You are on page 1of 13

1

TINJAUAN TAFSIR Q.S. ANAN--NISA'


NISA' : 34 DAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA1
Oleh : Arif Al Wasim, S.Pt.

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi objek kajian
yang menarik. KDRT menjadi topik diskusi banyak pihak, dengan berbagai latar
belakang dan sudut pandang, tak terkecuali agama. Beberapa pihak menganggap
bahwa agama meberikan legitimasi formal terhadap tindak kekerasan, termasuk
KDRT. Pihak lain menilai bahwa agama adalah tuntunan yang membawa misi
perlindungan dan kesesuaian hak, sehingga interpretasi agama yang kelirulah
yang mendorong timbulnya banyak tindak kekerasan, termasuk dalam rumah
tangga.

Kehidupan rumah tangga merupakan suatu bentuk momunitas yang di


dalamnya terdapat beberapa individu yang masing-masing mempunyai peran dan
tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Dalam komunitas terdapatnorma
dan aturan yang mengatur segala bentuk kegiatan dan aktivitas agar tercipta
harmoni. Kontrol dalam komunitas diperlukan agar setiap individu dalam
komunitas menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan kedudukannya dalam
keluarga.

Kontrol dalam rumah tangga dipegang oleh individu yang mempunyai peran
lebih dominan dalam keluarga. Dalam keluarga tradisional kontrol dalam rumah
tangga dipegang oleh suami, yang secara naluriah memikul tanggung jawab untuk
memelihara keluarganya. Bentuk kontrol yang dilakukan oleh suami dipengaruhi
oleh watak dan karakter pribadinya.2 Watak dan karakter yang keras akan
memunculkan kontrol yang ketat dan cenderung keras. Tidak jarang kemudian
kontrol tersebut memicu terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.

1
Makalah dipresentasikan pada perkuliahan Studi Al-Qur’an dan Tafsir. Program Pasca Sarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2
Theodore Lidz. 1968: The Person, His and Her Development Throughout the Life Circle. New
York: Basic Books Inc. Publisher. Hal 45
2

Sebagai upaya penyelesaian masalah, kekerasan tidak timbul dengan


sendirinya, atau muncul secara spontan tanpa didahului pemicu. Secara biologis,
kekerasan merupakan suatu bentuk respon fisiologis terhadap rangsang atau reaksi
yang timbul karena adanya aksi pemicu.

Faktor yang mempengaruhi banyaknya tindak KDRT di antaranya adalah:


a. Budaya patriarkat, laki-laki dalam keluarga (suami) adalah imam atau
pemimpin, jadi berhak memperlakukan istrinya sekehendak hati.
b. Anggapan bahwa urusan keluarga adalah urusan pribadi, sehingga tidak
seorangpun di luar keluarga berhak ikut campur dalam masalah rumah tangga.
c. Interpretasi atas ajaran agama.
Di antara ajaran agama Islam yang dipandang memperbolehkan (bahkan
terkadang ditafsirkan menganjurkan) tindak KDRT adalah Q.S. An-Nisa': 34.

Makalah ini mencoba mengulas kajian tafsir terhadap Q.S. An-Nias': 34.
Ulasan dibatasi pada corak tafsir tradisional (tafsir bi al-ma'tsur) dan
hubungannya dengan tindak KDRT serta pandangannya terhadap rumah tangga.

II. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

1. Definisi
Dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.3

3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419. pdf file.
3

KDRT juga diistilahkan dengan Kekerasan Domestik, sehingga konotasi


yang ditimbulkan tidak terbatas dalam hubungan suami-istri saja, tetapi mencakup
semua individu yang ada dalam keluarga. Keterkaitan tindak kekerasan juga
mencakup hubungan keluarga, hubungan darah, bahkan hubungan kerja.4 Dalam
banyak kasus korban tindak KDRT tidak hanya istri, tetapi juga anak, saudara
atau tanggungan perwalian, dan para pekerja rumah tangga.

