You are on page 1of 104

LAPORAN

Kajian Kebijakan
Penanggulangan (Wabah)
Penyakit Menular
(Studi Kasus DBD)

Direktorat Kesehatan dan


Gizi Masyarakat

Deputi Bidang SDM dan


Kebudayaan
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional
2006
LAPORAN AKHIR

KAJIAN
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
(WABAH) PENYAKIT MENULAR
Studi Kasus DBD

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT


BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
TAHUN 2006

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular


LAPORAN AKHIR

Ringkasan Eksekutif
Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit
menular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada,
penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan.
Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan
perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi
berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain
berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)
adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO
Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi
kendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum
dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana
surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan
surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana
kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan
laboratorium dan peralatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkan
analisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2)
identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dan
tanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisis
diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik
berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukan
pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan
workshop.

Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik
antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan
implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan
penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan
peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan serta
dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi
KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta dengan
melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana,
dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhi
kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasi
kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1)
koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan
DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu
kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih
didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di
lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular.

Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampir
semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di
Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan
rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular ii


LAPORAN AKHIR

melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi
dan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan
laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasus
periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim
meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR)
DBD fluktuatif.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulangan


terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data.
Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk
puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilans
dan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum
sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah
yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belum
terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata
perawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakan
antara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.
Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan
pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak
dilakukan. Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi.
Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih
belum sama. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun
kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis,
mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di
bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal,
pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam
penanganan P2M. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan
penanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan
penanggulangan wabah penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus
untuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir
semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD
kabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus
untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasional
umum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat dana
surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam
medis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon)
dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlamabatan
turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan
(3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. SOP. Hampir
semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalam
rangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikian
kebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota
inisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. Sarana. Walaupun
kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak
selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. Sarana utama
yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya mesin fogging serta
insektisida. Pengadaan insektisida dan mesin fogging di supply oleh Dinkes Propinsi
karena kab/kota belum siap. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari
kabupaten masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-
KLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaan
terjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernah
dipermasalahkan. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular iii


LAPORAN AKHIR

Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak
pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan
surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilans
dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal,
karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan
sumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun
pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak
dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain
keterbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi
(PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD
ditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan
tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi
penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak
masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi.
Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang ke
sarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasional
penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum
sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang
baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan
wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup
besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi
maupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis,
belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal
sektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal
ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan,
bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.

Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup (1) Peningkatan koordinasi antar


instansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah penyakit
menular yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota , (2)
Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program
antar pusat daerah yang mencakup aspek perencnaaan, pelaksanaan (monitoring),
serta pelaporan (evaluasi), (3) Mengurangi secara bertahap dominasi peran
pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta
peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, (4) Memperkuat kapasitas
dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilans
dan penanggulangan wabah penyakit menular, malalui (i) Peningkatan dukungan
dana yang memadai dari APBN maupun APBD, (ii) Penyempurnaan SOP sesuai “local
specific”, (iii) Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis,
validasi dan pengembangan “respond system”, dan sistem kewaspadaan dini (early
warning system), (iv) Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan
melibatkan peran aktif masyarakat, (5) Meningkatkan peran dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan
koordinasi, (6) Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, (7) Melakukan bimbingan,
pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, (8)
Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans
epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, (9) Membangun dan mengembangkan
kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi
informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (10)
Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan
komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD,
(11) Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan
lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular iv


LAPORAN AKHIR

komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan
adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit
menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah.

Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut mencakup aspek-aspek: (1)


Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan
Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan
kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan
rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam
rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif
dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. (2) Pendanaan, perlu
terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti askeskin
sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjamin
setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Data dan
Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan
memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkan
adanya Pusat Informasi Penanaganan DBD (DBD Center). Keberadaan data dan
informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja
pembangunan kesehatan, (4) Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan
komitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan. Motivasi dankomitmen selain muncul atas kesadaran
memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif, (5) SOP, dibuat sesederhana
mungkin agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan dan
distribusikan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular v


LAPORAN AKHIR

KATA PENGANTAR
Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya Kajian
Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus
meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia,
khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular
yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga
menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit
menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian
implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasus
penyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM dan
Kebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruh
staf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas serta
melibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit
Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi,
masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari
pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalaman
proses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkat
Puskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi.
Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi
kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalam
penanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasus
demam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan,
dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di di
tingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yang
perlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkait
lainnya.
Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belum
menggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah
kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji.
Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secara
terbuka dinantikan.
Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan
kontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasi
kebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatan
propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat.
Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagi
penataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi
bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifat
akademis.

