You are on page 1of 62

FORMAT PENGKAJIAN FISIK 

SEDERHANA
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

A. PENGKAJIAN

1.Identitas
a.Nama :……………………………………………………………
b.Usia :……………………………………………………………
c.Jenis kelamin :……………………………………………………………
d.Tinggi badan :……………………………………………………………
e.Berat badan :……………………………………………………………
f.Agama :……………………………………………………………
g.Suku :……………………………………………………………
h.Pendidikan :……………………………………………………………
i.Pekerjaan :……………………………………………………………
j.Alamat :……………………………………………………………

2.Pengkajian fisik
a.Tingkat kesadaran :
b.Tanda – tanda vital :
TD :
N:
P:
S:
Posisi ( duduk, berdiri, berbaring)
c.Keadaan umum :
Penampilan
Posisi saat dikaji
Postur tubuh
Ekspresi wajah
Bahasa tubuh
d.Sistem integumen
Warna kulit
Warna rambut
Kuku
Turgor kulit
Tekstir kulit
Integritas kulit
e.Kepala :
Bentuk
Kesimetrisan
Nervus V & VII
Keadaan rambut
Kondisi kulit kepala
Massa
Nyeri tekan
f.Mata :
Persebaran alis
Warna alis
Bentuk alis
Bulu mata
Kelopak mata
Sklera
Konjungtiva
Iris
Kornea
Pupil
Kelenjar lakrimalis
Alat bantu penglihatan
g.Telinga :
Daun telinga
Kesimetrisan
Lubang telinga
Membran timpani
Status pendengaran
h.Hidung dan penciuman :
Ukuran dan bentuk
Septum
Mukosa nasal
Patensi jalan napas
Nervus olfaktory
Status penciuman
i.Mulut dan orofaring :
Bibir
Gigi
Bunyi napas
Gusi
Nervus VII & IX
Lidah
Nervus XIII
Mukosa
Palatum
Uvula
Faring
Tonsil
Pergerakan mandibular
j.Leher :
Penamapakan luar
Tiroid
Trakea
Nodus limfe
k.Thoraks dan paru-paru :
Pernafasan
Thorax posterior
Auskultasi paru
l.Payudara dan axilla :
Ukuran payudara
Puting
Axilla
Nodus limfe
m.Jantung dan pembuluh darah :
Tekanan darah
Nadi karotis
Nadi apikal
Nadi perifer
n.Abdomen :
Bentuk
Kulit
Bunyi peristaltik
o.Sistem muskuloskeletal :
Punggung
Tulang vertebra
Sendi
Pergerakan
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
p.Sistem igenitourinaria dan rektum :
Rektum
Genetalia wanita
Genetalia pria
q.Sistem neurologi :
keseimbangan
Nervus XI
Refleks
Kordinasi
Nervus kranial
r.Status mental :
Status kesadaran
Orientasi
Memori
Bahasa dan pembicaraan
Respon

Filed under: C. PENGKAJIAN FISIK | 2 Komentar »

CT SCAN
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
CT SCAN (Computerized Axial Tomografi)

1.PENGERTIAN
CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai
sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya dugaan yang kuat antara suatu
kelainan, yaitu :
a.Gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses.
b.Perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark.
c.Brain contusion.
d.Brain atrofi.
e.Hydrocephalus.
f.Inflamasi.

Berat badan klien merupakan suatu hal yang harus dipertimbangkan. Berat badan klien yang
dapat dilakukan pemeriksaan CT Scan adalah klien dengan berat badan dibawah 145 kg. Hal ini
dipertimbangkan dengan tingkat kekuatan scanner. Sebelum dilakukan pemeriksaan CT scan
pada klien, harus dilakukan test apakah klien mempunyai kesanggupan untuk diam tanpa
mengadakan perubahan selama 20-25 menit, karena hal ini berhubungan dengan lamanya
pemeriksaan yang dibutuhkan.
Harus dilakukan pengkajian terhadap klien sebelum dilakukan pemeriksaan untuk menentukan
apakah klien bebas dari alergi iodine, sebab pada klien yang akan dilakukan pemeriksaan CT

Scan disuntik dengan zat kontras berupa iodine based kontras material sebanyak 30 ml. Bila
klien ada riwayat alergi atau dalam pemeriksaan ditemukan adanya alergi maka pemberian zat
kontras iodine harus distop pemberiannya. Karena eliminasi zat kontras sudah harus terjadi
dalam 24 jam. Maka ginjal klien harus dalam keadaan normal.
2.TUJUAN
Menemukan patologi otak dan medulla spinalis dengan teknik scanning/pemeriksaan tanpa
radioisotop
3.PRINSIP KERJA
Film yang menerima proyeksi sinar diganti dengan alat detektor yang dapat mencatat semua
sinar secara berdispensiasi. Pencatatan dilakukan dengan mengkombinasikan tiga pesawat
detektor, dua diantaranya menerima sinar yang telah menembus tubuh dan yang satu berfungsi
sebagai detektor aferen yang mengukur intensitas sinar rontgen yang telah menembus tubuh dan
penyinaran dilakukan menurut proteksi dari tiga tititk, menurut posisi jam 12, 10 dan jam 02
dengan memakai waktu 4,5 menit.
3. PENATALAKSAAN
PERSIAPAN PASIEN
Pasien dan keluarga sebaiknya diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan. Pasien
diberi gambaran tentang alat yang akan digunakan. Bila perlu dengan menggunakan kaset video
atau poster, hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada pasien dengan demikian
menguragi stress sebelum waktu prosedur dilakukan. Test awal yang dilakukan meliputi :
Kekuatan untuk diam ditempat ( dimeja scanner ) selama 45 menit.
Melakukan pernapasan dengan aba – aba ( untuk keperluan bila ada permintaan untuk
melakukannya ) saat dilakukan pemeriksaan.
Mengikuti aturan untuk memudahkan injeksi zat kontras.
Penjelasan kepada klien bahwa setelah melakukan injeksi zat kontaras maka wajah akan nampak
merah dan terasa agak panas pada seluruh badan, dan hal ini merupakan hal yang normal dari
reaksi obat tersebut. Perhatikan keadaan klinis klien apakah pasien mengalami alergi terhadap
iodine. Apabila pasien merasakan adanya rasa sakit berikan analgetik dan bila pasien merasa
cemas dapat diberikan minor tranguilizer. Bersihkan rambut pasien dari jelly atau obat-obatan.
Rambut tidak boleh dikepang dan tidak boleh memakai wig.

4.PROSEDUR
a.Posisi terlentang dengan tangan terkendali.
b.Meja elektronik masuk ke dalam alat scanner.
c.Dilakukan pemantauan melalui komputer dan pengambilan gambar dari beberapa sudut yang
dicurigai adanya kelainan.
d.Selama prosedur berlangsung pasien harus diam absolut selama 20-45 menit.
e.Pengambilan gambar dilakukan dari berbagai posisi dengan pengaturan komputer.
f.Selama prosedur berlangsung perawat harus menemani pasien dari luar dengan memakai
protektif lead approan.
g.Sesudah pengambilan gambar pasien dirapihkan.

5.HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN


a.Observasi keadaan alergiterhadap zat kontras yang disuntikan. Bila terjadi alergi dapat
diberikan deladryl 50 mg.
b.Mobilisasi secepatnya karena pasien mungkin kelelahan selama prosedur berlangsung.
c.Ukur ntake dan out put. Hal ini merupakan tindak lanjut setelah pemberian zat kontras yang
eliminasinya selama 24 jam. Oliguri merupakan gejala gangguan fungsi ginjal, memerlukan
koreksi yang cepat oleh seorang perawat dan dokter.

Filed under: A. DIAGNOSTIK ZONE | 3 Komentar »

TEORI AUTOIMUNITAS
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

TEORI AUTOIMUNITAS

A.Pendahuluan
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari antigen asing,
karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen. tetapi pengalaman klinis menunjukkan
bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas.
Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan sendiri. Antigen
tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel
autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untik autoantigen. Bila sel tersebut
memberikan respons autoimun, disebut sel limfosit reaktif (SLR). Pada orang normal , meskipun
SLR berpasangan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respon autoimun, karena ada system
yang mengontrol reaksi autoimun.
Kadang-kadang tidak jelas apakah autoantibody tersebut merupakan penyebab atau timbul
sekunder akibat suatu penyakit. Oleh karena itu harus dibedakan antara fenomena autoimun
dengan penyakit autoimu. Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan
jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala
klinis disebut fenomena autoimun.
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa tubuh menjadi toleran
terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang autoreaktif selama perkembangan
embriologiknya akan musnah.
B.Teori-teori autoimunitas
1.Teori sequestered antigen atau hidden antigen
Sequestered aatau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomic tek pernah
berhubungan dengna system imu n misalnya antigen sperma, lensa mata, dan saraf pusat. Bila
sawar tersebut rusak, dapat timbul penyakit autoimmun

2.Teori defesiensi immun


Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan system limfoid.
Penyakit autoimmune sering ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun, misalnya pada lanjut
usia
3.Determinan antigen baru
Pembentukan autoantibody dapat dicetuskan oleh karena timbul deterrminan antigen baru pada
protein normal. Contoh autoantibody yang timbul akibat hal tersebut ialah factor rematoid (FR).
FR dibentuk terhadap determinan antigen yang terdapat pada immunoglobulin
4.Reaksi silang dengan mikroorganisme
Kerusakan jantung pada demam reumatik anak diduga terjadi kaibat produksi antigen terhadap
streptokok A yang bereaksi silang dengan miokard penderita
5.Virus sebagai pencetus autoimunitas
Virus yang terutama mengginfeksi system limfoid dapat tmempengaruhi mekanisme kontrol
imunologik sehingga terjadi autoimunitas
6.Autoantibodi dibentuk sekunder akibat kerusakan jaringan
Autoantibodi terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar
autoantibody disini terlalu rendah untuk dapat menimbulkan penyakit autoimmun. Autoantibody
dapat dibentuk pula terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung. Pada
tuberculosis dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada berbagai jaringan,
dapat pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jaringan dalam kadar gula yang rendah
C.Pembagian Penyakit Autoimmun
Penyakit autoimmun dapat dibagi menajdi 2 golongan yaitu organ spesifik dan non spesifik
Organ spesifik

Non organ spesifik


Tiroiditis hasimoto
Miksidema primer
Tirotoksotosis
Anemia pernesiosa
Gastritis kronik autoimun
Penyakit Addison
Menopause premature
Disbetes juvenile
Sindorm goodpasture
Miastenia gravis
Infertilitas pada pria
Pemfigus vulgaris
Pemfigoid
Oftalmia simpatis
Uveitis vagogenik
Sclerosis multiple
Anemia hemolitik autoimun
Purpura trombositopenik idiopatik
Leucopenia idiopatik
Sirosis bilier primer
Hepatitis kronik aktif dengan HBsAg negative
Sirosis kriptogenik
Colitis ulseratif
Sindrom Sjögren
Arthritis rematoid
Dermatomiositis
Scleroderma
LE discoid
Lupus eritermatosus sistemik (SLE)
D.Kriteria Penyakit Autoimun
Kriteria untuk menegakkan diagnosis penyakit autoimmun adalah sebagai berikut :
1.Penyakit timbul akibat adanya respons autoimun
2.Ditemukan autoantibody
3.Penyakit dpat ditimbulkan oleh bahan yang diduga merupakan antigen
4.Penyakit dapat dipindahkan dari satu binatang ke binatang yang lain melalui serum atau
limfosit yang hidup

Filed under: 9. IMUNOLOGY ZONE | 5 Komentar »

PENYAKIT AUTOIMMUN
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

A.Sklerosis Sistemik
1.Defenisi
Sklerosis sistemik adalah panyakit jaringan ikat yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan
degeneratif pada kulit, sinovium, dan arteri ; juga pada parenkim organ dalam terutama
esophagus, usus, paru, jantung, ginjal dan kelenjar gondok. Penyakit ini dikenal juga dengan
nama skleroderma
2.Epidemiologi
Sclerosis sistemik merupakan penyakit yang terdapat diseluruh dunia dan dijumpai pada semua
bangsa. Biasanya dimulai pada usis 20-50 tahun, jarang pada anak-anak. Frekwensi pada wakita
3 kali frekwensi pria
3.Patogenensis dan patofisiologi
Etiologi dan patogenesis yang pasti belum diketahui. Diduga patogenesisnya berdasarkan
kelainan vascular. Dugaan ini timbul karena sebelum terjadi perubahan pada dermis dan
epidermis, telah ada reaksi peradangan vascular dan perivaskular pada jaringan subkutan. Reaksi
peradangan dan perubahan vascular subkutan ini akan menyebabkan hilangnya kapiler-kapiler
kulit (devaskularisasi) yang selanjutnya mengakibatkan atrofi epidermis dan penebalan dermis
Hipotesis yang diajukan berdasarkan hasil observasi pada biakan jaringan, ternyata pada
scleroderma, fibroblast kulit mensintesis koleagen lebih banyak dengan fibroblast kulit normal
Peningkatan produksi kolagen yang dideposit pada jaringan ikat disekitar tunika adventisia akan
mengekang arteri kecil/arteriol yang bersangkutan, aehingga kontraktilitas dan vasodilatasi arteri
kecil dan arteriol terganggu. Akibatnya timbul gangguan vasomotor seperti yang terlihat pada
syndrome raynaud dan sclerosis sistemik progresif. Kolagen ini dapat melekat pada endotel
pembuluh darah. Kemudian terjadi adhesi antara trombosit dan kolagen, atau antara trombosit
dan leukosit, yangmenyebabkan kerusakan endotel dan membrane basal. Peristiea ini akan
diikuti oleh fibrosis reaktif berupa proliferasi intima yang sangat menoniol pada aklerosis
sistemik progresif
Penipisan tunika intima media mungkin terjadinya sekunder terhadap perubahan distensibilitas
struktur mikrovaskular yang terjepit diantara materi fibrotik yang terdapat pada intima dan
adventisia. Dengan demikian, gangguan metabolisme kolagen pada fibroblast dapat
menerangkan baik manifestasi vascular maupun manifestasi fibrosis pada sclerosis sistemik
progresif
4.Gejala klinis dan konplikasi
a.Kulit
Pada kasus yang khas trias terdiri atas penipisan epidermis, hilangnya alat-alat seperti rambut,
kelenjar keringat, kelenjer lemak di epidermis, dan kulit menjadi tegang. Fibrosis menyebabkan
kulit melekat pada struktur dibawahnya. Sklerodaktili ialah keadaaan kakunya kulit bagian distal
dari sendi interfalangeal proksimal. Terdapat pembengkakan dan ketegangan lengan bawah dan
tangan yang difus dan simetris. Klien tidak dapat dicubit, keringat berkurang, rambut dan lemak
menghilang. Kulit tampak kering dan retak-retak. Jari-jari mengalami fleksi kontraktur. Terdapat
daerah-daerah dengan pegmentasi dan vitiligo. Epidermis mudah terkelupas karena tipis.
b.Saluran pencernaan
Hipomotilitas asofagus merupakan manifestasi paling sering dari terlibatnya organ dalam. Sering
timbul dini dan dirasakan swebagai rasa penuh di substernal. Karena timbul dini, sangat berguna
sebagai gejala diagnostic. Keluhan akan lebih berat jika terjadi esofagitis atau striktur
Pada keadaaan lanjut, terjadi striktur esophagus yang memerlukan dilatasi mekanis. Dilatasi dan
hipoosmolalitas duodenum dan jejunum menyebabkan malabsorbsi sehingga mengakibatkan
berat badan menurun. Dapat juga terjadi anemia karena telangiektasis di saluran pencernaan
mengalami perdarahan. Ditemukan juga kelainan kolon yang dianggap diagnostic. Kelainan ini
ditandai dengan terbentuknya kantong-kantong bermulut lebar pada dinding kolon. Biasanya
kalainan ini asimptomatik

c.Paru
Scleroderma paru yang klasik ditandai dengan fibrosis intestinal yang klasik ditandai dengan
fibrosis interstitial difus. Keluhan mungkin baru timbul lama setelah terdapat gangguan fungsi
paru dan kelainan pada gambaran radiologist. Jarang ditemukan jari clubbing. Pengawasan
terhadap perkembangan hipertensi paru dapat dilakukan dengan memperhatikan peningklatan
intensitas komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 dan derajat pecahnya (splitting bunyi
jantung 2. ini penting karena pada kebanyakan penderita telah terdapat hipertensi paru sebelum
timbul keluhan pada paru.
d.Jantung
Kelainan jantung pada scleroderma ada 3 macam :
1)Sclerosis koroner : merupakan kelainan yang paling tidak spesifik. Jarang timbul angina atau
infark jantung
2)Fibrosis miokard
3)Kelainan perikard : berupa epikarditis akut, efusi perikard tanpa gejala yang berlangsung
lambat tapi progresif
Gejala gangguan jantung sering sukar dibedakan dengan gejala gangguan paru, misalnya
dyspnea d’effort atau nafas pendek. Untuk ini kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
lain seperti foto rongten/analisis jantung, EKG/ekokardiografi dan kateterisasi jantung
e.Ginjal
Tanda-tanda klinis kelainan ginjal yaitu hipertensi ( tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg),
proteinuria > 1+, dan uremia. Kelainan ginjal sering timbul akut. Factor presipitasi untuk
timbulnya gangguan ini adalah berhurangnya volume darah sehingga aliran darah ginjal
terganggu, misalnya karene operasi besar, perdarahan, pemakaian diuretic yang berlebihan.
5.Diagnosis
Sulit untuk menegakkan diagnosis scleroderma sebelum timbul kelaianan kulit yang khas.
Scleroderma harus dipikirkan jika pada seorang wamnita berumur 20-50 tahun terdapt syndrome
raynaud dan pembengkakan tangan. Syndrome raynaud ini tampak pada jari-jari tangan . mula-
mula pucat dan sianosis (karena vasokontriksi), kemudian menjadimerah dan nyeri pada waktu
sirkulasi kembali normal. Biasanya timbul akibat pengaruh udara dingin atau ketegangan emosi.
Pemerisaan radiologik banyak membantu dalam menegakkan diagnosis scleroderma .
pemeriksaaan radiologik yang biasanya dilakukan adalah :
a.Foto rongten oesophagus maag duodenum (OMD) : tampak hipoosmolalitas esophagus
b.Foto rongten tangan/lengan : tampak resorpsi falang, kalsifikasi subkutan
c.Foto rongten toraks : fibrosis interstitial difus di paru-paru
d.Foto rongten usus halus : dilatasi jejenum , ileum
e.Foto rongten kolon : gambaran kantong-kantong pada kolon
f.Foto rongten gigi : pelebaran membran periodontal
g.Arteriogram perifer : penyumbatan pembuluh darah
h.Arteriogram ginjal disertai pemeriksaan aliran darah korteks ginjal
Gambaran histopatologik kulit menunjukkan adanya penebalan epidermis disertai
menghilangnya organ-organ epidermis dan tampak pula bertambahnya jaringan kolagen dalam
dermis
6.Penatalaksanaan
a.Medikamentosa
1)Obat vasoaktif
a)Fenoksibenzamin, suatu obat alfa adrenergic, diberikan peroral, 10-40 mg/hari
b)Guanetidin dengan dosis 40 mg, sekali sehari
c)Metildopa, kerjanya menurunkan depot katekolamin. Dimulai dengan dosis rendah sampai
mencapai dosis 2 g/hari
d)Reserpin, juga merupakan penghambat simpatis. Dianjurkan pemberian dosis rendah sacara
intra arteri untuk menghindari pengaruh sistemik dan mencapai pengaruh maksimal pada arteri
perifer. Pemberian 0,5 mg menghasilkan perlindungan terhadap vasokonstriksi perifer selama ±
6 bulan

