You are on page 1of 7

Proses Pembentukan Personal Kader Dakwah

Imam Syahid berkata, “JIka didapatkan seorang muslim yang baik, maka akan didapatkan
sarana-sarana kesuksesan dalam dirinya.”

“Mentalitas kita –hari-hari ini- sungguh sangat membutuhkan pengobatan yang serius dan
penyembuhan yang total. Kita memerlukan pencairan bagi perasaan yang telah keras membeku;
kita membutuhkan perbaikan bagi akhlak yang telah rusak binasa; dan kita juga membutuhkan
penyadaran atas penyakit bakhil yang telah demikian akut. Tanpa proses ulang pembaharuan
mentalitas dan pembangunan jiwa ini, kita tidak mungkin melangkah ke depan walau hanya
selangkah.”

“Maka ketauhilah bahwa tujuan pertama yang digariskan oleh Ikhwanul Muslimin adalah
tarbiyah shahihah, yakni pembinaan umat yang mengantarkannya menuju kepribadian yang
utama dan mentalitas yang luhur. Pembinaan –untuk membangun jiwa yang dinamis- itu
ditegakkan dalam rangka merebut kembali kemuliaan dan kejayaan umat dan untuk memikul
beban tanggung jawab di jalan yang mengantarkan kepada tujuan.”

Untuk mengetahui gambaran tentang sifat-sifat pembentukan pribadi di dalam jamaah,


sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syahid di dalam risalah dan penyampaian-
penyampaiannya, adalah dengan cara mengumpulkan dan menyusun kewajiban dan sifat-sifat
tersebut, serta apa saja yang disampaikan Imam di dalam tujuan-tujuan dakwah dan klasifikasi
amal, maka kita akan mendapatkan gambaran yang lebih dekat tentang frofil muslim paripurna
yang diinginkan. Dimana ia berupa aktualisasi amal tarbawi melalui program-program amali dan
manhaj tertentu, serta sesuai dengan keberagaman sarana dan jenjang-jenjang tarbiyah yang
ditentukan jamaah, dan batasan-batasan yang diperlukan untuk mewujudkannya.

Kita dapat mengklasifikasikan sifat-sifat di atas dalam 3 (tiga) poros utama, yang merupakan
satu kesatuan yang saling terpadu:

1. Poros keimanan dan ibadah

2. Poros akhlak dan budi pekerti

3. Poros dakwah dan gerakan

- Untuk merealisasikan poros-poros di atas dibutuhkan proses pembinaan secara gradual dan
membaginya ke dalam fase-fase dan jenjang yang berbeda dalam proses pembentukan.

- Ia mencakup ikhwan dan akhwat dalam dua poros yaitu, poros keimanan dan akhlak.

- Adapun dalam poros gerakan –dalam beberapa hal tertentu- terdapat perbedaan antara ikhwan
dan akhwat, yaitu dalam hal karakteristik peran dan tugas yang diberikan.

Tarbiyah ini berlandaskan pada dua titik penting, yaitu

1. Menghidupkan tarbiyah diri di dalam setiap personal kader, “Melakukan tarbiyah untuk diri
sendiri, merupakan kewajiban kita yang pertama.”

2. Konsisten mengikuti tarbiyah kolektif yang diberikan oleh jamaah dan manhaj-manhajnya,
serta melalui ikatan yang menghimpunnya yang berlandaskan pada ta’aruf, tafahum dan takaful.

* Aktivitas hati lebih penting daripada aktivitas fisik, namun usaha untuk menyempurnakan
keduanya merupakan tuntutan syariat, meskipun dengan kadar tuntutan masing-masing berbeda,
dan kita harus mengupayakannya.
- Imam Syahid menegaskan tentang urgensi membangkitkan keimanan dan memperbaharui ruh,
jiwa dan perasaan, sebagai asas untuk bergerak dan terus eksis.

- Pembentukan ini berdiri di atas asas-asas; Iman yang kuat, pemahaman yang benar, pembinaan
yang cermat, cinta yang dipercaya, dan amal yang berkesinambungan. Ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh Imam Syahid di dalam risalahnya.

