Professional Documents
Culture Documents
CEDERA KEPALA
I. PENDAHULUAN
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting berikut
ini :
1. Umur penderita, waktu dan mekanisme cedera.
2. Status respiratorik dan kardiovaskuler (terutama tekanan darah)
3. Pemeriksaan minineurologis yang terdiri dari Glasgow Coma Scale (GCS)
terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil.
4. Adanya cedera penyerta serta jenis cedera penyerta .
5. Hasil pemeriksaan diagnostik seperti pemeriksaan radiologis terutama CT Scan
II. ANATOMI
1. Skin (kulit).
2. Connective Tissue (jaringan penyambung).
3. Aponeurosis (galea aponeurotika adalah jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak).
4. Loose areolar tissue (jaringan penunjang longgar).
5. Perikranium.
Terdiri dari kalvarium dan basis kranii (berbentuk tidak rata dan tidak teratur
sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar
otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi.), dan di regio
temporal adalah tipis (dilapisi oleh otot temporalis).
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior (tempat lobus
frontalis), fosa media (tempat lobus temporalis) dan fosa posterior (ruang bagi
batang otak bawah dan serebelum).
C. Meningen
1. durameter
Adalah selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak
melekat dengan selaput araknoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan
potensial (ruang subdural : sering dijumpai perdarahan subdural).
2. araknoid
3. piamater
D. Otak
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang
bekerja dengan tangan kanan, namun juga pada 85% orang yang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicfra (area bicara motorik).
Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang
bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporalis
kiri tetap merupakan lobus yang dominan karena bertanggung jawab dalam
kemampuan berbicara. Lobus temporalis yang non-dominan relatif tidak
banyak berfungsi aktif. Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi
dalam penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbran), pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistim aktivasi retikulasi yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada
pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di
bawahnya.. Lesi yang kecil saja pada batang' otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Namun demikian lesi-lesi di batang otak sering
tidak tampak jelas pada CT Scan kepala.
E. Cairan Serebrospinalis
F. Tentorium
Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut Girus Unkus. Herniasi
Unkus juga menyebabkan penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada
otak tengah. Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah
menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan
pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai
sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial
terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun
tidak selalu. Tidak jarang, lesi masa yang terjadi, menekan dan mendorong
otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebeli dan
mengakibatkan herniplegia dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematoma intrakranialnya (sindroma Lekukan Kernohan).
III. FISIOLOGI
A. Tekanan Intrakranial
B. Doktrin Monro-Kellie
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial,karena TIK
umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar pada
kurva berapa banyak volume lesi masanya.
gambar 1
DOKTRIN MONRO-KELLIE
Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap pada garis
datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai melewati titik
dekompensasi.
gambar 2
KURVA VOLUME - TEKANAN
IV. KLASIFIKASI
B. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Nilai GCS
juga dipergunakan balam menilai tingkat kesadaran penderita akibat berbagai
penyebab lain.
Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13
dianggap sebagai cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dianggap sebagai cedera kepala ringan. Hal penting dalam penilaian GCS
adalah menggunakan nilai respons motorik pada sisi yang terbaik, namun
dicatat respons pada kedua sisinya.
C. Morfologi Cedera
1. Fraktur Kranium
Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak , dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan
teknik "Jendela Tulang" (bone window)untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (Raccoon eyes sign),
ekimosis retro aurikuler (Battle's Sign), kebocoran CSS (rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat
fragmen tulang yang menekan ke dalam, - lebih dart tebal tulang kalvaria,
biasanya memerlukan tindakan pembedahan. Fraktur kranium terbukanya
atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Keadaan ini
memerlukan tindakan pembedahan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Pada penderita sadar, bila
ditemukan fraktur linier pada kalvaria, meningkatkan kemungkinan
adanya perdarahan intrakranial sampai 400 kali. Pada penderita koma
kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier
adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang
sudah lebih tinggi. Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan
kebocoran CSS baik melalui hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga
(otofrhea). Fraktur ini juga sering menyebabkan paresis nervus fasialis
yang dapat terjadi segera setelah cedera atau timbul beberapa hari
kemudian. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis lebih
baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.