2)Obat-obat antiinflamasi
a)Asam asetilsilat, terutama untuk atralgia dan mialgia. Dosis mungkin mencapai 4-5 g/hari
b)Kortikosteroid, diberikan jika terdapat tanda-tanda peradangan pada awal penyakit
c)Potassium para-aminobenzoat 12-16 g/hari. Efek sampingnya terhadap saluran pencernaan
serta timbulnya reaksi alergi di kulit menyulitkan pemberian jangka lama
d)Antimalaria
3)Lain-lain
a)Rheomacrodex
b)Imunosupresif misalnya klorambusil
c)Colchicines, 7-10 mg/minggu. Mengurangai sekresi proklagen oleh fibroblast
d)D- penisilamin, dosis 0,5-2,0 g/hari
b.Fisioterapi
Fisioterapi merupakan hal yang tak boleh dilupakan pada penatalaksanaan scleroderma. Latihan
range of motion aktif/pasif, pemanasan. Keduanya bermanfaat untuk memperbaiki peredaran
darah dankontraktur yang disebabkan oleh fibrosis pada sendi dan kulit
Pencegahan vasokonstriksi karena dingin dan usaha mempertahankan pembuluh darah dalam
keadaan sedikit vasodilatasi dilakukan misalnya dengan melindungi tubuh terhadap dingin dan
melakukan latihanjasmani bertahap
c.Tindakan operatif
Tindakan operatif terutama ditujukan terhadap :
Ulserasi : debridement dan sebagainya
Simpatektomi : hasilnya hanya bersifat sementara, tidak berlangsung lama
Rekontruksi

d.Pengobatan khusus
Bergantung pada organ/system yang terkene misalnya esophagus, usus halus, paru, ginjal,
jantung, dan sebagainya
e.Perawatan di Rumah sakit
Perawatan di Rumah sakit perlu silakukan apabila ditemukan kegagalan kardiopulmonal,
kegagalan ginjal, gangguan saluran pencernaan yang berat berupa diare, muntah, dehidrasi,
malnutrisi, memerlukan bimbingan fisioterapi yang ketat, dan persiapan operasi
f.Aspek psikososial
Perlu penjelasan mengenai penyakit disertai sokongan penderita maupun keluarganya.
B.Arthritis Reumatoid
1.Defenisi
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan
kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi. Artritis rematoid juga bisa
menyebabkan sejumlah gejala di seluruh tubuh. Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah
penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih sering dibandingkan pria. Biasanya pertama kali muncul
pada usia 25-50 tahun, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun.
2.Penyebab
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi berbagai faktor (termasuk kecenderungan genetik)
bisa mempengaruhi reaksi autoimun.
3.Patofisiologi
Pada AR, reaksi autoimun terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Pada proses fagositosis
menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim ini akan memecah kolagen sehingga
terjadi edema, proliferasi membrane sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan
menghancurkan tulang rawan dan meniombulkan erosi tulang. Pada AR, peradangan
berlangsung terus menerus dan menyebar ke struktur-struktur sendi disekitarnya termasuk tulang
rawansendi dan kapsul fibrosa sendi. Akhirnya ligament dan tendon ikut meradang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan menganggu gerak sendi. Otot akan ikut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya
elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Pada p[eradangan kronik, membrane sinovium
mengalami hipertropi dan menebal sehingga terjadi hambatan aliran darah yang menyebabkan
nekrosis sel dan respon peradangan berlanjut. Sinovium yang menebal inilah yang dilapisi oleh
jaringan granuler disebut sebagai pannus seeperti yang disebutkan sebelumnya. Pannus ini dapat
menyebar ke seluruh sendi dan merangsang proses peradangan dan pembentukan jaringan parut
dan secara lambat akan merusak sendi. Hal ini akan menyebabkan nyeri yang sangat hebat dan
deformitas.
4.Gejala
Artritis rematoid bisa muncul secara tiba-tiba, dimana pada saat yang sama banyak sendi yang
mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris, jika suatu sendi pada sisi kiri
tubuh terkena, maka sendi yang sama di sisi kanan tubuh juga akan meradang. Yang pertama kali
meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan,
sikut dan pergelangan kaki. Sendi yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi
kaku, terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas.
Beberapa penderita merasa lelah dan lemah, terutama menjelang sore hari.
Sendi yang terkena akan membesar dan segera terjadi kelainan bentuk.
Sendi bisa terhenti dalam satu posisi (kontraktur) sehingga tidak dapat
diregangkanataudibukasepenuhnya. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah
kelingking, sehingga tendon pada jari jari tangan bergeser dari tempatnya. Pembengkakan
pergelangan tangan bisa mengakibatkan terjadinya sindromaterowongankarpal. Di belakang lutut
yang terkena, bisa terbentuk kista, yang apabila pecah bisa menyebabkan nyeri dan
pembengkakan pada tungkai sebelahbawah. Sekitar 30-40% penderita memiliki benjolan keras
(nodul) tepat dibawah kulit, yang biasanya terletak di daerah sekitar timbulnya penyakit ini.
Bisa terjadi demam ringan dan kadang terjadi peradangan pembuluh darah (vaskulitis) yang
menyebabkan kerusakan saraf atau luka (ulkus) di tungkai.
Peradangan pada selaput di sekitar paru-paru (pleuritis) atau pada kantong di sekitar jantung
(perikarditis) atau peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru bisa
menyebabkan nyeri dada, gangguan pernafasan dan kelainan fungsi jantung. Penderita lainnya
menunjukkan pembengkakan kelenjar getah bening, sindroma Sjögren atau peradangan mata.
Penyakit Still merupakan variasi dari artritis rematoid dimana yang pertama muncul adalah
deman tinggi dan gejala umum lainnya.
Sindroma Felty terjadi jika pada penderita artritis rematoid ditemukan pembesaran limpa dan
penurunan jumlah sel darah putih.
5.Diagnosa
Membedakan artritis rematoid dari berbagai keadaan lainnya yang bisa menyebabkan artritis,
tidaklah mudah.
Keadaan-keadaaan yang menyerupai artritis rematoid adalah:
a. Demamrematik
b. Artritisgonokokal
c. PenyakitLyme
d. SindromaReiter
e. Artritispsoriatik
f. Spondilitisankilosing
g. Gout
h. Pseudogout
i. Osteoartritis.
Pola gejalanya sangat khas, tetapi untuk memperkuat diagnosis perlu dilakukan:
1.Pemeriksaan darah
- 9 dari 10 penderita memiliki laju endap eritrosit yang meningkat
- sebagian besar menderita anemia
- kadang jumlah sel darah putih berkurang
- 7 dari 10 penderita memiliki antibodi yang disebut faktor rematoid; biasanya semakin tinggi
kadar faktor rematoid dalam darah, maka semakin berat penyakitnya dan semakin jelek
prognosisnya. Kadar antibodi ini bisa menurun jika peradangan sendi berkurang dan akan
meningkat jika terjadi serangan.
2.Pemeriksaan cairan sendi.
3.Biopsi nodul.
4.Rontgen, bisa menunjukkan adanya perubahan khas pada sendi.
Mengenali artritis rematoid.
Seseorang yang memiliki 4 dari 5 gejala berikut, kemungkinan menderita artritis rematoid:
1.Kekakuan di pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam (selama minimal 6 minggu)
2.Peradangan (artritis) pada 3 atau lebih sendi (selama minimal 6 minggu)
3.Artritis pada persendian tangan, pergelangan tangan atau jari tanan (selama minimal 6 minggu)
4.Faktor rematoid di dalam darah
5.Perubahan yang khas pada foto rontgen.
6.Pengobatan
Prinsip dasar dari pengobatan artrtitis rematoid adalah mengistirahatkan sendi yang terkena,
karena pemakaian sendi yang terkena akan memperburuk peradangan.
Mengistirahatkan sendi secara rutin seringkali membantu mengurangi nyeri.
Pembidaian bisa digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi,
tetapi untuk mencegah kekakuan, perlu dilakukan beberapa pergerakan sendi yang sistematis.
Obat-obatan utama yang digunakan untuk mengobati artritis rematoid adalah obat anti
peradangan non-steroid, obat slow-acting, kortikosteroid dan obat imunosupresif. Biasanya,
semakin kuat obatnya, maka semakin hebat potensi efek sampingnya,sehingga diperlukan
pemantauan ketat.
Obat anti peradangan non-steroid.
Yang paling banyak digunakan adalah aspirin dan ibuprofen.
Obat ini mengurangi pembengkakan pada sendi yang terkena dan meringankan rasa nyeri.
Aspirin merupakan obat tradisional untuk artritis rematoid; obat yang lebih baru memiliki lebih
sedikit efek samping tetapi harganya lebih mahal.
Dosis awal adalah 4 kali 2 tablet (325 mgram)/hari.
Telinga berdenging merupakan efek samping yang menunjukkan bahwa dosisnya terlalu tinggi.
Gangguan pencernaan dan ulkus peptikum, yang merupakan efek samping dari dosis yang terlalu
tinggi, bisa dicegah dengan memakan makanan atau antasid atau obat lainnya pada saat
meminum aspirin.
Misoprostol bisa membantu mencegah erosi lapisan lambung dan pembentukan ulkus gastrikum,
tetapi obat ini juga menyebabkan diare dan tidak mencegah terjadinya mual atau nyeri perut
karena aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya.
Obat slow-acting.
Obat slow-acting kadang merubah perjalanan penyakit, meskipun perbaikan memerlukan waktu
beberapa bulan dan efek sampingnya berbahaya.
Pemakaiannyaharusdipantausecaraketat. Obat ini biasanya ditambahkan jika obat anti
peradangan non-steroid terbukti tidak efektif setelah diberikan selama 2-3 bulan atau diberikan
segera jika penyakitnya berkembang dengan cepat.
Yang sekarang ini digunakan adalah senyawa emas, penisilamin, hydroxycloroquinine dan
sulfasalazine.
1.Senyawa emas.
Senyawa emas berfungsi memperlambat terjadinya kelainan bentuk tulang. Biasanya diberikan
sebagai suntikan mingguan.
Suntikan mingguan diberikan sampai tercapai dosis total 1 gram atau sampai timbulnya efek
samping atau terjadinya perbaikan yang berarti.
Jika obat ini efektif, dosisnya dikurangi secara bertahap.
Kadang perbaikan dicapai setelah diberikannya dosis pemeliharaan selama beberapa tahun.
Senyawa emas bisa menimbulkan efek samping pada beberapa organ, karena itu obat ini tidak
diberikan kepada penderita penyakit hati atau ginjal yang berat atau penyakit darah tertentu.
Sebelum pengobatan dimulai dan setiap seminggu sekali selama pengobatan berlangsung,
dilakukan pemeriksaan darah dan air kemih.
Efek sampingnya berupa ruam kulit, gatal dan berkurangnya sejumlah sel darah.
Jika terjadi efek samping yang serius, maka pemakaiannya segera dihentikan.
2.Penisilamin.
Efeknya menyerupai senyawa emas dan bisa digunakan jika senyawa emas tidak efektif atau
menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi.
Dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai terjadinya perbaikan.
Efek sampingnya adalah penekanan terhadap pembentukan sel darah di dalam sumsum tulang,
kelainan ginjal, penyakit otot, ruam kulit dan rasa tidak enak di mulut. Jika terjadi efek samping
tersebut, maka pemakaian obat harus dihentikan.
Obat ini juga bisa menyebabkan miastenia gravis, sindroma Goodpasture dan sindroma yang
menyerupai lupus. Selama pengobatan berlangsung, dilakukan pemeriksaan darah dan air kemih
setiap 2-4 minggu sekali.
3.Hydroxycloroquine.
Digunakan untuk mengobati artritis rematoid yang tidak terlalu berat.
Efek sampingnya biasanya ringan, yaitu berupa ruam kulit, sakit otot dan kelainan mata. Tetapi
beberapa kelainan mata bisa menetap, sehingga penderita yang mendapatkan obat ini harus
memeriksakan matanya sebelum dilakukan pengobatan dan setiap 6 bulan selama pengobatan
berlangsung.
Jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan, maka pemberian obat ini dihentikan. Jika
terjadi perbaikan, pemakaian obat ini bisa dilanjutkan sesuai dengan kebutuhan.
4.Sulfasalazine.
Obat ini semakin banyak digunakan untuk mengobati artritis rematoid.
Dosisnya dinaikkan secara bertahap dan perbaikan biasanya terjadi dalam 3 bulan.
Sulfasalazine bisa menyebabkan gangguan pencernaan, kelainan hati, kelainan sel darah dan
ruam kulit.
Kortikosteroid.
Kortikosteroid (misalnya prednison) merupakan obat paling efektif untuk mengurangi
peradangan di bagian tubuh manapun.
Kortikosteroid efektif pada pemakaian jangka pendek dan cenderung kurang efektif jika
digunakan dalam jangka panjang, padahal artritis rematoid adalah penyakit yang biasanya aktif
selama bertahun-tahun.
Kortikosteroid biasanya tidak memperlambat perjalanan penyakit ini dan pemakaian jangka
panjang menyebabkan berbagai efek samping, yang melibatkan hampirsetiaporgan.
Efek samping yang sering terjadi adalah penipisan kulit, memar, osteoporosis, tekanan darah
tinggi, kadar gula darah yang tinggi dan katarak.
Karena itu obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi kekambuhan yang mengenai beberapa
sendi atau jika obat lainnya tidak efektif.
Kortikosteroid juga digunakan untuk mengobati peradangan diluar sendi, seperti peradangan
selaput paru-paru (pleuritis) atau peradangan kantong jantung (perikarditis).
Untuk menghindari resiko terjadinya efek samping, maka hampir selalu digunakan dosis efektif
terendah. Obat ini bisa disuntikkan langsung ke dalam sendi, tetapi bisa menyebabkan kerusakan
jangka panjang, terutama jika sendi yang terkena digunakan secara berlebihan sehingga
mempercepat terjadinya kerusakan sendi.
Obat imunosupresif.
Obat imunosupresif (contohnya metotreksat, azatioprin dan cyclophosphamide) efektif untuk
mengatasi artritis rematoid yang berat.
Obat ini menekan peradangan sehingga pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau diberikan
kortikosteroid dosis rendah.
Efek sampingnya berupa penyakit hati, peradangan paru-paru, mudah terkena infeksi, penekanan
terhadap pembentukan sel darah di sumsum tulang dan perdarahan kandung kemih (karena
siklofosfamid).
Selain itu azatioprine dan siklofosfamid bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker.
Metotreksat diberikan per-oral (ditelan) 1 kali/minggu, digunakan untuk mengobati arthritis
rematoid stadium awal. Siklosporin bisa digunakan untuk mengobati artritis yang berat jika obat
lainnya tidak efektif.
Terapi lainnya.
Bersamaan dengan pemberian obat untuk mengurangi peradangan sendi, bisa dilakukan latihan-
latihan, terapi fisik, pemanasan pada sendi yang meradang dan kadang pembedahan.
Sendi yang meradang harus dilatih secara halus sehingga tidak terjadi kekakuan.
Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan aktif yang rutin, tetapi jangan sampai terlalu
lelah. Biasanya latihan akan lebih mudah jika dilakukan di dalam air. Untuk mengobati
persendian yang kaku, dilakukan latihan yang intensif dan kadang digunakan pembidaian untuk
meregangkan sendi secara perlahan.
Jika pemberian obat tidak membantu, mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Untuk mengembalikan pergerakan dan fungsinya, biasanya dilakukan pembedahan untuk
mengganti sendi lutut atau sendi panggul dengan sendi buatan.
Persendian juga bisa diangkat atau dilebur (terutama pada kaki), supaya kaki tidak terlalu nyeri
ketika digunakan untuk berjalan. Ibu jari bisa dilebur sehingga penderita bisa menggenggam dan
tulang belakang di ujung leher yang tidak stabil bisa dilebur untuk mencegah penekanan
terhadap urat saraf tulang belakang.
Penderita yang menjadi cacat karena artritis rematoid bisa menggunakan beberapa alat bantu
untuk menyelesaikan tugas sehari-harinya. Contohnya adalah sepatu ortopedik khusus atau
sepatu atletik khusus.
C.Anemia Pernesiosa
1.Defenisi
Anemia Karena Kekurangan Vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12. Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan
vitamin B12 dan asam folat untuk menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satu
darinya, bisa terjadi anemia megaloblastik.
Pada anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan abnormal
(megaloblas).Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal.
Anemia megaloblastik paling sering disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat
dalam makanan atau ketidakmampuan untuk menyerap vitamin tersebut. Kadang anemia ini
disebabkan oleh obat-obat tertentu yang digunakan untuk mengobati kanker (misalnya
metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan sitarabin).
2.Penyebab
Anemia Karena Kekurangan Vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah anemia megaloblastik
yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12.
Selain zat besi, sumsum tulang memerlukan vitamin B12 dan asam folat untuk menghasilkan sel
darah merah. Jika kekurangan salah satu darinya, bisa terjadi anemia megaloblastik. Pada anemia
jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan abnormal (megaloblas).
Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal. Anemia megaloblastik paling sering
disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat dalam makanan atau ketidakmampuan
untuk menyerap vitamin tersebut. Kadang anemia ini disebabkan oleh obat-obat tertentu yang
digunakan untuk mengobati kanker (misalnya metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan
sitarabin).
3.Gejala
Selain mengurangai pembentukan sel darah merah, kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi
sistem saraf dan menyebabkan:
- Kesemutan ditangan dan kaki
- Hilangnya rasa ditungkai, kaki dan tangan
- Pergerakanyangkaku.
Gejala lainnya adalah:
- Buta warna tertentu,termasuk warna kuning dan biru
- Luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar
- Penurunan berat badan
- Anoreksia
- Warna kulit menjadi lebih gelap
- Lidah licin
- Pucat
- Linglung
- Depresi
- Penurunan fungsi intelektual.
4.Diagnosa
Biasanya, kekurangan vitamin B12 terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin untuk anemia.
Pada contoh darah yang diperiksa dibawah mikroskop, tampak megaloblas (sel darah merah
berukuran besar). Juga dapat dilihat perubahan sel darah putih dan trombosit, terutama jika
penderita telah menderita anemia dalam jangka waktu yang lama. Jika diduga terjadi
kekurangan, maka dilakukan pengukuran kadar vitamin B12 dalamdarah. Jika sudah pasti terjadi
kekurangan vitamin B12, bisa dilakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebabnya.
Biasanya pemeriksaan dipusatkan kepada faktor intrinsik:
1.Contoh darah diambil untuk memeriksa adanya antibodi terhadap faktor intrinsik.
Biasanya antibodi ini ditemukan pada 60-90% penderita anemia pernisiosa.
2.Pemeriksaan yang lebih spesifik,yaitu analisa lambung. Dimasukkan sebuah selang kecil
(selang nasogastrik) melalui hidung, melewati tenggorokan dan masuk ke dalam lambung. Lalu
disuntikkan pentagastrin (hormon yang merangasang pelepasan faktor intrinsik) ke dalam sebuah
vena.
Selanjutnya diambil contoh cairan lambung dan diperiksa untuk menemukan adanya faktor
intrinsik.
Jika penyebabnya masih belum pasti, bisa dilakukan tes Schilling.
Diberikan sejumlah kecil vitamin B12 radioaktif per-oral (ditelan) dan diukur penyerapannya.
Kemudian diberikan faktor intrinsik dan vitamin B12, lalu penyerapannya diukur kembali.
Jika vitamin B12 diserap dengan faktor intrinsik, tetapi tidak diserap tanpa faktor intrinsik, maka
diagnosisnya pasti anemia pernisiosa.
5.Pemeriksaan penunjang
Sel darah merah besar-besar (makrositik), MCV ≥ 100fmol/l, neutrofilo hiperpigmentsi.
Gambaran sum-sum tulang megaloblastik. Sering ditemukan dengan gastritis atrofi (dalam
jangka waktu lama dikaitkan dengan peningkatan risiko karsinoma gaster), sehingga
menyebabkan aklorhidria. Kadar vitamin B12 serum kurang dari 100 pg/ml
6.Pengobatan
Pengobatan kekurangan vitamin B 12 atau anemia pernisiosa adalah pemberian vitamin B12.
Sebagian besar penderita tidak dapat menyerap vitamin B12 per-oral (ditelan),karena itu
diberikan melalui suntikan. Pada awalnya suntikan diberikan setiap hari atau setiap minggu,
selama beberapa minggu sampai kadar vitamin B12 dalam darah kembali normal. Selanjutnya
suntikan diberikan 1 kali/bulan. Penderita harus mengkonsumsi tambahan vitamin B12
sepanjang hidupnya.
7.Pencegahan
Jika penyebabnya adalah asupan yang kurang, maka anemia ini bisa dicegah melalui pola
makanan yang seimbang.

