You are on page 1of 23

DASAR KONVERSI ENERGI

Dasar konversi energi listrik merupakan matakuliah yang


mengenalkan konsep dasar tentang pengkonversian energi listrik
serta dapat menghitung besarnya energi yang dibangkitkan. bidang
konversi energi yang begitu luas dan aktual yang hampir meliputi
seluruh disiplin ilmu, terutama Termodinamika, Mekanika Fluida,
Perpindahan Panas serta konsep-konsep dasar perpindahan energi
dan konversi energi, Ilmu pengetahuan, ini tentu saja harus
dilengkapi dengan pengetahuan tentang sistem fisik yang
melaksanakan konversi energi tersebut. Bagi mahasiswa yang
mengambil matakuliah dasar konversi energi listrik, setelah lulus
diharapkan dapat menguasai/menjelaskan prinsip-prinsip Konversi
Energi listrik secara fundamental, seperti Turbin Uap, Gas, Air, Energi
Surya , energi angina, serta masalah lingkungan hidup yang berkaitan
dengan pembangkitan energi listrik, yang kesemuanya
mengkonversikan bentuk dari energi asal menjadi listrik dan mekanik
juga dapat berupa energi lainya yang bermanfaat bagi pemenuhan
kebutuhan masyarakat, Penelitian tentang desain dan konstruksi
sistim Konversi Energi ini mengkaitkan konsep-konsep teori dengan
sistem fisik. Disamping itu juga dipelajari Sistem Konversi Energi dari
segi performance, kesukaran-kesukaran pengoperasiannya dan
ekonomi operasional yang diantisipasikan.

I. Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

A. Menipisnya cadangan minyak bumi

Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada


dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan
minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi
terus berkurang

1
Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi
seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak
bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan
kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri,
serta ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena
beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai
melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi
sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat.
Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi
minyak bumi sekitar 75% dari total konsumsi energinya, namun pada
tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50% (Pinske,
1993).

Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar


sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan
meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang
berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi
listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem
pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi
terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak
ilmuwan percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi
tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak
bumi atau energi fosil lainnya.

B. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian


lingkungan

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran


masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala
yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan
segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan
lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa
produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan
faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun

2
pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari,
minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian
energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia,
karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi
fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit
maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik
konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi
kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap
kondisi klima.

Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2)


dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan
ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan
terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi
kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh
negatif tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan
sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai
ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi
terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg
SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi
fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990

yang lalu 85% dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200
GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta
ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2
merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2
mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat
hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam
bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum
dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup,
serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi
dengan SO2.

3
C. Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia

Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sebagai bahan baku


produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;

1. relatif mudah didapat,


2. dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat
rendah,
3. tidak mengenal problem limbah,
4. proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi,
dan
5. tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).

Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya


energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di
Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan
energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:

1. harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di
Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga
solar/minyak disel di Indonesia Rp. 4.600,-/liter sementara di
Amterdam mencapai Rp.17.565,-/liter, atau sekitar epat kali lebih
tinggi.
2. rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen
utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus
mengimport dari luar negeri.
3. biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah
finansial pada penyediaan modal awal.
4. belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap,
karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
5. secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi
fosil.

4
6. kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya
energinya sangat bergantung pada kondisi alam yang
perubahannya tidak tentu.

Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan


air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu
tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat
dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap
waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr
deras serta angin bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh
keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii sumber daya energi
sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber
daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh
sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi
aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau
mengurangi peranan sumber daya energi fosil.

D. Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya


mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada
produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang
mungkin diterapkan, antara lain:

1. meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan


dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya
energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya
perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi
energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan
"prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar
rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik;
pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang
pemanfaatan energi terbarukan tersebut.

