You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai titik tolak pembahasan ini adalah mencari suatu penyelesaian


tentang “mungkinkah civil society tegak dalam sistem yang tidak demokkrasi”
dan apa mungkin demokrasi dapat berdiri tegak di tengah masyarakat yang
tidak civilied (madani)”. Karena bagaimanapun civil society dan demokrasi
merupakan dua entitas yang korelatif yang saling berkaitan. Dalam civil
society, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif dan solidaritas yang bersifat non-govermental untuk mencapai
kebaikan bersama. Karena itu, tekanan sentral civil society adalah
independensinya terhadap suatu negara. Dari sini kemudian civil society
dipahami sebagai akal dan awal keterkaitannya demokrasi dan demokratisasi.
Civil society juga dipahami sebagai sebagai tatanan kehidupan yang
mengiginkan kesejajaran hubungan antara warga negara dengan negara atas
dasar prinsip saling menghormati. Civil society sebenarnya merupakan suatu
ide yang terus diperjuangkan manifestasinya agar pada akhirnya terbentuk
suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, masyarakat beradab
atau terbentuknya suatu tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif.
Kata civil cenderung dikonotasikan sebagai lawan dari militer. Demikian pula
madani dalam masyarakat madani cenderung dikonotasikan dengan
madaniyah atau Medina, yang dikonotasikan bernuansa Arab. Padahal arti
madaniyah sebagai sumber munculnya kata madani adalah peradaban atau
civilization. Civil society juga tidak hanya bersiskap dan perilaku sebagai
citizenyang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati
equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak dan
kebebasab yang sama (Ramlan Surbakti; 1995)

1
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah demokrasi hanya bisa tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkup civil society?
1.2.1 Bagaimana hubungan Civil society dengan Demokrasi?
1.2.2 Bagaimana Revitalisasi Civil society sebagai Prakondisi Demokrasi?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui perkembangan dan tumbuhnya demokrasi dalam


lingkup society.
1.3.2 Untuk mengetahui hubungan civil society dengan demokrasi.
1.3.3 Untuk mengetahui revitalisasi civil society sebagai prakondisi
demokrasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam lingkup civil society

Telah umum di terimah asas demokrasi hanya bisa tumbuh dan


berkembang dalam suatu civil society (masyarakat madani). Dengan mengikuti
pandangan Tocqueville, civil society dapat dilihat sebagai kekuatan penyeimbang
terhadap negara dan merupakan suatu wilaya kehidupan sosial terorganisasi
dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, dan kemandirian dalam
berhadapan dalam negara.

Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan


dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan civil society lebih
ditujukan ke arah pembentukan negarasecara gradual dengan suatu masyarakat
politik yang demokratis partisipatoris, refleksi dan lewasa yang mampu menjadi
penyeimbang dan kontrol atas kecenderungan aksesif negara. Dalam civil society
warga negara didasarkan posisinya sebagai pemilikedaulatan dan haknya untuk
mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatas namakan rakyat. Gagasan
seperti ini mensyaratkan adnya ruang publik yang bebas, sehingga setiap individu
dalam civil society memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan
kemampuannya dalam pengelolaan wilayah.

Dalam konsep yang dikembangkan Ferguson, yang di maksud civil


society adalah kelompok-kelompok dari berbagai profesi dengan otonomi masing-
masing. Jadi, setiap profesi harus menerima dan menghargai keberadaan dan
kepentingan profesi lainnya dalam komunitas tersebut. Hal itu dianggap prasyarat
bagi demokrasi.

Tri marganingsih. Masyarakat Versus Negara. penerbit harian kompas dan Literary Agenty. Jakarta.
1999. Hal. 177-179

3
Kalau penguatan civil society yang mengandalkan proses diferensiasi dan
spesialisasi fungsi dan peran serta otonomi tiap-tiap kelompok dalam masyarakat
sekarang menjadi tuntutan utama dalam reformasi. Kontroversi itu timbul karena
adanya akses negatif dari implementasi doktrin Dwifungsi ABRI dalam
masyarakat. Misalnya, karena stabilitas sebagai tujuan, dinamika masyarakat
menjadi terhambat, aspirasi akan pluralisme dikalahkan keseragaman dan
monoloyalitas; dan dan demokrasi sulit diwujudkan karena adanya pelembagaan
otoritarianisme.

Selain itu, terdapat pula sejumlah faktor yang ikut mendorong tuntutan
terhadap Dwifungsi ABRI. Berbagai perubahan, baik dari internal maupun
eksternal, yang terjadi selama satu dasawarsa terakhir – mengikat stabilitas
politik, menguatkan civil society dan tuntutan demokrasi, turut memperkuat
tuntutan ini.

