You are on page 1of 15

PEMANFAATAN EKSTRAK KULIT LABAN (Vitex pubescens Vahl.

)
SEBAGAI BAHAN ANTI JAMUR

Deny Kurniawan

ABSTRAK
Kulit laban (Vitex pubescens Vahl.) merupakan salah satu kayu dengan keawetan
tinggi dan potensial digunakan sebagai bahan anti jamur. Untuk meningkatkan
pemanfaatannya, perlu diketahui aktifitas anti jamur ekstrak kulit laban terhadap
beberapa jenis jamur kontaminan makanan dan jamur pathogen terhadap manusia serta
melakukan kajian fitokimia berbasis pengujian biologis (bioassay-guided phytochemical
analysis) terhadap fraksi aktif anti jamur. Hasil penelitian kelarutan zat ekstraktif kulit
laban pada pelarut metanol sebesar 6,03%, berdasarkan fraksinasi cair-cair diperoleh
fraksi terlarut n-heksana sebesar 0,27%, dietil eter sebesar 0,39% dan etil asetat sebesar
0,47%. Pengujian fitokimia warna menunjukkan pada fraksi n-heksana terkandung
senyawa steroid, flavonoid dan karbohidrat. Fraksi dietil eter terkandung senyawa steroid,
flavonoid dan karbohidrat. Fraksi etil asetat terkandung senyawa triterpenoid, flavonoid
dan karbohidrat. Hasil uji KLT terdapat senyawa golongan stilben, golongan amina,
golongan kuinon, aldehida keton dan flavonoid. Hasil uji air-borne menunjukkan bahwa
fraksi aktif sebagai bahan anti jamur adalah fraksi n-heksana, dietil eter dan etil asetat.
Pada pengujian menggunakan jamur Aspergillus niger tidak menunjukkan penghambatan
sedangkan pengujian menggunakan jamur Candida albicans pada metode KLT, fraksi n-
heksana menunjukkan adanya penghambatan.

Kata Kunci: Kulit laban (Vitex pubescens Vahl.), anti jamur, fitokimia, fraksinasi, KLT

PENDAHULUAN

Hutan Indonesia juga memiliki berbagai kekayaan jenis tumbuhan obat


yang berasal dari berbagai ekosistem hutan dengan luas mencapai 119 juta ha,
dimana jenis tumbuhannya tidak kurang dari 1260 jenis (Anonim, 1992). Diantara
tumbuhan yang terdapat di Indonesia 940 jenis diantaranya diketahui berkhasiat
sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-
temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi
sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Dorly,
2005).
Anonim (1994) menyatakan bahwa secara lokal kayu laban (Vitex
Pubescens Vahl) dapat dimanfaatkan untuk kayu kontruksi pembuatan kapal dan
kegunaan yang lain serta dapat digunakan sebagai kayu bakar. Daun dan kulitnya
digunakan sebagai obat lokal untuk menyembuhkan sakit perut dan penyembuh
luka.
Di sisi lain, salah satu sumberdaya hutan Indonesia, tumbuhan laban
(Vitex Pubescens Vahl) memiliki resistensi yang sangat baik terhadap serangan
organisme perusak kayu, terutama jamur dan rayap (Anonim, 1981). Beberapa
jenis Vitex lain seperti: V. gaumeri, V. agnus castus dan V. negundo dilaporkan
memiliki aktifitas anti malaria, anti mikroba, dan anti jamur (Hernandez et al.,
1999).
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dilakukan penelitian guna mengkaji
potensi pemanfaatan kulit kayu laban sebagai bahan pengawet alami yang mampu
menghambat atau menghentikan aktifitas jamur (bahan anti jamur alami).
Penelitian ini dinilai strategis karena mengingat pada saat ini banyak bahan
pengawet anti jamur sintetis yang dinilai sangat berbahaya bagi manusia serta
lingkungan sekitar. Bahan anti jamur tidak hanya digunakan sebagai bahan
pengawet kayu saja, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet
makanan, pewangi pakaian, bahan pewarna, dan lain-lain.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui aktifitas anti jamur
ekstrak kulit kayu laban (Vitex pubescens Vahl) terhadap beberapa jenis jamur
pembusuk, patogen dan kontaminan makanan serta melakukan kajian fitokimia
berbasis pengujian biologis (bioassay-guided phytochemical analysis) terhadap
fraksi anti jamur. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang aktifitas biologis ekstrak kulit batang laban (Vitex pubescens Vahl)
sebagai anti jamur alami dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan
pengawet alami di bidang pengolahan makanan, medis dan bidang yang lain,
sehingga penggunaan bahan pengawet kimia sintetis dapat dikurangi atau bahkan
dapat digantikan.