- Dibutuhkannya pemusatan perhatian terhadap dakwah, tidak melakukan lompatam-lompatan,


serta urgensi kesatuan barisan. Imam Syahid berkata, “Yakinlah kepada fikrah kalian, dan
berkumpullah di sekelilingnya, bekerjalah untuknya dan teguhlah di atas jalannya.”

Sesungguhnya tujuan yang diinginkan oleh dakwah bukanlah tujuan yang sederhana dan
terbatas, namun ia adalah tujuan yang besar dan dalam. Tujuan-tujuan itu bermula dari Ishlahul
fardy (proses perbaikan diri) hingga ustaziyatul ‘alam (kepemimpinan dunia). Meskipun di
antara tujuan-tujuan tersebut dengan realita yang ada terdapat kendala yang sangat besar, kendati
demikian hal ini adalah bentuk totalitas kepercayaan kepada manhaj Allah Swt., pertolongan,
kemenangan dan taufik dari-Nya. Hal ini tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali dengan
melalui manhaj yang panjang dalam proses pembinaan, tarbiyah dan pembangunan, yang
berlangsung secara terus menerus dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap memberikan
perhatian besar untuk proses pembinaan kader dan tarbiyahnya, karena hal ini merupakan asas
pijakan.

Pembangunan yang dicita-citakan demikian besarnya, dan target-target ini tidak mungkin dapat
diwujudkan dengan melakukan penyerangan, kudeta, atau melakukan lompatan-lompatan
terhadap sunah Allah dalam perubahan, menyelesihi atau meremehkannya. Pengalaman sejarah
yang pernah dilakukan oleh gerakan-gerakan reformis klasik dan kontemporer, menguatkan
konsep ini dan Manhaj yang dipilih dan disusun oleh Imam Syahid yang berlandaskan kepada
sunah Rasulullah Saw., dan sunnah Allah dalam perubahan dan kejayaan, yang mencakup
pengalaman-pengalaman orang lain, dan menghindari kesalahan-kesalahan yang mereka jatuh
kedalamnya.

Karakteristik Pembinaan Diri

Imam Syahid sangat memperhatikan upaya pembinaan diri yang paripurna dan gradual terhadap
personal, dari sisi normatif teoritis menuju sisi praktis-realistis, dengan tetap menjaga perbedaan
tabiat alami setiap orang dan pemenuhan kebutuhan spiritual, wawasan keilmuan dan kemahiran,
yang bertujuan terciptanya bangunan Islam yang komprehensif dalam melahirkan karakteristik
mukmin sejati, yang berakhlak, berbudi pekerti dan beradab Islami dalam bingkai pemahaman
yang teliti, seimbang, dan mumpuni untuk kebutuhan zaman sekarang, yang berpedoman kepada
sunnah Rasulullah Saw. dan petunjuknya dalam perbaikan dan pembinaan. Adapun 10 sifat
mukmin sejati dan rukun-rukun baiat, tiada lain adalah pengantar, manhaj dan pemusatan
terhadap program-program amali untuk mendapatkan akhlak-akhlak Islami dan petunjuk-
petunjuknya dalam membangun dan memperbaiki manusia.

- Imam Syahid menegaskan bahwa sesungguhnya titik tolak pembinaan diri seorang mukmin
sejati adalah dari dalam diri, yaitu dengan membangun keimanan, membersihkan jiwa dan
menguatkan keinginan. Kemudian beliau menambahkan untuk proses pembinaan tersebut sebuah
hadhanah (wadah pembinaan) praktis untuk menghayati dan menerapkan proses pembinaan ini,
yaitu Usrah. –Dalam kerangka jamaah- usrah adalah labinah dasar dalam membangun jamaah.
ia adalah sebuah ladang pembinaan dan tarbiyah yang akan mewujudkan, ta’aruf, tafahum dan
takaful, diantara kader dakwah dan diantara unit-unit shaf dan labinah dakwah yang lain.

