabuhan”. Sore
harinya sekelompok Pemuda dan Satgas mendatangi pelabuhan dengan membawa spanduk yang
bertuliskan “Kami Rakyat Papua Menolak Provokator-Provokator dari Maluku”, dan melakukan sweeping.
Tidak lama kemudian terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan massa yang melakukan sweeping,
karena massa marah melihat seorang anak kecil yang dipukul aparat. Aparat kemudian menangkap 9
orang Pemuda dan Satgas, massa kemudian melakukan negosiasi dengan aparat untuk dapat
membebaskan ke 9 orang yang ditangkap itu, akan tetapi aparat tidak menggubris tuntutan massa, bahkan
menghalau massa dengan melakukan penembakan ke udara untuk membubarkan massa. Hal ini justru
membuat massa panik dan marah atas perlakuan aparat, kemudian massa lari sambil balas melempar ke
arah aparat. Berikut terjadi kejar mengejar sampai di Jl. Siliwangi, dan Jl. Merdeka sampai di Kantor Pos
Pusat tepatnya di depan Bank Mandiri lama yang sekarang menjadi PLN, massa berhadap-hadapan
dengan aparat Kepolisian dari sebelah pelabuhan menghadap ke arah Sanggeng Kota sementara massa
menghadap ke arah Pelabuhan. Kembali terjadi keributan antara aparat dengan massa yang menuntut
untuk dilepaskan rekan mereka yang ditahan pada saat keributan terjadi di pelabuhan, kemudian dilakukan
negosiasi untuk melepaskan ke 9 orang yang ditangkap oleh aparat. Akan tetapi negosiasi gagal kemudian
aparat Kepolisian melakukan penembakan ke udara dan mengejar mereka, massa kembali bubar dan lari
kearah Sanggeng kemudian terpecah, ada yang kearah Sanggeng, Borasi dan Fanindi.
Polisi terus mengejar massa, yaitu lewat 2 arah bawah (pasar Sanggeng) arah atas Jl. Diponegoro
kendaraan yang lewat atas ini terdiri atas dari 2 kendaraan yaitu mobil Daihatsu Rocky yang dikendarai
Kasat Intel Polres Manokwari (saat itu, Letda Hamdani) bersama 3 orang anggota kepolisian, kemudian di
belakang mobil itu ada sebuah truck penuh dengan anggota kepolisian (Dalmas) yang menggunakan
pakaian anti hura-hara lengkap dengan senjata. Di sepanjang jalan mereka terus menerus mengeluarkan
tembakan kemudian turun lewat Jl. Taman Makam Pahlawan ke Jl. Yos Sudarso, tepatnya di perempatan
antara Jl. Yos Sudarso – Pasar Ikan – Pahlawan. Di bawah Trafick Light depan komplek Fasarkhan ada
sekelompok massa yang cukup banyak berkumpul di situ untuk melihat apa yang terjadi, karena
mendengar bunyi tembakan yang dikeluarkan oleh aparat. Pada saat meluncur ke bawah, kedua mobil itu
dibagi dalam 2 jalur, truk yang membawa anggota Dalmas pada saat melucur mendekati massa langsung
melakukan tembakan kearah massa. Massa menjadi panik sehingga lari terpencar untuk menyelamatkan
diri. Di perempatan itu ada seorang di antara massa yang berdiri yaitu Jhon Wamafma karena panik juga
maka ia berlari menyelamatkan diri tiba-tiba ia jatuh terkena tembakan. Menurut salah satu orang saksi
yang sempat tiarap/berlindung (jongkok) tepat dibawah Trafic Light di bawah bak mobil truk anggota
(Dalmas) dia melihat bahwa ada beberapa senapan/senjata diarahkan pada massa dan terdengar pula
letupan bunyi senjata berturut-turut, tetapi saksi (orang tersebut) tidak dapat memastikan apakah
senapan/senjata tersebut yang digunakan untuk menembak massa atau bunyi dari senjata yang lain. Ada
dua orang saksi lain yang lari dan berlindung di gedung sekitar jalan itu salah seorang diantaranya sempat
melihat korban yang jaraknya sekitar 20-30 meter mencoba lari, kemudian jatuh dan lari lagi lalu jatuh lagi
setiap bunyi tembakan, akan tetapi dia tidak mengenali siapa-siapa orang yang jatuh-jatuh tersebut, nanti
setelah keadaan aman barulah dia melihat bahwa orang tersebut adalah John Wamafma dan polisi sudah
ada yang datang di lokasi itu. Saksi lainnya mengatakan (orang-orang di sekitar lokasi kejadian), ketika
mendekati lokasi mayat tadi sempat mendengar bunyi botol-botol yang dipecahkan disekitar lokasi tersebut,
setibanya di lokasi ternyata ada mayat yang sudah dikerubungi banyak orang dan disekitar mayat tersebut
banyak pecahan botol. Tidak lama setelah truk polisi datang lalu mayat itu diangkut petugas ke atas truk
dibawa ke rumah sakit. Belakangan setelah kejadian ada informasi di koran menurut polisi bahwa orang
tersebut mati karena boom Molotov dalam botol yang dipegangnya pecah, padahal menurut keterangan
(visum) dokter pada beberapa bagian tubuh korban ada lobang yang saling berhubungan serta pinggiran
luka tidak rata dan ada bekas luka bakar.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasukan terbagi menjadi dua bagian ada yang menuju
jalan ke atas dan ada yang kebawah, yang menuju jalan kebawah ini kemudian melepaskan tembakan
Kecamatan Wasior
2001
Kasus Desa Wombu (31 Maret)
Perusahaan HPH yang beroperasi di desa Wombu yaitu PT. Dharma Mukti Persada yang telah beroperasi
di daerah ini selama 9 (sembilan) tahun. Sepanjang perusahaan beroperasi hak masyarakat sebagian tidak
dibayar oleh perusahaan.
Menurut keterangan masyarakat adat, Perusahaan belum memberikan
pembayaran fee kepada suku Mayrasi dan suku Mere pada tahun 1995 dan
1996 (dua tahun berturut-turut) hal inilah yang selalu dituntut oleh
masyarakat.
Sebagai reaksi ketidak puasan maka masyarakat pemilik hak ulayat melakukan pemalangan jalan
perusahaan pada tanggal 31 Maret 2001. Mereka menghadang manajer dan karyawan perusahaan serta
6 orang anggota Brimob di kilometer 35, maka terjadi kontak senjata yang mengakibatkan 3 orang
karyawan perusahaan meninggal dunia.
Masyarakat Desa Wombu mengungsi ke kehutan karena terdengar informasi, pihak aparat keamanan
akan menembaki siapa saja yang mereka temui di desa wombu, dengan alasan telah terjadi
persekongkolan antara masyarakat adat dengan pihak TPN-OPM.
Kasus Desa Rasiey (3 Mei)
Asal mula kasus ini digambarkan sebagai berikut, 22 orang masyarakat (pemuda) dari Pegunungan tengah
dan Nabire diundang oleh masyarakat desa Rasiey untuk mengadakan pesta adat (ibadah pengucapan
syukur) kehadiran mereka di Rasiey oleh aparat dicurigai sebagai anggota TPN/OPM dari pegunungan
tengah yang datang untuk memberikan latihan bagi anggota TPN/OPM di Wasior. karena merasa tidak
aman sebab sudah cap sebagai anggota TPN/OPM maka mereka mengungsi ke Raimubaba yang letaknya
diantara Nanimori dan Dusner. Mereka berdiam di sini selama kurang lebih 3 minggu (proses mengapa
mereka kembali lagi ke desa Rasiey tidak dipaparkan dalam tulisan ini, karena menyangkut keamanan,
sebab ditemukan dugaan ada rekayasa antara aparat dengan orang yang mengantar mereka ke
Raimubaba). Saat mereka tiba kembali di Rasiey tiba-tiba diserang oleh aparat dengan cara menembak ke
arah perahu, akibat dari penembakan ini, 6 orang hilang, 16 orang ditangkap, 3 orang yang tertembak dan
mengalami luka-luka. Dari 3 orang yang tertembak. Selanjutnya mereka dibawa ke Manokwari untuk
diproses hukum, dalam persidangan, karena tidak terbukti atas tuduhan yang diberikan (tuduhan makar)
maka, pihak jaksa merubah tuntutannya melanggar Undang-Undang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951
tentang membawa senjata tajam. Hasilnya adalah, Putusan pengadilan Negeri Manokwari kepada mereka
adalah rata-rata 1 tahun hukuman penjara dipotong masa tahanan.
