You are on page 1of 40

BANJAR DAN DERET

PENGERTIAN BANJAR DAN DERET

Pengertian Banjar

Banjar dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian bilangan yang disusun

secara teratur, mengikuti pola tertentu. Bilangan-bilangan yang menyusun suatu

banjar dinamakan “suku”.

Perhatikan dua buah rangkaian bilangan berikut ini:

1 1 1 1 1 1
(1) 1, , , , , ,
2 3 4 5 6 7

1 1 1 1 1 1
(2) 1, , , , , ,
7 8 2 5 3 4

Terlihat bahwa kedua rangkaian bilangan tersebut mempunyai unsur-unsur

yang sama, hanya urutan peletakan unsur-unsur itu tidak sama. Dalam kasus ini :

- Rangkaian bilangan (1) merupakan banjar; sebab ada suatu pola perubahan

tertentu antara suku-suku yang berurutan, yakni :

 Penyebut suku kedua = penyebut suku pertama +1

 Penyebut suku ketiga = penyebut suku kedua +1

 Penyebut suku keempat = penyebut suku ketiga +1

 Dan seterusnya

Sedangkan pembilangnya adalah sama, yakni 1.

- Rangkaian bilangan (2) “bukan” merupakan banjar; sebab tidak ada pola

perubahan tertentu antara unsur-unsur berurutannya.


Berdasarkan banyaknya suku yang terdapat pada sebuah banjar, dikenal

ada 2 jenis banjar, yaitu :

1. Banjar berhingga; banjar yang banyak sukunya berhingga.

Contoh : 1, 2, 4, 8, 16, 32

2. Banjar tak berhingga; banjar yang banyak sukunya tak berhingga.

Contoh : 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, …

Berdasarkan pola perubahan suku-suku berurutannya, dikenal ada 2 jenis

banjar, yaitu :

1. Banjar hitung; banjar yang pola perubahan antara suku-suku berurutannya

sesuai dengan pola penjumlahan / pengurangan.

Contoh : 1, 3, 5, 7, 9, 11

2. Banjar ukur; banjar yang pola perubahan suku-suku berurutannya sesuai

dengan pola perkalian / pembagian.

Contoh : 1, 3, 9, 27, 81, 243

Deret sebuah banjar dengan suku sebanyak n dilambangkan dengan D n dan

dinyatakan sebagai :

Dn = S1 + S2 + S3 + … Sn atau

n
Dn   S i
i 1

dengan :

D = deret

n = banyaknya suku

i = urutan suku, I = 1, 2, 3, …, n

S = suku
BANJAR HITUNG DAN DERET HITUNG

Banjar Hitung

Banjar hitung didefinisikan sebagai suatu banjar yang selisih antara dua

suku berurutannya sama besar. Berdasarkan definisi ini, suatu banjar

a1, a2, a3, …, an

Akan disebut banjar hitung apabila memenuhi syarat:

S2 – S1 = a2 – a1 =b

S3 – S2 = a3 – a2 =b

Sn – Sn-1 = an – an-1 =b

Dengan b (beda) merupakan suatu konstanta (≠0) yang nilainya dapat positif atau

negatif.

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti dibawah ini :

5, 10, 15, 20, 25

maka banjar tersebut merupakan banjar hitung, sebab :

S2 = S1 = 10 – 5 = 5

S3 – S2 = 15 – 10 = 5

S4 – S3 = 20 – 15 = 5

S5 – S4 = 25 – 20 = 5

Jika S1, S2, S3, …, Sn merupakan suatu banjar hitung, maka berlaku :

S2 = S1 + b = S1 + (2 – 1)b

S3 = S2 + b = S1 + b + b = S1 + 2b = S1 + (3 – 1)b

S4 = S3 + b = S1 + 2b + b = S1 + 3b = S1 + (4 – 1)b
Sn = Sn-1 + b = … = S1 + (n – 1)b

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam banjar hitung berlaku:

Sn = a + (n – 1)b

Dengan :

Sn = besarnya suku ke-n

a = besarnya suku pertama

n = nomor/urutan suku

b = beda (selisih) antara dua suku yang berurutan

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini :

1, 6, 11, 16, …

Maka besarnya suku ke-20 dari banjar di bawah ini:

S20 = 1 + (20 – 1)5

S20 = 1 + 95 = 96

Deret Hitung

Deret hitung merupakan jumlah dari seluruh suku banjar hitung. Jika S1,

S2, S3, …, Sn-1, Sn merupakan banjar hitung, maka deret dari banjar hitung tersebut

adalah :

Dn = S1 + S2 + S3 + … + Sn-1 + Sn
Pernyataan deret di atas dapat dinyatakan dalam bentuk :

Dn = a + (a + b) + (a + 2b) + … + )Sn –b) + Sn

Dn = Sn + (Sn – b) + … + (a + b) + a (+)

2Dn = n (a + Sn)

n
Dn = (a + Sn)
2

Jadi, kita memperoleh suatu formula untuk menghitung deret dari suatu banjar

hitung, yang dapat disajikan sebagai :

n
Dn = (a + Sn)
2

Dengan :

Dn = deret dari suatu banjar hitung

n = nomor / urutan suku

a = suku pertama banjar hitung

Sn = besarnya suku ke-n banjar hitung

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini:

50, 45, 40, 35, …

Maka banjar tersebut merupakan banjar hitung dengan :

A = 50 dan b = S2 – S1 = 45 – 50 = -5

Untuk menentukan besarnya suku ke-7 dapat digunakan formula :

Sn = a + (n – 1)b, untuk n = 7 diperoleh

S7 = 50 + (7 -1) (-5) = 20
Untuk menentukan deret 7 suku pertama dari banjar hitung tersebut dapat

digunakan formula:

n
Dn = (a + Sn)
2

7
D7 = (50  20)  245
2

BANJAR DAN DERET UKUR

Banjar Ukur

Banjar ukur didefinisikan sebagai suatu banjar yang perbandingan antara

dua suku berurutannya sama besar. Berdasarkan definisi ini, suatu banjar:

S1, S2, S3, …, Sn

Akan disebut banjar ukur apabila memenuhi syarat :

S2 S3 S
  n r
S1 S 2 S n 1

Dengan r (ratio) merupakan suatu konstanta (r ≠ 0 dan r ≠ 1) yang nilainya dapat

positif atau negatif.

