Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi objek kajian
yang menarik. KDRT menjadi topik diskusi banyak pihak, dengan berbagai latar
belakang dan sudut pandang, tak terkecuali agama. Beberapa pihak menganggap
bahwa agama meberikan legitimasi formal terhadap tindak kekerasan, termasuk
KDRT. Pihak lain menilai bahwa agama adalah tuntunan yang membawa misi
perlindungan dan kesesuaian hak, sehingga interpretasi agama yang kelirulah
yang mendorong timbulnya banyak tindak kekerasan, termasuk dalam rumah
tangga.
Kontrol dalam rumah tangga dipegang oleh individu yang mempunyai peran
lebih dominan dalam keluarga. Dalam keluarga tradisional kontrol dalam rumah
tangga dipegang oleh suami, yang secara naluriah memikul tanggung jawab untuk
memelihara keluarganya. Bentuk kontrol yang dilakukan oleh suami dipengaruhi
oleh watak dan karakter pribadinya.2 Watak dan karakter yang keras akan
memunculkan kontrol yang ketat dan cenderung keras. Tidak jarang kemudian
kontrol tersebut memicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
1
Makalah dipresentasikan pada perkuliahan Studi Al-Qur’an dan Tafsir. Program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2
Theodore Lidz. 1968: The Person, His and Her Development Throughout the Life Circle. New
York: Basic Books Inc. Publisher. Hal 45
2
Makalah ini mencoba mengulas kajian tafsir terhadap Q.S. An-Nias': 34.
Ulasan dibatasi pada corak tafsir tradisional (tafsir bi al-ma'tsur) dan
hubungannya dengan tindak KDRT serta pandangannya terhadap rumah tangga.
1. Definisi
Dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.3
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. pdf file.
3
2. Objek
Tindak kekerasan merupakan salah satu bentuk komunikasi dan kontrol
terhadap lingkungan. Kontrol terhadap keluarga dipegang oleh individu yang
mempunyai peran lebih dominan dalam keluarga, tanpa memandang posisi
4
Vony Reynate, 2003: Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia. On-line http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 21 November 2008.
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
6
Elli N. Hasbianto, 1999: Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi
dalam Menakar "Harga" Perempuan, Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan
dalam Islam. Bandung: Mizan. Hal 189-202.
4
Sebenarnya fenomena tindak KDRT bukanlah hal baru. Pada masa awal
dakwah Islam, fenomena ini merupakan pemandangan sehari-hari. Zubaor bin
Awwam, salah seorang sahabat besar yang mendapatkan khabar gembira dengan
surga, memukul lengan Asma binti Abu Bakar hingga menimbulkan luka serius.
Sa'ad bin Abi Waqas juga dilaporkan memukul istrinya, demikian juga sahabt-
sahabat lain banyak melakukan tindak KDRT dengan dalih memberikan
pendidikan dan pengajaran terhadap istri-istri mereka.7
7
Khalil Abdul Karim 1997: al-Shahabah wa al-Shahabah. Dikutip oleh M. Habib. 2003 dalam
Membina Keluarga Mawaddah wa Rahmah. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA-The Ford Foundation.
5
8
Hussein Muhammad. 1999: Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam
Menakar "Harga" Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam
Islam. Editor: Syafiq Hasyim Bandung: Mizan. Hal 203-212
6
anak, ketika telah mencapai kedewasaan kewajibannya tidak sebatas birr al-
walidain atau mengabdi kepada kedua orang tuanya, tetapi juga menjaga
keberlangsungan dan eksistensi keluarganya dalam masyarakat.
9
Abdul Munir Mulkhan. 2007 : Manusia Al-Qur'an. Yogyakarta: Kanisius. Hal 31.
10
Al-Mawardi menafsirkan kata Qawwamun sebagai Musallit 'ala Ta'dib (lihat: an-Nakt wa al-
'Uyun, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Bashry al-Baghdady, Maktabah Syamilah v. 2.1.1),).
At-Thabari menafsirkannya Ahlu qiyam fi ta'dibihinna (Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, Abu
Ja'far At-Thabari, Maktabah Syamilah v. 2.1.1), Ibnu Katsir menafsirkan Ra'isuha, Kabiruha, al-
Hakim 'alaiha wa Mu'addibuha.Tafsir Al-Qur'an al-'Adzim, Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin
Katsir, Maktabah Syamilah v. 2.1.1)
11
Q.S. An-Nisa' : 31-32
12
Q.S. Al-Baqarah : 282
13
Di antara qaul Nabi yang menjadi rujukan penafsiran adalah komentar Nabi atas sabab an-nuzul
ayat tersebut. Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah adanya kejadian dimana
seorang lelaki dari golongan Anshar menyakiti istrinya, kemudian idtri tersebut mengadukan
perihalnya kepada Nabi. Nabi memerintahkan untuk mengqishash laki-laki anshar tadi, namun
tidak lama kemudian turun ayat ini, kemudian Nabi berkomentar:
َ ردت أ ًمرا وأراد الله
غيره ُ ٔا
Juga hadis-hadis komentar Nabi tentang perempuan, di antaranya
"لن ُيف ِلح قومٌ َولَّوا أ ْم َر ُهم امرأة" رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن ٔابي بكرة
8
14
Nusyuz adalah pembangkangan istri terhadap suami, atau penolakan istri terhadap perintah
suami, sepanjang perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari'at.