C. Kecamatan Babo
1. Lintas Kasus yang Dilakukan oleh Djayanti Group (1995 – 2001)
Djayanti Group merupakan salah satu perusahan besar yang terdiri dari beberapa perusahan, yang melakukan
berbagai eksplorasi dan eksploitasi di Kecamatan Babo. Dari hasil penelitian yang dilakukan di kawasan ini
diperoleh gambaran tentang aktifitas Djayanti Group sebagai berikut, (peneliti mencoba mengangkat beberapa
persoalan yang diakibatkan oleh tiga perusahan yang tergabung dalam Djayanti Group)
Pelanggaran Wilayah Penangkapan Ikan
Menurut laporan masyarakat bahwa, berdasarkan ijin yang dikeluarkan oleh pemeritah kepada PT. Bintuni
Mina Raya hanya boleh beroperasi 4 Mil dari bibir pantai, tetapi realitanya, kapal-kapal mereka beroperasi
sampai dibibir pantai pada hal kawasan ini biasanya dijadikan tempat untuk mencari ikan oleh para nelayan
tradisional.
Masyarakat adat telah beberapa kali meminta kepada Pemerintah (Camat dan Dinas Perikanan) untuk
menegur perusahan, agar tidak melanggar batas wilayah operasi masyarakat adat (nelayan tradisional)
tetapi sampai saat penelitian ini berjalan, pelanggaran tetap berlangsung.
Saleh Fimbay (Sekertaris LMA Babo) :
Masalah batas 4 Mil ini kami sudah pernah bicarakan dengan pihak Pemerintah tetapi
tidak ada perhatian. Masyarakat juga pernah minta perhatian dari perusahan, tetapi
Perusahan Djayanti ini seperti perusahan adat, jadi dia seenaknya bikin apa saja disini,
dan saya jadi bingung pemerintah ini ada untuk urus apa, dan untuk siapa ?
Perlu diketahui bahwa, perusahan ini bekerja pada seluruh perairan kawasan teluk Bintuni, bahkan menurut
laporan masyarakat, bila air pasang kapal-kapal mereka masuk sampai ke sungai-sungai.
D. Kecamatan Bintuni
1. 2001
Penyerangan Polsek Bintuni (26 Agustus)
Peristiwa ini bermula dari aspirasi Masyarakat Papua yang berada di Kec. Bintuni untuk menuntut kembali
kemerdekaan yang pernah diproklamirkan pada 1 Desember 1961. Seiring dengan bertiupnya angin
reformasi maka di kecamatan ini banyak pemuda yang menghimpunkan dirinya bergabung dengan Satgas
Papua, salah satu pemuda yang berkumpul dalam satgas papua ialah Yulian Nauw.
Pada tanggal 26 Agustus 2001 malam, Saudara Max Ronsumbre dan beberapa temannya berkumpul
untuk minum-minuman keras, tiba-tiba datang beberapa anggota polisi menangkap mereka, pada proses
penangkapan ini tidak terjadi keributan apa-apa, selain itu penangkapan ini tidak diketahui pula oleh para
I. Kecamatan Merauke
1. 1996
Pencaplokan Tanah Adat
Berawal dari keinginan Yakob Banggo, salah satu dari 2 marga pemilik tanah, sekaligus –waktu itu–kepala
desa Sota, yang mengusulkan kepada Pemda Merauke agar mendatangkan transmigran di daerah
tersebut. Atas kehadiran para transmigran, marga Ndiken, sebagai pemilik sah hak ulayat lainnya yang
merasa tidak pernah dilibatkan sebelumnya –juga tidak mendapatkan ganti rugi– lantas mengadukan hal ini
kepada Pemda Merauke, tetapi tidak mendapatkan tanggapan.
Pada tahun 2000, (Yakob Banggo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa) kembali marga Ndiken
menuntut ganti rugi. Atas tuntutan tersebut, Pemda Merauke menjanjikan untuk mempertemukan kedua
marga pemilik tanah dan akan memberikan ganti rugi. Akan tetapi hal tersebut belum terealisasi sampai
sekarang. Alasan Pemda Merauke adalah Perda tentang tanah belum dirampungkan.
Sementara itu, transmigran yang menempati kawasan sengketa tersebut sampai sekarang
belum mendapatkan sertifikat tanah. Padahal keberadaan mereka telah menjadi tanggung jawab Pemda
Merauke. Akibatnya, transmigran kebingungan menentukan sikap. Hendak membangun rumah dan
keperluan lain yang berhubungan dengan tanah yang ditempatinya, akan tetapi mereka merasa takut jika
nanti menimbulkan masalah dengan pemilik tanah adat yang tengah menuntut ganti rugi. Dalam
kebimbangannya, sebagian transmigran memilih kembali pulang ke tanah asalnya di Jawa, sedangkan
sebagian lainnya memilih pindah ke daerah lain. Transmigran yang tetap bertahan di lokasi tersebut lantas
mengadukan nasib mereka ke pihak Pemda Merauke yang sampai sekarang belum mendapatkan jawaban
yang pasti.
Pertikaian Etnis
Berawal dari keributan kecil, telah mengakibatkan perkelahian antara seorang masyarakat Papua dengan
non Papua yang berbuntut pada meninggalnya etnis Papua. Hal ini telah membuat sekelompok masyarakat
Papua melampiaskan kemarahannya kepada etnis non Papua yang berada di dalam dan di sekitar
kompleks pasar. Setelah mengusir keluar masyarakat non Papua (sambil mengancam dengan
menggunakan senjata tradisonal) dari dalam kompleks pasar, beberapa kios dan toko milik etnis non
Papua dirusak dan dijarah.
Pada saat yang bersamaan, di terminal yang merupakan bagian dari pasar Ampera, sekelompok
masyarakat Papua lainnya juga melakukan hal yang sama. Beberapa mobil/taksi tidak diperbolehkan
masuk terminal. Bahkan ada yang sempat dikejar, dirusak dan sopirnya dianiaya. Beberapa orang
dilaporkan mengalami luka-luka dan mengharuskan mereka menjalani perawatan di RSUD Merauke. Selain
luka-luka, tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Selama beberapa hari, keadaan kota Merauke
sempat terlihat lengang. Pasar macet total dan sebagian besar toko tutup.
Dari laporan beberapa responden (pelaku – masyarakat Papua), bahwa kemarahan
mereka sebetulnya dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial atas keistimewaan
fasilitas yang diperoleh etnis non Papua dalam pasar. Sebelum kejadian tersebut,
masyarakat Papua tidak boleh menempati areal di dalam pasar. Mereka hanya
berjualan di sekitar pinggiran pasar.
Seorang responden lain (pedagang di dalam pasar – etnis non Papua),
mengemukakan alasannya, bahwa bagaimana mungkin di los penjualan pakaian,
makanan atau juga kelontongan harus bercampur dengan para penjual buah,
sayur, atau ikan dan daging. Tentunya para konsumen tidak akan ada yang mau
belanja di tokonya karena terkesan kotor.
2. 1999
Pengrusakan Aset Pemerintah dan Warga Non Papua (September)
Peristiwa penghancuran beberapa bangunan milik pemerintah dan BUMN, serta penjarahan beberapa toko
dan kios milik etnis non Papua berawal dari tenggelamnya KM. Bimas Raya II di perairan laut Merauke,
dengan korban meninggal dunia mencapai 300-an orang.
Kelambanan tim penyelamat ketika mengevakuasi korban pada akhirnya telah menyebabkan sekelompok
masyarakat Papua sudah tidak mampu untuk bersabar lagi. Dalam suasana duka, marah dan lelah
menunggu terlalu lama, (menurut responden berinisial FK) tiba-tiba muncul seorang Papua dalam keadan
mabuk dan tidak mereka kenali, lalu mengeluarkan kalimat bernada menghasut –dengan memakai isu
Papua Merdeka– kepada semua masyarakat Papua yang berada di sekitar pelabuhan. Hasutan itulah yang
telah menyebabkan beberapa perkantoran milik pemerintah (diantaranya Kantor Pelni, Navigasi dan
Administrator Pelayaran) rusak berat akibat amukan massa.
Massa yang kian brutal terus mengarahkan aksinya menuju kantor DPRD Merauke untuk menyampaikan
tuntutannya. Sepanjang jalan yang mereka lalui (Jl. Brawijaya dan Jl. TMP Polder), beberapa toko dan kios
Kembali, aparat keamanan yang melakukan penyisiran dan penangkapan dengan menggunakan peluru
tajam yang mematikan, belum mampu juga mengidentifikasi pelaku dan yang bukan pelaku. Akibatnya,
masyarakat yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa dengan persoalan Papua Merdeka pun juga
ditangkap, dipukul serta dianiaya oleh aparat kemanan.
