You are on page 1of 45

1

CEDERA KEPALA

I. PENDAHULUAN

Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan
kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary
survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan,
dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

Untuk rujukan penderita cedera kepala, perlu dicantumkan informasi penting berikut
ini :
1. Umur penderita, waktu dan mekanisme cedera.
2. Status respiratorik dan kardiovaskuler (terutama tekanan darah)
3. Pemeriksaan minineurologis yang terdiri dari Glasgow Coma Scale (GCS)
terutama nilai respon motorik dan reaksi cahaya pupil.
4. Adanya cedera penyerta serta jenis cedera penyerta .
5. Hasil pemeriksaan diagnostik seperti pemeriksaan radiologis terutama CT Scan

Created by dr. Doni Kurniawan


2

II. ANATOMI

A. Kulit Kepala (Scalp)

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan (SCALP) :

1. Skin (kulit).
2. Connective Tissue (jaringan penyambung).
3. Aponeurosis (galea aponeurotika adalah jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak).
4. Loose areolar tissue (jaringan penunjang longgar).
5. Perikranium.

Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium


dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup
lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.

B. Tulang Tengkorak (Kranium)

Terdiri dari kalvarium dan basis kranii (berbentuk tidak rata dan tidak teratur
sehingga cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian dasar
otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi.), dan di regio
temporal adalah tipis (dilapisi oleh otot temporalis).

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior (tempat lobus
frontalis), fosa media (tempat lobus temporalis) dan fosa posterior (ruang bagi
batang otak bawah dan serebelum).

Created by dr. Doni Kurniawan


3

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak

1. durameter

Adalah selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Duramater tidak
melekat dengan selaput araknoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan
potensial (ruang subdural : sering dijumpai perdarahan subdural).

Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada


permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins (dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural). Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah
menjadi 2 lapis membentuk sinus yang mengalirkan darah vena dari otak.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya lebih dominan di sebelah
kanan. Sinus-sinus ini dapat pecah pada cedera kepala dan mengakibatkan
perdarahan hebat. Perdarahan sinus sagitalis superior pada 1/3 anterior
dapat diligasi dengan aman bila diperlukan. Namun ligasi pada 2/3
posterior sinus ini akan sangat berbahaya karena menyebabkan infark vena
pada otak dan kenaikan tekanan intra kranial yang refrakter yang sulit
diatasi.

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan tabula interna


tengkorak (terletak pada ruang epidural). Jalannya arteri-arteri ini dapat
tampak pada foto polos tengkorak karena membuat alur pada tabula
interna tengkorak. Laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. araknoid

Terdapat di bawah duramater yang tipis dan tembus pandang

3. piamater

Melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal


bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piamater dalam ruang
subaraknoid. Bila terjadi perdarahan sub araknoid maka darah bebas akan
berada dalam ruang ini (umumnya disebabkan oleh pecahnya aneurysma
intra kranial atau akibat cedera kepala).

Created by dr. Doni Kurniawan


4

D. Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.

Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan dura mater yang berada di inferior sinus sagitalis
superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang
bekerja dengan tangan kanan, namun juga pada 85% orang yang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan. Lobus frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicfra (area bicara motorik).
Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang
bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporalis
kiri tetap merupakan lobus yang dominan karena bertanggung jawab dalam
kemampuan berbicara. Lobus temporalis yang non-dominan relatif tidak
banyak berfungsi aktif. Lobus oksipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi
dalam penglihatan.

Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan


dan terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang
otak dan kedua hemisfer serebri.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbran), pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistim aktivasi retikulasi yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada
pusat vital kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di
bawahnya.. Lesi yang kecil saja pada batang' otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Namun demikian lesi-lesi di batang otak sering
tidak tampak jelas pada CT Scan kepala.

E. Cairan Serebrospinalis

Dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 30


ml/jam. Pleksus khoroideus terletak terutama dalam ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen Monro ke dalam ventrikel
ketiga. Selanjutnya dalam ventrikel II melanjutkan diri melalui akuaduktus
dari Sylvius menuju ventrikel ke-empat. Selanjutnya keluar dari sistim
ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi
vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial (hidrosefalus komunikans).

Created by dr. Doni Kurniawan


5

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial


(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan
hemisfer serebri dan batang otak (pons dan medula oblongata) dan berjalan
melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus
okulomotorius (saraf otak ke III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini
dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang umumnya diakibatkan oleh
adanya masa supratentorial atau edema otak.

Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata


berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut ini
yang disebabkan oleh penekanan akan mengakibatkan dilatasi pupil karena
aktivitas serabut simpatik tidak dihambat. Bila penekanan ini terus berlanjut
akan menimbulkan paralisis total okulomotorik yang menimbulkan gejala
deviasi bola mata ke lateral dan bawah ("down and out").

Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial
adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut Girus Unkus. Herniasi
Unkus juga menyebabkan penekanan traktus piramidalis yang berjalan pada
otak tengah. Traktus piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah
menuju sisi berlawanan pada level foramen magnum, sehingga penekanan
pada traktus ini menyebabkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral.
Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai
sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan intrakranial
terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi, walaupun
tidak selalu. Tidak jarang, lesi masa yang terjadi, menekan dan mendorong
otak tengah ke sisi berlawanan pada tepi tentorium serebeli dan
mengakibatkan herniplegia dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematoma intrakranialnya (sindroma Lekukan Kernohan).

Created by dr. Doni Kurniawan


6

III. FISIOLOGI

A. Tekanan Intrakranial

Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang


mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita. Jadi, kenaikan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi
adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah
utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mm Hg (13b mm H20),
TIK lebih tinggi dari 20 mm Hg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40
mm Hg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah
cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.

B. Doktrin Monro-Kellie

Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika


TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin
mekar.

TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial,karena TIK
umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.

Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar pada
kurva berapa banyak volume lesi masanya.

Created by dr. Doni Kurniawan


7

gambar 1
DOKTRIN MONRO-KELLIE

KOMPENSASI INTRAKRANIAL TERHADAP MASA YANG


EKSPANSI

Doktrin Monro-Kellie : Kompensasi Intrakranial terhadap masa yang berkembang .


Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan masa seperti
adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSF dan darah vena keluar dari
ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila
mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa yang sedikit saja
akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam, seperti tampak pada gambar 2 Kurva
Volume-Tekanan.

Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap pada garis
datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai melewati titik
dekompensasi.

Created by dr. Doni Kurniawan


8

gambar 2
KURVA VOLUME - TEKANAN

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera


kepala adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya
Tekanan Perfusi Otak (TPO) adalah indikator yang sama pentingnya
dengan TIK.

TPO mempunyai formula sebagai berikut:


TPO = TA - TIK
(TAR = Tekanan Arteri Rata-rata ; Mean arterial pressure)

TPO kurang dari 70 mm Hg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang


buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi
ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang
normal. Beberapa penderita tertentu bahkan membutuhkan tekanan darah
yang diatas normal untuk mempertahankan TPO yang adekuat.

Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam


penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

Created by dr. Doni Kurniawan


9

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

ADO normal ke dalam otak kira-kira SOmL/100 gr jaringan otak per


menit. Bila ADO menurun sampai 20-ZS mL/100 gr/menit maka aktivitas
EEG akan hilang dan pada ADO Sml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami
kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma,
fenomena autoregulasi mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan
apabila tekanan arteri ratarata 50-160 mm Hg. Bila tekanan arteri rata-rata
di bawah 50 mm Hg, ADO menurun curam dan bila tekanan arteri rata-
rata di atas 160 mm Hg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan
ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan
pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia sebagai akibat
hipotevnsi yang tiba-tiba.

Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan


eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada
penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat
hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan
tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.

Created by dr. Doni Kurniawan


10

IV. KLASIFIKASI

A. Mekanisme Cedera Kepala

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,


jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh
peluru atau tusukan.

Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk


cedera tembus atau cedera tumpul.

B. Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Nilai GCS
juga dipergunakan balam menilai tingkat kesadaran penderita akibat berbagai
penyebab lain.

