You are on page 1of 7

NYERI

Protokol Standar Praktik Keperawatan : Manajemen Nyeri pada Lansia

Paradigma
Semua lansia akan bebas dari rasa nyeri, atau setidaknya nyeri yang mereka rasakan dapat
dikendalikan ke tingkat yang dapat ditoleransi dan memungkinkan para lansia dapat tetap
mempertahankan fungsi semaksimal mungkin.

Gambaran
Nyeri adalah keadaan yang biasa terjadi pada lansia, penilaian nyeri berhubungan dengan
keadaan kronis (misalnya, osteoarthritis) dan akut (misalnya, kanker, operasi). Meskipun nyeri
dianggap sebagai hal yang tidak sehat, namun fakta dari insiden nyeri yang terjadi di masyarakat
menunjukkan manajemen rasa nyeri pada lansia kurang begitu diperhatikan. Gangguan kognitif akibat
demensia dan/atau delirium merupakan tantangan khusus untuk manajemen nyeri, karena lansia
dengan kondisi tersebut mungkin sulit atau tidak dapat mengungkapkan secara verbal nyeri yang
mereka rasakan. Perawat sebagai bagian integral dari interdisplin tim perawatan, perlu memahami
mitos yang berhubungan dengan manajemen nyeri, termasuk anggapan dan keyakinan bahwa nyeri
merupakan hal yang normal sebagai efek dari penuaan untuk memberikan perawatan yang optimal dan
memberikan edukasi pada pasien dan keluarga tentang pengelolaan nyeri.

Latar Belakang
A. Definisi
1. Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, rasa nyeri yang dirasakan oleh tiap individu dapat berbeda-beda tergantung
dari ambang dan skala nyeri yang dirasakan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan simultan
dan subjektif rasa nyeri pada tiap individu. Nyeri biasanya ditunjukkan dengan lamanya nyeri
(misalnya, akut atau kronis/persisten) dan penyebabnya (misalnya, nociceptive atau
neuropatik). Hal tersebut berimplikasi terhadap strategi manajemen nyeri.
2. Nyeri akut digambarkan sebagai efek dari cedera, operasi, atau kerusakan jaringan.
Nyeri akut biasanya berhubungan dengan aktivitas otonom, seperti takikardia dan diaforesis.
Nyeri akut berlangsung dalam waktu singkat dan dapat membaik dengan tindakan kuratif.
3. Nyeri kronis/persisten berlangsung dalam waktu lama (biasanya lebih dari 3 – 6 bulan).
Nyeri kronis kemungkinan berhubungan dengan berlangsungnya proses penyakit dan aktivitas
otonom. Nyeri kronis sering berhubungan dengan defisit fungsional, penurunan kualitas hidup,
perubahan mood dan perilaku.
4. Nyeri nociceptive mengacu pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh stimulasi reseptor
nyeri perifer atau visceral. Nyeri jenis ini digambarkan sebagai efek dari berlangsungnya proses
penyakit (misalnya, osteoarthritis), cedera jaringan lunak (misalnya, jatuh), dan terapi medis
(misalnya, pembedahan, rupturisasi vena, dan prosedur lainnya). Nyeri kronis biasanya
terlokalisasi dan bersifat responsif terhadap terapi.
5. Nyeri neuropatik mengacu pada rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan sistem saraf
perifer atau pusat. Nyeri jenis ini berhubungan dengan diabetes neuropati, pasca-herpes dan
nyeri saraf trigeminal, stroke dan kemoterapi untuk kanker. Penyebaran nyeri neuropatik
biasanya lebih luas dan kurang responsif terhadap pengobatan analgesik.
B. Epidemiologi
1. Sekitar 50% dari lansia yang tinggal di masyarakat mengalami nyeri.
2. Sekitar 85% dari penghuni panti jompo mengalami nyeri.
C. Etiologi
1. Lebih dari 80% lansia mengalami kondisi medis atau penyakit kronis yang biasanya
dikaitkan dengan nyeri, seperti osteoarthritis dan penyakit pada pembuluh darah perifer.
2. Lansia sering mengalami penyakit baik kronis dan/atau akut, dan mungkin merasakan
beberapa jenis nyeri dari berbagai sumber atau komplikasi penyakit.
3. Nyeri memiliki efek besar bagi kesehatan, fungsi dan kualitas hidup lansia jika tidak
diatasi. Nyeri bisa berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Depresi
b. Gangguan pola tidur
c. Penurunan sosialisasi dan penarikan atau isolasi diri
d. Defisit fungsional dan peningkatan ketergantungan
e. Eksaserbasi kerusakan kognitif
f. Peningkatan biaya dan penggunaan layanan kesehatan
4. Perawat memiliki peran penting dalam manajemen nyeri. Edukasi tehnik relaksasi dan
meringankan nyeri merupakan dasar praktek keperawatan. Perawat perlu mengetahui tentang
nyeri pada lansia untuk memberikan perawatan yang optimal, memberikan edukasi pada pasien
dan keluarga dan serta bekerja secara efektif dalam interdisiplin tim perawatan kesehatan.
5. The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (Komisi
Gabungan Akreditasi Organisasi Kesehatan) sekarang memerlukan penilaian secara
konvensional dan sistematis terhadap nyeri pada semua pasien rawat inap. Karena pasien lansia
memiliki populasi besar di banyak lokasi perawatan akut, perawat harus memiliki pengetahuan
dan keterampilan untuk mengatasi rasa nyeri secara spesifik yang dirasakan oleh tiap-tiap
lansia.