Filed under: 9. IMUNOLOGY ZONE | 2 Komentar »

SKIN GRAFT
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj
1.PENGERTIAN
Skin graft ( pencangkokan kulit ) merupakan tehnik untuk melepaskan potongan kulit dari suplai
darahnya sendiri dan kemudian memindahkannya sebagai jaringan bebas ke lokasi yang jauh
( resipien ).
Skin graft adalah suatu tindakan atau tehnik memindahkan kulit yang sehat dan menempelkan ke
bagian kulit yang luka.
Skin graft merupakan pencangkokan lapisan epidermis kulit yang dapat dipindahkan secara
bebas. Kulit yang digunakan dapat berasal dari bagian mana saja dari tubuh, namun lazimnya
berasal dari daerah paha, pantat, punggung atau perut. (yudini,2007)

2.TUJUAN
Tujuan dilakukan skin graft adalah :
1.Tujuan umum :
Untuk memperbaiki kecacatan atau kelainan yang timbul akibat kecelakaan.
2.Tujuan khusus :
a.Mempercepat penyembuhan luka
b.Mencegah kontraktur
c.Mengurangi lamanya perawatan
d.Memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi tumor kulit
e.Menutup daerah kulit yang terkelupas dan menutup luka dimana kulit sekitarnya tidak cukup
menutupinya

3.KLASIFIKASI SKIN GRAFT


1.Berdasarkan letak
a.Meshed skin graft
Skin graft pada daerah mata dan lubang
b.Sheet skin graft
Skin graft pada daerah wajah , leher, tangan dan kaki
2.Berdasarkan sumber donornya
a.Autograft
Yaitu skin graft yang donornya adalah jaringan yang diperoleh dari kulit pasien sendiri
b.Allograft
Yaitu skin graft yang donornya adalah jaringan yang diperoleh dari spesies yang sama
c.Zenograft atau heterograft
Yaitu skin graft yang donornya adalah jaringan yang diperoleh dari spesies yang lain / berbeda
3.Berdasarkan ketebalannya
a.Split thickness yaiu skin graft yang tipis, sedang atau tebal.
b.Full thickness yaitu tergantung dari banyaknya dermis yang ikut dalam spesimen.

4.PEMASANGAN GRAFT

Graft atau cangkokan diperoleh dengan berbagai unstrumen seperti pisau tipis seperti silet ( rasa
blades ), pisau graft kulit, dermatom bertenaga listrik atau udara, atau drum dermatome.
Cangkokan kulit diperoleh dari lokasi donor atau “host” dan dipasangkan pada lokasi yang
dikehendaki yang disebut lokasi “resipien” atau “graft bed”.
Kulit yang digunakan untuk graft dapat berasal dari bagian bagian tubuh yang lain , seperti
punggung. Permukaan kulit dapat dioerluas dengan membuat irisan yang bila direnggang akan
membentuk jala, sehingga luasnya mencapai 1,5 kali sampai 6-9 kali luas semula. Tehnik
cangkok jala ini disebut “mesh” dan biasanya digunakan pada skin loss yang luas/parah.untuk
mendapatkan hasil yang maksimal maka diperlukan beberapa pensyaratan antara lain,
perdarahan pada daerah resipien harus baik, tidak ada infeksi dan keadaan umum penderita.
Flap adalah cangkok jaringan kulit beserta jaringan lunak dibawahnya yang diangkat dari tempat
asalnya tetapi tetap mempunyai hubungan perdarahan dengan tempat asal. Flap yang
dipindahkan akan membentuk perdarahan baru ditempat resipien.

Kriteria pemilihan lokasi donor yaitu harus dipertimbangkan :


a.Mencapai kecocokan warna sedekat mungkin dengan memperhatikan jumlah cangkokan kulit
yang diperlukan.
b.Mencocokkan tekstur dan kualitas kulit untuk membawa rambut.
c.Mendapatkan cangkokan kulit yang setebal mungkin tanpa mengganggu kesembuhan luka
pada lokasi donor.
d.Mempertimbangkan efek kosmetik pada lokasi donor setelah kesembuhan terjadi sehingga
lokasi ini sebaiknya dipilih dari tempat yang tersembunyi.

Agar cangkokan kulit dapat hidup dan efektif,beberapa persayaratannya :


a.Lokasi resipien harus memiliki pasokan darah yang adekuat sehingga fungsi fisiologi yang
normal dapat berlangsung kembali.
b.Cangkokan harus melekat rapat dengan dasar (bed) lokasi resipien (untuk menghindari
penumpukan darah atau cairan).
c.Cankokan harus terfiksasi kuat (terimmobilisasi) sehingga posisinya dipertahankan pada lokasi
resipien.
d.Daerah pencangkokan harus bebas dari infeksi.

Pada pemasangan di lokasi resipien,cangkokan kulit dapat dijahitkan atau tidak pada lokasi
tersebut.Cangkokan ini bisa dipotong dan dibentangkan seperti jala agar menutupi suatu daerah
yang lebar.Proses revaskularisasi (pembentukan kembali pasokan darah) dan perlekatan kembali
cangkokan kulit pada dasar lokasi resipien.
Setelah cangkokan kulit terpasang pada tempatnya,cangkokan ini dapat dibiarkan terbuka (pada
daerah yang tidak mungkin diimmobilisai) atau ditutup dengan kasa pembalut tipis atau
pembalut tekan manurut daerahnya.

5.PERAWATAN PRE OPERASI SKIN GRAFT

1.Pengkajian
Keadaan umum
Vital sign
Status nutrisi
Pola eliminasi
Pola istirahat dan tidur
Persepsi pasien
Hasil laboratorium
2.Persiapan fisik
Puasakan pasien 8 jam
Cukur daerah donor
Cairan / nutrisi parenteral selama puasa
Laboratorium
Thoraks foto
EKG
Concern form
Kaji tingkat kecemasan
Penjelasan tentang skin graft

6.PERAWATAN POST OPERASI

1) Hal yang perlu diperhatikan :

a.Keadan umum
b.Perdarahan post op
c.Gangguan sirkulasi (ada spalak)
d.Skin graft pada tangan dan kaki, sokong bantal di bawahnya untuk mencegah edema.
hati-hatie.Skin graft (immobilisasi) sampai menempel dengan baik
bila memindahkan pasien.

2) Urutan perawatan luka

a.Buka balutan dengan pemberian NaCl bila balutan kering / lengket.


b.Luka dicuci dengan cairan savlon 1% kemudian dibilas NaCl 0,9%
(normal salin).
c.Keringkan dengan kasa steril
d.Beri zalk silver sulfadiazine (ssp) pada luka (0.5 cm)
e.Tutup dengan menggunakan gaas steril.

3) Perawatan luka pada donor

a.Luka pada bagian donor tidak boleh tergeser dan boleh bergerak
bebes
b.Bila menggunakan Bioskin (alloask) buka pada hari ketiga.Jika bioskin kering bersihkan
dengan savlon 1% dan biarkan bioskin tetap enempel dan tutup dengan gaas steril.
c.Amati tanda-tanda infeksi, bila ada bau busuk, bengkak, nyeri tekan,
d.lepaskan alloask dan berikan sufratulle dan zalf AB kemudian tutup gaas steril, rawat setiap
hari.
e.Luka donor yang hanya diberi sufratulle, buka balutan setelah 2 minggu post op.Bila luka
bersih, rawat luka 2 hari sekali.

7.PERAWATAN SKIN GRAFT


a.Bagian skin graft tidak boleh dibuka sebelum hari kelima, kecuali ada tanda infeksi segera
buka.
b.Buka balutan harus sangat hati-hati.Kering atau lengket basahi NaCl jangan dipaksakan, tekan
skin graft agar tetap menempel gunakan 2 buah pinset, 1untuk menekan dan yang lainnya untuk
melepaskan.
c.Jika terjadi perdarahan tekan daerah tersebut sampai perdarahan berhenti dan laporkan jika
berlanjut.
d.Bersihkan skin graft dengan savlon 1%.
e.Bila ada tanda infeksi (merah,bengkak,bau,pus).Pus bersihkan dengan bethadine.
f.Jika ncairan terkumpul di bawah graft, buatlah gulungan gaas steril dan gulung perlahan-lahan
gulungan gaas ke arah tepi.
g.Tutup dengan gaas steril dan elastis verban.
h.Ganti verban setiap hari, jika ada stepler dibuka pada hari ketujuh dan buka jahitan pada hari
ke 14.
i.Perhatikan jika terjadi hipertropi jaringan (pemakaian elastis verban).
j.Rehabilitasi/ latihan setelah skin graft benar-benar lengket.

8.KOMPLIKASI
a.Infeksi
b.Reaksi penolakan/alergi
c.Reaksi tubuh : tidak magnetis, tidak menghantar listrik

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.LED : Peningkatan mengindikasikan respon inflamasi
b.Hitung darah lengkap/diferensial : peninggian dan “perpindahan kekiri” diduga proses infeksi
c.Pletismografi : mengukur TD segmental bawah terhadap ekstremitas bawah mengevaluasi
aliran darah arterial
d.Ultrasound Dropler : untuk mengkaji dan mengukur aliran darah
e.Tekanan O2 Transkutaneus : memberi peta area perfusi paling besar dan paling kecil dalam
keterlibatan ekstremitas
f.SDP : Leukositosis dapat terjadi sehubungan dengan kehilangan sel pada sisi luka dan respon
inflamasi terhadap cedera
g.Elektrolit serum : Kalium dapat meningkat pada awal sehubungan dengan cedera jaringan,
kerusakan SDM dan penurunan fungsi ginjal
h.Glukosa Serum : Peningkatan menunjukkan respon terhadap stress
i.Albumin serum : rasio albumin/globulin mungkin terbalik sehubungan dengan kehilangan
protein pada edema cairan
j.BUN / Kreatinin : dapat meningkat akibat cedera jaringan
k.Kultur luka : mengidentifikasi adanya infeksi , dan organisme penyebab
l.Fotografi area luka : catatan untuk penyembuhan luka/ skin loss

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan didasarkan pada kiat keperawatan berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial dan
spiritual yang komprehensif ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik
yang sehat maupun yang sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan.
Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses keperawatan untuk meningkatkan,
mencegah dan memulihkan kesehatan melalui 4 tahap proses keperawatan yang terdiri dari
pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang memerlukan kecakapan dan
keterampilan profesional tenaga keperawatan (Budi Keliat, 1990)
1.Pengkajian
Pada pengkajian keperawatan pasien dengan skin graft meliputi :
a.Aktifitas / istirahat :
Gejala : keterbatasan aktual
Tanda : penurunan kekuatan, tahanan, keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit, gangguan
massa otot, perubahan tonus
b.sirkulasi
Tanda : hipotensi, takikardi ( syok, ansietas, nyeri), penurunan nadi perifer distal pada
ekstremitas yang cedera
c.Integritas ego :
Gejala : masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan , kecacatan
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
d.Sirkulasi
e.gejala : masalah tentang keintiman hubungan
f.Neurosensori :
Tanda : perubahan orientasi, efek prilaku, penurunan refleks
g.Nyeri/ kenyamanan
Gejala : berbagai tingkat nyeri, sensitif untuk disentuh, diteka, gerakan udara dan perubahan
suhu
Tanda : melindungi area yang sakit, meringis, berteriak, menangis
h.Pernafasan :
Gejala : takipnea, dangkal , cepat dan pernafasan keras
Tanda : batuk, mengi, ketidak mampuan menelan, sekresi oral
i.Interaksi sosial :
Gejala : masalah sehubungan dengan penyakit/ kondisi, masalah tentang peran fungsi, reaksi
orang lain, masalah dengan citra tubuh
j.Penyuluhan/pembelajaran:
Pengobatan sekarang misalnya ‘ anti-inflamasi, analgesik narkotik, steroid

2.Diagnosa Keperawatan
Brdasarkan pada pengkajian, diagnosa keperawatan utama dapat mencakup yang berikut :
1.)Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan inkontuinitas jaringan (kehilangan
integritas jaringan).
2.)Nyeri berhubungan dengan cedera pada jaringan lunak, imobilisasi, stress, ansietas.
3.)Resiko tinggi terhadap disfungsi perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran
darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.
4.)Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran
darah/emboli lemak, perubahan membran alveolar/kapiler.
5.)Gangguan mobilitas berhubungan dengan nyeri
6.)Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan donor berhubungan dengan skin
graf dan mobilisasi.
7.)Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan salah informasi/tidak mengenal sumber informasi.
8.)Gangguan pemenuhan ADL ; berhubungan dengan immobilisasi.
9.)Gangguan konsep diri (body image) berhubungan dengan skin loss/ skin graf
10.)Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu
ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien, maka
langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut melalui suatu perencanaan yang baik.
a.)Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan inkontuinitas jaringan (kehilangan
integritas jaringan)..
(1.)Tujuan
Mencegah terjadinya infeksi untuk mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam.
(2.)Intervensi
(a.)Pantau TTV dan Tanda – tanda infeksi.
Rasional : Perubahan tanda vital mengindikasikan ada infeksi.
(b.)Kaji nilai-nilai Lab terutama LED.
Rasional : Untuk mengetahui adanya tingkat infeksi
(c.)Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainage yang tak sedap atau asam.
Rasional : Tanda perkiraan infeksi gas gangren.
(d.)Pertahankan tindakan isolasi dgn teknik isolasi.
Rasional : Mencegah penyebaran kuman / mikroorganisme agar tidak terjadi infeksi silang.
(e.)Rawat luka dengan cara aseptic steril..
Rasional : Meminimalkan Infeksi.
(f.)Berikan obat sesuai indikasi, contoh antibiotik IV/topikal.
Rasional : Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada
mikroorganisme.
(g.)Pantau adanya sepsis, demam, Takhipnoe.
Rasional :Sepsis, demam, takhipnoe menandakan Infeksi

(h.)Ciptakan lingkungan yg tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri


Rasional :Infeksi Mencegah infeksi bertambah parah dan mencegah infeksi silang
b.)Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak, imobilisasi, stress, ansietas
(1.)Tujuan :
Menyatakan nyeri hilang atau berkurang
Menunjukkan tindakan santai ; mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan cepat.
Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi.
(2.)Intervensi :
a.tutup luka sesering mungkin

Rasional : Perubahan suhu dan paparan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan
ujung syaraf

b.Tinggikan ektrimitas secara periodik


Rasional : Setelah perubahan posisi dan peninggian menurunkan ketidak nyamanan serta resiko
kontraktur

c.Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi / karakter dan intensitas ( skala 0 – 10 )


Rasional : Perubahan lokasi / karakter dan intensitas nyeri dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi

d.Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri

Rasional : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme


koping

e.Dorong penggunaan tehnik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, nafas dalam,
bimbingan imajinasi dan visualisasi
Rasional : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dapat menurunkan
ketergantungan farmakologis

f.Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan


Rasional : Kurang tidur dapat meningkatkan persepsi nyeri / kemampuan koping menurun.

c.). Resiko tinggi terhadap disfungsi perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran
darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.