- Dengan tersedianya program-program yang cocok dan sarana-sarana pembinaan yang sesuai
dengan kader-kader dakwah dan realitas yang ada –dan dengan memperhatikan setiap
perkembangan dan kemajuan-, Imam Syahid juga memperhatikan iklim (suasana) yang harus
memenuhi komunitas pembinaan, labinah-labinah, dan seluruh barisan dakwah, yaitu cinta
karena Allah, persaudaraan, saling memaafkan, menjadikan tingkatan ukhuwah yang paling
rendah adalah salamatu shard (berlapang dada). Ini adalah iklim dan suasana yang di dalamnya
terdapat kebersihan dengan seluruh maknanya yang luas, kesucian dan kemuliaan. Imam Syahid
menyebut penanggungjawab unit-unit usrah ini dengan ‘Naqib’, dan menjadikan seluruh anggota
usrah untuk bersama-sama dengan naqib melakukan pembinaan tarbawi dan meningkatkan
kualitas tarbiyah dan perbaikan diri.

- Menjadikan pembinaan tarbawi sebagai sesuatu yang asasi (mendasar) dalam dakwah, baik
dalam hal menetapkan mas’ul, maupun dalam melaksanakan peran pengelolaannya, atau
hubungan dengannya. Imam Syahid menjelaskan sisi pembinaan ini dengan mengatakan,
“Kepemimpinan –dalam dakwah Ikhwan- menduduki posisi orang tua dalam ikatan hati, posisi
seorang guru dalam memberikan pengajaran ilmu, dan posisi seorang syaikh dalam aspek
pendidikan rohani, dan posisi seorang pemimpin dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik
secara umum dalam dakwah. Dan dakwah mengumpulkan seluruh makna ini.”

- Imam Syahid memberikan perhatian yang besar terhadap kesempurnaan dan keparipurnaan
pembentukan dan pembinaan tarbawi kader-kader dakwah. Beliau tidak memisahkan antara
pembinaan diri dengan pencapaian sifat-sifat, antara gerakan, aktivitas dan pengaruh kader di
tengah masyarakat. Tetapi ia adalah sebuah pembentukan yang sempurna dan saling terkait dan
memberikan pengaruh satu sama lain, dan ia adalah bagian yang mendasar dari pembentukan ini,
yang digambarkan oleh Imam Syahid terdiri dari:

“Pemahaman yang teliti, pembinaan yang mendalam, dan amal yang berkesinambungan. Ia
bukanlah perubahan yang dangkal atau hanya sebagai jembatan untuk mendapatkan beberapa
adab dan muwashafat tarbiyah, karena ia digambarkan dengan kalimat Matinul Khulq (Kokoh
akhlaknya).

- Refleksi pembentukan ini dan intinya tergambar dalam 5 (lima) hal: “Kesederhanaan, tilawah,
Shalat, Keprajuritan, akhlak.”

Maknanya adalah:

* Poros keimanan dan ibadah, inti adalah tilawah dan shalat.

* Poros dakwah dan gerakan, intinya adalah keprajuritan.

* Poros budi pekerti, intinya adalah akhlak

* Karakter manhaj dan pembentukan sarana, intinya adalah kesederhanaan.

-Slogan pembentukan ini, Allah Ghayatuna (Allah adalah tujuan kami), Ar Rasul Qudqatuna
(Rasul adalah teladan kami), Al Qur’an Dusturuna (Al Quran adalah Undang-undang kami), Al
Jihad Sabiluna (Jihad adalah jalan juang kami), Al Maut Fi Sabilillah (Syahid di jalan Allah
adalah cita-cita kami tertinggi).

- Imam Syahid menggambarkan tentang kedalaman proses pembentukan ini dan tingkatan-
tingkatannya dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dakwah, jihad dan dalam mengemban beban
dakwah yang berat, beliau berkata:

“Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir-anasir positif
untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada.

Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Tidak dapat dikerjakan oleh seseorang kecuali yang
memiliki kesiapan secara benar untuk memikul beban jihad yang panjang masanya dan berat
tantangannya. Slogan utama dalam persiapan ini adalah: Totalitas ketaatan.
Sistem dakwah –pada tahapan ini- bersifat tasawuf murni dalam tataran ruhani, dan bersifat
militer dalam tataran operasional. Slogan untuk dua aspek ini adalah: perintah dan taat; tanpa
ragu dan bimbang.”