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini:

5, 10, 20, 40, 80

Maka banjar tersebut merupakan banjar ukur, sebab :

S2 S3 S 4 S5
   2
S1 S 2 S 3 S 4
Jika S1, S2, S3, …, Sn-1, Sn merupakan suatu banjar ukur, maka :

S2 = S1 . r = S1 . r(2-1)

S3 = S2 . r = S1. r . r = S1 . r2 = S1 . r(3-1)

S4 = S3 . r = S1. r2 . r = S1 . r3 = S1 . r(4-1)

Sn = Sn-1 . r = S1 . r(n-1)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

Sn = besarnya suku ke-n

a = besarnya suku pertama

n = nomor/urutan suku

r = perbandingan (ratio) antara dua suku yang berurutan

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini:

1, 3, 9, 27, 81, …

Maka banjar tersebut merupakan banjar ukur dengan :

A = 1 dan r = 3

Besarnya suku ke-9 dari banjar ukur di atas adalah :

S9 = 1. 3(9-1) = 1 . 38 = 6561

Deret Ukur

Deret ukur merupakan jumlah dari suku-suku banjar ukur. Jika S 1, S2, S3,

…, Sn-1, Sn merupakan banjar ukur, maka deret dari banjar ukur tersebut adalah :

Dn = S1 + S2 + S3 + … + Sn-1 + Sn
Pernyataan Dn seperti di atas, dapat disajikan dalam bentuk:

Dn = a + a.r + a.r2 + … + a.rn-2 + a.rn-1

r. Dn = a.r + a.r2 + … + a.rn-2 + a.rn-1 + a.rn

(1 – r) Dn = a – a.rn

a  a.r n
Dn = 1 r

a (1  r n )
Dn =
1 r

Jadi, kita memperoleh suatu formula untuk menghitung deret dari suatu banjar

ukur, yang dapat disajikan sebagai :

a (1  r n )
Dn =
1 r

Dengan :

D = deret dari suatu banjar ukur

n = nomor/urutan suku

a = suku pertama

r = perbandingan (ratio) antara suku-suku yang berurutan

Contoh :

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini:

1, 2, 4, 8, 16, 32, …

maka jumlah 9 suku pertama atau deret 9 suku pertama dari banjar tersebut

adalah:
a (1  r n )
D9 =
1 r

a (1  2 9 )
D9 = = 511
1 2

Jika banjar ukur tersebut merupakan banjar ukur tak berhingga dengan

0 < r < 1, maka rn bernilai sangat kecil (mendekati 0), hal ini berarti :

a (1  0)
D = 1 r

a
D = 1 r

Contoh:

Jika kita mempunyai banjar seperti di bawah ini :

1 1
4, 2, 1, , ,…
2 4

Maka banjar tersebut merupakan banjar ukur tak berhingga dengan a = 4 dan

1
r=
2

Banjar ukur tersebut mempunyai deret sebesar:

1 1
D=4+2+1+ + +…
2 4

Yang dapat ditentukan besarnya dengan formula :

a
D = 1 r

4
D= 1 =8
1
2

BEBERAPA PEMAKAIAN BANJAR DAN DERET DALAM EKONOMI


Dua abad yang lampau, tepatnya pada tahun 1798, Malthus menyatakan

suatu pendapat bahwa : “Penduduk, bila tak terkendali, akan bertambah menurut

banjar ukur.

Terlepas dengan adanya pendapat yang pro dan kontra terhadap

pernyataan Malthus tersebut, berikut akan diberikan penjabaran secara matematis

tentang pernyataan tersebut.

Pernyataan Malthus di atas dapat diartikan sebagai berikut:

1) Perkembangan penduduk dari periode ke periode (secara diskontinu) adalah :

a, a.r. a.r2. a.r3, … atau

Sn = a.rn-1

dengan :

a = jumlah penduduk pada periode pertama;

r = perbandingan (ratio) jumlah penduduk antara dua periode yang

berurutan

n = periode (waktu)

Sn = jumlah penduduk pada periode ke-n

2) Perkembangan produksi pangan dari periode ke periode (secara diskontinu)

adalah :

a, a + b, a + 2b, a + 3b, … atau

Sn = a + (n – 1)b
dengan :

a = jumlah penduduk pada periode pertama;

b = beda (selisih) jumlah produksi pangan antara dua periode yang

berurutan

n = periode (waktu)

Sn = jumlah produksi pangan pada periode ke-n

Contoh :

Pabrik “Tahu Kuning” di Kediri pada bulan keempat memproduksi tahu sebanyak

20.000 buah, pada bulan kelima memproduksi sebanyak 22.500 buah, dan pada

bulan keenam memproduksi sebanyak 25.000 buah. Jika pabrik tahu tersebut

mempunyai pola produksi seperti pada ketiga bulan tersebut, maka kita dapat

menentukan jumlah produksi pabrik tersebut selama 1 tahun, dengan cara sebagai

berikut:

- Langkah pertama adalah menentukan pola perubahan produksinya

S4 = 20.000, S5 = 22.500, dan S6 = 25.000

S 6 25.000
  1,111
S 5 22.500

S 5 22.500
  1,125
S 4 20.000

S6 S5
Karena ≠ , jelas bahwa pola produksi pabrik tersebut “bukan”
S5 S4

merupakan banjar ukur.