(1.)Tujuan :
Mempertahankan perfusi jaringan.
(2.)Intervensi :
(a.)Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional : Kembalinya warna cepat (3 – 5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan
arterial, sianosis diduga ada gangguan vena.
(b.)Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan fungsi motorik/sensori.
Rasional : Gangguan perasaan bebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila
sirkulasi syaraf tidak adekuat atau syaraf rusak.
(c.)Tes sensasi syaraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan
kedua dan kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
Rasional : Panjang dan posisi syaraf parineal meningkatkan resiko cedera pada adanya fraktur
kaki, edema/sindrom kompartement, atau melapisi alat traksi.
(d.)Kaji keseluruhan panjang ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan/pembentukan
edema. Ukur ekstremitas yang cedera dan bandingkan dengan yang tak cedera.
Rasional : Peningkatan lingkar ekstremitas yang cedera dapat diduga ada pembengkakan
jaringan/edema umum tetapi menunjukkan perdarahan.
(e.)Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat, cyanosis, kulit dingin.
Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
(f.)Berikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan edema/pembentukan hematoma yang dapat mengganggu sirkulasi.
(g.)Awasi Hb/Ht, pemeriksaan koagulasi.
Rasional : Membantu dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keefektifan terapi
penggantian.

d.)Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran
darah/emboli lemak.
(1.)Tujuan :
Mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat.
(2.)Intervensi :
(a.)Awasi frekuensi pernafasan.
Rasional : Takipnea, dispnea dan insufisiensi pernafasan.
(b.)Auskultasi bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidaksamaan bunyi hiperesonan, juga adanya
gemericik, ronchi, mengi, dan inspeksi mengorok/sesak nafas.
Rasional : Perubahan dalam/adanya bunyi adventisius menunjukkan terjadinya komplikasi
pernafasan.
(c.)Observasi sputum untuk tanda adanya darah.
Rasional : Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru.
(d.)Inspeksi kulit untuk petekie di atas garis puting pada aksilla meluas ke abdomen/tubuh,
mukosa mulut kantong konjungtiva dan retina.
Rasional : Ini adalah karakteristik yang paling nyata dari tanda emboli lemak,. Yang tampak
dalam 2 – 3 hari setelah cedera.
(e.)Berikan tambahan oksigen bila diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan sediaan O2 untuk oksigenasi optimal jaringan.
(f.)Berikan obat sesuai indikasi, heparin dosis rendah.
Rasional : Blok siklus pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada adanya
tromboplebitis.

e.)Gangguan mobilitas berhubungan dengan nyeri


(1.)Tujuan
Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
mempertahankan posisi fungsional.
(2.)Intervensi
(a.)Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi
pasien terhadap mobilitas.
Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan/persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual
memerlukan intervensi/informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
(b.)Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tidak sakit.
Rasional : kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan
membantu mempertahankan kekuatan massa otot.
(c.)Pertahankan posisi tubuh tepat dengan dukungan.
Rasional : Meningkatkan posisi fungsiinal pada extremita dan mencegah kontraktur.
(d.)lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, di awali dgn pasif kemudian aktif.
Rasional : Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan parut dan kontraktur,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot sendi dan menurunkan kehilangan kalsium dari tulang
(e.)Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, pertahankan penurunan
kandungan protein sampai setelah defekasi pertama.
Rasional : pada cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan berkurang
dengan cepat. Sering mengakibatkan penurunan BB, selama traksi tulang ini dapat
mempengaruhi massa otot, tonus dan kekuatan.
(f.)Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabiltasi spesialis.
Rasional : Untuk membuat aktivitas individual/program latihan pasien dapat memerlukan
bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan dan aktivitas yang mengandalkan BB.

f.)Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan donor berhubungan dengan skin graf
dan mobilisasi.
(1.)Tujuan
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
(2.)Intervensi
(a.)Kaji kulit untuk luka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional : Berikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh
alat dan atau pemasangan gips/beban/traksi.
(b.)Ubah posisi dengan sering, dorong penggunaan trapeze bila mungkin.
Rasional : Untuk mengurangi tekanan pada area yang sama dan meminimalkan resiko kerusakan
kulit, penggunaan trapeze dapat menurunkan abrasi pada siku/tumit.
(c.)Tinggikan area graft bila mungkin/tepat. Pertahankan posisi yang diinginkan.
Rasional : Membatasi risiko pemisahan graft. Gerakan jaringan di bawah graft dapat mengubah
posisi yang mempengaruhi penyembuhan optimal..
(d.)Gunakan plester traksu kulit dengan memanjang pada posisi tungkai yang sakit.
Rasional : Plester traksi melingkari tungkai dapat mempengaruhi pada sirkulasi.
(e.)Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang.
Rasional : meminimalkan tekanan pada area ini.

g.)Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan


dengan salah informasi.
(1.)Tujuan
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
(2.)Intervensi
(a.)Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional : Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi.
(b.)Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila
diindikasikan.
Rasional : perlambatan penyembuhan dapat terjadi terhadap ketidaktepatan penggunaan alat
ambulasi.
(c.)Buat daftar aktivitas di mana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang
memerlukan bantuan.
Rasional : Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan yang dapat bantuan.
(d.)Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi yang sehat
Rasional : Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot meningkatkan kembalinya
aktivitas sehari-hari.
(e.)Kaji ulang perawatan pen/luka yang tepat.
Rasional : Menurunkan resiko infeksi
(f.)Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : nyeri berat, demam
tinggi, bau tak enak.
Rasional : Intervensi cepat menurunkan beratnya komplikasi seperti infeksi/gangguan sirkulasi.

h.)Gangguan pemenuhan ADL ; berhubungan dengan immobilisasi.


(1.)Tujuan
Kebutuhan rawat diri terpenuhi.
(2.)Intervensi
(a.)Kaji tingkat kemampuan klien dalam merawat dirinya.
Rasional : Mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam merawat dirinya.
(b.)Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan anjurkan klien agar dapat mengerjakan
sebanyak mungkin untuk dirinya (memandikan klien).
Rasional : Perawatan ini membantu memelihara harga diri dan kembali untuk hidup tanpa
tergantung kepada orang lain.
(c.)Sediakan waktu klien dalam melakukan aktivitas dengan segenap kemampuannya.
Rasional : Mengurangi frustasi yang sering menyertai kesulitan yang dihadapi bila belajar.
(d.)Berikan pujian terhadap kemampuan yang dicapai oleh klien dalam menolong dirinya.
Rasional : Untuk memotivasi agar mematuhi program rehabilitasi secara kontinyu.

i.)Gangguan konsep diri (body image) berhubungan dengan skin loss/ skin graft
(1.)Tujuan
Klien dapat melakukan interaksi dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
(2.)Intervensi
(a.)Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien.
Rasional : Dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses
rehabilitasi.
(b.)Diskusikan persepsi pasien tentang diri dan hubungannya dengan perubahan dan bagaimana
pasien melihat dirinya dalam pola/peran fungsi yang biasanya.
Rasional : Membantu mengartikan masalah sehubungan dengan pola hidup sebelumnya dan
membantu pemecahan masalah.
(c.)Perhatikan prilaku menarik diri, membicarakan diri tentang hal negatif, penggunaan
penyangkalan atau terus menerus melihat perubahan nyata/yang diterima.
Rasional : Dibutuhkan pada masalah ini untuk membantu adaptasi lanjut yang optimal dan
rehabilitasi.

j.)Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


(1.)Tujuan
Mewujudkan kemampuan untuk mengatasi masalah.
(2.)Intervensi
(a.)Berikan informasi akurat dan konsisten mengenai prognosis.
Rasional : Dapat mengurangi kecemasan dan ketidakmampuan pasien untuk membuat
keputusan/pilihan berdasarkan realita.
(b.)Berikan lingkungan terbuka di mana pasien akan merasa aman untuk mendiskusikan perasaan
atau menahan diri untuk berbicara.
Rasional : Membantu pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang tanpa perasaan
dihakimi dan meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol.
(c.)Berikan informasi yang dapat dipercaya dan konsisten, juga dukungan untuk orang terdekat.
Rasional : menciptakan interaksi interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa
takut.
(d.)Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan keputusan bersifat mayor.
Rasional : Menjamin adanya sistem pendamping bagi pasien dan memberikan kesempatan orang
terdekat untuk berpartisipasi dalam kehidupan pasien.

3.Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang
direncakan oleh perawat.
Dalam melaksanakan proses keperawatan harus kerjasama dengan tim kesehatan-kesehatan yang
lain keluarga klien dan dengan klien sendiri, yang meliputi 3 hal :
a.Melaksanakan tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek
dan sumber-sumber yang ada.
b.Mengidentifikasi respon klien.
c.Mendokumentasikan/mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
Kebutuhan klien.
Dasar dari tindakan.
Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat.
Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri.
Sumber-sumber dari instansi.

Evaluasi.
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan klien. tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses
keperawatan.
Adapun evaluasi klien dengan post skin graft dilakukan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya dan asuhan keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi
terlihat pencapaian kriteria tujuan perencanaan yang diberikan pada klien dengan post skin graft.

Filed under: 9. DERMATOLOGY ZONE | 5 Komentar »

OMPHALOCELE / GASTROSCHISIS
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

I.Konsep Dasar
Dinding perut mengandung struktur muskulo aponeuresis yang kompleks. Dibagian belakang,
struktur ini melekat pada tulang belakang. Disebelah atas, melekat pada iga. Di bagian bawah
melekat pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke
dalam lapisan kulit yang terdiri dari kutis dan sub cutis, lemak sub cutan dan fasia superfisialis
( Fasia scarpa ). Kemudian ketiga otot dinding perut, m. oblikus abdominis externus, m. oblikus
abdominis internus, m. tranfersus abdominis dan ahirnya lapis preperitoneum. Peritoneum, yaitu
fasia tranversalis, lemak peritoneal dan peritoneum. Otot di bagian depan tengah terdiri dari
sepasang otot rectus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindung isi di dalamnya. Integritas lapisan
muskulo aponeuresis sangat penting untuk mencegah terjadinya hernia bawaan, dapatan maupun
iatogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada waktu pernafasan, juga pada saat berkemih,
dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdomen.
Vaskularisasi dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranio dorsal diperoleh pendarahan
dari cabang aa. Intercostalis VI s/d XII dan a epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaka
sirkum fleksa superfisialis, a pudenta externa dan a epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi
ini memungkinkan sayatan perut horisontal maupun vertical tanpa menimbulkan gangguan
pendarahan.
Persyarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n. torakalis VI s/d XII dan n. lumbalis
I.

Patofisiologi
Kelainan kongenital Omfalokel dan Gastrischisis
Embriogenesis
Pada janin usia 5 – 6 minggu isi abdomen terletak di luar embrio di rongga selom. Pada usia 10
minggu terjadi pengembangan lumen abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akanmasuk
ke rongga perut. Bila proses ini terhambat maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus yang
berisi usus, lambung kadang hati. Dindingnya tipis terdiri dari lapisan peritoneum dan lapisan
amnion yang keduanya bening sehingga isi kantong tengah tampak dari luar, keadaan ini disebut
omfalokel. Bila usus keluar dari titik terlemah di kanan umbilikus, usus akan berada di luar
rongga perut tanpa dibungkus peritoneum dan amnion, keadaan ini disebut gastroschisis.
Diagnosis
Pada omfalokel tampak kantong yang berisi usus dengan atau tanpa hati di garis tengah pada
bayi yang baru lahir. Pada gastro schisis usus berada di luar rongga perut tanpa adanya kantong.

II.Pengobatan Paliatif
Besarnya kantong, luasnya cacat dinding perut dan ada tidaknya hati di dalam kantong akan
menentukan cara pengobatan. Bila kantong omfalokel kecil, dapat dilakukan operasi satu tahap.
Dinding kantong dibuang, isi kantong dimasukkan ke dalam rongga perut, kemudian lubang
ditutup dengan peritoneum, fasia dan kulit. Tetapi omfalokel biasanya terlalu besar dan rongga
perut terlalu kecil sehingga isi kantong tidak bisa dimasukkan ke dalam rongga perut. Jika
dipaksakan maka karena regangan dinding perut diafragma terdorong ke atas dan terjadi
gangguan pernafasan. Obstruksi vena cava inferior juga dapat terjadi karena penekanan tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan ialah dengan melindungi kantong omfalokel dengan cairan anti
septik misalnya betadin dan menutupnya dengan kain dakron agar tidak tercemar. Dengan
demikian ada kesempatan terjadinya epitelisasi dari tepi sehingga seluruh kantong tertutup epitel
dan terbentuk hernia ventralis yang besar. Epitelisasi ini membutuhkan waktu 3 – 4 bulan.
Kemudian operasi koreksi hernia ventralis tersebut dapat dikerjakan setelah anak berusia 5 – 10
tahun.
Pada gastroschisis operasi koreksi untuk menempatkan usus ke dalam rongga perut dan menutup
lobang harus dikerjakan secepat mungkin sebab tidak ada perlindungan infeksi. Tambahan lagi
makin ditunda operasi makin sukar karena usus akan udem.

Komplikasi
Komplikasi dini merupakan infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan yang
telanjang. Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain yang
memperburuk prognosis.

Filed under: 1. PEDIATRIK ZONE | 1 Komentar »

DIARE PADA ANAK
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

I. Pengertian
Diare adalah keadaan kekerapan dan keenceran buang air besar dimana frekuensinya lebih dari
tiga kaliper hari dan banyaknya lebih dari 200 – 250 gram.

II. Etiologi
Faktor Infeksi
1.Infeksi enternal yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada
anak.
2.Infeksi bakteri : Vibrio coma, Ecserchia coli, Salmonella, Shigella, Compilobacter, Yersenia
dan Acromonas.
3.Infeksi virus : Entero virus (Virus echo, Coxechasi dan Poliomyelitis), Adeno virus, Rota virus
dan Astrovirus.
4.Infeksi parasit : Cacing, protozoa dan jamur.
5.Infeksi parental, yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alatpencernaan, sepertiOtitis Media
Akut, Tonsilopharingitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak dibawah 2
tahun.
Bukan faktor infeksi
6.Alergi makanan : susu dan protein.
7.Gangguan metabolik atau malabsorbsi.
8.Iritasi langsung pada saluran pencernaan oleh makanan.
9.Obat-obatan seperti antibiotik.
10.Penyakit usus seperti Colitis ulserative, crohn disease dan enterocolitis.
11.Faktor psikologis : rasa tahut dan cemas.
12.Obstruksi usus.

III. Patofisiologi
A. Gangguan osmotik
Makanan atau zat yang tidak dapat diserap menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus
meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, hal ini
menyebabkan isi rongga usus berlebihan sehingga merangsang usus mengeluarkannya (diare).
Gangguan sekresi
Toxin pada dinding usus meningkatkan sekresi air dan lektrolit kedalam usus, peningkatan isi
rongga usus merangsang usus untuk mengeluarkannya.
C. Gangguan motalitas usus
Hyperperistaltik menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan. Atau
peristaltik yang menurun menyebabkan bakteri tumbuh berlebihan menyebabkan peradangan
pada rongga usus sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat hal ini menyebabkan absorsi
rongga usus menurun sehingga terjadilah diare.

Mikroorganisme patogen Zat – zat sulit diserap

Infeksi Peningkatan tekanan osmotik

Peningkatan sekresi aktif cairan Menarik air dan garam ke dalam usus

Peningkatan motilitas usus

Peristaltik meningkat

Diare

IV. Klasifikasi diare


Tahapan dehidrasi menurut Ashwill dan Droske (1977) :
1.Dehidrasi ringan : dimana berat badan menurun 3 – 5 % dengan volume cairan yang hilang
kurang dari 50 ml/kgBB.
2.Dehidrasi sedang : dimana berat badan menurun 6 – 9 % dengan volume cairan yang hilang
kurang dari 50 – 90 ml/kgBB.
3.Dehidrasi berat : dimana berat badan menurun lebih dari 10 % dengan volume cairan yang
hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kgBB.

V. Gejala Klinik
Gejal klinik yang timbul tergantung dari intensitas dan tipe diare, namun secara umum tanda dan
gejala yang sering terjadi adalah :
a.Sering buang air besar lebih dari 3 kali dan dengan jumlah 200 – 250 gr.
b.Anorexia.
c.Vomiting.
d.Feces encer dan terjadi perubahan warna dalam beberapa hari.
e.Terjadi perubahan tingkah laku seperti rewel, iritabel, lemah, pucat, konvulsi, flasiddity dan
merasa nyeri pada saat buang air besar.
f.Respirasi cepat dan dalam.
g.Kehilangan cairan/dehidrasi dimana jumlah urine menurun, turgor kulit jelek, kulit kering,
terdapat fontanel dan mata yang cekung serta terjadi penurunan tekanan darah.