5
2. menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan
produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan
agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri,
sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri.
Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap
biaya produksi.
3. memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus
mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang
kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan
beberapa proyek percontohan .
4. meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan
energi dan upaya pelestarian lingkungan.
5. memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki
potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.
6. memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial
pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan
oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada
setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening
tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem
pembangkit energi listrik di wilayah lain.

Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan


sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah banyak
dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak
diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok,
Sulawesi dan Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di
beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah
timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan tersebut berupa
proyea-proyek percontohan.

II. Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia

Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi,


khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi

6
bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari
seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang
teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan
energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga
resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah
kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara
keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas
ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-
pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa
wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi
listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial,
merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam
skala nasional.

Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi


fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan
tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di
Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk
melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk
mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;

1. dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi


fosil, khususnya minyak bumi
2. dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional
3. mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat,
serta
4. cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan
pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup
disekitarnya.

Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas


adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya
energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomas dan lain

7
sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa
kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi
sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat
dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang
telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai
dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang
menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala
pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-
negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.

A. Ramalan Kebutuhan dan Ketersediaan Energi Listrik di


Indonesia

Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun


terakhir, skenario "export-import" dan pertumbuhan penduduk, pada
tahun 1990 diramalkan bahwa tingkat pertumbuhan kebutuhan
energi listrik nasional dapat mencapai 8,2% rata-rata per tahun,
seperti ditunjukkan dalam tabel-1 berikut.
Tabel-1
Ramalan Kebutuhan Energi Listrik
1990 2000 2010
Sektor
GWh % GWh % GWh %
35.30 183.38
Industri 68,0 84.822 69,0 70,0
5 9
Rumah 19.0 22.239
9.865 18.0 40.789 16.0
tangga 0 2
Fasilitas
3.634 7,0 6.731 6.0 12.703 5.5
umum
Komersial 3.115 6.0 8.811 7,0 21.869 8.5
51.91 100. 122.60 100. 258.74
Total 100.0
9 0 3 0 7

Sumber: Djojonegoro, 1992

8
Kebutuhan energi listrik tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh
pusat-pusat pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh pemerintah
maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990
kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh
seluruh pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya
terpasang sekitar 22.000 MW. Sehingga pada tahun 2010 dari
kebutuhan energi listrik, yang diramalkan mencapai 258.747 GWh per
tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh sistem suplai energi listrik
dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang komposisi sumber
daya energinya seperti diperlihatkan dalam tabel-2

Tabel-2
Prakiraan Penyedian Energi Listri di Indonesia
Sumber 1990 2000 2010
Energi MW % MW % MW %
Batubara 1.930 8.8 10.750 28.4 28.050 35.3
Gas 3.530 16.0 7.080 18.7 14.760 21.5
Minyak 2.210 10.0 1.950 5.2 320 0.5
Solar 11.020 50.1 9.410 24.8 4.060 5.9
Panas Bumi 170 0.8 500 1.3 430 0.6
Air 2.850 13.0 7.720 20.4 10.310 15.0
Biomass 270 1.2 290 0.8 460 0.7
Lain-lain 20 0.1 160 0.4 370 0.5
(Surya Angin)
Total 22.000 100.0 37.860 100.0 68.760 100.0

Sumber: Djojonegoro, 1992 & Wibawa, 1996.

Dari tabel-2 ini tampak jelas terlihat, bahwa penggunaan minyak


bumi, termasuk solar/minyak disel, sebagai bahan bakar produksi
energi listrik akan sangat berkurang, sebaliknya pemanfaatan
sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air,
matahari, angin dan biomas, mengalami peningkatan yang cukup
tajam. Kecenderungan ini tentu akan terus bertahan seiring dengan

9
makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta batubara, yang
pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi
pembangkit listrik di Indonesia.

Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan energi listrik nasional


meningkat mencapai 18% rata-rata per tahun, atau sekitar dua kali
lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun 1990. Hal ini
disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya
dengan pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini
terus bertahan, berarti diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit
energi listrik tambahan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan
tersebut. Dilema yang timbul adalah bahwa di satu sisi, pusat-pusat
pembangkit energi listrik yang besar tentu akan diorientasikan untuk
mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan komersial. Di
sisi lain perlu juga dipikirkan agar beban kecil, seperti perumahan dan
wilayah terpencil, dapat dipenuhi kebutuhannya akan energi listrik.
Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah dengan
membangun pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang
memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, khususnya
sumber daya energi baru dan terbarukan.

Daftar Pustaka

• Archie W Culp, Jr, 1979, Principle of energy Convertion, Mc Graw Hill,


Ltd.
• Djojonegoro,W., 1992, Pengembangan dan penerapan energi baru
dan terbarukan, Lokakarya "Bio Mature Unit" (BMU) untuk
pengembangan masyarakat pedesaan, BPPT, Jakarta.
• Fritzler,M., 1993, Stichwort-Umweltgiffe, Wilhelm Heyne Verlag,
Moenchen, Germany.

10
• Jarass, 1980, Strom aus Wind-Integration einer regenerativen
EnergieQuelle, Springer-Verlag, Berlin. Pinske,J.D., 1993, Elektrische
Energieerzeugung, 2.vollst. ueberarb. Aufl., BG.Teubner, Stuttgart
• Ramani,K.V., 1992, Rural electnEcation and rural development, Rural
electrification guide book for Asia & Pacific, Bangkok.
• Soetendro,H.,Soedirman,S.,Sudja,N., 1992, Rural Electnfication in
Indonesia, Rural Electrification Guide book for Asia & the Pacific,
Bangkok.
• Schleswag (Hrsg.), 1993, Additive Energien-intelligent genutzt,
Flensburg, Germany.
• Wibawa,U., 1996, Effahrung mit dem Betneb Kleinwindhybrid Eanlage
in Ciparanti-Ciamis, ARTES-lnstitu, Flensburg
• Zuhal,1995, Policy & Development Programs on Rural ElectriScation
for next 10 years, Ditjen.Listrik & Pengembangan Energi, Departemen
Pertambangan dan Energi, Jakarta.

III. Kompetitor Energi di Akhir Milenium Kedua

Pembangkit listrik sangat diperlukan untuk menggerakkan roda


pembangunan di semua bidang. Pada saat sumber energi suatu
pembangkit melimpah di saat itu pula biaya pembangkitan akan
murah. Begitu juga sebaliknya, pada saat sumber energi mulai
berkurang, maka di saat itu pula biaya pembangkitan akan menjadi
mahal. Contoh yang nyata mengenai hal tersebut di atas adalah
Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Minyak Bumi atau Pembangkit
Listrik Konvensional.

Biaya pembangkitan listrik dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu


biaya bahan bakar, dan biaya operasi dan pemeliharaan. Pada
pembangkit listrik berbahan bakar fosil menunjukkan bahwa biaya
bahan bakar mencapai 80% biaya total pembangkitan listrik.
Sedangkan pada pembangkit listrik tenaga nuklir, biaya bahan bakar

11
mencapai 50% biaya total pembangkitan listrik. Sisanya adalah biaya
operasi dan pemeliharaan, 20% untuk pembangkit listrik berbahan
bakar fosil dan 50% untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Dari hal
tersebut di atas dapat terlihat tingkat ketergantungan pembangkit
terhadap harga bahan bakar di pasaran.

A. Kompetisi Biaya Pembangkitan

Data yang diambil pada tahun 1981 sampai tahun 1994 di USA pada
Gambar 1 menunjukkan bahwa biaya pembangkitan untuk nuklir
paling rendah dibanding batubara, gas alam atau minyak bumi pada
tahun 1981, kecuali terhadap tenaga air. Pada saat itu biaya
pembangkitan oleh nuklir sebesar 0.02 dolar setiap kilowatt jam dan
0.03 dolar/kWh, 0.05 dolar/kWh, 0.09 dolar/kWh masing masing untuk
batubara, gas alam dan minyak bumi.