S6 – S5 = 25.000 – 22.500 = 2.500

S5 S4 = 22.500 – 20.000 = 2.500


Karena S6 – S5 = S5 – S4 = 2.500, maka pola produksi pabrik tahu tersebut

sesuai dengan pola banjar hitung, dengan b = 2.500

- Langkah kedua adalah mencari tingkat produksi pada bulan pertama dan bulan

ke-12 (akhir tahun)

S5 = a + 5b   22.500 = a + 5 (2.500)

Diperoleh a = 22.500 – 12.500 = 10.000

S12 = a + 11b = 10.000 + 11 (2.500) = 37.500.

Jadi, tingkat produksi bulan pertamanya = 10.000 dan tingkat produksi bulan

keduabelasnya = 37.500.

- Langkah terakhir adalah menghitung jumlah produksi selama satu tahun (12

bulan), yang tidak lain merupakan deret dari banjar hitung dengan n = 12

tersebut.

D12 = 10.000 + 12.500 + 15.000 + … + 37.500

12
D12 = (10.000 + 37.500) = 6 (47.500) = 285.000
2

Jadi, produksi pabrik tahu tersebut selama 1 tahun – 285.000 buah

Perhitungan Hutang Piutang

Persoalan hutang piutang selalu berkaitan dengan tiga faktor, yaitu :

1. Pokok pinjaman (P)

2. Total pinjaman (S)

3. Bunga pinjaman (I)


Hubungan antara ketiga faktor tersebut secara umum dirumuskan sebagai :

S=P+I

Contoh :

Jika kita meminjam dengan pokok pinjaman sebesar Rp. 1.000.000,00 dan bunga

yang harus kita bayar atas pinjaman tersebut sebesar Rp. 100.000,00 maka total

pinjaman yang harus kita bayar adalah:

S = P+I

S = Rp. 1.000.000,00 + Rp. 100.000,00 = Rp. 1.100.000,00

Besarnya bunga pinjaman (I) dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :

1. Besarnya pokok pinjaman (P)

2. Besarnya tingkat bunga (i)

3. Periode pinjaman (t)

4. Sistem pembebanan bunga yang diberlakukan.

Secara umum, ada 2 sistem pembebanan bunga yang sering diberlakukan,

yaitu :

1. Sistem bunga tunggal

2. Sistem bunga majemuk

Ad. 1 Sistem Bunga Tunggal

Sistem bunga tunggal biasa diberlakukan untuk jenis pinjaman jangka

pendek. Dalam sistem ini, bunga hanya diperhitungkan atas pokok pinjaman saja.

Formula untuk menghitung besarnya bunga yang dibebankan dapat dinyatakan

sebagai :

I = P . i. t
Dengan demikian, total pinjaman yang harus dibayar oleh debitur adalah :

S = P+I

S = P + P . i. t

S = P (I + i.t)

Contoh :

Satya meminjam ke Koperasi Boss untuk menambah modal usahanya sebesar Rp.

5.000.000,00. Koperasi Boss memberlakukan sistem bunga tunggal dengan

tingkat bunga sebesar 20% per tahun. Dari pernyataan di atas, maka secara

matematis dapat disajikan bahwa P = 5.000.000 dan I = 20% /tahun = 0,2/tahun.

Jika sembilan bulan kemudian Satya ingin melunasi pinjamannya, maka :

(i) Besarnya bunga pinjaman

I = P . i. t

9
Dengan t = 9 bulan = tahun
12

9
I = 5.000.000 x 0,2 x = 750.000
12

Jadi, besarnya bunga pinjaman = Rp. 750.000,00

(ii) Jumlah yang harus dibayar

S=P+I

S = Rp. 5.000.000,00 + Rp. 750.000,00 = Rp. 5.750.000,00

Jadi, jumlah yang harus dibayar Satya untuk melunasi pinjamannya pada

awal bulan ke-10 (setelah meminjam selama sembilan bulan) adalah Rp.

5.750.000,00.
Ad. 2 Sistem Bunga Majemuk

Dalam sistem bunga majemuk ini bunga diperhitungkan selain atas dasar

pokok pinjaman juga atas dasar bunga yang dihasilkan pada setiap periode yang

sudah berjalan.

Sehingga besarnya pokok simpanan dan bunga yang akhir tahun pertama

adalah :

S1 = P + I

S1 = P + P . i = P (1 + i)

Jika Komang tidak melakukan pengambilan ataupun penambahan baru terhadap

simpanannya itu, maka bunga dan pokok simpanan pada akhir tahun pertama itu

dapat dipandang sebagai pokok simpanan baru pada awal tahun kedua. Sehingga

pada akhir tahun kedua, bunga yang dihasilkan oleh pokok simpanan itu adalah :

I2 = S 1 . i

I2 = P (1 + i) (i)

Jumlah simpanan keseluruhan (pokok + bunga) pada akhir tahun kedua menjadi:

S 2 = S 1 + I2

S2 = P (1 + i) + P (1 + i) (i)

S2 = P (1 + i) (1 + i) = P (1 + i)2

Dengan cara yang sama, maka jumlah uang keseluruhan pada :

- Akhir tahun ketiga = S3

S3 = P (1 + i)3

- Akhir tahun keempat = S4

S4 = P (1 + i)4
- Akhir tahun ke-t = St

St = P (1 + i)t

Dari ilustrasi di atas, tentunya dapat dipahami bahwa total

simpanan/pinjaman setelah t tahun dengan tingkat bunga i per tahun yang

didasarkan atas sistem bunga majemuk, yang timbul dari pokok simpanan /

pinjaman sebesar P dapat dinyatakan sebagai :

St = P (1 + i)t

Contoh:

Budi menyimpan uangnya pada sebuah koperasi simpan pinjam dengan sistem

bunga majemuk yang memberlakukan tingkat bunga 25% per tahun. Jika

besarnya uang yang disimpan Budi pada awal tahun pertama adalah Rp.

