Professional Documents
Culture Documents
Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie” dan
“nation”, artinya masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang memiliki
unsur sebagai berikut :
Istilah natie (nation) mulai populer sekitar tahun 1835 dan sering
diperdebatkan, dipertanyakan apakah yang dimaksud dengan bangsa?, sehingga
melahirkan berbagai teori tentang bangsa sebagai berikut :
Pembahasan mengenai pengertian bangsa dikemukakan pertama kali
oleh Ernest Renan tanggal 11 Maret 1882, yang dimaksud dengan bangsa
adalah jiwa, suatu asas kerohanian yang timbul dari : (1). Kemuliaan bersama
di waktu lampau, yang merupakan aspek historis. (2). Keinginan untuk hidup
bersama (le desir de vivre ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan
aspek solidaritas, dalam bentuk dan besarnya tetap mempergunakan warisan
masa lampau, baik untuk kini dan yang akan datang.
Dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi
berdirinya suatu bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang lampau
dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan,
sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya
mendorong kearah adanya usaha bersama. Lebih lanjut Ernest Renan
mengatakan bahwa hal penting merupakan syarat mutlak adanya bangsa
adalah plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada
waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan
kesediaan memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa
bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa
tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya (Rustam E. Tamburaka,
1999 : 82).
Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran moral
(conscience morale), teori ini dapat digolongkan pada Teori Kehendak,
berbeda dengan teori kebudayaan (cultuurnatie theorie) yang menyatakan
bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan
bahasa, agama, dan keturunan. Berbeda juga dengan teori kenegaraan
(staatsnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa dan ras kebangsaan
timbul karena persamaan negara.
Menurut teori Ernest Renan, jiwa, rasa, dan kehendak merupakan
suatu faktor subjektif, tidak dapat diukur dengan faktor-faktor objektif. Faktor
agama, bahasa, dan sejenisnya hanya dapat dianggap sebagai faktor
pendorong dan bukan merupakan faktor pembentuk (consttuief element) dari
bangsa. Karena merupakan plebisit yang diulangi terus-menerus, maka
bangsa dan rasa kebangsaan tidak dapat dibatasi secara teritorial, sebab
daerah suatu bangsa bukan merupakan sesuatu yang statis, tapi dapat
berubah-ubah secara dinamis, sesuai dengan jalannya sejarah bangsa itu
sendiri.
Teori Renan tentang nation (waktu itu masih digunakan kata bangsa)
dianut dan secara langsung sebagai tokoh teori nasionalisme menegaskan
suatu negara hanya ada karena adanya kemauan bersama. Kemauan bersama
diperlukan supaya semua daerah dari satu negara akan mempunyai pengaruh
dalam komunitas dunia.
Dari konsep nasionalisme Ernest Renan pada masa itu telah
membangkitkan rasa nasionalisme kelompok mahasiswa dan cendekiawan-
cendekiawan Indonesia pada tahun 1920-an seperti Perhimpunan Indonesia,
Indonesische Studieclub, dan Algemeene Studieclub yang merupakan
pembentuk dan penyebar nasionalisme Indonesia serta memberi orientasi bagi
perjuangan bangsa terjajah di wilayah Hindia Belanda dalam rangka
membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan Belanda, yang kemudian
lazim disebut awal gerakan kebangkitan nasional.
Persoalan : was ist eine nation, dijawab oleh Otto Bauer adalah eine
nation ist aus schicksalameinschaft erwachsene charaktergemeinschaft (suatu
bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang
senasib) atau bangsa adalah suatu kesamaan perangai yang timbul karena
senasib (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 83).
Rudolf Kjellen membuat suatu analogi/membandingkan bangsa dengan suatu
organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme
termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup,
mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa (Rustam E. Tamburaka, 1999
: 84-85).
Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa
jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah dilakukan oleh
bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuannya: wir wollen sein ein einzig
volk von brudern (kita ingin menjadi satu rakyat yang bersaudara satu sama
lainnya), seperti juga yang dilakukan oleh pemuda Indonesia dalam Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk pertama kalinya pemuda
Indonesia memproklamasikan kesatuan Indonesia secara kultural dan politik
dalam 3 (tiga) konsep : satu tanah air, Indonesia ; satu bangsa, Indonesia ; dan
satu bahasa, Indonesia, hal ini merupakan modal sosial (social capital)
penting bagi perjalanan sejarah masyarakat Indonesia karena pada peristiwa
itu untuk pertama kalinya konsep jati diri (identity) sebagai “bangsa” (nation)
dengan konsep Indonesia sebagai simbol pemersatu keragaman masyarakat
Indonesia dinyatakan secara tegas, jelas, dan berani. Sumpah Pemuda
merupakan tekad generasi muda tersebut pada dasarnya menempatkan
kepentingan bersama diatas kepentingan suku, bangsa, ras, agama, dan
kebudayaan yang berasal dari berbagai penjuru. Melalui ikrarnya itu, mereka
menyatukan derap langkah dan gerak maju menuju kepada kehidupan
kebangsaan Indonesia yang berlandaskan pada asas kesatuan dan persatuan.
Suatu bangsa yang menjelma membentuk suatu negara, maka ia dapat
memperoleh isi rohani yang lebih tinggi yang semula tidak dipunyainya. Hal
ini merupakan isi dari asas kebangsaan dan sekaligus cita-citanya yang
terakhir, yang pernah menggemparkan setiap zaman. Suatu bangsa baru akan
dianggap sempurna, apabila batas-batasnya sudah sama dengan batas-batas
negaranya. Dengan demikian kesadaran berkebangsaan dan sekaligus
memiliki kebudayaan yang sama yang merupakan identitasnya. Kesatuan
yang utuh dalam segala aspek kehidupan, selalu diusahakan secara terus-
menerus. Menurut Rudolf Kjellen dibalik suatu bahasa terdapat suatu
kebangsaan. Dengan demikian, bahasa bukan merupakan sebab, tetapi akibat
dari kebangsaan, teori ini disebut dengan teori Lebenssehnsucht (nafsu hidup
bangsa).
1. Teori Geopolitik
Teori ini bersangkutan dengan Blood and Boden Theorie (Teori Darah dan Tanah)
oleh Karl Haushofer yang dianggap sebagai sendi bagi politik imperialisme Jerman,
tetapi digunakan pula oleh kaum nasionalis di Asia, khususnya untuk membela cita-
cita kemerdekaan, persatuan bangsa, dan tanah air. Geopolitik mendasarkan diri pada
faktor-faktor geografis sebagai suatu faktor yang konstan (Rustam E. Tamburaka,
1999 : 86).
Dari berbagai teori tentang bangsa dihubungkan dengan sebelum ada negara
Republik Indonesia, kata bangsa sudah digunakan oleh kelompok-kelompok
masyarakat yang sekarang sering disebut kelompok etnis atau suku bangsa. Harsja
W. Bachtiar (1987 : 3) juga mencatat bahwa sebelum kita mengacu diri kita sebagai
bangsa Indonesia terdapat beraneka-ragam suku bangsa yang biasa dinamakan
bangsa, misalnya, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Bugis. Selanjutnya dia
mencatat bahwa :
Kalau batas bahasa dapat dianggap bertumpang tindih dengan batas suku bangsa,
maka dapat dibayangkan betapa besar jumlah suku bangsa yang tadinya disebut
bangsa (jadi bukan suku bangsa) terdapat di Indonesia ini, karena menurut perkiraan
para ahli bahasa dewasa ini ada sekitar 400 bahasa daerah (bukan dialek) di
Indonesia (Maurits Simatupang, 2002 : 113).
