You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan yang cukup
untuk berkiprah dalam kehidupan sosial bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal
ini terjadi karena masih lekatnya ketidakadilan gender dalam masyarakat yang
terjelmakan dalam marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
atau anggapan yang bersifat menyepelekan (tidak penting) kepada kaum
perempuan, bahkan kekerasan (violence) termasuk dalam hal bekerja atau justru
beban kerja yang lebih panjang atau lebih banyak (double burden).
Begitu juga dalam bidang keagamaan, khususnya masyakarat Islam.
Fenomena ketidakadilan gender dalam Islam ternyata lebih menunjukkan adanya
kesewenang-wenangan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Boleh jadi hal
ini merupakan akibat dari pola budaya dan sistem masyarakat muslim yang
mayoritas bercorak patrialkal, struktural dan subordinatif. Sempitnya ruang gerak
bagi kaum perempuan muslim terjadi justru setelah Islam mengalami
perkembangan pesat dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dalam masyarakat
muslim Arab pra-Islam dan Islam masa awal, kaum perempuan pada umumnya
dapat beraktualisasi secara bebas. Namun, kemudian terjadi pergeseran pandangan
terhadap perempuan diantaranya karena interaksi budaya, kepentingan politik dan
ekonomi serta interpretasi atau penafsiran terhadap teks-teks al-Qur’an.
Dalam konsep Islam, terutama merujuk kepada al-Qur’an, konsep keseteraan
gender mengisyaratkan 2 (dua) pengertian. Pertama, al-Qur’an mengakui
martabat pria dan wanita dalam kesejajaran tanpa membedakan jenis kelamin.
Kedua, pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sejajar disegala
bidang. akan tetapi pandangan inferior bahwa perempuan adalah makhluk yang
lemah juga disosialisasikan atas nama agama.
Menyadari peliknya persoalan gender yang masih menjadi fokus perhatian
dalam realita masalah-masalah ketidakadilan dan menindaklanjuti pembahasan
forum refleksi bersama 4 di Makassar dengan tema Rekonsiliasi “Islam dan
pluralsime di Indonesia” dan dalam upaya lebih memfokuskan pembahasan pada

1
masalah-masalah dan praktek ketidakadilan di Indonesia, maka Ranah
Kesetaraan Gender Terhadap Kedudukan Wanita Perspektif Surat An Nisa’
Ayat 34 diangkat menajdi tema refleksi bersama 5.

B. Rumusan Masalah

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ranah Kesetaran Gender


Saat ini gender masih menjadi isu sentral yang kerap dibicarakan.
Kekeliruan dalam memahami dan mengartikan istilah gender masih sering terjadi.
Dalam bahasa Inggris, kata gender diartikan sebagai "jenis kelamin", 1 atau
sinonim dengan kata sex. Sedangkan kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya
sebagai manusia. Kesetaraan gender meliputi penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan
keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki, , dan dengan
demikian mereka memiliki akses dan kesempatan berpartisispasi.
Prof Nasaruddin Umar, MA (2002) menyatakan penafsiran Alquran dalam
kitab tafsir masih sering dijadikan referensi dalam melegalkan pola hidup
patriarki. Sebab kitab-kitab tafsir tersebut menyebutkan bahwa laki-laki dianggap
sebagai jenis kelamin utama, sedangkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua.
Pandangan ini sebagai "ketelodoran" utama fikih Islam dan tafsir Alquran
konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak
memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci.
Akibatnya, hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung umat dan tidak
sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-
20.
Maka, tidak mengejutkan ketika munculnya wacana gender ini barulah
terasa ada "kejanggalan" dalam praktik keseharian. Lebih-lebih dalam produk-
produk fikih (hukum Islam). Sebab para ulama fikih pada periode awal telah
"lengah" dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam Alquran. Mereka hanya
memahaminya secara literal. Akibatnya, hukum Islam saat ini dituduh telah

1
Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 1994), hal.
197

3
menindas kaum perempuan, dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat kelas
dua.
Salah satu contohnya adalah tentang surat An Nisa ayat 34 tentang
kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Ayat ini sering dijadikan keputusan final
bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, dalam semua aspek bidang
kehidupan, baik dalam wilayah ibadah dan muamalat (sosial), sehingga isu ini
mengemuka

B. Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 34

ُ‫الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ ِبمَا فَضَّلَ اهللُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُ وا مِنْ أَمْ وَالِهِمْ فَالصَّ الِحَات‬
ِ‫فَعِظُ وهُنَّ وَاهْجُ رُوهُنَّ فِي الْمَضَ اجِع‬  َّ‫قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اهللُ وَالالَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُن‬
‫وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَالَ َتبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيالً إِنَّ اهللَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا‬

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Sebab, Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka.
Oleh karena itu, wanita-wanita yang salih ialah yang menaati Allah lagi
memelihara diri di belakangan suaminya karena Allah telah memelihara
(mereka). Sementara itru, wanita-wanita yang kalian khawatiri perbuatan
nusyûz-nya, nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian
mencari-cari jalan untuk untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahaagung.”  (QS an-Nisa’ [4]: 34).
 
Sabab an-Nuzûl Ayat
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Sa‘id bin
Rabi‘ yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena
telah melakukan nusyûz (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang
kepada Rasul saw. dan mengadukan peristiwa tersebut yang oleh Rasul. Rasul
kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishâs kepada Sa‘id. Akan tetapi,

4
Malaikat Jibril kemudian datang dan menyampaikan wahyu surat an-Nisa‘ ayat 34
ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), “Aku menghendaki satu
perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah
adalah lebih baik.” Setelah itu, dicabutlah qishâs tersebut.2 (Dr. Wahbah Zuhaili,
Tafsir al-Munîr, juz V, hlm. 53-54.)
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh
al-Farabi, ‘Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn
Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki
Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasul
mengadukan permasalahannya. Rasul memutuskan qishâsh di antara keduanya.
Akan tetapi kemudian, turunlah ayat berikut:
 
َ ‫آن مِنْ قَ ْب ِل أَنْ يُ ْق‬
‫ضى إِلَيْكَ َو ْحيُه‬ ِ ‫َوالَ تَ ْع َج ْل ِبا ْلقُ ْر‬
Janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum pewahyuannya
disempurnakan kepadamu. (QS Thaha [20]: 114).
Rasul pun diam. Setelah itu, turunlah surat an-Nisa’ ayat 34 di atas hingga
akhir ayat.3
Kisah yang sama juga dituturkan oleh Ibn Mardawiyah yang bersumber dari
‘Ali.4
 
Tafsir Ayat
Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab
kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya
Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris,
dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah
tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa
lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “ar-rijâlu
qawwâmûna ‘ala an-nisâ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun
2
(Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr, juz V, hlm. 53-54.)
3
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, juz
III, (Beirut: Darul Fikr).hlm. 512-513.
4
Ibid, hal. 513

5
bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini
disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural (fitri)
antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial,
seperti dipahami oleh penganut teori culture.
Frasa Ar-Rijâl qawwâm ‘alâ an-nisâ’ bermakna bahwa kaum pria adalah
pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas
segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau
melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan
dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itru, jihad menjadi kewajiban atas pria,
dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih
besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung
nafkah atas wanita.5
Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk
mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita
(istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan
pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.6
Pada frasa bimâ fadhdhala Allâh ba‘dhahum ‘alâ ba‘dhin, huruf  ba-nya
adalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata qawwâmûn. Dengan begitu
dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena
kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita.7
Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki
adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini
disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai
dengan firman Allah: Li ar-rijâl ‘alaihinna darajah (bagi laki-laki ada kelebihan
satu tingkat dari wanita) (QS al-Baqarah [2]: 228). Selain itu, karena laki-laki
berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya.
Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn ‘Abbas, at-Thabari, bahkan
hingga Imam ‘Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat, kecuali
belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan dengan
5
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
6
‘Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, hlm. 273.
7
Mahmud al-Andalusi al-Baghdadi, Rûh al-Ma‘ânî, hlm. 23.