VI. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada anak yang menderita diare adalah :
1.Dehidrasi
2.Hipokalemi.
3.Hipokalsemi
4.Cardiac disrythmias
5.Hiponatremi.
6.Syok hipovolemik
7.Asidosis.
VII. Penatalaksanaan
Dasar-dasar penatalaksanaan diare pada anak adalah : (5 D)
1.Dehidrasi.
2.Diagnosis.
3.Diet.
4.Defisiensi disakarida
5.Drugs
Pada dehidrasi ringan diberikan :
a.Oralit + cairan
b.ASI/susu yang sesuai
c.Antibiotika (hanya kalau perlu saja)
Pada dehidrasi sedang, penderita tidak perlu dirawat dan diberikan :
a.Seperti pengobatan dehidrasi ringan
b.Bila tidak minum ASI :
1.Kurang dari 1 tahun LLM dengan takaran 1/3, 2/3 penuh ditambah oralit.
2.Untuk umur 1 tahun lebih , BB 7 kg lebih : teh, biskuit, bubur dan seterusnya selain oralit.
Formula susu dihentikan dan baru dimulai lagi secara realimentasi setalh makan nasi.

Pada dehidrasi berat, penderita harus dirawat di RS.


Pengobatan diare lebih mengutamakan pemberian cairan, kalori dan elektrolit yang bisa berupa
larutan oralit (garam diare) guna mencegah terjadinya dehidrasi berat, sedangkan antibiotika atau
obat lain hanya diberikan bila ada indikasi yang jelas. Spasmolitika dan obstipansia pada diare
tidak diberikan karena tidak bermanfaat bahkan dapat memberatkan penyakit.

Filed under: 1. PEDIATRIK ZONE | 1 Komentar »

TETANUS
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

A.Definisi
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani,
bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
B.Etologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro
yang berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan
toksin bila dalam kondisi baik.Termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob. Kuman
mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan
menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu
65 C akan hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang hemolisis, yang
peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.
C.Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca,
atau kaleng, luka tembak, luka baker, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat.
Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan
atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi
sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson
neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran
darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin.
Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf
motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin
diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam
susunan saraf pusat.
Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot manjadi kejang mudah
sekali terangsang.
Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
D.Gejala klinis
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama
pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1.Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2.Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3.Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4.Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5.Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar
dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6.Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering marupakan gejala
dini.
7.Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula
intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai
rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
8.Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine
dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi otot yang sangat kuat.
9.Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10.Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Ada 3 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1.tetanus local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luak.
Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menhilang tanpa sekuele.
2.Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak dengan kaku kuduk,
trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu
singkat konstruksi otot somatik — meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas
bagian bawah. Pada mulanya spasme berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
3.Tetanus segal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah
otitis media atau luka kepala dan muka.
Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX dan XI tersering adalah saraf otak VII
diikuti tetanus umum.
Menurut berat gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1.Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun dirangsang.
2.Trismur (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3.Trismur (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
E.Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang sangat membantu.
F.Diagnosis banding
Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasme otot rahang tetapi
didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fospat). Kejang pada meningitis dapat
dibedakan dengan kelainan cairan serebropinalis. Pada rabies terdapat anamnesis gigitan anjing
dan kucing disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi
tanpa trismus.
Trismus dapat pula terjadi pada argina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi yang hebat,
pembesaran getah bening leher. Kuduk baku juga dapat terjadi pada meningitis (pada tetanus
kesadaran tidak menurun), mastoiditis, preumonia lobaris atas, miositis leher, spondilitis leher.

G.Pemeriksaan diagnostic
~ Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang.
~ Pemeriksaan darah : leukosit 8.000-12.000 ca.
H.Komplikasi
1.Spame otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan
hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2.Asfiksia
3.Atelektaksis karena obstruksi secret
4.Fraktura kompresi.
I.Prognosis
Dipengaruhi oleh beberapa factor dan akan buruk pada masa tunas yang pendek (kurang dari 7
hari), usia yang sangat mudah (neunatus) dan usia lanjut, bila disertai frekuensi kejang yang
tinggi, kenaikan suhu tubuh yang tinggi, pengobatan yang terlambat, period of onsed yang
pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang) dan adanya kompikasi terutama spame otot
pernafasan dan obstruksi saluran pernafasan.
Mortalitas di Amerika Serikat dilaporkan 62 % (masih tinggi)
J.Penatalaksanaan
a.Secara Umum
~ Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
~ Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi pada
sonde parenteral.
~ Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
~ Oksigen pernafasan butan dan trakeotomi bila perlu.
~ Mengatur cairan dan elektrolit.
b.Obat-obatan
1.Antitoksin
Antitoksin 20.000 iu/1.m/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi
hipersensitivitas.
2.Anti kejang/Antikonvulsan
~ Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/1.M. untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M lalu
dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).
~ Klorpromasin 3 x 25 mg/1.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
~ Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
4.Antibiotik
Penizilin prokain 1, juta 1.u/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/1.V
Dapat memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.

K.Pencegahan
1.Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4 dan 5 bulan.
Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2.Bila mendapat luka :
~ Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci dengan H2O2.
~ Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
~ Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.
~ Bila luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari).

Filed under: 9. INFEKSION ZONE | Leave a Comment »

SIROSIS HEPATIS
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

I.Pengertian

Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan kronik pada hati,
diikuti proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi, sehingga timbul kerusakan dalam
susunan parenkim hati.

II.Etiologi & Klasifikasi

Sirosis hepatis diklasifikasikan berdasarkan atas :


A.Etiologi
B.Morfologi
C.Fungsional

Uraian :
A.Klasifikasi etiologi
1)Etiologi yang diketahui penyebabnya
(a)Hepatitis virus B & C
(b)Alkohol
(c)Metabolik
(d)Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan ekstrahepatik
(e)Obstruksi aliran vena hepatik
Penyakit vena oklusif
Sindrom budd chiari
Perikarditis konstriktiva
Payah jantung kanan
(f)Gangguan imunologis
Hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif
(g)Toksik & obat
INH, metildopa
(h)Operasi pintas usus halus pada obesitas
(i)Malnutrisi, infeksi seperti malaria.
2)Etiologi tanpa diketahui penyebabnya.
Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya dinamakan sirosis kriptogenik/heterogenous.

B. Klasifikasi Morfologi
Secara makroskopik sirosis dibagi atas:
1.mikronodular
2.makronodular
3.campuran
Uraian :
1.sirosis mikronodular : ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh lobul. Sirosis
mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah
menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.
2. sirosis makronodula ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi,
mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar didalamnya ada daerah luas
dengan parenkim yang masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. sirosis campuran umumnya sirosis hati adalah jenis campuran ini.

C.Klasifikasi Fungsional
Secara fungsi, sirosis hati dibagi atas :
kompensasi baik (laten,sirosis dini)
dekompensasi (aktif, disertai kegagalan hati dan hipertensi portal)

1.kegagalan hati/hepatoselular : dapat timbul keluhan subjektif berupa lemah, berat badan
menurun, gembung, mual, dll
Spider nevi/angiomata pada kulit tubuh bagian atas, muka dan lengan atas.
Eritema palmaris
Asites
Pertumbuhan rambut berkurang
Atrofi testis dan ginekomastia pada pria
Sebagai tambahan dapat timbul :
Ikterus/jaundice, subfebris, sirkulasi hiperkenetik, danfoetor hepatik.
Ensefalopati hepatik, bicara gagok/slurred speech, flapping tremor akibat amonia dan produksi
nitrogen (akibat hpertensi portal dan kegagalan hati)
Hipoalbuminemia, edema pretibial, gangguan koagulasi darah/defisiensi protrombin.
2.hipertensi portal : bisa terjadi pertama akibat meningkatnya reistensi portal dan splanknik
karena mengurangnya sirkulasi akibat fibrosis, dan kedua akibat meningkatnya aliran portal
karena transmisi dari tekanan arteri hepatikke sistem portal akibat distorsi arsitektur hati.Bisa
disebabkan satu faktor saja, misalnya peningkatan resistensi atau aliran corta atau keduanya.
Biasa yang dominan adalah peningkatan resistensi. Lokasi peningkatan resistensi bisa :

prehepatik, biasa kongenital, trombosis vena porta waktu lahir. Tekanan splanknik meningkat
tetapi tekanan portal intra hepatik normal. Peningkatan tekanan prehepatik bisa juga diakibatkan
meningkatnya aliran splanknik karena fistula atriovenosa atau mielofibrosis limfa.
Intrahepatik
a)Presinusoidal
b)Sinusoinal(sirosis hati)
c)Post-sinusoidal (veno oklusif).biasa terdapat lokasi obstruksi campuran.
d)Posthepatik karena perikarditis konstriktiva, insufisiensi trikuspidal.

Gambaran klinis, pengobatan dan prognosis pasien sirosis hati tergantung pada 2 komplikasi,
yakni kegagalan hati, dan hipertensi portal. Aktivitas sirosis hati dapat dinilai dari aspek klinis,
biokimia darah, histologi jaringan dan dibagi atas progresif, regresif, dan status quo (stasioner).

III.Patognesis:

Adanya faktor etilogi menyebabkan peradangan dan kerusakan inekrosis meliputi daerah yang
luas (hapatoseluler) ,terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai
terbentuknya septa fibrosa difus dan modul sel hati .septa bisa dibenyuk dari sel retikulum
penyangga kolaps dan berubah menjadi parut . jaringan parut ini dapats menghubungkan daerah
portal yang satu dengan yang lain atau portal dengan sentral (bridging neerosis).
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran , dan ini
menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan aliran daerah portal dan
menimbulkan hipertensi portal. Tahap berikutnya terjadi peradangan dan nekrosis pada sel
duktules ,sinusoid,retikulo endotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif jaringan kologen berubah
dari reversibel menjadi irrevensibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada
daerah portal dan parenkhim hati sel limfosit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan
monokin sebagai mediator fibrinogen,septal aktif ini berasal dari portal menyebar keparenkim
hati.
Kolagen ada 4 tipe dengan lokasi sebagai berikut:
Tipe 1: lokasi daerah sentral
Tipe 2: sinusoid
Tipe 3: jaringan retikulin (sinusoid portal)
Tipe 4: membram basal
Pada semua sirosis terdapat peningkatan pertumbuhan semua jenis kologen tersebut.
Pembentukan jaringan kologen diransang oleh nekrosis hepatoseluluer dan asidosis laktat
merupakan faktor perangsang.
Mekanisme terjadinya sirosis hati bisa secara:
-mekanik
-imunologis
-campuran
Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari kejadian hepatitis viral
akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan pembentukan jaringan ikat yang luas disertai
pembentukan jaringan ikat yang luas disrtai pembentukan nodul regenerasi oleh sel parenkim
hati, yang masih baik. Jadi fibrosis pasca nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hati. Pada
mekanisme terjadinya sirosis secara imunologis dimulai dengan kejadian hepatitis viral akut
yang menimbulkan peradangan sel hati ,nekrosis /nekrosis bridging dengan melalui hepatitis
kronik agresif diikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan cara ini memerlukan
waktu sekitars 4 tahun sels yang nengandung virus ini merupakan sumber rangsangan terjadinya
proses imunologis yang berlangsung terus menerus sampai terjadi kerusakan hati.

IV.Manifestasi klinis

1. Keluhan pasien sirosis hati tergantung pada fase penyakitnya. Gejala kegagalan hati
ditimbulkan oleh keaktifan proses hepatitis kronik yang masih berjalan bersamaan dengan sirosis
hati yang telah terjadi dalam proses penyakit hati yang berlanjut sulit dibedakan hepatitis kronik
aktif yang berat dengan permulaan sirosis yang terjadi (sirosis dini ).
2. Fase kompensasi sempurna pada fase ini tidak mengeluh sama sekali atu bisa juga keluhan
samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak bugar/ fit merasa kurang kemampuan kerja
selera makan berkurang, perasaan perut gembung, mual, kadang mencret atau konstipasi berat
badan menurun, pengurangan masa otot terutama pengurangannya masa daerah pektoralis
mayor.
Fase dekompensasi
Pada sirosis hati dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya dengan bantuan
pemeriksaan klinis, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Terutama bila timbul
komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal dengan manifestasi seperti: eritema palmaris,
spider nevy, vena kolateral pada dinding perut, ikterus, edema pretibial dan asites. Ikterus
dengan eir kemih berwarna seperti air kemih yang pekat mungkin disebabkan oleh penyakit yang
berlanjut atau transformasi ke arah keganasan hati, dimana tumor akan menekan saluran empedu
atau terbentuknya trombus saluran empedu intra hepatik. Bisa juga pasien datang dengan
gangguan pembentukan darah seperti perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, haid
berhenti. Kadang-kadang pasien sering mendapat flu akibat infeksi sekunder atau keadaan
aktivitas sirosis itu sendiri. Sebagian pasien datang dengan gejala hematemesis, hematemesis dan
melena, atau melena saja akibat perdarahan farises esofagus. Perdarahan bisa masif dan
menyebabkan pasien jatuh ke dalam renjatan. Pada kasus lain, sirosis datang dengan gangguan
kesadran berupa ensefalopati, bisa akibat kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut atau akibat
perdarahan varises esofagus.

V.Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat menjadi pegangan dalam
menegakkan diagnosis sirosis hati.
Darah : bisa dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom normositer,
hipokrom mikrositer, atau hipokrom makrositer. Anemia bisa akibat hipersplenisme dengan
leukopenia dan trombositopenia. Kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis
yang kurang baik.
Kenaikan kadar enzim transaminase/SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk tentang berat dan
luasnya kerusakan parenkim hati. Kenaikan kadarnya dalam serum timbul akibat kebocoran dari
sel yang mengalami kerusakan. Peninggian kadar gamma GT sama dengan transaminase, ini
lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan laboratorium bilirubin, transaminase dan
gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
Albumin : kadar albumin yang merendah merupakan cerminan kemampuan sel hati yang kurang.
Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin merupakan tanda kurangnya daya
tahan hati dalam menghadapi stress seperti : tindakan operasi.
Pemeriksaan CHE (kolinesterase) : penting dalam menilai sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati,
kadar CHE akan turun, pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal. Nilai CHE
yang bertahan dibawah nilai normal, mempunyai prognosis yang jelek.
Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan pembatasan garam dalam
diet. Dalam hal ensefalopati, kadar Na 500-1000, mempunyai nilai diagnostik suatu kanker hati
primer.
2.Pemeriksaan Jasmani
Hati : perkiraan besar hati, biasa hati membesar pada awal sirosis, bila hati mengecil artinya,
prognosis kurang baik. Besar hati normal selebar telapak tangannya sendiri (7-10 cm). Pada
sirosis hati, konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul dan ada sakit
pada perabaan hati.
Limpa : pembesaran limpa diukur dengan 2 cara :
a.Schuffner : hati membesar ke medial dan kebawah menuju umbilikus (SI-IV) dan dari
umbilikus ke SIAS kanan (SV-VIII).
b.Hacket : bila limpa membesar ke arah bawah saja (HI-V).
Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena kolateral dan ascites.
Manifestasi diluar perut : perhatikan adanya spider navy pada tubuh bagian atas, bahu, leher,
dada, pinggang, caput medussae, dan tubuh bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema
palmaris, ginekomastia, dan atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.

Klasifikasi Child Pasien Sirosis Dati Dalam Terminologi


Derajat kerusakan
Minimal
sedang
Berat
Bil.serum (mu.mol/dl0
50
Alb.serum(gr/dl)
>35
30-35
<30
Asites
Nihil
Mudah dikontrol
Susah
Pse/ensefalopati
Nihil
Minimal
Berat/koma
nutrisi
Sempurna
Baik
Kurang/kurus

Pemeriksaan Penunjang Lainnya :


Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi
hepertensi portal.
Esofagoskopi : dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal.
Akelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber perdarahan varises esofagus, tanda-
tanda yang mengarah akan kemungkinan terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale
marking, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila dijumpai tanda diffus
redness. Selain tanda tersebut, dapat dievaluasi besar dan panjang varises serta kemungkinan
terjadi perdarahan yang lebih besar.
Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaa
rutin pada penyakit hati. Diperlukan pengalaman seorang sonografis karena banyak faktor
subyektif. Yang dilihat pinggir hati, pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali,
gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu/HBD, daerah hipo atau
hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion0. Sonografi bisa mendukung diagnosis
sirosis hati terutama stadium dekompensata, hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung
empedu dan saluran empedu, dll.
Sidikan hati : radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil oleh parenkim hati,
sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihatbesar dan bentuk hati, limpa, kelainan tumor hati, kista,
filling defek. Pada sirosis hati dan kelainan difus parenkim terlihat pengambilan radionukleid
secara bertumpuk-tumpu (patchty) dan difus.
Tomografi komputerisasi : walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis kelainan fokal,
seperti tumor atau kista hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan homogenitas hati.
E R C P : digunakan untuk menyingkirkan adanya obstruksi ekstrahepatik.
Angiografi : angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama pengukuran tekanan
vena porta. Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna untuk melihat keadaan sirkulasi
portal sebelum operasi pintas dan mendeteksi tumopr atau kista.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan melakukan pungsi
asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan
dan eksudat, dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein,
amilase dan lipase.

