You are on page 1of 14

Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software

http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

TINJAUAN NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM FIQH


DAN HUKUM POSITIF
Oleh: Rustam Ibrahim1

Abstrak
Banyak kalangan masyarakat setuju jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang
Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang mengatur sanksi bagi perkawinan siri
diterapkan di Indonesia. Karena peraturan tersebut akan menjadi kontrol bagi pernikahan
sirri yang selama ini dinilai merugikan perempuan dan anak. Karena dengan pernikahan
sirri status mereka tidak jelas dan akan menemui kesulitan ketika berhadapan dengan
birokrasi, seperti mengurus perceraian, warisan, dan yang lain. Namun tidak sedikit
kalangan yang menolak RUU Peradilan Agama yang saat ini masuk Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2010 di DPR, karena mencantumkan pasal-pasal yang dianggap
bertolak belakang dengan ketentuan agama. Disamping itu jika RUU ini disahkan,
dampaknya adalah perbuatan zina yang justru dilarang syariat agama malah menjadi-jadi
dan tempat-tempat prostitusi akan menjamur di mana-mana. Sehingga kebijakan yang tepat
adalah lebih baik larangan prostitusi itu digencarkan dari pada melarang sesuatu yang
sudah sah.

Kata Kunci: Nikah Sirri, Hukum Fiqh, Hukum Positif

A. PENDAHULUAN
Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat yang diajukan oleh Rasulullah SAW.
Pernikahan merupakan Syari’at Tuhan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan
dalam suatu pergaulan keluarga yang penuh kasih sayang dan berkah. Islam menyebut
perkumpulan yang penuh cinta dan kasih sayang itu dengan ungkapan bahasa mawaddah
wa rahmah. Dengan nikah, laki-laki maupun perempuan bisa melaksanakan apa saja yang
sebelumnya dilarang oleh agama, misalnya hubungan seksual (Syafiq Hasyim, 2001: 149).
Meskipun menurut Rasulullah SAW nikah hanya sampai batasan anjuran dan
bukan kewajiban, namun anjuran ini bobotnya bisa berubah-ubah. Bisa saja anjuran
(sunnah) ini menjadi wajib, bisa menjadi makruh, bisa menjadi hukum asalnya istishab dan
bisa pula mubah, tergantuung kepada situasi dan kondisi yang melingkupinya. Misalnya,
dalam kasus nikah yang merupakan anjuran, terlihat dalam sabda Rasulullah SAW yang
artinya: “Dan akupun nikah dengan perempuan, maka barang siapa yang tidak suka
sunnahku, maka bukan golonganku.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa nikah tergolong sunnah. Tetapi kalau kita tidak
mengikuti anjuran itu, kita bisa dianggap bukan umat Muhammad SAW. Apabila kita
memakai pemahaman sebaliknya (Mafhum Mukhalafah) bisa diambil kesimpulan, nikah
itu mendekati wajib.
Bagaimanapun juga pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya dari
dalam yang terdapat beberapa faedah, antara lain: memelihara hak-hak dan warisan.
Seseorang laki-laki yang tidak mempunyai istri tidak mungkin mendapatkan anak, tidak

1
. Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta, Mahasiswa Program Doktor
IAIN Walisongo Semarang.

1
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

pula mengetahui pokok-pokok serta cabangnya diantara sesama manusia. Hal semacam itu
tidak dikehendaki oleh agama dan manusia (Syeih Ali Ahmad al-Jurjawi, 1938: 258).
Ditegaskan pula bahwa disyariatkannya nikah mempunyai hikmah yang nyata,
guna kebaikan dan kemakmuran bumi, yaitu dengan cara menetapkan keturunan dan
memiliki istri khusus untuk suami. Dan disebutkan juga, tujuan pernikahan secara umum
adalah untuk menghindari zina dan pergaulan bebas. Maka pernikahan dilaksanakan secara
terang-terangan di depan para saksi dan tidak dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.
Karena hal itu menyangkut hubungan dengan masalah keturunan dan nasab.
Realitas di dalam masyarakat Islam sering terjadi nikah sirri2 (tidak terang-
terangan). Dan oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut
agama, tetapi belum sah menurut Undang-undang Negara. Tetapi karena sudah sah
menurut agama, maka bagi mereka (pelaku nikah sirri) tidaklah masalah, toh halal dan
haram adalah ketentuan Allah, bukan ketentuan manusia. Dan nikah yang mensyaratkan
dicatat adalah peraturan yang dibuat oleh manusia.
Selanjutnya, ketika muncul Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang
hukuman bagi pelaku pernikahan sirri, seperti disebutkan dalam Pasal 143: Barang siapa
melakukan pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah (sirri) akan didenda Rp 6
juta atau hukuman paling lama 6 bulan penjara. Banyak komentar dari masyarakat antara
yang setuju dan yang menolak RUU tersebut untuk disahkan.
Berdasarkan realitas inilah, penulis merasa tertarik untuk mengupas lebih jauh
tentang seluk beluk nikah sirri. Ketertarikan penulis ini, diformulasikan dalam sebuah
topik “Nikah Sirri dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif”.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab, yaitu Nikah al-Sirri (tarkib idhafi) atau al-nikah al-
sirri (tarkib washfi). Secara etimologis berarti nikah secara sembunyi-sembunyi dan
rahasia.
Secara terminology nikah siri memiliki 3 pengertian:
a. Nikah siri adalah perkawinan yang dilaksanakan secara fiqh (sudah memenuhi syarat
dan rukun yang ditetapkan agama) tanpa sepengetahuan PPN dan tidak dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sudjari Dahlan, 1996: 36). Ini
berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974.
b. Nikah siri adalah akad perkawinan tanpa dihadiri para saksi kecuali seorang perempuan
dan seorang laki-laki, sebagaimana komentar Umar bin Khattab (Imam Malik, t.th:
281). Dalam hal ini para fuqaha telah sepakat melarang nikah siri. Ibnu Rusyd
berpendapat, nikah siri merupakan akad pernikahan yang dihadiri saksi namun mereka

