Professional Documents
Culture Documents
Pada beberapa kurun terakhir ini, ummat Islam di Indonesia khususnya banyak
dikejutkan oleh berbagai aksi terorisme yang merusak dan meluluhlantahkan tatanan
sosial, ekonomi dan politik, pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia yang
mengatasnamakan perjuangan Islam.
Islam telah dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang justru
merugikan umat Islam sendiri menurut kacamata nasional, regional bahkan global,
sehingga terjadi pandangan miring dan negatif bahwa umat Islam identik dengan
kekerasan dan terorisme. Padahal Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, pembawa
kedamaian, kejahteraan dan ketentraman bagi alam semesta. Ulama terkenal dari Timur
Tengah memberikan fatwa bahwa perbuatan teror adalah haram hukumnya dan
termasuk ajaran kaum khawarij.
Khawarij adalah aliran kalam pertama dalam sejarah Islam pada abad ke 1
hijriah. Aliran khawarij ini juga merupakan kelompok sektarian utama yang ketiga di
luar sunni dan syi'ah di bidang politik. Munculnya aliran khawarij ini berawal dari
masalah politik, walaupun pada akhirnya kebanyakan ulama dan cendikiawan lebih
memfokuskan pembahasan aliran khawarij dalam disiplin ilmu kalam (theologi), karena
dalam perkembangannya kaum khawarij lebih banyak bercorak theologis.
Pertempuaran terjadi antara kedua belah pihak di Shiffin. Pasukan Ali bin Abi
Thalib memperlihatkan tanda akan menang dan berhasil mendesak pasukan Muawiyah.
Amr bin Ash yang ikut berperang dari pihak Muawiyah bisa membaca situasi dan
mengusulkan kepada Muawiyah agar memerintahkan pasukannya untuk mengangkat
1
mushaf al-Qur'an dengan ujung tombak sebagai isyarat genjatan senjata minta untuk
damai dengan mengadakan arbitrase (tahkim atau penjurian).
Pada mulanya Ali bin Abi Thalib tidak mau menerima tawaran genjatan senjata
tersebut, karena beliau tahu permintaan damai tersebut hanya sebagai strategi tipu
muslihat dan akal busuk lawan yang terdesak dan hampir kalah dalam perang, akan
tetapi karena didesak sebagian pengikutnya terutama para qurra dan huffaz, akhirnya
diputuskanlah untuk mengadakan arbitrase.
Sebagai mediator atas usul sebagian pengikut Ali diangkat Abu Musa Al-
Asy'ary, walaupun sebenarnya Ali sendiri tidak setuju untuk mengangkat Abu Musa Al-
Asy'ary sebagai mediator karena beliau bukan diplomatik yang mengerti politik dan
strategi. Dari pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash seorang diplomatik ulung
sekaligus politikus dan ahli strategi. Akhirnya perundingan damai tersebut dimenangkan
oleh kubu Muawiyah bin Abi Sufyan dan membawa petaka serta kerugian pihak Ali bin
Abi Thalib.
Keputusan Ali bin Abi Thalib menerima arbitrase ternyata tidak didukung
semua pengikutnya. Mereka yang tidak setuju dengan sikap Ali keluar dari barisan Ali
dan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Risbi sebagai pemimpin mereka yang baru.
Kelompok ini kemudian memisahkan diri ke Harurah suatu desa dekat Kufah. Mereka
inilah kemudian dikenal dengan kaum khawarij.
2. Pengertian Khawarij
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya
yang keluar. Dinamai demikian karena kelompok ini adalah orang-orang yang keluar
dari barisan Ali bin Abi Thalib sebagai protes terhadap Ali yang mnyetujui perdamaian
dengan mengadakan arbitrase dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pendapat lain mengatakan bahwa khawarij berasal dari kata kharaja- khurujan
didasarkan atas Q.S.4 : 100 yang pengertiannya keluar dari rumah untuk berjuang di
jalan Allah. Kaum khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar
dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah.
2
Dengan demikian khawarij adalah aliran (firqah) yang keluar dari jamaah
(almufaraqah li al-jamaah) disebabkan ada perselisihan pendapat yang bertentangan
dengan prinsip yang mereka yakini kebenarannya.