Marilah kita perhatikan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu. Tidak banyak
kita ketahui tentang proses terjadinya Sumpah Pemuda tersebut. Bagaimana para
pemuda yang terdiri dari berbagai kelompok etnis itu memutuskan bahwa mereka
merupakan satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, tidak begitu jelas. Risalah rapat-
rapat yang diadakan tidak ada; yang ada hanyalah laporan tentang diadakannya
pertemuan dan dicetuskannya Sumpah Pemuda tersebut pada tanggal 28 Oktober
1928. Secara detail laporan peristiwa tanggal 28 Oktober 1928 disampaikan oleh
Hans Van Miert dalam bukunya “DENGAN SEMANGAT BERKOBAR,
Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Di Indonesia”, 1918-1930, (Hasta Mitra-Pustaka
Utan Kayu, 2003 : 498-509).
Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang dasar-dasar negara Indonesia yang
sekarang kita sebut Pancasila dan UUD 1945 karena kita dapat mengikuti pendapat-
pendapat yang dikemukakan dalam sidang-sidang melalui laporan yang “secara
relatif lengkap terdapat dalam buku karangan Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin,
1959, Naskah Persiapan UUD 1945, jilid I penerbitan Yayasan Prapantja, Jakarta”
yang kemudian edisi keduanya dicetak ulang oleh Sekretariat Negara tahun 1992.
(Maurits Simatupang, 2002 : 113 – 115)
“Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman
Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu tidak mengalami nationale staat. Saya
berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-
ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka,
bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya
berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu
Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan
nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah
membentuk Kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan
nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)
Konsep geopolitik seperti dikemukakan Bung Karno ini, yaitu “kesatuannya
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian” kemudian
kita kembangkan dalam Wawasan Nusantara yang tercantum dalam GBHN tahun
1978 dan 1983 yang mencakup :
“Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai suatu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu
kesatuan ekonomi, satu kesatuan pertahanan dan keamanan.” (Lihat Kohar Hari Sumarno, 1985.)
Sebagai dasar pertama negara Indonesia yang akan dibentuk itu, Bung Karno
mengusulkan dasar kebangsaan :
“Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat bukan kebangsaan Jawa, bukan
kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni
1945)
Kita dapat mengerti mengapa Bung Karno (bersama kaum nasionalis lainnya)
mengajukan paham kebangsaan ini. Pada permulaan tahun 30-an, telah ada
perdebatan di antara kaum pergerakan kemerdekaan tentang dasar negara yang akan
didirikan. Ada kelompok yang mempertahankan bahwa hanya faham agama
tertentulah yang dapat menjadi dasar kebangsaan Indonesia (Rickless, 1981 : 285).
Kalau kita perhatikan istilah-istilah people, nationality, dan nation (Karl W.
Deutsch, 1996 : 17) yang digunakan oleh para ahli di bidang politik di waktu yang
lalu di Barat, maka kita melihat bahwa konsep-konsep dan istilah-istilah itu juga
dikemukakan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI dan dipakai sebagai landasan
berpikir dan mengembangkan lebih lanjut konsep-konsep bernegara dan berbangsa
untuk bangsa Indonesia. Marilah kita simak beberapa pengertian yang terkandung
dalam konsep-konsep yang dikembangkan di Barat itu dan kita bandingkan dengan
konsep-konsep dan pengertian-pengertian yang dikemukakan dalam sidang-sidang
tersebut. (Maurits Simatupang, 2002 : 115 – 116)
Menurut satu definisi (Karl W. Deutsch, 1966 : 18), dikatakan bahwa “a
people is a group of individuals who have some objective characteristics in common.
These characteristics usually then are said to include language, territorial residence,
traditions, habits, historical memories, and the like. To these are then
added....certain subjective elements such as mutual, affection, consciousness of
difference from other peoples, or the will to belong to this particular people.”
Nation diartikan sebagai “a people living in a state ‘of its own.’ By this is
meant, it seems, that the rulling personnel of this state consists largely of individuals
who share the main characteristics of this people, and that the administration of this
state is carried on in this people’s language and in line with what are considered to
be its characteristic institutions and patterns of custom.”
Namun (Karl W. Deutsch, 1966 : 18) mengingatkan kita bahwa pengertian-
pengertian di atas tidak bebas dari masalah-masalah yang sulit. Beberapa
karakteristik objektif yang sering dikemukakan sebagai milik suatu “bangsa”
(people) nampaknya tidak merupakan bagian yang esensial dari kesatuan suatu
“bangsa”. Mengenai bahasa, misalnya, dikatakan bahwa warga “bangsa” Inggris ada
yang berbahasa Inggris atau bahasa Welsh ; warga Kanada, bahasa Inggris atau
Perancis ; Afrika Selatan, Inggris atau Afrikaans ; warga Irlandia, Inggris atau Gaelik
; warga Belgia, Vlaam atau Perancis ; dan warga Swiss, bahasa Jerman, Perancis,
Italia, dan Roman. Bahasa yang sama bisa digunakan oleh bangsa-bangsa yang
berbeda. (Maurits Simatupang, 2002 : 116 – 117)
Bahkan konsep yang ditawarkan Ernest Renan yang dikutip oleh Bung Karno
itu pun dapat ditanyakan keabsahannya. Renan melihat bahwa salah satu unsur
esensial dari soul or spiritual principle suatu bangsa terdiri dari “[the] possession in
common of a rich heritage of memories...a heritage of glory and of grief to be
shared...to have suffered, rejoiced and hoped together...” Pertanyaannya ialah kapan
warisan bersama (common heritage) itu milik bersama? (When is a “common”
heritage common?)
Dalam usaha mencari sejarah bersama sebagai karateristik bersama yang
objektif dan dapat diamati, Otto Bauer mencoba mengemukakan konsep community
of fate (Schiksalgemein-schaft) yang mengikat para warga suatu bangsa ke dalam
suatu community of character (Characktergemeinschaft). Menurut Bung Karno
konsep Ernest Renan le desir d’etre ensemble dan definisi Otto Bauer Aus
Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu tidak cukup. Itulah
sebabnya dia menambahkan konsep Geopolitik seperti telah disinggung di atas dan
yang berlaku bagi bangsa Indonesia setidak-tidaknya. (Maurits Simatupang, 2002 :
117-118)
Dengan mengacu pada Ernest Renan dan Otto Bauer tersebut, Bung Karno
menegaskan sesuatu yang amat penting : kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat
alami, melainkan historis. Artinya yang mempersatukan masyarakat di bumi
Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah pendirian,
penindasan, perjuangan kemerdekaan dan tekad pembangunan kehidupan bersama.
Dari “nasib” bersama itu tumbuh hasrat untuk tetap bersama. Itulah dasar kesatuan
bangsa Indonesia, dengan demikian kesatuan Indonesia sebenarnya lebih merupakan
kesatuan historis dan persatuan etis, bukan bersifat etnik atau ras tertentu.
Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa, berbagai kepentingan
ekonomi, kepentingan agama yang secara historis adalah suatu berkah bahwa dari
kebhinekaan tersebut dapat didirikan suatu bangsa yang mempersatukan masyarakat
di bumi Indonesia. Dorongan persamaan nasib bersama telah membentuk bangsa
Indonesia sangat kuat sehingga bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan, yang
merupakan perekat atau faktor integratif bangsa Indonesia adalah kesadaran
masyarakat Indonesia yang saling menopang atau saling memerlukan dalam
keanekaragaman masing-masing.
Konsep bangsa Indonesia asli timbul dan berkembang dalam sejarah. Sifat
dasar masyarakat Indonesia sebagai masyarakat Nusantara adalah Bhineka Tunggal
Ika. Sifat itu masuk sejak dahulu kala ke dalam tubuh kebudayaan Indonesia, baik
yang bersifat lahir maupun batin. Kebhinekaan “masyarakat Indonesia” bersifat
multi-dimensional, dan kenyataan itu sudah diketahui dan ditandai ketika penjelajah-
penjelajah mancanegara mulai mendarati pantai-pantai kepulauan Nusantara.
Republik Indonesia yang kemudian diproklamasikan terdiri dari 13.677 (tiga belas
ribu enam ratus tujuh puluh tujuh) pulau jumlahnya dengan luas keseluruhan
1.900.000 km2 (satu juta sembilan ratus ribu kilometer persegi). Dimensi pertama
yang dapat dikedepankan adalah dimensi geografis sebagaimana merupakan hasil
pengamatan dari Alfred Wallace dan Weber. Temuan Wallace kemudian dikukuhkan
dalam geografi sebagai Garis Wallacea yang membentang dari laut Sulu di utara
melalui selat Makasar hingga ke selat Lombok di selatan, dan Garis Weber yang
tidak semasyhur Garis Wallacea membentang dari pantai barat Pulau Halmahera di
utara melalui Laut Seram hingga ke Laut Timor di selatan. Garis Wallacea dan Garis
Weber secara fisiko-geografis membedakan (bukan memisahkan) Dangkalan Sunda
di sebelah barat (yang meliputi pulau-pulau Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Nusa
Tenggara sebelah barat), dan dari Dangkalan Sahul di sebelah timur (yang meliputi
kepulauan Halmahera, Aru, dan Papua). Kebedaan itu merupakan akibat dari proses
perkembangan fisiko-geografis yang ditinggalkan oleh akhir dari zaman es.
Kebedaan fisiko-geografis itu berakibat menentukan pada kebedaan dunia flora dan
fauna dari masing-masing kelompok kepulauan itu. (Budiono Kusumohamidjojo,
2000 : 16 – 17)
Dimensi kedua adalah dimensi yang etnografis, yang merupakan perpaduan
konsekuensi dari dimensi fisiko-geografis dan proses migrasi bangsa-bangsa purba.
Etnologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari kebudayaan
manusia dengan mengadakan pendekatan perbandingan dari berbagai kebudayaan
secara individual yang terdapat di muka bumi ini. Dalam kerangka dimensi
etnografis itulah kita lalu dapat melihat adanya kebedaan etnis pada penduduk yang
mendiami berbagai pulau-pulau nusantara. Asal usul dari penduduk yang mendiami
kepulauan nusantara masih merupakan objek perdebatan teoritis di kalangan ahli
arkeologi dan antropologi. Tentang asal usul dari umat manusia saja terdapat 2 (dua)
teori. Teori yang pertama seperti yang dikemukakan oleh E. von Eickstedt (1934)
beranggapan bahwa tempat asal dari evolusi ras manusia Homo Sapiens adalah di
Asia Tengah. Teori yang kedua C.S. Coon (1965) berpendapat bahwa ada beberapa
pusat evolusi dari beberapa ras manusia di dunia. Sampai sekarang belum ada
kesimpulan mengenai kesalahan atau kebenaran dari masing-masing teori itu. Namun
demikian, dari penemuan tulang belulang Pithecanthropus Erectus dari zaman
Pleistocenum Bawah (kira-kira 600.000 sampai 300.000 tahun yang lalu) di Trinil di
tepi Bengawan Solo pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois, dan kemudian penemuan
Homo Soloensis (yang oleh Teuku Jacob disebut Pithecanthropus Soloensis) dari
zaman Pleistocenum Atas (kira-kira 40.000 tahun yang lalu) di Desa Ngandong, juga
di tepi Bengawan Solo pada tahun 1931 oleh Oppenoorth dan von Koenigswald,
orang menduga, bahwa pulau Jawa merupakan tempat asal usul manusia purba.
Meskipun penemuan-penemuan itu penting sekali artinya bagi antropologi dan
biologi pada umumnya, Bernard Vlekke tidak menilainya sebagai terlalu relevan
untuk sejarah Indonesia : “The Indonesian historic times are the descendants of
immigrants from the Asian continent”. Dengan kata lain, sejarah Indonesia modern
lebih merupakan hasil dari bangsa-bangsa pendatang, dan bukan “penduduk asli”!
(Budiono Kusumohamidjojo, 2000 : 17 – 18)
Tetapi justru tentang asal usul dari kaum imigran itu juga terdapat teori yang
berbeda-beda. Sarasin bersaudara (1893 dan 1905) misalnya berpendapat bahwa
imigran pertama adalah orang Vedda yang juga mereka temukan di Sri Lanka, dan
tergolong pada ras Negrito. Gelombang imigran yang berikutnya mendatangkan
mula-mula orang Proto Melayu (kira-kira tahun 200 – 300 SM), yang berasal usul di
Propinsi Yunnan (Cina) sekarang, dan datang melalui Indocina dan Muangthai. Suku
bangsa yang masih dekat dengan keturunan orang Proto Melayu adalah orang Gayo
dan Alas di Aceh serta orang Toraja di Sulawesi. Penduduk Indonesia, selebihnya,
kecuali di Pulau Papua dan kepulauan Aru, adalah orang-orang yang dekat dengan
keturunan orang Deutero Melayu. Namun, Vlekke sendiri menaruh keraguan
terhadap teori Sarasin dan Sarasin itu, karena ternyata kurang lebih 170 bahasa yang
digunakan di kepulauan Nusantara, dengan beberapa kekecualian, pada umumnya
dapat digolongkan ke dalam rumpun bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia,
yang oleh Koentjaraningrat disebut juga sebagai rumpun bahasa Austro-Melanesia.
Bagaimanapun, Vlekke menarik kesimpulan, bahwa pengelompokkan bahasa di
Indonesia tidak niscaya sejalan dengan pengelompokkan ras, dan kenyataan itu
membuat berbagai teori itu seperti semakin jauh dari suatu kesimpulan akhir.
