You are on page 1of 10

Di halaman ini disajikan terjemahan dari tulisan Ms.

Robin Tatu
dari Universitas Hawaii.

Babad Buleleng
I Gusti Putu Jelantik

Dalam Konteks Sejarah


Oleh Robin Tatu
Robin Tatu meraih gelar MA. dalam program Asian Studies
di University of Hawaii di kota Manoa dalam bulan Agustus 1999.
Sekarang sedang mengikuti program PhD dalam bidang Sejarah.

Naskah yang memuat "catatan sejarah" atau "garis silsilah keluarga" yang dikenal di
Bali sebagai babad masih tetap merupakan tantangan bagi cendekiawan Barat untuk
dimengerti dan diteliti kebenarannya. Pada mulanya ilmuwan Belanda telah meneliti
kebenaran naskah tersebut: H.J. de Graaf menyelusuri "kebenaran fakta" sedangkan
C.C. Berg berpendapat terdapatnya unsur magis dan nilai esoterik.[1] Terakhir, Peter
Worsley dan M.C. Ricklefs melihat bahwa babad adalah hasil karya sastra yang kurang
dalam bobot sejarah, [2] sedangkan Henk Schulte Nordholt memandangnya sebagai
sebuah dokumen politik untuk kepentingan identitas dan posisi suatu golongan
keluarga.[3] Raechelle Rubenstein dalam penemuannya menyimpulkan adanya unsur
ajaran agama dalam Babad Brahmana, sedangkan Helen Creese dan Heidi Hinzler
keduanya menganggap bahwa babad berfungsi untuk memuja leluhur. [4]
Perbedaan interpretasi yang sedemian lebar menjelaskan bahwa babad di Ball
merupakan tulisan yang sangat kompleks dalamn bentuk bait-bait sajak bersyair
mengandung bentuk dan kepentingan suatu riwayat tertentu, sastra dan agama. Para
peneliti ahkir-ahkir ini meyakini, bahwa untuk mengerti perihal isi babad, perlu
dipahami "pemikran lokal" yang melatar belakanginya dan bagaimana cara orang Bali
menampilkannya. Seperti pendapat Schulte Nordholt. `babad bukan apa-apa tanpa
tindakan nyata'- babad tidak seperti naskah cerita biasa, hanya akan bermakna bilamana
diucapkan (mantram) dalam upacara di pura, dinyanyikan dan dibahas (kakawin) di
kumpulan keluarga (shanti), ataupun dipetik menjadi lakon sendratari dan Topeng [S].
Dalam makalah ini saya menemukan bentuk politik dalam babad dan teristimewa bila
mengingat situasi tahun1920 yang medorong penulisan Babad Buleleng. Studi saya ini
diilhami oleh karya Schulte Nordholt yang mengkaitkan babad yang mulai digarap
pada awal abad ke 20 ini dengan konteks historis dan politik. Namun bila Schulte
Nordholt menunjukkan bahwa penulisan babad telah mengalami perubahan dibawah
pengaruh kolonial Belanda malahan saya berpendapat lain, bahwa Babad Buleleng
tidak terlepas dari tradisi babad. Walaupun Babad Buleleng juga dirancang untuk
mencapai manfaat baru dalam kekuasaan pemerintahan Belanda, namun tetap dalam
tata bahasa sebagaimana tradisi penyuratan babad, melebar hingga menyentuh politik
dan sosial kemasyarakatan dan agama di Bali. Kelanjutan sebuah tradisi dijelaskan
Babad Buleleng perihal babad itu sendiri dan pandangan orang Bali terhadap sejarah.
Sedikit sekali didapat bukti yang bisa mengungkap masa lalu Bali, namun Babad
Buleleng mungkin mengandung beberapa petunjuk untuk itu.