- Hal ini berbeda jauh dari pengenalan dakwah dan lebih dekat ke dalam karakteristik
pembentukan dan tarbiyah, dengan kesempurnaannya di pelbagai sisi perbaikan, yang sesuai
dengan keinginan dan target yang ingin dicapai, yang kemudian disebut sebagai, Tahap
pengenalan; dalam tahapan ini dakwah dilakukan dengan dengan menyebarkan fikrah Islam di
tengah masyarakat. Urgensinya adalah kerja social bagi kepentingan umum, sedangkan
medianya adalah nasihat, bimbingan, dan beberapa cara lain. Tentang hal ini, Imam Syahid
berkata, “Jamaah menjalin hubungan dengan orang yang ingin memberikan kontribusi bagi
aktivitasnya dan ingin ikut menjaga prinsip-prinsip ajarannya. Ketaatan tanpa reserve –pada
tahapan ini- tidaklah dituntut, bahkan tidak lazim. Tingkatannya seiring dengan kadar
penghormatannya kepada sistem dan prinsip-prinsip umum jamaah.”

Ikhwan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang ikhlas yang berkerja di lapangan ini,
yaitu lapangan perbaikan umum, mengenalkan Islam dan kebangkitannya di tengah masyarakat.

- Imam Syahid sangat memperhatikan urgensi kebenaran akidah dalam proses pembentukan dan
perbaikan diri seorang muslim. Beliau berkata, “Ma’rifah kepada Allah –Yang Maha Tinggi dan
Maha Mulia- dengan sikap tauhid dan penyucian (Dzat)-nya adalah setinggi-tinggi tingkatan
dalam akidah Islam. sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan hadits-hadits shahih tentangnya,
serta berbagai keterangan mutasyabihat yang berhubungan dengannya, kita cukup
mengimaninya sebagimana adanya tanpa ta’wil, dan ta’thil, serta tidak memperuncing
perbedaan yang terjadi di antara para ulama. Kita mencukupkan diri dengan keterangan yang
ada, sebagaimana Rasulullah Saw. dan para sahabatnya mencukupkan diri dengannya.

“Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa
nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib
diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang terbaik, yang tidak justru
menimbulkan bid’ah yang lain yang lebih parah.”

Beliau juga berkata, “Al Quran yang mulia dan sunnah yang suci adalah referensi utama setiap
muslim untuk mengenal hukum-hukum dalam agama Islam.”

Sebagaimana yang disebutkan Imam Syahid bahwa seorang al Akh seharusnya: memiliki
kekuatan hubungan dengan kitab Allah, mesjid dan perhatian yang besar terhadap shalat, Qiyam
Lail, dan hendaknya memiliki wirid harian bacaan Al Quran; baik wirid tilawah, mendengarkan,
menghapal, menghayati dan mentadabburinya.

- Imam Syahid menjadikan dasar pembinaan dalam tarbiyah berlandaskan manhaj Islam, yang
titik tolaknya adalah perbaikan dan mencakup segala aspek kemanusiaan, baik kepribadiaan,
akhlak, kehidupan dunia dan akhirat. Beliau juga tidak membedakan dalam urgensi dan
integralitas pembinaan ini antara lelaki dan wanita, anak-anak maupun orangtua. Semuanya
memiliki satu pijakan dasar, walaupun berbeda bentuk dan programnya. Hal ini merupakan
rukun pertama dalam manhaj perbaikan terhadap masyarakat dan pembangunan Negara. Imam
Syahid berkata, “Dan dengan urgensi kelahiran generasi baru ini, maka perbaikilah dakwah
dan maksimalkan proses pembentukannya, ajarkan kepadanya kebebasan jiwa dan hati, serta
kebebasan pemikiran dan akal, kebebasan jihad dan amal. Penuhilah jiwa yang liar dengan
keagungan Islam dan keindahan Al Quran, serta latihlah ia menjadi prajurit di bawah bendera
dan panji Nabi Muhammad, maka kalian akan menyaksikan kelahiran seorang pemimpin
muslim yang berjihad dengan dirinya dan membahagiakan orang lain.”

Imam Syahid berkata, pertama-tama, kami menginginkan seorang yang muslim dalam pola
piker dan akidahnya, dalam moralitas dan perasaannya, serta dalam amal dan prilakunya. Ini
merupakan salah satu upaya pembentukan individu mukmin dalam dakwah kami.”
Beliau juga berkata, “Seluruh jamaah Islam di masa kini sangat membutuhkan munculnya
pribadi aktivis sekaligus pemikir dan anasir produktivitas yang pemberani.” Dakwah ini tidak
membutuhkan kepada jiwa-jiwa yang tidak konsisten dan kaku, serta anasir-anasir dakwah yang
tertutup dan kepribadian yang senang menyendiri, yang memiliki jiwa yang keropos.”