(Budiono Kusumohamidjojo, 2000 : 18 – 19)
Koentjaraningrat juga memperhatikan arus migrasi itu dari sisi penyebaran
teknologi sebagai salah satu aspek yang terpenting dari kebudayaan. Kepandaian
menanam padi misalnya yang kabarnya mula-mula dilakukan di Assam Utara (India)
atau Burma Utara, menyebar ke kepulauan Nusantara dan Filipina melalui lembah-
lembah sungai Yangtze dan Mekhong. Unsur teknologi kedua yang juga berperanan
besar adalah kepandaian menuang perunggu (campuran tembaga dengan kurang lebih
15 % timah). Teknologi itu mula-mula ditemukan di Mesopotamia (Asia Barat Daya)
kira-kira pada tahun 3.000 SM, dan tiba di pusat kebudayaan Cina kira-kira pada
tahun 2.000 SM. Melalui lembah Dongsan di Vietnam Utara, teknologi itu kemudian
menyebar ke Asia Tenggara dan kepulauan Nusantara, dan bahkan hingga ke Sentani
di pantai utara Papua Barat, tetapi tidak sampai ke kepulauan Filipina.
(Koentjaraningrat, 1990 : 14, 19)
Aspek kebudayaan lain yang diamatinya adalah organisasi sosial dan sistem
pemerintahan yang lebih besar dari ukuran desa, yang diperkirakan telah berkembang
di Asia Tenggara di sekitar abad pertama TM, seperti kita ketahui, pada awal abad II
SM, Qin Xihuang Di mempersatukan Cina sebagai kekaisaran, sehingga tidaklah
mengherankan jika negara-negara tertua di Asia Tenggara kontinental terpengaruh
oleh aspek kebudayaan Cina itu, dan pada gilirannya juga mempengaruhi negara-
negara tertua di kepulauan Nusantara. Namun, bersamaan dengan masuknya
kepandaian politik itu, datang juga agama Hindu dan Buddha yang justru membawa
unsur kebudayaan yang sangat penting, yaitu tulisan (Koentjaraningrat, 1990 : 20 -
21). Bukti tertua untuk itu di kawasan Nusantara ditemukan di Muara Kanam, kira-
kira 160 km dari muara sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dan berasal dari abad
ke V TM dan mengindikasikan pandangan Hindu. Kerajaan Kutai dengan
Mulawarman sebagai rajanya itu bolehlah dipandang sebagai titik tolak bagi kita
untuk mulai dapat membahas perkembangan “masyarakat Nusantara” sampai
kemudian menjadi “ masyarakat Indonesia” dewasa ini. (Budiono
Kusumohamidjojo : 2000 : 19 – 20)
Jika kita mengingat akibat-akibat yang bisa merupakan konsekuensi dan
Garis Wallacea serta Garis Weber dan konsekuensi dari pembagian manusia ke
dalam 5 (lima) kelompok ras dari Blumenbach, mudah dimengerti jika “masyarakat
Indonesia” dapat dipandang sebagai kenyataan kelompok kehidupan bersama yang
terdiri dari paling sedikit 2 (dua) kelompok ras yang mendasar. Di samping itu, juga
diakui luas, bahwa sebagian besar suku bangsa di Indonesia pada akhirnya
merupakan hasil dari percampuran antar ras, atau paling sedikit antar etnik.
Benedict Anderson dikenal terutama karena teorinya tentang asal usul
kebangkitan bangsa-bangsa di dunia, yang pemikirannya masih berada dalam
pengaruh pandangan dan kelanjutan pengembangan teori Ernest Renan; Menurutnya,
kurangnya kepedulian para pengkaji gerakan kebangsaan terhadap rasa kebangsaan-
rasa nasionalitas - perasaan pribadi dan kultural bahwa seseorang dan orang-orang
lain tertentu adalah satu bangsa - bahwa anda dan saya merasa sebagai ‘orang
Indonesia’, bahwa anda dan saya adalah kita, bahwa orang-orang lain adalah mereka.
Padahal, kenyataan yang kita selami sebagai bangsa Indonesia ini, tutur Anderson,
hanyalah realitas imajiner ; kekitaan kita adalah komunitas imajiner yang kita namai
Indonesia ini. Apa yang selama ini kita telan mentah-mentah sebagai ‘Indonesia’,
seperti kata Bung Karno, dari Sabang sampai Merauke sebagai pengejawantahan rasa
keindonesiaan kita, adalah kesatuan ujud bayangan semata. (Benedict Anderson,
1999 : x – xi)
Nampaknya lebih baik kita renungkan sejenak konsep ‘nasion’ atau ‘bangsa’
itu sendiri, dan Anderson akan menawarkan sebuah definisi yang bisa kita pakai.
Selama ini para teoretisi nasionalisme telah sering didera kebingungan, kalau tidak
bisa dikatakan kegusaran, akibat 3 (tiga) paradoks ini : 1). Modernitas objektif
bangsa-bangsa di mata para sejarawan vs. kepurbaan subjektifnya di mata para
nasionalis ; 2). Universalitas formal kebangsaan sebagai suatu konsep sosio-kultural ;
dalam jagat modern semua orang bisa, musti, akan ‘punya’ suatu kebangsaan
tertentu, sama seperti tiap manusia ‘punya’ gender tertentu vs. kekhususan
pengejawantahan kongkretnya yang tak bisa ‘diobati’, misalnya, berdasarkan
definisinya, kebangsaan ‘Yunani’ bersifat sui generis atau mencakup keseluruhannya
; 3). Daya ‘politis’ nasionalisme vs. kemelaratan filosofisnya, atau malah ketidak-
koherenannya. Dengan kata-kata yang berbeda, tidak seperti sebagian besar ‘isme’
lain, nasionalisme belum pernah melahirkan pemikir besarnya sendiri : nasionalisme
tak punya tokoh-tokoh semacam Thomas Hobbes, Alexis de Tocqueville, Karl Marx,
atau Max Weber. ‘Kehampaan’ ini dengan gampang membangkitkan sifat rendah diri
sampai ke tingkat tertentu di tengah kumpulan intelektual kosmopolitan yang
berbahasa majemuk. Bagai novelis Gertrude Stein di depan hamparan ranah Oakland,
orang bisa agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa “tidak ada di sana di sana” (‘no
there there’). Tom Nairn, pengkaji nasionalisme yang begitu simpati terhadap
subjeknya pun, tak urung menulis bahwa : “Nasionalisme” adalah patologi sejarah
pembangunan modern, tak bisa dielakkan sama seperti ‘neurosis’ dalam sesosok
pribadi, lengkap dengan kemenduan asasi yang melekat padanya, dengan
kemampuan yang sudah ‘dari sononya’ untuk anjlok ke kegilaan, berakar pada
dilema-dilema ketidakberdayaan yang disorongkan kehadapan sebagian besar jagat
ini (sederajat dengan infantilisme bagi masyarakat-masyarakat) dan pada umumnya
tak mungkin disembuhkan. (Benedict Anderson, 1999 : 6)
Bangsa adalah sesuatu yang imajiner karena para anggota bangsa terkecil
sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan
bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula
pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi
anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Ernest
Renan mengacu kepada pembayangan ini tatkala ia menulis bahwa “Or l’essence
d’une nation est que tous les individus aient beaucoup de choses en commun, et aussi
que tous aient oublié bien des choses.” Dengan tegas Ernest Gellner menetapkan :
“Nasionalisme bukanlah bangkitnya kesadaran diri suatu bangsa : nasionalisme
menemukan bangsa-bangsa di mana mereka tidak ada. Namun rumusan ini masih
punya kekurangan, lantaran Gellner terburu-buru ingin menunjukkan bahwa
nasionalisme menjadi jubah yang dianyam dari serat-serat kepalsuan, makanya ia
memilih ‘penemuan’ hingga ke ‘pemalsuan’ ; ketimbang ‘pembayangan’ serta
‘penciptaan’. Dengan begitu ia mengisyaratkan bahwa komunitas-komunitas ‘sejati’
itu ada, yang kemudian secara menguntungkan dipaskan dengan bangsa-bangsa.