Manuscript Paracasti Buleleng sedang dalam proses pasang aksara Bali,


yang kemudian dikenal dengan Babad Buleleng
Babad Buleleng sebagai Karya Sastra.
Ketika Peter Worsley melakukan penelitian dan terjemahan Babad Buleleng pada tahun
1972 beliau berpendapat bahwa dari beberapa kumpulan karya sastra yang telah ada
sangat berpengaruh dalam merancang naskah Babad Buleleng. Yang mestinya berisi
kumpulan kejadian sejarah malahan sang penyusun Babad Buleleng dengan gigihnya
melukiskan tokoh-tokoh keluarga raja Buleleng yang mencerminkan secara klasik
kekerabatan keluarga kerajaan sebagaimana
terdapat di cerita Ramayana dan Mahabharata. Tambahan lagi, cara penyuratannya
sama persis dengan bait-bait kakawin berbahasa Jawa kuno bercampur menengah
dengan bentuk sajak yang ketat Analisa Worsley membentuk pandangan baru dalam
melihat babad, memperlihatkan perpaduan karya sastra yang dianggap sama penting
dengan kandungan informasi dalam babad dan beliau (Worsley) pantas mendapat
perhargaan telah menempatkan Babad Buleleng dalam bentuk yang utuh, tidak sekedar
meraba dalam mencari "kebenaran fakta”. A. Teeuw menulis bahwa Worsley
menunjukkan "semua bagian adalah tulisan sejarah".
Kita akan bisa mengerti dengan cara menaruhnya pada tempatnya... secara
bebas".[6] Namun bila Worsley menonjolkan bentuk sastranya, malahan dia
akan mengurangi makna sejarahnya dan menganggapnya babad tersebut ditulis
"dalam kaitannya dengan budaya, secara ihmiah merupakan non sejarah
(ahistorical).[7) Pernyataan seperti itu memang kurang layak namun beberapa
peneliti mendukung pendapat bahwa memang kehidupan orang Bali `tanpa
sejarah', hal mana ditangkis oleh Mark Hobart: Mengabaikan cara pemahaman
orang Bali terhadap sejarah adalah akibat tidak tahunya bagaimana masa lalu itu
ditampilkan.... [8] Pada hakekatnya orang Bali sangat perduli dalam
mengemukakan masa lalu dan melihat bentuk babad adalah catatan masa
lampau. Meski Worsley memberi kita pengertian babad dalam segi sastra, dia
tetap berusaha di sana sini mencari kejelasan dan menyesuaikan bagian-bagian
untuk pengertian orang Barat. Sedangkan Creese menunjuk dalam tulisannya,
orang Bali tidak akan berhasil memisahkan `sejarah' dengan `sastra' bila tidak
ada kejelasan dasar yang membedakannya. [9].

Babad Buleleng dalam Konteks.


