Professional Documents
Culture Documents
Kajian Kebijakan
Penanggulangan (Wabah)
Penyakit Menular
(Studi Kasus DBD)
KAJIAN
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
(WABAH) PENYAKIT MENULAR
Studi Kasus DBD
Ringkasan Eksekutif
Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit
menular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada,
penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan.
Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan
perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi
berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain
berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)
adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO
Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi
kendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum
dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana
surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan
surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana
kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan
laboratorium dan peralatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkan
analisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2)
identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dan
tanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisis
diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik
berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukan
pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan
workshop.
Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik
antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan
implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan
penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan
peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan serta
dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi
KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta dengan
melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana,
dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhi
kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1)
koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan
DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu
kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih
didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di
lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular.
Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampir
semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di
Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan
rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan
melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi
dan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan
laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasus
periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim
meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR)
DBD fluktuatif.
Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak
pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan
surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilans
dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal,
karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan
sumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun
pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak
dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain
keterbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi
(PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD
ditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan
tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi
penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak
masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi.
Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang ke
sarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasional
penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum
sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang
baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan
wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup
besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi
maupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis,
belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal
sektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal
ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan,
bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.
komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan
adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit
menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya Kajian
Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus
meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia,
khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular
yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga
menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit
menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian
implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasus
penyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM dan
Kebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruh
staf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas serta
melibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit
Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi,
masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari
pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalaman
proses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkat
Puskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi.
Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi
kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalam
penanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasus
demam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan,
dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di di
tingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yang
perlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkait
lainnya.
Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belum
menggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah
kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji.
Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secara
terbuka dinantikan.
Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan
kontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasi
kebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatan
propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat.
Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagi
penataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi
bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifat
akademis.
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif - i
Kata Pengantar - vi
BAB 1 : PENDAHULUAN - 1
BAB 3 : METODOLOGI - 27
4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit DBD – 59
4.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum – 59
4.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD – 61
4.3.3 Koordinasi Antar Sektor – 63
5.1 Kesimpulan – 65
5.2 Rekomendasi Kebijakan – 68
5.3 Implikasi Kebijakan - 68
DAFTAR PUSTAKA - 70
DAFTAR LAMPIRAN -
LAMPIRAN 1: Instrumen Kajian – 72
LAMPIRAN 2: Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan – 76
LAMPIRAN 3 : Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
LAMPIRAN 4: Notulen Pembahsan Dengan Tim Pakar – 81
LAMPIRAN 5 : Pokok-Pokok Pikiran Hasil Ekspose dengan Tim Ahli – 83
LAMPIRAN 6 : Laporan Pelaksanaan Survey – 86
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 – 2
Tabel 1.2 : Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD - 4
Tabel 2.1 : Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan – 12
Tabel 3.1 : Responden Kajian – 31
Tabel 4.1 : Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/kota, Rs dan Puseksmas – 42
Tabel 4.2 : Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 44
Tabel 4.3 : Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 47
Tabel 4.4 : Distribusi Jenis Tenaga di Rumah Sakit dan Puskesmas – 48
Tabel 4.5 : Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD – 49
Tabel 4.6 : Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD – 50
Tabel 4.7 : Distribusi Sumber Dana di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 51
Tabel 4.8 : Distribusi Sumber Dana di Rumah Sakit dan Puskesmas – 52
Tabel 4.9 : Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans dan Dinkes Propinsi,
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 54
Tabel 4.10 : Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi,
Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 55
Tabel 4.11 : Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dnkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 56
Tabel 4.12 : Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB Propinsi, Dikes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 57
Tabel 4.13 : Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.14 : Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.15 : Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan – 60
DAFTAR GAMBAR
b. Penyakit Menular
Tabel 1.1
Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003
No Pasien Rawat inap %
1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,0
2 Demam berdarah dengue 3,7
3 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,9
4 Demam tifoid dan paratifoid 2,7
5 Cedera intrakanial 2,0
6 Tuberkulosis paru 1,9
7 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,9
8 Diabetes Melietus 1,9
9 Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah badan multiple 1,8
10 Pneumonia 1,6
Berbagai emerging diseases misalnya polio dan flu burung dapat terjadi
antara lain karena tingginya mobilitas penduduk antar negara. Dengan demikian
penularan penyakit antar negara (trans-nasional) ini dapat terjadi dengan mudah
mengingat semakin mudahnya transportasi manusia, hewan dan lain-lain antar
negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah dan
ditangani sedini mungkin.