Dalam kenyataan, semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial
di mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung setiap hari (bahkan
mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas imajiner. Pembedaan
antarkomunitas dilakukan bukan berdasarkan kesejatian/kepalsuannya, melainkan
menurut gaya pembayangannya. Para penduduk dusun-dusun di Jawa senantiasa tahu
bahwa mereka punya keterkaitan dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah
mereka lihat, tetapi ikatan-ikatan ini dahulu dibayangkan secara khusus dan ‘jelas’
sebagai jaring-jaring kekerabatan dan keklienan yang luwes (bisa mulur, bisa
menciut), (Benedict Anderson, 1999 : 7 - 8).
Anderson menjelaskan bahwa bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada
hakikatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar pun, yang
anggotanya mungkin semilyar manusia, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti
meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun
membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Para nasionalis yang
paling mendekati sikap ‘juru selamat’ pun tidak mendambakan datangnya hari agung
di mana seluruh anggota spesies manusia bakal bergabung dengan bangsa mereka
dengan cara seperti, dalam zaman-zaman tertentu, orang-orang Kristen memimpikan
sebuah planet yang seutuhnya Kristen.
Anderson melukiskan bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang berdaulat,
lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu di mana Pencerahan dan Revolusi
memporak-porandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang berkat pentahbisan oleh
Tuhan sendiri. Konsep itu beranjak matang di masa para pengikut paling setia pun
dari agama universal mana pun tak ayal lagi di hadang kemajemukan semua agama
universal yang hidup, dan harus menghadapi alomorfisme antara masing-masing
klaim keimanan ontologis serta bentang kewilayahannya, bangsa-bangsa yang
bermimpi tentang kebebasan, dan andai pun di bawah lindungan Tuhan, secara
langsung tanpa perantara. Panji-panji dan penaksir kebebasan ini adalah negara
berdaulat.
Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab, tak peduli
akan ketidaksetaraan nyata dan eksploitasi yang mungkin lestari dalam tiap bangsa,
bangsa itu sendiri dipahami sebagai kesetiakawanan yang mendalam dan arahnya
mendatar/horisontal. Dalam 2 (dua) dasawarsa terakhir, rasa persaudaraan inilah
yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, jangankan untuk
melenyapkan nyawa orang lain, mereka pun bersedia meregang nyawa sendiri demi
pembayangan terbatas seperti itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan
problema pokok yang dibawa nasionalisme : apa yang menjadikan pembayangan-
pembayangan yang kian menciut dalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua
abad saja) bisa menggugah pengorbanan kolosal seperti itu?. Dan menurut Anderson
bahwa permulaan jawabannya tergeletak di akar-akar budaya nasionalisme.
(Benedict Anderson, 1999 : 8 - 9)
Proses-proses penciptaan “komunitas-komunitas imajiner” atau bangsa-bangsa ini,
menurut Anderson, melewati teritorialisasi keyakinan - keyakinan keagamaan,
kemerosotan kerajaan-kerajaan kuno, hubungan timbal balik antara kapitalisme
dengan cetak-mencetak, perkembangan bahasa resmi negara yang diangkat dari
bahasa ibu/daerah tertentu, serta konsepsi-konsepsi tentang waktu yang berubah.
(Benedict Anderson, 1999 : xiii)
Sesungguhnya Anderson memandang bangsa atau nasion sebagai gejala yang
relatif modern sebagai konsekuensi modernisasi dunia barat di abad ke-20.
Anderson menjelaskan bahwa bangsa atau nasion itu sebagai masyarakat
manusia yang tinggal di wilayah yang jelas batas-batasnya dengan rasa keterikatan
horizontal yang
mendalam dengan budaya massa yang kurang lebih seragam, dan dengan semangat
yang kuat untuk menentukan nasib sendiri.
Tulisan Anderson bahwa bangsa atau nasion adalah hasil dari imajinasi
orang-orang yang membayangkan mereka berada dalam satu negara dan merasakan
perasaan nasib serta mitos tentang masa lampau bersama yang jaya, dalam konteks
ini juga perlu dilihat secara kritis. Imajinasi tentang bangsa atau nasion dalam konsep
Anderson tetaplah mengacu pada model bangsa-bangsa atau nasion-nasion yang
tersedia dalam pengalaman barat.
Dari narasi yang dikemukakan para ahli antropologi, sosiologi, dan budaya
tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya konsep Bangsa Indonesia Asli
merupakan suatu konsep yang sangat kompleks, dan bukan suatu konsep yang sudah
seluruhnya jelas ; Bahkan penelitian secara antropologi, sosiologi, dan kultural secara
tegas membuktikan bahwa bangsa Indonesia asli dapat dikatakan sebagai suatu
kelompok ras hasil dari percampuran antara ras dan/atau antar etnik yang sulit
dibuktikan atau bahkan perlu dipertanyakan apakah ada garis pemisah yang tegas
untuk memahami konsep Bangsa Indonesia Asli yang mampu menggambarkan
realitas dan mampu menjawab keaslian bangsa Indonesia. Kita maklum bahwa
negara bangsa adalah sebuah kreasi ; Konstruksinya tidak pernah usai, dan dalam
keserasiannya, state building dan nation building adalah selalu sebuah proses menjadi
bukan suatu keadaan yang statis (becoming instead of being). Meminjam pemikiran
Anderson bahwa bangsa bukanlah entitas yang tetap dengan asal usul yang pasti pada
peradaban kuno tertentu ; Ia adalah komunitas politik yang dibayangkan. Kebangsaan
dengan demikian tidak harus dikonsepsikan berdasarkan landasan kesamaan rasial,
dan atau antar etnik, ini argumen utama yang sepantasnya menjadi jawaban dan
realitas bangsa Indonesia. Dan Indonesia sebagai sebuah identitas sebenarnya bukan
sesuatu yang mati, tetapi memerlukan penafsiran yang terus menerus (Sardono W.
Kusumo, Kompas tanggal 13 Januari 2007, hal 13)
Dengan demikian Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang
suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari suatu kinship (kerabat)
yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan self-rule. Negara (state) adalah suatu
‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik yang tumbuh berdasarkan kontrak
sosial yang meletakkan individu kedalam kerangka kewarganegaraan (citizenship).