6
wacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak
sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.
Ibn ‘Abbas, misalnya, mengartikan kata qawwâmûn sebagai pihak yang
memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang
lebih sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani (1981: 149) dalam
kitab tafsirnya Marah Labid.
Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata qawwâmûn
bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik
dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.
Al-Baghawi, ketika menafsirkan kalimat ar-rijâl qawâmûn ‘alâ an-nisâ’,
menyatakan bahwa maknanya adalah pria (suami) berkuasa untuk mendidik
wanita (istrinya). Artinya, prialah yang menjalankan berbagai kemaslahatan,
pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah berikan
kepadanya atas wanita. Pria memiliki kelebihan atas wanita dari segi akal, agama,
dan kewalian. Pria, misalnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad,
ibadah (seperti salat Jumat dan salat berjamaah); kebolehan menikahi sampai
empat istri; hak talak; dalam warisan mendapat dua bagian; dst. Semua itu tidak
dimiliki wanita. 8
Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanita
karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria
diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin
atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan
watak. Surah an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk
mendidik wanita. 9
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan
bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati  dalam hal-hal yang
memang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan,
misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan

8
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 54.
9
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, juz
III, hlm. 512-513. Beirut: Darul Fikr.

7
memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas
suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha.10
Tentang kelebihan laki-laki atas wanita, Imam ‘Ali ash-Shabuni dalam
tafsirnya juga mengatakan bahwa kalimat ar-rijâl qawwâmûn ‘ala an-nisâ’ adalah
jumlah ismiyyah yang berfungsi sebagai dawâm dan istimrâr (tetap dan kontinu).
 
C. Sebab Kepemimpinan Laki-laki atas Wanita
Sebab kepemimpinan (yakni adanya kelebihan) laki-laki atas wanita ada
dua, yakni: Pertama, adanya kelebihan dalam hal fisik penciptaan (jasadiyyah
khalqiyyah). Pada faktanya, pria memiliki bentuk penciptaan yang sempurna,
pemahaman dan akal yang lebih kuat, perasaan yang lebih adil,  dan tubuh yang
kokoh. Pria memiliki kelebihan atas wanita dalam hal akal, pendapat, tekad, dan
kekuatan. Oleh karena itu, pada pundak kaum prialah dibebankan risalah,
kenabian, imâmah kubrâ (khalifah, ataupun jabatan di bawahnya (imâmah
sughrâ), hakim, serta melakukan syiar-syiar agama—seperti azan, iqamat,
khutbah, shalat Jumat, dan jihad. Wewenang menjatuhkan talak juga ada di tangan
mereka. Mereka juga boleh berpoligami, memiliki kekhususan persaksian dalam
kasus jinayat dan hudud, memiliki kelebihan bagian dalam pembagian waris, dll.11
Dalam tafsirnya, Fakhr ar-Razi12 menyatakan bahwa kelebihan kaum pria
atas wanita itu terdapat pada banyak aspek. Di antaranya adalah sifat hakiki dan
sebagiannya terkait dengan hukum-hukum syariat. Sifat hakiki dikembalikan pada
dua hal, yakni ilmu dan qudrah (kemampuan). Dua hal inilah yang menghasilkan
kelebihan kaum pria atas wanita dalam hal akal, tekad, dan kekuatan; dalam
kemampuan menulis, berkuda (berkendaraan), melempar. Dari kalangan mereka
pula diutusnya para nabi dan banyaknya para ulama. Imâmah (baik khalifah
maupun jabatan penguasa di bawahnya), jihad, azan, khutbah, itikaf, kesaksian
dalam masalah hudûd dan qishâs, kelebihan dalam pembagian waris, kewajiban
membayar diyat dalam pembunuhan atau kesalahan dan dalam hal sumpah juga
10
Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ay
al-Qur’ân, V/48. Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
11
Abu al-Fida’, Isma’il ibn Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/596.
Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
12
Tafsîr Fakhr ar-Râzî, hlm. 91.

