You are on page 1of 53

1

PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA


KEPADA PT. BUMI FLORA DI KECAMATAN BANDA ALAM
KABUPATEN ACEH TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala


Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

CHANDRA DARUSMAN S
NIM : 0431110015

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2010
2

ABSTRAK
CHANDRA DARUSMAN S, PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK GUNA
2010 USAHA KEPADA PT. BUMI FLORA DI
KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN
ACEH TIMUR
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
(iv, 53), pp.,tabl.,bibl.,

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Dalam hal ini, proses pemberian status Hak Guna Usaha harus
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, yaitu adanya permohonan secara
tertulis kepada Menteri, memiliki izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah
dan di atas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha tidak terdapat hak-hak lain Namun,
kenyataannya di lapangan, terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan hukum
yang berlaku sehingga masih banyak terjadi penyimpangan dalam pemberian Hak Guna
Usaha.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan proses pemberian Hak Guna
Usaha kepada PT. Bumi Flora berdasarkan peraturan hukum yang berlaku dan untuk
mengetahui penyimpangan apa sajakah yang terjadi dalam pemberian Hak Guna Usaha
serta untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pemberian Hak Guna Usaha
tersebut.
Untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini dilakukan penelitian
kepustakaan (library research) dengan mengumpulkan buku-buku atau literatur-literatur,
serta peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
dibahas. Sedangkan penelitian lapangan (field research) dilakukan dengan mewawancarai
para informan sebagai pelengkap data keputakaan yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang
dikelola oleh PT Bumi Flora belum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini
terlihat dari tindakan PT. Bumi Flora yang melakukan memanfaatkan lahan masyarakat
tanpa melalui musyawarah dengan pemilik lahan sehingga proses ganti rugi tidak sesuai
dengan ketentuan berlaku dan masyarakat terpaksa menerima ganti rugi yang ditetapkan
sepihak oleh perusahaan. Selain itu, luas objek Hak Guna Usaha PT.Bumi Flora tidak
sesuai dengan izin lokasi sehingga menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hak
atas tanah tersebut.
Saran kepada pemerintah agar segera menyelesaikan sengketa pertanahan ini dan
melakukan peninjauan kembali terhadap sertifikat Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi
Flora, yaitu sertifikat HGU No. 98 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Aceh Timur, Tanggal 17 Novemver 1994, termasuk dengan melakukan
pengukuran kembali terhadap luas tanah sehingga dapat diketahui secara jelas batas-batas
tanah areal Hak Guna Usaha PT. Bumi Flora dan tanah masyarakat serta mendesak PT.
Bumi Flora melakukan pembayaran ganti kerugian terhadap areal tanah masyarakat yang
telah dimanfaatkan, karena ganti kerugian yang telah dilakukan tidak layak dan
menimbulkan permasalahan.
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara sebagai suatu alat (agency) yang mengatur dan mengendalikan

persoalan bersama atas nama rakyat1 sudah seharusnya berusaha mewujudkan

kehidupan yang adil dan makmur dalam berbagai aspek kehidupan warga negara.

Untuk mencapai tujuan tersebut negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat

memaksa seluruh anggotanya (seluruh elemen masyarakat dan aparatur negara)

untuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan,

termasuk bagaimana negara menguasai aset sumber daya alam yang ada. Dalam

hal ini termasuk pula tanah dan apa saja yang terkandung didalamnya.

Tanah memiliki makna yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat

dan negara. Selain sebagai tempat pemukiman, tanah juga merupakan sumber

penghidupan bagi masyarakat yang mencari nafkah melalui usaha pertanian,

pertambangan dan perkebunan. Dalam kehidupan manusia tanah mempunyai nilai

yang sangat tinggi, tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menyangkut

masalah nilai-nilai sosial dan politik. Sehingga, bagi bangsa Indonesia tanah

mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga,

dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sebagai amanah Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945.

Pertanahan merupakan bidang hukum yang sangat mendapat perhatian

setelah Indonesia merdeka, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor

1
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Jakarta, 2000, hal. 2
4

5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam undang-

undang tersebut telah jelas diatur mengenai tanah dan hak-hak atas tanah, salah

satunya mengenai Hak Guna Usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28

sampai dengan Pasal 34.

Sebagai peraturan pelaksananya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Peraturan Pemerintah ini mengatur subjek,

tanah yang dapat diberikan dengan status Hak Guna Usaha, terjadinya Hak Guna

Usaha, jangka waktu, kewajiban pemegang hak, pendaftaran dan juga peralihan

hak serta berakhirnya Hak Guna Usaha tersebut.

Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah hanya dapat diberikan atas tanah

yang dikuasai oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)

yang berbunyi : ”Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam

pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”. Sedangkan

proses tata cara perolehan Hak Guna Usaha diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang

Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak

Pengelolaan2. Dalam rumusan Pasal 19 disebutkan bahwa permohonan Hak Guna

Usaha harus melampirkan izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan

tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah serta bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan

2
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT.
Tokok Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 79
5

kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik

adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.

Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang dilakukan selama ini di Aceh

telah banyak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat terutama yang

diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh pihak swasta. Salah

satunya adalah pemberian Hak Guna Usaha yang diberikan kepada PT. Bumi

Flora atas tanah masyarakat di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur.

PT. Bumi Flora adalah sebuah perusahaan yang berdiri pada tahun 1987.

Perusahaan ini bergerak dibidang perkebunan. PT Bumi Flora menguasai tanah di

beberapa desa di kawasan Aceh Timur dengan menggunakan Hak Guna Usaha

dengan dasar hukum Sertifikat HGU No.98 yang dikeluarkan dan diterbitkan

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Timur tanggal 17 November

1994 dengan luas lahan 3.875,42 Ha untuk selama 30 tahun dan lokasi terletak di

Desa Jambo Reuhat, Desa Alue Lhok dan Desa Simpang Damar, Kecamatan

Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur.3

PT. Bumi Flora meyakini bahwa tanah mereka tersebar di beberapa desa

dan dusun di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur, di antaranya di

Desa Jambo Reuhat dan Desa Seunuebok Bayu. Dusun-dusun yang dulunya

merupakan bagian dari desa Jambo Reuhat yang sekarang telah menjadi bagian

areal perluasan PT. Bumi Flora dapat dilihat dalam table berikut ini :

3
Laporan Hukum Konflik Pertanahan antara Petani Korban dengan PT. Bumi Flora,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda Aceh, 21 Januari 2008.
6

TABEL 1
DAFTAR TANAH YANG MENJADI OBJEK HAK GUNA USAHA
ATAS NAMA PT. BUMI FLORA DI KECAMATAN BANDA ALAM
KABUPATEN ACEH TIMUR

Letak Tanah Status Tanah Luas Tanah (Ha)


NO
Desa Dusun Garapan Pemukiman Garapan Dusun
Alue Sentang √ - 2 -
Jambo
√ √ 75 -
Campli
Alue Kacang √ √ 205,114 -
Pelita Jati √ - 179,824 -
Alue
√ √ 3 -
Seunong
Alue Kareung √ - 6 -
Jambo
1 Alue Rambot √ - 4 -
Reuhat
Alue
√ - 6 -
Jeurimee
Jaya Alur √ - 8 -
Alue Rawang √ - 2 -
Buket ilik √ √ 28 -
Buket Lhok √ - 2 -
Alue Karang √ - 2 -
Bukit Jati - √ 2 -
Suka
√ √ 23 -
Makmue
Alue
Seneubok √ √ 140 -
2 Reuhat/Jaya
Bayu
Jaya - - 12 -
Lorong
√ - 4 -
Kacang

Jumlah 2 18 16 7 703.938

Sumber diolah dari : Laporan Hukum Konflik Pertanahan antara Petani Korban dengan
PT. Bumi Flora, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
Banda Aceh.

PT. Bumi Flora dalam proses mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah

sebagaimana yang termuat dalam tabel I di atas, tidak sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, PT. Bumi Flora melakukan
7

pembukaan lahan dengan cara menguasai dan mengelola lahan masyarakat tanpa

melalui proses musyawarah dengan pemilik lahan serta ganti rugi yang diberikan

ditempuh melalui tindakan kekerasan.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang menjadi masalah dari

penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan pemberian Hak Guna Usaha kepada

PT. Bumi Flora?