2
Nikah sirri atau nikah agama merupakan dua bentuk pelaksanaan perkawinan yang lebih
menekankan kaum muslimin untuk memenuhi syarat dan rukun dari segi hukum islam, sehingga dasar
hukum kawin sirri dianggap tidak tergolong pada sesuatu perbuatan yang terlarang. Akan tetapi, kawin sirri
dapat menimbulkan masalah terutama ketika ikatan perkawinan sebagai hubungan hukum dihadapkan pada
dimensi social yang semakin luas dan kompleks. Terjadinya ingkar janji yang dilakukan oleh seorang lelaki
atau suami terhadap perempuan atau istri dalam konteks kawin sirri berakibat salah satu pihak bisa dirugikan.
Nikah ini juga sering disebut dengan nikah bawah tangan, karena tidak tercatat di lembaga yang resmi seperti
KUA atau PPN. (Jawahir Thontowi, 2002: 57).

2
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

merahasiakannya. Bentuk nikah semacam ini para fuqaha terdapat perbedaan pendapat
(Ibnu Rusyd, t.th: 13).
c. Pengertian Nikah siri yang berkembang di kalangan sebagian mahasiswa di beberapa
kota besar Indonesia pada sekitar dekade delapan puluhan adalah, akad pernikahan
yang dilangsungkan antara mempelai pria dan wanita dengan wali yang bukan wali
nasab. Wali yang digunakan cukup seorang mukmin baik kedudukan sebagai gurunya
atau temannya, serta disaksikan oleh saksi yang diminta merahasiakan pernikahan itu,
kecuali pada pihak-pihak tertentu (Sudjari Dahlan, 1996: 13).
Pada pembahasan tulisan ini, penulis akan mengupas terminology nikah sirri pada
pengertian yang pertama, yakni nikah sirri menurut terminology hukum positif di
Indonesia, yaitu Nikah sirri sebagai nikah yang tidak dicatatkan pada PPN.

2. Faktor-faktor Pendorong Nikah sirri


Faktor Normatif
Adanya dasar dari al-Qur’an dan al-Hadis yang mengatur tentang seseorang untuk
melakukan nikah sebagaimana Firman Allah SWT:

       

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan.” (QS. an-Nuur: 32)
Juga di dalam hadis Nabi SAW:

“Hai kaum pemuda barang siapa diantara kalian mampu menyiapkan bekal bahwa
sesungguhnya nikah dapat menjaga penglihatan dan memelihara farji. Barang siapa tidak
mampu maka hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat menjadi benteng.” (Mutafaqun
alaih) (al-Shan’ani, t.th.: 109)
Dalil di atas adalah dalil secara umum anjuran seseorang untuk menikah bila sudah
mampu memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan.
Sebab perlu dipahami bahwa, lafdz ankihu ( ) dan fa al-yatazawwaj ( )
adalah menunjukkan perintah. Sudah barang tentu yang namanya perintah itu harus
diperhatikan oleh siapapun yang terbebani oleh perintah itu.
Terdorong perintah tersebutlah kemudian seseorang ingin menikah. Namun karena
sesuatu hal yang belum bisa dipenuhi, maka nikah sirri menjadi jalan keluar untuk
melaksanakan perintah tersebut.

Faktor Ekonomi
Batasan kemampuan orang yang layak kawin disini mempunyai pengertian yang cukup
luas. Tentu tidak hanya kemampuan bersetubuh dengan istrinya saja, tetapi sudah pasti

3
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

kemampuan untuk membebani nafkah lahir, seperti pangan, sandang, papan, dan
sebagainya.
Perlu diketahui juga bahwa lafadz ba’ah ( ) di samping mengandung pengertian
mampu bersetubuh, juga mampu membiayai kebutuhan hidup. Sehingga faktor ekonomi
merupakan bagian penting dalam pernikahan, sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan
yang diharapkan di sebuah pernikahan.
Masalah ekonomi dalam hal ini, pemberian nafkah, kaum muslimin sepakat bahwa
perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah (Muhammad
Juwad Mughniyah, 1999: 400). Hal ini sesuai dengan firman allah SWT:

      

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Juga dijelaskan dalam firman Allah yang lain:

            