BAHAN DAN METODE

Penyiapan Contoh Uji Kulit Laban


Kulit kayu dikeringkan secara alami kemudian dipotong-potong menjadi
serpihan-serpihan kecil dan serbuk dengan ukuran ± 40 mesh. Pengukuran faktor
kelembaban (moisture factor) berdasarkan standar TAPPI T264 om-88.

Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi
Ektraksi dingin dengan menggunakan Maserasi dan ekstraksi panas
dengan soxhlet untuk mengeluarkan ekstrak dari kulit Laban. Pelarut yang
digunakan adalah metanol. Isolasi dan identifikasi senyawa kimia aktif dari
tumbuhan dilakukan dengan metode ekstraksi yang didasarkan pada perbedaan
polaritas pelarut-pelarut organik. Ekstraksi pendahuluan menggunakan metanol,
dilanjutkan dengan penyaringan untuk memisahkan ekstrak dengan bahan
tumbuhan yang dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman no. 1.
Hasil ekstraksi kemudian dipekatkan dengan evaporator pada suhu 30°C – 40°C
(Harborne, 1987). Perhitungan kadar ekstraktif dengan rumus (TAPPI T 207 om-
88).
Fraksinasi
Proses partisi terhadap ekstrak kasar yakni ekstrak kasar yang telah bebas
alkohol ditambahkan campuran heksana, metanol dan air dengan perbandingan 1 :
1 : 1 (v/v). Fraksi padat dari masing-masing pelarut dipersiapkan untuk analisis
selanjutnya. Skema fraksinasi melalui partisi cair-cair di sajikan pada Gambar 1.

Serbuk kayu
 
Ekstraksi metanol

Ekstrak metanol

Dilarutkan dalam air,


diekstraksi dengan heksana

Fraksi heksana Fase air


Ekstraksi dengan dietil eter (Et2O)

Fraksi Et2O Fase air

Ekstraksi dengan etil asetat (EtOAc)

Fraksi EtOAc Residu

Gambar 1. Fraksinasi Cair-cair (Solvent-solvent Fractination) Ekstrak Kulit


Laban (Kusuma, 2005)

Analisis Fitokimia
Analisis fitokimia dilakukan dengan 2 metode, yaitu reaksi warna dan
analisis kromatografi lapis tipis (KLT). Pada uji warna, masing-masing fraksi
ekstrak dan fraksi terlarut (ekstrak metanol, fraksi n-heksana, fraksi eter, dan
fraksi etil asetat) direaksikan dengan pereaksi Dragendorf, Liebermann-Burchard,
Molisch untuk mengidentifikasi adanya kandungan alkaloid, steroid, triterpenoid
dan karbohidrat. Pada analisis kromatografi lapis tipis, sedikit bagian dari masing-
masing fraksi terlarut dilarutkan dalam sejumlah kecil aseton sebagai contoh uji.
Masing-masing contoh uji diteteskan pada pelat KLT dan dikembangkan dengan
sistem pelarut yang sesuai. Secara detil metode analisis KLT disajikan sebagai
berikut:
a) Kromatografi lapis tipis asam karboksilat: ekstrak yang telah
dikembangkan pada pelat KLT, dicelupkan dalam larutan 0,1 gr bromkresol
hijau, 50 ml etanol dan 5 ml NaOH 0,1 M. Apabila terlihat noda berwarna
kuning setelah pencelupan menunjukkan adanya senyawa Asam karboksilat.
b) Kromatografi lapis tipis aldehida keton: ekstrak yang telah dikembangkan
pada pelat KLT, disemprot dengan larutan 0,4 gr 2,4-dinitrofenil hidrazine
dalam 100 ml HCl 2 N dan 1 ml etanol. Noda yang berwarna kuning-merah
setelah penyemprotan merupakan senyawa Aldehid keton.
Pengujian anti jamur
Metode air-borne
Pengujian awal untuk mengetahui penghambatan pertumbuhan jamur
dilakukan dengan menggunakan metode air-borne dengan teknik media agar.
PDA yang steril (20 ml) dan 2 g serbuk kulit serta ekstrak kulit masing-masing
fraksi (metanol, n-heksana, dietil eter, etil asetat dan residu) setara dengan 2 g
serbuk yang telah dilarutkan dalam aseton 0,5-1 ml, dicampur dalam petri dish
berdiameter 90 mm. Kontrol hanya menggunakan aseton. Kemudian media
diletakkan terbuka selama 1 jam agar terkontaminasi oleh jamur dari udara,
kemudian diinkubasi pada inkubator dengan suhu 27oC selama 7 hari. Fraksi aktif
anti jamur ditunjukkan dengan melihat intensitas penghambatan jamur
dibandingkan dengan kontrol.