Setelah bertahun tahun sejak nuklir digunakan, sang kompetitor ini


jatuh dan mensejajarkan diri dengan pembangkit batubara pada
sekitar tahun 1986. Tahun tersebut untuk pertama kalinya biaya
pembangkitan batubara di bawah nuklir. Sejak saat itu pembangkit
batubara menyatakan diri sebagai pembangkit paling murah. Nuklir

12
jatuh disebabkab karena biaya tambahan yang makin meningkat
untuk peningkatan pembinaan sumber daya manusia dan biaya
operasi yang berhubungan dengan kecelakaan pembangkit Three
Mile Island pada tahun 1979. Tetapi perbedaan biaya pembangkitan
dua kompetitor ini cukup kecil, yaitu 0.0192 dolar/kWh untuk
batubara dan 0.02 dolar/kWh untuk nuklir pada tahun 1994. Dan
biaya pembangkitan untuk nuklir dan batubara masih jauh lebih kecil
dibandingkan dengan gas alam dan minyak bumi, masing masing
sebesar 0.029 dolar/kWh dan 0.032 dolar/kWh. Dengan menerapkan
perencanaan dan teknik manajemen baru secara terpadu dan
menyeluruh, biaya pembangkitan nuklir masih dapat dikurangi.

B. Biaya Bahan Bakar

Biaya bahan bakar untuk pembangkit berbeda antara satu dengan


lainnya. Secara umum, biaya bahan bakar untuk pembangkit
berbahan bakar fosil adalah 80% dari biaya pembangkitan.
Sedangkan biaya bahan bakar untuk pembangkit nuklir adalah 50%
dari biaya pembangkitan. Dari Gambar 1 menunjukkan pembangkit
bahan bakar fosil memberikan kontribusi biaya pembangkitan yang
makin murah pada sekitar tahun 1985. Hal ini disebabkan jatuhnya
harga bahan bakar tersebut di pasar dunia hingga saat ini. Sampai
kapan hal ini terus berlangsung masih meninggalkan tanda tanya.
Dengan prosentase biaya bahan bakar sebesar 80% untuk
pembangkit bahan bakar fosil dan ketergantungan dengan situasi
pasar seperti tersebut di atas dapat menggambarkan ketidak stabilan
pembangkit tersebut.

C. Gas "Greenhouse"

13
Pada tahun 1990 di Rio de Janeiro, USA dan negara negara lain
menyatakan perang terhadap musuh musuh kasat mata yaitu gas gas
"greenhouse". Menurut hasil studi yang berjudul "Impact of
Nuclear Energy on U.S. Electric Utility Fuel Use and
Atmospheric Emissions: 1973 1995" menyebutkan bahwa energi
nuklir adalah faktor tunggal yang paling penting di dalam
pengurangan emisi karbon sebesar 1.9 milyar metrik ton CO2"> untuk
sektor kelistrikan di USA. Tanpa nuklir, bahan bakar fosil sudah
digunakan untuk memproduksi listrik bagi pertumbuhan ekonomi USA
dan kebutuhan yang meningkat karena pertambahan penduduk.
Dengan peningkatan kebutuhan listrik rata rata 40% sejak tahun
1973 dan penggunaan bahan bakar fosil, 3.2 milyar ton batubara,
3.37 trilyun meter kubik gas alam dan 2.2 milyar barrel minyak bumi,
dengan unjuk kerja nuklir pada tahun 1987 1989 sebagai dasar
pertimbangan, maka emisi gas karbon atau CO2 dapat dikurangi
sampai 37 juta ton per tahun dari tahun 1990 sampai tahun 1995.
Emisi CO2 secara nasional telah menurun 25% karena penggunaan
pembangkit nuklir dibandingkan jika bahan bakar fosil digunakan.
Pembangkit nuklir telah membantu mencegah pengeluaran 146 juta
metrik ton emisi karbon pada tahun 1995. Dari hasil ini diharapkan
tercapai program nasional pengurangan emisi karbon sampai 108 juta
metrik ton per tahun, sehingga akan diperoleh stabilitas emisi gas
"greenhouse" sebesar level tahun 1990 pada tahun 2000.