 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)
Makna ayat di atas bila diperhatikan, selain berbicara tentang sejauhmana kekuatan
laki-laki terhadap istrinya, juga sejauhmana nafkah yang merupakan tanggung jawab
seorang suami yang harus diberikan kepada istri, kaitannya dengan ekonomi rumah tangga.
Sehingga seorang suami mampu menyelesaikan kebutuhan rumah tangganya.
Namun kenyataan yang mendorong seseorang melakukan nikah sirri dalam faktor
ekonomi adalah ketidakmampuan biaya pada proses pengurusan untuk nikah resmi.
Meskipun alasan ini dibantah oleh pihak PPN, yang menyatakan bahwa biaya nikah tidak
semahal yang mereka bayangkan. Dalam beberapa kasus, yang terjadi adalah mereka
melakukan nikah sirri dengan alasan belum ada biaya, tapi setelah ditelusuri, yang
dimaksud biaya disini bukan biaya untuk proses pengurusan, tetapi biaya proses walimah,
yang di beberapa tempat walimah sangat menentukan gengsi dari keluarga yang
menikahkan anaknya, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Faktor Konflik
Faktor konflik merupakan bagian dari persoalan psikologis (kejiwaan seseorang). Bentuk-
bentuk konflik beraneka ragam. Ini terjadi karena orang yang akan melakukan nikah secara
resmi terbentur dengan syarat-syarat dan rukun pernikahan, terutama pada proses
pengajuan untuk poligami, perizinan dan kesepakatan sebagai syarat pelaksanaan nikah
secara resmi. Sebagai bentuk konflik diantaranya, calon mempelai tidak cocok dengan
prilaku orang tua calon mempelai yang satunya. Ternyata yang terjadi, orang tua tidak
menyetujui perkawinan anak yang telah jatuh cinta, akhirnya anak pergi ke daerah lain
uintuk nikah siri.

4
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Bentuk konflik yang lain adalah dua orang yang sudah saling jatuh cinta dan
keduanya masih menempuh pendidikan (misalnya masih kuliah), untuk menghindari
perbuatan zina karena kedekatan mereka, maka mereka melakukan nikah sirri sebagai
usaha agar hubungan mereka yang jika dilakukan sebelumnya bisa jadi zina maka dengan
nikah sirri hubungan mereka jadi tidak zina lagi.

3. Tinjauan Nikah Sirri dari Hukum Fiqh dan Hukum Positif


Aspek Hukum Fiqh
Dari aspek hukum fiqh, sebenarnya hukum nikah sirri sudah dianggap sah selama
memenuhi kriteria rukun dan syarat-syarat pernikahan, seperti ada kedua calon pengantin,
wali, dua saksi, serta ada ijab-qabul. Dalam makalah ini yang menjadi titik persoalan
adalah hukum tidak mencatatkan nikah kepada petugas PPN yang imbasnya adalah
pernikahan tersebut tidak diakui oleh pemerintah dan tidak mendapatkan surat nikah.
Konskwensinya adalah tidak mendapatkan akses yang berkenaan dengan administrasi,
seperti mengurus perceraian, perwarisan, perwalian, dan lain-lain.
Hal di atas tentunya tidak sesuai dengan kemaslahatan yang hendak dituju oleh
hukum syar’i, yaitu kemaslahatan hakikiyah, baik kemaslahatan dharuriyah, hajiyah,
maupun kemaslahatan tahsiniyah.
Firman Allah SWT:

     

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Kemaslahatan dharuriyah harus diwujudkan untuk melindungi kemurnian agama,
keselamatan jiwa, akal, keturunan, dan untuk melindungi harta. Menegakkan hukum
perkawinan Islam merupakan manifestasi untuk menjaga kelestarian dan kemurnian
agama, kelestarian hidup manusia, kemurnian keturunan, dan lain sebagainya.
Tujuan pencatatan nikah dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan
umat manusia jelas akan membawa kepada kemaslahatan umat itu sendiri. Kemaslahatan
yang dikehendaki Islam mempunyai ciri sebagai berikut: menarik manfaat ( )
(Abdul Wahab Khalaf, 1994: 326), menolak segala yang merusak ( ) (Mokhtar
Yahya dan Fathurrahman, 1986: 486); mempunyai daya tangkal terhadap kemungkinan
bahaya dari luar atau menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan ( )
(A. Hanafi, 1981: 147), lentur, dan dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman.
Sebab ada tidaknya hukum selalu mengikuti argumentasi (illat) (Mahmud Yunus, 1980:
28).
Realitas yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus sesuai dengan
kemaslahatan manusia karena berubahnya gejala sosial kemasyarakatan. Oleh karena
kemaslahatan manusia itu menjadi dasar setiap hukum, maka sudah menjadi kewajiban
apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan berubahnya zaman dan keadaan serta
pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan itu sendiri. Hal itu sesuai dengan kaidah yang
berbunyi:

5
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

“Perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat, dan keadaan.”


(Muslih Usman, 1996: 160)
Hukum tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, bila tidak ada yang
bertanggung jawab untuk mengendalikan, melaksanakan dan menegakkannya. Lantas
siapakah yang dapat mengendalikan hukum dengan baik? tentu saja, tidak lain adalah
pemerintah.
Oleh karena itu, telah diyakini bahwa kepemimpinan (khilafah) adalah bagian dari
tujuan yang paling urgen dalam agama. Khalifah berfungsi sebagai pengganti kenabian
dalam menjaga agama dan urusan dunia. Orang muslim belum lepas tanggung jawab,
sehingga mereka menyatukan langkah dan kesepakatan untuk menunjuk seorang pemimpin
yang memimpin mereka berdasarkan Kitabullah.
Maka wajib untuk menegakkan kepemimpinan dengan ruh islam dan bertanggung
jawab untuk merealisasikannya. Sebab Allah telah mengisyaratkan dengan firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
Konteks ayat ini menjelaskan bahwa khitab pada ayat ini bersifat umum, yang
mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat. Diantara amanat tersebut adalah
hukum perkawinan. Sehingga umat wajib menyampaikan amanat pada yang berhak
menerimanya dan meluruskan jalan orang yang berusaha menegakkan secara benar.
Uraian di atas bila dicermati, maka melaksanakan hukum perkawinan yang tertuang
dalam UU No. 1 tahun 1974, dikuatkan dengan Keputusan Presiden RI No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan disertai pula dengan Peraturan Menteri
Agama (PMA) tentang kewajiban PPN, wakil PPN, dan pembantu PPN, menjadi wajib
hukumnya untuk diikuti dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Jadi jelaslah bahwa UU No. 1 Tahun 1974, KHI, atau PMA, sangatlah bermanfaat
bagi semua pihak. Dengan demikian tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat
karena dapat diketahui. Mana yang kawin secara sah dan mana yang kawin secara tidak
sah. Sebab dengan semakin maju ilmu dan teknologi serta budaya manusia, tertib
administrasi dan tertib hukum mutlak diperlukan. Tertib administrasi ini telah disyariatkan
oleh Islam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:

          

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282
Memang ayat di atas tidak menyinggung pencatatan pernikahan, namun secara
substansi ayat di atas memerintahkan untuk mencatat dan tertib administrasi dalam setiap
urusan. Dalam kaidah hukum islam pencatatan perkawinan dibuktikan dengan akta nikah,
yang mana manfaatnya sangat jelas untuk mendatangkan kemaslahatan bagi tegaknya
rumah tangga. Sejalan dengan prinsip:

“Menolak kemudlaratan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan.”


Pemerintah telah memerintahkan setiap perkawinan itu dicatat oleh PPN, sehingga
mempunyai kekuatan hukum dan bukti yang kuat berupa surat nikah. Maka wajib bagi
umat mentaati ulil amri sebagaimana perintah Allah dalam surat an-Nisa ayat 59 di atas.

6
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Taat kepada ulil amri jelas wajib dilaksanakan sejauh tidak bertentangan dengan agama.
Karena surat nikah mempunyai kekuatan alat bukti, Maka sebagai alat pembuktian, sama
dengan alat bukti yang terjadi paa zaman Rasulullah SAW, seperti alat bukti berupa:
bayyinah (sesuatu yang dapat membuktikan suatu kebenaran dan menampakkannya),
sumpah, saksi, buku tulis, dan lain-lain. Konskwensinya adalah barang siapa mengajukan
suatu kasus dengan dasar suatu hak, ia diwajibkan membuktikan kasus itu dengan bukti.
Sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna membantah hak orang lain,
ia diwajibkan juga membuktikan kasus tersebut (R.Subekti, 1984: 177).
Perkawinan yang tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan anak-
anaknya. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah dianggap bukan istri yang sah karena
tidak memiliki Surat Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibat lanjutannya, istri
tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selain itu, istri juga tidak berhak atas nafkah dan
warisan dari suami jika terjadi perceraian atau suami meninggal dunia. Selain berdampak
hukum, perkawinan bawah tangan juga membawa dampak sosial bagi perempuan, yakni
sulit bersosialisasi di masyarakat karena mereka dianggap sebagai istri simpanan atau
melakukan “kumpul kebo” (tinggal serumah tanpa menikah).
Adapun dampaknya bagi anak adalah status anak yang dilahirkan dianggap sebagai
anak tidak sah. dan dalam akta kelahirannya akan dicantumkan “anak luar nikah”. Anak
pun hanya memiliki hubunga perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (Pasal 42 dan 43 UUP). Tentu saja
pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psikologis bagi si
anak dan ibunya. Selain itu, ketidakjelasan status anak di muka hukum akan
mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan
dari ayahnya.
Menurut Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, pemerintah dalam hukum Islam
memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan
yang merugikan dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan
ketenteraman dan kedamaian. Sebagai ulil amri, pemerintah mempunyai dua fungsi utama,
yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya (mengatur urusan dunia).
Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya,
sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak pula mendatangkan
kemudharatan. Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan
membuat perundang-undangan dalam bidang Siyasah al-Syar’iyyah. Siyasah al-Syar’iyyah
adalah seperangkat aturan yang dibuat pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan
ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya (Abu Hasan al-Mawardi, t.th.: 5).
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan metodologi kaidah fiqh yang berhubungan
dengan pencatatan pernikahan, yaitu sesuatu yang menjadi salah satu dari prinsip nilai-nilai
universal yang berupa hifdzun nasli. Dalam menjaga keturunan, Islam mensyari’atkan
pernikahan, selain mensyari’atkan pernikahan, Islam juga mengakomodir terhadap hal-hal
yang menyempurnakannya, yaitu adanya pencatatan. Dengan melihat kemaslahatan yang
terkandung dalam pencatatan nikah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka
pencatatan nikah dianggap sebagai sebuah kebutuhan primer dalam pernikahan, sebab
pernikahan tanpa disertai catatan nikah tidak diakui oleh pemerintah. Maka hukum
pencatatan tersebut termasuk bagian dari nikah. Hal itu sesuai dengan kaidah ushul fiqh
yang berbunyi: lil wasail hukmul maqashid (Izzuddin bin Abdissalam, 1990: 91).