Metode difusi agar atau lempeng kertas


Ekstrak kulit dari masing-masing fraksi (metanol, n-heksana, dietil eter
dan etil asetat) yang telah dilarutkan dulu dalam aseton 1 ml kemudian diambil
sekitar 0,01-0,02 µl lalu diteteskan pada kertas saring (Whatman No.4) yang
dibentuk keping-keping dengan diameter 5 mm. Sedangkan untuk kontrol, aseton
diteteskan pada keping kertas. PDA steril (20 ml) dibiarkan mengeras kemudian
diinokulasi dengan 50-100 µl bibit jamur Aspergillus niger dan didiamkan selama
30-60 menit. Setelah itu dimasukkan keping kertas yang telah diberi ekstrak dan
kontrol. Diameter penghambatan di sekitar keping kertas diukur setelah 48 jam
pada suhu 30oC (Quiroga et al., 2001).

Metode pelat KLT


Pada pengujian jamur Candida albicans dengan menggunakan metode
kromatografi lapis tipis, sedikit bagian dari masing-masing fraksi terlarut
dilarutkan dalam sejumlah kecil aseton sebagai contoh uji. Masing-masing contoh
uji diteteskan pada pelat KLT dan dikembangkan dengan sistem pelarut yang
sesuai. Kemudian jamur diinokulasi dengan cara disemprotkan menggunakan
sprayer ke masing-masing plat yang telah dikembangkan. Setelah itu disimpan di
dalam chamber dengan suhu 25oC, ditempat yang gelap selama 3 hari.
Penghambatannya diamati dengan menggunakan sinar UV (Hadacek dan Greger,
2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi dari Kulit Laban


Pada ekstraksi awal dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol.
Pemilihan metanol sebagai pelarut awal disebabkan karena metanol memiliki
polaritas yang cukup tinggi, sehingga akan banyak melarutkan berbagai
komponen lipofilik seperti tanin, flavonoid, senyawa karbohidrat, protein dan
vitamin dan dapat digunakan untuk sampel yang mengandung air. Perbandingan
ekstrak yang didapatkan dari masing-masing fraksi dapat dilihat pada Gambar 2.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Metanol n-Heksana Dietil eter Etil asetat Residu
Jumlah Ekstrak yang diperoleh (gr) % ekstrak terhadap kulit kayu kering udara

Gambar 2. Grafik Hasil Ekstrak dari Masing-Masing Fraksi

Selain polaritas larutan, proses ekstraksi juga mempengaruhi banyaknya


zat ekstraktif. Pada penelitian ini dilakukan proses ekstraksi panas dengan
menggunakan alat soxhlet selama 8 jam. Proses ekstraksi ini digunakan karena
ekstrak kulit laban sangat sulit dilarutkan dengan menggunakan metode rendaman
dingin. Keuntungan dari metode ini ialah ekstrak yang diperoleh lebih banyak
karena panas (pengaruh suhu) yang mempengaruhi proses ekstraksi, sehingga
diperoleh lebih banyak lagi senyawa metabolit sekunder seperti tanin, lemak, lilin
dan karbohidrat.