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit
infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),
malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang
bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung
dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga
menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD),
HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu
Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia
menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).
60
40
RASIO
20
0
2001 2002 2003 2004 2005
Target 5.7 5 4.5 4 10
Realisasi 21.66 19.25 24.34 37.1 43.31
TAHUN
Sasaran
1.4 Keluaran
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Penyakit Menular di Indonesia
Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi,
merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan
kawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa
penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarah
dengue (pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai pada
tikus diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertama
kali di Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakan
penyakit infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagai
kabupaten (daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria.
Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahun
diselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukan
monitoring kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yang
dikenal sebagai Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Semua institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun
pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah,
partner nonkesehatan, bergabung menjadi satu sistem.
Jejaring Surveilans
Unit Surveilans
Ditjen PPM &
PL Depkes
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Propinsi
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Kab/Kota
Unit Surveilans
Puskesmas
Unit Surveilans
Rumah Sakit
Unit Surveilans
Laboratorium
Tabel 2.1
Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
KLB tidak
Menjadi
Masalah
Prioritas
SKD-KLB Kesehatan
Penanggulangan
Masyarakat
KLB
Penanggula
ngan KLB
Lintas Batas
Penyakit menular bersifat lintas batas, terutama penyakit menular melalui
transmisi serangga atau binatang yang memiliki reservoir. Binatang umumnya
memiliki habitat tertentu dan terkait dan batasan ekosistem. Penyakit menular
juga dapat berpindah atau bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya melalui
mobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai
wahana transmisi. Dengan kata lain, penyakit menular tidak mengenal batas
wilayah administratif pemerintah. Penyakit menular yang sifatnya relatif
“tertutup”, lebih dipengaruhi oleh batasan ekosistem, ketimbang batasan
administratif. Oleh karena itu, dua kabupaten berbatasan yang memiliki ekosistem
penyakit yang sama wajib bekerjasama.
Sedangkan wilayah yang sifatnya “terbuka” dengan teknologi transportasi
jarak jauh, penyakit menular dipengaruhi mobilitas penduduk sebagai sumber
penyakit. Hal ini memerlukan kerjasama global, dan mekanisme jaringan antar
negara yang bersifat lintas batas. Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota
yang berbatasan dengan negara lain, harus memahami hal ini. Dengan kata lain,
Keterpaduan
Untuk memvisualisasikan proses transmisi penyakit serta simpul
manajemen, membutuhkan model manajemen penyakit menular berbasis wilayah
kabupaten/kota. Didukung fakta hasil surveilans terpadu, untuk kepentingan
perencanaan dan kegiatan berdasarkan keperluan (fakta). Analisis masing-masing
faktor risiko dilakukan sekaligus dan terpadu melalui perencanaan. Kemudian
keterpaduan dikaitkan dengan promosi kesehatan seperti penggunaan alat
pelindung ketika bekerja, dan berbagai upaya lain secara bersama dengan lintas
sektor. Keterpaduan pun termasuk penggunaan sumber daya, jadwal, penggunaan
mikroskop, kendaraan, tenaga, intervensi holistik, antara stakeholder, antara
penyakit. Bahkan keterpaduan surveilans yakni surveilans kasus sekaligus
bersama-sama dengan faktor risiko terkait.
Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab
operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota.
Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota maka
penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur.
Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakit
menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
dengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim
pada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4,
Tahun 1984, Bab I, Pasal 1). Kepala wilayah ketika mengetahui adanya
tersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupa
penanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1).
Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara
berjenjang.
Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabut
ketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4,
Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah
wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat
(mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan Kepala
Daerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu
wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLB
hingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan Pemerintah
Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabut
KLB.
Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti
bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat
sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazim
disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusan
upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan.
Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian
proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya,
adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit,
terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas
lingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya.
Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting,
tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pasca-
KLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik
malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan.
Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian
penyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumber
penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit
yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.
