You are on page 1of 7

Syarat Syahadatain

“Syarat” adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka yang disyaratkannya itu
tidak sempurna atau tidak dapat terealisasi. Jadi, jika kita mengucapkan dua
kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadat itu
tidak sah.

Syarat syahadatain itu sendiri ada tujuh, yaitu:

1. Pengetahuan (lawan dari kebodohan)


2. Keyakinan (lawan dari keragu-raguan)
3. Keikhlashan (lawan dari kemusyrikan)
4. Kejujuran (lawan dari kebohongan)
5. Kecintaan (lawan dari kebencian)
6. Penerimaan (lawan dari penolakan)
7. Ketundukan (lawan dari pengingkaran)

1. Pengetahuan

Manusia yang menyatakan sesuatu, tentu harus mengetahui dan memahami dahulu
apa yang dia ucapkan, begitu juga dengan syahadatain. Seseorang yang
bersyahadat, harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib
memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima
konsekuensi ucapannya. Orang-orang yang bodoh (jahil) tentang makna
syahadatain, tidak mungkin dapat mengamalkannya.

Contohnya yaitu dalam kalimat Laa ilaaha illallah. Kita harus pahami bahwa kalimat
ini mencakup dua dimensi, yaitu penafikan (Laa ilaaha = tiada ilah) dan penetapan
(illallah = selain Allah). Artinya, kita harus mengetahui bahwa dimensi penafikan di
sini berarti penolakan terhadap semua sembahan selain Allah. Dan dimensi
penetapan dalam kalimat ini adalah penetapan bahwa hak Uluhiyah (ketuhanan /
yang disembah) hanya bagi Allah semata. Allah SWT berfirman:

“Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)

Allah SWT juga menfirmankan hal serupa dalam ayat lain, antara lain di Al Qur’an
surat Ali Imran ayat :18.

Lawan dari pengetahuan ini adalah ketidaktahuan akan makna syahadat


(kebodohan). Mempelajari hal ini merupakan salah satu kunci mendapatkan rahmat
dari Allah dan mendapatkan kebaikan. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW
bersabda:
“Barangsiapa meninggal, sedang ia mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang
disembah kecuali Allah, ia masuk surga.” (Hadits, dalam As Shahih diriwayatkan
dari Usman RA.)

2. Keyakinan

Keyakinan di sini berarti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa
sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya, seseorang yang
bersyahadat mesti meyakini ucapannya dengan makna yang sebenarnya, tanpa
ragu sedikitpun. Dalam Al Qur’an Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman


kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat: 15).

Artinya, lawan dari keyakinan adalah keraguan. Keyakinan akan membawa


seseorang kepada keistiqomahan, sedangkan keraguan akan menimbulkan
kemunafikan.

Dalam Hadits, juga dinyatakan sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan
dua kalimat ini dan tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali masuk surga.” (HR.
Muslim)

3. Keikhlashan

Istilah “keikhlashan” diambil dari kata “susu murni” (al laban al khalish), yang
maksudnya tidak lagi dicampuri kotoran yang merusak kemurnian dan
kejernihannya. Artinya, ikhlash berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang
bertentangan dengan makna syahadat.

Dengan demikian, ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlash, lillahi
ta’ala. Ucapan yang bercampur dengan riya’ atau kecenderungan tertentu tidak
akan diterima Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan


memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...” (QS.
Al Bayinah : 5)
Syahadat sendiri merupakan bagian dari ibadah, oleh karena itu harus dilakukan
dengan ikhlash. Dan ikhlash, merupakan lawan dari kemusyrikan. Setiap perbuatan
yang mengandung kemusyrikan, maka akan menghapus amal perbuatan itu sendiri.
Dan orang yang melakukannya menderita kerugian, karena pekerjaannya sia-sia
tidak bermakna. Dan tidak ikhlash juga berarti mengadakan tandingan-tandingan
selain Allah SWT selain tuhannya. Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang


sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar : 39).

4. Kejujuran

Dalam hal ini, kejujuran adalah bahwa “lahirnya” tidak boleh menyalahi “batinnya”.
Keduanya harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara
ilmu dan amalnya, antara apa yang ada di dalam hatinya dengan apa yang
dikerjakan oleh raganya. Oleh karena itulah pernyataan syahadat harus dinyatakan
dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan.
Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang mengucapkan: “Tiada tuhan selain Allah” dengan jujur dalam hatinya,
maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari).

Allah SWT berfirman:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan


kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’am: 82)

Lawan dari sikap ini adalah kebohongan yang melahirkan kemunafikan, yaitu
menampakan sesuatu yang sebenarnya tak ada dalam hatinya. Atau bahwa ia
menyimpan kekufuran dalam batinnya, tetapi menampakkan iman dalam lisan dan
raganya.