Analisis Fitokimia

Uji Warna
Hasil uji fitokimia warna dapat dilihat dalam Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Warna dari Beberapa fraksi


Alkaloid Triterpenoid Steroid Saponin Flavonoid Karbohidrat
n-Heksana - ++ - - ++ ++
Dietil eter - + - - ++ +++
Etil asetat - - ++ - +++ +++
Keterangan : +++ = Banyak ++ = Sedang
+ = Sedikit - = Tidak ada

Pengujian alkaloid yang dilakukan memberikan hasil bahwa kandungan


alkaloid tidak dijumpai pada fraksi-fraksi terlarut dari ekstrak metanol kulit laban.
Pengujian alkaloid dengan menggunakan pereaksi dragendorff memiliki kepekaan
yang cukup tinggi terhadap keberadaan atom nitrogen yang merupakan salah satu
ciri penting senyawa alkaloid. Hal ini dipertegas oleh Harborne (1987) bahwa
alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari rantai siklis.
Senyawa alkaloid memiliki efek fisiologis yang kuat sehingga telah
dikenal manusia sejak manusia primitif untuk proses pengobatan. Pemanfaatan
senyawa alkaloid yang didapatkan dari tumbuhan menurut Hanani et al., (2005)
dapat bermanfaat sebagai antioksidan, yang berfungsi menghambat radikal bebas
yang dapat mengakibatkan penyakit degeneratif seperti kanker dan penyakit
jantung.
Kandungan triterpenoid pada kulit laban terdapat pada fraksi etil asetat.
Kandungan triterpenoid banyak ditemukan pada kulit, karena pada umumnya
berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba.
Kandungan triterpena banyak terdapat dalam damar, kulit batang dan getah.
Golongan terpenoid merupakan komponen kimia yang aktif melawan
bakteri, jamur, virus, dan protozoa. Triterpenoid merupakan satu contoh golongan
terpenoid yang dapat menghambat virus HIV (Cowan, 1999).
Pada pengujian saponin, setiap fraksi tidak menunjukkan adanya senyawa
tersebut. Saponin akan terlihat apabila terbentuk busa pada tabung reaksi dan
tidak hilang jika ditambahkan 1 tetes HCl 2N. Secara umum saponin bersifat
seperti sabun yang membentuk busa. Kandungan saponin dalam tumbuhan
memiliki rasa yang manis, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan keracunan
pada ternak dan dapat menghemolisis sel darah (Harborne, 1987).
Pada pengujian flavonoid, setiap fraksi menunjukkan adanya senyawa
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kulit laban banyak mengandung komponen
kimia aktif. Berdasarkan penelitian terhadap Vitex trifolia, Isolasi dari senyawa
flavonoid kulit laban diduga mengandung jenis flavonoid seperti kastikin, 3,6,7-
trimetil quercetagetin, vitexin, artemetin, 5-metil artemetin, 7-desmetil artemetin,
luteolin, luteolin-7-O-b-D-glukuronide, luteolin-3-O-b-D-glukuronide dan
isoorientin (Zeng et al., 1996; Nair et al., 1975; Ramesh et al., 1986).
Setiap fraksi menunjukkan kenampakan adanya senyawa karbohidrat pada
saat pengujian. Karbohidrat bermanfaat sebagai sumber energi bagi tumbuhan.
Karbohidrat merupakan bagian yang paling penting didalam proses kimia
kehidupan. Karbohidrat dalam tumbuh-tumbuhan terbentuk melalui proses
fotosintesis, oleh karena itu karbohidrat merupakan hasil utama dari proses
dimana molekul anorganik dengan adanya tenaga matahari dirubah menjadi benda
hidu

Analisis kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Fraksi n-heksana terlebih dulu dilarutkan dalam pelarut aseton kemudian
digunakan eluen n-heksana : aseton (4 : 1). Hasil pengujian KLT fraksi n-heksana
dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 2.
Asam karboksilat