10.000.000,00 maka jumlah uang Budi pada akhir tahun kelima dapat dihitung

sebagai:

St = P (1 + i)t  S5 = P (1 + i)5

S5 = Rp. 10.000.000,00 (1 + 0,25)5

S5 = Rp. 10.000.000,00 (3,0516334375)

S5 = Rp. 30.516.334,00 (dibulatkan dalam rupiahan)

Jadi, jumlah simpanan Budi pada akhir tahun kelima adalah Rp. 30.516.334,00
Perhitungan Nilai Sekarang

Nilai sekarang (present value) lahir karena adanya “nilai waktu” dari suatu

uang. Ilustrasi yang dapat menjelaskan keberadaan “nilai waktu” dari suatu uang

dapat diberikan sebagai berikut:

- Pada saat ini Shinta menerima uang sebesar Rp. 10.000.000,00

- Tiga tahun lagi Mega menerima uang sebesar Rp. 10.000.000,00

Jika ditinjau dari nominal yang diterima oleh kedua orang tersebut, terlihat

bahwa keduanya menerima uang dengan nominal yang sama, yaitu Rp.

10.000.000,00 perbedaannya hanya terletak pada waktu penerimaannya.

Sekarang kita misalkan Shinta menyimpan uang yang baru diterimanya tersebut

ke sebuah bank dengan tingkat bunga majemuk sebesar 15% per tahun, maka

setelah 3 tahun (bertepatan dengan saat penerimaan uang Mega) uang Shinta

sudah menjadi sebesar :

S3 = Rp. 10.000.000,00 (1 + 0,15)3

S3 = Rp. 10.000.000,00 (1,520875) = Rp. 15.208.750,00

Jika pada saat Mega menerima uangnya (tiga tahun setelah Shinta

menyimpan uangnya) Shinta mengambil simpanannya di bank, maka :

- Mega menerima Rp. 10.000.000,00

- Shinta menerima Rp. 15.208.750,00

Dari uraian di atas, jelas bahwa sejumlah tertentu uang yang diterima pada

masa sekarang “lebih berarti” (mempunyai nilai real yang lebih tinggi) daripada

jika uang tersebut diterima pada masa yang akan datang.


Hubungan nilai sekarang dan nilai yang akan datang dari sejumlah tertentu

uang dapat ditunjukkan dengan formula:

Ft
P
(1  i ) t

dengan:

P = nilai sekarang

F = nilai yang akan datang

i = tingkat bunga bank per tahun

t = periode (tahun)

Contoh:

Jika kita diminta untuk memilih dua cara penerimaan uang sebagai berikut:

(1) Menerima uang sebesar Rp. 10.000.000,00 sekarang

(2) Menerima uang sebesar Rp. 12.000.000,00 dua tahun yang akan datang;

Maka untuk dapat melakukan pilihan secara rasional kita perlu membandingkan

nilai real atau nilai sekarang dari kedua penerimaan tersebut. Setelah itu kita pilih

yang memberikan nilai sekarang lebih tinggi.

Jika tingkat bunga yang berlaku sebesar 15% per tahun, maka:

Nilai sekarang dari penerimaan cara (1) = Rp. 10.000.000,00

Nilai sekarang dari penerimaan cara (2) dapat dicari dengan formula:

Ft
P
(1  i ) t

Rp.12.000.000,00
P = Rp. 9.073.724,00 (dibulatkan dalam rupiahan)
(1  0,15) t
Karena nilai sekarang penerimaan cara (1) lebih besar daripada nilai

sekarang penerimaan cara (2), maka sebaiknya kita memilih penerimaan dengan

cara (1), yakni menerima sekarang sejumlah Rp. 10.000.000,00.

SOAL DAN PENYELESAIAN

1
1. Suatu banjar mempunyai suku ketiga sebesar 1, suku keempat sebesar ,
3

1
dan suku kelima sebesar . Tentukanlah :
9

a. Jenis banjar tersebut!

b. Bentuk umum banjar tersebut!

c. Deret dari banjar tersebut!

Penyelesaian:

a. Untuk mengetahui jenis banjar tersebut maka kita perlu menguji:

- Apakah Sn – Sn-1 = konstan; jika ya, maka merupakan banjar hitung

- Apakah Sn : Sn-1 = konstan, jika ya, maka merupakan banyar ukur

1 1
S3 = 1, S4 = , dan S5 =
3 9

1 2
S4 – S3 = -1=-
3 3

1 1 2
S5 – S4 = - =-
9 3 9

Karena S4 – S3  S5 – S4 atau Sn – Sn-1  konstan maka banjar tersebut

bukan merupakan banjar hitung.