Pendeknya, selain perempuan dan orang tua serta bayi semuanya ditangkap, bahkan anak laki-laki yang
masih kecil juga tidak luput dari tindakan brutal aparat keamanan. Sehingga menurut pengakuan
responden (etnis pribumi dan pendatang), di daerah Kuda Mati, setidaknya ada 2 titik yang diduga sebagai
tempat kuburan massal (perlu pembuktian lebih akurat lagi). Selain banyaknya korban yang meninggal dan
luka-luka, juga tidak sedikit masyarakat Papua yang mengungsi sampai ke PNG untuk menyelamatkan diri
dan keluarganya dari kejaran pihak kepolisian.
Sementara itu, di pihak masyarakat pribumi, isu kemerdekaan Papua telah dipahami dan dimaknai sebagai
gerakan rasialis dan telah diterjemahkan dalam bentuk pengusiran, pengintimidasian, bahkan yang lebih
parah adalah pembunuhan terhadap etnis pendatang yang dianggap sebagai orang-orang Indonesia. Hal
ini juga diperparah dengan rasa frustrasi mereka ketika tidak mampu menghadapi tindakan represif dari
aparat keamanan. Sedangkan di pihak etnis non Papua, semangat mempertahankan diri semakin
dipertebal dengan propaganda nasionalisme dari aparat keamanan dan pemerintah. Akibatnya, nuansa
konflik horizontal semakin kental. Siapa yang diuntungkan ?
Sampai sekarang, Muspida dan DPRD Merauke masih bersikap apatis terhadap peristiwa yang dapat
dikategorikan sebagai violence by action atas state crime tersebut. Hal ini terbukti dari tidak adanya
C. Kecamatan Suator
1. 1997
Penembakan 7 Orang Suku Terasing Oleh Oknum TNI.
Menjamurnya pencari kayu gaharu sejak 1996, telah menjadikan persoalan tersendiri di kalangan
masyarakat adat di pedalaman Merauke. Ketenangan mereka terusik, hak ekonomi, adat dan budayanya
terampas. Sebagai daerah kecamatan yang baru dimekarkan, kecamatan Suator tentu saja masih sangat
tertinggal dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hal ini terbukti dengan masih adanya suku terasing
dan sangat terisolir dengan alam di luar mereka.
Pencari kayu gaharu yang lebih tergiur oleh uang ketimbang keselamatan dirinya telah membuatnya rela
berjalan puluhan kilo meter bahkan ratusan kilo meter ke dalam hutan. Kehadiran mereka inilah yang telah
dianggap pengganggu oleh suku terasing, karena pencari kayu gaharu tanpa permisi telah memasuki
daerah mereka. Protes masyarakat adat dari suku terasing inilah yang justru dijawab oleh beberapa oknum
pencari kayu dengan membayar seorang oknum anggota Koramil di daerah tersebut untuk memberikan
pengamanan kepada mereka.
D. Kecamatan Atsy
1. 1999 – 2000
Arogansi Anggota Satgas dan Masyarakat Papua
Kecamatan Atsy tidak luput dari menguatnya isu Papua merdeka. Praktek intimidasi terhadap etnis non
Papua menjadi hal yang biasa dilihat sehari-hari. Keberanian mengaktualisasikan diri inilah yang dijadikan
peluang untuk menggugat status tanah yang dipakai oleh etnis non Papua sejak jauh sebelumnya.
Intimidasi yang cenderung mengarah ke penganiayaan sering kali dilakukan oleh oknum masyarakat Papua
terhadap etnis non Papua ketika menuntut hak atas tanah juga pada saat oknum Satgas Papua menagih
uang untuk biaya operasional Satgas.
Kecamatan Atsy, sebagai salah satu daerah penghasil kayu gaharu, banyak terdapat rumah keluarga,
warung makan dan penginapan yang beralih fungsi sebagai tempat prostitusi. Ironisnya adalah –
pengakuan 2 orang responden yang kebetulan pegawai negeri namun beda instansi– para wanita ini
dipasok dari Agats dan Timika oleh oknum TNI dan Polisi yang bertugas di Polsek dan Koramil Atsy.
E. Kecamatan Assue
1. 1995 – 2001
Perilaku Aparat Keamanan
Perlakuan petugas keamanan (TNI dan Polisi) di Kecamatan Assue tidak berbeda dengan Kecamatan
Citak Mitak dan Atsy. Bahkan dalam melakukan manuvernya, mereka telah menguasai semua sentra
kehidupan masyarakat. Beberapa dari mereka menjadi beking dari pengusaha, mendatangkan dan
melindungi WTS, perjudian dan minuman keras. Seorang responden (anggota Polisi) mengakui jika
beberapa dari mereka ada yang melakukan hal tersebut. Laporan dari tokoh masyarakat di Kecamatan
Assue juga memperkuat hal itu. Tindakan oknum kepolisian sering kali bertentangan dengan keinginan dan
aturan adat. Ketika pihak kelompok adat berkeinginan untuk membubarkan judi, minuman keras dan
mengusir WTS, maka mereka senantiasa harus berhadapan dengan senjata aparat kemanan. Tercatat
setidaknya 3 kali kelompok mama-mama dan wanita di kecamatan Assue melakukan unjuk rasa menuntut
pengembalian para WTS liar, tetapi sebanyak itu pula mereka harus berhadapan dengan aparat kepolisian.
Bahkan seorang ibu yang menggerakan demonstrasi tersebut justru ditampar oleh oknum polisi.
Kepolisian sering kali menindak masyarakat yang mabuk dengan dentuman dan popor senjata. Tercatat
pada 1999, 2 orang warga Papua ditembak mati oleh seorang oknum TNI dan pada 2000, seorang Papua
meninggal setelah terkena peluru milik oknum kepolisian (Brimob).
Sampai sekarang tidak pernah ada upaya hukum terhadap pelaku. Kalaupun atasan mereka mengetahui
dan menindak oknum-oknum tersebut, paling berat adalah sanksi administrasi.
Perihal perilaku dan kesewenangan aparat kepolisian dan TNI ini telah dilaporkan oleh LMA ke Muspida
dan instansi terkait, akan tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan.
Dalam prakteknya, kerap kali kehadiran aparat keamanan melakukan intimidasi dalam bentuk yang lebih
besar lagi, antara lain melakukan penyiksaan terhadap masyarakat yang dianggap pengganggu. Intimidasi
juga biasanya dilakukan dengan melakukan penembakan dengan maksud agar masyarakat tidak
mendekati kapal serta menghalangi kebiasaan-kebiasaan lama aparat kemanan. Tidak jarang, aparat juga
menembakan langsung senjatanya kepada masyarakat, hingga mengakibatkan beberapa dari mereka
mengalami luka.
2. 1999 – 2000
Arogansi Kelompok Masyarakat Sipil Pro Merdeka
Isu Papua Merdeka juga ikut merambah ke daerah Kimaam. Kehadiran Yakosarai, seorang penasehat
TPN/OPM yang berusaha untuk memobilisir massa pro merdeka dengan membentuk Satgas Papua. Tidak
jarang dari mereka melakukan intimidasi psikis, bahkan fisik terhadap masyarakat non Papua dengan
memakai isu Papua Merdeka. Akan tetapi, belum pernah ada satupun laporan tentang adanya korban jiwa
akibat intimidasi tersebut.
Keberadaan mereka berjalan tidak begitu mulus, karena kelompok Willem Onde yang selalu menyebut diri
dan kelompoknya sebagai TPN (Tentara Pembebasan Nasional Papua), kini membubarkan kelompok
Satgas Papua bentukan Yakosarai.
G. Kecamatan Mandobo
1. 1995 – 1999
Reklaiming Hutan oleh Masyarakat Adat
Selain kecamatan Jair dan Muting, Mandobo juga merupakan daerah konsensi perusahaan PT. Bade
Makmur Orisa, sebagai pemilik izin HPH. Di kecamatan ini pun, pihak perusahaan tidak pernah melbatkan
masyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah dan hutan sejak awal beroperasinya (1994). Kejadian ini
terus berlangsung sampai pertengahan 1999.
Pada 1999 – 2001, setelah ada SK Gubernur mengenai harga kayu, perusahaan baru mau mulai
membayarkan kompensasi. Tuntutan demi tuntutan terhadap perusahaan pada areal hutan yang sama
kerap kali muncul. Ternyata perusahaan tidak pernah menuntaskan persoalan sampai ke akar-akarnya.
Lihat point 1 denga kasus yang sama di kecamatan Jair.
2. 1998 – 2000
Arogansi Kelompok Papua Sipil Bersenjata
Di Kecamatan Mandobo, kelompok perjuangan Papua Merdeka terbagi dalam tiga faksi, yakni SORANDA,
Willem Onde –yang mengkalim diri sebagai TPN/OPM– dan Satgas Papua. Kecenderungan arogansi
mereka terhadap kelompok non Papua sangat terasa ketika memasuki tahun 1999 – 2000.