7
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Dengan melihat konteks ini, wajib bagi pemerintah untuk mendukung adanya
keputusan pencatatan pernikahan. Karena terbukti hukum positif tidak mengakui adanya
pernikahan yang tidak dicatatkan. Dengan konskwensi sama seperti halnya orang yang
tidak nikah dalam hal harta warisan, nasab, dan sebagainya. Hal itu sesuai dengan kaidah
tasharruful imam manuthun bil mashlahatil mar’yyah (kebijakan pemerintah disesuaikan
dengan kemaslahatan rakyat).
Keterangan di atas menguatkan pandangan umum bahwa pernikahan bukan hanya
sekedar menyalurkan nafsu seksnya semata, tetapi pernikahan itu berakibat ke masa depan.
Akibat itu adalah tumbuh generasi penerus atau keturunan. Apabila keturunan yang lahir
dari sebuah pernikahan yang tidak diketahui oleh orang lain, maka tanggung jawab dan
jadi beban siapa keturunan tersebut bila orang yang menikah tersebut lari dari tanggung
jawab. Bukankah perbuatan itu akan membebani orang lain yang semestinya bukan
tanggung jawabnya.
Nikah sirri hanya mewariskan beban moral yang amat berat bagi si istri dan anak-
anaknya bila sang suami sudah tidak senang lagi dengan si istri yang dinikah sirri.
Jangankan nikah sirri, nikah resmi saja yang pelaksanaannya disaksikan orang banyak,
serta membaca shighat ta’liq talak dihadiri para kyai dan PPN lengkap dengan wakil PPN
dan pembantu PPN yang mungkin sampai hari ini usia perkawinan telah mencapai puluhan
tahun, hanya karena cekcok rumah tangga, istri dan anak-anaknya bisa terkatung-katung.
Nafkah dan biaya pendidikan anaknya sama sekali tidak pernah diperhatikan lagi, dalam
kasus seperti ini yang bersangkutan (sang istri) dapat meminta perlindungan hukum ke
Pengadilan. Dan Pengadilan dapat memberi putusan tentang pemberian nafkah, biaya
pendidikan anak-anak dan lain-lain.
Namun siapa yang bisa menjamin tentang keputusan tersebut, bilamana si suami
tetap tidak mau memperhatikan, sementara hak miliknya dijual habis. Si suami hidup di
kota besar yang sulit dilacak keberadaannya. Apalagi dalam kasus nikah sirri, jika ini
terjadi kemana meminta pertanggungjawaban?
Dalam nikah sirri memang tidak ada batasan sampai kapan beban penderitaan yang
harus ditanggung oleh si istri dan anak-anaknya, bila si istri mau menuntut kepada
Pengadilan, Pengadilan mana yang bisa menceraikannya? apabila minta cerai kepada
suaminya, mungkinkah dikabulkan jika kenyataannya suami masih cinta, walaupun si
suami sudah tidak menghiraukan lagi. Lebih-lebih bila sang suami ingin membuat sengsara
si istri karena dianggap sudah menyakitkan, ditambah lagi si suami menggunakan sifat
angkuhnya, berkata: “Kamu selamanya tidak akan bisa lepas dari kekuasaanku karena hak
talak ada di tanganku, sedangkan aku tidak akan mentalakmu.”
Jika suami bersikap demikian, sementara perempuan menganggap masih menjadi
istri suaminya meskipun tidak ada tanggung jawab sama sekali dari suaminya. Jadi jelaslah
bahwa nikah sirri akan membawa beban moral dan penderitaan bagi si istri.

Aspek Hukum Positif


Hukum positif adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam
suatu daerah tertentu. Singkatnya hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu
waktu dalam suatu tempat tertentu.
Sedangkan arah tujuan utama diciptakannya hukum ini banyak dikomentari oleh
para ahli hukum, misalnya, menurut Subekti: Hukum mengabdi pada tujuan Negara yang
pokoknya mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya (Kansil C.S.T,

8
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

1982: 39). R. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tujuan dari hukum adalah mengadakan
keselamatan, bahagia, dan tata tertib dalam masyarakat itu (Wirdjono Prodjodikoro, 1967:
9). Menurut Sobhi Makmassani, Hukum bertujuan menarik kemanfaatan bagi kepentingan
manusia dan menghindarkan perbuatan yang merugikan serta membahayakan
kepentingannya (Sobhi Makmassani, 1981: 159).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan umum
menetapkan hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia
karena suatu yang ada di dunia tidak lain adalah hanya untuk kepentingan manusia.
Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang hukum materiil Peradilan
Agama antara lain mencantumkan sanksi poligami dan nikah sirri. Dalam Pasal 143
disebutkan, barang siapa melakukan pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
(sirri) akan didenda Rp 6 juta atau hukuman paling lama 6 bulan penjara. Denda dan
ancaman hukuman yang sama berlaku bagi barang siapa melakukan poligami tanpa izin
pengadilan dan tidak menceraikan istri di depan pengadilan (Pasal 146). Sementara pada
Pasal 147 menyebutkan, barang siapa menghamili perempuan belum menikah dan menolak
mengawininya di depan pengadilan akan dipidanakan paling lama 3 bulan penjara.
RUU tersebut akan menjadi pelengkap bagi UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. UU itu menjadi UU terpisah untuk memenuhi pengaturan lebih lanjut
mengenai perkawinan dalam hukum Islam (Teguh Samudera, 2010).
RUU tersebut menuai kontroversi, alasan yang mendukung RUU tersebut adalah
Nikah sirri sering dijadikan selubung bagi perselingkuhan (poligami liar), di samping itu
tidak ada perlindungan hukum bagi istri dan anak. Sementara alasan yang menolak RUU
tersebut adalah nikah sirri sah secara agama, serta sanksi pidana terhadap pelanggaran
administrasi merupakan kebijakan yang tidak proporsional dan berlebihan.
Dalam masalah pemidanaan ini, banyak pakar hukum pidana yang memberikan
kriteria bagi kriminalisasi, sebagaimana dalam simposium Hukum Pidana Nasional di
Semarang tahun 1980 yang di antaranya adalah:
1. perbuatan tersebut tidak disukai/tercela di mata masyarakat;
2. Perbuatan tersebut menghambat cita-cita bangsa dan berbahaya bagi
masyarakat;
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan orang lain dan berpotensi mendatangkan
korban;
4. Harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
Dari beberapa kriteria tersebut, nikah sirri telah memenuhi syarat untuk
dikriminalisasi. Kriminalisasi adalah suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan
tindak pidana kemudian diancam dengan pidana dalam Undang-Undang.
Pertanyaannya adalah apakah nikah sirri sebagai pelanggaran administrasi bisa
dipidana? Hampir seluruh peraturan perundang-undangan yang bersifat administratif (dari
UU sampai Perda) selalu disertai dengan sanksi pidana, baik penjara, kurungan, atau
denda. Tujuannya adalah agar peraturan tersebut dapat berlaku secara efektif dan memiliki
kekuatan memaksa. Karena untuk efektifitas pemberlakuan hukum administrasi tersebut
menggunakan bantuan sarana penal, maka sering disebut ”hukum pidana administratif”
yang masuk bagian hukum pidana khusus.
Penggunaan sanksi pidana dalam hukum administrasi sudah lazim dilakukan.
Setiap bagian akhir dari produk perundang-undangan hampir selalu dicantumkan sub bab