Penderita/tersangka DBD
- Pemeriksaan Jentik
- Pencarian Penderita Panas
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita
panas ≥ 3 orang dan ditemukamn jentik (≥ 25%)
Ya Tidak
- Penyuluhan - Penyuluhan
- PSN DBD - PSN FDBD
- Fogging radius 200m - Larvasidasi
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan
dengan ”3M”, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan
air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur
atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
BAB 3
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Kajian ini dilandasi pemikiran adanya hubungan timbal balik antara
rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dalam implementasi
kebijakan penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan
penyakit DBD.
Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2)
pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) pelaporan. Faktor-faktor yang
terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4)
dana, dan (5) SOP.
Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2)
Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang. Faktor-faktor
yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP.
Implementasi kebijakan penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan
desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Berdasarkan landasan pemikiran diatas, kerangka pikir kajian digambarkan
dalam skema berikut:
Kinerja Surveilans
DESENTRALISASI IMPLEMENTASI
KEWENANGAN KEBIJAKAN PENYAKIT
MENULAR
Kinerja
Penanggulangan
Kerangka Konsep
Tenaga Kinerja Surveilans
1. Jumlah ,
2. motivasi ,
3. Pengetahuan ,
4. Monev
Dana
1. Jumlah ,
2. Sumber ,
3. Proses ,
4. jenis pengeluaran Kinerja
Surveilans
Data DBD
Kasus , Jentik ,
Vektor , Curah Hujan
PetaRawan
-•Peta Rawan KLB
KLB DBD
DBD
Sarana -•Diseminasi
DiseminasiInformasi
Informasi
1. Transportasi ,
2. Pengolah data,
- Pelaporan
3. Komunikasi
SOP
1. Pedoman (7 seri : modelpokjanal ,
2. Peraturan
Kerangka Konsep
Kinerja Penanggulangan
Tenaga
1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab,
support),
2. Pengetahuan (Penyelidikan &
Penanggulangan)
Dana
1. Sumber (APBD, APBD, PHLN)
2. Proses,
3. Jenis pengeluaran
Data Kinerja
Kasus, Jentik, Lingkungan (genangan), Penanggulangan
Prilaku (3M), Vektor, Curah Hujan, KLB DBD
Logistik
SOP
1. Pedoman,
2. Peraturan
2. Variabel Penelitian
penanggulangan)
2 Dana 1. Jumlah
2. Sumber
3. Proses
4. Jenis pengeluaran
3 Data 1. Kasus
2. Jentik
3. Lingkungan (genangan)
4. Prilaku (3M)
5. Vektor
6. Curah hujan
7. Logistik
4 Sarana 1. Transportasi
2. Pengolah data
3. Komunikasi
4. Logistik
5. Obat
6. Insektisida
7. Alat penyemprotan
5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)
2. Peraturan
Tabel 3.1
Responden Kajian
Rumah
No Propinsi/Kab Dinas PKM Bapp Masy Jml
Sakit
1 Riau 5 26
1. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
2 Jawa Barat 3 20
1. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
3 Jawa Timur 1 18
1. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
4 Kalimantan Timur 2 13
1. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
5 Sulawesi Selatan 2 20
1. Kota Makasar 1 4 1 1 1
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
6 Nusa Tenggara Barat 3 25
1. Kota Mataram 2 4 2 1 2
2. Kab Lombok 3 6 3 1 0
Tengah
TOTAL 47 43 21 15 13 122
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD
4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR)
4 0.00 4 5.0 0
IR CFR
4 0.0 0
3 5.00
3 5.0 0
3 0.00
3 0.0 0
2 5.00
CFR
I. R 2 5.0 0
2 0.00
2 0.0 0
1 5.00
1 5.0 0
1 0.00
1 0.0 0
5.00 5 .00
0.00 0 .00
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04
TAHUN
Apabila dilihat secara khusus per bulan selama kurun waktu 2003 - 2004,
maka kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD lazimnya dimulai pada
akhir bulan Desember sampai dengan terbanyak yang lazimnya terjadi pada sekitar
bulan Februari – Maret (lihat Gambar 1.7. di bawah ini). Tingginya curah hujan
menyebabkan banyaknya genangan-genangan air yang memudahkan nyamuk
untuk berkembangbiak, dan tidak terlaksananya program baik PSN
25000
20000
KA
15000
SU
KASUS
S
NA
10000
IK
5000
0
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR
2003 2004
Gambar 4. 3 KASUS
Kasus DBD
DBDPer
PERBulan
BULANdi Indonesia, tahun 2005-2006
DI INDONESIA
TAHUN 2005-2006
35,000
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
JAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDECJAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDES JAN FEB MARAPRMAY
2,004 2,005 2006
KASUS 9,41 19,8 30,0 6,77 2,79 1,76 1,27 1,10 908 992 1,59 2,94 6,4 10,9 7,61 5,03 5,65 5,35 5,03 8,52 6,99 7,61 10,7 15,3 18, 14, 11, 7,0 335
Gambar 4.4
2005
18000 2006
16000
14000
Total sd Akhir Mei 2005: 35.686
12000 Total sd Akhir Mei 2006: 50.935
10000
8000
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2005 6475 10916 7610 5033 5652 5357 5,034 8528 6997 7610 10712 15355
2006 18,01 14,143 11,418 7,028 335
Berdasarkan gambar 1.7; 1.7a; dan 1.8, seperti di atas, data tahun 2003
hingga Juni 2006, terlihat pola yang jelas mengenai kecenderungan peningkatan
kasus DBD, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD pada akhir
bulan Desember sampai dengan kasus terbanyak pada bulan Februari – Maret.