H Kecamatan Jair
1. 1995 – 1999
Reklaiming Hutan Oleh Masyarakat Adat
PT. Bade Makmur Orisa memulai operasinya sejak tahun 1994, sampai sekarang terus melakukan
penebangan yang pada awalnya tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Pada 1999, ketika masyarakat
mulai berani menuntut haknya, perusahaan baru mulai membayar kepada masyarakat adat. Akan tetapi
kendala terus bermunculan. Setiap kali selesai diadakan pembayaran, selalu saja ada tuntutan baru atas
areal hutan yang sama. Apa sebab demikian ?
Pihak perusahaan dalam setiap menyelesaikan pembayaran hanya meminta pihak pemerintah untuk
menentukan batas dan pemilik yang sah. Padahal yang lebih memahami dan mengerti setiap sudut batas
adat atas hutan yang menjadi daerah konsensi perusahaan adalah masyarakat adat sendiri, bukan
pemerintah. Akhirnya perusahaan kewalahan sendiri menghadapi para penuntut ini. Mestinya perusahaan
juga memahami strata adat dan kepemilikan hutan menurut hukum adat yang berlaku di daerah tersebut.
2. 1998 – 2001
Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata
Pengaruh Willem Onde sampai juga di Kecamatan Jair. Begitu pula SORANDA yang berbasis di
Kecamatan Mandobo serta Satgas Papua di Kecamatan Jair. Pertikaian mereka dalam perebutan
pengaruh dan wilayah kekuasaan kerap kali terjadi. Misalnya pada September 2000, Wilem Onde
membubarkan kelompok Satgas Papua yang sedang melakukan latihan, dan menuntut untuk segera
I Kecamatan Kurik
1. 1995 – 2001
Arogansi kelompok masyarakat sipil Papua bersenjata
Munculnya kelompok sipil Papua bersenjata pada prakteknya sering kali melakukan intimidasi dan
kekerasan fisik terhadap masyarakat non Papua di Kecamatan kurik. Setiap orang yang lewat di depan
Posko Satgas harus diperiksa. Bagi kendaraan bermotor, wajib memperlambat laju kendaraannya. Tidak
hanya kepada masyarakat non Papua sikap ini diberlakukan, akan tetapi beberapa masyarakat Papua juga
mengalami hal yang sama. Tidak jarang kekerasan fisik bahkan juga penganiayaan dari Satgas Papua ini
dialami oleh beberapa masyarakat non Papua.
Kecenderungan anarkis dari kelompok pro merdeka ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan
masyarakat non Papua dan telah diterjemahkan dalam bentuk kelompok-kelompok sipil bersenjata pada
awal tahun 2000. Mereka mengorganisir diri dengan maksud untuk berjaga-jaga terhadap kelompok Papua
yang melakukan intimidasi terhadap mereka (perlawanan ?).
Nuansa konflik horizontal ini mereda ketika ada penempatan pasukan keamanan (Brimob) di Kecamatan
Kurik.
D. Kecamatan Kelila
1. 1999
Penanganan yang Berlebihan (1 Desember)
Aparat sering melakukan banyak tindakan kekerasan, baik itu penyiksaan secara fisik maupun non fisik
seperti, intimidasi, terror serta beban psikologis karena dihina, dicaci maki dan diberikan stigma inferior
(malas, bodoh dan primitif). Keadaan tersebut menyebabkan masyarakat di Kelila dicap sebagai Daerah
Merah. Warga menjadi tidak bebas bergerak di wilayahnya sendiri. Sebelum tahun 1999, teror dan
intimidasi lainnya terus dilakukan oleh aparat karena daerah ini dianggap sebagai daerah merah. Akibat
pendekatan represif yang dilakukan oleh militer dan juga berbagai stigma yang mendiskreditkan warga
sehingga telah menjadi stereotip warga bahwa militer identik dengan kekerasan.
Setelah 1999, eskalasi kegiatan politik semakin meningkat dimana roda reformasi bergulir melanda negeri
dan juga setelah diijinkannya pengibaran bendera oleh Penguasa. Suasana telah berubah semakin
mencekam karena tindakan terror, penyiksaan menunjukkan peningkatan yang signifikan
Aparat militer khususnya pasukan non organik yang ditempatkan di sana tidak berusaha untuk beradaptasi
dengan masyarakat, tetapi malah mempertontonkan kehebatannya dengan menggunakan senjata (show
power). Berbagai aturan-aturan adat telah dilecehkan dan menganggap bahwa dialah hukum yang berlaku.
Penghormatan terhadap tokoh yang berperan dirasa sudah tidak ada. Padahal bagi masyarakat seperti
tokoh adat dan tokoh Agama begitu dihormati dan dihargai. Simbol-simbol adat (topi kepala suku) sebagai
lambang keagungan masyarakat adat dan hanya dipakai pada acara-acara khusus saja (bersifat sakral),
kini dipermainkan seperti barang sampah, padahal seharusnya simbol tersebut. Apa yang diinginkan harus
F. Kecamatan Mapnduma
1. 1996
Penyanderaan Tim Lorentz (8 Januari)
Kejadian ini bermula dari kedatangan Tim Lorenzt ke Mapnduma pada tahun 1996 untuk melakukan
penelitian terhadap tumbuhan dan tanah yang ada di kawasan Taman Nasional Lorentz. Masyarakat
merasa kurang suka melihat keadaan ini karena bertentangan dengan budaya setempat. Mereka
menyandera dan membawa tim tersebut ke tengah hutan.
Adapun kronologis peristiwa dari penyanderaan hingga pembebasan dan akhirnya diadakan operasi
penyisiran, adalah :
a. Tanggal 8 Januari 1996
Penyanderaan mulai dilakukan oleh TPN/OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Yudas
Kogoya. Tim peneliti yang disandera berjumlah 24 orang.
b. Bulan Pebruari – Maret 1996
Ada usaha negosiasi terhadap penyandera oleh Palang Merah Internasional (ICRC) yang dilakukan
oleh Silviana Bonday, namun upaya pembebasan sandera gagal di lakukan.
c. 8 Mei 1996
Dilakukan operasi pembebasan sandera oleh Kopassus yang di pimpin oleh Mayjen Prabowo. Sedang
yang diturunkan di Mapnduma di pimpin oleh Kapten Made. Selain itu juga dari kesatuan lain seperti
Kostrad, Pasukan Kasuari dsb.
d. Maret – Mei 1996
Terjadi pembantaian besar–besaran, kebun, rumah dan gereja dirusak serta dibakar. Kampung
dimusnahkan
e. Juni – Agustus 1996
Terjadi pemerkosaan terhadap seorang perempuan dewasa. Hal ini dilaporkan ke komandan atas
perbuatan anak buahnya namun sebagai bentuk upaya perdamaian hanya diberikan beras sebanyak
150 Kg.
Penyanderaan yang dilakukan terhadap tim peneliti terjadi diakibatkan ketidakpahaman peneliti Lorentz
mereka terhadap budaya lokal, di mana mereka mengambil tanah dan tumbuhan yang akan digunakan
untuk keperluan penelitian dan akan diangkut ke Wamena Kota dan akhirnya ke luar dari Papua. Padahal
kegiatan tersebut bertentangan dengan adat yang berlaku dan menyebabkan warga tersinggung dan
marah. Masyarakat merasa seluruh hasil bumi mereka akan diangkut ke luar dan nantinya mereka tidak
akan dapat hidup lagi karena semuanya telah habis.
Untuk peristiwa tersebut dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahapan yang terdiri dari :
I. Periode Pra penyanderaan
Sosialisasi oleh Tim Peneliti tentang tujuan kedatangan mereka. Namun dalam rapat tersebut
pendapat salah seorang (dikemudian hari diketahui pelaku penyanderaan) tidak diterima, yang
mengakibatkan dia marah dan melaporkan hal ini kepada Kelly Kwalik.
Pertanyaan dia adalah tentang pengalaman suku Amungme yang memprihatinkan dan tragis, di mana
hanya jadi penonton atas pengrusakan habitat mereka yaitu dengan beroperasinya PT. Freeport.
Ketakutan dan kecemasan inilah yang membuat warga tersebut marah dan ke luar dari ruangan
karena pendapatnya tidak diterima. Kemudian tidak berapa lama dia datang dengan sejumlah
temannya dan langsung melakukan penyanderaan terhadap 24 orang peneliti, termasuk masyarakat
sipil yang mengikuti rapat tersebut (tanggal 8 januari 1996).
II. Periode Penyanderaan
Peristiwa penyanderaan tersebut telah menarik simpati banyak pihak karena terdapat di dalamnya
peneliti dari Luar Negeri antara lain dari Ingris, Jerman, Belanda. Berbagai pendekatan dilakukan
sebagai upaya pembebasan. Berbagai mediator di pakai guna menjadi negosiator antara ke dua belah
pihak (pemerintah/ABRI dengan OPM).