Parameter Penilaian
A. Asumsi
1. Sebagian besar pasien lansia yang dirawat di rumah sakit mengalami nyeri akut
dan/atau kronis.
2. Lansia dengan gangguan kerusakan kognitif yang mengalami nyeri kerap kali tidak
dapat mengungkapkan nyeri yang dirasakannya secara verbal.
3. Baik pasien dan penyedia layanan kesehatan memiliki keyakinan dan pemahaman
masing-masing, ketidakcukupan ilmu, dan keyakinan yang keliru tentang nyeri dan manajemen
nyeri sehingga:
a. mempengaruhi proses manajemen nyeri
b. harus diprediksi sebelum proses meringankan nyeri yang optimal dapat tercapai
4. Penilaian nyeri harus teratur, sistematis dan didokumentasikan secara seksama untuk
mengevaluasi efektivitas terapi
5. Pernyataan diri merupakan standar emas untuk penilaian nyeri.
B. Rencana Penilaian Nyeri
1. Mengkaji riwayat medis, pemeriksaan fisik serta laboratorium dan tes diagnostik untuk
mengetahui proses atau kejadian yang berkontribusi terhadap rasa nyeri.
2. Menilai nyeri yang dirasakan saat ini, termasuk intensitas, karakter, frekuensi, pola,
lokasi, durasi serta faktor yang dapat menimbulkan dan menghilangkan nyeri.
3. Mengkaji terapi, termasuk resep obat yang digunakan saat ini dan sebelumnya, obat
yang dikontraindikasikan serta rawat jalan di rumah. Memeriksa tehnik atau manajemen nyeri
sebelumnya yang telah efektif digunakan pasien. Mengevaluasi sikap dan keyakinan pasien
tentang penggunaan analgesik, obat-obatan ajuvan dan perawatan non-farmakologis.
4. Gunakan alat ukur nyeri yang telah terstandarisasi untuk membantu pasien melaporkan
sendiri nyeri yang dia rasakan. Pilih alat ukur yang telah tersedia dan ingat bahwa lansia
kemungkinan kesulitan menggunakan 10 poin tingkat nyeri dari skala analog visual. Skala
verbal vertikal yang menggambarkan ekspresi wajah saat nyeri mungkin lebih berguna pada
lansia.
5. Mengkaji nyeri secara teratur setidaknya setiap 4 jam. Monitor intensitas nyeri setelah
pemberian terapi atau obat untuk mengevaluasi efektivitasnya.
6. Amati tanda-tanda nonverbal dan kelakuan saat nyeri, seperti wajah meringis,
withdrawal/menarik diri, melindungi bagian yang nyeri, menggosok, pincang, mengubah
posisi, agresi, agitasi, depresi, ekspresi dan menangis. Perhatikan juga perubahan perilaku yang
tidak biasa pada pasien.
7. Kumpulkan informasi dari anggota keluarga tentang insiden nyeri yang dialami pasien.
Tanyakan tentang respon verbal dan nonverbal/perubahan perilaku pasien saat nyeri, terutama
pada lansia dengan demensia.
8. Ketika muncul dugaan nyeri namun instrumen penilaian dan pengamatan terhadap nyeri
bersifat tidak jelas, lakukan percobaan klinis dalam mengatasi nyeri (pada orang dengan
demensia). Jika gejalanya menetap, anggap nyeri bersifat kronis dan lakukan terapi sesuai
protokol.
C. Alat Penilaian
1. Cara Penilaian
Intensitas nyeri yang dilaporkan sendiri oleh pasien merupakan alat pengukuran yang paling
dapat diandalkan. Skala intensitas nyeri yang paling banyak digunakan digunakan dengan
orang dewasa yang lebih tua adalah Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Descriptor Scale
(VDS) dan Face Pain Scale-Revised (FPS-R).
a. Skala numerik penilaian nyeri (NRS)
Pasien diminta memberikan penilaian rasa nyeri yang mereka rasakan mulai dari numerik 0
(tidak terasa nyeri) hingga numerik 10 (nyeri terparah yang bisa dibayangkan).
b. Skala penilaian nyeri secara verbal (VDS)
Pasien diminta menggambarkan rasa nyeri dari ’tidak nyeri’ – ’agak nyeri’ – ’sangat nyeri’.
c. Revisi skala nyeri berdasarkan ekspresi wajah (FPS-R)
Pasien diminta menggambarkan ekspresi wajah yang mereka keluarkan saat serangan nyeri
terjadi.
2. Target
Ketiga skala penilaian nyeri diatas dapat digunakan oleh semua masyarakat termasuk orang tua
dengan nyeri akut atau perawatan jangka panjang. Meskipun terdapat alat khusus yang dapat
digunakan lansia dengan gangguan kognitif untuk mengukur nilai nyeri secara non-verbal,
namun penelitian telah menunjukkan bahwa NRS, VDS dan FPS-R juga efektif untuk
digunakan pada lansia dengan gangguan kognitif. Namun skala yang digunakan pada tiap-tiap
individu harus konstan.
3. Kelebihan dan Kekurangan
NRS dapat digunakan pada pasien tanpa gangguan kognitif, berbeda dengan FPS-R yang lebih
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan kognitif. Namun alat penilaian nyeri secara
cepat tersebut sebaiknya tidak menghilangkan pengkajian riwayat kesehatan secara menyeluruh
dan pemeriksaan fisik yang spesifik untuk menentukan etiologi nyeri yang dirasakan pasien.