Jakarta, Desember 2006

Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan


1. DR. Arum Atmawikarta, SKM, MPH
2. DR. Hadiat, MA
3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA
4. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM
5. Sularsono, SP, ME
6. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS
7. Inti Wikanestri, SKM
8. Nurlaili Aprilianti

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular vi


LAPORAN AKHIR

DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif - i
Kata Pengantar - vi

BAB 1 : PENDAHULUAN - 1

1.1 Latar Belakang - 1


1.2 Perumusan Masalah - 5
1.3 Tujuan dan Sasaran – 5
1.4 Keluaran Kajian - 6
1.5 Ruang Lingkup Kajian - 6
1.6 Sistematika Penulisan - 6

BAB 2 : LANDASAN TEORI - 8

2.1 Penyakit Menular di Indonesia – 8


2.2 Surveilans Epidemiologi – 8
2.3 Kebijakan Sistem Surveilans – 10
2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan – 11
2.5 Penanggulangan Wabah Penyakit Menular – 14
2.6 Epidemiologi Global Penyakit – 16
2.7 Strategi Pengendalian Penyakit – 18
2.8 Kejadian Luar Biasa – 18
2.9 Penyakit Demam Berdarah – 20
- Kendala Pencegahan DBD – 21
- Tatalaksana Penanggulangan DBD – 23
- Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD - 25

BAB 3 : METODOLOGI - 27

3.1 Kerangka Pemikiran – 27


3.2 Disain Kajian - 29
3.3 Jenis dan Sumber Data – 30
3.4 Responden Kajian – 31
3.5 Lokasi Kajian – 32
3.6 Teknik Analisis – 32

BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN - 33

4.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD – 33


4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rata (CFR) – 33
4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD – 35
4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD – 41
4.2 Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD – 41
4.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB – 42
4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Kinerja
Penangulangan KLB – 46
(1) Tenaga - 46
(2) Dana – 51
(3) Standar Operasi dan Prosedur – 53
(4) Data – 56
(5) Sarana – 57

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular vii


LAPORAN AKHIR

4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit DBD – 59
4.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum – 59
4.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD – 61
4.3.3 Koordinasi Antar Sektor – 63

BAB 5 : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN - 65

5.1 Kesimpulan – 65
5.2 Rekomendasi Kebijakan – 68
5.3 Implikasi Kebijakan - 68

DAFTAR PUSTAKA - 70

DAFTAR LAMPIRAN -
ƒ LAMPIRAN 1: Instrumen Kajian – 72
ƒ LAMPIRAN 2: Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan – 76
ƒ LAMPIRAN 3 : Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
ƒ LAMPIRAN 4: Notulen Pembahsan Dengan Tim Pakar – 81
ƒ LAMPIRAN 5 : Pokok-Pokok Pikiran Hasil Ekspose dengan Tim Ahli – 83
ƒ LAMPIRAN 6 : Laporan Pelaksanaan Survey – 86

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular viii


LAPORAN AKHIR

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 – 2
Tabel 1.2 : Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD - 4
Tabel 2.1 : Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan – 12
Tabel 3.1 : Responden Kajian – 31
Tabel 4.1 : Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/kota, Rs dan Puseksmas – 42
Tabel 4.2 : Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 44
Tabel 4.3 : Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 47
Tabel 4.4 : Distribusi Jenis Tenaga di Rumah Sakit dan Puskesmas – 48
Tabel 4.5 : Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD – 49
Tabel 4.6 : Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD – 50
Tabel 4.7 : Distribusi Sumber Dana di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 51
Tabel 4.8 : Distribusi Sumber Dana di Rumah Sakit dan Puskesmas – 52
Tabel 4.9 : Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans dan Dinkes Propinsi,
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 54
Tabel 4.10 : Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi,
Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 55
Tabel 4.11 : Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dnkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 56
Tabel 4.12 : Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB Propinsi, Dikes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 57
Tabel 4.13 : Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.14 : Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.15 : Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan – 60

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular ix


LAPORAN AKHIR

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Alusr Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit – 10