Aldehid/keton

A B C D
Keterangan: A = Hasil sinar UV pendek
B = Hasil sinar UV panjang
C = Hasil pengujian KLT asam karboksilat alami
D = Hasil pengujian KLT aldehid/keton

Gambar 2. Hasil Pengujian KLT pada Fraksi n-Heksana

Pada fraksi dietil eter digunakan eluen diklorometan : etanol (10 : 1). Hasil
pengujian KLT fraksi dietil eter dapat dilihat selengkapnya pada Gambar 3.
Aldehid/keton

A B C D
Keterangan: A = Hasil sinar UV pendek
B = Hasil sinar UV panjang
C = Hasil pengujian KLT asam karboksilat alami
D = Hasil pengujian KLT aldehid/keton

Gambar 3. Hasil Pengujian KLT pada Fraksi Dietil eter


Pada fraksi etil asetat digunakan eluen etil asetat : diklorometan : metanol :
air (10 : 60 : 10 : 2). Hasil pengujian KLT fraksi etil asetat dapat dilihat
selengkapnya pada Gambar 4.

Aldehid/keton

A B C D
Keterangan: A = Hasil sinar UV pendek
B = Hasil sinar UV panjang
C = Hasil pengujian KLT asam karboksilat alami
D = Hasil pengujian KLT aldehid/keton

Gambar 4. Hasil Pengujian KLT pada Fraksi Etil asetat

Pengujian KLT dilakukan pada fraksi aktif bahan anti jamur yaitu pada
fraksi n-heksana, dietil eter dan etil asetat. Pengujian ini dilakukan untuk
mengetahui adanya kandungan asam karboksilat, aldehide dan/atau keton.
Analisis pengujian kromatografi lapis tipis bertujuan untuk mengetahui
jumlah senyawa kimia dan jenisnya, sehingga dapat memperkuat hasil dari uji
fitokimia. Pada pengujian kromatografi lapis tipis didapatkan hasil kenampakan di
bawah sinar UV panjang (long wave) yang kemudian dapat mengindikasikan
bahwa terdapat beberapa senyawa kimia aktif dari ekstrak kulit laban sebagai
bahan anti jamur alami. Pada fraksi n-heksana diperoleh warna biru muda, merah,
dan kuning. Pada fraksi dietil eter diperoleh warna merah muda dan biru muda.
Sedangkan pada fraksi etil asetat diperoleh warna kuning, merah muda dan biru
muda.
Pada setiap fraksi ditemukan warna biru muda pada kenampakan dengan
menggunakan sinar ultra violet. Warna ini mengindikasikan adanya senyawa dari
golongan stilben dan golongan flavonoid. Hal ini dipertegas oleh Rowe (1989)
bahwa stilben tersebar luas di seluruh tumbuhan dan biasanya bersamaan dengan
flavonoid yang berhubungan dengan biogenetik tumbuhan. Menurut Harborne
(1987) dengan sinar UV stilben berfluoresensi lembayung kuat yang berubah
menjadi biru bila diuapi amonia. Serapan maksimumnya kira-kira 300 nm, dan
dapat dipisahkan dengan kromatografi kertas (KKt) atau kromatografi lapis tipis
(KLT). Pada kromatogram KLT, apabila dilihat dengan sinar tampak tidak
ditemukan adanya warna, sedangkan jika dilihat menggunakan sinar ultraviolet
berwarna biru lemah dan disemprot menggunakan amonia berwarna biru kuat, hal
ini menurut Harborne (1987) menunjukkan adanya komponen yang digolongkan
sebagai senyawa 5-desoksiisoflavon dan 7,8-dihidroksi flavanon.
Warna merah muda yang diperoleh pada fraksi n-heksana, dietil eter dan
etil asetat mengindikasikan adanya senyawa golongan amina. Golongan amina
diperoleh dari hasil dekarbonisasi asam amino yang terjadi pada tumbuhan.
Harborne (1987) menjelaskan bahwa golongan amina dapat dideteksi berdasarkan
warna merah lembayung yang terjadi dengan menggunakan ninhidrin pada plat
kromatografi lapis tipis.
Warna kuning diperoleh dari hasil kromatografi lapis tipis pada fraksi n-
heksana dan etil asetat, mengindikasikan adanya senyawa golongan kuinon.
Menurut Harborne (1987) kuinon tersebar luas dalam tumbuhan dan strukturnya
beragam, sering terdapat pada bagian kulit, akar dan daun. Hidrokuinon mungkin
terlihat pada pemeriksaan kromatografi kertas berupa pigmen berwarna kuning
atau jingga serta menunjukkan warna pudar pada penyinaran dengan UV dan
mungkin tidak bereaksi bila diuapi amonia.
Pengujian asam karboksilat dengan perendaman dalam larutan bromkresol
hijau menunjukkan adanya asam karboksilat alami hanya pada fraksi n-heksana.
Ini dimungkinkan asam karboksilat pada kulit laban tidak terlarut dalam fraksi
dietil eter dan etil asetat. Asam karboksilat adalah asam organik yang merupakan
cairan tanpa warna yang larut dalam air atau zat padat dengan titik leleh yang
nisbi rendah dan apabila terdapat dalam jumlah yang banyak, asam tersebut
mudah dikenal berdasarkan rasanya dalam larutan dan berdasarkan pH rendah
yang ditunjukkan ekstrak air tumbuhan kasar (Harborne, 1987).
Pada pengujian aldehida/keton dengan penyemprotan 2,4-dinitrofenil
hidrazin menunjukkan adanya senyawa aldehid/keton pada semua fraksi. Ikatan
aldehida keton banyak ditemukan pada fraksi n-heksana, pada fraksi dietil eter
dan etil asetat ditemukan dalam jumlah sedikit. Aldehida dan keton dalam
tumbuhan bermanfaat untuk menahan serangan dari mikroorganisme perusak.