Perubahan Revisi Skala Nyeri Berdasarkan Ek


“The Faces Pain Scale – Revised. Toward a Common Metric in Pediatric Pain Measurement,” by C.L. Hicks, C.L. von Baeyer, P.A. Spafford, I. v

Numeric Rating Scale (


Adapted from Jacox, A., Carr, D.B., Payne, R., et al. (March 1994). Management of Cancer Pain. Clinical Practice Guideline No. 9. AHCPR Publicatio
Rencana Keperawatan
A. Pencegahan
1. Kaji nyeri secara teratur untuk menentukan terapi yang tepat.
2. Antisipasi dan berikan pengobatan secara intensif sebelum, selama dan
sesudah munculnya diagnostik nyeri dan/atau terapi terapeutik.
3. Berikan edukasi pasien, keluarga dan tim medis lain untuk menggunakan
obat analgesik profilaktik sebelum dan setelah proses nyeri.
4. Berikan edukasi pasien dan keluarga tentang terapi atau obat nyeri yang
diberikan beserta efek samping, resiko adiksi dan ketergantungan serta respon jangka panjang.
5. Berikan edukasi pasien untuk mengkonsumsi obat atau melakukan terapi
nyeri secara teratur untuk menghindari resiko peningkatan rasa nyeri.
6. Berikan edukasi pasien, keluarga dan tim medis lain untuk menggunakan
strategi non-farmakologis untuk mengatasi rasa sakit, seperti relaksasi, pijat dan pemberian
buli-buli panas/dingin.
B. Pedoman Pengobatan
1. Farmakologis
a. Lansia memiliki resiko besar peningkatan efek merugikan dari reaksi obat.
b. Monitor pengobatan secara teratur untuk menghindari over atau kekurangan dosis
pengobatan.
c. Anjurkan penggunaan obat nyeri secara teratur untuk mempertahankan tingkat
terapeutik.
d. Dokumentasikan rencana keperawatan untuk mempertahankan konsistensi pengobatan
tiap pergantian jaga dan dengan tim medis lain.
e. Gunakan dosis terapeutik untuk mendapatkan efek pengobatan nyeri yang optimal
dengan sedikit efek samping.
2. Non-farmakologis
a. Kaji keyakinan dan perubahan perilaku, preferensi dan pengalaman terapi nyeri secara
non-farmakologis.
b. Evaluasi respon terapi non-farmakologis pada tiap-tiap individu.
c. Strategi perubahan perilaku kognitif yang berfokus pada mengubah persepsi lansia
terhadap nyeri (misalnya, pemberian edukasi, terapi relaksasi dan distraksi) kemungkinan
tidak sesuai untuk diterapkan pada lansia dengan gangguan kognitif.
d. Untuk mengurangi rasa nyeri pada lansia diperlukan edukasi yang berfokus untuk
meningkatkan kenyamanan dan mengubah respon fisiologis terhadap nyeri (misalnya,
pemberian buli-buli panas/dingin, TENS unit) yang umumnya bersifat aman dan efektif.
3. Kombinasi dari terapi nyeri secara farmakologis dan non-farmakologis
seringkali lebih efektif.
C. Follow-up
1. Pantau efek pengobatan 1 jam setelah terapi diberikan atau setidaknya
tiap 4 jam.
2. Evaluasi respon dan kemungkinan efek samping pengobatan pada
pasien.
3. Dokumentasikan respon pasien terhadap terapi.
4. Dokumentasikan jadwal terapi pasien dalam rencana keperawatan untuk
pemberian implementasi yang berkesinambungan berikutnya.