Dalam kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas politik (negara)
dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain bangsa
beroperasi atas prinsip kekariban. Sedangkan negara beroperasi atas prinsip hukum
dan keadilan. (Dr. Yudi Latif, 2004: 17)
Dari berbagai teori tentang bangsa dan kajian mengenai konsep Bangsa
Indonesia Asli tersebut diatas menunjukkan makna relatif tentang konsep bangsa, dan
tidak ada ukuran objektif untuk menentukan apa yang benar-benar dimaksud dengan
Bangsa Indonesia Asli. Seiring dengan tumbuhnya gerakan nasionalisme pada awal
abad 20. Gerakan tersebut bertujuan meniadakan kekuasaan penjajah Belanda dan
Jepang dengan keinginan kuat untuk membentuk Negara Indonesia sendiri sampai di
ujung perjuangan kemerdekaan Indonesia konsep kebangsaan Indonesia kembali
diperdebatkan dalam sidang BPUPKI dan PPKI yang bertugas merumuskan Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945);
Dalam sidang BPUPKI dibahas pula masalah orang asing dan statusnya nanti dalam
Negara Republik Indonesia (lihat pidato Liem Koen Hian dalam sidang BPUPKI
Jakarta tanggal 28 Mei, 22 Agustus 1945, Risalah Sidang BPUPKI, Jakarta
Sekretariat Negara RI, 1990, hal 166-172) dan pada akhirnya konsep kebangsaan
Indonesia dikukuhkan dalam konstitusi UUD 1945.
Anak kalimat itu memang hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
Namun wakil kelompok minoritas itu mengingatkan, pencantuman ketentuan begitu
dalam suatu dasar yang manjadi pokok undang-undang dasar, berarti juga melakukan
diskriminasi terhadap golongan minoritas jika “diskriminasi” itu, (naskah berisi anak
kalimat hasil perumusan Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945 yang kelak akan
lazim dikenal dengan nama Piagam Jakarta) akan ditetapkan juga (jadi Mukadimah
UUD 1945), maka kelompok minoritas, khususnya di kawasan Timur “terpaksa lebih
suka berdiri di luar” Republik Indonesia. (Muhammad Hatta, 1978 : 454 – 456)
Pada masa pembentukkan konstitusi UUD 1945 wadah kelahiran di tempat
penyebaran konsep, gagasan, dan ideologi “Bangsa Indonesia Asli” menjadi dasar
nasionalisme dan titik awal berkebangsaan konsep “Bangsa Indonesia Asli” untuk
mengatasi konsep Hindia Belanda dan Jepang.
Tetapi pencantuman kata asli itu juga didasari pertimbangan kedaruratan
situasi ketika itu. Demi menutup peluang, agar orang Jepang tidak bisa menjadi
Presiden Indonesia ; Badan yang bertugas menyusun undang-undang dasar, Dokuritu
Zyunbi Tyosa Kai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia– BPUPKI), meski 29 April 1945 sudah terbentuk, tapi baru bisa bersidang
28 Mei 1945 setelah diresmikan Pejabat Pemerintah Pendudukan Militer Jepang,
Saiko Sikikan Y. Nagano. Dan pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei, 30 Mei, dan 1
Juni 1945 disampaikan pidato Mr. Muhammad Yamin, DR. Supomo, dan Bung
Karno yang berisi rumusan-rumusan mengenai konsep kebangsaan Indonesia (Lihat
Muhammad Yamin, NASKAH PERSIAPAN UUD 1945, Jakarta, Yayasan
Prapantja, : 87-107, 109-121, dan 61-81), yang dalam perjalanan sejarahnya telah
diterima rumusan tentang konsep kebangsaan sebagai ideologi bangsa Indonesia dan
menjadi dasar negara kita yakni lima dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945.
Pada awalnya konsep Bangsa Indonesia Asli tertera pada konstitusi UUD
1945 dalam rangka menghadapi kedaruratan situasi ketika itu, sejak Negara Bangsa
ini terbentuk, para founding fathers sudah menyadari adanya persoalan yang tidak
sederhana ini dan mencari berbagai upaya untuk memecahkanya. Pada masa orde
lama antara lain sejarah mencatat Program Benteng 1951 dan PP 10 tahun 1959 yang
dimaksudkan untuk memecah persoalan polarisasi sosial Warga Negara asli dan
Warga Negara tidak asli (Pri dan Non Pri; fakta sejarah mencatat bahwa kedua
kebijaksanaan tersebut terbukti gagal dan efektivitasnya cenderung terbatas. Pada
masa tahun 1945 sampai berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan masa
pengembangan konsep kebangsaan. Dalam kurun waktu itu terjadi usaha-usaha untuk
menggantikan konsep kebangsaan itu dengan konsep atau ideologi lain, yaitu
munculnya pemberontakan yang bersifat politis ideologis dan separatis.
Kemudian lahir orde baru dengan tujuan untuk melaksanakan UUD 1945
secara murni dan konsekuen ternyata tidak berhasil, yang terjadi justru kebalikannya
yakni hukum berperan menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan status
quo; Selama orde baru, banyak praktik hukum yang tidak aspiratif dan tidak
demokratis, sebaliknya sebagai produk hukum orde baru telah memberangus hak-hak
warga negara yang diatur oleh UUD 1945 dan hukum internasional, contoh konkrit
sebagai ekspresi yang membawa implikasi praktek politik hukum yang diskriminatif
orde baru yaitu berusaha menggarap masalah Warga Negara Indonesia Tionghoa
secara serius, mendasar dan mendalam yaitu melalui politik hukum pembuatan
produk hukum yang berbentuk resolusi MPRS No. III/RES/MPRS/1966 tentang
Pembinaan Kesatuan Bangsa, seterusnya rezim orde baru yang berciri legalistik
dalam seluruh kebijaksanaan yang diambilnya selalu didasarkan pada format
perundangan seperti TAP MPR, UU, PP, Keppres, dan Instruksi Presiden dalam
melaksanakan proses konsep kebangsaan Indonesia. Untuk keperluan legalitas
tersebut, maka sejak periode awal, salah satu langkah untuk memecah persoalan etnik
Tionghoa pemerintahan orde baru telah mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet
No. 31/U/IN/12/1966 kepada Menteri Kehakiman RI untuk tidak menggunakan
penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan 163 IS dan Keppres
No. 24 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut Warga Negara
Indonesia keturunan asing. Dalam konteks mengupayakan kesatuan dan persatuan
bangsa Indonesia dianggap perlu untuk meniadakan semua praktik yang mengarah
pada pemilahan atau pengkotak-kotakan golongan penduduk kepada Warga Negara
Indonesia Tionghoa dimungkinkan untuk mengganti nama mereka dengan nama-
nama Indonesia sebagaimana ditentukan dalam keputusan Presidium Kabinet Nomor
127/4/Kep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966.
Pada orde baru proses produk hukum yang dimonopoli negara yang bersifat
diskriminatik kurang lebih 64 peraturan perundang-undangan bernuansa rasial dan
tidak demokratis, sebab telah menutup peluang bagi masyarakat dan Warga Negara
Indonesia Tionghoa untuk berpartisipasi, padahal produk hukum itu sendiri justru
untuk mengatur kepentingan mereka. Pada masa itu tercatat usaha untuk memecah
persoalan serupa dengan diterapkan kebijaksanaan asimilasi yang sesuai dengan
kehendak penguasa dan sistem asimilasi selalu dieksploitasi dan dijadikan komoditas
politik; termasuk berbagai kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang dalam
kenyataannya terbukti tidak efektif dan hasilnya juga terbatas, bahkan justru
berkembang semakin tajam konfigurasi pemilahan sosial Warga Negara asli dan
Warga Negara tidak asli (Pri – Non Pri). Oleh sebab itu ditinjau dari segi kehidupan
kebangsaan Indonesia pada masa orde baru, mendorong perkembangan politik
hukum diskriminatif dan tidak demokratis serta tidak sesuai dengan acuan yang
disepakati dan dipersembahkan oleh para founding fathers maupun Pancasila dan
UUD 1945. Selama periode orde baru dalam penyelenggaraan ketentuan konstitusi
sehari-hari, telah berkembang semacam politik diskriminatif yang diterapkan
pemerintah nasional pada kelompok warga negaranya? Secara resmi praktek politik
semacam itu cepat dibantah dengan aneka legitimasi dan justifikasi. Namun secara
nyata, pihak yang terkena baik kelompok minoritas maupun mayoritas, rasa
diperlakukan diskriminatif niscaya sulit dibantah. Apalagi jika diskriminasi itu
dilatari perbedaan asal, suku, agama atau kategorisasi lain.