Koma didefinisikan bila penderita tidak mampu melaksanakan perintah, tidak


dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat membuka mata. Penderita yang
mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita
yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata
sama sekali nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3

Sebenarnya istilah koma tidak dapat dinyatakan dengan tepat apabila


memakai GCS. Namun sebanyak 90% penderita dengan nilai GCS sama atau
kurang dari menilai secara kuantitatif 8 adalah dalam keadaan koma, dan tidak
satupun penderita dengan nilai GCS diatas 9 akan dalam keadaan koma, , bila
memakai definisi koma seperti tersebut di atas. Karenanya nilai GCS lebih
kecil atau sama dengan 8 dianggap sesuai dengan definisi koma.

Berdasarkan nilai GCS maka penderita cedera kepala dengan nilai GCS 9-13
dianggap sebagai cedera kepala sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-
15 dianggap sebagai cedera kepala ringan. Hal penting dalam penilaian GCS
adalah menggunakan nilai respons motorik pada sisi yang terbaik, namun
dicatat respons pada kedua sisinya.

Created by dr. Doni Kurniawan


11

C. Morfologi Cedera

CT scan secara dramatis merubah klasifikasi cedera kepala dan


penatalaksanaannya. Penderita cedera kepala yang mengalami perburukan
yang cepat, baik neurologis maupun hemodinamik dapat saja dioperasi tanpa
CT scan, namun mayoritas penderita akan memerlukan CT scan sebelum
tindakan operatif. Bahkan pemeriksaan CT scan yang berturut-turut (serial)
sangatlah penting, karena penderita cedera kepala sering mengalami
perubahan-perubahan morfologis dalam waktu beberapa jam, hari atau
minggu. Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas Fraktur Kranium
dan Lesi Intrakranial.

1. Fraktur Kranium

Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak , dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan
teknik "Jendela Tulang" (bone window)untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-
tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (Raccoon eyes sign),
ekimosis retro aurikuler (Battle's Sign), kebocoran CSS (rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis. Sebagai patokan umum bila terdapat
fragmen tulang yang menekan ke dalam, - lebih dart tebal tulang kalvaria,
biasanya memerlukan tindakan pembedahan. Fraktur kranium terbukanya
atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Keadaan ini
memerlukan tindakan pembedahan segera. Adanya fraktur tengkorak
merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Pada penderita sadar, bila
ditemukan fraktur linier pada kalvaria, meningkatkan kemungkinan
adanya perdarahan intrakranial sampai 400 kali. Pada penderita koma
kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier
adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang
sudah lebih tinggi. Fraktur dasar tengkorak sering disertai dengan
kebocoran CSS baik melalui hidung (rhinorrhea) atau melalui telinga
(otofrhea). Fraktur ini juga sering menyebabkan paresis nervus fasialis
yang dapat terjadi segera setelah cedera atau timbul beberapa hari
kemudian. Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus fasialis lebih
baik pada keadaan paresis yang terjadi beberapa waktu kemudian.

Created by dr. Doni Kurniawan


12

2. Lesi intrakranial

Lesi ini diklasifikasi dalam lesi fokal dan lesi difus

Cedera lesi fokal yaitu perdarahan epidural, perdarahan subdural dan


kontusio (atau perdarahan intra cerebral).

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT scan yang


normal namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan
dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya dan lamanya
koma, maka cedera difus dikelompokkan menurut Kontusio Ringan,
Kontusio Klasik dan Cedera Aksonal Difus (CAD).

a. Perdarahan epidural

Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga


tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo-parietal yang
disebabkan oleh robeknya a.meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak. Gumpalan darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh
arteri, namun pada sepertiga kasus dapat terjadi akibat perdarahan
vena, karena tidak jarang perdarahan epidural terjadi akibat robeknya
sinus venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada fosa
posterior.
Perdarahan epidural bila ditolong segera pada tahap dini, prognosisnya
sangat baik karena kerusakan langsung akibat penekanan gumpalan
darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada
penderita perdarahan epidural berkaitan langsung dengan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan
perdarahan epidural dapat menunjukan adanya "Interval Lucid" yang
klasik atau keadaan dimana penderita yang semula mampu bicara lalu
tiba-tiba meninggal (talk and die).

Created by dr. Doni Kurniawan


13

b. Perdarahan subdural

Sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak


antara korteks serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara,
namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat
dan prognosis lebih buruk daripada perdarahan epidural.

c. Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri hampir selalu berkaitan dengan perdarahan subdural


akut. Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan lobus
termporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak,
termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio
dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio
serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami
evolusi membentuk perdarahan intra serebral.

d. Cedera difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera


akselerasi dan deselerasi (bentuk yang sering terjadi pada cedera
kepala). Komosio serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap
tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat.
Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia (pulih kembali tanpa gejala sisa sama
sekali). Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia antegrad (keadaan
amnesia pada peristiwa-peristiwa sebelum dan sesudah cedera)
Komosio serebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung
beberapa waktu lamanya dan reversibel. Dalam definisi klasik
penderita ini akan kembali sadar dalam waktu kurang dari 6 jam.
Banyak penderita dengan komosio serebri klasik pulih kembali tanpa
cacat neurologis selain amnesia terhadap peristiwa yang terjadi (pada
beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa

Created by dr. Doni Kurniawan


14

waktu). Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing,


mual, anosmia, dan depresi serta gejaa lainnya (gejala-gejala ini
dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat).
Cedera aksonal difus (Diffirse Axonal 1tjury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleti suatu lesi masa atau serangan iskemia.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala
dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan
cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita-penderita sering
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis
dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
Membedakan antara cedera aksonal difus dan cedera otak karena
hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang kedua keadaan
tersebut sering terjadi bersamaan

Created by dr. Doni Kurniawan


15

tabel 1
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

• Tumpul • Kecepatan tinggi


(tabrakan mobil)
• Kecepatan rendah
Mekanime (jatuh, dipukul)
• Tembus • Cedera peluru
• Cedera tembus lain.
• Ringan • GCS 14-15
• Sedang • GCS 9-13
Beratnya • Berat • GCS 3-8
• Fraktur tengkorak • Kalvaria • Garis-bintang
• Depresi-non depresi
• Terbuka-tertutup
• Dasar tengkorak • Dengan/tanpa kebocoran
CSS
Morfologi • Dengan/tanpa paresis N.
VII
• Lesi intracranial • Fokal • Epidural
• Subdural
• Difus • Intraserebral
• Komosio ringan
• Komosio kiasik
• Cedera akson difus

Created by dr. Doni Kurniawan


16

tabel 2
GLASGOW COMA SCALE (GCS)

Jenis pemeriksaan Nilai


Respon buka mata ((Eye opening, E)
Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1

Respon motorik terbaik (M)


Ikut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggauta yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau (bingung) 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1
Nilai GCS = (M+M+V), nilai terbaik = 15_ nilai terburuk = 3.

Created by dr. Doni Kurniawan


17

gambar 3
CT SCAN PERDARAHAN INTRAKRANIAL

CT scan kepala normal Perdarahan epidural

Kontusio Fronto temporal Perdarahan subdural akut


Disertai pergeseran Disertai pergeseran hebat

Created by dr. Doni Kurniawan


18

V. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS=14-15)

Kira-kira 80 % penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala akan


termasuk dalam cedera kepala ringan. Penderita-penderita tersebut sadar namun
dapat mengalami amnesia terhadap hal-hal yang bersangkutan dengan cedera
yang dialaminya. Dapat disertai riwayat hilangnya kesadaran yang singkat namun
sulit untuk dibuktikan terutama bila disertai minum alkohol atau di bawah
pengaruh obat-obatan.

Sebagian besar penderita cedera kepala ringan pulih sempurna, walaupun


mungkin ada gejala sisa yang sangat ringan. Namun sebanyak 3% mengalami
perburukan yang tidak terduga, dengan akibat disfungsi neurologis yang berat,
yang seharusnya dapat dicegah dengan penemuan perubahan kesadaran yang lebih
awal.

Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit
kepala hebat. Namun bila pemeriksaan CT scan tidak dapat dilakukan segera dan
kondisi penderita tanpa gejala neurologis dan sadar penuh maka penderita dapat
diobservasi selama 12-24 jam di rumah sakit. Dalam suatu penelitian terhadap
658 penderita dengan cedera kepala ringan yang mengalami kehilangan kesadaran
sementara atau amnesia, dijumpai sebanyak 18% terdapat abnormalitas pada
pemeriksaan awal CT scan dan 5% diantaranya memerlukan tindakan
pembedahan, sedangkan 40% penderita dengan GCS 13 mempunyai CT scan
yang abnormal dan 10% memerlukan tindakan pembedahan, oleh karena itu GCS
13 diklasifikasi sebagai cedera kepala sedang. Tidak seorangpun dari 542
penderita dengan CT scan Kepala normal pada saat masuk rumah sakit
menunjukan perburukan neurologis ataupun memerlukan tindakan operatif.
Walaupun demikian mungkin saja pada beberapa kasus dengan CT scan awal
yang normal timbul lest masa beberapa jam kemudian.

Dewasa ini, pemeriksaan foto ronsen kepala hanya dilakukan pada cedera kepala
tembus atau bila CT scan tidak tersedia. Bila pemeriksaan foto ronsen dilakukan
maka dokter harus menilai hal-hal berikut ini : (1) fraktur liner/depresi, (2) posisi
kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah (bila terkalsifikasi), (3) batas udara
air pada sinus-sinus, (4) pneumosefalus, (5) fraktur tulang wajah, (6) benda asing.
Pada cedera kepala ringan dijumpai adanya fraktur tengkorak pada 3% penderita
sedangkan pada cedera kepala berat sampai 65%. Kalvaria 3 kali lebih sering
mengalami fraktur daripada dasar tengkorak. Fraktur dasar tengkorak sering tidak
tampak pada foto ronsen kepala, namun adanya gejala klinis seperti ekimosis
periorbital, rhinorea, otorea, hemotimpani atau Battle's sign merupakan indikasi
adanya fraktur dasar tengkorak dan penderita harus dirawat dengan observasi
khusus.

Created by dr. Doni Kurniawan


19

Foto ronsen servikal dilakukan bila penderita mengeluh nyeri atau rasa pegal di
leher. Bila diperlukan dapat diberikan obat anti nyeri non narkotik seperti Kepala
acetaminophen, walaupun dapat juga diberikan kodein pada keadaan yang sangat
nyeri. Suntikan toksoid tetanus secara rutin diberikan pada setiap luka terbuka
Bila tidak ada cedera lain, pemeriksaan darah rutin tidak perlu dilakukan
Pemeriksaan kadar alkohol dalam darah dan pemeriksaan zat-zat toksik dalam
urine sangat berguna baik untuk diagnostik maupun untuk tujuan medikolegal.
Penderita cedera kepala ringan yang memungkinkan untuk dibawa kembali ke
rumah sakit bila memburuk dapat dipulangkan dengan nasihat-nasihat yang perlu
bagi keluarganya. Pada keluarga penderita diberikan lembar observasi penderita
selama sedikitnya 12 jam dan bila terdapat tanda-tanda perburukan agar segera
dibawa kembali ke rumah sakit (lihat Tabel 3, Lembar Instruksi Penderita Cede
Kepala di luar RS). Bila tidak ada keluarga yang dapat dipercaya untuk observasi
penderita dan CT scan pun tidak tersedia, maka penderita sebaiknya tidak
dilakukan observasi di rumah sakit selama beberapa jam dan dilakukan evaluasi
secara periodik mengenai fungsi neurologisnya dan dibolehkan pulang bila tidak
terdapat gejala perbutukan. Bila pada CT scan jelas terdapat lesi masa, maka
penderita harus dirawat oleh seorang ahli bedah saraf dan mendapat
penatalaksanaan selama beberapa hari sesuai dengan perubahan status,
neurologisnya. Bila ahli bedah saraf tidak ada di rumah sakit semula maka,
penderita harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki seorang ahli bedah
saraf. Pemeriksaan CT scan ulang perlu dilakukan sebelum penderita pulang atau
segera dilakukan bila keadaan memburuk.

Created by dr. Doni Kurniawan


20

algoritme 1
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi : Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15)


Riwayat :
• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan • Tingkat kewaspadaan
• Mekanisme cedera • Amnesia: Retrograde, Antegrade
• Waktu cedera • Sakit kepala : ringan, sedang, berat
• Tidak sadar segera setelah cedera • Kejang

Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik.


Pemeriksaan neurologis terbatas.
Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi.
Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine.
Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pada setiap penderita ringan, kecuali bila
memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

Observasi atau dirawat di RS Dipulangkan dari RS


• CT scan tidak ada • Tidak memenuhi kriteria rawat.
• CT scan abnormal • Diskusikan kemungkinan kembali
• Semua cedera tembus ke bila memburuk dan berikan
• Riwayat hilang kesadaran, lembar observasi.
• Kesadaran menurun • Jadwalkan untuk kontrol ulang di
• Sakit kepala sedang-berat poliklinik biasanya setelah j
• Intoksikasi alkohoUobat-obatan minggu
• Fraktur tengkorak
• Rhinorea-otorea
• Cedera penyerta yang bermakna
• Tak ada keluarga di rumah
• Tidak mungkin kembali ke RS segera
• Amnesia

(Dipetik dengan ijin dari Valadka AB, Narayan RK : Emergency room management
of the head injured patient, in Narayan RK. Willberger JE. Povlishock TT (eds) :
Neurotrauma, New York. Mc.Graw-Hill. 1996, p.123)

Created by dr. Doni Kurniawan


21

tabel 3
INSTRUKSI BAGI PENDERITA CEDERA KEPALA DI LUAR RS

KAMI TELAH MEMERIKSA DAN TERNYATA TIDAK DITEMUKAN INDIKASI BAHWA


CEDERA KEPALA ANDA SERIUS. NAMUN GEJALA-GEJALA BARU DAN KOMPLIKASI
YANG TIDAK TERDUGA DAPAT MUNCUL DALAM BEBERAPA JAM ATAU BEBERAPA
HARI SETELAH CEDERA. 24 JAM PERTAMA ADALAH WAKTU YANG KRITIS DAN ANDA
HARUS TINGGAL BERSAMA KELUARGA ATAU KERABAT DEKAT ANDA SEDIKITNYA
DALAM WAKTU ITU. BILA KELAK TIMBUL GEJALA-GEJALA BERIKUT SEPERTI
TERTERA DI BAWAH INI MAKA ANDA HARUS SEGERA MENGHUBUNGI DOKTER ANDA
ATAU KEMBALI KE RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam
selama periode tidur).
2. Mual dan muntah.
3. Kejang.
4. Perdarahan atau keluar cairan dari hidung atau telinga.
5. Sakit kepala hebat.
6. Kelemahan atau rasa baal pada lengan atau tungkai.
7. Bingung atau perubahan tingkah laku.
8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-
gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola nafas yang tidak biasa.

Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es diatas selembar
kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau telah dibantu
dengan kantung es, segera hubungi RS.

Anda boleh makan dan minum seperti biasa namun tidak diperbolehkan minum minuman
yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari setelah cedera.

Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen
sedikitnya 24 jam setelah . cedera. Jangan minum obat mengandung aspirin.
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat
dihubungi di nomor telepon : ........................
Nama dokter : .......................... . ...................

Created by dr. Doni Kurniawan


22

VI. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)

Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera kepala
sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana,
namun biasanya mereka tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai
defisit neurologis fokal seperti hemi paresis. Sebanyak 10-20% dari penderita
cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Karena itu,
penderita-penderita cedera kepala sedang harus diperlakukan sebagai 'penderita
cedera kepala berat, walaupun tidak secara rutin dilakukan intubasi. Namun
demikian airway harus selalu diperhatikan dan dijaga kelancarannya.