Hal ini menurut beberapa hasil analisa ada kaitannya dengan pergantian musim
kemarau ke musim hujan.
(4) Desentralisasi,
Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota.
Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang
di atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini
bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan
situasi dan kondisi wilayah.
Propinsi Riau
Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan
dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, komunikasi
perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2)
mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus
pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjut
perencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintas
program, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM)
termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obat-
obatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggalian
sumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan program
P2M.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus
melalui pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen
kasus diagnostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi,
melalui perencanaan, pemantauan dan informasi program pemberantasan
penyakit dan meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi.
Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui
penyuluhan intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan
menyiapkan sarana pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan
penanggulangan fokus, (2) pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida
dan larvasida, melengkapi sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan
juklaknya, (3) meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala
Pokjanal/Pokja DBD, pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan
gerakan 3M.
Hasil implementasi kebijakan. Strategi dan program adalah (1) pertemuan
dengan tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberapa kesepakatan yang
menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan
masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali
peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam
pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur
Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota
Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat
berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk
penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin
sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,
sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan
kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarkan dengan menggunakan
pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Bila
terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan (3) Disamping
Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,
diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah
khususnya penyakit menular.
Peta Rawan
Indikator Kinerja Surveilans bisa dilihat dari peta rawan, DP-DBD, K-DBD,
W2 DBD, dan W1. Indikator kinerja surveilans tersebut tidak sepenuhnya
merupakan indikator surveilans. Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase
keberadaan indikator tersebut di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan
Puskesmas. Berdasarkan data tersebut terlihat 4 dari 5 dinkes propinsi memiliki
peta rawan sebagai salah satu indikator kinerja surveilans. Begitu pula pada
tingkat dinkes kab/kota, dari 12 dinkes kab/kota sebanyak 10 dinkes kab/kota atau
83,3% memiliki peta rawan. Tidak demikian dengan Rumah Sakit, dari sebanyak
12 rumah sakit kab-kota yang menjadi lokasi kajian, tak satupun memiliki peta
rawan DBD. Hal ini dapat dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai
unit rujukan yang berperan melakukan tindakan medis atas kejadian kasus.
Sementara di Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dasar, peta rawan tidak
tersedia disemua puskesmas. Dari 19 puskesmas yang dikunjungi, hanya 11
(52,4%) yang memiliki peta rawan.
Tabel 4.1
Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES RUMAH
INDIKATOR PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA SAKIT
KINERJA (ntot =24, 5 miss)
(nto= 5, 1 miss ) (ntot =12) (ntot =12, 6 miss)
Diseminasi Informasi
Kinerja surveilans juga diukur berdasarkan indikator diseminasi informasi
seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Penerbitan bulletin kajian epidemiologi
ternyata lebih banyak dilakukan oleh Dinkes propinsi. Demikian pula untuk
pembuatan profil surveilans epidemiologi. Laporan umpan balik dari propinsi
sudah dilakukan oleh sebagian dinkes propinsi, dinkes kab/kota dan puskesmas.
