Professional Documents
Culture Documents
BUDAYA POLITIK
PENDAHULUAN
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-
aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses
pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-
praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau
berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti
orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar
warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-
formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh
karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan,
perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim
politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang
lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,
proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat
negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial,
kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang
menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga
suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.
Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan
Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi
politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu
proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka
yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses
sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan
1. Imitasi
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu
situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang
dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi
lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik
pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak
langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat
politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau
kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses
pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya
bersifat politik.
1. Pengoperasian Interpersonal
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang
diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-
nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih
bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih
spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang
perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
3) Pendidikan Politik
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada
kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya
didalam proses politik.
1. Keluarga
4. Pekerjaan
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang
peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-
bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang informasi-informasi
politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh
masyarakatnya.
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah
ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya,
ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya
oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.
4. PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
“Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan pengawasan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya dan
berdasarkan pengawasan mi memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun material” (a political party is a group of human beings stability
organized with the objective of giving to members of the party, trough such control
ideal and material benefits and advantages.
“Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memakai kekuasaan
memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum
mereka” (a political party of a group of citizens, more or less organized who act s
political unit and who, by the use of their voting power and to control the government
and carry out their general polingles.
“Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai satu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijakan umum mereka” (a political party is a group of citizen more
or less organized, who act as a political unit and who, bay the use of their voting
power, aim to control the government and carry out their general politicies). 13
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang
sama.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggota mempunyai orientasi nilai-nilai dan citacita yang
sama.
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara
umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa,
dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun
demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur
dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau
kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk
melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok
tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri;
2. Partai Kader,
kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal.
Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak
mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan
ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin
kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.
(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah;
Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568)
Sedangkan tipologi berdasarkan tingkat komitmen partai terhadap ideologi dan
kepentingan, menurut Ichlasul Amal terdapat lima jenis partai politik, yakni:
1. Partai Proto,
adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat perkembangan seperti
dewasa ini. Ciri yang paling menonjol partai ini adalah pembedaan antara kelompok
anggota atau “ins” dengan non-anggota “outs”. Selebihnya partai ini belum
menunjukkan ciri sebagai partai politik dalam pengertian modern. Karena itu
sesungguhnya partai ini adalah faksi yang dibentuk berdasarkan pengelompokkan
ideologi masyarakat;
2. Partai Kader,
merupakan perkembangan lebih lanjut dari partai proto. Keanggotaan partai ini
terutama berasal dari golongan kelas menengah ke atas. Akibatnya, ideologi yang
dianut partai ini adalah konservatisme ekstrim atau maksimal reformis moderat;
3. Partai Massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga dianggap
sebagai respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-hak pilih serta
pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut. Partai massa berorientasi
pada pendukungnya yang luas, misalnya buruh, petani, dan kelompok agama, dan
memiliki ideologi cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan
organisasi yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya;
4. Partai Diktatorial,
sebenarnya merupakan sub tipe dari parti massa, tetapi meliki ideologi yang lebih
kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai melakukan kontrol yang sangat ketat
terhadap pengurus bawahan maupun anggota partai. Rekrutmen anggota partai
dilakukan secara lebih selektif daripada partai massa;
5. Partai Catch-all,
merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Istilah Catch-all pertama kali
di kemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk memberikan tipologi pada kecenderungan
perubahan karakteristik. Catch-all dapat diartikan sebagai “menampung kelompok-
kelompok sosial sebanyak mungkin untuk dijadikan anggotanya”. Tujuan utama
partai ini adalah memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program
dan keuntungan bagi anggotanya sebagai pengganti ideologi yang kaku
(Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1996)
Menurut Peter Schroder, tipologi berdasarkan struktur organisasinya terbagi menjadi
tiga macam yaitu;
1. Partai Para Pemuka Masyarakat, berupa gabungan yang tidak terlalu ketat, yang
pada umumnya tidak dipimpin secara sentral ataupun profesional, dan yang pada
kesempatan tertentu sebelum pemilihan anggota parlemen mendukung kandidat-
kandidat tertentu untuk memperoleh suatu mandat;
3. Partai Kader, partai ini muncul sebagai partai jenis baru dengan berdasar pada
Lenin. Mereka dapat dikenali berdasarkan organisasinya yang ketat, juga karena
mereka termasuk kader/kelompok orang terlatih yang personilnya terbatas. Mereka
berpegangan pada satu ideologi tertentu, dan terus menerus melakukan pembaharuan
melalui sebuah pembersihan yang berkseninambungan.
C. SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian adalah “pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang
selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara.” Sistem kepartaian bergantung pada
jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung
pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar
derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah
partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut
mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara
melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu
politik. Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah
menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Sistem partai di Negara manapun dalam suatu jangka waktu tertentu memiliki
persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan sistem yaitu;
1. Partai politik harus didirikan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang
warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun.
3. Pendirian Partai Politik harus disertai dengan akta notaris. Dalam akta
keterwakilan perempuan.
politik masing-masing.
Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat)
yaitu :
1. fungsi agregasi.
2. fungsi edukasi.
Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai kesadaran politik
berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam
politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan masyarakat. Cara yang
ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan
negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut
terlibat perjuangan politik partai.
3. fungsi artikulasi.
4. fungsi rekrutmen.
Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik dalam arti
mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan peran legislasi dan
koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, maupun rekrutmen partai
dalam arti menarik individu masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam partai.
Rekrutmen politik dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala
tahapannya hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering
disebut juga fungsi representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut: (a)
Representatif (perwakilan), (b) Konvensi dan Agregasi, (c) Integrasi (partisipasi,
sosialisasi, mobilisasi), (d) Persuasi, (e) Represi, (f) Rekrutmen, (g) Pemilihan
pemimpin, (h) Pertimbangan-pertimbangan, (i) Perumusan kebijakan, serta (j) Kontrol
terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori
Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini
mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan
warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau
kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi
maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah
keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan
keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta
dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran
deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi
musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di
Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %).
Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses
politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan
konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada
dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat
oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin “Saya
mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi
penggunaan listrik di rumah masihng-masing”. Sebaliknya jarang kita mendengar
ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau
pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum:
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka
yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan
kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih
rakyat.
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan
dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat
partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap
memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya.
Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga
tak punya keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi
sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi
partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat
banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana
umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan
aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam.
Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi
secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik
secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya,
prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang
melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan
ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi
konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara
sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak
menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian
terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau
ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan
cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang
merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui
protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti
memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas
umum.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk
menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture
merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika
politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba,
Sholozman, Bradi, 1995). Faktor
nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.
adalah salah satu jenis budaya politik bangsa. Budaya politik partisipan dicirikan
dengan adanya orientasi yang tinggi terhadap semua objek politik, baik objek umum,
input, output serta pribadinya sendiri selaku warga negara.
Pelaksanaan budaya politik partisipan juga dapat diterapkan oleh seorang pelajar
dilingkungan sekolahnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=hak+partai+politik&btnG=Telusuri&meta=
http://hukumham.info/images/O_ddi/pdf_syarat-syarat%20pendirian%20parpol.pdf
http://www.slideshare.net/supriono/partai-politik
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/partai/uu_partai_babIII.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi_politik
http://mediakita-kita.blogspot.com/2009/01/perilaku-dan-partisipasi-politik-di.html
http://www.google.co.id/search?q=budaya+politik+partisipan&hl=id&start=10&sa=N
http://fikifirmansyah.blogspot.com/tugasku/
http://www.google.co.id/search?hl=id&q=kata+pengantar&btnG=Telusuri&meta=