Dengan berpegang pada cita-cita membentuk suatu civil societyyang


mengharuskan adanya pembagian peran yang jelas dalam masyarakakat, dengan
sendirinya mengandaikan ABRI akan lebih memusatkan perhatiannya pada
profesi yang sebenarnya, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
negara. Sementara fungsi politik biar dijalankan oleh lembaga dan profesi-profesi
yang lain, khususnya lembaga partai politik dan profesi politisi.

Dengan kata lain, ABRI harus meninjau kembali posisi peranya selama
ini. Tanpa usaha melakukan redefinisi dan reposisi peran, ABRI akan dianggap
tetap berusaha mempertahanhan doktrin dwifungsi melalui klaim-klaim historis
yang saat sudah kehilangan validitasnya. Bahkan lebih dari itu, doktrin dwifungsi
akan dianggap sebagai salah satu hak istimewa atau privelese yang ingin tetap
dipertahankan ABRI, justru pada masa dimana orang semakin menyakini asas
supremasi sipil atas militer sebagai prasyarat demokratisasi.

Tri marganingsih. Masyarakat Versus Negara. penerbit harian kompas dan Literary Agenty. Jakarta. 1999.
Hal. 177-179

4
2.2 hubungan civil society dengan demokrasi

Civil society dan demokrasi ibarat “the two side at the same coin”. Artinya
jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan
baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil
society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para
pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya
demokrasi.

Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang


paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni
kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam
praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite
penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial

kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk justru


sebaliknya.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu


negara sebagai upaya mewujudkan dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
1.Menurut Internasional Commision of Jurits Demokrasi adalah suatu bentuk
pemerintahan oleh rakyar dimana kekuasaan tertinggi ditangan rakyat dan di
jalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih dibawah
sistem pemilihan yang bebas. Jadi, yang di utamakan dalam pemerintahan
demokrasi adalah rakyat.

2. Menurut C.F StrongSuatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota


dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang
menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-
tindakan kepada mayoritas itu.

3.Menurut Lincoln Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).

Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok


masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi. Perseteruan eksekutif

5
dan legislatif saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi pemulihan ekonomi kita,
tetapi hal itu tetap dilakukan demi demokrasi. Kalau rakyat kecil selalu jadi
korban, apakah makna demokrasi yang kita perjuangkan sudah betul? Atau sedang
mengalami distorsi.

Selain itu hubungan antara civil society dengan demokrasi(demokratisasi),


menurut Dawam—bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi.
Hanya dalam civil society yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik
dan hanya dalam suasana demokratislah society dapat berkembang secara wajar.

Dalam konteks ini Nurcholis Madjid pun memberika metafor tentang


hubungan dan keterkaitan antara civil society dengan demokratisasi ini. Menurut
civil society merupakan “rumah”persemaian demokrasi.perlambang demokrasinya
adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak
hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai
“rumah”, maka rumahnya adalah civil society.

Begitu kuatnya kaitan antara civil society dengan demokratisasi, sehingga


civil society kemudian dipercaya sebagai “obat mujarab” bagi demokratisasi,
terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya
hegenomi negara. Tidak hanya itu, civil society kemudian juga dipakai sebagai
cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi di berbagai
kawasan dan negara.

Menyikapi keterkaitan civil society dengan demokratisasi ini, Larry


Diamond secara sistematis menyebutkan ada 6 (enam) kontribusi civil society
terhadap proses demokrasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik,
ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan
pejabat negara. Kedua, pluralisme dalam civil society bila diorganisir akan
menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga, memperkaya
partisipasi politik dan meningkatkat kesadaran kewarganegaraan. Keempat ikut
menjaga stabiilitas negara. Kelima, tempat menggembleng pimpinan politik dan
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Lebih jauh diamond menegaskan bahwa suatu organisasi otonomnya, jika ia

6
menginjak-injak prosedur demokrasi – seperti toleransi, kerja sama, tanggung
jawab, keterbukaan dan saling percaya – maka organisasi tersebut tidak akan
mungkin menjadi sarana demokrasi.

Jadi membicarakan hubungan demokrasi dengan civil society merupakan


discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini
Arief Budiman bahwa mengatakan berbicara mengenai demokrasi biasanya orang
akan berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society. Asumsinya adalah
jika civil society vis a vis negara relatif kuat maka demokrasi akn tetap
berlangsung. Sebaliknya, jika negra kuat dan civil society lemah maka demokrasi
tidak berjalan. Dengan demikian, demokratisasi dipahami sebagai proses
pemberdayaan civil society.

Lebih lanjut Arief mengatakan bahwa proses pemberdayaan tersebut akan


terjadi jika pertama apabila berbagai kelompok masyarakat dalam civil society
mendapat peluang untuk lebih banyak berperan, baik pada tingkat neraga maupun
masyarakat. Kedua, jika posisi kelas tertindas berhadapan dengan kelas yang
dominan menjadi lebih kuat berarti juga terjadinya proses pembebasn rakyat dari
kemiskinan dan ketidakadilan.