1
S4 1
3
S3 1 3

1
S5 1
9
S4 1 3
3

1
Karena S4 : S3 = S5 : S4 = atau Sn : Sn-1 = konstan maka banjar
3

tersebut merupakan banjar ukur.

b. Untuk mengetahui bentuk umum suatu suku banjar ukur, maka kita perlu

tahu :

- Suku pertama (a)

- Perbandingan (ratio) antara dua suku yang berurutan ( r )

Dari penyelesaian (a) telah diperoleh bahwa:

Sn 1
r = konstan n =
S n 1 3

1 2
S3 = a.r2  1 = a. ( )
3

1
 a= 1 =9
9

Bentuk umum banjar ukur tersebut adalah :

Sn = a . rn-1

1 n-1
Sn = 9 ( )
3

1 -2
Karena 9 = ( ) , maka
3
1 -2 1 n-1
Sn = ( ) ( )
3 3

1 n-3
Sn = ( )
3

Adapun suku-suku banjar tersebut dapat diurutkan sebagai :

1 n-3 1 1 1
Sn = ( ) = 9, 3, 1, , , ,…
3 3 9 27

c. Deret dari banjar ukur tersebut dapat ditulis sebagai :

1 1
Dn = 9, + 3 + 1 + + +…
3 9

Yang besarnya sama dengan :

a
Dn = 1  r

9
1
Dn = 1  1 = 13
2
3

2. Diketahui sebuah banjar berbentuk :

Log 3, log 6, log 12, log 24, log 48, …

a. Banjar apakah itu?

b. Berapakah suku kelimabelasnya?

c. Hitunglah deret kesepuluh suku pertama banjar tersebut!

Penyelesaian:

a. Banjar log 3, log 6, log 12, log 24, log 28, …

Dapat dinyatakan dalam bentuk:


Log 3, log 3 + log 2, log 3 + log 2 + log 2, log 3 + log 2 + log 2 + log 2,

log 3 + log 2 + log 2 + log 2 + log 2, … atau

Log 3, log 3 + log 2, log 3 + 2 log 2, log 3 + 3 log 2, log 3 + 4 log 2, …

Dari bentuk terakhir tersebut terlihat bahwa banjar tersebut merupakan

banjar hitung dengan :

a = log 3

b = log 3 + log 2 = log 3 = log 2

b. Bentuk umum suku-suku banjar hitung dapat dinyatakan sebagai :

Sn = a + (n – 1)b

S15 = log 3 + (15 – 1) log 2 = log 3 + 14 log 2

Dalam bentuk logaritma, suku ke-15 dari banjar tersebut adalah S15 = log

(3) (2)14 = log 49152

Dalam bentuk bilangan real, maka suku ke-15 dari banjar tersebut adalah:

S15 = log 3 + 14 log 2 = 0,4771 + 14 (0,3010) = 4,6911

c. S10 = log 3 + 9 log 2 = 0,4771 + 9 (0,3010) = 3,1861

S1 = a = log 3 = 0.4771

10
D10 = (0,4771 + 3,1861) = 5(3,6632) = 18,316
2

3. Perusahaan mainan anak-anak menghasilkan 5.000 unit mainan anak-anak

pada bulan pertama produksinya. Dalam 12 bulan produksi, perusahaan

tersebut selalu menargetkan terjadinya peningkatan produktivitas tenaga

kerjanya sehingga diperoleh kenaikan tingkat produksi sebesar 100

unit/bulan.
Tentukan :

a. Target produksi bulan ke-12

b. Target produksi untuk tahun yang bersangkutan

Penyelesaian:

Persoalan di atas dapat dipandang sebagai banjar hitung dengan a = 5.000

dan b = 100

a. Target produksi bulan ke-12 = S12

Sn = a + (n – 1)b

S12 = 5.000 + (12 – 1)100 = 6.100

Jadi, target produksi bulan ke-12 adalah 6.100 unit.

b. Target produksi untuk 1 tahun = D12

n
Dn = (a + Sn)
2

12
D12 = (5.000 + 6.100) = 66.600
2

Jadi, target produksi untuk tahun yang bersangkutan adalah 66.600 unit.

4. Dharmawan menyimpan uangnya pada sebuah bank sebesar Rp.

1.000.000,00 dengan bunga 1,5% per bulan. Hitunglah jumlah simpanan

Dharmawan pada akhir tahun pertama, jika:

a. Sistem bunga yang diberlakukan adalah bunga tunggal

b. Sistem bunga yang diberlakukan adalah bunga majemuk


Penyelesaian:

a. Sistem bunga tunggal

St = O (1 + i)t

Dengan :

P = Rp. 1.000.000,00

i = 1,5% per bulan = 0,015 per bulan

t = 1 tahun = 12 bulan

maka diperoleh:

S12 = Rp. 1.000.000,00 (1 + 0,015(12))

S12 = Rp. 1.180.000,00

Jadi, dengan sistem bunga tunggal, jumlah simpanan Dharmawan pada

akhir tahun pertama = Rp. 1.180.000,00

b. Sistem bunga majemuk

St = P (1 + i)t

Dengan P, i dan t seperti di atas, maka diperoleh :

S12 = Rp. 1.000.000,00 (1 + 0,015)12

S12 = Rp. 1.000.000,00 (1,19561817)

S12 = Rp. 1.195.618,00 (dibulatkan dalam rupiahan)

Jadi, dengan sistem bunga majemuk, jumlah simpanan Dharmawan pada

akhir tahun pertama = Rp. 1.195.618,00


DERET

Deret ialah rangkaian bilangan yang tersusun secara teratur dan memenuhi

kaidah-kaidah tertentu. Bilangan-bilangan yang merupakan unsur dan pembentuk

sebuah deret dinamakan suku. Keteraturan rangkaian bilangan yang membentuk

sebuah deret terlihat pada pola perubahan bilangan-bilangan tersebut dari satu

suku ke suku berikutnya.

Dilihat dari jumlah suku yang membentuknya, deret digolongkan atas

deret berhingga dan deret tak berhingga. Deret berhingga adalah deret yang

jumlah suku-sukunya tertentu, sedangkan deret tak berhingga adalah deret yang

jumlah suku-sukunya tidak terbatas. Sedangkan dilihat dari segi pola perubahan

bilangan pada suku-sukunya, deret bisa dibeda-bedakan menjadi deret hitung,

deret ukur dan deret harmoni.