2. Lesi intrakranial
a. Perdarahan epidural
b. Perdarahan subdural
d. Cedera difus
tabel 1
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
tabel 2
GLASGOW COMA SCALE (GCS)
gambar 3
CT SCAN PERDARAHAN INTRAKRANIAL
Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan
kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat
diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap
658 penderita dengan cedera kepala ringan yang mengalami kehilangan kesadaran
sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18% terdapat abnormalitas pada
pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan tindakan
pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan
yang abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS
13 diklasifikasi sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542
penderita dengan CT scan Kepala normal pada saat masuk rumah sakit
menunjukan perburukan neurologis ataupun memerlukan tindakan operatif.
Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus dengan CT scan awal
yang normal timbul lest masa beberapa jam kemudian.
Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera kepala
tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan
maka dokter harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi
kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara
air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing.
Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak pada 3% penderita
sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%. Kalvaria 3 kali lebih sering
mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak
tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi
adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi
khusus.
Foto ronsen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa pegal di
leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti Kepala
acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat
nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka
Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan
Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik dalam
urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan medikolegal.
Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa kembali ke
rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu
bagi keluarganya. Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita
selama sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera
dibawa kembali ke rumah sakit (lihat Tabel 3, Lembar Instruksi Penderita Cede
Kepala di luar RS). Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi
penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya tidak
dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan evaluasi
secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang bila tidak
terdapat gejala perbutukan. Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka
penderita harus dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat
penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai dengan perubahan status,
neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di rumah sakit semula maka,
penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah
saraf. Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau
segera dilakukan bila keadaan memburuk.
algoritme 1
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN
(Dipetik dengan ijin dari Valadka AB, Narayan RK : Emergency room management
of the head injured patient, in Narayan RK. Willberger JE. Povlishock TT (eds) :
Neurotrauma, New York. Mc.Graw-Hill. 1996, p.123)
tabel 3
INSTRUKSI BAGI PENDERITA CEDERA KEPALA DI LUAR RS
Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es diatas selembar
kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah dibantu
dengan kantung es, segera hubungi RS.
Anda boleh makan dan minum seperti biasa namun tidak diperbolehkan minum minuman
yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera.
Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen
sedikitnya 24 jam setelah . cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat
dihubungi di nomor telepon : ........................
Nama dokter : .......................... . ...................
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera kepala
sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana,
namun biasanya mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai
defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari penderita
cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Karena itu,
penderita-penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai 'penderita
cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi. Namun
demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.
Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT
scan kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam
penelitian terhadap 341 penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus
menunjukan gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya
memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus dirawat untuk observasi
walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status neurologis penderita
membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa
hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip
penatalaksanaanya menjadi sama dengan penatalaksanaan penderita dengan
cedera kepala berat.
algoritme 2
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG
Setelah dirawat :
• Pemeriksaan neurologis periodik
• Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan.
2. Sirkulasi
B. Secondary Survey
C. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan yang teliti tentang respon reaksi cahaya pupil dan ukuran
diameter pupil sangatlah penting dilakukan pada tahap awal pemeriksaan
penderita dengan cedera kepala berat (Lihat Tabel 7, Interpretasi
Pemeriksaan Pupil pada Cedera Kepala) Tanda awal suatu Herniasi Lobus
Temporalis adalah dilatasi ringan pupil atau reaksi cahaya papil yang
melambat.