Kriteria Hasil
A. Pasien
1. Nyeri akan hilang atau berkurang pada tingkat yang dapat ditoleransi
pasien.
2. Mempertahankan bahkan meningkatkan tingkat self care, kemampuan
fungsional dan aktivitas.
3. Tidak mengalami komplikasi seperti kolaps, gangguan/perdarahan GI
atau perubahan status kognitif.
B. Perawat
1. Akan menunjukkan indikasi penilaian nyeri yang berkelanjutan dan
komprehensif.
2. Akan menunjukkan dokumentasi intervensi manajemen nyeri yang
efektif.
3. Akan menunjukkan dokumentasi evaluasi yang sistematis terhadap
efektivitas terapi.
4. Akan memberikan edukasi manajemen nyeri pada pasien dan keluarga,
termasuk penilaian tingkat nyeri, terapi nyeri, intervensi non-farmakologis.
C. Institusi
1. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi penilaian nyeri,
intervensi dan evaluasi efektivitas terapi.
2. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi rujukan ke
spesialis untuk terapi tertentu (misalnya, psikiatri, psikologi, biofeedback, fisioterapi atau pusat
terapi nyeri).
3. Fasilitas dan institusi akan menunjukkan dokumentasi sumber daya
manajemen nyeri untuk staf (misalnya, konsultan manajemen nyeri, rencana keperawatan dan
indikasi manajemen nyeri).
Referensi
1. American Geriatrics Society Panel on Persistent Pain in Older Persons. 2002. The management
of persistent pain in older persons. Journal of the American Geriatrics Society. Evidence Level VI:
Expert Opinion. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.
2. Ann L. Horgas, RN PhD FGSA FAAN, Saunjoo L. Yoon, PhD, RN. 2008. Nursing Standard
of Practice Protocol: Pain Management in Older Adults. New York University : Hartford Institute
For Geriatric Nursing.
3. C.L. Hicks, C.L. von Baeyer, P.A. Spafford, I. van Korlaar, & B. Goodenough. 2001. The
Faces Pain Scale – Revised. Toward a Common Metric in Pediatric Pain Measurement.
International Association for the Study of Pain.
4. Ellen Flaherty, PhD, APRN, BC. 2007. Pain Assessment for Older Adults. New York
University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.
5. Harkins, S. W. 2002. Persistent pain in older adults: An interdisciplinary guide for treatment.
New York : Springer Publishing Company.
6. Herr, K., Spratt, K., Mobily, P., & Richardson, G. 2004. Pain intensity assessment in older
adults: Use of Experimental Pain to Compare Psychometric Properties and Usability of Selected
Scales in Adult and Older Populations. Clinical Journal of Pain. New York University : Hartford
Institute For Geriatric Nursing.
7. Horgas, A. L. & Yoon, S. L. 2008. Pain management. Evidence-based geriatric nursing
protocols for best practice. New York : Springer Publishing Company, Inc.
8. Jacox, A., Carr, D.B., Payne, R., et al. 1994. Management of Cancer Pain. Clinical Practice
Guideline No. 9. Rockville, MD : Agency for Health Care Policy and Research, U.S. Department
of Health and Human Services.
9. Taylor, L., & Herr, K. 2003. Pain intensity assessment: A comparison of selected pain intensity
scales for use in cognitively intact and cognitively impaired African American older adults. Pain
Management Nursing. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.
10. Ware, J. Epps, C., Herr, K., & Packard, A. 2006. Evaluation of the revised faces pain scale,
verbal descriptor scale, numeric rating scale, and Iowa pain thermometer in older minority adults.
Pain Management Nursing. New York University : Hartford Institute For Geriatric Nursing.

You might also like