Laporan umpan balik ke RS sangat jarang dilakukan. Pada level puskesmas, 76%
puskesmas sudah menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota; sementara
untuk rumah sakit hanya 1 buah rumah sakit saja yang menerima laporan umpan
balik dari Pemda kab/kota.
Pada tingkat puskesmas, hanya pertanyaan mengenai adanya umpan balik
dari kabupaten dan profil surveilans epidemiologi yang ditanyakan. Ke dua
pertanyaan lainnya (penerbitan epidemiologi dan laporan umpan balik dari
propinsi) tidak berkaitan langsung pada aktifitas puskesmas.
Dalam pembuatan laporan, faktor ketepatan juga sangat penting. Di Dinkes
kota Samarinda, meskipun kelengkapan laporan puskesmas mencapai 90-100%,
namun ketepatannya hanya 60% saja. Pembuatan laporan pun tidak dilakukan
setiap hari. Kadangkala diperlukan pengiriman informasi melalui short message
system (sms dengan hand phone) untuk melaporkan kejadian BDB.
Tabel 4.2
Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES RUMAH
INDIKATOR PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA SAKIT
KINERJA (ntot =24)
(ntot=6) ntot =12) (ntot =12)
jml % jml % jml % jml %
Penerbitan
buletin kajian 3 75.0 1 11.1 0 0.0 2 15.4
epidemiologi
Laporan umpan
balik dari 2 50.0 6 66.7 2 28.6 7 53.8
propinsi
Laporan umpan
balik dari
1 14.3 10 76.9
kab/kota (untuk
RS & puskesmas)
Profil survaeilans
3 75.0 5 55.6 0 0.0 1 7.7
epidemiologi
Sumber: Data Lapangan, 2006
Data Kasus
Hasil kinerja surveilans dan penanggulangan diukur dengan penemuan
kasus, angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Grafik diatas ini
memperlihatkan dari ke 6 lokasi kajian.
20000
15000
10000
5000
0
2003 2004 2005
300
250
200
150
100
50
0
2003 2004 2005
RIAU 6 21 32
KALTIM 41 82
SULSEL 39 25 59
NTB 8 16 15
dalam jumlah kematian. Dari data yang dicatat dinkes propinsi selama tahun
2003-2005 menunjukkan sejumlah propinsi mengalami peningkatan jumlah
kematian, yaitu di propinsi Riau, Jabar, Jatim, Kaltim, dan Sulsel.
Salah satu penyebab tingginya kasus DBD adalah faktor geografis dan
perilaku masyarakat. Seperti terjadi di Samarinda, di sana banyak perumahan
penduduk yang tersebar di pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan petugas untuk
memantau. Sementara Dinkes tidak memiliki kendaraan untuk menjangkaunya.
Masyarakat pun memiliki kebiasaan menampung air hujan (tadah hujan) yang
menambah habitat jentik. Tipe rumah panggung yang merupakan ciri masyarakat
asli Kaltim turut menambah risiko pertumbuhan habibat jentik karena biasanya
bagian bawah rumah tergenang air buangan rumah tersebut dan menjadi sarang
nyamuk.
Gambar 4.7
Case Fatality Rate (CFR)DBD di Lokasi Kajian
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
2003 2004 2005
dibandingkan dengan angka nasional, CFR sejumlah propinsi lebih tinggi. Pada
tahun 2004, CFR yang paling tertinggi dimiliki oleh Riau dan NTB. Pada tahun
2005, angka CFR kembali meningkat di bandingkan tahun sebelumnya. Semua
CFR berada di atas angka nasional. CFR tertinggi pada tahun 2005 adalah di
propinsi Kaltim.
Data pada grafik memperlihatkan pula adanya kenaikan CFR dari tahun
2003-2005 di sejumlah propinsi yaitu Jatim, Kaltim dan NTB. Sementara di
propinsi lain CFR terlihat fluktuatif (naik dan turun).