Dalam UU penghapusan KDRT kekerasan dibagi menjadi empat macam,5


yaitu:
a. Kekerasan fisik, memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan
bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum;
b. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;
c. Kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga);
d. Kekerasan seksual.

Dalam makalahnya, Elli Hasbianto mendefinisikan, KDRT adalah suatu


bentuk penganiayaan (abuse) secara fisik maupun psikologis, yang merupakan
suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.
Ditinaju dari segi psikologi komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi dengan
kekerasan (terutama kekerasan fisik) merupakan suatu cara pemberian sugesti dan
kontrol yang efektif dan efisien.6

2. Objek
Tindak kekerasan merupakan salah satu bentuk komunikasi dan kontrol
terhadap lingkungan. Kontrol terhadap keluarga dipegang oleh individu yang
mempunyai peran lebih dominan dalam keluarga, tanpa memandang posisi
4
Vony Reynate, 2003: Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Masyarakat Pemantau Peradilan
Indonesia. On-line http://www.pemantauperadilan.com diakses tanggal 21 November 2008.
5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
6
Elli N. Hasbianto, 1999: Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi
dalam Menakar "Harga" Perempuan, Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan
dalam Islam. Bandung: Mizan. Hal 189-202.
4

strukturalnya dalam keluarga. pada umumnya korban tindak KDRT adalah


perempuan (istri) di samping anak-anak atau pekerja rumah tangga.

Dalam keluarga modern sering dijumpai perempuan (istri) memiliki peran


yang lebih dominan dalam keluarga, menjadi figur sentral dalam pengambilan
keputusan, dan menopang perekonomian. Sementara suami kurang mampu
berperan dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol. Kondisi ini menempatkan
laki-laki (suami) pada posisi minor, dan dapat menimbulkan tekanan psikologis
pada diri suami. Tanpa disadari, tekanan ini dapat dipandang sebagai bentuk
kekerasan jika berdampak pada kondisi kejiwaan, mengurangi produktivitas dan
rasa percaya diri, serta menimbulkan rasa tidak berdaya pada suami.

Sebenarnya fenomena tindak KDRT bukanlah hal baru. Pada masa awal
dakwah Islam, fenomena ini merupakan pemandangan sehari-hari. Zubaor bin
Awwam, salah seorang sahabat besar yang mendapatkan khabar gembira dengan
surga, memukul lengan Asma binti Abu Bakar hingga menimbulkan luka serius.
Sa'ad bin Abi Waqas juga dilaporkan memukul istrinya, demikian juga sahabt-
sahabat lain banyak melakukan tindak KDRT dengan dalih memberikan
pendidikan dan pengajaran terhadap istri-istri mereka.7

3. Islam dan Hak Asasi Manusia


Dalam Islam telah dikenal hak asasi yang disebut ad-dharuriyat al-khams.
Dalam perspektif Islam modern dianggap sebagai prototype hak asasi manusia
versi Islam karena cakupannya yang memang bersifat universal atas hak-hak dasar
manusia. Hak-hak dasar tersebut meliputi hak beragama (hifdzu al-din), hak hidup
(hifdzu al-nafs), hak berpikir dan berpendapat (hifdzu al-'aql), hak berketurunan
(hifdzu al-nasl), dan hak memiliki harta (hifdzu al-mal). Perwujudan perlindungan
hak-hak tersebut mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang
keyakinan, golongan, warna kulit, etnis dan jenis kelamin. Secara konsepsional
penegakan hak-hak tersebut dilaksanakan dengan jalb al-mashalih dan daf' al-

7
Khalil Abdul Karim 1997: al-Shahabah wa al-Shahabah. Dikutip oleh M. Habib. 2003 dalam
Membina Keluarga Mawaddah wa Rahmah. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA-The Ford Foundation.
5

mafasid.8 Sehingga dalam pandangan Islam, disamping harus dihindari, kekerasan


dipandang absah dilakukan hanya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan
dan sesuai dengan hukum dan aturan Tuhan yang secara rasional mengandung ide
normatif untuk menegakkan maslahat dan menolak mafsadat.