Masih banyak dokumen dokumen hasil studi yang menyatakan


keuntungan demi terciptanya lingkungan bersih dengan
menggunakan energi nuklir. Studi tersebut menyatakan pembangkit
nuklir telah membantu pengurangan emisi sebanyak 75 juta ton SO2
dan 32 juta ton NOx secara komulatif antara tahun 1973 sampai
dengan tahun 1995. Pada tahun 1995, pembangkit nuklir mengurangi
5.1 juta ton SO2. Dan ini merupakan hampir setengah dari jumlah
target yang disepakati oleh program yang disebut dengan "Clean Air
Act Amendments of 1990". Energi nuklir juga mecegah pelepasan

14
2.5 juta ton NOx, dimana nilai ini melebihi dari target yang ditentukan
sebesar 2 juta ton NOx oleh Clean Air Act Amendments of 1990
tersebut di atas.

D. Biaya Pembangkitan

Biaya pembangkitan nuklir menjadi primadona kembali setalah ada


peningkatan efesiensi. Biaya pembangkitan nuklir turun dari 0.0207
dolar/kWh menjadi 0.0189 dolar/kWh pada tahun 1995. Penurunan ini
konstan sebesar 8.7% untuk kurs dolar 1995. Beberapa pembangkit
nuklir terbaru mencapai biaya pembangkitan sampai 0.012
dolar/kWh. Hal tersebut bisa dicapai karena beberapa pembangkit
nuklir terbaru tersebut meningkatkan kapasitas faktor dari 75.1%
menjadi 78.8%. Kapasitas faktor adalah unjuk kerja pembangkit nuklir
yang dihitung berdasarkan jumlah listrik yang dihasilkan secara nyata
dibagi jumlah maksimum listrik yang bisa dicapai oleh pembangkit
tersebut.

Makin menurunnya biaya pembangkitan oleh nuklir sebagai salah


satu faktor yang menyebabkan beberapa negara yang akan
mengembangkan atau meningkatkan industri nasionalnya,
meningkatkan penggunaan energi nuklir bagi negaranya masing
masing. Ketergantungan akan energi nuklir dari beberapa negara
dapat terlihat pada Gambar 2.

15
Dimana Perancis memimpin dengan memenuhi kebutuhan energi
listrik dalam negerinya sebanyak 75% dari kebutuhannya
menggunakan energi nuklir. Menyusul negara negara lain seperti
Belgia, Swedia, dst. Terlihat pula negara indutri baru seperti Korea
Selatan menggunakan energi nuklir sebesar 36% dari kebutuhan
listrik nasional.

E. Kesimpulan

Kebutuhan energi di dunia akan terus meningkat dan proyeksi


peningkatannya sebesar 2% per tahun. Hal itu berarti bahwa negara-
negara di dunia selalu membutuhkan dan harus memproduksi energi
dalam jumlah yang besar sampai dua dekade mendatang. Minyak
bumi sebagai sumber energi utama dunia diproyeksikan
penggunaannya meningkat sebesar 2% per tahun sampai tahun 2015
mendatang, tetapi dengan perkiraan harga minyak tidak melampaui
25 dolar per barrel sebelum tahun 2015. Pertambahan penggunaan
batubara juga terus meningkat sampai 50% pada tahun 2015. Kedua
bahan bakar fosil tersebut masih menghadapi persaingan dan

16
pengetatan aturan yang berhubungan dengan emisi karbon ke
lingkungan. Penggunaan energi nuklir diproyeksikan mencapai 20%
dari penggunaan total energi dunia sampai tahun 2015. Pertumbuhan
penggunaan energi nuklir berkembang pesat di negara Perancis dan
Jepang. Sementara itu, negara-negara di Asia sedang memulai untuk
menggunakan nuklir sebagai pendukung program energi nasional.