2. Penyimpangan apa sajakah yang terjadi dalam pemberian Hak Guna Usaha

kepada PT. Bumi Flora?

3. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pemberian Hak Guna Usaha

kepada PT. Bumi Flora?

B. Ruang lingkup dan Tujuan Penelitian

Ruang lingkup pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai

mekanisme pemberian hak atas tanah khususnya tentang Hak Guna Usaha,

termasuk prosedur yang dilakukan oleh PT. Bumi Flora untuk memperoleh Hak

Guna Usaha atas areal tanah di Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur

serta proses penyelesaian sengketa pertanahan yang terjadi, dan hal ini

pembahasannya termasuk dalam kajian hukum agraria.

Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang menjadi tujuan dari

penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan pemberian Hak Guna

Usaha kepada PT. Bumi Flora oleh Pemerintah;


8

2. untuk mengetahui penyimpangan apa saja yang terjadi dalam

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora;

3. untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pemberian Hak

Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora.

C. Metode Penelitian

1. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Hak atas tanah adalah hak untuk mempergunakan dan memanfaatkan

tanah negara dengan tujuan tertentu berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

b. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu bagi perusahaan

pertanian, perikanan, atau peternakan.

c. Tanah negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tidak

terdapat hak-hak lain di atas tanah tersebut.

2. Lokasi dan Populasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Desa Jamboe Reuhat Kecamatan Banda

Alam Kabupaten Aceh Timur. Dipilihnya Kabupaten Aceh Timur sebagai lokasi

penelitian, karena daerah tersebut merupakan lokasi dari objek sengketa yang

sedang terjadi antara masyarakat dan PT. Bumi Flora. sehingga diperlukan

pembatasan wilayah penelitian untuk memudahkan peneliti dalam melakukan

penelitian.
9

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah pihak PT. Bumi Flora serta

pihak masyarakat yang menjadi parapihak dalam sengketa penyerobotan tanah

oleh PT. Bumi Flora serta pihak-pihak lain yang mempunyai keterlibatan

langsung dengan masalah yang diteliti.

3. Teknik dan Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik clustered

sampling, yaitu populasi dibagi dalam kelompok dan untuk setiap kelompok

dilakukan pemilihan sampel dengan metode simple random sampling, sehingga

seluruh unit populasi berpeluang sama untuk terpilih sebagai sampel.

Respondennya adalah:

a. 3 orang dari pihak PT. Bumi Flora

- 1 orang Kepala Bagian Hubungan Masyarakat PT. Bumi Flora

- 1 orang anggota panitia pembebasan tanah dari PT. Bumi Flora

- 1 orang staf lapangan.

b. 5 orang dari pihak masyarakat :

- Camat Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur

- Kepala desa Jambo Reuhat

- Kepala desa Alue Rambot

- 2 orang pengurus Forum Perjuangan Rakyat untuk Tanah (FORJERAT)

- 20 orang mayarakat desa Jamboe Reuhat Kecamatan Banda Alam

Kabupaten Aceh Timur.


10

Informannya adalah :

- Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam

- Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Timur

- 3 orang staff Lembaga Bantuan Hukum yang mengadvokasi

masyarakat setempat dalam upaya penyelesaian sengketa.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh bahan dan data yang diperlukan dilakukan penelitian

kepustakaan dan penelitian lapangan.

a. Penelitian kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan

menelaah buku-buku teks, jurnal, surat kabar, majalah hukum atau pada situs-situs

internet yang ada serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar hukumnya.

b. Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yaitu

dengan cara mewawancarai para responden dan informan yang berhubungan

dengan masalah yang diteliti.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan kepustakaan akan di

analisis melalui pendekatan kualitatif. Selanjutnya, penyusunan hasil penelitian


11

dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif; yaitu berusaha memberikan

gambaran secara jelas tentang kenyataan-kenyataan yang ditemukan dalam

praktek dan memaparkan hasil penelitian lapangan disertai dengan uraian dasar

hukum yang berlaku dan mengaitkannya dengan data kepustakaan, lalu diambil

kesimpulan dan saran.

D. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini dibagi dalam empat bab, dimana dalam sistem

pembahasannya dimulai dari hal-hal yang bersifat universal yang kemudian

ditujukan agar mengarah kepada hal-hal yang bersifat lebih khusus, dan

pembahasan skripsi ini tidak terlalu meluas agar tidak terjadi pembahasan yang

menjauhi pokok permasalahan, sistematikanya sebagai berikut :

Bab Pertama, dalam bab ini terkandung pendahuluan yang merupakan

latar belakang dari permasalahan, ruang lingkup dan tujuan penelitian, metode

penelitian serta sistematika pembahasan. Bab ini merupakan awal pemaparan

alasan penulis memilih judul ini sebagai judul dari skripsi penulis.

Bab Kedua, dalam bab ini penulis menjelaskan tentang tinjauan umum

mengenai Hak Guna Usaha dalam aturan perundang-undangan. Selanjutnya, sub

bab kedua membahas pengertian Hak Guna Usaha, subjek Hak Guna Usaha, objek

Hak Guna Usaha, jangka waktu dan hapusnya Hak Guna Usaha. Selain itu, dalam

bab ini penulis juga menjelaskan mengenai kewenangan pemberian Hak Guna

Usaha atas tanah, termasuk mengenai syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha
12

serta tata cara pemberian Hak Guna Usaha sebagaimana diatur dalam peraturan

yang berlaku.

Bab Ketiga, pembahasan dalam bab ketiga ini merupakan kelanjutan dari

bab sebelumnya, dalam bab ini lebih ditekankan kepada pelaksanaan pemberian

Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora. Selanjutnya membahas mengenai

penyimpangan yang terjadi dalam proses pemberian Hak Guna Usaha kepada PT.

Bumi Flora. Pada bagian akhir bab ini membahas tentang akibat hukum dari

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora.

Bab Keempat, pada bab ini berisi kesimpulan yang penulis peroleh dari

pembahasan bab-bab sebelumnya, serta saran-saran yang dapat dijadikan sebagai

masukan demi tercapainya penyelesaian permasalahan pertanahan, terutama

permasalahan pertanahan antara masyarakat Kecamatan Banda Alam Kabupaten

Aceh Timur dan PT. Bumi Flora.


13

BAB II

HAK GUNA USAHA DALAM ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Hak Guna Usaha

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan

Pokok-Pokok Agraria Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha

adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam

jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,

perikanan, atau peternakan.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, pengertian tanah

negara ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (L.N. 1953,

No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam Peraturan Permerintah tersebut tanah negara

dimaknai sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Substansi dari

pengertian tanah negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang

melekat diatas tanah tersebut, apakah hak barat maupun hak adat (vrij

landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara

ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara. 4 Artinya, negara di kontruksikan bukan sebagai pemilik

tanah. negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan

penguasa, yang diberikan wewenang dalam hal sebagai berikut :

4
Hal ini telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum II (2) UUPA yang secara jelas
meyatakan prinsip untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara
bertindak sebagai pemilik tanah.
14

a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari )

bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.”

Setelah lahirnya UUPA, di dalam berbagai peraturan perundang-undangan

disebutkan bahwa pengertian tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati

dengan sesuatu hak atas tanah. Atas pemahaman konsep dan peraturan perundang-

undangan tentang pengertian tanah negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran

yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah negara dilihat dari asal usulnya:

1. tanah negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak

atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah negara bebas;

2. tanah negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya,

karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah

negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang

telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang

dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya. 5

Berdasarkan pengertian tersebut, Hak Guna Usaha merupakan suatu hak

yang diberikan oleh negara kepada subjek hukum tertentu dengan syarat yang

5
BF Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, PT.
Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 79
15

tertentu pula untuk mengelola dan mengusahakan tanah negara dengan orientasi

yang bergerak dalam bidang pertanian, perikanan atau peternakan. 6

Ciri-ciri yang melekat pada hak menurut hukum, dalam catatan Satjipto
Rahardjo7, mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel atas
barang yang menjadi sasaran dari pada hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban.
Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk melakukan
(commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan, yang
disebut sebagai isi dari pada hak
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang disebut sebagai
objek dari hak,
e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu kepada pemiliknya.

1. Subjek Hak Guna Usaha

Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang

akan memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang

menjadi haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti

sempit yang dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan

imunitas.