3. Perkembangan Khawarij
d. Al-Baihasiyah
f. Al-Saalabiyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hokum bagi orang yang berbuat
dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya,
doktrin theology (ilmu kalam) ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka,
sedangkan doktrin-doktrin lain hanya pelengkap saja
4. Pemikiran Khawarij
3
Corak pemikiran khawarij dalam memahami nash (al-Qur'an dan hadis)
cenderung tekstual dan parsial, sehingga dalam menetapkan suatu hukum terkesan
dangkal dan sektarian. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi millieu para penganut aliran
khawarij yang mayoritas berasal dari suku Badawi yang rata-rata dalam kondisi
kehidupan keras dan statis. Keimanan yang kuat tanpa disertai wawasan keilmuan yang
luas menimbulkan fanatisme dan radikal, sehingga mudah memvonis bersalah terhadap
setiap orang yang tidak sepaham dan sejalan dengan alirannya.
a. Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh ummat
islam.
b. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan arab. Dengan demikian
setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
c. Khalifah sebelum Ali ( Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah,
tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah
menyeleweng.
d. Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi Arbitrase (tahkim), ia
dianggap telah menyeleweng
e. Mewajibkan menggulingkan pemimpin (pemerintah) yang berbuat
dzolim dan jahat dan melarang mereka menjadi penguasa dengan segala cara yang
mereka mampu, baik dengan kekerasan senjata atau tidak. Abul Hasan Al Asy’ari
menuliskan catatan tentang khawarij: “Mereka memandang (wajib) menggulingkan
penguasa yang lalim dan mencegah mereka menjadi penguasa dengan segala cara
yang mereka mampui , dengan pedang atau tidak denga pedang” Sedangkan Ibnul
Jauzi menyatakan: “Terus saja Khawarij memberontak terhadap pemerintah. Mereka
memiliki beraneka ragam madzhab. Pengikut Naafi’ bin Al Azraq menyatakan:
Kami masih musyrik selama masih berada di negeri syirik, apa bila kami
memberontak maka kami menjadi muslim. Mereka juga menyatakan: Orang yang
menyelisihi kami dalam madzhab adalah musyrik, pelaku dosa besar adalah musyrik
dan orang yang tidak terlibat ikut serta bersama mereka dalam perang adalah orang
kafir. Mereka menghalalkan pembunuhan wanita dan anak-anak kaum muslimin dan
memvonis mereka dengan syirik”
f. Mengkafirkan pelaku dosa besar dan memberlakukan hukum orang
kafir didunia dan akhirat padanya. Abul Hasan Al ‘Asy’ari ketika menceritakan
pokok ajaran khawarij menyatakan: “Mereka (Khawarij) seluruhnya sepakat
4
menyatakan semua dosa besar adalah kekufuran kecuali sekte Al Najdaat; mereka
tidak berpendapat demikian”.
g. Mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dan memaksa orang
lain mengikuti kebidahannya. Setelah itu menghalalkan darah dan harta orang yang
menyelisihinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Mereka mengkafirkan
orang yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darinya –dengan dalih telah
murtad menurut anggapan mereka- sesuatu yang tidak pernah mereka halalkan dari
orang kafir asli, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang
artinya : Memerangi kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala (Ahlul
Autsan)“.
h. Mengingkari adanya syafaat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
terhadap pelaku dosa besar yang belum bertaubat sebelum wafatnya.
i. Mencari-cari kesalahan para ulama salaf dan salafi, karena mereka
memandang para ulama tersebut sebagai batu sandungan dalam jalan mewujudkan
tujuan mereka.
j. Membenci kaum muslimin dan mengkafirkan mereka serta
menghalalkan darah dan harta mereka
k. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
l. Adanya wa’ad dan wa’id ( orang yang baik harus masuk surga,
sedangkan yang jahat harus masuk neraka).
m. Amar ma’ruf nahi mungkar.
n. Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang tampak mutasabihat (samar).
o. Quran adalah makhluk.
p. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas
yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya
menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka.