Daftar Pustaka

1. Nuclear Energy Institute, "Electricity Costs: Nuclear Closes


Gap with Coal", Nuclear Energy Insight 96, Washington-D.C.,
September 1996.
2. Nuclear Energy Institute, "Nuclear Energy: Superhero in the
War Against Greenhouse Gases", Nuclear Energy Insight 96,
Washington-D.C., July 1996.
3. Nuclear Energy Institute, "Nuclear Production Costs: Bring
on the Competition", Nuclear Energy Insight 96, Washington-
D.C., May/June 1996.
4. Department Of Energy-USA, "World Energy Consumption",
p.5-20, International Energy Outlook 1996 - With Projection to
2015, Washington-D.C., May 1996.
5. Department Of Energy-USA, "Coal", p.49-56, International
Energy Outlook 1996 - With Projection to 2015, Washington-
D.C., May 1996.
6. Department Of Energy-USA, "Nuclear Power", p57-64,
International Energy Outlook 1996 - With Projection to 2015,
Washington-D.C., May 1996.

17
IV. Energi Listrik Tenaga Ombak

Potensi energi terbarukan untuk menjawab kebutuhan energi listrik


Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Norwegia.
Sayangnya potensi energi pantai yang ada belum banyak
dimanfaatkan. hal ini membuat Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) tergerak mengembnagkan dan memanfaatkan
potensi energi terbarukan, berupa angin, omba dan energi surya
untuk menjawab kebutuhan energi listrik.

18
Model yang dikembnagkan di Parang Racuk Technopark untuk
menjawab tantangan itu, kita membuka ilmuan dari berbagai bidang
di Indonesia memanfaatkan kawasan sesuai minatnya, ini yang
pertama di Indonesia, kata Kepala BPPT Said D Jenie kepada Jurnal
Nasional di Yogyakarta, Jumat (22/6)

Di kawasan seluas 12 hektare yang ada disepanjang pantai itu kini


telah hadir beberapa perangkat teknologi pembangkit listrik
terbarukan yaitu Oscillating Water Column (OWC) dengan biaya
pengembangan Rp2,5 miliar yang mengubah energi ombak
menjaaadi energi listrik. Selain itu telah terpasang juga pembangkit
tenaga bayu (angin) berupa kincir angin serta panel sel surya untuk
mengolah energi listrik dari matahari.

Di tahap awal memang dikembangkan model fix based, ke floating


base yang ada di perairan. secara bertahap akan terus dilanjutkan
proyek pwemhembangan pemanfaatan energi alternatif yang ramah
lingkungan, ujar Said melanjutkan.

19
A. Energi Persilangan

Melengkapi fasilitas penyimpanan energi listrik yang dibangkitkan


dari tenaga ombak, angin dan surya disediakan pula sistem
pengendali beban otomatis berbasis DC dengan kapasitas 3599 kW.

Sistem energi persilangan (hybrid) itu telah diujicobakan dan dapat


bekerja dengan optimal, meski pasokan energi sangat teergantung
dari kondisi alam yaitu ada atau tidaknya ombak ataupun angin yang
mencukupi untuk sumber energi pembnagkit listrik.

Sistem pengendali beban diperlukan setelah ada konversi sebelum


listrik dimanfaatkan oleh konsumen, kata Dr Erzi Agson Gani Meng,
Kepala Divisi Mesin Perkakas, Teknik, Produksi dan Otomatisasi
(MEPPO) BPPT.

Sejak tahun 2005 telah ada upaya pemanfaatan energi terbarukan


seperti ombak, angin dan energi surya yang ditangkap panel surya
untuk memnuhi kebutuhan energi listrik. Meski hasilnya masih
terbatas, karena perlu pengembangan lebih lanjut teknologi yang
disebutkan cocok untuk pasokan listrik di daerah terpencil atau
sbagai bagian daari sumber daya rambu navigasi.

Di luar itu, dapat juga menjadi wisata teknologi energi dan riset dari
akademisi dan lembaga litbang lainnya. Itu menjadi sumber energi
bersih yang potensial di masa depan, kata Erzi.