Adapun subjek yang dapat memegang Hak Guna Usaha telah diatur dalam

pasal 30 UUPA yang menjelaskan subjek hukum yang dapat menjadi pemegang

hak atas tanah, yaitu :

6
www.property.net, diakses pada tanggal 20 November 2008.
7
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 55
16

a. Warga Negara Indonesia

Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk

melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara

Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum

tertentu, misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan,

membuat surat wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan

hukum yang menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.8

Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon).

Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan

menjadi subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan

kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa,

orang yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya

tidak dapat digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan

menjunjung hak dan kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang

harus dipenuhi agar seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek

hukum, 9 yaitu :

1) telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)

2) tidak berada dibawah pengampuan (curatele), dalam hal ini seseorang yang

dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum

dewasa.

8
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hal. 24
9
CTS Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2002, hal. 118
17

b. Badan Hukum Indonesia

Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang

tidak berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah

badan hukum itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang.

Artinya, ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-

pihak lain. Selain itu, badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara

(kecuali hukuman denda) 10

Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus

memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :

1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia

2. berkedudukan di indonesia.

Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama

didirikan menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi

subjek hak guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas,

maka berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka

dalam jangka waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau

dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak

Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

10
Ibid, hal. 118
18

2. Objek Hak Guna Usaha

Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah

negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah

yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di

atas tanah tersebut.

Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah

negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru

dapat dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan.

Demikian juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian

Hak Guna Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya

telah selesai. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di

atas tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan

dan/atau tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka

pemegang Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada

pemilik bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap

hak atas tanah yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak

Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi

yang layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
19

bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia

Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.

Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara

Panitia dengan parapemegang hak atas tanah dan penetapannya harus

memperhatikan harga umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang

mempengaruhi harga tanah. 11 Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya

faktor-faktor non fisik (immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi.

Misalnya, turunnya penghasilan pemegang hak dan ganti kerugian yang

disebabkan karena harus melakukan perpindahan tempat/pekerjaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa

musyawarah merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan

dalam proses penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai

pemegang hak atas tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak

lain. Pentingnya jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses

tercapainya kesepakatan secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun

dan dalam berbagai bentuknya juga sangat diperlukan. 12 Hal ini dikarenakan

syarat-syarat untuk tercapainya musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut

sangat menetukan jalannya proses penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat

tersebut adalah sebagai berikut :

11
Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.251.
12
Hal ini sebagaimana telah diatur secara jelas dalam Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
20

a) ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang

berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya

ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan

pendapatan dan lain sebaginya),

b) suasana yang kondusif

c) keterwakilan parapihak

d) kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi

e) jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses

musyawarah.13

Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di

atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka

tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan

wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar

mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan

terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak

jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah

tersebut.

Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses

musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya

parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak

atas tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik

melalui jalur litigasi maupun non litigasi.

13
Op.cit, hal. 272
21

Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat

menajdi objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai

objek Hak Guna Usaha tersebut adalah14:

a. tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,

b. tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,

c. tanah yang diperlukan oleh pemerintah.

Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha,

Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa

luas minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima

hektar. Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada

perorangan adalah dua puluhlima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal

5 ayat (3). Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan

oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang

di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan

untuk melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang

bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahu 1996.15

14
Sudharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, 2001, hal. 24
15
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 112
22

c. Jangka Waktu Hak Guna Usaha

Jangka waktu pemberian Hak Guna Usaha dapat ditemukan dalam

ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. Dalam rumusan pasal

tersebut disebutkan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat
diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya
jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat
diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Berdasarkan rumusan pasal 29 sebagaimana tersebut di atas, dapat

diketahui bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu antara 25 tahun

hingga 35 tahun, dengan ketentuan bahwa setelah berakhirnya jangka waktu

tersebut, Hak Guna Usaha tersebut dapat diperpanjang untuk masa 25 tahun

berikutnya.

Ketentuan mengenai jangka waktu dan perpanjangan Hak Guna Usaha

dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pasal

8 menyatakan bahwa:

(1) Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan


untuk jangka waktu paling lama tiga puluh lima tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun
(2) sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang
hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah
yang sama.
23

Berdasarkan rumusan pasal 8 tersebut, diketahui bahwa Hak guna Usaha

dapat diberikan untuk jangka waktu maksimum (selama-lamanya) enam puluh

tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tanah tersebut masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan,

sifat dan tujuan pemberian haknya. Hal ini sebagaimana diatur dalam

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

b. syarat-syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak

c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. 16

Dengan demikian, setelah berakhirnya jangka waktu 35 tahun dengan

perpanjangan selama 25 tahun (seluruhnya berjumlah 60 tahun), Hak Guna Usaha

hapus demi hukum. Hapusnya Hak Guna Usaha ini bukan berarti tidak dapat

diperbaharui. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha

yang telah berkahir jangka waktunya atau hapus dapat diperpanjang kembali.

4. Hapusnya Hak Guna Usaha

Hapusnya Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur di dalam pasal 17

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjelaskan sebagai berikut

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana yang ditetapkan dalam keputusan


pemberian hak atau perpanjangannya,
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena :

16
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak-Hak Atas
Tanah, Kencana, Jakarta, 2008 hal.158
24

1) pemegang hak tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, yaitu :


a) tidak membayar uang pemasukan kepada negara;
b) tidak melaksanakan usaha dibidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukan dan
persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputuan pemberian
haknya;
c) tidak mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik
sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh instansi teknis;
d) tidak membangun dan/atau menjaga prasarana lingkungan dan
fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha;
e) tidak memelihara kesuburan tanah dan tidak mencegah terjadinya
kerusahan sumber daya alam serta kelestarian lingkungan;
f) tidak menyampaikan laporan secara tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan dan pengelolaan Hak Guna Usaha;
g) tidak menyerahkan kembali tanah dengan Hak Guna Usaha kepada
negara setelah hak tersebut hapus;
h) tidak menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir
jangka waktunya kepada kantor pertanahan.
2) adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
c. dilepaskan oleh pemegang hak secara sukarela sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan (objek Hak Guna Usaha tidak dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh pemegang hak);
f. tanahnya musnah, misalnya akibat terjadi bencana alam;
g. pemegang hak tidak lagi memenuhi syarat dan tidak melepaskannya
kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak. 17

B. Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah

1. Kewenangan Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan

Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah menyebutkan bahwa yang

berwenang memberikan hak atas tanah adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional

(BPN) yang merupakan pejabat pemerintah pusat yang meliputi Kepala Kantor

17
Ibid, hal. 172
25

Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kanwil BPN Propinsi dan Kepala BPN Pusat

sesuai dengan pelimpahan kewenangan yang diberikan kepada masing-masing

pejabat.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, kewenangan pemberian Hak Guna Usaha

tidak dilimpahkan pada Kantor Kabupaten/Kota, tetapi pada kantor wilayah BPN

Propinsi dan BPN Pusat. Kewenangan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah

oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi hanya terhadap pemberian Hak Guna

Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar (dua ratus hektar),

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

BPN Nomor 3 tahun 1999 bahwa ”Kepala kantor wilayah Badan Pertanahan

Nasional Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas

tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha (dua ratus hektar)”. Dengan demikian

pemberian Hak Guna Usaha di atas tanah yang luasnya lebih dari 200 ha

merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional Pusat.

2. Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha

Syarat-syarat permohonan Hak Guna Usaha atas tanah diatur dalam

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 tentang

Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas tanah Negara dan Hak

Pengelolaan. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. untuk mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah harus diajukan

secara tertulis dan pemohon harus warga negara Indonesia. Jika badan
26

hukum yang mengajukan perrmohonan Hak Guna Usaha, maka badan

hukum tersebut merupakan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan

berdasarkan hukum Indonesia.

2. permohonan yang diajukan harus memuat keterangan mengenai hal-hal

berikut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu :

a. keterangan mengenai pemohon :


1). apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal
dan pekerjannya;
2) apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta
atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data
fisik, yaitu:
1). dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan,
akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan
tanah lainnya;
2). letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur disebutkan
tanggal dan nomornya);
3). jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).
c. keterangan lainnya, yaitu :
1). keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah
yang dimiliki, termasuk bidang tanah yang dimohon;
2). keterangan lain yang dianggap perlu.