Sejak Worsley mulai dengan terjemahannya, para cendekiawan menjadi makin sadar
bahwa babad perlu dipahami dalam lingkup masyarakatnya, terutama karena bentuk
naskahnya mempunyai makna sesuai kegunaannya - sebagai alat untuk mengenang
leluhur dan para pengikutnya, atau dalam hal Babad Buleleng, sebagai alat tawaran
politik. Dalam penelitiannya, Schulte Nordholt secara khusus mengungkapkan bahwa
penulisan ini dilakukan tahun 1920 dengan tujuan untuk mengangkat I Gusti Putu
Jelantik sebagai penguasa wilayah Buleleng. Pengajuan ini sejalan dengan waktu
manakala pemerintah kolonial Belanda mulai menata kembali tradisi kerajaan di
masing-masing wilayah penguasa di pulau Bali, sedangkan I Gusti Putu Jelantik adalah
seorang dari tiga calon di Buleleng dan beliau kurang diterima oleh orang Bali. Salah
satu kemampuan beliau adalah menciptakan kredibilitas secara tradisi (traditional
credibility) dan melalui babad ini akhirnya beliau bisa memenangkan
pengangkatannya.
Dengan mengabaikan masalah kesejarahan dalam naskah Babad Buleleng dalam
terjemahannya tahun 1972, Worsley mengabaikan halha1 yang berpengaruh penting.
"Babad bukanlah ditulis untuk disajikan kepada kepustakaan Barat untuk dipelajari
oleh pakar sastra" demikian tulis Schulte Nordholt. Melainkan babad "didasari
dunia sosi politik dan mestilah ditelaah - sebisanya - sesuai pesan
dikandungnya.
Babad Dalam Politik Tradisional.
Dari banyak segi, I Gusti Putu Jelantik memperkenalkan Babad Buleleng yang sarat
dengan tradisi Bali kepada pemerintah Belanda bertujuan untuk disahkan dirinya
sebagai penguasa. Tiga buah naskah tedahulu Babad Dalem, Usana Bali dan Usana
Jawi, semua mengukuhka garis keturunan para bangsawan Bali masing-masing secara
khusus, ditarik dari asal usul kawitan para penguasa dinasti Majapahit di Jawa yang
menaklukkan Bali di abad 14. Pada bagian pembukaan ketiga naskah tersebut
memaparkan waktu mulai berkembangnya kebudayaan dan agama di Bali, dilanjutkan
dengan bagian berikutnya yang padat dengan silsilah keluarga. Naskah pertama (Babad
Dalem) sepertinya sudah pernah muncul pada awal abad ke 18, dilanjutkan dengan
pergeseran kekuatan politik dari kejayaan dinasti Gelgel sebagai pusat kerajaan ke
Klungkung sebagai kerajaan baru di sekitar 1687.(11] Tetapi ketiga naskah itu
menguraikan tentang kejadian pada abad ke 14 jadi telah melewati waktu 400 tahun,
hingga menimbulkan tanya apakah secara historis bisa dipercaya: Creese menyinggung
misalnya, bahwa perhitungan secara historis sangat kurang, lebih banyak menunjukkan
‘sejarah perkembangan wilayah’.(12) Bagaimanapun, wibawa kekuasaan Gelgel tidak
terbantahkan sejak abad 14 sampai 17 sebagaimana ditulis dalam Babad Dalem sebagai
dokumen resmi kerajaan Kelungkung, yang sepertinya lebih mengulas kejayaan masa
lampau yang imajiner ketimbang kenyataan sebenarnya. Bilamana ini diangkat maka
akan bisa dikenang kembali kejayaannya melalui Babad Dalem. Babad itu membantu
mengangkat Kelungkung sebagai keturunan baik asal Gelgel dan Majapahit dan
mengukuhkan Kelungkung tetap dalam posisinya sebagai pusatnya seluruh kerajaan di
Bali. Walaupun muncul banyak penguasa wilayah, namun kerajaan Kelungkung yang
kecil itu tetap bertahan teguh sampai dikuasainya oleh Belanda tahun 1908. Ini adalah
berkat telah diterimanya Babad Dalem oleh masyarakat secara luas sejak dulu yang
melukiskan bahwa Kelungkung adalah keturunan langsung dari kerajaan yang
berpusat di Majapahit yang sangat berkuasa dan disegani.
Bila kemudian muncul penguasa atau bangsawan lain yang bermaksud untuk
mengesahkan kekuasaannya, dipastikan mereka akan mencari asal usul di Majapahit,
kebanyakan menyatakan diri sebagai keturunan dari Kelungkung dan Gelgel dan
diusahakan dengan cara menyusun babad agar terkait dengan Babad Dalem di
Kelungkung. Kerajaan seperti Badung dan Tabanan yang gagal mencari kaitan dengan
Kelungkung mengalih ke Usana Bali dan Usana Jawi dan bertarung di sana. Dalam
setiap penulisan suatu babad heberapa bagiannya selalu mengacu ke pada salah satu
dari tiga babad tersebut diatas sebagai sumber dan menjalinnya menjadi satu kesatuan,
babad yang lebih tua mengesahkan tujuan babad yang baru dibuat. Worsley mencatat,
contohnya Babad Buleleng yang mengambil bagian-bagian tertentu dari Babad
Blahbatuh yang lebih tua, demikian juga diambil dari Kidung Pamancangah versi
kidung dari Babad Dalem. [13]. Seberapa pentingnya ungkapan dalam teks sedemikian