Hak dan kewajiban manusia berkembang sesuai dengan perkembangan


status dalam kehidupam sosial masyarakat (mu'asyarah). Hak dan kewajiban itu
muncul karena seseorang mempunyai status, baik sebagai suami-istri secara
khusus atau sebagai umat manusia pada umumnya. Hak dan kewajiban ini akan
berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupannya. Individu baru atau bayi
yang baru lahir dalam suatu keluarga mempunyai hak yang sama tanpa
memandang perbedaan jenis kelamin. Perbedaan fisiologis yang mendasar mulai
tampak pada masa-masa awal pubertas genitalnya. Pertumbuhan dan
perkembangan individu membawa konsekuensi perbedaan hak dan kewajiabn
dalam agama (taklif). Oleh karena itu Islam sangat fleksibel dalam memandang
hak dan kewajiban manusia, dengan didasarkan kepada status dan situasi yang
berkembang. Sebagai contoh, ketika seorang ibu sedang hamil atau menyususi
anaknya, ia diperbolehkan tidak berpuasa demi menjaga kesehatan reproduksinya
meskipun kemudian wajib qadha. Bahkan fiqih tidak menuntut membayar kifarat
puasa tersebut apabila alasannya didasarkan pada kesehatan ibu semata.

Hak dan kewajiban individu juga berkembang dalam keluarga. pasanga


suami-istri yang baru dan belum mempunyai anak hanya memiliki hak dan
kewajiban yang mengikat terhadap pasangannya. Stelah lahir anak, kewajiban
suami sebagai kepala rumah tangga bertambah tidak hanya menanggung nafkah
istri sebagi mitranya dalam rumah tangga, tetapi juga terhadap anak-anaknya.
Demikan juga sebaliknya, hak dan kewajiban istri juga berkembang, tidak hanya
kepada suami, tetapi juga secara bersama-sama memikul tanggung jawab terhadap
pendidikan anak-anak sebagai generasi penerus keluarganya. Demikian juga anak-

8
Hussein Muhammad. 1999: Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam
Menakar "Harga" Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam
Islam. Editor: Syafiq Hasyim Bandung: Mizan. Hal 203-212
6

anak, ketika telah mencapai kedewasaan kewajibannya tidak sebatas birr al-
walidain atau mengabdi kepada kedua orang tuanya, tetapi juga menjaga
keberlangsungan dan eksistensi keluarganya dalam masyarakat.

III. TAFSIR Q.S. AN-NISA' : 34 DAN KDRT

1. Tafsir Q.S. An-Nisa' : 34


Landasan teologis yang sering menjadi sandaran legalitas tindak KDRT
dengan dalih pengajaran terhadap istri adalah firman Allah SWT.