3. permohonan harus melampirkan hal-hal sebagaimana yang dijelaskan dalam

Pasal 19 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun

1999, yaitu :

a. foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang


telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan
hukum;
b. rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin
pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
27

d. bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan


kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah
milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;
e. persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman
Modal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi
Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari
Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau
Penanaman Modal Asing;
f. surat ukur apabila ada.

Mengenai syarat izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19

huruf c prosedur untuk mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam pasal 6

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2

tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999, disebutkan bahwa ”Izin Lokasi

adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang

diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai zin

pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha

penanaman modalnya”18 Sedangkan menurut BF. Sihombing, izin lokasi

didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada perusahaan unutk memperoleh

tanah yang telah diberikan pencadangan tanah. 19

Dalam pemberiannya, izin lokasi berdasarkan pertimbangan mengenai

aspek penguasaan dan tehnis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta

penguasaan tanah yang bersangkutan, termasuk juga penguasaan fisik wilayah,

18
CST. Kansil, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria; Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 dan Peraturan Pelaksanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal.837
19
B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT.
Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005, hal. 267.
28

penggunaan tanah serta kemampuan tanah20. Adapun tanah yang dapat ditunjuk

dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang

berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman

modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan berdasarkan persetujuan

penanaman modalnya dan Izin lokasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan

yang sudah mendapatkan persetujuan penanaman modal sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Bila ditinjau jangka waktu pemberian izin lokasi, berdasarkan Pasal 5 ayat

(1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

2 tahun 1999, izin lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut :

a. 1 (satu) tahun : izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha,


b. 2 (dua) tahun : izin lokasi seluas lebih dari 25 ha samapi dengan 50 ha,
c. 3 (tiga) tahun : tahun lokasi seluas lebih dari 50 ha.

Dengan demikian, syarat permohonan mendapatkan Hak Guna Usaha atas

tanah baru dapat diberikan setelah menyelesaikan prosedur mendapatkan izin

lokasi. Dengan kata lain, Hak Guna Usaha atas tanah tidak dapat diberikan

sebelum penyelesaian terhadap pelepasan atau pembebasan hak-hak di atas tanah

yang dimohon, baik berupa hak perorangan atas tanah ataupun perubahan status

hak tertentu yang terdapat di atas tanah tersebut.

20
Hal ini sebagaimana di atur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun 1999.
29

3. Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha

Tata cara pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur dalam Pasal

20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Dalam

Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa : ”permohonan Hak Guna Usaha diajukan

kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan tembusan kepada Kepala

Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah tanah yang

bersangkutan”. Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa ”apabila

tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kotamadya,

maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor

Pertanahan yang bersangkutan”.

Pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan

permohonan kepada Menteri, bukan kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya,

Kepala Wilayah bukanlah pejabat yang berhak memberikan jawaban langsung

atas permohonan yang diajukan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha. Dalam

Pasal 20 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas bahwa calon pemegang

dimungkinkan mengajukan permohonan atas beberapa areal tanah yang tersebar di

tempat berbeda, namun permohonan yang ditujukan kepada Menteri melalui

Kepala Kantor Wilayah harus disampaikan tembusannya kepada Kepala Kantor

Pertanahan di daerah masing-masing tempat areal atanah itu berada. Keputusan

diterima atau ditolaknya permohonan calon pemegang hak tetap berada pada

Menteri dan akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan

cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada pihak yang berhak
30

sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

BPN Nomor 9 tahun 1999.


31

BAB III

PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA KEPADA PT. BUMI

FLORA DI KECAMATAN BANDA ALAM KABUPATEN ACEH TIMUR

A. Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora

1. Riwayat Tanah

Berdasarkan hasil penelitian, tanah yang menjadi objek Hak Guna Usaha

atas nama PT. Bumi Flora sudah ditempati sebagai tempat tinggal oleh warga

sejak masa pendudukan Belanda 21. Pada awalnya desa yang ada di sekitar

tanah/lahan ini adalah Desa Jambo Reuhat, Desa Hagu dan Bukit Kawa. Pada saat

itu warga sudah beraktifitas sebagaimana saat ini. Disamping itu, sarana dan

prasarana umum dan social pun juga sudah tersedia, seperti meunasah yang dibuat

atas dasar swadaya warga dan jalan yang dibangun oleh Belanda serta telah

dimanfaatkan oleh warga desa sebagai sarana transportasi, baik untuk menuju

kota ataupun sebaliknya dan juga sebagai penunjang perekonomian masyarakat

setempat. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1978 jumlah masyarakat desa

Jamboe Reuhat mengalami peningkatan. Menurut Abdul Wahab, bertambahnya

penduduk ini dikarenakan banyaknya orang-orang dari luar desa setempat yang

mulai berdomisili di desa ini. Sejalan dengan pertambahan penduduk sudah tentu

kebutuhan akan tanah juga akan meningkat. Warga bermufakat untuk menentukan

21
Abdul Aziz, Camat Banda Alam Kabupaten Aceh Timur, wawancara 26 Desember 2009
32

daerah tanah/lahan yang akan dibuka untuk jadikan sebagai tempat perluasan

pemukiman penduduk disamping sebagai tempat usaha untuk berkebun. 22

Desa Jambo Reuhat dikelilingi oleh beberapa desa sebagai batasnya. Pada

awalnya, sebelum tanah/lahan warga dimanfaatkan oleh PT. Bumi Flora, sebelah

timur berbatas dengan Desa Alue Ramboet sampai dengan 7 KM dan di batas itu

masih ada tanda pembatas wilayah serta di Desa Alue Ramboet yang saat ini

dijadikan Kantor PT. Bumi Flora, sebelah barat berbatas dengan Desa Seneubok

Bayu, dan sebelah utara berbatas dengan desa Blang Rambong serta sebalah

selatan berbatas dengan Desa Jambo Campli. 23 Menurut Abdul Wahab, dusun-

dusun yang dulunya adalah bagian dari daerah Desa Jamboe Reuhat yang

sekarang telah menjadi areal perluasan perkebunan PT. Bumi Flora adalah dusun

Bukit Jati, Alue Kacang, Bukit Iliek, Alue Sunong, Jamboe Caplie dan Alue

Rambot.24

Menurut Idris, pada saat kondisi keamanan di Aceh mulai memburuk, pada

tahun 1990, warga yang menempati dusun-dusun tersebut pindah ke daerah yang

dianggap aman dan tersebar di beberapa desa yang berdekatan. Namun, pada saat

yang bersamaan, PT. Bumi Flora berupaya memanfaatkan tanah masyarakat

sampai dengan batas desa Blang Rambong. Jadi dengan demikian, desa Jamboe

Reuhat secara keseluruhan wilayahnya akan menjadi areal tanah Hak Guna Usaha

dari PT. Bumi Flora. Pada saat itu, PT. Bumi Flora melakukan upaya pembukaan

22
Abdul Wahab, Kepala Desa Jamboe Reuhat Kecamatan Banda Alam, wawancara
tanggal 2 juli 2008
23
Ibid
24
Opcit, hal ini juga disebutkan dalam Laporan Hukum Konflik Pertanahan antara Petani
Korban dengan PT. Bumi Flora, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda Aceh, 21
Januari 2008.
33

dan pengolahan lahan untuk penanaman karet dan sawit seluas 500 ha.

Pembukaan lahan ini dilakukan dengan cara memanfaatkan lahan warga desa

Jamboe Reuhat untuk keperluan areal Hak Guna Usaha 25.

Warga merasa sangat kecewa dan dirugikan karena pembukaan dan

pengolahan lahan itu dilakukan tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa melalui

mekanisme musyawarah serta tidak diberikan ganti kerugian secara layak.

Akibatnya, warga melakukan penutupan jalan disekitar areal tersebut.26

Dengan demikian, jelaslah bahwa masyarakat Kecamatan Banda Alam telah

menguasai dan memanfaatkan tanah/lahan yang ada didaerah mereka sejak

sebelum PT. Bumi Flora berdiri. Mereka telah mengusahakan tanah tersebut

sebagai sumber penghasilan mereka sejak Indonesia merdeka.

2. Subjek Hak Atas Tanah di Kecamatan Banda Alam

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa masyarakat Kecamatan

Banda Alam telah memanfaatkan dan mengelola areal tanah yang menjadi objek

Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora sejak Indonesia merdeka. Dalam

melakukan pengolahan dan pemanfaatan tanah tersebut, mereka menjadikan usaha

pertanian dan perkebunan sebagai sumber pencaharian utama.