Kalau dilihat dari sisi konstitusi seperti tersebut dalam Pasal 26 UUD 1945
(sebelum amandemen) menentukan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-
orang Bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara. Selanjutnya ditentukan bahwa syarat yang
mengenai kewarganegaraan negara ditetapkan dengan undang-undang.
Dari bunyi pasal tersebut belumlah dapat menentukan siapakah yang
dianggap menjadi Warga Negara Indonesia pada saat UUD 1945 disahkan oleh PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), pasal tersebut menghendaki pengaturan
lebih lanjut mengenai kewarganegaraan diatur dengan undang-undang, baru 9
(sembilan) bulan kemudian setelah kemerdekaan Republik Indonesia mulai terbentuk
undang-undang organik yaitu pada tanggal 10 April 1946 diumumkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara, Penduduk Negara yang
mengalami beberapa kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 6 dan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1947 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948.
Sedangkan dimaksud dengan orang-orang bangsa lain oleh Penjelasan UUD
1945 diberikan contoh misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan
peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai
tanah airnya, dan bersikap setia kepada wilayah negara Republik Indonesia, dapat
menjadi warga negara, secara yuridis merupakan syarat-syarat konstitusional yang
mutlak harus dipenuhi, sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (2) UUD 1945 (sebelum
amandemen) secara tegas menentukan syarat-syarat mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini menunjukkan secara konstitusional
bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warga
negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk menjadi warga negara harus
disahkan terlebih dahulu dengan Undang-undang.
Dengan demikian setiap orang, apapun rasnya, bangsa, atau suku bangsa
(etnis), warna kulit, rambut, keturunan, dan sebagainya, asal telah menjadi Warga
Negara Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia, mengaku Indonesia sebagai
tanah airnya, bersikap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
disahkan menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 1946 maka orang tersebut
adalah Warga Negara Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Hal ini mengandung makna bahwa konsep kebangsaan Indonesia tidak berdasarkan
konsep etnis serta tidak memandang hak dan kewajiban atas dasar perbedaan ciri-ciri
eksklusif dan diskriminatif. Konsepsi Nation atau bangsa seperti inilah sesungguhnya
dipersembahkan oleh para founding fathers kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Senafas dengan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia “Asli” juga kita
lihat pada Pasal 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 menegaskan
bahwa : “Warga Negara Indonesia ialah orang yang asli dalam negara Indonesia “
dan kemudian dalam huruf (b) ditentukan bahwa orang peranakan yang lahir dan
bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit 5 (lima) tahun paling akhir dan
berturut-turut serta berumur 21 (dua puluh satu) tahun juga adalah Warga Negara
Indonesia.
Dari perjalanan panjang perumusan konsep Bangsa Indonesia Asli tersebut,
landasan konstitusionalnya di dalam amandemen Pasal 26 UUD 1945 dirumuskan
kembali dengan nafas yang sama yaitu :
2). Penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan Orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia.
Oleh karena itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
diharapkan masyarakat Indonesia yang bersifat plural dan multikultur lebih terjamin
keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama dalam pengakuan akan
pluralisme kultural dan keterikatan etnik tertentu terhadap budaya dan komunitas
etniknya sendiri tidak lagi mengalami kesulitan menjadi Warga Negara Indonesia
sebagai identitas Bangsa Indonesia Asli sebagaimana dimaksud dari ketentuan Pasal
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi Warga
Negara Indonesia adalah orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.” Dalam
penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang Bangsa Indonesia
Asli adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Kemudian ketentuan pasal 4
menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia
dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya
tidak jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini oleh pembentuk Undang-
Undang dimaksudkan se dapat mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa
kewarganegaraan dan memberi perlindungan terhadap segenap Warga Negara
Indonesia.
Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang
lahir di wilayah Negara Republik Indonesia sekalipun status kewarganegaraan orang
tuanya tidak jelas wajib mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena
mereka adalah warga negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan asas
kelahirannya dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak
ada anak yang lahir menjadi apatride. Namun Undang-Undang Kewarganegaraan
yang baru menganut asas Ius soli secara terbatas, yang diberlakukan terbatas bagi
anak-anak dan anak-anak tersebut setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin harus
menggunakan hak opsinya yaitu anak-anak tersebut harus menentukan
kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 memberi penegasan mengenai hak opsi dalam hal penentuan
kewarganegaraan seseorang.
Hal ini berarti bahwa semua Warga Negara Indonesia dan/atau lahir di
Indonesia, tidak peduli etnis Tioghoa, Arab, India dan lain-lain. Semuanya dianggap
Warga Negara Indonesia asli. Konsekuensi yuridisnya semua Warga Negara
Indonesia keturunan yang sudah menikah dan mempunyai keturunan yang sudah
lahir di wilayah Negara Republik Indonesia demi hukum menjadi orang-orang
bangsa Indonesia asli karenanya secara yuridis tidak diperlukan lagi membuat Surat
Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) melainkan cukup
menunjukkan akta kelahiran saja.
Sejak era reformasi kita telah mengalami begitu banyak perubahan didalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang 1945 telah di amandemen dengan
memasukan semangat kesetaraan antara semua Warga Negara, tanpa membedakan
asal usul keturunanya. Seperti pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
diamandemen mensyaratkan seorang untuk menjadi Presiden haruslah “orang
Indonesia asli” setelah diamandemen perkataan itu dihapuskan dan diganti dengan
kata-kata “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang Warga Negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima Kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri. Dengan demikian siapa saja tanpa membedakan asli dan
bukan asli, sepanjang yang bersangkutan memenuhi rumusan ketentuan yang baru ini
dapat maju ke pencalonan Presiden (sambutan Presiden tanggal 4 Pebruari 2006 pada
perayaan Tahun Baru Imlek 2557).
Dan fakta sosiologis yuridis bahwa sebagian besar dari keturunan Tionghoa
Peranakan dan keturunan Tionghoa Totok telah ada dan lahir di Indonesia sejak
Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan mengakui Negara Republik Indonesia
sebagai tanah airnya, bahkan sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai
komunikasi sehari-hari, baik di dalam maupun di luar rumah, bertingkah laku seperti
pada umumnya keturunan Indonesia asli lainnya, dan orientasi budaya mereka pun
sudah menyatu kepada kebudayaan lokal tempat mereka berdomisili seperti kita
saksikan pada keturunan Tionghoa Benteng di kampung belakang Kamal, Kalideres,
Tangerang. Sebagian dari mereka belum sepenuhnya menerima hak-hak yang layak
selaku warga negara sekalipun secara legal telah memiliki kedudukan formal dan
payung hukum yang memberi jaminan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sudah semestinya Warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa Benteng dan Warga Negara Indonesia
keturunan lainnya secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia, tidak
diperlukan lagi melalui proses naturalisasi untuk dianggap sebagai Warga Negara
Indonesia asli.