Pendekatan persuasif telah dilakukan antara lain oleh pihak gereja, ICRC, militer, Tokoh Masyarakat
Lokal dan Pemda Jayawijaya.
G. Kecamatan Oksibil
1. 1996
Perilaku Kelompok Sipil Bersenjata
Daerah ini merupakan salah satu dari 6 (enam) Kecamatan yang berada di sebelah Timur Kabupaten
Jayawijaya. Konflik yang terjadi di sini pada umumnya akibat ulah militer yang bertindak di luar aturan. Hal
ini di karenakan daerah ini dekat dengan negara tetangga, PNG.
Adapun kasus yang terjadi pada tahun 1996 di Desa Kutdol Kecamatan Oksibil yaitu :
Kasus ini berawal dari seorang anggota OPM, bernama Titus Uropdana yang tinggal bersama dengan
Komandan OPM Paulus Kaladana di perbatasan wilayah Oksibil dengan Kiwirok dan PNG (Yapsi). Pada
saat itu di daerah tersebut terdapat seorang anak perempuan yang orang tuanya memiliki hutang terhadap
keluarganya Titus Uropdana. Pada saat Titus Uropdana menagih hutang tersebut untuk segera dibayar,
keluarga yang berhutang malah mengembangkan isyu bahwa Titus membayar orang untuk membunuh
keluarga yang berhutang tersebut.
Pada awalnya pula Titus Uropdana ini bukanlah anggota OPM, dalam hal ini yang menjadi anggota OPM
adalah adiknya yang bernama Xaverius Uropdana. Kemudian Titus tersebut melaporkan permasalahannya
kepada adiknya Xaverius Uropdana yang kemudian keduanya bersama rombongan OPM lainnya dengan
membawa senjata lantas mendatangi kampung tempat tinggal keluarga yang berhutang tersebut dan
membunuh serta mengambil hasil ternak dan kebun para warga Kampung. Setelah selesai melakukan hal
itu, kemudian mereka turun ke kampung berikutnya. Kebetulan pada saat itu Hari Jumat, TNI bersama
masyarakat sedang ke Desa Kutdol untuk melaksanakan ABRI Masuk Desa. Mendenganr hal itu,
rombongan Titus dan Xaverius Uropdana langsung merencanakan penghadangan dan menjaga di jalan
yang akan dilewati oleh TNI dari Kostrad 509 bersama masyarakat.
Pada saat TNI dan masyarakat lewat di jalan tersebut, rombongan Titus dan Xaverius langsung
melepaskan tembakan ke arah TNI dan masyarakat, namun tembakan tersebut meleset. Setelah
melepaskan tembakan, rombongan Titus dan Xaverius berlari kearah kampung tempat di mana keluarga
yang berhutang kepada Titus tersebut tinggal. Akibatnya TNI dari Kostrad 509 mengejar kelompok
penyerang dengan mengepung kampung dan melepaskan tembakan secara beruntun.
Ketika TNI sedang melakukan penyerangan terhadap kelompok Titus dan Xaverius Uropdana, tiba-tiba
Yunus Gobay, seorang anggota Koramil yang kebetulan ikut bersama TNI pada saat itu, berlompat
menerobos masuk menuju ke arah kelompok Titus dan Xaverius Uropdana. Dan pada saat itu pula
Komandan TNI yang bernama Zulkifli langsung menembak anggota Koramil tersebut hingga tewas dan
rombongan OPM Titus dan Xaverius lari masuk hutan. Seorang anggota masyarakat yang bernama
Uropyambul Ningmabin tewas tertembak dan ada pula seorang ibu tua yang meninggal karena terkejut
setelah mendengar suara tembakan terus-menerus.
Setelah kejadian tersebut, masyarakat kemudian memindahkan warga kampung ke Ibukota Desa untuk
menghindari terjadinya konflik susulan.
H. Kecamatan Kiwirok
1. 1995
Balas Dendam
Adapun runtutan peristiwa yang terjadi mulai tahun 1995 – 2002 antara lain :
Pembantaian yang dilakukan oleh aparat militer pada masa pemberlakuan DOM terhadap masyarakat desa
Kukihil, desa Tapahik hingga desa Marikong Pahik Kecamatan Kiwirok.
Peristiwa ini berawal dari persoalan keluarga yang diadukan oleh Yosepha Taplo yang merupakan anak
dari Hegap Kaweng Taplo ( korban penyiksaan oleh Kapolsek Kiwirok tahun 1982 ) mengadu ke pos 732
dengan mengatakan bahwa di desa Kukihil dan kampung sekitarnya terdapat markas kelompok TPN/OPM
pimpinan Daniel Taplo.
Mendengar laporan tersebut aparat langsung menuju ke desa tersebut dan melakukan operasi. Masyarakat
kemudian di kumpulkan dan ditangkap serta dimasukkan dalam suatu rumah lalu di tembak mati semuanya
dan rumahnya di bakar. Jumlah korban peristiwa tersebut berjumlah 579 orang. Dan salah seorang warga
yang lolos dari peristiwa itu bernama Tabub Kakadier kini telah menjadi kepala desa Asua. Adapun pelaku
pembantaian adalah Komandan Pos Tirton dengan Komandan operasinya Adolof Telepari dengan sandi
Operasi Pembersihan GPK. Setelah kejadian pembantaian tersebut Pos yonif 732 langsung ditarik ke luar
dari kecamatan Kiwirok.
2. Tahun 1996
Penanganan yang Berlebihan
a. Terjadi pembunuhan terhadap Yusak Taplo salah seorang anggota Majelis Gereja oleh Yonif 403,
pada tanggal 10 Maret pada pukul 06.00 WIT bertepatan dengan hari Minggu.
Peristiwa ini berawal pada pukul 04.00 dini hari, di mana anggota TNI dari Yonif 403 menyerang
kampung Depsos desa Kiwi. Karena ketakutan, korban kemudian berlari ke luar dari rumah. Pada saat
itu korban langsung ditangkap di jalan raya kemudian di tembak mati langsung di seret.
Setelah di tembak mati, mayat korban di jaga oleh aparat dan bagi masyarakat yang mendekat untuk
melihat mayat tersebut akan di tembak. Pelaku penembakan tersebut bernama Prada Supriyono dari
Yonif 403 yang dilakukan di depan Camat Kiwirok Drs. Yusuf Syawal. Korban kemudian di makamkan
pada pukul 15.00 WIT setelah masyarakat pulang dari kebaktian di Gereja. Alasan pembunuhan
tersebut adalah bahwa korban bukan merupakan warga desa Kiwi dan tidak memiliki KTP. Alasan lain
adalah bahwa korban sering menyembunyikan anaknya yang bernama Marius Taplo yang di duga
merupakan anggota TPN/OPM.
b. Tiga (3 ) bulan setelah terjadi penembakan terhadap Yusak Taplo, anak dari korban yang bernama
Marius Taplo di tangkap oleh Team Merah Putih yang sengaja dibentuk yang terdiri dari putra asli
setempat.
Korban kemudian ditangkap lalu di bunuh di desa Okbab yang terletak di antara Kecamatan Kiwirok
dan Kecamatan Okbibab. Alasan pembunuhan terhadap Marius Taplo karena di tuduh sebagai
anggota TPN/OPM dan juga menyebarkan paham / ideologi Kargoisme.
3. Tahun 2001
Mogok Kerja Pegawai Puskesmas
a. Terjadi aksi mogok pegawai Puskesmas dan Bidan Puskesmas Kiwirok sebagai akibat dari
pemotongan gaji yang tidak transparan kegunaannya. Pemotongan ini mulai terjadi dari bulan Maret
hingga Desember 2001 dan juga terhadap Tunjangan Hari Raya (THR) untuk tahun tersebut.
Jumlah pegawai dan Bidan PPT yang dipotong gajinya sebanyak 19 orang dengan total pemotongan
sebesar Rp 42.177.000 yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Kiwirok yaitu Henok Uropmabin.
Dari uraian kasus yang pertama terlihat nampak bahwa tindakan aparat militer sangatlah arogan.
Oknum aparat terlalu over action dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada pendekatan persuasif
yang dilakukan guna menyelesaikan persoalan yang muncul ataupun menyeleksi berita – berita yang
diinformasikan. Akhirnya dengan suatu doktrin agar menumpas habis gerakan separatis menjadi alat
legitimasi untuk melakukan kekerasan yang walaupun korban berasal dari masyarakat sipil tidak tahu –
menahu tentang kegiatan TPN/OPM.