9
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

tentang “ketentuan pidana”. Dari tahun 1985-1995 sudah lebih dari 31 macam UU yang
menggunakan sanksi pidana, sebab akan terasa hambar jika suatu produ UU tidak
mencantumkan ketentuan pidana.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nikah sirri dipandang dari
aspek hukum positif, tidak mempunyai kekuatan hukum, nikahnya tidak diakui,
keturunannya atau anaknya tidak mempunyai ayah yang sah (hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibu yang melahirkannya), pernikahan dapat dibatalkan oleh Pengadilan
Agama, bahkan bisa dikenai sanksi pidana.
Disamping itu juga, nikah sirri merepotkan masyarakat sekitarnya yang membuat
beban pada istri dan anaknya di masa yang akan datang serta memberi beban pemerintah
pada umumnya.

4. Implikasi Nikah Sirri


Sosiologis
Nikah sirri oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai model pernikahan yang lebih
menekankan pada syarat dan rukunnya pada pandangan fiqh. Sehingga dasar hukumnya
mereka anggap suatu yang tidak terlarang. Tetapi kawin sirri dapat menimbulkan masalah
jika suatu tali perkawinan sebagai tindakan yang berkaitan dengan kehidupan sosial
(sosiologis) yang semakin luas dan kompleks, terutama terjadinya ingkar janji yang
dilakukan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri) ternyata sering terjadi
nikah sirri berakibat salah satu pihak dirugikan. Sehingga nikah sirri yang terjadi
mempunyai ekses sosiologis.
Bagaimanapun juga, nikah sirri yang terjadi itu merupakan proses sosial dalam arti
interaksi sosial. Oleh karena itu interaksi sosial merupakan sejarah utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Nikah sirri merupakan bentuk lain dari proses sosial yag
merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang
perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua jenis yang berlainan bertemu, bahkan
sampai melakukan nikah sirri, itu adalah suatu interaksi sosial.
Pelaku nikah sirri biasanya merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan
dengan norma-norma masyarakat (Soerjono Soekanto, 2000: 72). Karena nikah sirri itu
berlawanan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu
pernikahan itu harus dicatatkan di depan petugas PPN.
Islam sebagai tuntunan suatu disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan
melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, prilaku, perkataan,
perbuatan, maupun pemikiran. Dalam hukum islam dikenal ada huquq Allah atau hak-hak
Allah dan huquq al-adami atau hak-hak manusia. Sedangkan hak-hak manusia Pada intinya
adalah suatu kewajiban bagi yang lain untuk diperhatikan. Apabila ada hak-hak dan
kewajiban masing-masing pihak dapat dipenuhi, maka sudah pasti akan timbul hal-hal
sebagai berikut: solidaritas sosial (al-Takaaful al-Ijtima’i); toleransi (al-tasamuh);
kerjasama (al-ta’awun ); tengah-tengah (al-i’tidal) dan stabilitas (al-tsabat).

Keagamaan
Pernikahan merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam al-
Qur’an:

10
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

             

       