(1) Tenaga
Tabel 4.3
Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota
Tabel 4.4
Distribusi Jenis Tenaga di RS dan Puskesmas
RS PUSKESMAS
PENANGGU PENANGGU
SURVEILAN SURVEILA
JENIS TENAGA LANGAN LANGAN
S NS
KLB KLB
jml % jml % jml % jml %
S2 Epidemiologi 2 4.4 1 1.5 0 0.0 0 0.0
S1 Epidemiologi 1 2.2 0 0.0 5 11.4 4 2.2
Dokter umum 7 15.6 18 27.7 15 34.1 39 21.8
Epidemiologi
terampil 1 2.2 0 0.0 5 11.4 0 0.0
Analis Laboratorium 3 6.7 33 50.8 2 4.5 18 10.1
Pendukung/lainnya 31 68.9 13 20.0 17 38.6 118 65.9
Jumlah 45 100.0 65 100.0 44 100.0 179 100.0
Sumber: Depkes RI, 2006
Tabel 4.5
Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD
Total %
Tinggi 18 85.7
Rendah 3 14.3
Total 21 100.0
Sumber: Data Lapangan, 2006
Tabel 4.6
Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD
(2) Dana
Tabel 4.7
operasional umum yang ada di puskesmas. Hal tersebut karena dalam prakteknya
kegiatan operasional di lapangan dilakukan oleh semua petugas puskesmas.
Tabel 4.8
Distribusi Sumber Dana di RS dan Puskesmas
RS PUSKESMAS
1. Kewaspadaan Dini;
(a) penemuan dan pelaporan penderita;
(b) penangggulangan focus;
(c) bulan kewaspadaan DBD;
(d) pemantauan jentik berkala;
2. Pemberantasan Nyamuk Penular DBD;
(a) terhadap nyamuk dewasa;
(b) terhadap jentik nyamuk;
3. Penanggulangan KLB;
(a) penyuluhan;
(b) Gerakan PSN;
(c) abatisasi;
(d) fogging massal;
4. Peningkatan SDM; antara lain pelatihan petugas kesehatan.
Tabel 4.9
Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA
SOP
jml % jml % jml % jml %
(4) Data
Tabel 4.11
Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
DATA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Tabel 4.12
Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
DATA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Kasus 5 100.0 12 100.0 5 71.4 18 94.7
Jentik 3 60.0 12 100.0 0 0.0 7 36.8
Lingkungan/genan
1 20.0 4 33.3 0 0.0 1 5.3
gan
Perilaku 3M 0 0.0 2 16.7 0 0.0 0 0.0
(5) Sarana
Tabel 4.13
Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
SARANA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 3 50.0 4 36.4 1 11.1 11 50.0
Pengolah data 3 50.0 5 41.7 4 44.4 9 40.9
Komunikasi 6 100.0 10 83.3 6 66.7 14 63.6
Sumber: Data Lapangan, 2006
Tabel 4.14
Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan KLB di Propinsi,
Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
SARANA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 4 80.0 10 83.3 2 33.3 12 66.7
100.
Pengolah data 5 10 83.3 5 83.3 13 72.2
0
100.
Komunikasi 5 9 75.0 4 66.7 14 77.8
0
Obat 4 80.0 4 33.3 4 66.7 9 50.0
100.
Insektisida 5 11 91.7 2 33.3 13 72.2
0
Alat penyemprot 3 60.0 12 100.0 0 0.0 8 44.4
Alat Penyuluhan 0 0 7 58.3 4 66.7 10 55.6
Sumber: Data Lapangan, 2006
Sarana yang dimiliki ada yang statusnya “tidak khusus” untuk kegiatan
surveilans atau penanggulangan KLB. Artinya bisa digunakan juga untuk kegiatan
lainnya. Umumnya sarana yang demikian adalah untuk jenis transportasi. Selain
itu, kondisinya pun belum tentu bagus. Di Dinkes Kota Samarinda, Kaltim,
misalnya, alat transportasi untuk surveilans dalam kondisi rusak.
Berkaitan dengan jumlah dan jenis sarana, dalam kenyataannya terdapat
variasi di berbagai dinkes propinsi, maupun dinkes di kab/kota, rumah sakit dan
puskesmas. Di propinsi Jabar, yaitu di Dinas Kesehatan Kota Bandung, tersedia 3
mobil, sementara di Dinkes Kabupaten Bogor hanya 1 mobil; dan di Puskesmas
Bojong Gede selain ada 1 mobil juga tersedia 1 motor. Kondisinya pun belum tentu
bisa digunakan. Misalnya di Dinkes Kota Samarinda tersedia 2 motor, tetapi hanya
1 yang bisa digunakan.