A. Motif
Dari hasil penelitian sangatlah sulit dipisahkan bahwa tiap kasus berdiri sendiri karena lebih banyak ditemukan
kasus yang terjadi menyusul seketika atau hampir bersamaan dengan peristiwa sebelumnya atau dapat disinyalir
merupakan rentetan kasus. Dari motif / penyebab munculnya konflik pelanggaran HAM ditemukan adanya 3 motif
utama yakni politik, ekonomi dan sosial budaya serta dijumpai bahwa terdapat pergesaran motif sehingga dari 74
kasus terdapat 87 kali konfigurasi motif hal ini terjadi karena bisa saja pada satu peristiwa tidak saja terdapat satu
motif tetapi bisa terdapat 2 atau 3 motif sekaligus yang ketika ditarik ke sumber konflik maka ada 87 pergeseran
motif. Hal ini dapat di lihat pada Matriks Pelanggaran HAM di 5 kabupaten.
Seperti diketahui bahwa sejak lama telah muncul perjuangan dalam rangka menggugat kembali proses masuknya
Papua ke dalam NKRI yang terjadi di beberapa tempat yang didominasi oleh kekuatan bersenjata dengan pola
perjuangan tertutup karena lebih banyak bergerilya berbasis di hutan. Reformasi tahun 1998 memunculkan pola–
pola perjuangan baru yang merupakan babak baru dari perjuangan untuk menggugat kembali proses masuknya
Papua ke dalam NKRI tersebut. Secara internal, kondisi ini ditandai dengan dimulainya dialog Tim 100, kemudian
Mubes Papua 2000 dan Konggres Papua II 2000. Secara eksternal, kondisi ini ditandai dengan perubahan pola
kepemimpinan nasional yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid sehingga memberikan peluang
demokrasi yang lebih besar – walaupun konsistensinya dipertanyakan kemudian – hal ini ditandai dengan
disetujuinya pengibaran bendera Bintang Fajar.
Maka hal tersebut menjadi momentum dari perubahan pola perjuangan Papua Merdeka ke areal yang lebih terbuka.
Kondisi ini disikapi pula dengan berbagai banyak cara berjuang yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat,
ternyata langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pelaksanaan ketetanegaraan dan pemerintahan
(baca : politik pembangunan) di Papua melalui penjinakan (domestikasi), seperti politik bagi-bagi duit yang dilakukan
oleh pemerintah, dana crash program, JPS maupun Otsus – nampaknya hal yang sama merupakan pengulangan
dari sejarah era 60-an (blueprint) ketika proses masuknya Papua ke dalam NKRI : penjinakan dilakukan kepada
para tokoh-tokoh masyarakat.
Dilihat dari matriks Pergeseran Motif / Tahun (Matrix D1) berdasarkan kabupaten, maka ditemukan :
Pertama, motif politik dimulai pada daerah Jawawijaya tahun 1995 dengan peristiwa di desa Kukihil - Kiwirok
berkaitan dengan munculnya keinginan atau aspirasi masyarakat untuk merdeka dan di daerah Biak Numfor
Kecamatan Biak Barat dan Supiori Selatan yang berkaitan dengan terkekangnya masyarakat atas label daerah
separatis yang disebabkan oleh momentum empirik perjuangan masyarakat pada waktu lampau. Motif ekonomi
dimulai di Biak Selatan pada Januari 1995, yakni pembakaran pasar Inpres dan juga di Merauke tentang reclaiming
hutan masyarakat adat di kecamatan Mandobo—sekaligus merupakan motif sosial budaya. Motif sosial budaya
dimulai juga pada desa Karuboi – Biak dan Kecamatan Jair – Merauke mengenai reclaiming hutan masyarakat
adat.
Kedua, terdapat kasus yang terus terjadi atau dapat dipandang terjadi lebih dari setahun yakni selama periode
1995-2001. Biasanya tidak muncul dengan intensitas tinggi atau memuncak akan tetapi dampak / pengaruhnya
terhadap masyarakat setempat tidak dapat dikatakan lebih ringan dari kasus yang muncul sekaligus dalam tempo yg
relatif singkat. Dari motif politik setidaknya ada beberapa desa di Biak Barat dan Supiori Selatan, yakni pada desa-
desa yang diberi stigma TPN/OPM karena dipandang sebagai basis TPN/OPM.
Kondisi ini mempengaruhi psikologis masyarakat karena masyarakat menjadi takut dan merasa tidak aman untuk
melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari.Hal yang sama terjadi pula di daerah Merauke pada Kecamatan Mandobo
dan Kecamatan Kurik. Hanya saja masyarakat yang menjadi korban dari situasi tersebut di wilayah ini justru
masyarakat migran / non Papua akibat ulah kelompok Satgas Papua dan Kelompok papua bersenjata lainnya.
Untuk motif ekonomi yang terus terjadi sepanjang tahun adalah reklaiming atas tanah, hutan dan kekayaaan alam.
Hal ini terjadi di Kecamatan Babo – mulai dari pelanggaran batas wilayah penangkapan ikan oleh perusahaan,
ketidakjelasan luasnya areal perkebunan perusahaan, pengalihan tanah untuk pemukiman transmigrasi dan kasus
Tanah termurah di dunia. Di Merauke untuk alasan yang sama, yakni persoalan reclaiming tanah terjadi juga di
Kecamatan Mandobo, Kecamatan Jair dan penguasaaan asset / kekayaan alam di Kecamatan Kimaam, Assue dan
Citak Mitak.
Untuk kasus dengan motif sosial budaya secara khusus, kasus yang menyangkut persoalan budaya terjadi di desa
Andey di Biak dan di Manokwari – Kecamatan Babo (masih bersinggungan dengan motif ekonomi) serta Merauke
pada Kecamatan Assue, Jair dan Mandobo (juga masih bersinggungan dengan motif ekonomi).
Sosial Budaya
Motif Sosial budaya tidak saja ditandai dengan penguasaan terhadap sumber daya alam tetapi juga penguasaan
terhadap nilai-nilai yang telah lama ada seperti nilai kepatutan, keharmonisan dan keseimbangan yang semuanya
tercermin dalam kebudayaan Papua. Pergeseran akibat penguasaan terhadap nilai-nilai tersebutlah yang menjadi
motif dari pelanggaran HAM. Tanah yang semula bernilai religius magis, berubah menjadi nilai ekonomis. ritual dan
simbol–simbol adat yang semula dihargai berubah menjadi hal yang biasa-biasa saja ,rakyat yang semula sebagai
pemilik hak ulayat serta seluruh kekayaan alam tiba-tiba berubah menjadi buruh dan lain sebagainya.
Masuknya kekuatan-kekuatan kapitalis , perusahaan – Group Center – dapat dilihat dari sejumlah perusahaan
semisal di Kecamatan Kimaam – Merauke, Perusahaan Kayu DMP Wasior – Manokwari, Kecenderungan BP –
LNG Bintuni dan sejenisnya.Pembukaan lahan sebagai pemukiman transmigrasi seperti di Sota – Merauke,
desa Besum dan desa Karya Bumi – Jayapura juga merupakan kisah nyata dari hilangnya penguasaan hak
atas tanah dan kekayaan alam local people. Hal ini biasanya disertai dengan proses alienasi system
demokrasi local ke dalam institusi-institusi formal buatan pemerintah seperti dibentuknya LKMD atau LMA demi
kepentingan pemerintah yang kemudian digunakan oleh pemerintah sebagai representase dari rakyat ketika
pemerintah menyelesaikan persoalan dengan rakyatnya. Intervensi pemerintah terhadap hak ulayat dapat juga
menyebabkan konflik sosial budaya antara local people seperti yang terlihat pada penggunaan lahan
transmigrasi di desa Sota – Merauke tahun 1996, yang masih merupakan permasalahan 2 ( dua ) marga yang
berbeda sampai sekarang ini.
Masuknya nilai-nilai baru dari luar selalu mengalienasi nilai-nilai budaya yang telah ada sebelumnya.Sehingga
membingungkan rakyat setempat tentang nilai–nilai yang harus dipatuhi kemudian : benar-salah, baik – buruk,
penting – tidak penting : rakyat mengalami disorientasi nilai dan juga memarginalkan diri mereka pada skema
social : majikan – buruh, pemilik – pekerja : rakyat mengalami disorientasi lokasi pada skema sosial yang
kemudian ada.