Suatu deret yang terbatas mempunyai suku-suku yang banyaknya terbatas

dan dapat dispesifikasikan, sedangkan deret yang tidak terbatas mempunyai suku-

suku yang banyaknya tidak terbatas dan tidak dapat dispesifikasikan. Suku yang

umum, yaitu suku ke-n dari suatu deret menunjukkan aturan pembentukan suku-

suku.

1 1 1 1
1+ + + + merupakan deret terbatas. Suku yang umum
2 3 4 5

1
mempunyai bentuk . Akan tetapi, kalau diteruskan secara terus-menerus
n
1 1 1 1 1 1 1
(indefinitely) 1, , , , , , , , … merupakan suatu barisan tidak
2 3 4 5 6 7 8

1 1 1 1 1 1 1
terbatas (tidak terhingga) dan 1 + + + + + + + +…
2 3 4 5 6 7 8


1
n
n 1
merupakan suatu deret tidak terhingga masih dengan bentuk umum

1
.
n

Metode lainnya untuk menspesifikasikan suku-suku suatu barisan atau

deret ialah rumus pengulangan (recursion formula) yang memberikan suku ke (n

+1) sebagai suatu fungsi dari suku atau suku-suku sebelumnya.

Deret tidak terbatas sangat penting di dalam nilai-nilai dari banyak fungsi

dan dapat juga dipergunakan untuk mendefinisikan sejumlah fungsi yang berguna.

Ada dua persoalan yang umumnya berhubungan dengan deret tidak terbatas, yaitu

sebagai berikut:

1. Menentukan apakah deret tidak terbatas mempunyai limit

2. Menentukan nilai limit kalau memang ada.

Persoalan konvergensi dibahas sebelum penggunaan deret tidak terhingga

di dalam mewakili fungsi-fungsi dipertimbangkan. Pembentukan konvergensi

atau divergensi suatu deret relatif mudah kalau suatu ekspresi untk Sn dapat

diperoleh.

Pembentukan konvergensi atau divergensi akan menjadi lebih sukar kalau

suatu ekspresi untuk Sn tidak diketahui. Dalam hal semacam ini, tes atau uji

berikut dipergunakan.
1. Syarat yang diperlukan untuk konvergensi

Kalau suatu deret tidak terbatas  n konvergen, kemudian lim  n = 0.


n 
n 1

Artinya, kalau suku ke-n suatu deret tidak mendekati nol ketika n → ∞, deret

tersebut divergen. Perhatikan bahwa lim  n = 0 merupakan suatu syarat


n 

yang diperlukan, tetapi tidak cukup (not sufficient) untuk konvergensi.

2. Uji deret bertukar-tukar (alternating series test)

Suatu deret yang bertukar-tukar merupakan suatu deret yang suku-sukunya

bertukar atau berganti dari positif ke negatif, dari negatif ke positif. Suatu

deret yang demikian konvergen kalau lim  n = 0. dan setiap suku nilainya
n 

seara mutlak lebih kecil dari n → ∞ nilai suku yang mendahuluinya, yaitu

kalau

 n 1   n untuk semua n = 1, 2, …

Catatan :

Dapat ditunjukkan bahwa kesalahan (error) yang timbul akibat memecah

suatu deret bertukar-tukar yang konvergen pada setiap suku tidak melebihi

dalam nilai mutlak. Suku pertama yang dihilangkan (discarded), artinya kalau

1   2   3   4  ... merupakan deret bertukar-tukar yang konvergen,

kemudian untuk setiap k,



n  k 1
n  k , tanda mutlak
3. Konvergensi mutlak

Suatu deret dari beberapa suku yang positif dan beberapa suku yang negatif

dikatakan konvergen mutlak (absolute convergent) kalau deret dibentuk dari

suku-suku tersebut dengan membuat semua sukunya konvergen. Deret

konvergen lainnya dari beberapa suku yang positif dan negatif dikatakan

konvergen bersyarat (conditionally convergent). Kalau suatu deret dari

beberapa suku yang positif dan negatif konvergen mutlak, deret tersebut

konvergen bersyarat, tetapi sebaliknya tidak perlu benar.

4. Uji rasio-uji dari Cauchy (Cauchy’s test-ratio test)

Misalnya, 1 +  2 +  3 + … +  n + … merupakan suatu deret tidak

terhingga dengan suku-suku yang positif. Dengan menggunakan bentuk suku

umum yang berurutan  n dan  n 1 , bentuk test-ratio:

 n 1  n 1
dan misalkan   lim
n  
,  = Rho
n n

Kemudian kalau  < 1, deret konvergen

 > 1, deret divergen

 = 1, tes atau uji gagal

5. Uji perbandingan (comparison test)

Di dalam banyak kasus, dimungkinkan untuk menentukan apakah suatu deret

tertentu konvergen atau divergen dengan membandingkan setiap sukunya satu

per satu dengan sautu deret yang diketahui konvergen atau divergen. Suatu

deret dengan suku positif konvergen kalau setiap sukunya sama atau lebih
besar dari suku yang sesuai dari deret yang diketahui divergen. Deret ukur

yang dibahas di atas dan “deret-p” sering kali berguna di dalam penerapan

tes/uji perbandingan. Deret-p adalah sebagai berikut

1 1 1
1+ p + p + … + + ….
2 3 np

Deret ini konvergen kalau p > 1 dan divergen kalau p ≤ 1. Kalau p = 1, deret-

p merupakan deret harmonik.

Catatan :

Oleh karena konvergensi atau divergensi dari suatu deret tidak dipengaruhi

oleh omisi (menghilangkan) sejumlah suku-suku yang terbatas, tes

perbandingan mungkin diterapkan pada suku-suku  k ,  k 1 ,  k  2 , …

daripada terhadap suku-suku 1 ,  2 ,  3 , …

Contoh:

1. Tentukan konvergensi atau divergensi dari deret tidak terhingga!

1 3 5 7
 2  3  4 +….
2 2 2 2

Suku umum ke-n :

2n  1
 n  ( 1) n 1
2n

lim  n  0
n x

Dari  n 1  n untuk semua n, maka deret bertukar-tukar konvergen.