“Untuk itu, kami juga memperhatikan kaum wanita sebagaimana perhatian kami kepada kaum
pria. Kami juga memperhatikan anak-anak sebagaimana perhatian kami kepada pemuda.”

Kaum wanita memikul tanggungjawab yang sama dalam dakwah dan beraktivitas untuk
mewujudkan tujuan yang sama pula, yang mencakup manhaj tarbawi dan takwini, dengan tetap
menjaga beberapa perbedaan aspek harakah dan peran-peran khusus mereka.

- Imam Syahid menetapkan muwashafat yang harus dipenuhi oleh seorang muslim di dalam
kehidupannya, yaitu:

Salimul Akidah (bersih akidahnya), shahihul Ibadah (benar ibadahnya), Matinul Khulq (Kokoh
akhlaknya), Qawiyyul Jismi (memiliki fisik yang kuat), Mutsaqqaful Fikr (berwawasan
pemikirannya), Qadirun Alal Kasbi (mampu berekonomi), Munazhamun fi Syu’unihi
(terorganisir seluruh urusannya), Harishun Ala waqtihi (Cermat mengatur waktunya),
Mujahidun Linasihi (kuat kesungguhan jiwanya), Nafi’un Li Ghairihi (Bermanfaat bagi
selainnya).

- Imam Syahid juga menetapkan rukun-rukun baiat berikut, yaitu; Fahm (pemahaman), Ikhlas,
Amal (aktivitas), Jihad, Tadhiyah (pengorbanan), Taat (kepatuhan), Tsabat (keteguhan),
Tajarrud (kemurnian), Ukhuwah dan Tsiqah (kepercayaan),” sebagai poros-poros pembentukan
utama bagi para pembawa risalah dakwah dan yang komitmen terhadap jamaah ini, yaitu sebagai
poros penyempurna, yang akan berjalan beriringan dengan 10 sifat yang lain, yang menyatu dan
membentuk satu dasar pijakan dalam pembentukan ini. Unsur ini yang kemudian terbagi dalam
beberapa tujuan dan poros-poros yang diwujudkan dengan program-program pendidikan dan
kegiatan-kegiatan tarbiyah.

Rukun-rukun baiat ini menunjukkan nilai-nilai tarbiyah yang dibutuhkan oleh individu dan
jamaah dakwah, demi membentuk labinah-labinah dakwah yang kuat dalam satu barisan:

Dalam aspek harakah, kami membutuhkan rukun-rukun berikut ini; Amal (aktivitas), Jihad,
Tadhiyah (pengorbanan).

Dalam aspek pengorganisasi dan barisan dakwah, kami membutuhkan Taat (kepatuhan),
Ukhuwah dan Tsiqah (kepercayaan).

Dalam aspek keyakinan, kami membutuhkan Fahm (pemahaman), Ikhlas, Amal (aktivitas), dan
Tajarrud (kemurnian).

Kemudian dalam seluruh aspek-aspek di atas, seorang kader dakwah membutuhkan rukun
Tsabat (keteguhan); agar dapat mewujudkan semua rukun-rukun baiat, dan tsabat di atas prinsip-
prinsip, baiat dan komitmennya terhadap jamaah.

Karena rukun-rukun baiat ini saling berkaitan erat, maka kelemahan dan kerusakan dalam salah
satu rukun-rukunnya akan menyebabkan kelemahan terhadap baiat-baiatnya yang lain.

- Imam Syahid menetapkan tujuan-tujuan tertinggi dalam jamaah –yang berupa tingkatan-
tingkatan amal-, yaitu arah dan wadah yang membatasi aspek-aspek pembentukan dan beban
dakwah, yang berasal dari dalam diri setiap individu, kemudian mempersiapkannya agar mampu
mewujudkan dan berupaya untuk melaksanakannya.

Imam Syahid menyebutkan tingkatan amal yang dituntut dari seorang al akh yang tulus, yaitu:
- Perbaikan diri sendiri

- Pembentukan keluarga muslim

- Bimbingan masyarakat

- Pembebasan tanah air

- Memperbaiki keadaan pemerintah, sehingga menjadi pemerintah Islam yang baik.