Pengujian Anti Jamur

Hasil uji air-borne


Untuk mengetahui fraksi aktif sebagai bahan anti jamur dilakukan
pengujian awal dengan mengkontaminasikan media dengan jamur di udara yang
dikenal dengan metode air-borne. Inkubasi dilakukan selama 7 hari. Hasil
pengujian air-borne per hari dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengujian Air-borne Per Hari
Hari
Fraksi Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
Jamur memenuhi
Kontrol - C CD BCD BCD BCD BCD
petri hari ke-4.
Jamur memenuhi
Serbuk - C ACD ACD ACD ACD ACD
petri hari ke-3.
Hanya terdapat 1
Metanol - - C C C C C
jenis jamur.
Jamur memenuhi
n-Heksana - C C AC AC AC AC
petri hari ke-4.
Jamur memenuhi
Dietil eter - - CD CD CD CD CD
petri hari ke-4.
Jamur memenuhi
Etil Asetat C CD CD CD CD CD CD
petri hari ke-3.
Jamur memenuhi
Residu C ACD ACD ACD ACD ACD ACD
petri hari ke-3.
Keterangan: A = Aspergillus erythrochepalus
B = Penicillium canescens
C = Mycelia sterilia
D = Aspergillus sp.

Hasil pengujian anti jamur dengan metode air-borne dapat dilihat pada
Tabel 3berikut.

Tabel 3. Hasil Uji Air-borne


Aspergillus Penicillium Mycelia Aspergillu
erythrochepalus canescens sterilia s sp.
Kontrol ++ - - -
Serbuk - ++ - -
Metanol ++ ++ + ++
n-Heksana + ++ + ++
Dietil eter ++ ++ + +
Etil asetat ++ ++ + +
Residu - ++ - -
Keterangan : ++ = penghambatan
+ = sedikit penghambatan
- = tidak ada penghambatan

Kurita dan Koike (1982) menjelaskan bahwa tingkatan kontaminasi jamur


dari udara dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur udara, sedangkan
banyaknya jumlah jamur yang ada di udara dipengaruhi populasi manusia dan
binatang pada tempat tersebut.
Hasil uji dengan Aspergillus niger
Pengamatan aktifitas penghambatan ekstrak kulit laban terhadap jamur
Aspergillus niger dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengujian Penghambatan Jamur Aspergillus niger