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-


isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)
Rasulullah juga memberi dorongan kepada para pemuda untuk melakukan nikah
serta menjelaskan bagaimana beberapa manfaat kepada mereka.
Nikah sirri untuk menghindari dosa (zina), itu bukan tujuan utama dari
disyariatkannya nikah. Sebab nikah sirri yang terjadi selama ini merupakan upaya
melegalisasi hubungan seksual, yang dihubungkan dengan Tuhan dan menafikan norma-
norma sosial dalam masyarakat, karena tidak adanya penyaksian dalam akad nikah (ijab-
qabul), dan hikmah ijab-qabul adalah supaya pernikahan itu bukan rahasia (Hasbullah
Bakry, 1988: 170). Akibat tidak adanya penyaksian itu hubungan mereka dianggap zina.
Pelaku nikah sirri (wanitanya) tidak mendapat perlindungan yang sesuai dengan
agama. Dalam Islam wanita adalah saudara pria, artinya wanita mempunyai hak yang sama
dengan pria. Allah telah memberikan hak dan kewajiban yang seimbang kepada mereka
dengan cara yang ma’ruf. Dan Allah telah memuliakan wanita baik sebagai ibu, anak, istri,
maupun keluarga. Dan Allah telah mengangkatnya dari kegelapan jahiliyah.
Allah telah menetapkan seorang pria sebagai pemimpin rumah tangga yang islami.
Berarti pria sebagai pemelihara, pengayom, serta penanggung jawab dan bukan sebaliknya,
sebagai pemaksa dan penguasa terhadap perempuan. Hubungan suami istri dijadikan oleh
allah sebagai hubungan timbal balik saling mencintai dan menghargai antara keduanya.
Rasulullah saw, bersabda bahwasanya “wanita itu adalah saudara laki-laki.” (HR. Abu
Daud)
Tujuan pengundangan nikah harus dicatatkan oleh petugas yang berwenang sebagai
kebalikan dari pelaksanaan nikah sirri yang terjadi di masyarakat, adalah untuk
menetralisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindari
kemafsadatan bagi umat manusia. Undang-undang sendiri dalam aplikasinya harus
memperhatikan 3 hal:
a. Kebutuhan Dharuriyah (primer), yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka, artinya bila sendi-
sendi ini tidak ada, kehidupan manusia akan menjadi kacau dan dengan demikian
kebahagiaan tidak akan ada. Hal-hal yang dharury ada 5 (lima) macam, yaitu: urusan
agama, urusan jiwa, urusan akal, urusan keturunan, dan urusan harta milik. Jadi
dharury merupakan yang terpenting, karena ketiadaannya mempunyai konsekwensi
rusaknya tata aturan kehidupan, merajalelanya kekacauan diantara umat manusia dan
hilangnya kemaslahatan secara umum. Terhadap pelaksanaan nikah sirri itu, paling
tidak berkaitan dengan kebutuhan pokok yaitu, urusan agama, urusan keturunan, dan
urusan harta milik. Kaitannya dengan urusan agama, jelas bahwa pernikahan itu
harus memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan dalam agama. Jika ini tidak
terpenuhi, maka nilai-nilai yang berkaitan dengan agama tidak sah di mata Tuhan.
Jika di mata Tuhan sudah tidak mempunyai nilai sah, maka akan berpengaruh dalam
tata kehidupan beragama dalam masyarakat. Dampaknya pelaku nikah sirri akan

11
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

dikatakan sebagai penzina karena tidak diakui oleh masyarakat sekaligus oleh norma-
norma yang berlaku. Sedang kaitannya dengan urusan keturunan akan mempunyai
ekses yang lebih jauh, terutama pada anak yang dilahirkan oleh perempuan pelaku
nikah sirri (paling tidak, tidak akan bisa mengurus akta kelahiran. Ini artinya dalam
banyak hal anak akan kesulitan, misalnya; sekolah )
b. Kebutuhan Hajiyah (sekunder) yaitu hal-hal yang dihajatkan bagi manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan menolak halangan, artinya bila hal tersebut tidak ada,
maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia menjadi berantakan.
Pelaksanaan nikah sirri itu tidak bisa memenuhi kebutuhan hajiyah, karena akibat
pelaksanaan nikah sirri, terutama adalah tidak dapat menghilangkan kesulitan dalam
kehidupan masyarakat.
c. Kebutuhan Tahsiniyah, yaitu tindakan suatu hukum tasyri’ yang ditujukan untuk
menegakkan muru’ah, adab, dan melaksanakan suatu perkara menurut cara yang
tidak baik. Nikah sirri bukan termasuk prilaku yang memenuhi kebutuhan tahsiniyah,
untuk menuju kesempurnaan hidup dalam tata kehidupan secara pribadi maupun
sosial.
Jadi nikah sirri yang terjadi, mengandung penyimpangan terhadap sendi keagamaan
terutama terhadap kebutuhan dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah yang menjadi tujuan
pokok disayariatkan hukum Islam. Pelakunya hanya melaksanakan agamanya secara
parsial.

Psikologi
Dampak psikologis dari nikah sirri adalah ketidaktenangan batin pelaku nikah sirri dalam
berbagai bentuk, misalnya cemburu pada istri yang resmi (bagi pelaku poligami dengan
nikah sirri), selalu curiga terhadap pasangannya, tidak adanya kejujuran dalam pergaulan
dengan pasangan nikah sirri, terbukti dengan tidak adanya saling percaya di kedua belah
pihak. Pelaku nikah sirri tidak mampu mencapai ketenangan batin dan kehidupan yang
aman dan damai, yang dalam islam disebut dengan istilah sakinah.

Yuridis
Implikasi yuridisnya adalah nikah sirri membawa dampak yang negatif, yaitu tidak
mempunyai kekuatan hukum, tidak diakui keberadaannya menurut Undang-undang dan
hanya mendapat kemanfaatan sepihak. Sekali nikah sirri dilaksanakan, artinya nikah ini
ilegal, maka berimplikasi dengan tidak mudahnya pula penyelesaian dapat diselesaikan
melalui prosedur hukum yang tepat dan benar. Dampak dari nikah sirri yang
mengatasnamakan legalitas agama hanya akan menjadi kedok kemunafikan bilamana tidak
didukung oleh proses pelembagaan dan pengawasan yang cukup ketat.

C. SIMPULAN
Nikah sirri yang sering juga disebut dengan nikah di bawah tangan adalah nikah yang
hanya mengutamakan pemenuhan syarat dan rukun menurut agama saja. Dan tujuan dari
nikah sirri sendiri adalah untuk menolak pergaulan bebas, artinya dengan melakukan nikah
sirri hubungan yang biasanya berlangsung sebelum pernikahan dan boleh jadi dilarang oleh
agama, bisa berubah menjadi halal.