Achmad Ubaidillah. Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani. Jara perkasa. 1990. Hal. 151-152

Lihat Arief Budiman. Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani. Jara perkasa. 1990. Hal.152

7
2.3 revitalisasi civil society sebagai prakondisi demokrasi.
Bahwa perjuangan untuk pemulihan dan revitalisasi civil society sebagai
suatu prakondisi demokrasi di Indonesia merupakan suatu proses yang panjang
dan tetap terbuka. Dalam hubungan dialektika antara negara dan masyarakat
secara pasti menempatkan suatu posisi yang menentukan. Sejauh masyarakat tetap
tidak mampu melampaui pengawasan dominasi negara dan menjadi lebih mandiri,
maka prospek pemulihan civil society akan selalu akan selalu suram dan atas
dasar itu, proyek demokratisasi akan sulit.

Dalam situasi historis saat ini, hubungan negara dan masyarakat di indonesia
cenderung menjadi asimetris. Mugki dapat dikatakan bahwa merata dan
berkelanjutannya negara biokratif – otoriter akan membuka kemunculan suatu
stuktur politik oligarkis. Sebagai akibatnya, inti dari suatu demokrasi
partisipatoris, sebagai dicanangkan oleh oleh satu dari bapak pendiri republik,
Mohammad Hatta, akan semakin jauh darinya.
Sistem politik dan ekonomi global dapat juga mempengaruhi proses dalam negeri
yang mungkin menyumbang terhadap peningkatan tuntutan atas deemokratisasi.
Proses demokratisasi mungkin dapat muncul dari cara khusus ini, yaitu melalui
pencarian kemandirian yang lebih luas bagi masyarakat dan tekanan terhadap
negara untuk lebih peka terhadap tuntutan-tuntutan dari masyarakat.

Muhammmad AS Hikam. Pustaka LP3ES Indonesia, anggota IKAPI. Jakarta Pustaka LP3ES.1996. hal. 122

Mohammad Hatta, Potrait Of A Patriot: Selected Writing. The Hague: Mouton

8
BAB III

PUNUTUP

3.1 Simpulan

Dari pengalaman masa lalu bangsa kita, kelihatan bahwa demokrasi belum
membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai dan bahkan telah di
praktekkan baik dalam keluarga, masyarakat, mau pun dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudayakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Mengatakan
“Demokrasi telah menjadi budaya” berarti penghayatan nilai-nilai demokrasi telah
menjadi kebiasaan yang mendarah daging di antara warga negara. Dengan kata
lain, demokrasi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari
kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi.

Namun, itu belum terjadi. Di media massa kita sering mendengar betapa
sering warga negara, bahkan pemerintah itu sendiri, melanggar nilai-nilai
demokrasi. Orang-orang kurang menghargai kebebasan orang lain, kurang
menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang ditegakan, kesamaan kurang di
praktekan, partisipasi warga negara atau orang perorang baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum maksimal, musyawarah kurang
dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu program atau mengatasi suatu
masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam keluarga dan masyarakat kita
sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di praktekan.

Civil Society dan demokrasi ibarat “the two side at the same coin”.
Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang
dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik,
civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya
para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya
demokrasi. Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang
paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni

9
kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam
praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite
penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial
justru sebaliknya.

Jadi membicarakan hubungan demokrasi dengan civil society merupakan


discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini
Arief Budiman bahwa mengatakan berbicara mengenai demokrasi biasanya orang
akan berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society. Asumsinya adalah
jika civil society vis a vis negara relatif kuat maka demokrasi akn tetap
berlangsung. Sebaliknya, jika negra kuat dan civil society lemah maka demokrasi
tidak berjalan. Dengan demikian, demokratisasi dipahami sebagai proses
pemberdayaan civil society.

10
DAFTAR PUSTAKA

Budiman Arief, (ed). 1991. State and civil society in indonesia. Universitas.
Clyton, Victoria, Monash

Hikam AS Muhammad. 1996. DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY. . Jakarta Pustaka


LP3ES: Pustaka LP3ES Indonesia, Anggota IKAPI

Marganingsi Tri. 1999. MASYARAKAT VERSUS NEGARA. Jakarta:Kompas

Dahlan, Saronji, Drs. Dan H. Asy’ari, S.Pd, M.Pd. 2004 “Kewarganegaraan


Untuk SMP Kelas VIII Jilid 2”. Jakarta: Erlangga.

Wijianti, S.Pd. dan Aminah Y., Siti, S.Pd. 2005 “ Kewarganegaraan


(Citizenship)”. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

“http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi”

11

You might also like