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa PT. Bumi Flora adalah

sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan yang berdiri pada tahun

1987. Sejak didirikan, PT. Bumi Flora senantiasa melakukan upaya

25
Idris, Ketua Forum Perjuangan Rakyat untuk Tanah (FORJERAT); wawancara 3 Juli
2008
26
Idris, Ketua Forum Perjuangan Rakyat untuk Tanah (FORJERAT); wawancara 3 Juli
2008
34

pengembangan perusahaannya, termasuk melakukan upaya untuk mendapatkan

legalitas bagi perusahaan.27 Hal ini dapat dilihat berdasarkan lahirnya Surat

Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 593.4/20377 tanggal 9 Agustus 1989

dengan perihal Permohonan Areal Hutan untuk dikonversi menjadi Hak Guna

Usaha Perkebunan, atas Permohonan PT. Bumi Flora No. 29/BFN-V/1989 tanggal

20 Mei 1989, PT. Bumi Flora mendapatkan persetujuan atas permohonan

pencadangan areal hutan di propinsi di Aceh seluas + 6.500 ha atas nama PT.

Bumi Flora sesuai dengan surat Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

480/Menhut-II/90 tanggal 10 Maret 1990.28

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa masyarakat Kecamatan

Banda Alam Kabupaten Aceh Timur berkeyakinan mereka adalah pihak yang

berhak menguasai dan memanfaatkan areal tanah yang saat ini menjadi areal Hak

Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora. Sedangkan PT. Bumi Flora juga

berprinsip bahwa mereka memiliki legalitas dalam melakukan pemanfaatan lahan

yang mereka usahakan.

3. Pelaksanaan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Bumi Flora

Dengan lahirnya surat persetujuan Menteri Kehutanan RI No. 480/Menhut-

II/90 tanggal 10 Maret 1990, secara tehnis kegiatan-kegiatan dalam rangka

27
Rozali Rohimun, Bagian Hubungan Masyarakat PT. Bumi Flora, wawancara, tanggal 4
Juli 2008
28
Laporan Hukum Konflik Pertanahan antara Petani Korban dengan PT. Bumi Flora,
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda Aceh, 21 Januari 2008, hal. 76
35

Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan PT. Bumi Flora ditindak lanjuti oleh

segenap instansi terkait yang terintegrasi dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. pembentukan Tim Tata Batas yang dibentuk berdasarkan SK Dirjen Intag


No. 97/Kpts/VII-3/91 tanggal 9 September 1991 Tentang Pembentukan
Tim Tata Batas Areal Hutan yang akan dilepaskan untuk tujuan
Perkebunan Karet PT. Bumi Flora seluas + 6.500 Ha di Kelompok Hutan
Kr. Idi, Kr. Tuan Kabupaten Aceh Timur Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
2. pembentukan Tim Tata Batas Areal Hutan untuk tujuan perkebunan PT.
Bumi Flora Kabupaten Aceh Timur yang dibentuk berdasarkan SK
Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 522.04/621/1990 tanggal 31
Desember 1990.
3. pembentukan Panitia Pemerikasaan Tanah “B” Daerah Istimewa Aceh. 29

Pada tanggal 18 Maret 1990, Panitia Pemeriksaan Tanah “B” Propinsi

Daerah Istimewa Aceh yang beralamat di Jalan Laksamana Malahayati No. 18

Banda Aceh melakukan peninjauan ke lapangan, sewaktu diadakan pemeriksaan

ternyata 80% adalah tanah garapan warga. Menurut Idris, atas luas tanah Hak

Guna Usaha yang dimiliki oleh PT. Bumi Flora seluas + 6.500 ha yang

dikeluarkan Dinas Perkebunan, diantara luas tanah tersebut termasuk tanah milik

masyarakat seluas 3500 ha. 30

Selanjutnya, dalam tahun yang sama, Panitia Pemeriksaan Tanah “B”

kembali melakukan peninjauan kembali ke lapangan untuk memeriksa tanah/lahan

areal perkebunan PT. Bumi Flora sehingga pada tanggal 4 Mei 1991

mengeluarkan Risalah Pemeriksaan tanah, bernomor 03/PPT/B/91 dengan

kesimpulan bahwa31:

29
Ibid, hal. 79
30
Idris, Ketua Forum Perjuangan Rakyat untuk Tanah (FORJERAT); wawancara, 3 Juli
2008.
31
Opcit, hal. 96
36

1). areal yang diajukan seluas lebih kurang 6.500 Ha hanya diluluskan untuk
PT. Bumi Flora seluas 3.300 Ha dengan alasan karena tanah tersebut tidak
tersangkut dengan pihak lain maupun dengan kepentingan umum,
2). pemberian Hak Guna Usaha yang dimohon itu hendaknya disertai dengan
syarat-syarat khusus sebagai berikut:
a. pemohon harus menjaga kesuburan dari tanah tersebut,
b. pemohon harus menunjukkan kesungguhan dalam usahanya,
3). melihat letak dan keadaan tanahnya, maka diusulkan untuk membayar uang
pemasukan kepada negara sebesar Rp. 10.000 untuk tiap Ha, sesuai dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 1975.
4). ganti rugi tersebut hendaknya ditentukan untuk dibayar sekaligus dalam
waktu 6 (enam) bulan.

Menurut Hanafiah, risalah pemeriksaan ini ditandatangani oleh Kepala

Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai ketua

merangkap anggota yaitu Djufri, S.H, Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Dinas

Perkebunan Prop. Daerah Istimewa Aceh sebagai anggota yaitu Ir. Zainoeddin

Andib, Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai anggota yaitu Ir. Nirwan Jailani, Pejabat yang ditunjuk

oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai anggota

Abdullah M. Jam, BA, Pejabat yang ditunjuk oleh Bupati Kepala Daerah Tk.II

Aceh Timur sebagai anggota Drs. T. Burhan Sabil dan Pejabat yang ditunjuk oleh

Kepala kantor Wilayah BPN Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Sekretaris

bukan anggota yaitu T. Murdani, S.H.32

Pada saat Panitia Pemeriksa Tanah “B” melakukan peninjauan ke lapangan,

warga menunjukkan luas tanah yang telah mereka manfaatkan sejak sebelum

berdirinya PT. Bumi Flora. Dalam hal ini, sebagaimana disampaikan oleh Idris,

32
Hanafiah, Kepala Seksi Pengkajian Sengketa /Konflik Pertanahan BPN Provinsi NAD,
wawancara tanggal 11 November 2009.
37

masyarakat tidak ingin tanah yang telah mereka usahakan sebagai sumber

penghasilan digunakan oleh pihak lain sehingga menyulitkan mereka dalam

memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, PT. Bumi Flora tidak menyampaikan

kepada masyrakat bahwa tanah mereka akan dijadikan sebagai areal perkebunan

dengan status Hak guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora. 33

Dalam rangka pembukaan lahan dan penanaman pohon karet sebagaimana

dispensasi yang diberikan, PT Bumi Flora berpedoman pada :

a. surat Dispensasi Intag No. 807/VII-3/1991 tanggal 25 Juli 1991 tentang


Dispensasi Pembukaan Lahan Tahap I seluas + 1.100 Ha di Aceh yang
berbunyi antara lain : “Pembukaan Lahan dimulai pada areal yang kosong
dan semak belukar”.
b. arahan dari Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh No. 9831/II/KWA-6/91 tanggal 26 November 1991 perihal
Dispensasi Pembukaan Lahan Tahap II seluas + 1.000 Ha di Aceh angka 2
yang berbunyi “Untuk mencegah kegiatan penggarapan lahan dari
masyarakat di sekitar areal yang dimohon, kami mendukung diberikan
dispensasi pembukaan lahan tahap II, sehingga dengan adanya aktivitas
perusahaan dapat mengendalikan penggarapan oleh masyarakat.”
Selanjutnya, sesuai dengan dipensasi pebukaan lahan tahap II dari Dirjen
Intag No. 41/VII-3/1992, tanggal 8 Januari 1992 telah pula dibuka kebun
seluas + 1.000 sehingga dengan demikian total dispensasi pembukaan
lahan adalah + 2.100 h

Proses Pelepasan Kawasan Hutan oleh PT. Bumi Flora berlangsung dalam

jangka waktu tidak kurang dari lima tahun dengan melibatkan segenap aparat,

petugas, pejabat pemerintah maupun tokoh dan masyarakat setempat dari dusun

sampai dengan Menteri Kehutanan RI. Pada tahun 1993 lahir SK Menteri

Kehutanan RI No. 173/Kpts-II/93 tanggal 27 Pebruari 1993 tentang Pelepasan

Sebagian Kelompok Hutan Kr. Idi, Kr. Tuan yang terletak di Kabupaten Daerah

Tingkat II Aceh Timur Propinsi Daerah Istimewa Aceh seluas + 6.235 (enam ribu
33
Idris, Ketua Forum Perjuangan Rakyat untuk Tanah (FORJERAT); wawancara 3 Juli
2008
38

dua ratus tiga puluh lima) hektar untuk usaha budi daya perkebunan atas nama PT.