‫ض َوبِ َمـا أَنْ َفقُـوا ِم ْـن أَ ْمـ َوالِ ِه ْم‬


ٍ ‫ال ِّر َجا ُل َق َّوا ُمو َن َع َلـى ال ِّن َسـا ِء بِ َمـا َف َّضـ َل اللَّـ ُه َب ْع َض ُـه ْم َع َلـى َب ْعـ‬
‫ـظ اللَّـ ُه َواللَّـاتِي َت َخـافُو َن نُشُ ـو َز ُه َّن َف ِع ُظـو ُه َّن‬ َ ‫ـب بِ َمـا َح ِف‬ ِ ‫ـات لِ ْل َغ ْي‬
ٌ ‫ات َح ِاف َظ‬ ُ ‫الصالِ َح‬
ٌ ‫ات َقانِ َت‬ َّ ‫َف‬
‫اج ِع َواضْ ِر ُبو ُه َّن َف ِٕا ْن أَ َط ْع َن ُك ْم َفلَا َت ْب ُغوا َع َل ْي ِه َّن َس ِبيلًا إِ َّن اللَّ َه كَا َن َع ِل ًّيـا‬ِ ‫َوا ْه ُج ُرو ُه َّن ِفي الْ َم َض‬
‫َك ِب ًيرا‬
Artinya : Kaum laki-laki adalah pemimoin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebahagian dari harta mereka. (sebab itu) Maka wanita yang shalih,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasihatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Upaya penafsiran Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman NAbi Muhammad
saw. Beliau mempunyai otoritas di samping tugas utama dalam menjelaskan
wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada beliau. Sepeninggal beliau, penjelasan
ayat-ayat Al-Qur'an dilanjutkan oleh pra sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan
seterusnya. Dalam perkembangan selanjutnya, tafsir ayat-ayat Al-Qur'an
difokuskan pada pembahasan-pembahasan spesifik. Tafsir dengan metode ini
dikenal dengan tafsir tematik atau tafsir maudhu'y. pada periode ini, banyak
bermunculan kitab-kitab tafsir dengan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan
bahasa, sejarah, teologi, dan sosial budaya. Penafsiran dengan pendekatan tersebut
7

lebih mementingkan fungsi kemanusiaan universal daripada ritual simbolis


ajaran.9

Kebanyakan mufassir berbeda pendapat dalam metodologi penafsiran ayat-


ayat Al-Qur'an. Ada yang menggunakan metodologi penafsiran ayat dengan
memegang keumumna lafadz (al-Ibratu bu 'umum al-lafdzy) dan ada yang
berpegang pada kekhususan sebab turunnya ayat (al-Ibratu bi khusus al-sabab)

Para mufassir tradisional pada umumnya mempunyai kesamaan dalam


menafsirkan Q.S. An-Nisa' : 34. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
formatif dengan sumber penafsiran aqwal, baik qaul Nabi maupun qaul sahabat.
Mereka menjelaskan kata qawwamun dengan penafsiran berbagai makna,10 yang
pada intinya adalah keunggulan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Kaum laki-
laki (suami) dipandang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan perempuan
(istri), dari segi kesempurnaan akal dan fisiknya. Penafsiran ini berdasarkan
kelebihan yang telah diberikan oleh Allah SWT dalam pembagian waris11,
ketentuan saksi,12 dan hadis Nabi.13 Kelebihan-kelebihan ini disertai konsekuensi
untuk menanggung nafkah dan kesejahteraan kaum perempuan. Sementara
perempuan menempati posisi yang lebih rendah disebabkan kerena nafkah yang

9
Abdul Munir Mulkhan. 2007 : Manusia Al-Qur'an. Yogyakarta: Kanisius. Hal 31.
10
Al-Mawardi menafsirkan kata Qawwamun sebagai Musallit 'ala Ta'dib (lihat: an-Nakt wa al-
'Uyun, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Bashry al-Baghdady, Maktabah Syamilah v. 2.1.1),).
At-Thabari menafsirkannya Ahlu qiyam fi ta'dibihinna (Jami' al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, Abu
Ja'far At-Thabari, Maktabah Syamilah v. 2.1.1), Ibnu Katsir menafsirkan Ra'isuha, Kabiruha, al-
Hakim 'alaiha wa Mu'addibuha.Tafsir Al-Qur'an al-'Adzim, Abu al-Fida' Ismail bin Umar bin
Katsir, Maktabah Syamilah v. 2.1.1)
11
Q.S. An-Nisa' : 31-32
12
Q.S. Al-Baqarah : 282
13
Di antara qaul Nabi yang menjadi rujukan penafsiran adalah komentar Nabi atas sabab an-nuzul
ayat tersebut. Diriwayatkan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah adanya kejadian dimana
seorang lelaki dari golongan Anshar menyakiti istrinya, kemudian idtri tersebut mengadukan
perihalnya kepada Nabi. Nabi memerintahkan untuk mengqishash laki-laki anshar tadi, namun
tidak lama kemudian turun ayat ini, kemudian Nabi berkomentar:
َ ‫ردت أ ًمرا وأراد الله‬
‫غيره‬ ُ ٔ‫ا‬
Juga hadis-hadis komentar Nabi tentang perempuan, di antaranya
‫"لن ُيف ِلح قومٌ َولَّوا أ ْم َر ُهم امرأة" رواه البخاري من حديث عبد الرحمن بن ٔابي بكرة‬
8

diterimanya dari laki-laki dan diiringi kewajiban kepatuhan total kepada


suaminya.