Pada saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT
scan kepala selalu dilakukan pada setiap penderita cedera kepala sedang (dalam
penelitian terhadap 341 penderita dengan GCS 9-13, ternyata 40% kasus
menunjukan gambaran abnormal pada CT scan inisial ini dan 8% diantaranya
memerlukan tindakan pembrdahan). Penderita harus dirawat untuk observasi
walaupun gambaran CT scan-nya normal. Bila status neurologis penderita
membaik dan CT scan berikutnya tidak menunjukan adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan maka penderita dapat dipulangkan beberapa
hari kemudian. Tetapi bila penderita jatuh dalam koma, maka prinsip
penatalaksanaanya menjadi sama dengan penatalaksanaan penderita dengan
cedera kepala berat.

Created by dr. Doni Kurniawan


23

algoritme 2
PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih


mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS : 9-13).
Pemeriksaan awal :
• Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana
• Pemeriksaan CT scan kepala
• Dirawat untuk observasi

Setelah dirawat :
• Pemeriksaan neurologis periodik
• Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk atau bila penderita
akan dipulangkan.

Bila kondisi membaik (90%) Bila kondisi memburuk (10%)


• Pulang • Bila penderita tidak mampu melakukan
• Kontrol di poliklinik. perintah-perintah lagi, segera lakukan
pemeriksaan CT scan ulang dan penatalak-
sanaan sesuai protocol cedera kepala berat.

Created by dr. Doni Kurniawan


24

VII. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS: 3-8)

Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-


perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi.
Walaupun definisi ini mencakup berbagai jenis cedera kepala, tetapi
mengidentifikasikan penderita-penderita yang mempunyai resiko besar
menderita morbiditas dan mortalitas yang berat. Pendekatan "Tunggu dulu"
pada penderita-penderita cedera kepala berat sangat berbahaya, karena
diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting.

A. Primary survey dan Resusitasi

Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Dalam suatu


penelitian terhadap 100 penderita yang berurutan dengan cedera kepala
berat yang dilakukan evaluasi pada saat tiba di UGD diperoleh data 30%
penderita dengan hipoksemia (P02 < 65 mm Hg atau 8,7 kPa), 13%
dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 95 mm Hg), dan 12% anemia
(Ht < 30%). Penderita cedera kEpala berat dengan hipotensi mempunyai
mortalitas 2 kali lebih banyak dart pada penderita tanpa hipotensi (60% vs
27%). Adanya hipoksia pada penderita yang disertai dengan hipotensi
akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera kepala berat harus
dilaksanakan secepatnya.

1. Airway dan Breathing


Pada cedera kepala sering terjadi gangguan terhentinya pernafasan yang
sementara. Apnea yang berlangsung lama sering merupakan penyebab
kematian langsung di tempat kecelakaan.

Aspek yang sangat penting pada penatalaksanaan segera penderita


cedera kepala berat ini adalah Intubasi endotrakeal. Penderita
mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang
tepat terhadap Fio2.

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita


cedera kepala berat. Walaupun hal ini dapat digunakan sementara untuk
mengkoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita
dengan pupil yang telah berdilatasi, tindakan hiperventilasi ini tidak selalu
menguntungkan (Lihat VIII.B, Hiperventilasi), Hiperventilasi dapat di
lakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat yang
menunjukkan perburukan GCS atau timbulnya dilatasi pupil. pCO2
harus dipertahankan antara 25-35 mm Hg (3,3 - 4,7 kPa).

Created by dr. Doni Kurniawan


25

2. Sirkulasi

Seperti telah diuraikan di atas, hipotensi dan hipoksia adalah penyebab


utama terjadinya perburukan pada penderita cedera kepala berat.
Karenanya bila terjadi hipotensi maka harus segera dilakukan tindakan
untuk menormalkan tekanan darahnya. Hipotensi biasanya tidak
disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal
dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan.

Yang lebih sering terjadi adalah bahwa hipotensi merupakan petunjuk


adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. (Lihat
Tabel 5, Lokasi yang sering terjadi kehilangan darah pada Cedera
Multipel). Penyebab lainnya adalah Trauma Medula Spinalis (Tetraplegia
atau Paraplegia), kontusio jantung atau tamponade jantung dan tension
pneumothorax.
Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan pemberian cairan
untuk mengganti volume yang hilang. Lavase Peritoneal Diagnostik
(Diagnostik Peritoneal Lavage, DPI) atau pemeriksaan ultrasonografi
(bila tersedia) merupakan pemeriksaan rutin pada penderita hipotensi yang
mengalami koma dimana pemeriksaan klinis tidak mungkin menentukan
tairda-tanda adanya akut abdomen. Menentukan prioritas antara
pemeriksaan~DPL dan CT Scan kepala kadang-kadang menimbulkan
konflik antara ahli bedah trauma dan ahli bedah saraf. Karenanya perlu
dibuat kebijakan yang memudahkan membuat keputusan yang tepat (Lihat
Algoritme 3, DPL Versus CT Scan pada Penderita Cedera Kepala). Perlu
diketahui bahwa pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak
dapat dipercaya kebenarannya. Penderita hipotensi yang tidak
menunjukkan respons terhadap stimulasi apapun, 5'/ternyata menjadi
normal kembali segera setelah tekanan darahnya normal.

B. Secondary Survey

Penderita dengan cedera kepala sering disertai cedera multipel. Dalam


satu penelitian penderita cedera kepala, lebih dari 50% disertai. cedera
sistemik mayor yang memerlukan bantuan konsultasi dokter ahli lain.
(Lihat Tabel 6, Cedera Sistemik pada 100 Penderita dengan cedera kepala
berat).

Created by dr. Doni Kurniawan


26

C. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status


cardiovaskular penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan
GCS dan refleks cahaya pupil. Gerakan bola mata (Doll's eye Phenomena,
refleks okulosefalik), Test Kalori (refleks okulo vestibuler) dan refleks
kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf. Walaupun hasil
pemeriksaan neurologis yang akurat dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti hipotensi, hipoksia atau intoksikasi, data tersebut tetap diperlukan
untuk membantu ahli bedah saraf.

Yang sangat penting adatah melakukan pemeriksaan minineurologik


sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis. Karenanya pada cedera
kepala berat,tidak dianjurkan menggunakan obat-obat paralisis yang
jangka panjang. Yang dianjurkan adalah succinyl choline, vecuronium,
atau dosis kecil pancuronium. Bila diperlukan analgesia pada cedera
kepala berat, sebaiknya digunakan morfin dosis k&il dan diberikan secara
intravena (4-6 mg).

Pada penderita koma, respon motorik dapat diperoleh dengan memijit


kuku atau papila mama. Bila penderita menunjukkan respon motorik yang
bervariasi maka yang dinilai adalah respon motorik terbaik, karena
merupakan indikator prognosis yang lebih tepat.

Namun untuk dapat mengikuti perkembangan penderita sebaiknya dicatat


respon yang terbaik maupun yang terburuknya. Dengan perkataan lain
respon motorik ekstremitas kanan dan kiri harus dicatat terpisah.
Pemeriksaan serial harus terus dilakukan karena respon penderita akan
bervariasi menurut jalannya waktu. Hal ini juga merupakan masukan yang
baik bagi pemeriksa akan kestabilan penderita sehingga dapat dideteksi
adanya suatu perburukan sedini mungkin. Sebagai tambahan penilaian
GCS, dicatat pula respon reaksi pupilnya.

Pemeriksaan yang teliti tentang respon reaksi cahaya pupil dan ukuran
diameter pupil sangatlah penting dilakukan pada tahap awal pemeriksaan
penderita dengan cedera kepala berat (Lihat Tabel 7, Interpretasi
Pemeriksaan Pupil pada Cedera Kepala) Tanda awal suatu Herniasi Lobus
Temporalis adalah dilatasi ringan pupil atau reaksi cahaya papil yang
melambat.

Created by dr. Doni Kurniawan


27

D. Prosedur-Prosedur Diagnosis

Pemeriksaan CT Scan hatus segera diperoleh secepat mungkin, idealnya


dalam waktu 30 menit setelah cedera. Dan pemeriksaan CT Scan ulang
harus juga dapat dikerjakan bila terjadi perubahan status klinis pendelita.