12
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

Syari’ah mengajarakan agar seseorang patuh dan memprioritaskan hukum Islam


bersamaan dengan menghormati kesepakatan bersama, sebagaimana yang tercantum dalam
UU No. 1 Tahun 1974. Karena jika Islam itu sebagai ad-dien yang sempurna, maka
pemenuhan kewajiban kepada Allah mestinya harus sejajar dengan pemenuhan atas janji-
janji sesama manusia. Sebab bagaimanapun juga putusan yang termaktub dalam undang-
undang merupakan konsensus bersama. Maka pelanggaran terhadap janji itu berarti khianat
dan perbuatan yang tidak konsisten berarti juga dapat dianggap menentang ajaran Allah.
Pelarangan nikah sirri, selain karena melanggar undang-undang adalah nikah sirri
mempunyai implikasi yang sangat kompleks. Yang meliputi implikasi sosial, psikologis,
dan juga yuridis. Di samping itu kemaslahatan yang hendak dituju yaitu kemaslahatan
hakikiyah, baik kemaslahtan dharuriyah, hajiyah, maupun kemaslahatan tahsiniyah tidak
terpenuhi.
Sepertinya, tetap membudayanya nikah sirri di masyarakat ini disebabkan karena
kurang pahamnya mereka dengan makna nikah resmi (tercatat) dan makna nikah sirri
(yang tidak tercatat), serta ekses dan implikasi yang dapat ditimbulkan dari nikah sirri itu.
Oleh karena itu, di sini penulis mengemukakan beberapa saran untuk menyikapi fenomena
nikah sirri yang timbul di masyarakat tersebut, yakni:
1. Pemerintah harus lebih mengoptimalkan sosialisasi tentang pentingnya nikah resmi.
Dan juga implikasi-implikasi yang akan terjadi jika nikah sirri telah terjadi.
2. Dalam sosialisasinya diharapkan memperhatikan pluralitas dan multikulturalitas
masyarakat, sehingga dapat diterima dengan baik. Terutama dalam budaya
walimahan yang cenderung menghabiskan banyak dana. Karena pada realitanya
ada yang melakukan nikah sirri hanya karena belum ada dana untuk walimahan
yang dianggap ajang gengsi.
3. Memanfaatkan tokoh-tokoh terkait dan kompeten dalam mensosialisasikan,
terutama karena nikah sirri mereka anggap sebagai nikah yang sah menurut agama,
maka dalam sosialisainya akan lebih pas jika melibatkan tokoh-tokoh agama,
seperti para kyai, ustad, guru-guru ngaji, juga lewat majlis-majlis taklim.
4. Pelibatan generasi muda dalam sosialisai, akan lebih efektif, bahkan mengena,
sekaligus membentengi para generasi muda agar tidak memaknai nikah secara
parsial, sebagaimana pelaku nikah sirri memaknai nikah.
5. proses pengurusan nikah yang mudah dan murah sangatlah dibutuhkan, karena
dalam kasus tertentu mereka beralasan mahal dan rumitnya mengurus nikah yang
legal, sehingga mereka cenderung memilih nikah sirri yang begitu mudah.
6. pemerintah dalam membuat RUU masalah perkawinan jangan hanya
mempidanakan pelaku nikah sirri saja, dan tidak menggubris pelaku perzinaan,
padahal pelaku perzinaan lebih besar dampak madharatnya dan merusak moral
bangsa. Alangkah baiknya di samping menghukum pelaku nikah sirri pemerintah
juga menghukum berat pelaku perzinaan dan prostitusi. Sehingga ada keadilan
yang seimbang dalam menerapkan hukum.

13
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software
http://www.foxitsoftware.com For evaluation only.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafi, Ushulfiqh, cet. ke-8, Wijaya, Jakarta, 1981


A. Sahal Mahfud, Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994
Abi Abdullah Muhammad Ismail al-Bukhari, Matan al-Bukhari, Maktabah al-Nasyiriyah,
Mesir, t.th.
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam dari Indonesia, UI Press, Jakarta, 1988
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Toha Putra, Semarang, t.th.
Imam Malik, al-Muwaththa, Dar al-Kutub al-Alamiyah, Indonesia, t.th.
Imam Nasai, Sunan al-Nasa’i, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, t.th.
Imam Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, Dar al-Fikr, Beirut, t.th.
Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1982
Mahmud Yunus, Studi Perbandingan Antar Mazhab tentang Beberapa Hukum Islam, Bina
Ilmu, Surabaya, 1980
Mokhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, al-Ma’arif,
Bandung, 1986
Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-Shanani, Subulu al-Salam, Juz 3, t.th.
Muhammad Juwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 1999
Muslih Usman, Kaidah-Kaidah Ushulliyah dan Fiqiyah Pedoman Dasar Istinbath Hukum,
Raja Grafindo, Jakarta, 1996
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Jakarta, 1984
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut, t.th.
Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (alih bahasa A. Sudjono), al-Ma’arif,
Bandung, 1981
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, cet. ke-29, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000
Sudjari Dahlan, Fenomena Nikah Siri, Pustaka Progresif, Surabaya, 1996
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuan dalam Islam,
Mizan Media Utama (MMU), Bandung, 2001
Syeih Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Jam’iyah al-Azhar al-
Ilmiyah, Mesir, 1938
Wirdjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 1967

14

You might also like