Untuk alat komunikasi, karena tidak adanya fasilitas kantor, seringkali
digunakan fasilitas pribadi seperti handphone, seperti yang terjadi di Dinkes
Kabupaten Gowa dan Puskesmas Palangga di Sulsel.
Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah
adanya fogging fokus serta insektisida. Pengadaan insektisida dan fogging fokus
untuk beberapa propinsi di kirim oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum
siap.
Satu hal yang unik adalah ketiadaan sarana senter. Senter digunakan untuk
surveilans khususnya dalam penemuan jentik dari rumah ke rumah. Bahkan yang
Tabel 4.15
Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
vi. Data.
Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten/kota masih
rendah,
Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota (baru bersifat pengumpulan data).
Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat
/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum
dilakukan.
Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan
Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut yang
diperlukan mencakup
DAFTAR PUSTAKA
Hadinegoro, Sri Rezeki, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Ditjen P2M & PL, Departemen Kesehatan RI
Noor, Nur Nasry. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Reka
Cipta.
Parks, Will & Linda Lloyd.2004. Planning social mobilization and communication
for dengue fever prevention and control, World Health Organization
Soerawidjaja, Resna A.. dan Azrul Azwar. 1989. Penanggulangan Wabah Oleh
Puskesmas. Jakarta : Bina Putra Aksara.
Peraturan Perundangan
SURVEILANS
Proses
1. Koordinasi kegiatan pengumpulan merupakan kerjasama tim surveilan dengan
komunitas dan koordinasi di dalam tim itu sendiri dalam melakukan pengumpulan
data
2. Validasi merupakan kesesuaian proses kegiatan dengan SOP yang sudah ada.
3. Pengolahan data merupakan ketapatan waktu dan keakuratan suatu data di olah.
4. Analisis data merupakan ketepatan penggunaan teknik analisa data.
5. Supervisi pengumpulan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengumpulan data.
6. Supervisi pengolahan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengolahan data.
Output
1. Identifikasi masalah merupakan hasil analisis data yang sudah diproses untuk
mengetahui kemungkinan munculnya/timbulnya kejadian (morbiditas/mortalitas)
penyakit menular.
2. Penyelidikan sebab masalah merupakan proses identifikasi sumber/penyebab
timbulnya masalah
3. Diseminasi merupakan ketepatan waktu penyebaran dan kelengkapan informasi
surveilans kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pengambil keputusan).
Kelengkapan diukur berdasarkan SOP yang ada
7. Informasi Surveilans merupakan hasil output system surveilans yang sudah diolah
dan dianalisis dengan melihat ada dan tidaknya informasi, ketepatan dan
kelengkapan data, dan ketepatan waktu yang diterima oleh pihak-pihak pengambil
keputusan.
8. Pengambilan Keputusan merupakan individu yang bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dalam kegiatan penanggulangan.
9. Potensi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti:
tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan penanggulangan wabah.
Proses
1. Koordinasi lintas sektor merupakan kerjasama antar pihak-pihak yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan wabah.
2. Upaya perbaikan kondisi rentan merupakan upaya pencegahan melalui perbaikan
keadaan yang menjadi sebab timbulnya kerentanan.
3. Sistem kewaspadaan dini merupakan pelaksanaan pemantauan terus menerus
terhadap munculnya kerawanan yang terjadi pada unsur-unsur dasar penyebab
terjadinya suatu wabah, dan peningkatan jumlah penderita yang merupakan indikasi
adanya kemungkinan meletusnya suatu wabah.
4. Penyelidikan merupakan proses kegiatan kajian penyelidikan pendahuluan dan
laporan awal, penyelidikan awal dan laporan perkembangan wabah (periodik), dan
penyilidikan wabah yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab (Dinas
kesehatan dan pusat).
5. Pelayanan pengobatan merupakan upaya pengobatan terhadap kelompok yang
berisiko.