Ekonomi
Kekayaan sumber daya alam Papua menjadikan Papua sangat diminati oleh tidak hanya pelaku usaha tetapi
pemerintah – TNI/POLRI. Kondisi ini menyebabkan terjadinya ekploitasi dan manipulasi kekayaan alam yang
sungguh luar biasa (out of countrol). Sehingga akhirnya semua kelompok kepentingan (pelaku usaha maupun bukan
pelaku usaha) berbondong-bondong mendatangi dan menguasai sumber-sumber kekayaan alam. Nampak dengan
terdapatnya banyak perusahaan, keterlibatan pemerintah dan juga kekuatan TNI/POLRI di daerah-daerah yang
memiliki sumber kekayaan alam. Hal ini menyebabkan rakyat “kehilangan“ kekuatan untuk mengelola kekayaan
alamnya sendiri melalui seperti : pertambangan rakyat, perkebunan rakyat, kendati ada beberapa perusahaan yang
memakai label “rakyat”. Lihat saja penguasaan hak ulayat oleh pihak perusahaan kayu di desa Wombu. Bahkan
para kelompok kepentingan yang bukan pelaku usaha memanfaatkan kondisi tersebut. Lihat saja penguasaan para
aparat TNI/POLRI terhadap daerah yang kaya akan hasil hutan dan laut pada Kecamatan Kimaam di Merauke.
Ternyata motif ekonomi tersebut tidak saja terjadi antara pihak kapitalis – perusahaan dengan masyarakat pemilik
hak ulayat, akan tetapi mulai nampak terjadi juga pada soal tingkat kesejahteraan buruh perusahaan sendiri.
B. Modus
Modus atau cara yang digunakan dalam melakukan konflik pelanggaran HAM pada dasarnya tidak terlepas dari
cara-cara kekerasan fisik bahkan sampai menyebabkan kematian dan juga kekerasan/intimidasi secara psikologis.
Modus masih berupa : penangkapan yang sewenang-wenang, penyisiran, penganiayaan, penipuan,mengancam ,
ingkar janji, pembakaran, demonstrasi dan lain-lain.
TNI – POLRI
Modus yang digunakan selalu berupa kekerasan fisik mulai dari pemukulan, penganiayaan, penangkapan yang
sewenang-wenang, penembakan, penyisiran sampai pembunuhan. Serta kekerasan psikis melalui intimidasi
psikologis juga merupakan hal yang sangat ditakutkan masyarakat modus ini digunakan baik di perkotaan
maupun di daerah yang jauh dari kota. Intimidasi psikologis ini biasanya justru membawa kesan yang
mendalam mengingat pengalaman traumatik masa lalu, memoriapasionis Wamena 77 atau Biak Barat 71-72.
Perilaku TNI/POLRI pada desa-desa di luar kota dimana orang memandang TNI/POLRI sebagai suatu kekuatan
penguasa yang datang dari luar perilaku aparat TNI di daerah perbatasan, aparat POLRI di daerah pedalaman
seperti Kecamatan Assue, Atsy, Kimaam di Merauke serta Kecamatan Bokondini, Tiom, Kelilla di Jayawijaya.
C. Pelaku
Sebelum tahun 1996, kasus pelanggaran HAM cenderung didominasi oleh kekuatan bersenjata TNI/POLRI dan
TPN/OPM. Pergeseran sekaligus penambahan pelaku pada pihak perusahaan mulai terjadi di era awal 90-an yang
ditandai dengan munculnya beberapa perusahaan. Di Kecamatan Kimaam – Merauke, Kecamatan Biak Utara –
Biak, Kecamatan Babo – Manokwari. Di era reformasi sekitar tahun 1999 – 2000, terutama akibat motif politik maka
muncul pula kekuatan baru sebagai pelaku yakni Satgas Papua dari pihak pribumi. Mulanya perlawanan yang
dilakukan oleh masyarakat Papua ditujukan kepada pemerintah dan TNI/POLRI akan tetapi ketika tidak sesuai
dengan keinginan mereka maka beralih kepada masyarakat migran karena dianggap bagian dari pemerintah
Indonesia, bagian dari TNI/POLRI dan bagian dari yang menindas mereka. Sehingga memunculkan pula
perlawanan dari kaum migran (momentum internal). Himbauan lewat radio oleh Kapolda Papua, Irjen S.Y. Wenas,
menjelang pengibaran bendera 1 Desember 2000, oleh sebagian kaum migran ditafsirkan sebagai alasan untuk
melakukan perlawanan terhadap pribumi ( momentum eksternal) .Maka lahirlah model-model perlawanan
bersenjatakan rakitan. Seperti yang terjadi di Merauke, Jayapura maupun di Wamena Kota. Ternyata motif politik
D. Geografis - Teritorial
Pertama, dari keseluruhan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun dapat dilihat terjadi di daerah-
daerah yang jauh dari ibu kota kabupaten : Kecamatan Babo di Manokwari; Kecamatan Jair, Assue dan Mandobo
serta Kimaam yang jauh dari Merauke serta Kecamatan Kiwirok dan Oksibil di Jayawijaya. Hal ini sangat
berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dari program pembangunan. Karena
khusus daerah– daerah yang jauh dari ibu Kabupaten dan juga Kecamatan perhatian yang diberikan oleh
pemerintah kepada aparatur negara sangat terbatas sekali. Hal yang sama juga terjadi pada management di
TNI/POLRI terhadap anak buah mereka. Akibatnya baik aparatur negara maupun TNI/POLRI di daerah yang jauh
dari kota kurang mendapat pengawasan sehingga cenderung melakukan tindakan kesewenang–wenangan, kendati
hal ini terjadi juga bagi aparat yang berada di kota.
Kedua, letak geografis termasuk luas wilayah, memberikan peluang yang lebih besar terhadap meningkatnya
pelanggaran HAM baik dari segi kwantitas maupun kwalitas serta melahirkan pelaku-pelaku baru yang sangat luas
dan heterogen, baik dari segi jumlah tiap motif, juga memunculkan pelaku-pelaku yang baru, seperti kekuatan sipil
non papua bersenjata. Terlihat pada daerah Merauke yang sangat luas wilayahnya, Jayapura sebagai ibukota
propinsi dan jumlah penduduk yang banyak juga daerah-daerah terbuka sebagai basis perusahaan : Jayapura –
Merauke dan Manokwari.
Ketiga, bagi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara PNG, mempunyai ciri khusus dalam hal konflik
pelanggaran HAM yang terjadi. Dari kasus yang didapat sepanjang tahun 1995 – 2001 ditemui bahwa kasus dengan
motif politik sebanyak 55 kasus terjadi di sepanjang pesisir Jayapura, sebelah Timur Jayawijaya dan Merauke.
Jazirah ini ditandai sebagai daerah dengan “kekerasan bersenjata” terbanyak. Maka nampak dari besarnya
konsentrasi kekuatan TNI organik maupun non organik dan POLRI disatu pihak, serta juga kelompok sipil Papua
bersenjata atau TPN/OPM di pihak lain.
Kontak senjata sering terjadi di daerah pesisir Jayapura. Nampak kontak senjata paling banyak terjadi di daerah
Kecamatan Pantai Timur (Betaf), Tor Atas, Bonggo dan Sarmi. Dapat dicatat pula bahwa daerah Biak Barat, Supiori
Selatan ini dipandang strategis karena memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi posisi TPN/OPM.Orientasi
ruang ini berubah setelah kekuatan awal di daerah sekitar Biak dan manokwari (basis tertutup) kurang memberikan
ruang gerak yang cukup luas. Kondisi ini dipahami pula sebagai alasan untuk menempatkan pasukan non organic
dan organic secara besar-besaran, sehingga pada daerah-daerah perbatasan selalu terjadinya konflik pelanggaran
HAM.
Daerah yang berbatasan langsung dengan negara PNG dapat dipahami sebagai wilayah yang harus dijaga karena
merupakan batas negara RI dengan PNG sehingga terjadi konsentrasi TNI/POLRI yang cukup besar pada pos-pos
sekitar perbatasan termasuk pos-pos di sekitar pemukiman transmigrasi – di Jayapura, dari sekitar 40 pos TNI – non
Organik, sekitar 75 % berada justru di daerah transmigrasi. Di sisi lain, daerah perbatasan menjadi daerah “ terbuka”
bagi kekuatan Sipil bersenjata TPN/OPM.
B. Rekomendasi
Perubahan policy, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun institusi TNI/POLRI, harus juga diikuti dengan
perubahan yang signifikan pada struktur dan perilaku. Karena kendati beberapa policy telah berubah seperti
penghapusan DOM, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus, maupun UU No.
26/1999 tentang Peradilan HAM, akan tetapi jika pada tingkat implementasi tidak mencerminkan adanya perubahan
seperti misalnya memperpendek jalur birokrasi demi mempermudah pelayanan, mengadili pelaku pelanggaran
HAM, penarikan pasukan non organic, memperhatikan kehendak masyarakat dalam mengeluarkan perijinan HPH,
pengakuan kembali hak-hak dasar masyarakat, pendelegasian wewenang dan lain-lain. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka sesungguhnya yang terjadi adalah pemerintah termasuk TNI/POLRI hanya “bermetamorfosa” dari
bentuk bentuk lama ke dalam bentuk-bentuk yang lebih sempurna. Selain itu segenap komponen masyarakat :
lembaga adat, lembaga keagamaan, tokoh masyarakat, LSM, Pers dan juga kekuatan sipil bersenjata termasuk
TPN/OPM harus terus menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan semua konflik yang ada di Papua.