Dalam interpretasi CT Scan kepala harus dilakukan secara sistematik agar


tak ada yang terlewatkan. Kulit kepala pada tempat benturan biasanya
mengalami pembengkakan atau dijumpai hematoma subgaleal. Retak atau
garis fraktur dapat tampak jelas pada pemeriksaan teknik bone window ,
walaupun kadang.

Advanced Trauma Life Support kadang dapat tar.ipak juga pada CT Scan
teknik iaringan lunak. Penemuan penting dalam CT Scan kepala adalah
adanya perdarahan intra kranial dan pergeseran garis tengah (efek masa)
(Lihat Gambar 3, CT Scan pada hematoma intra-kranial). Septum
pelusidum yang terletak di antara kedua ventrikel lateralis seharusnya
terletak di tengah-tengah. Garis tengah dapat ditarik antara krista galli di
bagian anterior dan Inion di bagian posterior. Derajat pergeseran septum
pelusidum terhadap garis tengah harus dicatat dan dihitung menurut skala
yang tertera di samping hasil scan. Pergeseran aktual 5 mm atau lebih
umumnya dianggap cukup bermakna pada penderita cedera kepala dan
biasanya merupakan indikasi tindakan pembedahan (Lihat Apendiks 4,
Pemeriksaan Radiologis).

Walaupun tidak selalu dapat dibedakan antara perdarahan epidural dan


subdural pada CT Scan, namun yang khas pada perdarahan epidural
gumpalan darah tampak berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung, karena perdarahan terletak di antara dura dan tabula interna
yang melekat erat yang mencegah perdarahan melebar. Sebanyak 20%
dari perdarahan ekstra serebral dijumpai adanya gumpalan darah baik pada
epidural maupun pada ruang subdural. Pada hakekatnya membedakan
perdarahan epidural dan subdural lebih bersifat akademis karena keduanya
memerlukan tindakan operatif bila terdapat pergeseran struktur garis
tengah yang bermakna. Perdarahan subdural dibedakan atas perdarahan
akut, subakut dan kronik. Riwayat penyakit pada tiap penderita membantu
dalam membedakan keduanya. Pada CT Scan perdarahan subdural akut
tampak gambaran lesi hiperdens dan perdarahan subdural subakut tampak
sebagai lesi yang isodens atau densitas campuran, sedangkan pada
perdarahan kronik gambaran lesinya adalah hipodens, dibandingkan
dengan densitas jaringan otak.

Created by dr. Doni Kurniawan


28

Perdarahan intraserebral traumatika biasanya terletak di lobus frontalis


dan lobus temporalis anterior, walaupun dapat terjadi di lokasi lain.
Perdarahan ini umumnya terjadi segera setelah cedera, walaupun jenis
perdarahan yang terjadi kemudian sering juga dijumpai, biasanya dalam
minggu pertama. Pada CT Scan tampak sebagai tesi yang hiperdens yang
biasanya dikelilingi oleh zona berdensitas rendah. Hematoma kecil yang
multipel biasanya disebut sebagai kontusio jaringan otak dan ciri-cirinya.
pada CT Scan adalah gambaran menyerupai "garam dan merica" (salt and
pepper appearance).

Perdarahan intraventrikular traumatika, biasanya dianggap sebagai


fenomena yang mempunyai prognosis buruk, namun anggapan itu ternyata
tidak benar. Perdarahan ini kerap disertai dengan perdarahan parenkimal.
Darah akan menjadi isodens secara relatif cepat dan tidak tampak sama
sekali dalam beberapa minggu. Dengan tindakan ventrikulostomi maka
CSS akan mengalir keluar sehingga tekanan intra kranial menurun dan
perdarahan akan berhenti.

Hidrosefalus obstruktif akut pasca trauma dapat terjadi sekunder


akibat adanya perdarahan pada fosa posterior yang menyumbat saluran
ventrikel. Sedangkan hidrosefalus komunikans biasanya terjadi akibat
perdarahan subaraknoid.
Sebelum era CT Scan, pemeriksaan ventrikulografi udara dan angiografi
serebral merupakan cara diagnostik penting dalam evaluasi penderita
cedera kepala yang koma. Namun kini prosedur ini sudah jarang dilakukan
di Amerika Utara. Ventrikulografi memberikan 2 informasi penting yaitu
(1) Beratnya pergeseran garis tengah supratentorial dan (2) pengukuran
tekanan intra kranial. Bila prosedur ini dilakukan dengan hati-hati menurut
protokol baku maka ventrikel biasanya dapat dikanulasi untuk
memudahkan mengukur TIK.
Kira-kira 5-10 ml CSS dikeluarkan dan dimasukkan udara steril dengan
jumlah yang sama. Kemudian dibuat foto polos kranium dalam proyek-i
AP dan diukur derajat pergeseran garis tengahnya.
Pergeseran lebih dari 5 mm merupakan indikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan. Ventrikulografi juga dapat dilakukan
secara darurat dikamar operasi bila penderita sedang menjalani operasi
untuk cedera lain.

Angiografi dapat dilakukan pada penderita cedera kep4la akut bila CT


Scan tidak ada. Lesi masa supratentorial biasanya menyebabkan
pergeseran ke kontra lateral arteri serebri anterior dan vena serebri interna.
Vena serebri interna berada dekat titik tengah kranium. Karenanya vena
ini tidak terpengaruh oleh rotasi kranium yang sering menjadi masalah
pada pergerakan kepala. Lesi masa infra tentorial sangat sulit dideteksi
dengan angiografi.

Created by dr. Doni Kurniawan


29

Karena sekarang ini CT Scan hampir terdapat di mana-mana, maka


prosedur ini sudah sangat jarang dilakukan pada penderita cedera kepala.
Namun bila CT scan tidak ada dapat dilakukan direct stick angiografi
(langsung menusuk arteri karotis komunis). Angiografi dikerjakan
terutama bila terdapat cedera vaskuler seperti misalnya diseksi arteri
karotis traumatika.

Created by dr. Doni Kurniawan


30

tabel 4
PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT

Definisi : Penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana karena


kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan
• ABCDE
• Primaty Survey dan resusitasi
• Secondary Survey dan riwayat AMPLE
• Re-evaluasi neurologis
• Respon buka mata • Reaksi Cahaya pupil
• Respon motorik • Refleks Okulo sefalik (Doll's eyes) ±
• Respon verbal • Refleks Okulovestibuler (Test Kalori) ±
• Obat-obatan
• Manitol • Antikonvulsan
• Hiperventilasi sedang
• Tes Diagnostik (sesuai urutan)
• CT Scan (semua penderita)
• Ventrikulografi udara
• Angiogram

tabel 5
LOKASI KEHILANGAN DARAH YANG SERING TERJADI PADA
PENDERITA CEDERA MULTIPEL

Terlihat Tertutup
1. Laserasi kulit kepala l. Intra / retro peritoneal
2. Cedera Maksilofasial 2. Hematotoraks
3. Fraktur Terbuka 3. Hematoma pelvis
4. Cedera jaringan lunak lain 4. Perdarahan pada fraktur tulang tulang
panjang
5. Perdarahan subgaleal atau ekstra dural
pada bayi
6. Raptur aorta traumatik

Created by dr. Doni Kurniawan


31

algoritme 3
DPL - ULTRASONOGRAFI - CT SCAN PADA CEDERA KEPALA

Penderita Cedera Multipel dalam Koma

Resusitasi Cairan (1)

TDS (2) Lmal (>100 mm Hg) TDS (3,4) 1 abnormal (< 100 mm Hg)

Tidak terdapat Terdapat DPL segera perlu atau seliotomi


tanda-tanda : tanda-tanda (neurologi prioritas kedua) Bila
- dilatasi pupil -dilatasi pupil dalam pembedahan timbul
dilatasi pupil, pertimbangkan
- refleks cahaya (-) - refleks cahaya (-) melakukan ventrikulografi
- hemiparesis - hemiparesis udara atau eksploratosi lubang
bor, atau CT Scan setelah
seliotomi.
CT Scan kepala CT Scan Kepala
dan Abdomen

DPL / CT Abdomen
Pada kasus borderline misalnya TDS dapat dikoreksi sementara tetapi cenderung untuk menurun,
harus diupayakan memperoleh hasil CT Scan kepala sebelum penderita dibawa ke kamar operasi untuk
seliotomi. Kasus seperti ini memerlukan keputusan klinis dan kerja sama yang baik antara ahli bedah
trauma dan ahli bedah saraf.