- Mengembalikan kekuasaan khilafah yang telah hilang dan terwujudnya persatuan yang
diimpikan bersama.

- Penegakan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam di seantero negeri.

Empat yang terakhir ini wajib ditegakkan oleh jamaah dan oleh setiap akh sebagai anggota
dalam jamaah itu.”

Tingkatan dan tujuan-tujuan ini memiliki refleksifitas dan perwujudannya di dalam program-
program penyiapan individu, dan di dalam sarana-sarana tarbiyah yang digunakan. Sebagaimana
ia juga memiliki pengaruh nyata dan nilai-nilai tarbawi dan haraki yang terwujud secara gradual,
sesuai dengan masing-masing tujuan, tanpa membedakan atau memisahkan antara tujuan-tujuan
tersebut, atau membatasi satu tujuan tanpa tujuan yang lain, dengan tetap memperhatikan jenjang
dakwah yang dilalui, dalam rangka mewujudkan tingkatan-tingkatan dan tujuan-tujuan yang
tinggi itu.

Program dan sarana-sarana tarbiyah yang digunakan tidak kaku dan statis, namun fleksibel dan
dinamis, dengan tetap menjaga perbedaan antara individu kader, dan dengan memanfaatkan
setiap sarana dan instrumen yang baru. Ia juga memelihara target, karakteristik dan target-target
utama. Program-program ini –baik teori maupun praktek- tidak terpisah, namun saling
menyempurnakan satu sama lain, yang mencakup seluruh aspek tarbawi.

Imam Syahid menjelaskan beberapa aspek penting di atas di dalam proses pembentukan individu
serta kesinambungannya, “Sesungguhnya, Islam menginginkan dalam diri setiap mukmin;

1. Perasaan dan nurani yang peka, sehingga dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan.

2. Islam juga menginginkan sebuah pandangan yang benar dalam memahami sesuatu itu benar
atau salah.

3. Sebuah keinginan kuat yang tidak akan pernah melemah dalam membela kebenaran.

4. Tubuh yang sehat yang siap mengemban berbagai tugas kemanusiaan secara baik, dan menjadi
perangkat yang layak untuk mewujudkan cita-cita yang mulia, mampu mengegolkan misi
kebenaran dan kebajikan.”

Dengan demikian, maka kewajiban seorang akh adalah:

1. Beribadah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, untuk mengasah


kepekaan nurani dan kehalusan perasaan.

2. Melakukan kegiatan belajar dengan kemampuannya untuk meningkatkan intelektualitas dan


wawasan keilmuannya.

3. Menghiasi dirinya dengan akhlak Islami, untuk mewujudkan kemauan yang kuat dan tekad
yang membaja.
4. Komitmen dengan aturan dan adab-adab Islam dalam tata cara makan, minum, dan tidur, agar
ia dipelihara oleh Allah dari ancaman pelbagai penyakit.

Ketika Islam menetapkan kaidah-kaidah ini, ia tidak hanya memperuntukkannya bagi kaum laki-
laki dan meninggalkan kaum wanita, melainkan keduanya memiliki kedudukan sama dalam
pandangan Islam. oleh karena itu, Ukhti Muslimah, -sebagaimana kami nasehatkan kepada al
akh Mulsim- hendaklah selalu dalam kehalusan nurani, keluasan cakrawala berpikir,
kesempurnaan akhlak dan kesehatan badan.

Imam Syahid menyebutkan 4 sifat yang wajib dipenuhi untuk membangun kekuatan diri, dan
beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut merupakan nilai-nilai dasar dalam diri individu
muslim dan umat Islam untuk bangkit mengemban dan memikul risalah dakwah. Sifat-sifat
terbut adalah:

“Kemauan yang keras yang tak tersentuh oleh kelemahan, kesetiaan yang kuat yang tak dikotori
oleh kepura-puraan dan pengkhianatan, pengorbanan besar yang tak dihalangi oleh ketamakan
dan kebakhilan, dengan pengetahuan terhadap dasar perjuangan, keyakinan dan penghormatan
terhadap dasar tersebut yang akan menjaga dari kesalahan dan penyimpangan, atau tertipu
dengan yang lain.”

You might also like