D. Prosedur-Prosedur Diagnosis
Advanced Trauma Life Support kadang dapat tar.ipak juga pada CT Scan
teknik iaringan lunak. Penemuan penting dalam CT Scan kepala adalah
adanya perdarahan intra kranial dan pergeseran garis tengah (efek masa)
(Lihat Gambar 3, CT Scan pada hematoma intra-kranial). Septum
pelusidum yang terletak di antara kedua ventrikel lateralis seharusnya
terletak di tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara krista galli di
bagian anterior dan Inion di bagian posterior. Derajat pergeseran septum
pelusidum terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala
yang tertera di samping hasil scan. Pergeseran aktual 5 mm atau lebih
umumnya dianggap cukup bermakna pada penderita cedera kepala dan
biasanya merupakan indikasi tindakan pembedahan (Lihat Apendiks 4,
Pemeriksaan Radiologis).
tabel 4
PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT
tabel 5
LOKASI KEHILANGAN DARAH YANG SERING TERJADI PADA
PENDERITA CEDERA MULTIPEL
Terlihat Tertutup
1. Laserasi kulit kepala l. Intra / retro peritoneal
2. Cedera Maksilofasial 2. Hematotoraks
3. Fraktur Terbuka 3. Hematoma pelvis
4. Cedera jaringan lunak lain 4. Perdarahan pada fraktur tulang tulang
panjang
5. Perdarahan subgaleal atau ekstra dural
pada bayi
6. Raptur aorta traumatik
algoritme 3
DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA
TDS (2) Lmal (>100 mm Hg) TDS (3,4) 1 abnormal (< 100 mm Hg)
DPL / CT Abdomen
Pada kasus borderline misalnya TDS dapat dikoreksi sementara tetapi cenderung untuk menurun,
harus diupayakan memperoleh hasil CT Scan kepala sebelum penderita dibawa ke kamar operasi untuk
seliotomi. Kasus seperti ini memerlukan keputusan klinis dan kerja sama yang baik antara ahli bedah
trauma dan ahli bedah saraf.
Catatan Algoritme 3 :
1. Semua penderita cedera kepala berat yang koma harus dilakukan resusitasi (ABCDE) saat tiba di
UGD
2. TDS=Tekanan Darah Sistolik. Segera setelah TD normal, lakukan pemeriksaan minineurologis
(GCS & Reaksi cahaya pupil). Bila TD tidak dapat dinormalkan. catat hasit pemeriksaan
miruneurologik dan tekanan darahnya.
3. Bila TDS tidak dapat diperbaiki sampai diatas 100 mm Hg walaupim telah dilakukan resusitasi
cairan secara agresif; prioritasnya sekarang adalah mencari penyebab hipotensinya; dan evaluasi
neurosirurgis merupakan prioritas kedua. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound
di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomv. Dan CT scan kepala dilakukan setelah
seliotomy. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu masa intra kranial maka dilakukan ventrikulografi
udara. Eksplorasi lubang bor atau craniotomy di kamar operasi sementara seliotomy sedang
berlangsung.
4. Bila TDS > 100 nun Hg setelah resusitasi dan terdapat gejala-gejala suatu lesi masa intrakranial
(pupil anisokor, hemip4esis) maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan
di UGD, yang CT Scan atau kamar operasi namun evaluasi neurologis dan tindakannva tidak
boleh tertunda
tabel 6
CEDERA SISTEMIK PADA 100 KASUS CEDERA KEPALA BERAT
Bila herniasi semakin memburuk, dilatasi pupil akan diikuti dengan ptosis dan paresis
musculus rektus medialis dan muskulus okulus lainnya yang mendapat persarafan oleh
nervus kranialis ketiga. Sehingga penderita akan menunjukkan gejala klasik Paresis N. III
yaitu mata menjadi jatuh dan berputar keluar.
Keadaan dilatasi pupil bilateral dan pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya dapat
disebabkan oleh perfusi otak yang tidak mencukupi atau yang lebih jarang adalah Paresis N.
III bilateral. Bila perfusi otak kembali normal maka gejala-gejala tersebut akan hilang. Pupil
yang tidak bereaksi dengan cahaya langsung tetapi bereaksi terhadap cahaya pada mata sisi
yang lain (pupil Marcus-Gunn) adalah gejala klasik cedera pada Nervus optikus. Pupil yang
kecil bilateral merupakan gejala efek obat-obat (terutama derivat opiat), ensepalopati
metabolik atau lesi destruktif pada pons. Pada keadaan ini untuk memeriksa reaksi cahaya
pupil digunakan lensa dengan dioptri 20+ pada alat optalmoskop.