Catatan Algoritme 3 :
1. Semua penderita cedera kepala berat yang koma harus dilakukan resusitasi (ABCDE) saat tiba di
UGD
2. TDS=Tekanan Darah Sistolik. Segera setelah TD normal, lakukan pemeriksaan minineurologis
(GCS & Reaksi cahaya pupil). Bila TD tidak dapat dinormalkan. catat hasit pemeriksaan
miruneurologik dan tekanan darahnya.
3. Bila TDS tidak dapat diperbaiki sampai diatas 100 mm Hg walaupim telah dilakukan resusitasi
cairan secara agresif; prioritasnya sekarang adalah mencari penyebab hipotensinya; dan evaluasi
neurosirurgis merupakan prioritas kedua. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound
di UGD atau langsung ke kamar operasi untuk seliotomv. Dan CT scan kepala dilakukan setelah
seliotomy. Bila timbul tanda-tanda klinis suatu masa intra kranial maka dilakukan ventrikulografi
udara. Eksplorasi lubang bor atau craniotomy di kamar operasi sementara seliotomy sedang
berlangsung.
4. Bila TDS > 100 nun Hg setelah resusitasi dan terdapat gejala-gejala suatu lesi masa intrakranial
(pupil anisokor, hemip4esis) maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat dilakukan
di UGD, yang CT Scan atau kamar operasi namun evaluasi neurologis dan tindakannva tidak
boleh tertunda

Created by dr. Doni Kurniawan


32

tabel 6
CEDERA SISTEMIK PADA 100 KASUS CEDERA KEPALA BERAT

Jenis Cedera Insidens (%)


Fraktur tulang panjang atau pelvis 32
Fraktur maksila atau mandibula 22
Cedera dada berat 23
Cedera organ intra-abdomen 7
Cedera spinal 2

Bila herniasi semakin memburuk, dilatasi pupil akan diikuti dengan ptosis dan paresis
musculus rektus medialis dan muskulus okulus lainnya yang mendapat persarafan oleh
nervus kranialis ketiga. Sehingga penderita akan menunjukkan gejala klasik Paresis N. III
yaitu mata menjadi jatuh dan berputar keluar.

Keadaan dilatasi pupil bilateral dan pupil yang tidak bereaksi terhadap cahaya dapat
disebabkan oleh perfusi otak yang tidak mencukupi atau yang lebih jarang adalah Paresis N.
III bilateral. Bila perfusi otak kembali normal maka gejala-gejala tersebut akan hilang. Pupil
yang tidak bereaksi dengan cahaya langsung tetapi bereaksi terhadap cahaya pada mata sisi
yang lain (pupil Marcus-Gunn) adalah gejala klasik cedera pada Nervus optikus. Pupil yang
kecil bilateral merupakan gejala efek obat-obat (terutama derivat opiat), ensepalopati
metabolik atau lesi destruktif pada pons. Pada keadaan ini untuk memeriksa reaksi cahaya
pupil digunakan lensa dengan dioptri 20+ pada alat optalmoskop.

Paresis N. III traumatika adalah suatu diagnosis pada penderita dengan riwayat pupil dilatasi
yang terjadi segera setelah cedera, tingkat kesadaran yang membaik dan kelemahan otot bola
mata yang sesuai. Pupil mata yang berdilatasi lebar tidak jarang disebabkan oleh cedera
langsung pada bola mata. Midriasis traumatika ini biasanya ditemukan pada satu sisi dan
tidak disertai paresis otot bola mata lainnya. Bila terjadi Paresis N. VI dimana musculus
rektus lateralis menjadi lumpuh maka bola mata akan berdeviasi ke medial pada saat tes
Doll's eye atau tes kalori dilakukan. Paresis N.IV tidak dapat.dideteksi pada penderita koma.

Created by dr. Doni Kurniawan


33

tabel 7
INTERPRETASI PEMERIKSAAN PUPIL PADA PENDERITA CEDERA
KEPALA

Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi


Dilatasi unilateral Lambat atau Paresis N.III akibat
negatif kompresi sekunder
herniasi tentorial
Dilatasi bilateral Lambat atau Perfusi otak tidak cukup
ne atif Paresis N.III bilateral
Dilatasi unilateral Reaksi Cedera N. Optikus
atau ekual menyilang
Marcus-Gunn
Konstriksi bilateral Sulit dilihat - Obat (opiat)
- Ensefalopati Metabolik
- Lesi pons
Konstriksi Positif Cedera saraf simpatik :
unilateral mis. cedera sarun karotis

Created by dr. Doni Kurniawan


34

VIll. TERAPI MEDIKA MENTOSA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera


sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera.

Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk
pemulihan maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali, sebaliknya bila
sel saraf dalam keadaan tak memadai maka sel akan kehilangan fungsi sampai
mengalami kematian.

A. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar


tetap normovolemia. Tindakan dehidrasi yang dulu dianggap sebagai
konsep terapi bagi cedera kepala, kini ternyata justru merupakan tindakan
yang membahayakan bagi penderita.

Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih.


Jangan berikan cairan hipotonik pada penderita cedera kepala.
Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu
cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis
atau Ringer's Lactate.

Kadar Natrium atau serum juga harus dipertahankan dalam batas normal.
Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak
yang, harus dicegah atau diobati secara agresif bila terjadi.

C. Hiperventilasi

Hiperventilasi bekerja dengan menurunkan PC02 dan menyebabkan


vasokonstriksi pembuluh darah otak. Penurunan volume intra kranial ini
akan menurunkan TIK.

Hiperventilasi yang berlangsung lama dan agresif dapat menyebabkan


iskemia otak karena terjadinya vasokonstriksi serebri berat yang pada
akhirnya menurunkan perfusi otak. Terutama bila PC02 turun sampai di
bawah 25 mm Hg (3,3 kPa)
Umumnya, PC02 dipertahankan pada 30 mm Hg (4 kPa) atau sedikit di
atas. Nilai PC02 antara 25-30 mm Hg (3,3-4 kPa) dapat dipertahankan
pada keadaan TIK yang tinggi. Tetapi yang penting hiperventilasi harus
dicegah bila PCO2 < 25 mm Hg.

Created by dr. Doni Kurniawan


35

C. Manitol

Cedera Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan TIK, biasanya


dengan Kepala konsentrasi cairan 20%. Dosis yang biasanya dipakai
adalah 1 gram / kg BB diberikan secara bolus intra vena. Dosis tinggi
manitol tidak boleh diberikan pada penderita hipotensi karena akan
memperberat hipovolemia. Indikasi yang jelas penggunaan manitol adalah
pada penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal tetapi
kemudian timbul dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Pada
keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus dihabiskan secara
cepat (sampai 5 menit) dan peaderita segera dibawa ke CT Scan atau
langsung ke kamar operasi.
Manitol juga diberikan pada penderita-penderita dengan pupil dilatasi
bilateral dan reaksi cahaya pupil negatif namun tidak hipotensi. Indikasi
pemberian manitol untuk penderita-penderita cedera kepala tanpa defisit
neurologis fokal atau tanpa perburukan neurologis tidaklah jelas.

D. Furosemide (Lasix ®)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Penggunaan


kombinasi kedua obat ini akan meningkatkan diuresis. Dosis yang lazim
adalah 0,3-0,5 mg/kg BB, diberikan secara intra vena. Penggunaan obat ini
harus sepengetahuan ahli bedah saraf.

E. Steroid

Steroid tidak bermanfaat, baik dalam mengendalikan kenaikan TIK


maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera kepala berat.

F. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap


obat-obat atau prosedur yang biasa. Namun tidak boleh diberikan bila
terdapat hipotensi, karena barbiturat sendiri juga menurunkan tekanan
darah (tidak boleh diberikan pada fase akut resusitasi).