juga dengan tata bahasanya haruslah disesuaikan dengan tradisi penulisan babad,
terkait dengan budaya dan agama di Bali. Hinzler mencatat, contohnya, bahwa bilangan
ke tujuh dianggap sangat penting dalam sistem babad, sehingga naskah diatur yang
akhirnya mengurut pada pilihan keturunan tertentu, sehingga bisa menghilangkan
nenek-moyang yang kurang penting atau mencampurkannya menjadi satu atau dua
generasi atau lebih. [14]. Yang penting lainnya dalam penulisan babad, adalah uraian
mengenai keris pusaka dan bagawanta yang sangat membantu untuk mengukuhkan
pewarisan dan selanjutnya sebagai faktor untuk mendukung mengesahkan takhta
kekuasaan. Pertarungan beberapa kerajaan baru pada pertengahan abad ke 18 masing-
masing dipacu untuk menulis komposisi babad kerajaan yang berlanjut dengan
pergeseran ke arah politik sebagaimana terjadi padu akhir abad ke 19 sebagai lonjakan
baru penulisan babad.
Hadirnya kekuasaan Belanda di Bali membuat kerajaan yang kalah perang menjadi
ketakutan, beberapa di antaranya dengan cara menulis babad baru atau merevisi yang
sudah ada. Sebenarnya waktu dahulu pada jaman sebelum Belanda, babad mempunyai
peran yang penting untuk mengukuhkan wilayah kerajaan.
Dengan memiliki koleksi naskah lontar kerajaan menguatkan status puri
kerajaan, dan selama abad ke 18, semua kerajaan di Bali berfungsi sebagai pusat
pelbagai kegiatan sastra. Waktu itu untuk menafsirkan babad sekedar dari sudut
politik hanya mendapat peluang sempit. Sebagai barang pusaka, babad dianggap
bisa melindungi penguasaan wilayah kerajaan; dikaitkan dengan masa lalu yang
diayomi oleh roh para leluhur; dan sebagai pusaka tertulis (lontar) babad yang
mengandung kesaktian Saraswati, dewi seni dan sastra. Dengan demikian babad
dihormati bersama dengan benda-benda pusaka lain disimpan dalam gedong di
pamerajan atau pura. Tidak dibedakan akan isinya, apakah karya sastra, sejarah
ataukah perihal nyata dan dongeng; kekuatan leluhur mengukuhkan posisi
politik. Komentar Schulte Nordholt, “pura dan lontar saling mengukuhkan".
[15].
Sebenarnya Babad Buleleng muncul di luar kebiasaan. Babad Buleleng sepertinya
memperlihatkan terjadinya pergeseran dari kebiasaan babad karena direka untuk tujuan
di luar tradisi Bali karena tidak ada pengukuhan kembali dalam sistem tatanan
hubungan keluarga kerajaan melainkan hanyalah berbentuk permohonan. Tetapi seperti
kita lihat dalam Babad Buleleng tradisi lama dan baru tidak jelas sehingga tidak mudah
dikupas.
Pengukuhan kembali Kerajaan Bali [16].
Melalui berapa pertimbangan akhiniya pada tahun 1929 didilaksanakan di Bali
penobatan penguasa sebagai `volkhoofd' atau penguasa pribumi dan masing-
masing kerajaan lama sebagai `negara'. Langkah ini diambil mengingat akibat
gempa bumi tahun 1917 yang berdampak luas, penyakit influenza mengambil
korban 22000 orang dan suasana kacau yang memerlukan pemerintah lokal
yang lebih effektif. Menurut Geoffrey Robinson, gerakan untuk mengangkat
status penguasa yang berlanjut dari 1930 sampai dengan mengukuhan kembali
gelar kebangsawanan berpuncak pada tahun 1938 dengan disahkan
`zelfbestuurder' atau pemerintahan sendiri bersumber dari maksud Belanda
untuk menjaga Bali dari pengaruh modernisasi yang ditakuti dan juga pengaruh
Islam dan nasionalisme. Hal ini dirasakan bahwa dengan kebijakan
meneruskan `Bali dengan budayanya' (ajeg Bali?-red) diharapkan dapat
menegakkan kembali simbol lama dan sistim struktur kerajaan Bali Hindu.
Sudah sejak lama pemerintah Belanda bermaksud membentuk aturan kebijakan
untuk lebih mendukung `orang daerah asli ketimbang memilih bangsawan `dari
kerajaan asing' yang ada.[17]
Dari mulainya kekuasaan Belanda di Buleleng dari tahun 1855 sampai puputan
Kelungkung di tahun 1908, kerajaan di Bali secara sistematis telah dilucuti dan
kekuasannya dilumpuhkan, keluarga raja di hukum buang keluar daerah dan
wilayahnya disita. Disamping itu Belanda berupaya memilih mereka dari
kelahiran bangsawan, walaupun mungkin sudah dicampakkan dari peran tradisi,
namun kenyataannya banyak diantaranya yang mendapat kedudukan sebagai
punggawa, yang dari posisi itu punya kesempatan untuk mengambil hati pihak
penguasa kolonial. Ada juga yang tidak menyadari sehingga tidak punya
hubungam apapun dengan Belanda.
Syukur Bali tidak terkontaminasi oleh provokasi jahat dari pengaruh luar. Bila saja
pemerintah (Belanda) memberikan kekuasaan penuh kepada `negara' maka menurut
pendapat saya, pengaruh jelek akan lebih sulit menjangkau Bali.[ 18]

