Professional Documents
Culture Documents
“Syarat” adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka yang disyaratkannya itu
tidak sempurna atau tidak dapat terealisasi. Jadi, jika kita mengucapkan dua
kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, bisa dikatakan syahadat itu
tidak sah.
1. Pengetahuan
Manusia yang menyatakan sesuatu, tentu harus mengetahui dan memahami dahulu
apa yang dia ucapkan, begitu juga dengan syahadatain. Seseorang yang
bersyahadat, harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib
memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima
konsekuensi ucapannya. Orang-orang yang bodoh (jahil) tentang makna
syahadatain, tidak mungkin dapat mengamalkannya.
Contohnya yaitu dalam kalimat Laa ilaaha illallah. Kita harus pahami bahwa kalimat
ini mencakup dua dimensi, yaitu penafikan (Laa ilaaha = tiada ilah) dan penetapan
(illallah = selain Allah). Artinya, kita harus mengetahui bahwa dimensi penafikan di
sini berarti penolakan terhadap semua sembahan selain Allah. Dan dimensi
penetapan dalam kalimat ini adalah penetapan bahwa hak Uluhiyah (ketuhanan /
yang disembah) hanya bagi Allah semata. Allah SWT berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Allah SWT juga menfirmankan hal serupa dalam ayat lain, antara lain di Al Qur’an
surat Ali Imran ayat :18.
2. Keyakinan
Keyakinan di sini berarti mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa
sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya, seseorang yang
bersyahadat mesti meyakini ucapannya dengan makna yang sebenarnya, tanpa
ragu sedikitpun. Dalam Al Qur’an Allah berfirman:
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah. Tidak ada seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan
dua kalimat ini dan tidak ragu tentang kedua-duanya, kecuali masuk surga.” (HR.
Muslim)
3. Keikhlashan
Istilah “keikhlashan” diambil dari kata “susu murni” (al laban al khalish), yang
maksudnya tidak lagi dicampuri kotoran yang merusak kemurnian dan
kejernihannya. Artinya, ikhlash berarti bersihnya hati dari segala sesuatu yang
bertentangan dengan makna syahadat.
Dengan demikian, ucapan syahadat mesti diiringi dengan niat yang ikhlash, lillahi
ta’ala. Ucapan yang bercampur dengan riya’ atau kecenderungan tertentu tidak
akan diterima Allah SWT. Allah SWT berfirman:
4. Kejujuran
Dalam hal ini, kejujuran adalah bahwa “lahirnya” tidak boleh menyalahi “batinnya”.
Keduanya harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara
ilmu dan amalnya, antara apa yang ada di dalam hatinya dengan apa yang
dikerjakan oleh raganya. Oleh karena itulah pernyataan syahadat harus dinyatakan
dengan lisan, diyakini dalam hati, lalu diaktualisasikan dalam amal perbuatan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mengucapkan: “Tiada tuhan selain Allah” dengan jujur dalam hatinya,
maka ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari).
Lawan dari sikap ini adalah kebohongan yang melahirkan kemunafikan, yaitu
menampakan sesuatu yang sebenarnya tak ada dalam hatinya. Atau bahwa ia
menyimpan kekufuran dalam batinnya, tetapi menampakkan iman dalam lisan dan
raganya.
Kejujuran dan kemunafikan diuji melalui cobaan. Cobaan ini akan menjadi seleksi
bagi seseorang. Sejarah menunjukkan bahwa cobaan merupakan cara untuk
mengetahui siapa yang betul-betul berjuang di jalan Allah, dan siapa yang tidak
bersungguh-sungguh berjuang. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di
antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah
(janjinya).” (QS. Al Ahzab : 33)
5. Kecintaan
Kecintaan dalam hal ini yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan juga mencintai
orang-orang yang beriman.
“...Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...” (QS. Al
Baqarah : 165)
Cinta kepada Allah SWT yang teramat sangat, merupakan sifat utama orang yang
beriman. Mereka juga membenci apa saja yang dibenci oleh Allah SWT.
Cinta juga berarti rasa suka yang dapat melapangkan dada. Ia merupakan ruh dari
ibadah, sedangkan syahadatain merupakan ibadah yang paling utama. Dengan rasa
cinta ini, segala perintah dan larangan akan terasa ringan, tuntutan dari
syahadatain akan terasa ringan.
Seseorang yang beriman, akan melimpahkan cintanya terlebih dahulu kepada Allah
SWT, Rasul-Nya, dan jihad, sebelum mencintai yang lainnya.
Dan jika seseorang ingin merasakan manisnya iman, maka ada baiknya pahami
hadits berikut ini:
“Tiga hal, yang barangsiapa dalam dirinya ada ketiganya, akan mendapatkan
manisnya iman, bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya,
bila seseorang mencintai seseorang yang lain, ia tidak mencintainya kecuali karena
Allah; dan apabila ia tidak ingin kembali kepada kekafiran setelah Allah
menyelamatkan dirinya dari kekufuran itu sebagaimana ia tidak ingin dijebloskan
ke dalam neraka.” (HR. Bukhari).
Cinta itu juga harus disertai amarah. Yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu
yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain, semua ilmu dan amal
yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Selain itu ia juga murka terhadap para
pelaku atau pembawa ajaran dengan segala ilmu dan amal yang mereka bawa.
Rasulullah SAW bersabda:
“Ikatan iman yang terkuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” (HR.
Thabrani dari Ikrimah dan Ibnu Abbas).
6. Penerimaan
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36)
Artinya, bagi seorang muslim tidak ada pilihan lain kecuali Kitabullah (Al Qur’an)
dan Sunnah Rasul. Dan mukmin sendiri adalah mereka yang berhukum kepada
Rasul Allah SWT dalam seluruh persoalannya, dan ia menerima secara total
keputsan Rasul, tanpa ragu-ragu sedikitpun. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa: 65).
Dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 51, Allah SWT juga menfirmankan hal serupa.
Dari Abi Muhammad Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash RA, berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga hawa
nafsunya tunduk kepada ajaran yang aku bawa.”
Oleh karena itu, setiap muslim yang bersyahadat selalu siap melaksanakan ajaran
Islam yang merupakan aplikasi syahadatain. Ia bertekad dan menentukan agarkan
hukum dan undang-undang Allah SWT berlaku pada dirinya, keluarganya, maupun
masyarakatnya. Dengan kata lain, seseorang yang mengucapkan syahadat, berarti
dia juga harus mengaplikasikannya dalam amal sholeh. Dan Allah akan
membalasnya dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Allah
SWT berfirman:
Lawan dari ketundukan adalah pengingkaran, yaitu tidak mau melakukan apa yang
diperintahkan Allah atau sebaliknya, justru mengerjakan apa yang dilarang-Nya.
Seseorang yang bersyahadat adalah orang-orang yang tunduk dan taat kepada
Allah.
Setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat syahadat di atas, maka akan
timbul di dalam dirinya sikap rela dan ridho untuk diatur oleh Allah SWT, Rasulullah,
dan Islam, dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dalam setiap keadaan. (hdn)
Bacaan tambahan:
1. DR. Ibrahim Muhammad bin Abdullah al Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam,
Jakarta, Robbani Press & Al Manar, 1998
2. Abdullah Al Muslih & Shalah Assyawi, Prinsip-Prinsip Islam Untuk Kehidupan,
Jakarta: LP2SI Al Haramain, 1998
3. Said Hawwa', Al Islam (Jilid I), Jakarta: Al I'tishom Cahaya Umat, 2001