VI.Komplikasi

Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis dan pengobatan
tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
1.Kegagalan hati (hepatoseluler) ; timbul spider nevi, eritema palmaris, atrofi testis,
ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
2.Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena
esofagus/cardia, caput medusae, hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa
:
3.Asites
4.Ensefalopati
5.Peritonitis bakterial spontan
6.Sindrom hepatorenal
7.Transformasi ke arah kanker hati primer (hepatoma)

VII. Pengobatan

Terapi & prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan keadaan
kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya komplikasi.
1.Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur,
istirahat yang cukup, susunan diet TKTP, lemak secukupnya. Bila timbul ensefalopati, protein
dikurangi.
2.Pasien sirosis hatidengan sebab yang diketahui, seperti :
Alkohol & obat-obat lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan mengurangi
pemasukan protein ke dalam tubuh.
Hemokromatosis, dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi
(desferioxamine). Dilakukan venaseksi 2x seminggu sebanyak 500 cc selama setahun.
Pada penyakit wilson (penyakit metabolik yang diturunkan), diberikan D-penicilamine 20
mg/kgBB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui urin.
Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid
Pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul
a)Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hr dan total cairan 1,5 l/hr. Spirolakton dimulai
dengan dosis awal 4×25 mg/hr dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari,bila perlu
dikombinasi dengan furosemid.
b)Perdarahan varises esofagus. Psien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran cerna.
Pertama melakukan pemasangan NG tube, disamping melakukan aspirasi cairan lambung.
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/mnt atau Hb ,9 g% dilakukan pemberian IVFD
dengan pemberian dekstrosa/salin dan transfusi darah secukupnya.
Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian selama 4 jam
dapat dulang 3 kali.
Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan perdarahan varises.
Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau ternyata perdarahan berasal dari
pecahnya varises.
Operasi pintas dilakukan pada Child AB atau dilakukan transeksi esofagus (operasi Tanners0.
Bila tersedia fasilitas dapat dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe.
Bila tidak tersedia fasilitas diatas, untuk mencegah rebleeding dapatdiberikan propanolol.
c)U ntuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada
hipokalemia, aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises,
dilakukan klisma, pemberian neomisin per oral. Pada saat ini sudah mulai dikembangkan
transplantasi hati dengan menggunakan bahan cadaveric liver.
d)Terapi yang diberikan berupa antibiotik seperti sefotaksim 2 g/8 jam i.v. amokisilin,
aminoglikosida.
e)Sindrom haptorenal/nefropati hepatik, terapinya adalah imbangan air dan garam diatur dengan
ketat, atasi infeksi dengan pemberian antiobiotik, dicoba melakukan parasentesis abdominal
dengan ekstra hati-hati untuk memperbaiki aliran vena kava, sehingga timbul perbaikan pada
curah jantung dan fungsi ginjal.

Filed under: 9. INTERNIS ZONE | 4 Komentar »

HASIL TES LAB NORMAL


Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

HASIL TES LAB NORMAL

Diterbitkan oleh Yayasan Spiritia, Jl. Radio IV/10, Jakarta 12130. Tel: (021) 7279 7007 Fax:
(021) 726-9521.

Lembaran Informasi ini berdasarkan terbitan New Mexico AIDS InfoNet. Lihat http://
www.aidsinfonet.org
Darah
Ukuran Satuan Nilai Rujukan, Eritrosit (sel darah merah) juta/μl 4,0 – 4,9 (P), 4,5 – 5,5 (L),
Hemoglobin (Hb) g/dL 12,0 – 16,0 (P), 13,0 – 18,0 (L), Hematokrit % 39,0 – 45,0 (P), 40,0 –
48,0 (L)
Hitung Jenis
Basofil % 0,0 – 1,0, Eosinofil % 1,0 – 3,0, Batang1 % 2,0 – 6,0, Segmen1 % 50,0 – 70,0,
Limfosit % 20,0 – 40,0, Monosit % 2,0 – 8,0, Laju endap darah (LED) mm < 25 (P, usia < 50), <
30 (P, usia 􀂕 50) ,< 15 (L, usia < 50), < 20 (L, usia 􀂕 50)
Leukosit (sel darah putih)
103/μl 5,0 – 10,0
MCH/HER pg 27,0 – 31,0, MCHC/KHER g/dL 32,0 – 36,0, MCV/VER fl 82,0 –, 92,0
Trombosit 103/μl 150 – 400
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja,
dengan nilai rujukan, 50,0 – 75,0 persen
Fungsi Hati (LFT)
Ukuran Satuan Nilai Rujukan, SGOT (AST) U/L < 35, SGPT (ALT) U/L < 36, Alkalin fosfatase
U/L 64 – 306 (P), 80 – 316 (L), Bilirubin total mg/dL 0,0 – 1,0.Bilirubin langsung mg/dL 0,0 –
0,4, Protein total g/L 66,0 – 87,0, Albumin g/L 38 – 57
Fungsi Ginjal
Kreatinin U/L 40 – 150 (P), 60 – 400 (L), Urea mg/dL 8 – 25, Natrium mmol/L 135 – 150,
Klorid mmol/L 95 – 108, Kalium mmol/L 3,6 – 5,5
Profil Lipid
Kolesterol total mmol/L 3,6 – 5,2, HDL mmol/L < 4,9, Trigliserid mmol/L 0,11 – 2,15
Lain
Glukosa mmol/L 3,0 – 6,1, Amilase U/L < 125, Asam Urat mmol/L 54 – 42

CATATAN PENTING:
Setiap laboratorium menentukan nilai ‘normal’, yang ditunjukkan pada kolum ‘Nilai Rujukan’
atau ‘Nilai Normal’ pada laporan laboratorium. Nilai ini tergantung pada alat yang dipakai dan
cara pemakaiannya. Tidak ada standar nilai rujukan; angka ini diambil terutama dari
laboratorium RSCM, Jakarta; nilai laboratorium lain dapat berbeda. Jadi angka pada laporan kita
harus dibandingkan dengan nilai rujukan pada laporan, bukan dengan nilai rujukan pada
lembaran ini.

Filed under: A. DIAGNOSTIK ZONE | 2 Komentar »

ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM


Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

ARDS
Sering merupakan kelanjutan dari shock paru-paru, kongesti atelektasis, post traumatic paru-
paru, post infusion paru, dan ventilasi paru.
Kondisi akut paru-paru yang mengakibatkan macam-macam perubahan patofisiologi dalam paru.
Menyerupai perubahan pada IRDS, perbedaannya terletak pada penurunan surfaktan akibat dari
kerusakan paru.
Kliennya umumnya masih muda yang sebelumnya dia sehat.
Jenis ketidakstabilan akut, baik langsung atau tidak langsung berperan dalam menimbulkan
syndrom.
Keadaan yang langsung :
Menghirup racun iritan
Infeksi diffusi alveolar
Darah yang beracun.
Aspirasi virus pneumonia.
Hampir tenggelam dan trauma dada.
Keadaan yang tidak langsung :
Trauma dan shock karena pembedahan
Sepsis dengan pelepasan endotoksin
Pembekuan darah intravaskuler
Transfusi darah massive
Reaksi transudasi

Penyakit Yang Dapat Menyebabkan ARDS :


Pulmonary :
Virus pneumonia
Fungi pneumonia
Pneumocystis carinii
Military tuberculosis
Legionaire’s pneumonia
Radiation pneumonitis
Contusio paru
Cairan aspirasi (gastric, tenggelam, hydrocarbon, ethylene glycol)
Inhalasi racun (rokok, kimia corrosive, O2 konsentrasi meningkat, amniotic fluid embolic.
Non pulmonary :
Shock (traumatic, hemorrhagic, bacterial, pneumonia septic)
Emboli lemak
Trauma kepala
Trauma non thoraks
Pancreatitis
Uremia
Drug overdose (heroin, methadone barbiturat).
Massive blood transfusion
Reaksi transfusi
Pembekuan darah intravaskuler
By pass cardiopulmonary
Penambahan tekanan intrakranial
Cairan overload
Eclampsia
Gejala defisiensi autoimmune

Patofisiologi.
Banyak teori yang menerangkan patogenesis dari syndrom yang berhubungan dengan kerusakan
awal paru-paru yang terjadi dimembran kapiler alveolar.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat masuknya cairan ke dalam ruang
interstitial, seolah-olah dipengaruhi oleh aktifitas surfaktan. Akibatnya terjadi tanda-tanda
atelektasis. Cairan juga masuk dalam alveoli dan mengakibatkan oedema paru.
Plasma dan sel darah merah keluar dari kapiler-kapiler yang rusak, oleh karena itu mungkin
perdarahan merupakan manifestasi patologi yang umum.

Kriteria untuk diagnosa ARDS :


Klinik
Keadaan katastropik : paru atau bukan paru
Eksklusi : Penyakit paru kronis, keadaan abnormal ventrikel kiri.
Distress pernafasan : Tachypnea > 20 x/menit, susah bernafas.
Radiografi
Difusi pulmonal menyebar
Infiltrasi interstitial (awal)
Infiltrasi alveoli (lanjut/akhir)
Fisiologi
Hipoksemia refractory. Pa O2 60 %
Kompliance paru rendah 1000 gr)
Congestive atelektasis
Membran hyaline
Fibrosis

PENGKAJIAN
Gejala terjadi tiba-tiba dalam 2 – 3 hari sesudah trauma atau kesakitan, pada orang muda yang
biasa mempunyai riwayat sakit paru-paru.
Tanda-tanda utama manifestasi klinik:
Dyspnea
Tachicardia
Cyanosis dengan atau tanpa retraksi intercostals
refractory hypoxemia. O2 C Hypoksimia.
Hypotensia/bradicardia atau hipertension/tachicardia.
Dysritmia
Tanda-tanda adanya asidosis metabolic dan respiratorik

menegakkan diagnosis:
adanya kesulitan memperoleh pemenuhan ventilasiStatus klinik klien yang adekuat (sehingga
penurunan pemenuhan ventilasi yang meningkatkan menurunkan kapasitas vital paru-paru
infiltrasikekakuan paru-paru) alveolar.

Diagnosa Keperawatan
1.Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kurangnya complain paru dan kecemasan.
2.Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penambahan shunt dan ventilasi – perfusi
terganggu.
3.Tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan immobilisasi dan jalan napas buatan.
4.Kurangnya cardiac output berhubungan dengan tingginya PEEP (Positive mengetahui atau
berguna untuk memenuhiEnd Expiratory Pressure) kebutuhan ventilasi paru.
5.Potensial injury berhubungan dengan barotrauma atau tidak aktifnya aliran ventilator.
6.Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penambahan (peningkatan) permiabilitas
membran pulmonal dan kelebihan sekresi ADH.
7.Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan jalan napas buatan dan kelumpuhan.
8.Perubahan nutrisi; lebih dari pada intake berhubungan dengan perubahan metabolisme dan
ketidakmampuan intake makanan melalui oral.
9.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan dan bedrest.
10.Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perfusi dan immobilisasi.
11.Perubahan membran mukosa mulut berhubungan dengan jalan napas buatan.
12.Gangguan pola tidur berhubungan dengan lingkungan yang kritis dan kebutuhan akan bantuan
perawat.
13.Kelemahan berhubungan dengan ketergantungan dalam pemakaian alat.
14.Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan mengatasi stress dan kecemasan
dalam kondisi kritis.

Perencanaan Dan Pelaksanaan


Perawatan klien dengan ARDS perencanaannya yaitu perbaikan pola napas dan kestabilan
hemodinamic.
Pencegahan dengan meminimalkan komplikasi dan stressor untuk klien dan keluarganya
merupakan hal yang penting.
Kriteria tujuan untuk klien:
Stabil dan sinkronnya antara pernapasan dengan ventilator dengan slow rate yang cukup dalam
level yang normal ventilasi Pa CO2 35 – 45 mmHg.
PaO2 lebih dari atau sama dengan 60 mmHg, kurang dari atau sama dengan 40 % Fi O2, shunt
friction kurang atau sama dengan 20 %
Jalan napas tetap.
Hemodinamic parameter (CO, BP, HR) stabil.
Tekanan maximum jalan napas 50 – 70 mmHg.
Tekanan kapiler paru normal.
Keseimbangan intake dan output.
Berat badan stabil.
Komunikasi nonverbal dapat diartikan.
Integritas kulit baik.
Membran mukosa mulut baik, utuh.

Pelaksanaan
1.Mempertahankan oksigenasi secara adekuat.
Oksigenasi jaringan secara adekuat dilakukan dengan pemberian O2 konsentrasi tinggi, untuk
mempertahankan tekanan O2 arteri sekitar 20 mmHg (William, 1982)
tingkat rasa nyaman.Kegagalan mempertahankan O2
Meningkatkan keperluan O2 dengan mempertahankan suhu klien pada tingkat normal,
mengurangi rasa nyeri dan menjaga ketenangan klien.
Kelemahan dan penyakit respirasi merupakan indikasi untuk menggunakan ventilasi mekanic.
PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
Digunakan untuk memberi tekanan inflasi yang tinggi.
terpenuhinyaBerguna untuk memenuhi kebutuhan ventilasi paru kebutuhan ventilasi paru
ditandai dengan adanya elastisitas paru dan dada.
Mempertahankan tekanan jalan napas di atas tekanan atmosfer melalui siklus respirasi.
Mempertinggi distribusi O2 ke seluruh paru-paru dengan mempertahankan expansi alveoli.
Jika keadaan ini tidak terpenuhi paru-paru akan kolaps.
Vena bercampur (mengalir dari kiri ke kanan) dan hypoxemia dikurangi.
Keefektifan dari PEEP dimonitor dengan seringnya analisa gas darah.
alat monitor khususKetepatan pemeriksaan gas darah, cardiac output (CVP, atau swan-Ganz
cateter).
PEEP kemungkinan besar menurunkan cardiac output karena lemahnya aliran denyut nadi dan
tekanan darah harusdarah vena yang kembali ke jantung sering dimonitor.
Kemungkinan kecenderungan terjadi retensi cairan dan edema paru selama ventilasi (intake dan
output).
Perawat harus memonitor perfusi pada organ vital :
CNS :
Tingkat kesadaran
Pergerakan
Sensasi
Ginjal :
Urine output
Blood urine nitrogen (BUN)
Serum kreatinin
Myocardium :
Heart rate
Rhytm
2.Nutrisi:
resiko terjadi malnutrisi. Karena peningkatanKlien dengan ARDS metabolisme dan
gangguan oral intake.
TKTP diberikan.
3.Individu dan family coping.
4.Pencegahan cedera paru berlanjut.
Pemberian O2, kortikosteroid.
menurun-kanUntuk mengurangi peradangan dari membran alveoli permeabilitas kapiler
paru-paru.
Kortikosteroid
Mungkin juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi sirkulasi periferal serta organ-
organ vital.
Pemberian albumin dan dextran dengan molekul tinggi
Mungkin juga mengurangi permeabilitas kapiler
Untuk menjaga paru tetap kering
Antibiotik
Mencegah infeksi bakteri.
Sekresi sebaiknya dihisap dengan suction sesuai kebutuhan
Posisi pasien sering diubah-ubah dan pentingnya dilakukan gerakan/latihan pasif.
Lingkungan sekitar klien harus tenang dan rileks.

Filed under: 5. RESPIRATORY ZONE | 1 Komentar »

GASTROENTERITIS
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

A.Pengertian
Gastroenteritis atau diare akut adalah kekerapan dan keenceran BAB dimana frekuensinya lebih
dari 3 kali perhari dan banyaknya lebih dari 200 – 250 gram (Syaiful Noer, 1996 ).
Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menguraikan pasien yang mengalami
perkembangan diare dan/ atau munmtah akut. Istilah ini menjadi acuan bahwa terjadi proses
inflamasi dalam lambung dan usus
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya
(normal 100 – 200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah
padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningkat (Arif Mansjoer, 1999 : 501).
Gastroenteritis (diare akut) adalah inflamasi lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai
bakteri , virus, dan pathogen parasitic.
Diare adalah defekasi yang tidak normal baik frekuensi maupun konsistensinya, frekuensi diare
lebih dari 4 kali sehari.

B.Anatomi fisiologi
Saluran gastrointestinal yang berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai
anus. Esofagus terletak di mediastinum rongga torakal, anterior terhadap tulang punggung dan
posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat mengempis ini, yang panjangnya kira-
kira 25 cm (10 inchi) menjadi distensi bila makanan melewatinya.
Bagian sisa dari saluran gastrointestinal terletak di dalam rongga peritoneal. Lambung
ditempatkan dibagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah
diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira
± 1500 ml. Lambung dapat dibagi ke dalam empat bagian anatomis, kardia, fundus, korpus dan
pilorus.
Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal, yang jumlah panjangnya
kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Untuk sekresi dan absorbsi, usus halus dibagi
dalam 3 bagian yaitu bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum, bagian
bawah disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak dibagian bawah kanan
duodenum. Ini disebut sekum pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal. Yang berfungsi untuk
mengontrol isi usus ke dalam usus besar, dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus.
Pada tempat ini terdapat apendiks veriformis. Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi
kanan abdomen, segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri dan
segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Yang mana fungsinya mengabsorbsi air dan elektrolit
yang sudah hampir lengkap pada kolon. Bagian ujung dari usus besar terdiri dua bagian. Kolon
sigmoid dan rektum kolon sigmoid berfungsi menampung massa faeces yang sudah dehidrasi
sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi sekitar 600 ml air perhari sedangkan usus
halus mengabsorbsi sekitar 8000 ml kapasitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml perhari. Bila
jumlah ini dilampaui, misalnya adalah karena adanya kiriman yang berlebihan dari ileum maka
akan terjadi diare.
Rektum berlanjut pada anus, jalan keluar anal diatur oleh jaringan otot lurik yang membentuk
baik sfingter internal dan eksternal.