Paresis N. III traumatika adalah suatu diagnosis pada penderita dengan riwayat pupil dilatasi
yang terjadi segera setelah cedera, tingkat kesadaran yang membaik dan kelemahan otot bola
mata yang sesuai. Pupil mata yang berdilatasi lebar tidak jarang disebabkan oleh cedera
langsung pada bola mata. Midriasis traumatika ini biasanya ditemukan pada satu sisi dan
tidak disertai paresis otot bola mata lainnya. Bila terjadi Paresis N. VI dimana musculus
rektus lateralis menjadi lumpuh maka bola mata akan berdeviasi ke medial pada saat tes
Doll's eye atau tes kalori dilakukan. Paresis N.IV tidak dapat.dideteksi pada penderita koma.
tabel 7
INTERPRETASI PEMERIKSAAN PUPIL PADA PENDERITA CEDERA
KEPALA
Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya bila
sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian.
A. Cairan intravena
Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal.
Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak
yang, harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi.
C. Hiperventilasi
C. Manitol
D. Furosemide (Lasix ®)
E. Steroid
F. Barbiturat
G. Antikonvulsan
Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh
besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan
adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan
dura.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam
keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.
Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar
operasi.
Dalam keadaan itu tindakan trepanasi darurat (emergency burr holes) dapat
dikerjakan oleh seorang ahli bedah yang pernah dilatih untuk melakukan
prosedur itu.
X. PROGNOSIS
Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah
saraf. Terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki Oaya
pemulihan yang baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan
yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.
X. RINGKASAN
A. Pada penderita dalam koma, amankan dan pertahankan airway dengan
intubasi endotrak_eal.
B. Hiperventilasi moderat untuk mengembalikan hiperkarbia, pertahankan PC02
antara 25-35 mm Hg (3,3 - 4,7 kPa)
C. Atasi syok secara agresif dan cari penyebabnya.
D. Resusitasi dengan larutan garam fisiologis, RL atau larutan isotonik yang
sejenis yang tidak mengandung dekstrosa. Jangan menggunakan larutan
hipotonik.
E. Hindari hipovolemia dan overhidrasi. Tujuan dalam cedera kepala adalah
tercapainya keadaaan nomovolemi. Hindari penggunaan obat paralisis yang
berefek lama. Lakukan pemeriksaan minineurologis setelah tekanan darah
sebelum melakukan paralisis penderita. Cari adanya cedera lain. Singkirkan
adanya cedera servikal secara radiologis dan klinis. Bila dibuat beberapa foto
ronsen.
F. Hubungi ahli bedah saraf secepat mungkin, bila mungkin sebelum penderita,
tiba di UGD. Bila ahli bedah saraf tidak ada di fasilitas anda, segera rujuk
semua penderita cedera kepala berat dan cedera kepala sedang
G. Lakukan pemeriksaan dan evaluasi status neurologis penderita secara
periodik.
Skills Station IX
PENATALAKSANAAN DAN PEMERIKSAAN
CEDERA KEPALA DAN LEHER
TUJUAN
Setelah menyelesaikan latihan dalam stasiun ini seorang peserta akan mampu untuk:
1. Mendemostrasikan pemeriksaan dan keterampilan mendiagnosis dalam
menentukan enis dan beratnya cedera pada Mr. HURT (Manikin cedera kepala).
2. Menyebutkan pentingnya tanda-tanda klinik dan gejala-gejala cedera kepala
yang dijumpai dari pemeriksaan penderita.
3. Menentukan prioritas penatalaksanaan primer penderita cedera kepala
4. Memilih pemeriksaan diagnostik lain yang diperlukan untuk menentukan area
cedera otaknya dan luasnya cedera.