20
Bagi masyarakat Gunung Kidul, hadirnya taman teknologi yang
memanfaatkan tanah Sultan (Sultan Ground) tentu saja menjadikan
keuntungan tersendiri. Jika selama ini hanya mengandalkan wisata
pantai, ke depan pengembangan teknologi itu jelas akan memancing
hadirnya rekayasa baru yang dapat memanfaatkan potnsi alam di
kawasan pesisir pantai.

Guning Kidul itu sudah dikenal dengan kondisi alam yang kering, tepi
memiliki sumber daya alan di pesisir pantai yang belum
dikembangkan. Hadirnya teknologi untuk energi tebarukan
membantu pengembangan di kawasan pantai, kata Bupati
Gunungkidul Suharto, SH.

Setidaknya dengan hadirnya teknologi energi terbarukan dapat


dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan energi listrik di kawasan
yang selama ini sulit dijangkau aliran listrik PLN dengan alasan
ekonomi dan efisiensi.

Kita punya potensi alam saja, itu pun dnegan kondisi yang cukup
berat bagi upaya mengundang investor. Jika ada teknologi yang
masuk jelas membantu kebutuhan energi wrga, kata Suharto.

B. Efek Tekanan Udara

Energi ombak adalah energi alternatif yang dibangkitkan melalui efek


osilasi tekanan udara (pumping efect) didalam bangunan chamber
(geometri kolom) akibat fluktuasi pergerakan gelombang yang masuk
ke dalam chamber.

21
Berkaitan dengan hal tersebut pada 22 Juni 2007 bertempat di Parang
Racuk Jogjakarta telah diresmikan Technopark Parang racuk melalui
Uji Operasional PLTO (Pembangkit Listrik Tenaga Ombak) pada Konsi
Air Pasang oleh Kepala BPPT Said D Jenie.

Acara yang dihadiri Sekretaris Utama, Deputi TIRBR, Deputi TPSA,


Deputi TAB, Eselon II di lingkungan Setama dan Eselon I, II, III di
lingkungan TIRBR, dan Bupati Gunung Kidul, Staf Ahli Kepala BPPT
serta pimpinan dan peneliti dari BPDP Yogyakarta.

Tujuan kegiatan ini untuk memberikan paket model sumber energi


alternatif yang ketersediaan sumbernya cukup melimpah di wilayah
perairan pantai Indonesia.

paket model tersebut akan menunjukan tingkat efisiensi energi yang


dihasilkan dan parameter-parameter minimal hirosenografi yang
layak, baik itu secara teknis maupun ekonomis untuk melakukan
konversi energi.

Hasil survey hidrosenografi di wilayah perairan Parang Racuk


menunjukan, sistem akan dapat membangkitkan daya listrik optimal
jika ditempatkan sebelum gelombang pecah atau pada kedalaman 4
m-11 m.

Pada kondisi ini akan dapat dicapai putaran turbin antara 3000-700
rpm. Posisi prototipe II OWC (Oscillating Wave Column) masih belum
mencapai minimal yang diisyaraatkan, karena kesulitan pelaksanaan
operasional alat mekanis. Posisi ideal akan dicapai melalui
pembangunan prototipe III yang berupa sistem OWC apung.

Khusus untuk pengembnagan energi angin, BPPT melakukan kajian


tehadap tipe-tipe konversi energi angin yang efisien dan tepat

22
diterapkan di Indonesia sesuai kegunaannya: mekanikal ataupun
kelistrikan.

Kegiatan ini dimulai pada tahun 2005 dan menghasilkan Sistem


Pengandali Berbasis DC dengan kapasitas 3500 KW.

Sistem tersebut telah dipasang di Baron Energy park-BPPT dan


Parang Racuk yang siap diuji coba (OT&E) bersama UPT LAGG
yang mengemangkan wind turbine serta BPDP yang mengembangkan
sistem OWC. (Jurnal Nasional / Humas Ristek)

23

You might also like