Menurut Ariel Heryanto bahwa kaum pejuang Nasionalis Indonesia yang
awal, punya wawasan sama dengan tahun akademisi mutakhir yang mempelajari
sejarah dan politik berdirinya bangsa-bangsa di dunia. Menurut mereka, bangkitnya
“bangsa-negara” bukan sebuah peristiwa alam atau takdir Ilahi, melainkan sebuah
keputusan politik dan hukum yang sadar oleh sebagian kalangan terdidik, yang
kemudian didukung khalayak umum. Bangsa dan negara hanya ada karena diadakan
oleh sebuah proses dan birokrasi modern. Nasion dipahami sebagai sebuah proyek
besar yang didukung secara bebas dan sukarela oleh orang dari berbagai warna kulit,
jenis kelamin, atau keturunan, tapi bersepakat untuk menjadi sederajat.
Dalam pemahaman seperti itu tidak ada warga negara yang bisa “asli”, seperti
halnya tidak ada bangsa yang “asli”. Semuanya merupakan hasil “bikinan”, “rekaan”,
“rekayasa” yang cemerlang. Maka, status kewarganegaraan setiap orang bisa saja
bersifat sementara (bukan takdir yang mutlak dan fatal), bisa sewaktu-waktu dipilih,
ganda, diganti, atau diminta.
Baik secara material maupun historis, berbagai bangsa-negara di dunia selalu
mengandaikan percampuran, gado-gado, kemajemukan etnis, tradisi, agama, bahasa.
Juga Indonesia. (Ariel Heryanto : Majalah Tempo, tanggal 23 Juli 2006 : 34)
Secara historis konsep Bangsa Indonesia Asli dari perjalanan panjang
Konstitusi UUD 1945 (sebelum dan setelah di amandemmen), Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 sampai berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 semestinya dipahami sebagai konsekuensi
logis dari pluralitas kebangsaan kita dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Dengan
fakta pluralitas kebangsaan kita maka untuk memperoleh status kewarganegaraan
Indonesia sudah semestinya aparatur Negara harus mampu menegakkan prinsip-
prinsip supremasi hukum yang memahami pluralitas kebangsaan kita sehingga hak-
hak dan kewajiban politik tidak diikatkan kepada etnis/etnik/suku/ras, kepercayaan,
adat istiadat, agama dan kultural tertentu, melainkan kepada individu yang memiliki
kedudukan yang sama dihadapan hukum.
Perlu dicermati akan timbulnya persoalan baru dalam perspektif politik pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemberian otonomi yang luas kepada pemerintahan
daerah telah menimbulkan sejumlah persoalan politik hubungan Pemerintah pusat
dan daerah, antara lain dibeberapa daerah terus bergolak menuju peguatan basis etnik
yang diaktualisasikan dalam tuntutan penerapan demokrasi di semua sektor
kehidupan, berikut munculnya kekuatan egoisme daerah dan kesukuan serta
terjadinya konflik horisontal dan vertikal akibat praktik demokrasi pemilihan kepala
daerah. Apakah implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia pada tingkat daerah tidak tertutup kemungkinan terjadi
birokrasi pemerintahan mempergunakan hak-hak dan kekuasaan yang dipercayakan
dan diamanatkan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan digunakan sebagai alat
untuk memaksakan kemauan atas rakyat untuk kepentingan politik sendiri ataupun
kepentingan golongan, mengingat munculnya kekuatan egoisme daerah dan
kesukuan yang beragam kepentingan membuat potensi konflik maupun perlakuan
diskriminatif terhadap sesama warga negara, mengingat munculnya konflik
kedaerahan yang makin marak akhir-akhir ini disebabkan kurangnya pemahaman
wawasan kebangsaan sebagian besar masyarakat.
Parahnya lagi banyak tokoh masyarakat dan pemimpin yang tidak mencerminkan
sifat dan watak pemimpin yang nasionalis dan berwawasan kebangsaan Indonesia
melainkan lebih menonjolkan adanya keterikatan suatu kelompok etnik terhadap
nilai-nilai budaya dan komunitas etniknya sendiri. Dengan kata lain yang terjadi
adalah kenyataan bahwa kelompok-kelompok masyarakat dengan terus
mempertahankan identitas etnik masing-masing. Dengan demikian, hingga jarak
tertentu identitas sebagai Bangsa Indonesia justru lebih jelas dalam identitas kultural
kejawaan, kemakasaran, kebatakan, keacehan, keminangan, dan lain-lain
sebagainya.
Terdorong oleh derasnya arus kebebasan dan keterbukaan dewasa ini menyebabkan
mereka kurang peduli tehadap masyarakat lain sehingga muncul konflik-konflik
kedaerahan yang merebak dimana-mana terutama sejak era reformasi masyarakat
majemuk Indonesia tampak kesulitan untuk menerapkan integrasi kedalam “nation”
Indonesia sebagai akibat euforia politik. Harapan kita dalam perspektif yang lebih
luas, diperlukan usaha meningkatkan pendekatan kesatuan dan persatuan bangsa
merupakan usaha yang mendesak; sebab bila hal ini terabaikan, tidak tertutup
kemungkinan dapat terjadi sumber ancaman yang potensial dan sumber kerawanan
sosial kultural, rasial, ekonomi, dan politik yang bersifat disintegratif dan akan
mengganggu pemerintahan dan pembangunan nasional.
VI. PENUTUP
Ciri fisik maupun nilai-nilai primordial bukan merupakan dasar kesamaan dalam
ikatan kebangsaan Indonesia. Dan bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam
arti Bangsa Indonesia yang Pribumi. Bangsa Indonesia harus bangga akan kekayaan
asal usul etnik yang beragam. Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan sebuah
konsep yang terdiri dari keberagaman etnik, masing-masing etnis mengembangkan
sifat komunalisme secara otonom yang hidup berkembang dengan wajar dan alamiah
dalam bentuk-bentuknya yang spesifik. Masing-masing etnis kemudian terlibat pola
interaksi intensif dan menghasilkan tata pergaulan masyarakat beragam.
Dasar kesamaan yang menyatu padu menjadi satu bangsa justru terletak di
dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia bersifat multidimensional, sebab dalam
kebhinekaan masyarakat Indonesia yang mempunyai keanekaragaman lingkungan-
lingkungan tradisi, kebhinekaan agama, ras, suku bangsa (etnik), bahasa, dan
kebudayaan tersebut harus tetap berlangsung bersatu dalam keindonesiaan. Kodrat
bangsa Indonesia yang bhineka tidak dapat dielakkan. Dan kebhinekaan masyarakat
Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang harus didorong menjadi potensi
kebersamaan untuk kepentingan bersama membangun bangsa dengan rasa dan
wawasan kebangsaan yang tinggi, mengutamakan kepentingan umum (bangsa),
bukan kepentingan pribadi serta menghargai kebebasan dan kesamaan derajat bagi
setiap anggota masyarakat.