Kekeliruan interpretasi dan pemahaman yang kemudian muncul dan banyak


berkembang adalah pemahaman secara parsial dan tidak menyeluruh. Pemahaman
sebatas pada posisi superior laki-laki(suami) dan posisi inferior perempuan (istri),
sehingga yang terjadi kemudian adalah penguasaan secara mutlak leki-laki
terhadap perempuan. Dalam kondisi seperti inilah tindak KDRT kerap terjadi.
Dalam relasi sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan hukum
kepantasan secara sepihak. Dalam catatan sejarah (patriarkhi), perempuan
dipandang sebagai mahluk yang lebih rendah, emosional, dan kurang akalnya.
Budaya patriarkhi ini terjadi karena adanya dominasi kelompok tertentu, terhadap
kelompok lain, dalam hal ini kelompok laki-laki terhadap kelompok perempuan.
Kelompok pertama tidak hanya berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua,
tetapi juga menentukan ideologi budaya yang melanggengkan kekuasaannya.14

Islam sangat adil dalam memperlakukan wanita. Nilai-nilai kemanusiaan


universal yang terkandung dalam Al-Qur'an memandang wanita mempunyai
tanggung jawab keagamaan yang sama dengan laki-laki. Bahkan menempatkan
perempuan dalam posisi yang tinggi dan memberikan kebebasan dalam
melakukan berbagai aktivitas ibadah dan pendekatan diri kepada Allah SWT.
Islam juga tidak melarang wanita untuk turut berlomba-lomba beramal salih dan
memperoleh kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah.

Pemahaman sepintas terhadap Q.S. An-Nisa' : 34 menunjuk kepada


diperbolehkannya tindak kekerasan terhadap istri. Persoalan yang mungkin tidak
banyak diperhatikan adalah konteks pemaknaan ayat. Bila dicermati, sebenarnya
ayat tersebut berbicara dalam konteks nusyuz,15 yakni tindakan membangkang

14
Nusyuz adalah pembangkangan istri terhadap suami, atau penolakan istri terhadap perintah
suami, sepanjang perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari'at.
15
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 2002: Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di
Indonesia dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta:
PSW IAIN SUKA, McGill-ICIHEP & Pustaka Pelajar. Hal. 10-11.
9

yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya. Kalimat "dan pukullah mereka"
maksudnya adalah istri-istri yang nusyuz boleh dipukul. Namun, tindakan
pemukulan tersebut tidak boleh dilakukan secara semena-mena. Memukul boleh
dilakukan jika hal tersebut membawa manfaat, jika tidak maka tidak perlu
melakukan pemukulan. Jika terpaksa memukul, tidak boleh memukul wajah atau
anggota tubuh lain yang dapat menimbulkan cacat, memukul hanya sebatas
teguran saja.16

Prinsip universal dalam pergaulan antara suami-istri adalah nu'asyarah bi al-


ma'ruf. Dalam hal ini, suami-istri hendaknya memahami hak dan kewajiban
masing-masing agar tercipta harmoni dan keselarasan dalam rumah tangga.
Perselisihan dan pertentangan sedapat mungkin dihindari. Suami tidak
diperkenankan memperlakukan istri dengan sekehendak hati, karena ini
bertentangan dengan nilai-nilai universal yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Ketika terjadi perbedaan pendapat hendaknya diselesaikan dengan baik.