5
Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin f
sampai j.
a. Bodoh dan tidak faham tafsir Al Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyatakan: “Bid’ah pertama terjadi seperti bidah khawarij hanyalah disebabkan
kesalah fahaman mereka terhadap Al Qur’an, tidak ada maksud menentangnya,
namum mereka memahami dari Al Qur’an dengan salah sehingga meyakini bahwa
sesuatu itu mengharuskan pengkafiran para pecandu dosa, karena mukmin itu
hanyalah yang baik dan takwa. Mereka menyatakan: ‘Siapa yang tidak baik dan
takwa maka ia kafir dan kekal dineraka’. Kemudian menyatakan: ‘Utsman, Ali dan
orang yang mendukung mereka bukan mukmin, Karena mereka berhukum dengan
selain hukum Islam’. Sehingga kebidahan mereka memiliki alur sebagai berikut:
Pertama : Siapa yang menyelisihi Al Qur’an dengan amalannya atau pendapat yang
salah, maka ia telah kafir. Kedua: Ali dan Utsman dan semua yang mendukung
keduanya dulu berbuat demikian
6
b. Tidak mengikuti Sunnah dan pemahaman para sahabat dalam menerapkan
Al Qur’an dan Sunnah. Al Imam Al Bukhari menyatakan yang artinya : “Ibnu Umar
memandang mereka (Khawarij) sebagai makhluk terjelek dan menyatakan: ‘Sunguh
mereka mengambil ayat-ayat yang turun untuk orang kafir lalu menerapkannya
untuk kaum mukminin“.
c. Wara’ tanpa ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sikap wara’
ini menjerumuskan pemiliknya ke kebidahan besar, karena khawarij bersikap wara’
dari kedzaliman dan dari semua yang mereka yakini kedzaliman dengan bercampur
baur dengan kedzaliman tersebut menurut prasangka mereka hingga mereka
meninggalkan kewajiban berupa shalat jum’at, jamaah, haji dan jihad (bersama
kaum muslimin) serta sikap menasehati dan rahmat kepada kaum muslimin. Pemilik
wara’ seperti ini telah diingkari para imam, seperti imam empat
madzhab”.Kemudian beliau menjelaskan bahwa sikap wara’ tidak lurus tanpa
disertai ilmu yang banyak dan pemahaman yang baik dalam pernyataan beliau:
“Oleh karena itu orang yang bersikap wara’ membutuhkan ilmu yang banyak
terhadap Al Qur’an dan Sunnah dan pemahaman yang benar terhadap agama. Bila
tidak, maka sikap wara’ yang rusak tersebut merusak lebih banyak dari
kebaikannya. Sebagaimana dilakukan ahlu bid’ah dari Khawarij dan selainnya”.
d. Memandang satu kesatuan antara kesalahan dan dosa. Mereka menganggap
kesalahan dan dosa satu hal yang tidak mungkin terpisah. Sehingga seorang yang
berbuat salah menurut mereka pasti berdosa. Syaikhul Islam menyatakan: ” Orang-
orang sesat menjadikan kesalahan dan dosa satu kesatuan yang tidak terpisahkan”.
Kemudian beliau berkata: “Dari sini muncullah banyak sekte ahlil bid’ah dan sesat.
Ada sekelompok mereka yang mencela salaf dan melaknat mereka dengan
keyakinan para salaf tersebut telah berbuat dosa dan pelaku dosa tersebut pantas
dilaknat bahkan terkadang mereka menghukuminya sebagai fasik atau kafir,
sebagaimana dilakukan khawarij yang mengkafirkan, melaknat dan menghalalkan
memerangi Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin Affaan serta orang-orang yang loyal
terhadap keduanya”.
e. Keliru dan rancu memahami wasilah dan maqaasid (tujuan syar’i).
contohnya amar ma’ruf nahi mungkar adalah sesuatu yang dituntut dalam syari’at
(Mathlab Syar’i) yang memiliki ketentuan, batasan dan wasilah (sarana) tertentu.
Kaum Khawarij dengan sebab berpalingnya mereka dari Sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan yang mungkar menjadi ma’ruf dan
7
sebaliknya yang yang ma’ruf jadi mungkar. Oleh karena itu Syaikhul Islam
menyatakan: “Kebidahan yang pertama kali muncul dan paling dicela dalam Sunnah
dan atsar adalah bidah khawarij. Mereka memiliki dua kekhususan masyhur yang
membuat mereka menyempal dari jamaah muslimin dan imam mereka:
Pertama: keluar dari Sunnah dan mereka jadikan yang tidak jelek dianggap
kejelekan dan yang tidak baik dianggap kebaikan.Kedua: pada Khawarij dan ahli
bidah, mereka mengkafirkan orang lain hanya dengan sebab perbuatan dosa dan
kejelakan. Konsekuensi dari vonis kafir dengan sebab perbuatan dosa ini adalah
menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka dan (menganggap) negeri
Islam negeri kafir dan negeri merekalah negeri iman”.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, Analisa dan Pemikiran, Raja
Grafindo Persada, 1995