Created by dr. Doni Kurniawan


36

G. Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi pada S% penderita yang dirawat di RS dengan


cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 fakor
utama yang berkaitan dengan epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam
minggu pertama, (2) perdarahan intra kranial, dan (3) fraktur depresi.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa penggunaan antikonvulsan profilaktik
tidak bermanfaat mencegah terjadinya epilepsi pasca trauma, tetapi dalam
penelitian uji buta ganda tzrnyata phenytoin bermanfaat dalam mengurangi
insidens terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah
itu. Penelitian ini menganjurkan untuk menghentikan antikonvulsan
profilaktik setelah minggu pertama. Phenobarbital dan phenytoin sering
dipakai dalam fase akut ini.
Obat lain yang juga bermanfaat untuk antikonvulsan dalam fase akut adalah
diazepam dan lorazepam.

Created by dr. Doni Kurniawan


37

IX. PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit Kepala

Penyebab utama infeksi luka kulit kepala adalah pencucian luka dan
debridement yang tidak adekuat. Luka kulit kepala dapat menyebabkan
kehilangan darah yang cukup ekstensif terutama pada anak-anak.
Pada penderita dewasa, perdarahan akibat luka kulit kepala jarang
menyebabkan syok. Perdarahan dari laserasi kulit kepala yang dalam dapat
dihentikan dengan penekanan lokal langsung, kauterisasi atau ligasi pembuluh
besar, kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal penting yang harus dilakukan
adalah inspeksi secara cermat untuk menentukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Terdapatnya CSS pada luka menunjukkan adanya robekan
dura.
Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam
keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT Scan.
Luka kulit kepala yang berada di atas daerah sinus sagitalis superior atau sinus
venosus lainnya harus ditolong oleh seorang ahli bedah saraf di kamar
operasi.

B. Fraktur depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara operatif adalah


bila tebalnya depresi lebih besar dari ketebalan tulang didekatnya.
Pemeriksaan CT Scan dapat menggambarkan secjara jelas beratnya depresi
tulang dan yang lebih penting menentukan ada tidaknya perdarahan intra
kranial atau adanya suatu kontusio.

Created by dr. Doni Kurniawan


38

C. Lesi-lesi Masa Intra kranial

Dalam keadaan itu tindakan trepanasi darurat (emergency burr holes) dapat
dikerjakan oleh seorang ahli bedah yang pernah dilatih untuk melakukan
prosedur itu.

Tujuan melakukan trepanasi darurat ini adalah untuk mencegah kematian


dengan mengeluarkan hematoma intra kranial. Prosedur, ini. terutama penting
pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak
menunjukkan respon yang baik dengan terapi yang diberikan.

Tindakan trepanasi darurat harus dipertimbangkan dengan hati-hati :


1. Sebagian besar penderita cedera kepala yang koma tidak menunjukkan
adanya perdarahan intra kranial
2. Lubang bor yang dibuat sejauh 2 cm dari hematoma mungkin tidak akan
menemukan perdarahan itu.
3. Hanya sedikit hematoma saja yang dapat dikeluarkan melalui lubang bor.
Karena darah telah menggumpal dan tidak mudah dikeluarkan.
4. Lubang bor sendiri dapat menyebabkan kerusakan otak atau menyebabkan
per-darahan intra kranial.
5. Evakuasi hematoma melalui lubang bor tidak selalu dapat menyelamatkan
jiwa penderita, walaupun itu suatu perdarahan epidural.
6. Membuat lubang bor mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan membawa penderita ke ahli bedah saraf.

Created by dr. Doni Kurniawan


39

X. PROGNOSIS

Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah
saraf. Terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki Oaya
pemulihan yang baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan
yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.

X. RINGKASAN
A. Pada penderita dalam koma, amankan dan pertahankan airway dengan
intubasi endotrak_eal.
B. Hiperventilasi moderat untuk mengembalikan hiperkarbia, pertahankan PC02
antara 25-35 mm Hg (3,3 - 4,7 kPa)
C. Atasi syok secara agresif dan cari penyebabnya.
D. Resusitasi dengan larutan garam fisiologis, RL atau larutan isotonik yang
sejenis yang tidak mengandung dekstrosa. Jangan menggunakan larutan
hipotonik.
E. Hindari hipovolemia dan overhidrasi. Tujuan dalam cedera kepala adalah
tercapainya keadaaan nomovolemi. Hindari penggunaan obat paralisis yang
berefek lama. Lakukan pemeriksaan minineurologis setelah tekanan darah
sebelum melakukan paralisis penderita. Cari adanya cedera lain. Singkirkan
adanya cedera servikal secara radiologis dan klinis. Bila dibuat beberapa foto
ronsen.
F. Hubungi ahli bedah saraf secepat mungkin, bila mungkin sebelum penderita,
tiba di UGD. Bila ahli bedah saraf tidak ada di fasilitas anda, segera rujuk
semua penderita cedera kepala berat dan cedera kepala sedang
G. Lakukan pemeriksaan dan evaluasi status neurologis penderita secara
periodik.

Created by dr. Doni Kurniawan


40

Skills Station IX
PENATALAKSANAAN DAN PEMERIKSAAN
CEDERA KEPALA DAN LEHER

PERALATAN DAN SARANA YANG DIPERLUKAN

1. Mr. HURT (Manikin Cedera Kepala)


2. Helm pengendara motor atau helm pemain sepak bola, yang terpakai pada
manikin cedera kepala.
3. Manikin trauma seluruh tubuh dan model penderita (optional). Meja, tandu atau
brankar.
4. Bantal (bila manikin tidak dipakai).
5. Kolar servikal semirigid, terpakai pada manikin. Otoskop dan oftalmoskop
6. Kartu GCS
7. Kotak foto ronsen
8. CT Scan film (disediakan dari Divisi ATLS, ACS).

TUJUAN

Setelah menyelesaikan latihan dalam stasiun ini seorang peserta akan mampu untuk:
1. Mendemostrasikan pemeriksaan dan keterampilan mendiagnosis dalam
menentukan enis dan beratnya cedera pada Mr. HURT (Manikin cedera kepala).
2. Menyebutkan pentingnya tanda-tanda klinik dan gejala-gejala cedera kepala
yang dijumpai dari pemeriksaan penderita.
3. Menentukan prioritas penatalaksanaan primer penderita cedera kepala
4. Memilih pemeriksaan diagnostik lain yang diperlukan untuk menentukan area
cedera otaknya dan luasnya cedera.
5. Mendemonstrasikan cara melepas helm sambil melindungi vertebra servikal
penderita.
6. Melakukan pemeriksaan secondary survey dan menentukan nilai GCS melalui
skenario dan dialog interaktif dengan instruktur.
7. Membaca CT Scan normal dan abnormal pada penderita cedera kepala dan
menentukan pola cederanya.

Created by dr. Doni Kurniawan


41

Prosedur Keterampilan Interaktif


PENATALAKSANAAN DAN PEMERIKSAAN
CEDERA KEPALA DAN LEHER
I. PRIMARY SURVEY
A. ABCDE
B. Imobilisasi dan Stabilisasi Servikal
C. Pemeriksaan Neurologis Singkat
1. Reaksi Cahaya Pupil
2. AVPU atau lebih disukai nilai GCS

II. SURVEY SEKUNDER DAN PENATALAKSANAAN

A. Inspeksi keseluruhan kepala, termasuk wajah


1. Laserasi
2. Adanya CSS dari lubang hidung dan telinga

B. Palpasi keseluruhan kepala, termasuk wajah


1. Fraktur
2. Laserasi dengan fraktur di bawahnya

C. Inspeksi semua laserasi Wit kepala


1. Jaringan otak
2. Fraktur tengkorak depresi
3. Kotoran
4. Kebocoran CSS

D. Pemeriksaan Minineurologis dan menilai GCS


1. Respon buka mata
2. Respon motorik terbaik
3. Respon verbal
4. Reaksi pupil

E. Pemeriksaan vertebra serfikalis


1. Palpasi adanya rara pegaUnyeri dan pakaikan kolar semirigid bila perlu.
2. Pemeriksaan foto ronsen vertebra servikalis proyeksi lateral bila perlu.