Bumi Flora, dan pada tahun 1994 PT. Bumi Flora mendapatkan Hak Guna Usaha

berdasarkan sertifikat HGU No. 98 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan

Nasional Kabupaten Aceh Timur tanggal 17 November 1994 dengan luas lahan

3.875,42 Ha.34

Berdasarkan penjelasan sebagaimana tersebut di atas, dalam proses

pelaksanaan pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora, terdapat

tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur, yaitu :

1) tidak adanya musyawarah antara masyarakat yang merupakan

parapemegang hak atas tanah dan pihak perusahaan dalam upaya penetapan

besarnya ganti kerugian,

2) dalam proses mendapatkan areal tanah dengan status Hak Guna Usaha untuk

usaha perkebunannya, PT. Bumi Flora tidak melakukan upaya ganti

kerugian secara layak atas areal tanah/lahan masyarakat yang terkena

perluasan areal tanah perkebunannya.

3) Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora tidak sesuai dengan izin lokasi.

B. Penyimpangan yang Terjadi dalam Pemberian Hak Guna Usaha kepada

PT. Bumi Flora

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu, dalam proses

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora terdapat tindakan yang tidak

34
Ibid, hal. 80
39

sesuai prosedur, yaitu tidak dilakukannya musyawarah antara masyarakat dan

pihak perusahaan, tidak adanya pemberian ganti kerugian secara layak kepada

terhadap tanaman atau benda-benda lain yang berada di atas areal tanah yang

dijadikan sebagai areal Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora, dan tidak

sesuainya areal tanah yang menjadi objek Hak Guna Usaha dengan izin lokasi.

Ad. 1. Tidak adanya musyawarah antara masyarakat yang merupakan

parapemegang hak atas tanah dan pihak perusahaan dalam upaya

penetapan besarnya ganti kerugian.

Dalam penetapan besarnya ganti kerugian, proses musyawarah dengan

mengedepankan itikad baik guna menetapkan persetujuan bersama antar

parapihak sangat diperlukan. Dengan adanya pelaksanaan musyawarah tersebut ,

maka sangat diharapkan akan menghasilkan kesepakatan yang menjunjung nilai

keadilan dan mencerminkan penghargaan terhadap hak atas tanah.

Sehubungan dengan hal ini, Muhammad, Sekretaris Umum Forum

Perjuangan Tanah Untuk Rakyat (FORJERAT) menyatakan bahwa : ”dalam

rangka penetapan ganti kerugian kepada masyarakat, besarnya biaya ditentukan

secara sepihak tanpa diadakan perundingan dengan warga, sehingga warga tidak

bersedia menerima ganti kerugian tersebut karena tidak ada pelibatan masyarakat

dalam penetapannya”.35

Berdasarkan hasil wawancara di atas, menunjukkan bahwa dalam proses

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora terdapat tindakan yang tidak

sesuai dengan ketentuan hukum, yaitu adanya penetapan besarnya ganti kerugian
35
Muhammad, Sekretaris Umum Forum Perjuangan Tanah Untuk Rakyat (FORJERAT),
wawancara tanggal 3 Juli 2008.
40

secara sepihak oleh PT. Bumi Flora dan tidak diadakannya musyawarah dengan

pemilik lahan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 Keppres Nomor 55/1993

tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum.

Ad.2. Tidak adanya pemberian ganti kerugian secara layak atas areal tanah/lahan

masyarakat yang terkena perluasan areal tanah perkebunan atas nama PT.

Bumi Flora.

Terhadap bidang tanah yang telah diterbitkan sertifikat Hak Guna Usaha

Nomor 98 atas nama PT. Bumi Flora, terdapat permasalahan yang muncul seiring

dengan penerbitan sertifikat tersebut. Permasalahan ini muncul karena proses

ganti kerugian tidak terlaksana denga baik. Bahkan, menurut Zakaria Umar, dalam

pertemuan yang diselenggarakan di Kantor Camat Idi Rayeuk dengan tujuan

untuk dilakukan pemberian ganti kerugian harga tanah, uang yang dibayarkan saat

itu tidak didasarkan pada seberapa luas tanah dan tanaman di atasnya dan kepada

seluruh masyarakat yang lahannya menjadi objek Hak Guna Usaha PT. Bumi

Flora hanya dibayarkan biaya upah jerih payah tanaman sebesar Rp. 100.000,-

yang ditetapkan secara sepihak oleh PT. Bumi Flora tanpa melalui tahapan

musyawarah. Namun, masyarakat terpaksa menerima pembayaran tersebut dan

pembayaran itu dilakukan secara bertahap. Pada saat pengambilan uang, setiap

warga di foto dengan tujuan sebagai bukti bahwa pembayaran ganti kerugian telah
41

dilakukan36. Adapun pihak yang hadir dalam pertemuan itu adalah sebagai berikut

a. Jakfar Latief : Camat Idi Rayeuk


b. Abu Bakar : Koramil Idi Rayeuk
c. H. Razali Rohimun : Direktur PT. Bumi Flora
d. H. Nuh : Karyawan PT.Bumi Flora
e. H. Helmi Mahera : Komisaris Utama PT. Bumi Flora
f. Kasem : Keuchik Desa Blang Rambong
g. Razali : Keuchik Desa Jambo Reuhat

Menurut Abdul Aziz, walaupun masyarakat menerima pembayaran ganti

kerugian tersebut, namun masyarakat tetap merasa dirugikan, sehingga inilah yang

menjadi penyebab berkembangnya persoalan antara masyarakat dan PT. Bumi

Flora37. Seperti yang disampaikan oleh Muhammad AR, besarnya ganti rugi

tanah/lahan yang diperoleh disamaratakan tanpa mempertimbangkan luas bidang

tanah. Untuk luas tanah 1 Ha atau 2 Ha ataupun sampai dengan 6 Ha, harga tanah

sama yaitu sebesar Rp. 100.000. Namun ternyata uang yang sebesar Rp. 100.000

kembali dipotong sehingga yang diterima oleh warga hanya Rp.70.000, Sampai

Rp.80.000. 38

Menurut Marzuki, persoalan yang terjadi antara masyarakat kecamatan

Banda Alam dan PT. Bumi Flora terjadi hanya karena ekses pembayaran Imbalan

Jerih Payah Tanaman (IJPT) yang tidak tuntas. Menurutnya, faktor pendukung

yang menyebabkan persoalan ini semakin melebar adalah faktor lapangan kerja

36
Zakaria Umar, warga Desa Jamboe Reuhat yang areal tanahnya menjadi salah satu
objek perluasan areal Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora, wawancara tanggal 4 Juli 2008.
37
Abdul Aziz, Camat Idi Rayeuk, wawancara tanggal 4 Juli 2008.
38
Muhammad AR, warga Desa Jamboe Reuhat yang areal tanahnya menjadi salah satu
objek perluasan areal Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora, wawancara tanggal 3 Juli 2008.
42

dan ketersediaan lahan bagi masyarakat sebagai petani. Solusi yang ditawarkan

oleh Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan mengenai hal

ini adalah melibatkan pemerintah dalam proses penyelesaian persoalan agar pihak

PT. Bumi Flora bersedia melaksanakan kewajibannya dalam hal pelaksanaan

pembayaran ganti kerugian sebagai tindak lanjut pembayaran ganti kerugian tahun

198939.

Menurut Maria Sumardjono, ganti kerugian tidak hanya terhadap kerugian

yang bersifat fisik (kehilangan tempat tinggal, bangunan, tanaman atau benda-

benda lain yang terkait dengan tanah), namun juga meliputi ganti kerugian

terhadap kerugian yang bersifat non fisik, misalnya hilangnya hilangnya bidang

usaha, pekerjaan, sumber penghasilan atau sumber pendapatan lainnya 40.