15
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 2002: Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di
Indonesia dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta:
PSW IAIN SUKA, McGill-ICIHEP & Pustaka Pelajar. Hal. 10-11.
9
yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Kalimat "dan pukullah mereka"
maksudnya adalah istri-istri yang nusyuz boleh dipukul. Namun, tindakan
pemukulan tersebut tidak boleh dilakukan secara semena-mena. Memukul boleh
dilakukan jika hal tersebut membawa manfaat, jika tidak maka tidak perlu
melakukan pemukulan. Jika terpaksa memukul, tidak boleh memukul wajah atau
anggota tubuh lain yang dapat menimbulkan cacat, memukul hanya sebatas
teguran saja.16
Suami memiliki tanggung jawab lebih besar dalam keluarga. Oleh karena itu
seorang suami dituntut untuk dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada
istrinya. Suami juga dituntut untuk dapat mencurahkan kasih sayangnya kepada
keluarga. Fungsi kontrol yang dipegang suami menuntutnya untuk bisa bersikap
lebih bijaksana dalam memutuskan perkara yang terjadi dalam rumah tangganya.
Jika terjadi perbedaan pendapat, bahkan jika kemudian istri melakukan nusyuz,
tindakan bijaksana yang pertama dilakukan adalah melihat perannya dalam men
jalankan fungsi kontrol, memperbaiki diri, dan memberikan pengertian yang baik
kepada istri. Penggunaan kekerasan sebagai metode pengontrolan hanya
dilakukan ketika semua cara-cara pengontrolan yang lembut sudah tidak
memberikan pengaruh positif terhadap istri, atau tampak indikasi bahwa istri
sudah benar-benar memabngkang dan keluar dari jalur rumah tangga yang diput
uskan bersama.
16
M. Habib. 2003: Perlakuan Suami atas Istri dalam Marhumah dan Alfatih Suryadilaga. 2003:
Membina Keluarga Mawaddah wa Rahmah. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA-The Ford
Foundation.
10
2. Keluarga Sejahtera
Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang terpenuhi semua kebutuhan dan
teratur komunikasinya. Di samping itu, keluarga yang ideal mempunyai
keterikatan emosi yang kuat dan saling menghargai satu sama lain. Sepasang
suami-istri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki peranan besar dan
utama dalam membina sebuah keluarga. Untuk menjalankan peran ini, tentunya
diperlukan banyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan tentang
kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anak-anak
dan kemantapan inelektual serta kemapanan emosi kejiwaan.17
memiliki perbedaan kepribadian, latar belakang, maupun kejiwaan antara satu dan
yang lainnya. Secara biologis watak dan kepribadian individu, baik laki-laki
ataupun perempuan dipoengaruhi oleh mekanisme hormonal dan senyawa-
senyawa biokimiawi di dalam tubuhnya yang mendukung organisasi
reproduksinya. Hormon-hormon androgen dalam diri laki-laki memunculkan
kecenderungan menyukai tantangan dan kebanggan ketika mampu menyelesaikan
tantangan. Sementara hormon estrogen dan progesteron dalam diri perempuan
memunculkan kelembutan, keselarasan dan kecenderungan menghindari
permasalahan. Dalam perkembangannya perbedaan mendasar ini memunculkan
pebedaan deferensial yang dominan pada aspek-aspek fisiologis dan
psikologisnya.
19
Masdar F. Mas'udi. 2000: Islam dan Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan. Hal 88.
20
Zaini Ahmad Noeh. 1999: Pandangan Fiqih tentang dan Kewajiban Perempuan dalam Lily Z.
Munir: Memposisikan Perempuan. Bandung: Mizan.
12
IV. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Theodore Lidz. 1968: The Person, His and Her Development Throughout the Life
Circle. New York: Basic Books Inc. Publisher.
Zaini Ahmad Noeh. 1999: Pandangan Fiqih tentang Hak dan Kewajiban
Perempuan dalam L ily Z. Munir: Memposisikan Perempuan. Bandung:
Mizan.