F. Penilaian luasnya cedera

G. Pemeriksaan ulang secara kontinyu - observasi tanda-tanda suatu


perburukan
1. Frekuensi
2. Parameter yang dinilai
3. Ingat, pemeriksaan ulang ABCDE

Created by dr. Doni Kurniawan


42

III. EVALUASI CT SCAN KEPALA

Harap diingat, pemeriksaan CT Scan kepala tidak berarti kita menunda


tindakan resusitasi atau transfer penderita ke suatu pusat trauma.

1. Proses penilaian awal CT Scan kepala


1. Yakinkan bahwa gambar CT Scan tersebut adalah betul milik penderita
yang diperiksa.
2. Perhatikan apakah CT Scan dibuat tanpa kontras intra vena.
3. Cocokan gejala klinis penderita dengan gambaran CT Scan dan sebaliknya
cocokan gambar penemuan patologis CT Scan dengan gejala klinis
penderita.

2. Kulit kepala
Evaluasi bagian kulit kepala akan adanya suatu kontusio atau pembengkakan
yang mecupakan petunjuk tempat benturan/trauma.

A. Tengkorak
Perhatikan adanya fraktur tengkorak
1. Garis sutura, sambungan antara tulang-tulang kranium dapat menyerupai
suatu fraktur.
2. Fraktur tengkorak depresi (tebalnya tengkorak) yang memerlukan konsultasi
bedah saraf.
3. Fraktur terbuka harus dikonsultasikan ke bedah saraf. Luka tembus peluru
tampak menunjukkan gambaran jalannya pergerakan peluru dalam jaringan
otak berupa jaringan berdensitas rendah.

B. Girus dan Sulkus


Pelajari simetri girus dan sulkus antara kiri dan kanan. Bila terdapat keadaan
asimetris agar dicatat sebagai diagnosis.

1. Perdarahan epidural akut


a. Yang khas berbentuk lensa cembung bikonveks berdensitas tinggi
b. Terletak di dalam rongga tengkorak dan menekan girus dan sulkus di
bawahnya.
c. Sering terletak di regio temporalis atau temporo-parietalis.

2. Hematoma subdural akut


a. Yang khas adalah gambaran hiperdensitas yang menyelubungi dan
menekan girus dan sulkus ke semua hemisfer otak.
b. Terletak di dalam rongga tengkorak.
c. Dapat menyebabkan pergeseran ventrikel melawati garis tengah. Lebih
sering terjadi daripada perdarahan epidural
d. Dapat disertai denga.n kontusio serebri dan hematoma intra serebral.
e.

Created by dr. Doni Kurniawan


43

C. Hemisfer Serebri dan Serebeli


1. Bandingkan kedua sisi hemisfer serebri dan serebeli, densitasnya dan
Simetrinya.
2. Hematoma intra serebral tampak sebagai area hyperdensitas. Kontusio
serebri tampak sebagai area berbercak-bercak yang hiperdens.
3. Pada cedera aksonal difus (DAI) tampak gambaran CT Scan yang normal
atau beberapa area kontusio serebri kecil yang tersebar dari beberapa area
hipodensitas

D. Ventrikel
4. Perhatikan ukuran dan simetri dari ventrikel
5. Lesi masa yang cukup bermakna akan menekan dan merubah bentuk
ventrikel, terutama ventrikel lateralis.
6. TIK yang cukup bermakna sering disertai dengan gambaran ukuran
ventrikel yang menyempit.
7. Perdarahan intra ventrikuler tampak sebagai regio-regio hiperdensitas
(titik yang cerah) dalam rongga ventrikel.

E. Pergeseran

Pergeseran garis tengah dapat terjadi akibat suatu hematoma atau edema yang
menekan septum pelusidum yang terletak diantara ventrikel lateralis, bergeser
menjauhi garis tengah. Garis tengah adalah garis yang menghubungkan l:rista
Galli di anterior dan Inion yaitu proyeksi posterior puncak tentorium serebeli.
Setelah mengukur jarak pergeseran antara septum pelusidum dan garis tengah
maka untuk memperoleh nilai mutlaknya,
dilakukan koreksi dengan skala pada film CT Scan. Pergeseran lebih dari 5
mm merupakan petunjuk adanya lesi masa dan perlunya suatu tindakan
pembedahan dekompresi.

F. Maksilofasial
8. Periksa tulang-tulang wajah terhadap adanya krepitus akibat fraktur.
9. Periksa sinus-sinus dan udara dalam sinus mastoideus akan adanya
gambaran batas udara-air.
10. Fraktur tulang wajah, fraktur sinus, dan gambaran batas udara-air dalam
sinus mastoideus merupakan indikasi suatu fraktur dasar tengkorak.

G. Empat ciri "C" pada hiperdensitas.


1. Contrast (Kontras)
2. Clot (Bekuan darah)
3. Celhdarity (Tumor / Masa)
4. Calsifrcation (Glandula Pinealis, Plexus Choroideus)

Created by dr. Doni Kurniawan


44

IV. CARA MELEPAS HELM

Penderita yang memakai helm dan memerlukan penatalaksanaan jalan napas


harus dijaga kedudukan kepala dan leher dalam posisi netral dan melepas helm
o(eh 2 penolong. Catatan : Suatu poster bertuliskan "Tehnik Melepas Helm pada
Penderita Cedera" tersedia dari ACS Departemen Trauma. Poster ini bergambar
dan berisi instruksi cara melepas helm dengan aman.

A. Satu orang menstabilkan kepala dan leher penderita dengan meletakkan


masing-masing tangan pada helm dan jari-jari pada rahang bawah penderita.
Posisi ini mencegah tergelincirnya helm bila tali pengikat lepas.

B. Penolong kedua memotong atau melepaskan tali helm pada cincin Dnya. :

C. Penolong kedua meletakkan satu tangan pada . angulus mandibula dengan


ibu jari pada satu sisi dan jari-jari lainnya pada sisi lain. Sementara tangan
yang lain melakukan penekanan dibawah kepala pada regio oksipitalis.
Manuver ini mengalihkan tanggung jawab imobilisasi lurus kepada penolong
kedua.

D. Penolong pertama kemudian melebarkan helm ke lateral untuk membebaskan


kedua daun telinga dan secara hati-hati melepas helm. Bila helm yang
digunakan mempunyai penutup wajah, maka penutup ini harus dilepaskan
dulu. Bila helm yang dipakai mempunyai penutup wajah yang sangat
lengkap, maka hidung penderita dapat terhimpit dan menyulitkan
melepaskan helm. Untuk membebaskan hidung, helm harus dilipat ke
belakang dan dinaikan ke atas melalui hidung penderita.

E. Selama tindakan ini penolong kedua harus tetap mempertahankan imobilisasi


dari bawah guna menghindarkan menekuknya kepala.

F. Setelah helm terlepas, imobilisasi lurus manual dimulai dari atas, kepala dan
leher penderita diamankan selama penatalaksanaan pertolongan jalan napas.

G. Bila upaya melepaskan helm menimbulkan rasa nyeri dan parestesia maka
helm harus dilepas dengan meni;wnakan gunting gips. Bila dijumpai tanda-
tanda cedera vertebra servikalis pada foto ronsen, maka melepaskan helm
harus menggunakan gunting gips. Pada kepala dan leher tetap dilakukan
imobilisasi dan stabilisasi selama prosedur ini, yang biasanya dikerjakan
dengan memotong helm pada bidang koroner melewati kedua daun telinga.
Lapisan luar yang kaku dapat dilepaskan dengan mudah di lapisan dalam
yang terbuat dari styrofocrm kemudian disayat dan dilepaskan dari depan.
Sementara kepala dan leher tetap dipertahankan dalam posisi netral, bagian
posterior helm dilepaskan.

Created by dr. Doni Kurniawan


45

GLASGOW COMA SCALE

Variabel Nilai I
Respon buka mata (M) Spontan 4
Terhadap suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
Respon Motorik Terbaik (M) Menuruti perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik dari nyeri) 4
Fleksi Abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi Abnormal 2
Tidak ada 1
Respon Verbal (V) Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tak teratur 3
Suara tak jelas 2
Tidak ada 1

Created by dr. Doni Kurniawan

You might also like