Negotiator: I Gusti Putu Jelantik.


I Gusti Putu Jelantik terlihat sudah sangat cekatan dalam pergaulan dengan orang
Belanda, dan menurut Schulte Nordholt, sedangkan beliau kurang dipercaya oleh
orang-orang Bali lainnya karena kerjasamanya dengan pemerintah kolonial. Dengan
kapasitas sebagai penerjemah, I Gusti Putu Jelantik mendampingi tentara Belanda
dalam operasi terhadap Badung, Tabanan dan Kelungkung, ikut dalam penyitaan harta
dan perpustakaan (lontar) kerajaan [19]. Dengan menguasai berbagai manuskrip dan
sejumlah naskah kerajaan termasuk dari puri Cakranegara dan puri Mataram Lombok, I
Gusti Putu Jelantik mendapat banyak manfaat sehingga secara akumulatif memiliki
koleksi lontar yang lumayan banyak. Memang I Gusti Putu Jelantik sangat manguasai
bidang sastra utamanya kakawin. Selama hidupnya beliau menyusun tulisan dan
mendapat hak menyalin lontar, seperti hikayat Arjuna [20] dalam epos Mahabaratha.
Kemudian beliau ikut mendukung keberadaan Kirtya Lieffinck-Van der Tuuk di
Singaraja dan kemudian diangkat menjadi kurator pertama. Dan juga beliau orang Bali
pertama yang mengusulkan untuk membuat duplikat lontar dan dipustakakan di
Gedong Kirtya. Sepertinya dengan cara itu beliau akan mendapat penilaian politik
bahwa pemilikan lontar berasal dari perbagai kerajaan bukanlah merupakan tindakan
keliru. Margaret Wiener menulis bahwa kesan di Kelungkung sekarang adalah bahwa I
Gusti Putu Jelantik dikaitkan dengan hilangnya babad kerajaan Kelungkung
berhubungan dengan tidak ditemukannya dalam koleksi resmi di Belanda, walaupun
memang masih ada beberapa yang ditemukan di kalangan masyarakat umum.[21]
Bilamana, dengan pemilikan kumpulan pelbagai koleksi lontar merupakan syarat untuk
mengesahkan otoritas kerajaan, maka ketiadaan koleksi lontar tentunya mempunyai
akibat sebaliknya. Jadi bilamana I Gusti Putu Jelantik mendapatkan kekuasaan `nyata'
dari pemerintah Belanda maka dengan memiliki berbagai lontar babad milik kerajaan
Bali itu, secara tradisi tetap sangat berguna bagi beliau. Banyak hal yang bisa
disimpulkan dari perhitungan I Gusti Putu Jelantik, bahwa sah sah saja mengambil
babad kerajaan lain untuk dimiliki, apalagi waktu itu pihak Belanda belum tertarik pada
bidang tersebut. R.H. Friederich menyayangkan pihak Belanda dengan hilangnya
Babad Dalem sebagai `sesuatu yang ringan perihal raja dan bagawanta' dan
menganggap hal sepele dari masa lampau. [22] Namun sebaliknya, I Gusti Putu
Jelantik sangat memahami pentingnya rontal kerajaan Bali dan berusaha memegang
warisan pustaka itu.
Babad Buleleng sebagai Alat Politik.
Menjadi jelas bahwa Babad Buleleng diarahkan kepada keinginan Belanda dengan
beberapa bagian yang menarik. Sesuai dengan tujuan penulisan babad dengan seksama
dan meyakinkan menguraikan perihal garis-garis keturunan dari leluhur Buleleng yang
mula-mula. Menurut Schulte Nordholt, kebanyakan `babad kolonial' ditulis sedemikian
mengarah ke keturunan langsung tanpa patahan, sedangkan masalah dalam naskah
babad terdahulu tidaklah sedemikian penting. Babad Buleleng yang dibuat I Gusti Putu
Jelantik juga mengangkat kebesaran, kerajaan Buleleng masa dahulu. Beberapa dasa
warsa setelah kekuasaan Belanda dan hampir seratus tahun pengekangan politik,
sangat jelas telah terjadi proses melemahnya pusat kerajaan Buleleng antara lain
dengan diberlakukannya `hukuman mati, hukuman buang dan penyitaan'.[23]. Dalam
kesuraman masa depan kerajaan Buleleng yang berlarut larut Babad Buleleng
dimunculkan dengan kibaran bendera kejayaan masa silam, terutauna penonjolan