C.Etiologi
Faktor infeksi
a.Infeksi internal, yaitu saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare. Pada sat ini
telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan
diare pada anak dan bayi. Penyebab itu dapat digolongkan lagi kedalam penyakit yang
ditimbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus. Penyebab utama oleh virus yang terutama
ialah rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya ialah virus Norwalk, astrovirus, calcivirus,
coronavirus, minirotavirus dan virus bulat kecil. Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit itu adalah aeromonashidrophilia, bacillus cereus, campylobacter jejuni, clostridium
defficile, clostridium perfringens, E, coli, plesiomonas, shigelloides, salmonella spp,
staphylococcus aureus, vibrio cholerae, dan yersinia enterocolitica.
Sedangkan penyebab gastroenteritis (diare akut) oleh parasit adalah balantidium coli, capillaria
philippinensis, cryptosporidium, entamoeba histolitica, giarsia lamblia, isospora billi, fasiolapsis
buski, sarcocystis suihominis, strongiloides stercoralis, dan trichuris trichuria.
b.Bakteri penyebab gastroenteritis (diare akut) dibagi dalam dua golongan besar, ialah bvakteri
non invasive dan bakteri invasive. Yang termauk dalam golongan bakteri non invasive adalah :
vibrio cholera, E. coli pathogen (EPEC,ETEC,EIEC). Sedangkan golongan bakteri invasiv
adalah salmonella spp, shigella spp, E. coli infasif (EIEC), E. coli hemorrhagic (EHEC) dan
camphylobcter. Diare karena bakteri invasive dan non ihnvasiv terjadi melalui suatu mekanisme
yang berhubungan dengan pengaturan transport ion di dalam sel-sel usus berikut ini : cAMP
(cyclic adenosine monophospate), cGMP (cyclic guaniosin monophospate), Ca-dependent dan
pengaturan ulang sitoskeleton.
c.Infeksi parenteral, yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti : otitis
media akut tonsilopharingitis, dan sebagainya.
D.Insiden
Data departemen kesehatan RI, menyebutkan bahwa angka kesakitan diare diindonesia saat ini
adalah 230-330 per 1000 pendududk intuk semua golongan umur dan 1,6 – 2,2 episode diare
setiap tahunnya untukgolongan umur balita. Angka kematian diare golongan umur balita adalah
sekitar 4 per 1000 balita. Di laboratorium kesehatan anak RSUD Dr. soetomo pada tahun 1996
didapatkan 871 penderita diare yang dirawat dengan dehidrasi ringan 5%, dehidrasi sedang
7,1%, dan dehidrasi berat 23 %.tahun 2000 terdapat 1160 penderita diare yang dirawat dengan
227 (19,56 %) penderita yangmeninggal karena dehidrasi.

E.Patogenesis
Diare akut akibat infeksi( gastro enteritis) terutama dilakukan secara fekal oral. Hal ini
disebabkan masukan minuman atau makanan yang terkontaminasi tinja ditambah dengan
ekskresi yang buruk, makanan yang tidak matang, bahkan yang disajikan tanpa dimasak
penularannya transmisi orang ke orang melalui aerosolisasi (Norwalk, rotavirus), tangan yang
terkontaminasi (clostridium difficille), atau melalui aktivitas seksual. Faktor penentu terjadinya
diare akut adalah faktor penyebab (agent) dan faktor penjamu (host). Faktor penjamu adalah
kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, yaitu faktor daya tahan tubuh atau
lingkungan lumen saluran cerna, seperti keasaman lambung, motilitas lambung, imunitas juga
mencakup lingkungan mikroflora usus. Faktor penyebab yang mempengaruhi patogenesis antara
lain daya penetrasi, yang merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang
mempengaruhi sekresi cairan di usus serta daya lekat kuman. Kuman tersebut membentuk
koloni-koloni yang dapat menginduksi diare patogenesis diare disebabkan infeksi bakteri terbagi
dua yaitu :
1.Bakteri noninvasif (enterotoksigenik)
Bakteri masuk kedalam makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri
kemudian tertelan dan masuk kedalam lambung, didalam lambung bakteri akan dibunuh oleh
asam lambung, namun bila jumlah bakteri terlalu banyak maka akan ada yang lolos kedalam
usus 12 jari (duodenum). Di dalam duodenum bakteri akan berkembang biak sehingga
jumlahnya mencapai 100 juta koloni atau lebih per ml cairan usus. Denan memproduksi enzim
muicinase bakteri berhasil mencairkan lapisan lendir yang menutupi permukaan sel epitel usus
sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membrane (dinding sel epitel). Di dalam membrane
bakteri mengeluarkan toksin yang disebut sub unit A dan sub unit B. sub unit B melekat di dalam
membrane dari sub unit A dan akan bersentuhan dengan membrane sel serta mengeluarkan
cAMP (cyclic Adenosin Monophospate). cAMP berkhasiat merangsang sekresi cairan usus di
bagian kripta vili dan menghambat absorbsi cairan di bagian kripta vili, tanpa menimbulkan
kerusakan sel epitel tersebut. Sebagai akibat adanya rangsangan sekresi cairan dan hambatan
absorbsi cairan tersebut, volume cairan didalam lumen usus akan bertambah banyak. Cairan ini
akan menyebabkan dinding usus menggelembung dan tegang dan sebagai reaksi dinding usus
akan megadakan kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas atau hiperperistaltik untuk
mengalirkan cairan ke baeah atau ke usus besar. Dalam keadaan normal usus besar akan
meningkatkan kemampuannya untuk menyerap cairan yang bertambah banyak, tetapi tentu saja
ada batasannya. Bila jumlah cairan meningkat sampai dengan 4500 ml (4,5 liter), masih belum
terjadi diare, tetapi bila jumlah tersebut melampaui kapasitasnya menyerap, maka akan terjadi
diare.
2.Bakteri enteroinvasif
Diare menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi, dan bersifat sekretorik
eksudatif. Cairan diare dapat bercampur lendir dan darah. Bakteri yang termasuk dalam golongan
ini adalah Enteroinvasif E. Coli (EIEC), S. Paratyphi B, S. Typhimurium, S. Enteriditis, S.
Choleraesuis, Shigela, Yersinia dan Perfringens tipe C.
Penyebab diare lainnya, seperti parasit menyebabkan kerusakan berupa usus besar (E.
Histolytica) kerusakan vili yang penting menyerap air, elektrolit dan zat makanan (lamdia)
patofisologi kandida menyebabkan gastroenteritis belum jelas, mungkin karena superinfeksi
dengan jasad renik lain.
Mekanisme yang dilakukan virus masih belum jelas kemungkinan dengan merusak sel epitel
mukosa walaupun hanya superfisial, sehingga mengganggu absorpsi air, dan elektrolit.
Sebaliknya sel-sel kripti akan berpoliferasi dan menyebabkan bertambahnya sekresi cairan ke
dalam lumen usus. Selain itu terjadi pula kerusakan enzim-enzim disakarida yang menyebabkan
intoleransi yang akhirnya memperlama diare.

F.Gejala Klinik
Pasien dengan diare akibat infeksi sering mengalami nausea, muntah, nyeri perut sampai kejang
perut, demam dan diare terjadi renjatan hipovolemik harus dihindari kekurangan cairan
menyebabkan pasien akan merasa haus, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun,
serta suara menjadi serak, gangguan biokimiawi seperti asidosis metabolik akan menyebabkan
frekuensi pernafasan lebih cepat dan dalam (pernafasan kusmaul). Bila terjadi renjatan
hipovolemik berat maka denyut nadi cepat (lebih dari 120 kali/menit) tekanan darah menurun tak
terukur, pasien gelisah, muka pucat, ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis, kekurangan
kalium dapat menimbulkan aritmia jantung. Perfusi ginjal dapat menurun sehingga timbul
anuria, sehingga bila kekurangan cairan tak segera diatasi dapat timbul penulit berupa nekrosis
tubular akut.
Secara klinis dianggap diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan pertama,
kolerifrom, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja. Kedua disentriform, pada saat
diare didapatkan lendir kental dan kadang-kadang darah.

G.Tes Diagnostik
BAHAN
PEMERIKSAAN
Tinja

Tinja

Darah

Cairan duadenum
Biakan : Siggela, salmonella, E. coli, V. cholarae
Virus : Mikroskop elektron, elisa
Parasit : Pemeriksaan mikroskopika
PH dan uji reduksi
Lemak (pewarna sudam III)
Elektrolit dan osmolalitas
Darah tepi lengkap
Asam folat serum dan eritrosit
Mikroskopik : glordia dorstring dan loides.
Biakan : kuman aerob dan anaerob.
H.Penatalaksanaan
Dasar pengobatan diare adalah :
1.Pemberian cairan : jenis cairan, cara memberikan dan jumlah cairan.
2.Dietetik.
3.Obat-obatan.
Ketiga dasar pengobatan tersebut dijelaskan sebagai berikut :
1.Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan
umum.
Jenis cairan
a. Cairan peroral :
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang atau tanpa dehidrasi dan bila anak mau minum
serta kesadaran baik diberikan peroral berupa cairan yang berisi NaCl dan NaHCO3, KCI dan
glukosa. Formula lengkap sering disebut juga oralit. Cairan sederhana yang dapat dibuat sendiri
(formula tidak lengkap)hanya mengandung garam dan gula (NaCl dan sukrosa), atau air tajin
yang diberi garam dan gula untuk pengobatan sementara sebelum di bawah berobat ke rumah
sakit pelayanan kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih jauh.

b. Cairan parenteral :
1). Belum ada dehidrasi
Peroral sebanyak anak mau minum atau 1 gelas tiap defekasi.
2). Dehidrasi ringan
1 jam pertama : 25 – 50 ml/kg BB per oral (intragastrik). Selanjutnya : 125 ml/kg BB /hari.
3). Dehidrasi sedang
1 jam pertama : 50 – 100 ml/kg BB peroral /intragastrik (sonde). Selanjutnya ; 125 ml/kg
BB/hari.
4). Dehidrasi berat
(a).Untuk anak umur 1 bulan – 2 tahun, berat badan 3 – 10 kg.
yaitu 1 jam pertama : 40 ml/kg BB / jam = 10 tetes / kg BB /menit (set infus berukuran 1 ml = 15
tetes) atau 13 tetes / kg BB /menit (set infus 1 ml : 20 tetes).
7 jam berikutnya : 12 ml /kg BB/jam = 33 tetes / kg BB/ m atau 4 tetes / kg BB/menit.
16 jam berikutnya : 125 ml/kg BB oralit peroral atau intragastrik. Bila anak tidak mau minum,
teruskan dengan intravena 2 tetes/.kg BB/menit atau 3 tetes/kgBB/menit.
(b).Untuk anak lebih dari 25 tahun dengan BB 10 – 15 kg :
1 jam pertama : 30 ml /kg BB/jam = 8 tetes/kgBB/menit. atau 10 tetes/kgBB/menit.
7 jam berikutnya : 10 ml /kg BB /jam = 3 tetes/kgBB/ menit. atau 4 tetes/kgBB/menit.
16 jam berikutnya : 125 ml /kg BB oralit peroral atau intragastrik. Bila anak tidak mau minum
dapat diteruskan dengan DG aa intravena 2 tetes/kgBB/m, atau 3 tetes/ kgBB/m.
(c).Untuk bayi baru lahir (neonatus) dengan BB 2 – 3 kg.
Kebutuhan cairan : 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml /kg bb /24 jam. Jenis cairan 4 : 1 (4
bagian glukosa 5 % + 1 bagian NaHCO3 1 %) dengan kecepatan 4 jam pertama = 25 ml / kg
BB /jam atau 6 tetes/kgBB/menit., 8 tetes/kgBB/ menit.
20 jam berikutnya 150 ml /kg BB /20 jam = 2 tetes/kgBB/ menit. atau 2 ½ tetes/kgBB/menit.

2.Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan BB kurang dari 7 kg jenis makanan
:
a.Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung laktosa rendah dan asam lemak tak jenuh).
b. Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim).
c.Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan.
Cara memberikannya :
a.Hari pertama : setelah dehidrasi segera diberikan makanan peroral. Bila diberi ASI/susu
formula tapi masih diare diberikan oralit selang-seling.
b. Hari kedua – keempat : ASI /susu formula rendah laktosa penuh.
c. Hari kelima : bila tidak ada kelainan pasien dipulangkan. Kembali susu atau makanan biasa.
3.Obat-obatan
a.Obat anti sekresi : dosis 25 mg /tahun dengan dosis minimum 30 mg. Klorpromazin dosis 0,5 –
1 mg /kg bb /hari.
b. Obat spasmolitik.
c. Antibiotik (Ngastiyah, 1997).

I.Prinsip Pengobatan Dan Managemen Perawatan


1.Pengobatan tergantung pada derajat dehidrasi. Dehidrasi ringan . ada kemungkinan lebih
disukai untuk merawat anak di rumah, asal diberikan perawatan medis tang efesien.
a.Dihentikannya pemberian susu yang diganti dengan campuran glucose elektrolit (dioralite).
b.Cairan harus diberikan setiap 2 jam pada siang hari dan setiap 4 jam selama malam hari,
dilanjutkan selama 24 jam
c.Setelah 24 jam pemberian susu dimulai kembali, jika diberikan jumlah kecil (15 ml susu krim
separuh) setiap 4 jam dengan salin antara waktu makan
d.Dengan ditingkatkannya pemberian susu, jumlah campuran glucose elektrolit diturunkan
secara berimbang
e.Sucrose hanya ditambahkan jika feces mulai berbentuk
Dehidrasi ringan. Pada kasus ini, gambaran klinik ditegakkan secara baik danbayi mulai
dirawat :
a.Dihentikannya pemberian susu
b.Penggantian deficit cairan danelektrolit serta koreksi gangguan asam basa. Ini didasarkan pada
penilaian klinis, atau pada rekaman kehi,angan berat badanterakhir. Pergantian dapat dilakukan
baik peroral atau intravena dan akan tergantung pada kehilangan air dan elektrolit melalui diare.
c.Perawatan bayi dengan terapi intra vena
d.Pemeriksaan biokimia dan obsevasi klinis untuk menentukan status elektrolit
e.Dimulainya pemberian cairan peroral secara perlahan – lahan untuk kmenentukan kemampuan
menerima cairan
f.Dimulainya pemberian susu secara berangsur-angsur seperti yangdiuraikanuntuk dehidrasi
ringan
g.Penimbangan berat badan harian dan pengumpilan urin harian
Dehidrasi parah. Bayi dalamkedaan sakit parah dengan kegagalan sirkulasi :
a.Infuse intravena dengan larutan yang sesuai dan masukan cairan dengan peningkatan yang
seksama
b.Infuse plasma untukmenggantikan penurunan volume plasma
c.Koreksi asidosis merabolik dengan pemberian secara intravena 8,4 % natrium bikarbonat
dengan penilaian kembali status asam basa
d.Jika suatu elektrolit dan cairan telah dikoreksi, secara berangsur-angsur susu diberikan kembali
seperti yang diuraikan untuk dehidrasi ringan
e.Selama fase akut, bayi dirawat dalam incubator. Diberikan oksigen dan bayi diobservasi secara
seksama, karena penurunan kadar kalium serum menimbulkan perubahan aktivitas jantung, dan
peningkatan kadar kalium secara cepat membawa resiko henti jantung.
2.Perawatan rutin
a.Pemberian obat-obatan, terutama antibiotika untuk mengatasu kuman infeksi . jika muntah
parah, obat-obatan yang sesuai, seperti kloramfenikol atau streptomisin, dapat diberikan secara
parenteral
b.Isolasi bayi dan pengertian akan proses infeksi silang serta pencegahannya.
c.Perawatan bokong anak. Feces yang encer akan menyebabkan kemerahan dan ekskoriasi kulit.
Bayi tidak boleh ditinggal berbaring dengan popok yang basah dan kotor. Area popok dibasuh
secara lebih dan diberikan krim pelindung. Meninggalkan bokong dalam kedaan terpapar
merupakan cara yang terbaik untuk mendorong terjadinya penyembuhan.
d.Inspeksi dan perawatan mulit bayi
e.Dukungan bagi orang tua. Jika terdapat bukti tidak adanya pengertian dalam hal perawatan
anak,ibu harusdidorong untuk tinggal bersama anak. Perawatan dapat diawasi dan diberikan
bantuan. Walaupun demikian, harus diingat bahwa banyak bayi yangmenderita gastroenteritis
kendatipun perawatan bayi yang bhaik, dan orang tua tidak boleh disalahkan karena keadaan ini.
f.Persiapan pulang ke rumah. Segera setelah petunjuk pemberian makanan mencapai tingkat
sesuai umur dan kebutuhan anak, dan jika terjadi pertambahan berat badan anak yang
memuaskan dan tidak terdapat muntah atau feces yang encer, maka anak dizinkan pulang. Orang
tua diminta untuk datang ke unit rawat jalan untuk mengubungi dokter umum untuk menilai
kemajuan bayi.