Gambar 2.2 : Skema Program Penanggulangan KLB – 15
Gambar 2.3 : Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di
Lapangan) – 24
Gambar 3.1 : Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular – 27
Gambar 3.2 :Kerangka Konsep Kinerja Surveilans – 28
Gambar 3.3 : kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan – 28
Gambar 3.4 : Tahapan Pelaksanan Kajian – 32
Gambar 4.1 : IR & CFR DBD Tahun 1968-2004 – 33
Gambar 4.2 : Perkembangan Kasus DBD Nasional Per bulan – 34
Gambar 4.3 : Kasus DBD Per Bulan di Indonesia, Tahuan 2005-20006 – 34
Gambar 4.4 : Jumlah Kasus DBD di Indonesia Tahun 2005-2006 – 35
Gambar 4.5 : Data Kasus DBD di Lokasi Kajian – 44
Gambar 4.6 : Data Kematian DBD di Lokasi Kajian – 45
Gambar 4.7 : Case Fatality Rate (CFR) DBD di Lokasi Kajian – 46

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular x


LAPORAN AKHIR

DAFTAR SINGKATAN & DEFINISI ISTILAH

3M : Menguras, Menutup, Mengubur


ABJ : Angka Bebas Jentik
APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara
APBD : Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah
Askeskin : Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
COMBI : Communication for Behavioral Impact
CFR : Case Fatality Rate
DAU : Dana Alokasi Umum
DBD : Demam Berdarah Dengue
Dekon : Dekonsentrasi
DOP : Dana Operasional Puskesmas
DPRD : Dewan Perwakilan Daerah
Epidemiologi : Ilmu yang mempeljari penyebaran penyakit dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian penyakit pada manusia
Epidemiologis: Orang yang ahli dalam ilmu epidemiologi
FGD : Focused Group Discussion
Gakin : Keluarga Miskin
HIV/AIDS : Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency
Syndrome
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
IR : Incidence Rate
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut
JPK-MM : Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat miskin
KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KLB : Kejadian Luar Biasa
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs : Millennium Development Goals
P2B2 : Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang
P2M : Pemberantasan Penyakit Menular
PE : Penyelidikan Epidemiologi
PHBS : Pola Hidup Bersih dan Sehat
PI : Perencanaan dan Informasi
PJB ; Pemeriksaan Jentik Berkala
PKK : Pembinaan Kesejahteraan Kelaurga
PKPS-BBM : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak
Pokjanal : Kelompok Kerja Operasional
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PP & PL : Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome
SKD-KLB : Sistem Kesiapan Dini Kejadian Luar Biasa
SOP : Standar Operasional Prosedur
SDM : Sumber Daya Manusia
SKM : Sarjana Kesehatan Masyarakat

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular xi


LAPORAN AKHIR

SPIRS : Sistem Pelaporan Rumah Sakit


SP2PT : Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas
SST : Sistem Surveilans Terpadu
STP :
Surveilans : Rangkaian kegiatan secara teratur dan terus menerus, secara
aktif maupun pasif dalam mengamati, mengumpulkan,
emnganalisis, dan menginterpretasi suatu fenomena peristiwa
kesehatan pada manusia/masyarakat tertentu yang hasilnya
dipakai untuk melakukan tindakan terhadap peristiwa kesehatan
tersebut
TBC : Tuberculosis
TPA : Tempat Penampungan Air
UGD : Unit Gawat Darurat
UKS : Usaha Kesehatan Sekolah
UPT : Unit Pelaksanan Teknis
Wabah : Suatu peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian suatu
penyakit di suatu tempat tertentu, yang melebihi keadaan
biasanya
WHO : World Health Organization
Yanmedik : Pelayanan Medik

Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular xii


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

a. Kondisi Umum Pembangunan Kesehatan

Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan


kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang ditandai dengan
penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
dan merata.
Pembangunan kesehatan selama ini secara umum dapat dilihat dari status
kesehatan dan gizi masyarakat yang telah menunjukkan perbaikan seperti terlihat
dari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang.
Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran
hidup (2002–2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997)
menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup
meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi
kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999)
menjadi 25,8 persen (2002).
Di samping kemajuan yang telah dicapai di atas, di masa datang
pembangunan kesehatan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang
cukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand,
Malaysia, dan Philipina, status kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal.
Disparitas status kesehatan masih cukup tinggi, baik ditinjau dari tingkat sosial
ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. AKB dan AKI lebih
tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk
dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.
Selain itu, indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih
jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals
(MDGs). MDGs merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk
mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa
target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang berkaitan dengan
pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi separuh
penduduk yang mengalami kelaparan, (2) mengurangi dua per tiga angka
kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka
kematian ibu, (4) menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS, (5) menekan
penyebaran penyakit malaria dan TBC, (6) meningkatkan akses terhadap obat
esensial, dan (7) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki
akses terhadap penyediaan air bersih.
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu
secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