Suami memiliki tanggung jawab lebih besar dalam keluarga. Oleh karena itu
seorang suami dituntut untuk dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada
istrinya. Suami juga dituntut untuk dapat mencurahkan kasih sayangnya kepada
keluarga. Fungsi kontrol yang dipegang suami menuntutnya untuk bisa bersikap
lebih bijaksana dalam memutuskan perkara yang terjadi dalam rumah tangganya.
Jika terjadi perbedaan pendapat, bahkan jika kemudian istri melakukan nusyuz,
tindakan bijaksana yang pertama dilakukan adalah melihat perannya dalam men
jalankan fungsi kontrol, memperbaiki diri, dan memberikan pengertian yang baik
kepada istri. Penggunaan kekerasan sebagai metode pengontrolan hanya
dilakukan ketika semua cara-cara pengontrolan yang lembut sudah tidak
memberikan pengaruh positif terhadap istri, atau tampak indikasi bahwa istri
sudah benar-benar memabngkang dan keluar dari jalur rumah tangga yang diput
uskan bersama.

16
M. Habib. 2003: Perlakuan Suami atas Istri dalam Marhumah dan Alfatih Suryadilaga. 2003:
Membina Keluarga Mawaddah wa Rahmah. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA-The Ford
Foundation.
10

2. Keluarga Sejahtera
Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang terpenuhi semua kebutuhan dan
teratur komunikasinya. Di samping itu, keluarga yang ideal mempunyai
keterikatan emosi yang kuat dan saling menghargai satu sama lain. Sepasang
suami-istri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki peranan besar dan
utama dalam membina sebuah keluarga. Untuk menjalankan peran ini, tentunya
diperlukan banyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan tentang
kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anak-anak
dan kemantapan inelektual serta kemapanan emosi kejiwaan.17

Laki-laki dan perempuan masing-masinh diberi kelebihan oleh Allah SWT


untuk saling melengkapi. Keduanya diarahkan untuk menjalankan fungsi
regenerasi secara bersama-sama. Secara biologis beban regenerasi ini lebih
bnayak dipikul oleh perempuan, sehingga segala kebutuhan baik lahiriyah
maupun batiniyah menjadi tanggung jawab laki-laki. Oleh karena itu, nafkah
diarahkan sebagai upaya mendukung proses regenerasi dan bukan sebagai
legitimasi superioritas laki-laki.

Prinsip dasar dari hubungan suami-istri adalah mu'asyarah bi al-ma'ruf atau


hubungan timbal balik dengan kerangka kebajikan. Keduanya harus saling
mendukung, saling memahami, dan saling melengkapi. Di samping itu, suami-istri
juga perlu memaksimalkan peran dan fungsinya masing-msing dalam keluarga.
Dengan demikian hubungan suami-istri dibangun di atas pondasi kesejajaran dan
kebersamaan tanpa harus ada pemaksaan atau tindak kekerasan di antara
keduanya.18

Sebagai mahluk biologis manusia mempunyai kecenderungan untuk


menjaga keberlangsungan generasi. Proses regenerasi terjadi dengan penyatuan
dua individu berlainan yang diatur oleh norma-norma yang mengikat dalam
bentuk rumah tangga. Relasi ini terbentuk dari dua karakter yang masing-masing
17
Kekerasan dan Konflik Rumah Tangga serta Solusinya, International Development Law
Organization. On-line http://www.idlo.int Diakses tanggal 21 November 2008
18
M. Habib. 2003: Perlakuan Suami atas Istri…
11

memiliki perbedaan kepribadian, latar belakang, maupun kejiwaan antara satu dan
yang lainnya. Secara biologis watak dan kepribadian individu, baik laki-laki
ataupun perempuan dipoengaruhi oleh mekanisme hormonal dan senyawa-
senyawa biokimiawi di dalam tubuhnya yang mendukung organisasi
reproduksinya. Hormon-hormon androgen dalam diri laki-laki memunculkan
kecenderungan menyukai tantangan dan kebanggan ketika mampu menyelesaikan
tantangan. Sementara hormon estrogen dan progesteron dalam diri perempuan
memunculkan kelembutan, keselarasan dan kecenderungan menghindari
permasalahan. Dalam perkembangannya perbedaan mendasar ini memunculkan
pebedaan deferensial yang dominan pada aspek-aspek fisiologis dan
psikologisnya.