8
ada pada mereka. Kewenangan dalam pernikahan, talak, rujuk, dan berpoligami,
penisbatan garis nasab juga ada pada merek. Semua itu menunjukkan adanya
kelebihan kaum pria atas kaum wanita.
Kedua, adanya kelebihan dalam hal taklif syariat. Frasa wa bimâ anfaqû min
amwâlihim mengandung pengertian bahwa kaum pria  memiliki kewajiban untuk
memberikan nafkah kepada istri dan kerabat dekat yang menjadi tanggungannya;
mereka juga harus membayarkan mahar kepada kaum wanita untuk memuliakan
mereka.13
Di luar dua hal di atas, seorang laki-laki adalah setara dan sama dengan
seorang wanita dalam hal hak dan kewajibannya. Inilah kebaikan Islam. Allah
Swt. berfirman:
ِ ‫] َولَ ُهنَّ ِم ْث ُل الَّ ِذي َعلَ ْي ِهنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬
[ٌ‫وف َولِل ِّر َجا ِل َعلَ ْي ِهنَّ َد َر َجة‬
Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
istrinya. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 228).

D. Kedudukan Wanita Perspektif Surat an-Nisa’ Ayat 34 dan Relasi


dengan Ayat Lain
Pada masa pra-Islam, harga perempuan sangat rendah. Mereka dianggap
barang atau benda yang dapat diperlakukan apa saja, bahkan seringkali orang
menganggap bahwa melahirkan perempuan dipandang sebagai hal yang
memalukan. Oleh karena itu, pembunuhan anak perempuan dianggap sesuatu
yang wajar dan pantas. Oleh Islam, praktik-praktik diskriminatif dan tidak
manusiawi itu lalu diubah dan diganti dengan pandangan yang adil dan
manusiawi. Islam secara bertahap mengembalikan kembali otonomi perempuan
sebagai manusia merdeka dan muliaDengan mendasarkan pada semangat ini,
konsep qiwâmah –yang didasarkan pada QS. An-Nisa, 4: 34- yang melarang
kepemimpinan perempuan harus dikaji ulang. Konsepsi qiwâmah ini, merupakan
persoalan parsial yang pemaknaanya harus dikaitkan dengan ayat yang prinsipal.
Ia terkait dengan realitas sosial yang berkembang pada saat itu. Konsepsi
qiwâmah laki-laki atas perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika potensi

13
Dr. Wahbah Zuhaili, op.cit., hlm. 55

9
kepemimpinan nyata tidak dimiliki oleh perempuan yang ada pada saat itu. Atau
ketika kepemimpinan seorang perempuan, tidak memiliki kekuatan sosial politik
dan manajerial yang menjamin kelangsungan kehidupan suatu bangsa.
Persoalannya bukan pada jenis kelamin, tetapi pada kemampuan, keahlian dan
kekuatan riil sosial politik. Tafsir ini bisa dilakukan dengan memposisikan
qiwâmah laki-laki atas perempuan sebagai persoalan parsial, yang harus
ditundukkan pada ayat-ayat prinsip mengenai kemanusiaan dan kesederajatan.
Kata qiwâmah sendiri, atau tepatnya qawwâmûna disebutkan tiga kali dalam al
Qur’an. Pada surat An-Nisa 4: 34 dan 135, serta surat al-Maidah, 4: 8. Pada
sebutan yang pertama qiwâmah sering diartikan beberapa pihak sebagai
kepemimpinan. Sementara pada yang kedua dan ketiga qiwâmah berarti
komitmen pembelaan dan ketegasan. Jika konsisten, mestinya qiwâmah pada surat
an-Nisa ayat 34 juga harus diartikan komitmen ‘pembelaan’ bukan
kepemimpinan. Sehingga qiwâmah laki-laki atas perempuan berarti komitmen
pembelaan terhadap perempuan. Imam Fakhruddin ar-Râzi sendiri mengartikan
qawwâm dengan tanggung jawab pengelolaan, pemeliharaan dan perhatian
terhadap kepentingan perempuan [alladzî yaqûmu bi amrihâ wa yahtammu bi
hifzhihâ, ar-Râzi, at-Tafsîr al-Kabîr, IX/34]. Dengan demikian, konsepsi qiwâmah
dalam surat an-Nisa ayat 34 tidak bisa menjadi landasan bagi pelarangan
kepemimpinan perempuan. Ia juga bukan sebagai penegasan terhadap
kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Laki-laki disebutkan dalam ayat
qiwâmah, karena ia –seperti disebut dalam ayat- yang pada saat itu memiliki
kemampuan dan bisa memberi nafkah. Karena itu, hak qiwâmah laki-laki atas
perempuan, hanya bisa dibenarkan ketika ia bisa memberikan nafkah. Tetapi
ketika tidak mampu maka hak itu menjadi gugur. Berarti, persoalan qiwâmah
bukan pada jenis kelamin, tetapi pada persoalan kemampuan ekonomi serta
keahlian.14
Kebolehan wanita untuk menjadi top leader ini ditopang oleh Al-qur’an surah
at-Taubah ayat 71:

14
Muhammad Ali al-Allawi. The Great Women; Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih
Mulia. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006). Hal.17

10
ِ ‫ض يأْمرو َن بِالْمعر‬
﴾٧١﴿ ‫وف َوَيْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمن َك ِر‬ ِ ِ ِ
ُْ َ ُ ُ َ ٍ ‫ض ُه ْم أ َْوليَاء َب ْع‬
ُ ‫ات َب ْع‬
ُ َ‫َوالْ ُم ْؤمنُو َن َوالْ ُم ْؤمن‬
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.”

Dalam ayat tersebut, Allah swt mempergunakan kata auliya’ (pemimpin), itu
bukan hanya ditujukan kepada pihak pria saja, tetapi keduanya (pria dan wanita)
secara bersamaan. Berdasarkan ini, wanita juga bisa menjadi pemimpin, yang
penting dia mampu dan memenuhi criteria sebagai seorang yang akan menjadi
pimpinan tertinggi, karena menurut tafsir al-maraghi dan tafsir al-manar bahwa
kata auliya’ tersebut dengan tafsiran yang mencakup: wali penolong, wali kasih
sayang.
Selanjutnya mengenai hadis Abi Bakrah yang mengatakan tidak akan
bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pimpinan mereka seorang wanita,
menurut fatimah mernissi dalam bukunya setara dihadapan Allah, perlu
dipertanyakan: apa yang mendorong Abi Bakrah berpuluh-puluh tahun setelah
kalimat itu diucapkan nabi saw, untuk menggali kembali hadis ini dari relung
ingatannya? Apakah ia mempunyai kepentingan pribadi yang harus dikemukakan
atau semata-mata sebagai kenangan spiritual terhadap Nabi? Jelas Abi Bakrah
mempergunakan hadis ini untuk mencari muka pada pihak yang berkuasa.
Selanjutnya marilah kita teliti lebih dalam lagi sejarah perang unta yang
menjadikan sikap opurtunis Abi Bakrah ini lebih nyata lagi. Pada waktu itu
banyak sahabat yang tidak ikut serta dalam peperangan antara Ali Bin Abi Thalib
dengan ummul mukminin Aisyah. Alasannya adalah bahwa perang saudara hanya
akan memecah belah umat dan menjadikan mereka saling bermusuhan.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa hadis Abi Bakrah
tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala Negara islam (khalifah)
hakim. Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader
(presiden dan perdana menteri). Menurut jumhur ulama’ tidak boleh wanita
menduduki jabatan tersebut. Abu hanifah membolehkan hakim wanita dalam

11
masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat. Sementara
Muhammad bin jarir al-thabary membolehkan wanita menjadi hakim secara
mutlak termasuk dalam urusan jinayat. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Ibnu
Hazm dari aliran al-Zhahiriyah.
Prinsip persamaan dalam Q.S. al-Hujurat 13, juga erat kaitannya
dengan penegasan Allah dalam Q.S. an-Nahl (16): 97 yang berbunyi,
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan".
Pada ayat di atas, tampak ajaran persamaan dalam Islam tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan itu lebih didasarkan pada amal
saleh (perbuatan baik) yang dilakukannya dengan sadar.
Dalam perbuatan itu, juga telah dijelaskan oleh Allah akan konsekuensi
dan risiko yang diperoleh perilakunya.
Akan tetapi, kita tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dalam kurun
waktu yang sangat panjang, terbukti hubungan laki-laki dan perempuan
terlihat timpang. Kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari
laki-laki (subordinasi), dimarginalkan, bahkan didiskriminasikan hampir
pada segala urusan baik domestik maupun publik.
Secara umum, para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki
adalah sebuah kemutlakan. Kelebihan laki-laki dari perempuan oleh para
ahli tafsir dinyatakan terletak pada akal dan fisiknya. Ar Razi dalam
tafsirnya misalnya, mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan
meliputi dua hal ilmu pengetahuan, pikiran, akal (ilm) dan kemampuan
(al-qudrah). Artinya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal
perempuan dan bahwa pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna. (at-Tafsir
al-Kabir, 1938)
Dari ayat-ayat yang telah disebutkan, tampak bahwa ajaran persamaan
dalam Islam mencakup dua aspek sekaligus yaitu kerohanian dan