 2(n  1)  1 
 n 1  
  lim  lim 2 n 1 
n x  n x  2n  1 
n
 
 2n 

2n  1  2 1
= lim   lim     
n x 2( 2n  1) n x  4  2

1
   1 , maka deret konvergen mutlak.
2

2. Tentukan konvergensi atau divergensi dari deret tidak terhingga!

2 3 4 5
    ...
3 5 7 9

Suku umum ke-n:

n 1
 n  (1) n 1
2n  1

1
lim  n  ,
n x 2

Maka deret divergen.

3. Tentukan konvergensi atau divergensi dari deret tidak terhingga!

1 1 1
1    ...
3 5 7

lim  n  0
n x

Dan  n 1   n untuk semua n, maka deret bertukar-tukar

konvergen.
 1 
 
 n 1  2(n  1)  1 
  lim  lim 
n x n n x 1
 
 2n  1 

 ( 2n  1)1 / 2 
= lim   = -1
n 
 ( 2n  1)
1/ 2

 1 , maka uji rasio untuk konvergen mutlak gagal.

1 1
 ( )( p  series, p  1) , maka deret divergen sebagai
( 2n  1)1 / 2 n

deret positif. Jadi, deret bertukar-tukar konvergen bersyarat.

Soal-soal Latihan

1
1.  (1)
n 1
n 1

n2 1


n
2. n
n 1
2
1


n
3. n2
n 1


1
4.  1  ln n
n 1


1
5.  (1)
n 1
n 1

( 2n  1)
Deret Berpangkat

Suatu deret tidak terhingga berbentuk a0 + ax + a2x2 + …+ anxn + … =

a
n 0
n x n , dimana koefisien a , a , a , … bebas dari x, disebut deret berpangkat
0 1 2

(power series) dalam x. Lebih umum lagi, suatu deret tidak terhingga berbentuk

b0 + b1 (x-a) + b2 (x-a)2 + … + bn(x-a)n + … = b


n 0
n ( x  a ) n , dimana koefisien

b0, b1, b2, … bebas dari x, disebut deret berpangkat dalam (x-a).

Suatu deret berpangkat dalam x atau (x-a) mungkin konvergen untuk

semua nilai x atau hanya untuk x = 0 saja atau x = a; atau mungkin konvergen

untuk beberapa nilai x, tetapi divergen untuk lainnya. Kalau suatu deret

berpangkat konvergen untuk nilai-nilai x dalam interval –R < x < R. maka –R < x

< R merupakan interval konvergen dari deret berpangkat dan R merupakan radius

konvergensi. Interval konvergensi ditentukan oleh produser berikut: diturunkan

dari uji rasio-uji dari Cauchy.

 Deret berpangkat dalam x :

L=0 → deret konvergen untuk semua x


L≠0 → deret konvergen untuk interval
divergen di luar interval ini, titik akhir interval
a n 1
Kalau lim  L , maka konvergensi harus diteliti secara terpisah.
n  a
n
 Deret berpangkat dalam (x-a)

M=0 → deret konvergen untuk semua x


M≠0 → deret konvergen untuk interval
divergen di luar interval ini, titik akhir interval
bn 1 konvergensi harus diteliti secara terpisah.
Kalau lim  L , maka
n  bn

Contoh:

1. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!

1 + 2x + 3x2 + 4x3 + ….

Suku umum ke-n:

 n  nx n 1

n 1
L  lim  1 , maka interval konvergensi adalah -1 < x < 1 dan titik
n  n

akhir interval harus diuji.

Kalau x = -1, deret menjadi 1 – 2 + 3 – 4 + ….

 n  ( 1) n 1 n

lim  n  0 , maka deret divergen


n x

Kalau x = -1, deret menjadi 1 + 2 + 3 + 4 + ….

n  n

lim  n  0 , maka deret divergen


n x

Jadi, deret berpangkat aslinya konvergen untuk -1 < x < 1


2. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!

x x2 x3 x4
1     ....
2 (3)( 2 2 ) (5)(2 3 ) (7)( 2 4 )

Suku umum ke-n:

( 1) n 1 x n 1
n 
(2n  3)2 n 1

 (2n  3) 2 n 1   2n  3  1
L  lim    lim  
  2( n  1)  3 2  4n  2 
n
n 
 n  2

Maka, interval konvergensi -2 < x < 2 titik akhir interval harus diuji.

Kalau x = -2, deret adalah:

2 22 23 24
1     ....
2 (3)( 2 2 ) (5)(2 3 ) (7)(2 4 )

Atau

1 1 1
1+1+ + + + ….
3 5 7

1
n  (hilangkan suku pertama)
2n  1

lim  n  0
n 

1
 n 1 2( n  1)  1 2n  1
lim  lim  lim 1
n  n n 1 n   2n  1
2n  1

Maka uji rasio gagal.

2 1
n   (p-series, p = 1),
2n  1 2n

Maka deret divergen.

Catatan :
Mengalikan suatu deret dengan suatu konstan tidak mempengaruhi

konvergensi.

Kalau x = 2, deret adalah

2 22 23 24
1     ...,
2 (3)( 2 2 ) (5)( 2 3 ) (7)(2 4 )

Atau

1 1 1
11    ...
3 5 7

1
 n  ( 1) n (hilangkan suku pertam)
2n  1

lim  0
n 

 n 1   n , maka deret bertukar-tukar konvergen

Jadi, deret berpangkat yang asli konvergen untuk -2 < x < ≤ 2

3. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!