Sehingga diperlukan adanya rincian mengenai bentuk ganti kerugian yang bersifat

non-fisik tersebut, berupa misalnya: penyediaan lahan usaha pengganti, persiapan

alih kerja, penyediaan lapangan kerja dan lain sebagainya.

Penetapan besarnya ganti kerugian untuk kerugian yang bersifat fisik harus

didasarkan pada nilai pengganti, yang ditetapkan melalui berbagai cara penilaian

sehingga taraf hidup masyarakat sesudah menerima pembayaran ganti kerugian

setidaknya setara dengan keadaan sebelumnya.

Dengan demikian, tidak adanya pemberian ganti kerugian secara layak atas

areal tanah/lahan masyarakat yang terkena perluasan areal tanah perkebunan atas

nama PT. Bumi Flora merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan

39
Anggota tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan, dalam Laporan
Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan Propinsi NAD, Banda Aceh, 2008.
40
Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008, ha.273.
43

hukum yang berlaku. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 40 tahun 1996 telah ditegaskan bahwa pemegang Hak Guna Usaha

dibebankan untuk memberikan ganti kerugian atas bangunan/tanaman yang ada di

areal tanah tersebut kepada pemilik/pemegang hak sebelumnya yang

keberadaannya sah secara hukum.

Ad.3. Hak Guna Usaha atas nama PT. Bumi Flora Tidak Sesuai dengan Izin Lokasi

Salah satu ketentuan yang harus dipenuhi oleh setiap calon pemegang Hak

guna Usaha adalah mengajukan permohonan secara tertulis yang dalam

permohonannya juga melampirkan izin lokasi atau surat izin penunjukan

penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana Tata

Ruang Wilayah. Sehubungan dengan ini, objek Hak Guna Usaha atas nama PT.

Bumi Flora tidak sesuai dengan izin lokasi yang ada. Hal ini terlihat dari tanah

Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT. Bumi Flora seluas + 6.500 ha yang

dikeluarkan Dinas Perkebunan, termasuk tanah milik masyarakat seluas 3500 ha.

Sedangkan dalam Pasal Pasal 19 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan disebutkan bahwa

permohonan Hak Guna Usaha harus melampirkan izin lokasi atau surat izin

penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah serta bukti pemilikan dan atau bukti perolehan

tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta

pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
44

C. Akibat Hukum dari Pemberian Hak Guna Usaha kepada PT.Bumi Flora

Sesuai dengan fungsinya untuk mengatur ekehidupan masyarakat, maka

penegakan hukum sangatlah diperlukan. Dengan berjalannya hukum, maka tata

kehidupan masyarakat akan berjalan sebagaimana mestinya sehingga sengketa

dalam bentuk apapun (termasuk sengketa pertanahan) dapat dihindari.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa areal tanah dengan status

Hak Guna Usaha yang dikelola oleh PT. Bumi Flora terdapat kesalahan prosedur

dalam perolehannya. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidakpastian hak dan

ketidakpastian hukum atas tanah tersebut, sehingga menimbulkan akibat sebagai

berikut:

a. masyarakat yang menyatakan bahwa tanah yang saat ini dikelola oleh PT.

Bumi Flora adalah milik mereka berdasarkan bukti dokumentatif historis,

adapun bukti-bukti tersebut adalah sebagai berikut :

1) bukti fisik, yaitu :

a) untuk Dusun Alue Sentang, Pelita Jati, Alue Krueng, Alue Ramboet,

Alue Jeurimee, Jaya Alur dan Alue Rawang, bukti fisiknya adalah

tanaman karet dan sawit,

b) untuk Dusun Jambo Capli dan Alue Seunong bukti fisik yang ada

adalah meunasah,

c) untuk dusun Dusun Bukit Jati bukti fisik yang ada adalah kuburan dan

Meunasah.
45

2) bukti surat atau dokumen, yaitu :

a. bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan

b. surat Keterangan Garapan dari Kepala Desa

c. surat Pernyataan warga tentang Kepemilikan Tanah Garapan 41

b. PT. Bumi Flora juga bersikukuh bahwa lahan tersebut adalah lahan yang

dikuasai secara sah berdasarkan aturan hukum yang berlaku berdasarkan

bukti dokumentatif yuridis berupa izin Hak Guna Usaha dan beberapa

dokumentasi lainnya, yaitu:

1) Surat keputusan Menteri Kehutanan No.173/KTPS-II/93 tanggal 27

Februari 1993, tentang pelepasan hak sebagian kelompok hutan Kr. Idi,

Kr. Tuan yang terletak di Kabupaten TK.II Aceh Timur, Propinsi Daerah

Istimewa Aceh seluas 6.235 Ha untuk usaha daya perkebunan atas nama

PT. Bumi Flora.

2) SK. Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor: 21/ HGU/ BPN/ 1994 tanggal

10 Mei 1994.

3) Sertifikat HGU No.98 yang dikeluarkan dan diterbitkan Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Timut tanggal 17

November 1994 dengan luas lahan 3.875,42 Ha untuk selama 30 tahun

dan lokasi terletak di Desa Jambo Reuhat, Desa Alue Lhok dan Desa

Simpang Damar, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur.

41
Mardiati, Koordinator LBH Banda Aceh Pos Langsa, wawancara tanggal 3 Juli 2008
46

4) Sertifikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Kabupaten Aceh Timur tentang Hak Guna Usaha (HGU) No. 103 pada

tanggal 5 Agustus 1996 seluas 4.483,2 Ha yang terletak di Desa Alue

Minyeuk/Alue Meudang.

5) Surat Pernyataan ikhlas masyarakat, tokoh dan pemuka masyarakat

Kecamatan Idi Rayeuk yang ditandatangani oleh Q.A Muthalib

6) Surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa Alue Lhok,

Hafidsyam pada hari Kamis, 14 Januari 1990

7) Berita acara penyerahan dan penerimaan uang pembayaran dan

penyelesaian masalah lahan garapan masyarakat Desa Alue Lhok dengan

perusahaan perkebunan PT. Bumi Flora yang ditanda tangani oleh

Kepala Desa Alue Lhok, Hafidsyam sebagai pihak yang menerima uang

dan Ir. H. Bustami Ganie sebagai pihak yang menyerahkan uang pada

hari Kamis, 14 Januari 1990;

8) Surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa Buket Kuta, M.

Yunus Arsyad pada hari sabtu, 9 Januari 1990,

9) Berita acara penyerahan dan penerimaan uang pembayaran penyelesaian

masalah lahan garapan masyarakat/penduduk Desa Buket Kuta dengan

perusahaan perkebunan PT. Bumi Flora yang ditanda tangani oleh

Kepala Desa Buket Kuta, M. Yunus Arsyad sebagai pihak yang

menerima uang dan Ir. H. Bustami Ganie sebagai pihak yang

menyerahkan uang pada hari Sabtu, 9 Januari 1990;


47

10) Surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa Buket Kuta, M.

Yunus Arsyad. Kepala Desa Seuneubok Buya, Yusuf Usman. Kepala

Desa Lhok Leumak, Usman Ali pada hari Rabu, 6 Januari 1990.

c. adanya gugatan yang ditujukan oleh masyarakat kecamatan Banda Alam

kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab dalam hal pelaksanaan

pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora, yaitu :