12
kemasyarakatan. Aspek kerohaniannya terletak pada penyadaran manusia
akan jati dirinya sebagai hamba Allah lewat ibadah yang berujung pada
tingkat takwa sedangkan aspek kemasyarakatan atau sosialnya terletak
pada penyadarannya bahwa manusia diharapkan berbuat baik (amalan
shalihan) dengan saling membantu dan menolong pada sesamanya.
Persaudaraan berdasarkan prinsip persamaan ini akan lebih memudahkan
manusia untuk melakukan sikap saling menghargai, terbuka, dan membantu
berdasarkan prinsip Alquran.
Prinsip persamaan kedudukan manusia yang diajarkan Islam sebagaimana
telah dipaparkan, memiliki pengertian yang sangat luas. Paham persamaan
itu mencakup kesetaraan laki-laki dan perempuan juga pada Muslim dan
non-Muslim. Persamaan itu juga meliputi persamaan hak dalam bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Perbedaan kulit, ras,
perolehan rezeki, jenis kelamin, umur hendaknya justru dijadikan sarana
untuk berhubungan dan tolong-menolong dengan lainnya. Perbedaan itu
haruslah tidak menjadi sebuah pembedaan yang berujung pada perilaku
diskriminatif dan menindas. Apabila perilaku diskriminatif itu masih
banyak muncul dalam kehidupan sehari-hari menjadi tugas kita semua untuk
mencegahnya.15
Prinsip persamaan pada masa sekarang ini merupakan salah satu pilar
penegak demokrasi, tentunya di samping kebebasan dan persaudaraan. Dalam
prinsip persamaan, semua manusia mempunyai hak setara untuk
berpartisipasi dalam urusan publik atau kontrol kebijakan pemerintah.
Hal ini juga berkaitan erat dengan penegakan hak asasi manusia (HAM)
karena dengan prinsip persamaan manusia lebih mudah menjalankan
kebebasan dan bertanggung-jawab atas perbuatannya.

BAB II
SIMPULAN

15
Ibid. hal.215

13
٣٤﴿ ‫ض َومِبَا أَن َف ُقواْ ِم ْن أ َْم َواهِلِ ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى َب ْع‬
َ ‫َّل اللّهُ َب ْع‬ ‫ال َق َّوامو َن علَى الن مِب‬
َ ‫ِّساء َا فَض‬
َ َ ُ ُ ‫الر َج‬ ِّ ﴾

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
(Q.S.An-Nisa’/4:34)

Menurut Jawad Mughniyah dalam Tafsir Al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34


surah an-Nisa’ itu bukanlah menciptakan perbedaan yang dianggap wanita itu
rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi keduanya adalah sama, dengan
alasan ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan wanita
sebagai isteri. Keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satupun bisa hidup tanpa
yang lain.bagaikan dua sisi mata uang, keduanya saling melengkapi. Ayat ini
hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami saja, memimpin isterinya. Bukan
untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang
dictator.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi. Dâr al-Mansyûr fî at-Tafsîr


al-Ma’tsûr. juz III. Beirut: Darul Fikr.
Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi. Terj. Dâr al-Mansyûr fî at-
Tafsîr al-Ma’tsûr. juz III.. Beirut: Darul Fikr.
Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari. Terj. Jâmi’ al-
Bayân ‘an Ta’wîl Ay al-Qur’ân, V/48. Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
Abu al-Fida’, Isma’il ibn Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi. Terj. Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, I/596. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
Pius A Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya :
Arkola, 1994), hal. 197
Zuhaili, Wahbah. Terj. Tafsir al-Munîr.juz V
Muhammad Ali al-Allawi. The Great Women; Mengapa Wanita Harus Merasa
Tidak Lebih Mulia. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2006.

15

You might also like