1 + x + 2!x2 + 3!x3 + …

Suku umum ke-n:

 n  ( n  1)! x n 1

n!
L  lim  lim  
n  ( 1)! n 

Jadi deret berpangkat konvergen hanya untuk x = 0, artinya deret divergen

untuk semua x  0.

4. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!


1 1 1
( x  1)  ( x  1) 2  ( x  1) 3  ( x  1) 4  ....
2 2 4

Suku umum ke-n:

( x  1) n
 n  (1) n 1
n

 n 
M  lim      1 , maka interval konvergensi adalah 0 < x < 2,
n 
 n  1 

titik akhir harus diuji.

1 1 1
Kalau x = 0, deret adalah -1 - - - - ….
2 3 4

1
n  
n

lim  n  0
n 

 n 1
lim 1 ,
n  n

Maka uji rasio gagal.

1
n  (p-series, p =1)
n

Maka deret divergen (p-series = deret)

1 1 1
Kalau x = 2, deret adalah 1 - + - + ….
2 3 4

1
 n  (1) n 1
n

lim  n  0 , maka deret bertukar.


n 

Jadi, deret berpangkat yang asli konvergen untuk 0 < x < 2.

5. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!


1 1 1
( x  1)  ( x  1) 2  ( x  1) 3  ( x  1) 4  ....
4 9 16

Suku umum ke-n:

( x  1) n
 n  (1) n 1

n2

 n2 
M  lim      1 , maka interval konvergensi adalah 0 < x <
 (n  1)
n  2

2, titik akhir harus diuji.

1 1 1
Kalau x = 0, deret adalah -1 - - - - ….
4 9 16

1
n  
n2

lim  n  0
n 

 n 1
lim  1 , maka uji rasio gagal.
n  n

1
n  (p-series, p =2)
n2

maka deret konvergen.

1 1 1
Kalau x = 2, deret adalah -1 - - - - ….
4 9 16

1
 n  (1) n 1 , maka deret konvergen mutlak.
n2

Jadi, deret berpangkat yang asli konvergen untuk 0  x  2.


6. Cari interval konvergensi untuk deret berpangkat!

3( x  2) 2 4( x  2) 3 5( x  2) 4
2( x  2)     ....
2! 3! 4!

Suku umum ke-1:

(n  1)( x  2) n
n 
n!

 n2 
 
 ( n  1)!  n2
M  lim  lim 0
n  n  1  n  ( n  1) 2
 
 n! 

Dalil Taylor

Untuk maksud teoretis atau komputasional, seringkali lebih mudah untuk

mewakili suatu fungsi x dengan suatu deret berpangkat, dalil Taylor (Taylor’s

theorem) memberikan deret berpangkat yang tepat untuk mewakili banyak fungsi.

Dalil Taylor: deret tidak terhingga


f k (a) xa ( x  a) 2 ( x  a ) n .1

k 0 k!
( x  a) k  f (a)  f ' (a)
1!
 f ' ' (a)
2!
 ...  f ( n .1)
(a)
(n  1)!
 Rn

Konvergen dan mewakili fungsi f(x) untuk nilai-nilai x untuk semua turunan f(x)

yang ada dan untuk Rn → 0 ketika n → ∞. Dalam hal ini, f(x) dikatakan diperluas

di dalam suatu deret Taylor untuk x = a. Untuk hal khusus, dimana a = 0,

perluasan (ekspansi) merupakan deret Maclaurin.

Rn disebut sisa setelah n suku (remainder after n terms) dan dapat ditunjukkan

bahwa

( x  a) n
Rn  f (n)
( ) , dimana a ≤  ≤x.
n!
Formula ini dapat dipergunakan untuk menentukan suatu batas bagi kesalahan

yang disebabkan karena hanya menggunakan n suku pertama dari deret kalau

max a ≤  ≤x Rn diperoleh.

Catatan :

Ada beberapa suku untuk deret Taylor yang konvergen untuk nilai-nilai x untuk

sisa (remainder) yang tidak mendekati nol ketika n → ∞, untuk nilai x yang

demikian itu, deret tidak mewakili fungsi. Akan tetapi, dalam banyak hal, interval

konvergensi dari deret sama seperti interval untuk Rn → ∞ ketika n → ∞, seperti

di dalam hal untuk contoh-contoh di sini. Suatu deret Taylor untuk x = a, berguna

untuk menghitung fungsi yang diwakilinya untuk nilai x dekat a. Sama halnya,

suatu deret Maclaurin berguna untuk menghitung fungsi yang diwakilinya untuk

nilai x dekat 0 (nol).

Suatu bukti dalil Taylor yang sangat mendalam tidak diberikan di dalam buku ini.

Hasil dapat dibuat masuk akal dengan menggunakan catatan teknis 3.

Perlu dicatat bahwa setiap fungsi yang dapat didefinisikan dapat diperluas dalam

suatu deret Taylor, suatu fungsi yang dapat didiferensiasikan hanya dapat suatu

jumlah yang terbatas dapat diperluas dalam suatu deret yang mempunyai sejumlah

suku yang terbatas; suatu fungsi yang dapat didiferensiasikan secara tidak terbatas

dan diperluas dalam suatu deret yang tidak terbatas. Akan tetapi, agar menjadi

valid di dalam representasi suatu fungsi, deret harus konvergen untuk nilai-nilai x

dalam range yang dikehendaki, sebagai tambahan, agar berguna untuk maksud
pembuatan perhitungan, deret harus konvergen cukup cepat, sehingga suatu

pendekatan yang cukup masuk akal dan teliti dapat diperoleh dengan

menggunakan sejumlah suku yang masih mudah diatur (manageable). Jadi,

sebelum menggunakan suatu perluasan deret Taylor untuk mewakili suatu fungsi,

sifat atau ciri konvergensinya harus diteliti.

You might also like