Aspergillus niger
Kontrol -
n-heksana -
Dietil eter -
Etil asetat -
Keterangan : + = ada penghambatan
- = tidak ada penghambatan

Hasil dari pengujian menggunakan metode difusi agar dengan konsentrasi


1000 ppm terhadap jamur Aspergillus niger selama 48 jam didapatkan bahwa
pada semua fraksi tidak ditemukan adanya penghambatan. Hal ini dikarenakan
reaksi enzimatik pada jamur berjalan dengan baik sehingga tidak menimbulkan
penghambatan. Ini didukung dengan adanya karbohidrat pada saat pengujian
fitokimianya.
Jamur Aspergillus niger biasa ditemukan pada makanan seperti roti dan
ikan asin (Manik, 2003; Heruwati, 2002). Sedangkan pada umumnya Aspergillus
menyerang kacang tanah, tanaman seperti busuk akar pada selada dan busuk buah
pada jambu mente dan pada manusia dapat memicu terjadinya kanker (Tamil et
al., 2002; Setyowati et al., 2003; Kasno, 2004).

Hasil uji dengan Candida albicans


Penghambatan masing-masing fraksi pada pertumbuhan jamur Candida
albicans diuji dengan menggunakan metode pelat KLT. Pengujian ini dilakukan
selama 3 hari. Hasil dari pengujian KLT dapat dilihat selengkapnya pada Gambar
5 dan 6.

Keterangan :
A = Kontrol
B = Fraksi n-Heksana
C = Fraksi Dietil eter
D = Fraksi Etil asetat

A B C D
Gambar 5. Pengamatan Aktifitas Penghambatan Ekstrak Kulit Laban pada
Gelombang Panjang Sinar UV
Keterangan :
A = Kontrol
B = Fraksi n-Heksana
C = Fraksi Dietil eter
D = Fraksi Etil asetat

A B C D

Gambar 6. Pengamatan Aktifitas Penghambatan Ekstrak Kulit Laban pada


Gelombang Pendek Sinar UV

Pengamatan aktifitas penghambatan jamur Candida albicans dengan


menggunakan metode KLT dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Hasil Pengujian Penghambatan Jamur Candida albicans


Candida albicans
Kontrol -
n-heksana +
Dietil eter -
Etil asetat -
Keterangan : + = ada penghambatan
- = tidak ada penghambatan

Dengan adanya hal ini diduga bahwa pada fraksi n-heksana banyak
terdapat kandungan kuinon, aldehid dan keton yang ditunjukkan pada analisis
kromatografi lapis tipisnya. Menurut Cowan (1999) bahwa hipericin,
anthrakuinon dari Hypericum perforatum bermanfaat sebagai anti depresi serta
anti mikroba. Aldehid dan keton dalam tumbuhan bermanfaat untuk menahan
serangan dari mikroorganisme perusak kayu.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kulit laban berpotensi


digunakan sebagai sumber pengembangan bahan anti jamur.
DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 1981. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya.


Semarang.

Anonim. 1992. Etik Penelitian Obat Tradisional (Semiloka). Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Anonim. 1994. Plant Resources of South East Asia. Jilid I. Prosea Foundation.
Bogor.

Aureli, P., Constantini, A., Zolea, S. 1992. Antimicrobial activity of some Plant
essential oils against Listeria monocytogenes. Journal of Food
Protection 55: 344-384.

Cowan, Marjorie Murphy. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents.


Clinical Microbiology Review. Pp. 564-582, Vol 12, No. 4

Dorly. 2005. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah
Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Semester Ganjil Tahun Ajaran
2004/2005.

Gundidza, M., Deans, S.G., Kennedy, A.I., Waterman, P.G., Gray, A.I. 1993. The
essential oils from Heteropyxis natalensis Haru: Its antimicrobial
activities and phytoconstituents. J. Sci. Food Agric. 63: 361-364.