Sehingga dapat memperbaiki kenyataan (kesalahan) yang terjadi sekarang ini walaupun dikatakan sebagai era
reformasi bagi seluruh komponen termasuk pemerintah dan TNI/POLRI, akan tetapi pelanggaran HAM yang terjadi
baik secara kwantitatif, modus, pelaku dan korban justru meningkat jumlahnya. Karena itu hal-hal yang dapat
direkomendasikan adalah sebagai berikut :
Politik
1. Mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama kurun waktu tersebut bahkan sebelum tahun
1995 dan setelah tahun 2001.Proses ini diawali dengan adanya upaya untuk melakukan inventarisasi
kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM melalui peran serta masyarakat, LSM
dan pihak pemerintah. Mendorong pembentukan dan peran institusi-institusi kenegaraan untuk melakukan
investigasi, penyelidikan, penyidikan dan pengadilan HAM. Seperti mempercepat terbentuknya Komda
HAM , menyiapkan sarana dan prasarana agar terbentuknya Peradilan HAM serta menyelesaikan
perbedaan pandangan mengenai Hak Asasi Manusia di dalam system hukum Indonesia (Perbedaan
antara UU HAM dan UU Otonomi Khusus tentang pembentukan perwakilan dan Komisi Daerah : HAM ).
Serta adanya pelimpahan kewenangan yang sinergis – bukan pelimpahan administrasi antara semua
penegak hukum.
2. Perlu diadakan rekonsiliasi antara semua komponen masyarakat guna mencari solusi yang konkrit, jelas
dan bertanggungjawab. Rekonsiliasi ini harus diprakarsai oleh kelompok-kelompok yang teribat dalam
konflik. Seperti mendorong peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan rakyat.
3. Kebijakan pemerintah mengenai fungsi pertahanan keamanan dari TNI/POLRI perlu ditinjau kembali.
Terutama mengenai kebijakan pengirim dan penempatan pasukan non organic ke wilayah Papua.
4. Perlunya peningkatan partisipasi peran dari negara asing dalam membantu proses penegakan nilai-nilai
kemanusiaan yang sifatnya universal : Hak Asasi Manusia di Indonesia. Seperti memberikan bantuan
tehnis terhadap terbentuknya Peradilan HAM, termasuk sikap terhadap perilaku penguasa (Indonesia)
Ekonomi
1. Menghentikan dominasi kelompok tertentu terhadap sentra-sentra ekonomi rakyat dengan cara
memperhatikan siklusi akumulasi modal agar tidak terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu saja melalui
penghapusan monopoli hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan laut serta memberikan subsidi
terhadap pedagang-pedagang tradisional yang mengalami keterbatasan modal melalui bantuan yang tidak
mengikat. Serta mengarahkan prioritas pembangunan ekonomi dan bantuan/pinjaman luar negeri lebih
kepada pelaku usaha kelas menengah ke bawah dan bukan kepada kapitalis/konglomerat .
2. Melakukan penguatan masyarakat terutama melalui masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber daya
alam yang dimiliki melalui penyediaan tenaga management pola usaha yang berbasis pada pasar-pasar
tardisional yang memasarkan produk-produk local dalam rangka mengurangi ketergantung masyarakat
terhadap produk luar. Pengelolaan tanaman sagu, perikanan, hasil hutan melalui lembaga setempat
3. Memperketat/selektif dalam pemberian ijin investor/ perusahaan yang akan membuka usaha di Papua
seperti penetapan areal HPH, perkebunan dan pertambangan, perikanan dengan mengedepankan equity
partisipation rakyat.Caranya dengan melibatkan masyarakat sejak awal dalam setiap proses usaha yang
berkaitan dengan hak ulayat mereka.
4. Mengontrol standar harga terutama kebutuhan pokok masyarakat pada daerah-daerah
pedalaman/terpencil dengan melakukan subsidi pada sarana transportasi dan juga komunikasi.
5. Perlunya memperhatikan tingkat kesejahteraan TNI/POLRI melalui penyediaan sarana tempat tinggal yang
memadai termasuk subsidi untuk yang bertugas di daerah terpencil.
Sosial Budaya
1. Perlunya pengetahuan dan pemahaman bagi semua orang terutama non local people terutama termasuk
para investor dan juga TNI/POLRI mengenai nilai-nilai budaya yang ada di tanah Papua agar muncul
penghormatan dan penghargaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Misalnya perlu melakukan kajian yang
mendalam mengenai Analisa Sosial (Ansos) dan kajian antropologis terhadap suatu daerah yang akan
dijadikan tempat usaha/investasi tetapi juga daerah-daerah yang akan dilaksanakan program
pembangunan maupun penempatan pasukan TNI-POLRI.
2. Memberikan penguatan pada masyarakat adat sesuai dengan system demokrasi local dengan jalan
menghidupkan kembali pranata-pranata adat yang mencerminkan kearifan tradisional dan menghindari
munculnya institusi buatan pihak luar yang dapat dipakai untuk menimbulkan konflik antara sesama
masyarakat adat. Seperti menghidupkan kembali penggunaan dusun, pengembalian batas-batas wilayah
yang berdasarkan “pembagian“ administrasi pemerintahan kepada batas-batas wilayah berdasarkan adat.
3. Penanggulangan terhadap penyakit-penyakit social masyarakat seperti perjudian, praktek prostitusi, mafia
kayu, miras dan lain-lain dengan jalan melakukan manegement usaha yang transparan dan menghidari
4. Diberikannya perhatian yang lebih besar terhadap dunia pendidikan dan juga sarana dan prasarana
kesehatan terutama pada daerah-daerah perbatasan dan pedalaman Jayawijaya bagian Timur, Kimaam,
Asgon, Atsy di Merauke, Manokwari, Biak dan Jayapura. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan
tenaga guru dan medis, mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah, kehadiran guru dan para
medis termasuk juga perhatian terhadap tingkat kesejahteraan mereka (para guru dan tenaga medis).
5. Memaksimalkan peran media massa terutama di daerah pedalaman untuk membantu mempublikasikan
kasus-kasus yang terjadi melalui upaya membangunan kontak dan jaringan dengan lembaga setempat,
masyarakat, LSM dan lain-lain atau menyediaakan tenaga-tenaga local dengan methode-methode
sederhana yang dapat digunakan membantu memberikan laporan-laporan tentang kasus pelanggaran
HAM.
Geografis – Teritorial
Agar dihentikannya kekerasan bersenjata terutama pada daerah-daerah yang berbasis TNI/POLRI dan
TPN/OPM karena di daerah tersebut terdapat juga masyarakat sipil yang membutuhkan kehidupan sehari-hari
yang normal dan damai. Akan tetapi jika kekerasan bersenjata tidak dapat dihentikan oleh kedua belah pihak,
maka perlu melokalisir wilayah/daerah tertentu kontak senjata berdasarkan kesepakatan para pihak :
TNI/POLRI dan TPN/OPM (berlaku hukum Humaniter). Hukum yang mengatur tata cara perang dan juga
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil agar rakyat yang tak berdosa tidak menjadi korban –
pertama dan terbanyak– baik secara phisik maupun psikis. Kasus Wasior dan Mapnduma serta Pantai Timur
Betaf adalah contoh nyata TPN/OPM.
Catatan akhir dari rekomendasi ini adalah : Perlunya keterbukaan dalam memberikan informasi yang akurat dan
jujur mengenai peristiwa pelanggaran HAM dari pihak pemerintah, DPRD terutama TNI/POLRI (hanya sebagian
kecil yang bersikap informative seperti Polres Merauke). Semoga dapat menghindari kesan apatis, memberikan data
yang tidak sesuai (data kriminal murni) bahkan intimidasi terhadap para pencari informasi mengenai peristiwa
pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada peneliti kami pada saat mengumpulkan data di lapangan. Hendaknya
kerjasama ini dipandang sebagai rangkaian usaha bersama segenap komponen dalam mengatasi dan mencegah
terjadinya konflik yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua.
Demikian hasil ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban penelitian yang telah kami lakukan pada 5 lokasi di
Papua : Jayapura, Merauke, Biak, Manokwari dan Jayawijaya. Secara tertulis hasil ini akan kami sampaikan juga
kepada pihak pemerintah sipil maupun militer di Propinsi Papua dari 5 lokasi penelitian.
Semoga hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mencegah terjadinya konflik
pelanggaran HAM di tanah Papua guna mewujudkan terciptanya Papua sebagai Zona Damai untuk semua orang
tanpa memandang suku, ras, agama maupun warna kulit.