Kejujuran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Cobaan ini akan menjadi seleksi
bagi seseorang. Sejarah menunjukkan bahwa cobaan merupakan cara untuk
mengetahui siapa yang betul-betul berjuang di jalan Allah, dan siapa yang tidak
bersungguh-sungguh berjuang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah
(janjinya).” (QS. Al Ahzab : 33)
5. Kecintaan

Kecintaan dalam hal ini yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan juga mencintai
orang-orang yang beriman.

“...Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...” (QS. Al
Baqarah : 165)

Cinta kepada Allah SWT yang teramat sangat, merupakan sifat utama orang yang
beriman. Mereka juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT.

Cinta juga berarti rasa suka yang dapat melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari
ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa
cinta ini, segala perintah dan larangan akan terasa ringan, tuntutan dari
syahadatain akan terasa ringan.

Seseorang yang beriman, akan melimpahkan cintanya terlebih dahulu kepada Allah
SWT, Rasul-Nya, dan jihad, sebelum mencintai yang lainnya.

“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At Taubah: 9)

Dan jika seseorang ingin merasakan manisnya iman, maka ada baiknya pahami
hadits berikut ini:

“Tiga hal, yang barangsiapa dalam dirinya ada ketiganya, akan mendapatkan
manisnya iman, bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,
bila seseorang mencintai seseorang yang lain, ia tidak mencintainya kecuali karena
Allah; dan apabila ia tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia tidak ingin dijebloskan
ke dalam neraka.” (HR. Bukhari).

Cinta itu juga harus disertai amarah. Yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu
yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal
yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Selain itu ia juga murka terhadap para
pelaku atau pembawa ajaran dengan segala ilmu dan amal yang mereka bawa.
Rasulullah SAW bersabda:
“Ikatan iman yang terkuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” (HR.
Thabrani dari Ikrimah dan Ibnu Abbas).

Lawan dari kecintaan adalah kebencian.

6. Penerimaan

Penerimaan di sini yaitu kerendahan dan ketundukan, serta penerimaan hati


terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus
membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini
bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang
datang dari syariat Islam. Allah SWT berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36)

Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah (Al Qur’an)
dan Sunnah Rasul. Dan mukmin sendiri adalah mereka yang berhukum kepada
Rasul Allah SWT dalam seluruh persoalannya, dan ia menerima secara total
keputsan Rasul, tanpa ragu-ragu sedikitpun. Allah SWT berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa: 65).

Dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 51, Allah SWT juga menfirmankan hal serupa.

Lawan dari penerimaan di atas adalah penolakan atau pembangkangan. Yaitu


membangkang dan berpaling dari ajaran-ajaran Rasulullah SAW dengan hatinya,
sehingga ia tidak ridho dan tidak menerima ajaran-ajaran tersebut. Allah
menggambarkan orang-orang seperti itu dalam ayat berikut ini:

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya


penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta". Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang
yang melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun
dilupakan".” (QS. Thoha: 124-126)
7. Ketundukan

Pernyataan syahadat harus diiringi dengan ketundukan. Ketundukan yaitu tunduk


dan menyerahkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahiriyah. Artinya, kita
harus mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Perbedaan antara “penerimaan” (yang sudah dijelaskan di atas) dengan


“ketundukan” yaitu bahwa penerimaan merupakan pekerjaan hati, sedangkan
ketundukan pekerjaan fisik.

Dalam suatu hadits, dinyatakan:

Dari Abi Muhammad Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash RA, berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga hawa
nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa.”

Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran
Islam yang merupakan aplikasi syahadatain. Ia bertekad dan menentukan agarkan
hukum dan undang-undang Allah SWT berlaku pada dirinya, keluarganya, maupun
masyarakatnya. Dengan kata lain, seseorang yang mengucapkan syahadat, berarti
dia juga harus mengaplikasikannya dalam amal sholeh. Dan Allah akan
membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Allah
SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan


dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik [839] dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
An Nahl : 16)

Lawan dari ketundukan adalah pengingkaran, yaitu tidak mau melakukan apa yang
diperintahkan Allah atau sebaliknya, justru mengerjakan apa yang dilarang-Nya.
Seseorang yang bersyahadat adalah orang-orang yang tunduk dan taat kepada
Allah.

Setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat syahadat di atas, maka akan
timbul di dalam dirinya sikap rela dan ridho untuk diatur oleh Allah SWT, Rasulullah,
dan Islam, dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dalam setiap keadaan. (hdn)

Bacaan tambahan:

1. DR. Ibrahim Muhammad bin Abdullah al Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam,
Jakarta, Robbani Press & Al Manar, 1998
2. Abdullah Al Muslih & Shalah Assyawi, Prinsip-Prinsip Islam Untuk Kehidupan,
Jakarta: LP2SI Al Haramain, 1998
3. Said Hawwa', Al Islam (Jilid I), Jakarta: Al I'tishom Cahaya Umat, 2001

You might also like