Filed under: 9. DIGESTIVE ZONE | 3 Komentar »

TEHNIK DAN PROSEDUR HD


Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

Hemodialisis berasal dari kata :


Hemo : darah
Dialisis : memisahkan dari yang lain
Hemodialisis
Proses pemisahan zat-zat tertentu dari darah melaui suatu membran semi permeabel.
Membran semi permeabel
Lapisan yang sangat tipis dan memiliki lubang-lubang submikroskopik (pori)
Ginjal buatan/ dialyzer (halofiber/artificial kidney)
Alat yang digunakan untuk mengeluarkan sampah metabolisme tubuh atau zat toksik lain dari
dalam tubuh, bila fungsi ginjal sudah tidak memadai lagi. Dimana didalamnya mempunyai 2
kompartemen dialisat yang dibatasi selaput semipermeabel.
Dialisat
Cairan yang digunakan untuk proses hemodialisis. Terdiri dari campuran air dan elektrolit
dengan konsentrasi hampir sama dengan serum darah normal.
Blood lines
Pipa-pipa atau selang-selang yang mengalirkan darah dari tubuh menuju dialyzerdan yang dari
dialyzer ke tubuh.
Terdiri dari : arteri blood line/ inlet/ ABL; venous blood line/ outlet/ VBL.
Blood pump/ pompa darah
Alat yang menyebabkan darah mengalir dalam sirkulasi darah. Bersifat ganda yaitu menarik dan
mendorong.
Segment pump : Bagian dari ABL yang ditempatkan pada Blood pump.
Bubble trap/ air trap
Suatu ruangan pada ABL dan VBL yang bertugas menahan/ mengamankan gelembung udara
dalam sirkulasi darah.
Qb : kecepatan aliran darah dalam sirkulasi darah (ml/m)
Qd : kecepatan aliran dialisat dalam sirkulasi dialisat (ml/m)
Qf : ultrafiltration rate (ml/m) yaitu jumlah air yang keluar dari kompartemen darah ke
kompartemen dialisat melalui membran semi permeabel yang disebabkan karena perbedaan
tekanan.
Priming : pengisian cairan yang pertama kali dalam sirkulasi darah (ABL+Dialyzer+VBL) ……
NaCl
Conductivity : kemampuan suatu larutan untuk menghantarkan aliran listrik.
Tekanan Negative/ Negative Pressure/ Dialisat Pressure : pada inlet dimonitoring sebelum blood
pump, disebut juga fistula pressure, terjadi bila ada hambatan dari arteri, aliran darah yang keluar
kurang.
Tekanan Positif/ Positive Pressure : pada inlet dimonitoring sesudah blood pump, pada bubble
trap disebut juga arterial pressure, terjadi bila ada tekanan pada dialyzer (misalnya: ada bekuan
dalam dialyzer).
Tekanan positif pada outlet dimonitoring pada bubble trap dari outlet disebut juga venous
pressure. Terjadi karena hambatan pada jalan masuk darah ke tubuh, misalnya karena :
Jarum kecil
Posisi jarum kurang baik
Vasokonstriksi dari vena
Trans Membrane Pressure/ TMP : adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalaui membrane.
Meninggalkan tekanan dialisat berarti menambah daya hisap dari cairan dialisat sehingga cairan
darah berpindah ke dialisat dan ultrafiltrasi meninggi

Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodialisis


1.Aliran darah
Secara teori seharusnya aliran darah secepat mungkin. Hal-hal yang membatasi kemungkinan
tersebut antara lain : tekanan darah, jarum. Terlalu besar aliran darah bisa menyebabkan syok
pada penderita.
2.Luas selaput/ membran yang dipakai
Yang biasa dipakai : 1-1,5 cm2
Tergantung dari besar badan/ berat badan
3.Aliran dialisat
Semakin cepat aliran dialisat semakin efisien proses hemodialisis, menimbulkan borosnya
pemakaian cairan.

Temperatur suhu dialisat


Temperature dialisat tidak boleh kurang dari 360C karena bisa terjadi spasme dari vena sehingga
aliran darah melambat dan penderita menggigil.
Temperatur dialisat tidak boleh lebih dari 420C karena bisa menyebabkan hemolisis.

Untuk menjalankan hemodialisis perlu :


1.Sarana ruangan
Tempat tidur
Penerangan yang cukup
Wastafel dan kran
Kran-kran untuk sarana hubungan dengan mesin hemodialisis
Saluran pembuangan
Alat pendingin ruangan/ AC
Tempat sampah
Meja suntik
Stop kontak
2.Mesin hemodialisis/ pengelola air
Mesin pengelola air :
Water softener
Revense osmosis
3.Peralatan kesehatan dan obat-obatan.
Peralatan kedokteran :
Tensi meter + stetoskop
Timbangan BB
Tabung oksigen lengkap
Alat EKG
Slym zuiger
Tromol (duk, kassa, klem)
Bak spuit dan kom kecil
Korentang dan tempatnya
Klem-klem (besar dan kecil)
Gunting
Bengkok, nierbekken
Mat kan/ gelas ukuran
Zeil + karet alat untuk alas tangan
Sarung tangan
Kassa/ gaas
Plester/ band aid
Verband
Alat-alat khusus :
Dialyzer
Blood lines (ABL/ VBL)
AV fistula/ Abocath no G14 s/d G16
Dialisat pekat
Infuse set
Micro drip
Spuit : insulin 2,5cc, 5cc, 10cc, 30/50cc
Conductivity meter
Obat-obatan :
Lidocain, Novocain
Alcohol, bethadine
Heparin, protamin
Sodium bicarbonat 7 % (meylon)
Obat-obat penyelamat hidup
Yang perlu selain yang diatas adalah :
Surat izin dialysis
Formulir dialysis
Traveling dialsis
Formulir laboratorium
Formulir radiologi

Filed under: D. HD ZONE | 4 Komentar »

PERAWATAN HEMODIALISA
Posted on Maret 9, 2008 by harnawatiaj

1.PERAWATAN SEBELUM HEMODIALISIS (PRA HD)


Persiapan mesin
Listrik
Air (sudah melalui pengolahan)
Saluran pembuangan
Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)
Persiapan peralatan + obat-obatan
Dialyzer/ Ginjal buatan (GB)
AV Blood line
AV fistula/abocath
Infuse set
Spuit : 50 cc, 5 cc, dll ; insulin
Heparin inj
Xylocain (anestesi local)
NaCl 0,90 %
Kain kasa/ Gaas steril
Duk steril
Sarung tangan steril
Bak kecil steril
Mangkuk kecil steril
Klem
Plester
Desinfektan (alcohol + bethadine)
Gelas ukur (mat kan)
Timbangan BB
Formulir hemodialisis
Sirkulasi darah
Cuci tangan
Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas
Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL dihubungkan dengan alat
penampung/ mat-kan
Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda merah dibawah, biru diatas
Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)
Pasang infus set pada kolf NaCl
Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus
Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, (untuk hubungan tekanan arteri, tekanan
vena, pemberian obat-obatan)
Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
100 ml/mJalankan Qb dengan kecepatan
Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebeas udara) dengan cara menekan-nekan VBL
Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian
Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL, klem tetap dilepas
Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem infus dibuka
Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan GB) selama 10-15 menit sebelu dihubungkan
dengan sirkulasi sistemik (pasien)
CATATAN !!!!
PERSIAPAN SIRKULASI
Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL
Priming/ mengisi GB + VBL + ABL
Soaking/ melembabkan GB.
Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB + VBL )
Cara menghitung volume priming :
Σ NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah NaCl yang ada didalam mat kan (gelas
tampung/ ukur)
Contoh :
∑ NaCl yang dipakai membilas : 1000 cc
∑ NaCl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc – 750 cc = 250 cc
Cara melembabkan (soaking) GB
Yaitu dengan menghubungkan GB dengan sirkulasi dialisat
Bila mempergunakan dialyzer reuse / pemakaian GB ulang :
Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat
15 menit pada posisi rinseBiarkan
Test formalin dengan tablet clinitest :
Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain
10 tts (1/2 cc), masukkan ke dalam tabung gelas, masukkanAmbil cairan 1 tablet clinitest ke
dalam tabung gelas yang sudah berisi cairan
Lihat reaksi :
Warna biru : – / negatif
Warna hijau : + / positif
Warna kuning : + / positif
Warna coklat : +/ positif
Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi GB baru
Persiapan pasien
1.Persiapan mental
2.Izin hemodialisis
3.Persiapan fisik :Timbang BB, Posisi, Observasi KU (ukur TTV)

2.PERAWATAN SELAMA HEMODIALISIS (INTRA HD)


Pasien
Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi :
Dengan internal A-V shunt/ fistula cimino
Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan & tangan
Teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol
Anestesi local (lidocain inj, procain inj)
Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14 s/d G.16/ abocath, fiksasi, tutup dengan kasa
steril
Berikan bolus heparin inj (dosis awal)
Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril

Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)


Desinfektan
Klem kanula arteri & vena
Bolus heparin inj (dosis awal)
Tanpa 1 & 2 (femora dll)
Desinfektan
Anestesi local
Punksi outlet/ vena (salah satu vena yang besar, biasanya di lengan).
Bolus heparin inj (dosis awal)
Fiksasi, tutup kassa steril
Punksi inlet (vena/ arteri femoralis)
Raba arteri femoralis
Tekan arteri femoralis
0,5 – 1 cm ke arah medialVena femoralis
Anestesi lokal (infiltrasi anetesi)
Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5 menit
Fiksasi
Tutup dengan kassa steril
Memulai hemodialisis
1.Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2.Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3.Semua klem dibuka, kecuali klem infus set
100 ml/m, sampai4.Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb sirkulasi darah terisi
darah semua.
5.Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL dengan punksi outlet
6.Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)
7.cairan priming diampung di gelas ukur dan jumlahnya dicatat (cairan dikeluarkan sesuai
kebutuhan).
8.Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa dinaikkan sampai 300
ml/m (dilihat dari keadaan pasien)
9.Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure, arteri pressure, hidupkan air/ blood
leak detector
10.Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan). Heparin dilarutkan dengan NaCl
11.Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/ lemah lakukan mengukur TD, N,
lebih sering.
12.Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S, N, P, Tipe GB, Cairan priming yang
masuk, makan/minum, keluhan selama HD, masalah selama HD.
CATATAN !!!!
1.Permulaan HD posisi dialyzer terbalik setelah dialyzer bebas udara posisi kembalikan ke posisi
sebenarnya.
2.Pada waktu menghubungkan venous line dengan punksi outlet, udara harus diamankan lebih
dulu
3.Semua sambungan dikencangkan
4.Tempat-tempat punksi harus harus sering dikontrol, untuk menghindari terjadi perdarahan dari
tempat punksi.

Mesin
Memprogram mesin hemodialisis :
1.Qb : 200 – 300 ml/m
2.Qd : 300 – 500 ml/m
3.Temperatur : 36-400C
4.TMP. UFR
5.Heparinisasi
Tekanan (+) /venous pressure
Trans Membran Pressure / TMP Tekanan (-) / dialysate pressure
Tekanan (+) + tekanan (-)
Tekanan / pressure :
Arterial pressure / tekanan arteri : banyaknya darah yang keluar dari tubuh
Venous pressure / tekanan vena : lancar/ tidak darah yang masuk ke dalam.

Heparinisasi
Dosis heparin :
Dosis awal : 25 – 50 U/kg BB
Dosis selanjutnya (maintenance) = 500 – 1000 U/kg BB
Cara memberikan
Kontinus
Intermiten (biasa diberikan tiap 1 jam sampai 1 jam terakhir sebelum HD selesai)
Heparinisasi umum
Kontinus :
Dosis awal : ……. U
Dosis selanjutnya : …… U
Intermitten :
Dosis awal : …… U
Dosis selanjutnya : ……. U
Heparinisasi regional
Dosis awal : …… U
Dosis selanjutnya : ….. U
Protamin : …. U
Heparin : protamin = 100 U : 1 mg
Heparin & protamin dilarutkan dengan NaCl.
Heparin diberikan/ dipasang pada selang sebelum dializer.
Protamin diberikan/ dipasang pada selang sebelum masuk ke tubuh/ VBL.
Heparinisasi minimal
Syarat-syarat :
Dialyzer khusus (kalau ada).
Qb tinggi (250 – 300 ml/m)
Dosis heparin : 500 U (pada sirkulasi darah).
Bilas dengan NaCl setiap : ½ – 1 jam
Banyaknya NaCl yang masuk harus dihitung
Jumlahnya NaCl yang masuk harus dikeluarkan dari tubuh, bisa dimasukkan ke dalam program
ultrafiltrasi
CATATAN
Dosis awal : diberikan pada waktu punksi : sirkulasi sistem
Dosis selanjutnya: diberikan dengan sirkulasi (maintenance) ekstra korporeal.

PENGAMATAN OBSERVASI, MONITOR SELAMA HEMODIALISA


1.PASIEN
KU pasien
TTV
Perdarahan
Tempat punksi inlet, outlet
Keluhan/ komplikasi hemodialisis
2.MESIN & PERALATAN
Qb
Qd
Temperature
Koduktiviti
Pressure/ tekanan : arterial, venous, dialysate, UFR
Air leak & Blood leak
Heparinisasi
Sirkulasi ekstra corporeal
Sambungan-sambungan
CATATAN :
Obat menaikkan TD ( tu. pend hipotensi berat) : Efedrin 1 ampul + 10 cc aquadest kmd disuntik
2 ml/IV
3.PERAWATAN SESUDAH HEMODIALISIS (POST HD)
Mengakhiri HD
Persiapan alat :
Kain kasa/ gaas steril
Plester
Verband gulung
Alkohol/ bethadine
Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)
Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral

Cara bekerja
1.5 menit sebelum hemodialisis berakhir
Qb diturunkan sekitar 100cc/m
UFR = 0
2.Ukur TD, nadi
3.Blood pump stop
4.Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas punksi inlet ditekan dengan kassa steril yang
diberi betadine.
5.Hubungkan ujung abl dengan infus set
6.Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan do dorong dengan nacl sambil qb 50 – 100 cc)
100 ml/m (NaCl masuk : dijalankan
7.Setelah darah masuk ke tubuh Blood pump stop, ujun VBL diklem.
8.Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan dengan kassa steril yang diberi
bethadine
9.Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet & outlet dengan
antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu pasang verband.
10.Ukur TTV : TD. N, S, P
11.Timbang BB (kalau memungkinkan)
12.Isi formulir hemodialisis
CATATAN :
1.Cairan pendorong/ pembilas (NaCl) sesuai dengan kebutuhan , kalau perlu di dorong dengan
udara ( harus hati-hati)
2.Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar 10 menit
3.Bekas punksi femoral lebih lama, setelah perdarahan berhenti, ditekan kembali dengan bantal
pasir
4.Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih lama
5.Memakai teknik aseptik dan antiseptik

SCRIBNER
1.Pakai sarung tangan
2.Sebelum ABL & VBL dilepas dari kanula maka kanula arteri & kanula vena harus diklem
lebih dulu
3.kanula arteri & vena dibilas dengan NaCl yang diberi 2500 U – 300 U heparin inj
4.Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan konektor
5.Lepas klem pada kedua kanula
6.Fiksasi
7.Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat dari luar, untuk mengetahui ada bekuan atau
tidak.
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HEMODIALISIS
Pada pasien yang baru pertama kali hemodialisis, jika kondisi pasien memungkinkan, pasien
diorientasikan pada ruangan paviliun II dan alat-alat yang ada. Selain itu pasien diberikan
penjelasan ringkas tentang prosedur yang akan dijalankan, prinsip hemodialisis, diet, pembatasan
cairan, perawatan cimino, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama hemodialisis dan
efek dari hemodialisis.
Pada pre hemodialisis, kegiatan perawatan meliputi : menghidupkan mesin, meyediakan alat-
alat, memasang alat pada mesin, sirkulasi cairan NaCl pada mesin, mengawasi penimbangan
berat badan pasien, mengukur suhu badan, mengukur tekanan darah dan menghitung denyut
nadi.
Pada tahap pemasangan alat dan selama pemasangan, kegiatannya meliputi : desinfeksi daerah
penusukan, pemberian anestesi lokal (kalau perlu), penusukan jarum, pemasukan heparin (bolus),
selanjutnya menyambung jarum pada arteri blood line. Lalu menekan tombol BFR, membuka
klem venous dan arteri blood line, memprogram penurunan berat badan, waktu pelaksanaan,
venous pressure, kecepatan aliran heparin dan UFR. Kemudian menghubungkan heparin
contnous ke sirkulasi, monitoring pernafasan, makan dan minum, pengaturan posisi tubuh,
monitoring alat-alat dan kelancaran sirkulasi darah, mengukur tekanan darah dan menciptakan
suasana ruangan untuk mengisi kegiatan pasien selama hemodialisis berlangsung.
Pada tahap penghentian hemodialisis meliputi : penghentian aliran darah, mencabut jarum inlet
dan menekan bekas tusukan sambil menunggu sampai aliran darah pada venous blood line habis.
Langkah selanjutnya adalah mencabut jarum out line dan menekan bekas tusukan, mengganti
gaas bethadine dan fiksasi dengan plester. Setelah penghentian hemodialisis, dilakukan
pengukuran tekanan darah, mengukur suhu, mengawasi penimbangan berat badan, membereskan
alat-alat dan dilanjutkan dengan desinfeksi alat.
Semua kegiatan baik pada tahap pre hemodialisis selama pemasangan dan penghentian
hemodialisis dilakukan oleh perawat kecuali penimbangan berat badan dan minum yang pada
beberapa pasien dilakukan sendiri. Disamping itu beberapa pasien telah dapat melaporkan pada
perawat apabila ada ketidakberesan pada mesin atau akses vaskular, setelah mencoba mengatasi
sendiri.
Sistem pencatatan dan pelaporan yang dijalankan dalam bentuk lembaran observasi pasien yang
berisi tentang : TTV sebelum atau selama dan sesudah HD, BB sebelum dan sesudah HD, dosis
heparin, program penurunan BB , priming dan keluhan pasien setelah HD.
Pembuatan rencana perawatan pasien sudah berjalan dimana dalam pengkajian meliputi data
fisik dan psikososial. Data psikososial yang dikaji sebatas pada adanya rasa cemas dan bosan.
Intervensi keperawatan yang dilakukan mengarah kepada pemberian bantuan sepenuhnya. Hal
ini dapat terlihat dari kegiatan :
a.Pada tahap persiapan
Persiapan alat dan mesin
Selama ini pasien dipersilahkan masuk ke ruangan HD dalam keadaan mesin sudah siap pakai
karena perawat sudah menyiapkannya. Pada saat itu pasien menunggu di ruang tunggu.
Sebenarnya bagi pasien yang memungkinkan bisa dilibatkan sejak awal, dari mulai
menghidupkan mesin, mempersiapkan alat-alat, memasang alat pada mesin sampai mesin
tersebut dipakai.
Menimbang BB
Penimbangan BB bagi pasien yang mampu memang sudah dilakukan sendiri oleh pasien begitu
mereka masuk ruangan. Pasien menyebutkan berapa BBnya dan perawat mencatatnya dalam
lembaran observasi. Dalam hal ini pasien dapat diberi kesempatan untuk mencatat Bbnya sendiri,
namun tetap dalam pengawasan perawat.
Mengukur suhu badan, tekanan darah dan menghitung denyut nadi
Kegiatan-kegiatan ini semuanya masih dilakukan oleh perawat. Sebenarnya dapat mulai
dikenalkan kepada pasien mengenai alat-alat dan cara pengukurannya, mulai dari hal-hal yang
sedrhana tapi dapat menarik minat untuk belajar.
b.Pada tahap pelaksanaan
c.Pada tahap penghentian

Filed under: D. HD ZONE | 8 Komentar »

« Halaman Sebelumnya — Halaman Berikutnya »

You might also like