Perkawinan adalah ikatan yang menyatukan dua individu yang berbeda.


Penyatuan ini melahirkan konsekuensi hak dan kewajiban yang ditanggung oleh
masing-masing pihak terhadap pihak lain. Pembebanan nafkah atas suami
bertujuan melindungi perempuan dari beban yang berlebihan. Perempuan (istri)
sudah menanggung beban kodratinya sendiri, yaitu beban reproduksi yang penuh
dengan resiko fisik dan mental. Sangat logis jika beban nafkah tersebut diletakkan
di pundak suami, karena ia tidak menanggung beban reproduksi. Ini adalah betuk
keseimbangan peran dan fungsi antara suami dan istri.19 Kewajiban suami adalah
hak istri, demikian sebaliknya kewajiban istri adalah hak suami. Suami memiliki
tanggung jawsab untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan istri dan
anak-anaknya. Bagi istri nafkah adalah hak yang mesti diterima, sehungga ia
diperbolehkan menuntut jika tidak dipenuhi. Pemenuhan ini berimplikasi pada
ketaatan. Kewajiban memberi nafkah menimbulkan kewajiban taat atas itri kepada
suami. Jika suami tidak memenuhi kewajibannya, maka gugurlah haknya untuk
memperoleh kataatan istrinya.20

19
Masdar F. Mas'udi. 2000: Islam dan Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan. Hal 88.
20
Zaini Ahmad Noeh. 1999: Pandangan Fiqih tentang dan Kewajiban Perempuan dalam Lily Z.
Munir: Memposisikan Perempuan. Bandung: Mizan.
12

IV. PENUTUP

Agama Islam merupakan agama damai yang memberikan jaminan terhadap


hak-hak universal, termasuk kesejahteraan dalam rumah tangga dengan mengatur
hak dan kewajiban masing-masing anggotanya. Terciptanya keluarga sejahtera
merupakan tanggung jawab bersama keluarga dan lingkungan sosial masyarakat,
dalam kerangka keselarasan dalam keragaman dengan dilandasi keimanan dan
ketaqwaan.
13

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan. 2007 : Manusia Al-Qur'an. Yogyakarta: Kanisius.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 2002: Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana


Islam di Indonesia dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, McGill-ICIHEP &
Pustaka Pelajar.

Elli N. Hasbianto, 1999: Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan


yang Tersembunyi dalam Menakar "Harga" Perempuan, Eksplorasi Lanjut
atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam. Bandung: Mizan.

Hussein Muhammad. 1999: Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap


Perempuan dalam Menakar "Harga" Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas
Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam. Editor: Syafiq Hasyim
Bandung: Mizan.

Kekerasan dan Konflik Rumah Tangga serta Solusinya, International


Development Law Organization. On-line http://www.idlo.int Diakses
tanggal 21 November 2008 @ymail. com

Marhumah dan Alfatih Suryadilaga.2003: Membina Keluarga Mawaddah wa


Rahmah. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA-The Ford Foundation.

Masdar F. Mas'udi. 2000: Islam dan Hak Reproduksi Perempuan. Bandung:


Mizan.

Theodore Lidz. 1968: The Person, His and Her Development Throughout the Life
Circle. New York: Basic Books Inc. Publisher.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 4419. pdf file.

Vony Reynate, 2003: Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Masyarakat Pemantau


Peradilan Indonesia. On-line http://www.pemantauperadilan.com diakses
tanggal 21 November 2008.

Zaini Ahmad Noeh. 1999: Pandangan Fiqih tentang Hak dan Kewajiban
Perempuan dalam L ily Z. Munir: Memposisikan Perempuan. Bandung:
Mizan.

You might also like