5. Mendemonstrasikan cara melepas helm sambil melindungi vertebra servikal
penderita.
6. Melakukan pemeriksaan secondary survey dan menentukan nilai GCS melalui
skenario dan dialog interaktif dengan instruktur.
7. Membaca CT Scan normal dan abnormal pada penderita cedera kepala dan
menentukan pola cederanya.
2. Kulit kepala
Evaluasi bagian kulit kepala akan adanya suatu kontusio atau pembengkakan
yang mecupakan petunjuk tempat benturan/trauma.
A. Tengkorak
Perhatikan adanya fraktur tengkorak
1. Garis sutura, sambungan antara tulang-tulang kranium dapat menyerupai
suatu fraktur.
2. Fraktur tengkorak depresi (tebalnya tengkorak) yang memerlukan konsultasi
bedah saraf.
3. Fraktur terbuka harus dikonsultasikan ke bedah saraf. Luka tembus peluru
tampak menunjukkan gambaran jalannya pergerakan peluru dalam jaringan
otak berupa jaringan berdensitas rendah.
D. Ventrikel
4. Perhatikan ukuran dan simetri dari ventrikel
5. Lesi masa yang cukup bermakna akan menekan dan merubah bentuk
ventrikel, terutama ventrikel lateralis.
6. TIK yang cukup bermakna sering disertai dengan gambaran ukuran
ventrikel yang menyempit.
7. Perdarahan intra ventrikuler tampak sebagai regio-regio hiperdensitas
(titik yang cerah) dalam rongga ventrikel.
E. Pergeseran
Pergeseran garis tengah dapat terjadi akibat suatu hematoma atau edema yang
menekan septum pelusidum yang terletak diantara ventrikel lateralis, bergeser
menjauhi garis tengah. Garis tengah adalah garis yang menghubungkan l:rista
Galli di anterior dan Inion yaitu proyeksi posterior puncak tentorium serebeli.
Setelah mengukur jarak pergeseran antara septum pelusidum dan garis tengah
maka untuk memperoleh nilai mutlaknya,
dilakukan koreksi dengan skala pada film CT Scan. Pergeseran lebih dari 5
mm merupakan petunjuk adanya lesi masa dan perlunya suatu tindakan
pembedahan dekompresi.
F. Maksilofasial
8. Periksa tulang-tulang wajah terhadap adanya krepitus akibat fraktur.
9. Periksa sinus-sinus dan udara dalam sinus mastoideus akan adanya
gambaran batas udara-air.
10. Fraktur tulang wajah, fraktur sinus, dan gambaran batas udara-air dalam
sinus mastoideus merupakan indikasi suatu fraktur dasar tengkorak.
B. Penolong kedua memotong atau melepaskan tali helm pada cincin Dnya. :
F. Setelah helm terlepas, imobilisasi lurus manual dimulai dari atas, kepala dan
leher penderita diamankan selama penatalaksanaan pertolongan jalan napas.
G. Bila upaya melepaskan helm menimbulkan rasa nyeri dan parestesia maka
helm harus dilepas dengan meni;wnakan gunting gips. Bila dijumpai tanda-
tanda cedera vertebra servikalis pada foto ronsen, maka melepaskan helm
harus menggunakan gunting gips. Pada kepala dan leher tetap dilakukan
imobilisasi dan stabilisasi selama prosedur ini, yang biasanya dikerjakan
dengan memotong helm pada bidang koroner melewati kedua daun telinga.
Lapisan luar yang kaku dapat dilepaskan dengan mudah di lapisan dalam
yang terbuat dari styrofocrm kemudian disayat dan dilepaskan dari depan.
Sementara kepala dan leher tetap dipertahankan dalam posisi netral, bagian
posterior helm dilepaskan.
Variabel Nilai I
Respon buka mata (M) Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon Motorik Terbaik (M) Menuruti perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik dari nyeri) 4
Fleksi Abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi Abnormal 2
Tidak ada 1
Respon Verbal (V) Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tak teratur 3
Suara tak jelas 2
Tidak ada 1