6. Pencegahan merupakan upaya memutus mata rantai penularan.
7. Surveilans Ketat merupakan upaya pemantauan kecenderungan wabah.
Output
1. Wabah tidak menjadi masalah kesehatan
Sumber Informan adalah petugas yang terkait dengan pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan penyakit menular, yaitu:
1. Tingkat Pusat antara lain P2M, Yanmedik dan Binkesmas
2. Tingkat Provinsi antara lain:
3. Tingkat Kabupaten antara lain: kepala dinas kesehatan, kasubdin P2M, seksi
surveilance, Bappeda, Biro Kesra
4. Puskesmas: Kepala Puskesmas, petugas P2M, staf Kesling
5. Masyarakat anatar lain: : Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel.,Pustu/polindes, Kader
Kesehatan
LAMPIRAN 2
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyempurnaan Proposal
Pembahsan disain riset yang dilakukan mencakup aspek (1) penetapan lokasi
kajian, (2) penentuan sampel dan responden, (3) perumusan kuesioner, serta
(4) teknik analisis data.
Penetapan Responden
Pada setiap Propinsi dan Kabupaten ditetapkan 4 orang responden
mencakup
Kepala Dinas/Subdinas
Kepala Rumah Sakit/Bagian P2M
Kepala Puskesmas pada 2 kecamatan
Perumusan Kuesioner
Rumusan Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka
dan pertanyaan tertutup
Pengelompokkan didasarkan pendekatan sistem serta
berdasarkan kalster variabel dari konsep penanggulangan
penyakit menular, mencakup (1) aspek surveilans dan (2) aspek
penanggulangan wabah
Kuesioner bersifat terbuka akan dilakukan dalambentuk
interview dan wawancana mendalam
Kuesioner dalam bentuk tertutup akan disampaikan kepada
responden untuk mengisi
Kuesioner Pada LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 3
Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
PENANGGUNG JAWAB
TPRK
NARA SUMBER
TIM PENDUKUNG
1. Nurlaily Aprilianti
2. Sulaeman
NOTULENSI PEMBAHASAN
DENGAN TIM PAKAR
• Responden
– Pusat: P2M, Yanmedik dan Binkesmas
– Propinsi: Kadinkes, Kasubdin P2M, Seksi Surveilance, Bappeda,
Biro Kesra
– Kabupaten : idem
– Puskesmas : Kepala Puskemas, petugas P2M, staf Kesling
– Desa: Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel., Pustu/polindes, Kader
Kesehatan
LAMPIRAN 5
POKOK-POKOK PIKIRAN
EKSPOSE TIM AHLI
Kajian Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular
Jakarta, 5 April 2006
I. METODOLOGI KAJIAN
1. Pendekatan kajian:
• policy review dengan fokus pada
management oriented system model
• Identifikasi terhadap faktor penghambat dan
diakhiri dengan rekomendasi kebijakan
2. Jenis Penelitian: Penelitian Operasional
3. Sampling: Non Propability Sampling
4. Ruang Lingkup: Umum dengan case DBD
RUMAH SAKIT
• Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar
• Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belum
terbangun
• Insentif petugas perlu menjadi perhatian
• Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit
1. Responden Kajian
Rumah
No Propinsi/Kab Dinas PKM Bapp Masy Jml
Sakit
1 Riau 5 26
1. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
2 Jawa Barat 3 20
1. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
3 Jawa Timur 1 18
1. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
4 Kalimantan Timur 2 13
1. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
5 Sulawesi Selatan 2 20
1. Kota Makasar 1 4 1 1 1
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
6 Nusa Tenggara Barat 3 25
1. Kota Mataram 2 4 2 1 2
2. Kab Lombok 3 6 3 1 0
Tengah
TOTAL 47 43 21 15 13 122
PROPINSI RIAU
Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui penyuluhan
intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan menyiapak sarana
pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan penanggulangan fokus, (2)
pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapi
sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3)
meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala Pojanal/Pokja DBD,
pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan gerakan 3M.
Hasil implemnatsi kebijakan. Strategi dan program adaah (1) pertemuan dengan
tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberpa kesepakatan yang
menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan
masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali
peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam
pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur
Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota
Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat
berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk
penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin
sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,
sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan
kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarakan dengan menggunakan
pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Nbila
terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan. (3) Disamping
Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,
diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah
khususnya penyakit menular.
Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik belum
optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,
kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah
yang harus diselediki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan
menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan
peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.
Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus dan
kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)
pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3)
penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resiko
rendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintas
program dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengan
knerja yang tidak baik.
Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa Tenggara
Barat membuat pedoman operasional yang berisi ”step by step” metodologi
penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik
dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapat
direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan dana
surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutma untuk insentif
tenaga kesehatan dan kader.