pralangit (apical ancestor) Ida Batara Ki Gusti Anglurah Panji Sakti, yang riwayatnya
diuraikan lebih dari setengah isi babad. Bukan saja disebut bahwa Panji Sakti berasal
dari dinasti Majapahit di Jawa melalui dua garis keturunan, beliau juga ditunjuk oleh
para Dewata sehingga pemerintahannya penuh kedamaian, ketentraman dan
kemakmuran. Hanya - setelah masuknya kekuasaan Karangasem, lewat beberapa
generasi setelah wafatnya Panji Sakti, perobahan drastis terjadi: raja yang tamak,
gamia-gamana dan keangkara murkaan, dan penyingkiran bangasawan keluar wilayah
puri.
Dalam menggambarkan `kejayaan masa lampau', I Gusti Putu Jelantik rupanya
mendapat pengaruh dari naskah Nagarakrtagama sebuah naskah yang ditemukan
Belanda menyusul suksesnya penemuan sejarah tanah Jawa. Sebagai penerjemah,
beliau sempat menuntun J.L. Brandes dalam beberapa terjemahan pada tahun 1902.
Waktu itulah I Gusti Putu Jelantik menyaksikan betapa terpesonanya orang-orang
Belanda terhadap sastra Jawa kuno dan karenanya beliau mendapat dukungan penuh
untuk mewujudkan `Bali yang berbudaya' melalui kebijakan `Balinisasi' dari
pemerintah. Sepertinya beliau dalam menuliskan babad Buleleng sudah mempunyai
tujuan sedemikian itu, dan menggambarkan kerajaan Buleleng dengan Panji Sakti
adalah negara, ditulis sebagai: `Pira kunang lawasikang kala, pandirinira sri Panji
.Sakti, jenek pwa sirastaneng pura di Sukasadda, wreddi santana bawuputra, tan ana
wanya langgana ri pandirinira sri naranata '[24] Selain itu dalam Babad Buleleng
dipergunakan syair yang disesuaikan dengan komposisi tradisi babad. Dengan versi
kakawin yang telah teruji ketepatannya dan penggunaan bahasa Jawa kuna dan madya
sangatlah rnengesankan dan mengingatkan pada literatur tradisi Jawa. Babad Buleleng
juga membentuk jati dirinya yang bermotif sastra dan dengan indahnya menjalin tokoh-
tokoh klasik dari Mahabharata dan Ramayana. Sudah bisa dipastikan, penulisan yang
sedemikian itu tidak akan gagal untuk menarik perhatian pemerintah Belanda dan
meyakinkan akan kerajaan Buleleng dan warisan I Gusti Putu Jelantik.
Dari sisi lain, Babad Buleleng rnenyanjung kehadiran kekuasaan Belanda. Tidak
disebutkan adanya permusuhan sebelumnya dengan Buleleng, sedangkan peperangan
wilayah dengan kerajaan lain diuraikan jelas. Perang melawan Belanda yang berlarut-
larut hanya disebutkan: dimulai dengan saling pandang dan umpatanan:
'...acengilan lawan sri Walanda / atemahan mangunaken kali i rame tikang prang
adbuta / papreping Walanda lawan Bali; telung tawun lawasnikangprang .. [25].
Dalam bagian selanjutnya, Babad Buleleng memuji pemerintah kolonial dengan
`tindakan terbaik' pada tahun 1849 dengan memberikan kedudukan keturunan Panji
Sakti menggantikan penguasa Karangasem yang merampas kekuasaan. Penunjukan raja
pada tahun 1849 yang mengabaikan garis keluarga I Gusti Putu Jelantik tidak
ditentangnya, malahan dengan bijak ditulis bahwa Belanda `....apan umulahaken
kedarmamurtyan... ' (melakukan apa yang benar dan pantas). Tetapi perihal kegagalan
raja asal Sukasada (I Gusti Made Rai-red): dengan gamblangnya dengan gambaran
terlibat perjudian dan kemudian diturunkan dari takhta, sedangkan raja yang lainnya ( I
Gusti Ngurah Ketut Jlantik- red) setelah diturunkan dari takhta bahkan selanjutnya
‘dihukum selong’ oleh Belanda yang ‘bermaksud melindungi
dunia’[26] //’...sinambada sri Walandadinatatahyun rumaksen rat.' manut caranira/
amoga ana amananing amidanda/ amisalah ki gusti ketut Jlantik / dadya sinurud pwa