Hadacek, F., H. Greger. 2000. Testing of Antifungal Natural Products:


Methodologies, Comparability of Results and Assay Choice.
Phytochemical Analysis 11: 137 – 147.

Haley, L.D. 1971. Identification of Yeasts in Clinical Microbiology


Laboratories. A. J. Med. Technol. 37, 125-131

Hanani, Endang., Abdul Mun’im., Ryany Sekarini. 2005. Identifikasi Senyawa


Antioksidan dalam Spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu.
Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. II, No.3

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia (Terjemahan). Terbitan Ke-2. Penerbit


ITB. Bandung. 353 pp.

Hernandez, M.M., C. Heraso, M.L. Villarreal, I. Vargas-Arispuro, E. Aranda.


1999. Biological activities of crude plant extracts from Vitex trifolia L.
(Verbenaceae). Journal of Ethnopharmacology 67: 37 – 44.
Heruwati, Sri Endang. 2002. Pengolahan Ikan Secara Tradisional: Prospek
dan Peluang Pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta. 21(3).
Pp: 1-8

Ibrahim, D., Osman, H. (1995). Antimicrobial Activity of Cassia alata from


Malaysia. J. Ethnopharmacol. 45(3), 151-156.

Kasno, A. Pencegahan Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin


pada Kacang Tanah. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3). Pp: 1-7

Kurita. N., S. Keiko. 1982. Synergistic Antimicrobial Effect of Sodium


Chloride and Essenstial Oil Components. Agriculture Biological
Chemistry, 46(1) 159-165

Kusuma, I.W. 2005. Isolation and Indentification of Antifungal Compound


from Some Tropical and Temperate Woods. Dissertation. Ehime
University. Japan. 114 pp.

Mackay-Wiggan, J., B.E. Elewski, R.K. Scher. 2002. The Diagnosis and
Treatment of Nail Disorders: Systematic Antifungal Therapy.
Dermatologic Therapy, 15: 78-88

Manik, M. 2003. Keracunan Makanan. Karya Ilmiah. Fakultas Kedokteran.


Universitas Sumatera Utara. Medan. pp: 1-4

Misra, S.B., Dixit, S. N. (1979). Antifungal activity of leaf extracts of some


higher plants. Acta Bot. Indica. 7, 147.

Nair, A.G.R., Ramesh, P., Subramanian, S., 1975. Two unusual


flavones (artemetin and 7-desmethyl artemetin)
from the leaves of Vitex trifolia. Curr. Sci. 44 (7), 214–
216.

Quiroga, E.M., Sampietro, A.R., Vattuone, M.A. 2000. Screening Anfungal


Activities of Selected Medicinal Plants. Journal of Ethnopharmacology.
74: 89 – 96.

Ramesh, P., Nair, A.G.R., Subramanian, S.S., 1986. Flavone


glycosides of Vitex trifolia. Fitoterapia LVII (4), 282–283.

Rowe, John.W. 1989. Natural Product of Wood Plant I. Chemicals Extraneous


to Lignocellulosic cell wall. Springer-Verlag New York.

Setyowati, N., H. Bustamam, M. Derita. 2003. Penurunan Penyakit Busuk


Akar dan Pertumbuhan Gulma pada Tanaman Selada yang Dipupuk
Mikroba. Jurnal Ilmu-ilmu Pertania Indonesia. Vol 5. Hal 48-57
Tamil Selvi, A.G.S. Joseph, G.K. Jayaprakasha. 2003. Inhibition of Growth and
Aflatoxin Production Aspergillus flavus by Garcinia indica Extract
and Its Antioxidant Activity. Food Methodology 20: 455-460.

Vaijayanthimala, J., C. Anandi, V. Udhaya, K.V. Pugalendi. 2000. Anticandidal


Activity of Certain South Indian Medicinal Plants. Phytotheraphy
Reseach. 14: 207 – 209.

Zeng, X., Fang, Z., Wu, Y., Zhang, H., 1996. Chemical constituents of the fruits
of Vitex trifolia L. Chung Kuo Chung Yao Tsa Chih 21 (3), 167–168.

You might also like