1. Camat Idie Rayeuk (Jakfar Latif)


2. Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Timur. Hal yang disampaikan
adalah pemanfaatan tanah tanah/lahan warga dan Koperasi Berdikari
oleh PT. Bumi Flora secara sepihak.
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK) Aceh Timur.
4. pada tahun 1993, warga mengirimkan surat kepada Gubernur Daerah
Istimewa Aceh, dengan perihal pembayaran ganti rugi yang sesuai.
5. pada tahun 1994, warga mengirimkan surat kepada camat Idi Rayeuk
(Mahyudin)
6. pada tanggal 28-29 November 1994, warga mengirim surat kepada
Bakrostranasda sumbagut di Medan, perihal ganti rugi tanah yang
dimanfaatkan oleh PT. Bumi Flora.
7. pada tanggal 20 Juni 1998, warga kembali mengirim surat kepada
Gubernur Daerah Istimewa Aceh, dengan perihal tuntutan
pengembalian tanah yang dimanfaatkan oleh PT. Bumi Flora.
8. pada tanggal 12 Desember 1998, diadakan pertemuan dengan Muspida,
Tripida dan PT. Bumi Flora di Gedung SD Buket Cok, Desa Lhok
Leumak (Sekarang sudah berada dalam areal PT. Bumi Flora dan
tinggal sisa bangunan). Hal mencari masukan dari warga mengenai
persoalan permasalahan pertanahan yang dihadapi guna mencari
penyelesaiannya.
9. pada tanggal 16 Desember 1998, diadakan pertemuan dengan Muspida
dan Muspika, PT. Bumi Florta besertakepala desa dari tujuh desa yang
tanah dikuasai oleh PT. Bumi Flora. Pertemuan ini diadakan dengan
tujuan melaksanakan pembagian uang sebesar Rp.30.000.000 setiap
desa sebagai uang kemanusian.
10. pada tanggal 20 Mei 1999, warga mengirim surat kepada ketua DPRK
TK.I Daerah Istimewa Aceh, dengan perihal tuntutan pengembalian
tanah warga yang dimanfaatkan oleh PT. Bumi Flora.
48

Menurut Muhammad Ali Daud, beberapa surat yang disampaikan oleh

warga, ada diantaranya ditanggapi oleh pihak terkait, antara lain 42:

1. tanggal 6 Januari 1993, Gubernur Daerah Istimewa Aceh mengirimkan

surat yang bernomor. 759.22/298 kepada Bupati Aceh Timur yang

bernama M. Noeh. AR, Perihal ganti rugi tanah garapan warga

Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur oleh PT. Bumi Flora.

2. surat yang warga sampaikan pada tanggal 20 juni 1998 ditanggapi oleh

Gubernur Aceh dengan mengeluarkan surat pada tanggal 23 September

1998, Bernomor 593.4/21771, bersifat kilat, Perihal Tuntutan

pengembalian tanah warga yang dimanfaatkan oleh PT. Bumi Flora

kepada Bupati Kepala Daerah Tk.II Aceh Timur di Langsa

3. pada tanggal 29 Oktober 1998, Bupati Aceh Timur menyampaikan surat

kepada warga agar hadir pada tanggal 5 Nopember 1998, Pukul 10.00

Wib bertempat di Ruang Asisten tata Praja Setwilda TK.II Aceh Timur.

4. selanjutnya pada tanggal 9 Desember 1998 bertempat di Langsa, Bupati

Kepala Daerah TK.II Aceh Timur kembali mengundang warga yang

menuntut agar tanah garapannya yang telah dimanfaatkan oleh PT. Bumi

Flora dikembalikan kepada pemiliknya, antara lain warga Desa Alue

Lhok, Desa Jambo Reuhat, Desa Lhok Leumak dan Desa uket Peulawi,

untuk hadir pada hari sabtu tanggal 12 Desember 1998, jam 0.8.00 WIB,

bertempat di ruangan Asisten Tata Praja Setwilda TK.II Aceh Timar.

42
Muhammad Ali Daud, Pengurus Forum Perjuangan rakyat Untuk Tanah (FORJERAT),
wawancara tanggal 3 Juli 2008
49

5. pada hari Jumat tanggal 18 Desember 1998 Camat Idi Rayeuk membuat

dan mengeluarkan berita acara Hasil Pertemuan Penyelesaian

Sengketa/Garapan Masyarakat yang telah dimanfaatkan menjadi areal

HGU oleh PT. Bumi Flora di Kecamatan Idi Rayeuk, berdasarkan surat

Bupati Kdh TK.II Aceh Timur Nomor 13557/005 tanggal 16 Desember

1998, bertempat di Aula Bupati Kdh. TK.II Aceh Timur.43

d. masyarakat tidak dapat mengusahakan dan mempergunakan tanah yang

tersebut secara efektif untuk keperluan hidupnya.

Dalam mempertahankan tanah/lahannya dan menuntut ganti kerugian yang

sesuai, warga pernah melakukan beberapa upaya, seperti melakukan aksi unjuk

rasa, negosiasi dan menyampaikan surat ke beberapa instansi terkait. Selain itu,

warga juga dibantu oleh pihak-pihak lain. Namun, baik upaya warga maupun

pihak lain mengalami kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor,

antara lain karena kondisi keamanan daerah yang tidak kondusif, adanya ancaman

dan tekanan terhadap warga. Sehingga, pada tahun 2007 warga melaporkan

persoalan ini ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan

Hukum Banda Aceh Pos Langsa (YLBHI-LBH BNA Pos Langsa).

Usaha-usaha untuk menghindari terjadinya masalah atau sengketa hak-hak

atas tanah sebenarnya dapat dilakukan secara preventif pada saat permohonan

pemberian hak di proses.44 Tindakan yang bersifat pencegahan ini akan lebih

efektif dibandingkan dengan usaha penyelesaian sengketa apabila masalah

43
Mustiqal Syahputra, Staff LBH Banda Aceh, wawancara, tanggal 3 Januari 2010.
44
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991,
hal.17
50

tersebut telah berkembang menjadi suatu kasus. Persengketaan di atas areal Hak

Guna Usaha pada hakikatnya tidak akan terjadi jika pemohon hak dan instansi

terkait benar-benar memperhatikan data tentang tanah secara seksama

sebagaimana yang tercantum dalam aturan hukum, baik mengenai data fisik dan

data yuridis dari tanah yang bersangkutan. Data fisik yang dimaksud antara lain

menyangkut letak, batas dan luas tanah. Adapun data yuridis yang tidak dapat

dikesampingkan adalah status hak atas tanah, maknanya adalah ada atau tidaknya

hak atau kepentingan dari pihak lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.
51

BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan terhadap

identifikasi masalah yang diutarakan pada bab terdahulu, pada bab ini dapat

dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Dalam pelaksanaan pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Bumi Flora di

Kecamatan Banda Alam Kabupaten Aceh Timur terdapat tindakan yang

tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini dikarenakan

adanya penguasaan tanah oleh PT. Bumi Flora yang sebelumnya tanah

tersebut telah dikuasai dan digarap oleh masyarakat dalam jangka waktu

yang sangat lama. Penguasaan dan penggarapan tanah yang telah memakan

waktu yang sangat lama ini telah menghasilkan sistem dan tatanan sosial

seperti adanya struktur pemerintahan gampong dan bangunan-bangunan

publik seperti meunasah, sekolah dan mesjid yan berada dalam areal tanah

yang dikelola oleh PT. Bumi Flora.

2. Penegasan hukum terhadap objek Hak Guna Usaha adalah tanah negara

menjadikan proses penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha PT. Bumi Flora

menjadi cacat hukum, karena sebelum sertifikat Hak Guna Usaha tersebut

diterbitkan untuk areal tersebut, objek tanah yang bersangkutan telah

terdapat pemukiman dan tanah yang digarap oleh parapetani dan pekebun.
52

3. PT. Bumi Flora dalam mengupayakan perolehan dan penguasaan tanah

dengan status Hak Guna Usaha tidak melakukan pembayaran ganti kerugian

secara layak dan areal objek Hak Guna Usaha tidak sesuai dengan izin

lokasi.

B. Saran

1. Kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Gubernur

Pemerintah Aceh dan Bupati Aceh Timur dengan melibatkan Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten Aceh Timur agar melakukan peninjauan kembali sertifikat Hak

Guna Usaha PT. Bumi Flora, yaitu Sertifikat HGU No. 98 yang diterbitkan

oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Timur tanggal 17

November 1994 dengan luas lahan 3.875 ha dengan masa berlaku selama 30

tahun dengan lokasi yang terletak di desa Jamboe Reuhat, desa Alue Lhok

dan desa Simpang Damar kecamatan Idi Rayeuk kabupaten Aceh Timur.

Termasuk dengan melakukan pengukuran ulang terhadap luas tanah

sehingga diketahui secara jelas batas-batas tanah areal Hak Guna Usaha PT.

Bumi Flora dan tanah masyarakat.

2. Kepada PT. Bumi Flora agar melakukan upaya ganti kerugian secara layak

terhadap tanah dan benda di atasnya yang telah dimanfaatkan. Hal ini

dikarenakan ganti kerugian yang pernah dilakukan pada tahun 1989 tidak

layak dan masih menimbulkan permasalahan.


53

You might also like