sira saking singghasana karatun /aneher pwa sira sang nata kinila-kileng bumi
sabrang wawengkaning Padang pulu Sumatra //..’. Bagian tulisan tersebut menegaskan
suatu kejadian dari akibat memilih raja yang berasal dari keturunan yang salah. I Gusti
Ngurah Ketut Jlantik adalah saudara ka ping 4 dari I Gusti Made Rai..//’: ... pasanakan
kaping catur ring Ki Gusti Made Rai //'.
Bagian lain yang kelihatan remeh juga dimasukkan ke dalam Babad Buleleng untuk
kepentingan pihak kolonial. Dalam episode terdahulu dalam kehidupan Ki Gusti Panji
Sakti, menyelamatkan sebuah kapal kandas milik seorang saudagar dan mendapat
hadiah seluruh isi kapal. Worsley mencatat bahwa episode ini berfungsi untuk
pembenaran bahwa muatan kapal `perlu untuk membangun dan mengisi istana tempat
tinggal raja' [27]. Kejadian seperti ini dulunya di pertengahan abad ke19 pernah
menimbulkan ketegangan antara Belanda dan orang Bali dengan adanya perampasan
kapal kandas (tawan karang, perlakuan orang Bali terhadap kapal kandas) [28], dimana
sekarang I Gusti Putu Jelantik mengatur komposisi ini dengan citarasa khusus.
Sebagaimana dijelaskan oleh Babad Buleleng. Ki Gusti Pannji Sakti hanyalah mewakili
masyarakat setelah sang saudagar memohon kepadanya dua kali akan menyerahkan
seluruh muatan kapal. Digambarkan Panji Sakti tidak seperti orang lain yang penuh
nafsu dengan memakai tali dan bambu untuk menolong kapal, melainkan hanya dengan
tudingan keris saktinya dan semua pekerjaan selesai. Kalau pihak Belanda
menganggap, bahwa I Gusti Putu Jelantik sekedar menyisipkan seuntai `traditional
text' kedalam Babad Buleleng, maka mereka meremehkan kemampuan seni strateginya
dalam usaha mencapai singgasana.
Lagipula, dengan lumpuhnya kemampuan untuk berperang melawan kekuasaan
Belanda, memaksa para bangsawan Bali untuk memakai kekuatan katakata sastra.
Kita tidak tahu persis dalam suasana bagaimana Babad Buleleng itu sampai kepada
Belanda, namun Schulte Nordholt meneliti bahwa petisi yang sama juga dibuat oleh
penguasa Mengwi dengan sisipan Babad Mengwi. Untuk mengukuhkan kembali
kerajaan Mengwi, naskah tersebut disampaikan kepada pembesar Belanda lokal dan
juga kepada parlemen Belanda dan Ratu Wilhelmina di Belanda. Naskah itu disertai
terjemahan bahasa Melayu, sebuah silsilah yang terpisah dan petisi yang telah ditanda
tangani. [29] Babad Buleleng rupanya disampaikan secara itu juga, salah satu dari
naskah itu disimpan di Leiden dan dipakai bahan penelitian oleh Worsley, yang juga
dilampiri terjemahan bahasa Melayu dan peta silsilah, yang telah disampaikan lebih
dulu sebagai bahan yang bernilai untuk dipertimbangkan oleh Belanda. ‘Manuscrip D’
tidak menyertakan bagian akhir babad yang berkaitan dengan hukuman buang seorang
raja dan mengenai beberapa keluarga jauh yang keluar dari agama Hindu, sehingga
dengan demikian akan mendapat kesan yang lebih positif terhadap Buleleng. [30] Juga
kita tidak tahu persisnya seberapa besar bobot Babad Buleleng yang bisa merayu
Belanda sesuai keingingan I Gusti Putu Jelantik, apakah dari segi seremonialnya
ataukah dari pengaruh politiknya yang terkandung. Apa yang didapat selanjutnya dari
kejadian ini adalah kita menjadi lebih mengerti perihal histori dalam babad dan
dampaknya. Walaupun pemahaman kita masih kurang perihal detail, namun kita
memaklumi bahwa petisi I Gusti Putu Jelantik adalah sangat persuasif sehingga
akhirnya bisa ditunjuk sebagai penguasa di Buleleng.

Pebaca yang ingin membaca tulisan asli silahkan kilik di bawah ini:

www.hawaii.edu/cseas/pubs/explore/robin.html

You might also like