LAPORAN AKHIR

sektor kesehatan sendiri. Diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif


dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program. Untuk itu perlu
dikembangkan subsistem surveilans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari
Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit
Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans
Epidemiologi Kesehatan Matra.

b. Penyakit Menular

Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat


Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular.
Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga
pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya
antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular
yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah
dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit
lainnya.

Tabel 1.1
Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003
No Pasien Rawat inap %
1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,0
2 Demam berdarah dengue 3,7
3 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,9
4 Demam tifoid dan paratifoid 2,7
5 Cedera intrakanial 2,0
6 Tuberkulosis paru 1,9
7 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,9
8 Diabetes Melietus 1,9
9 Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah badan multiple 1,8
10 Pneumonia 1,6

Salah satu penyakit menular yang akhir-akhir ini menonjol adalah


munculnya kasus polio di beberapa wilayah seperti Provinsi Jawa Barat, Banten,
Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Selatan. Polio merupakan penyakit menular
yang sangat berbahaya disebabkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf dan
bisa menyebabkan kelumpuhan total. Satu dari 200 kasus infeksi virus akan
menyebabkan kelumpuhan, 5-10 % pasien meninggal akibat kelumpuhan pada otot
pernafasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini hanya bisa dicegah
dengan imunisasi.

Berbagai emerging diseases misalnya polio dan flu burung dapat terjadi
antara lain karena tingginya mobilitas penduduk antar negara. Dengan demikian
penularan penyakit antar negara (trans-nasional) ini dapat terjadi dengan mudah
mengingat semakin mudahnya transportasi manusia, hewan dan lain-lain antar

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


2
LAPORAN AKHIR

negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah dan
ditangani sedini mungkin.
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit
infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),
malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang
bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung
dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga
menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD),
HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu
Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia
menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).

Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalam


penanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu
UU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No.
40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut
pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah
wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan
bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi dan
penghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan.
Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakit
demam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian
besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa
(KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk
Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik
maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku.
Berbagai penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian DBD telah
dilakukan oleh beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun
yang kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan
bahwa pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai
aspek baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun
pemberdayaan masyarakat.
Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya
terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004,
kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan
angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB 1968 angka
kematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih terlalu tinggi
jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2 persen), Vietnam (0,3
persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan Filipina (1 persen).
Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000
penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat
2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk pada
tahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin dan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


3
LAPORAN AKHIR

kurangnya peran serta masyarakat. Ketiadaan vaksin merupakan penghambat


utama eradikasi DBD. Meskipun demikian, saat ini perkembangan vaksin masih
memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan ke manusia.
Pemerintah sejak tahun 1993 telah berusaha membina peran serta
masyarakat melalui berbagai kelompok kerja pemberantasan DBD di desa atau
kelurahan. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan instrumen 3M
(menguras, menutup, dan mengubur) sudah sering disosialisasikan namun
hasilnya belum menggembirakan. Gerakan 3M selama 30 menit setiap minggu
juga dicanangkan. Semuanya menyadari bahwa strategi hanya dapat diperoleh
dengan melaksanakan analisis situasi berdasarkan aspek epidemiologi,
entomologi, pengetahuan, dan sikap masyarakat.
Berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan, rasio penderita DBD per 100.000 penduduk selama periode
tahun 2001-2005 selalu menunjukkan diatas rasio yang ditargetkan. Data ini selain
menunjukkan kecenderungan makin tingginya penderita DBD dari tahun ke tahun, juga
masih belum optimalnya pengendalian penyakit yang dilakukan oleh Pemerintah.

Tabel 1.2 Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD

TARGET DAN CAPAIAN PEMBERANTASAN DBD

60

40
RASIO

20

0
2001 2002 2003 2004 2005
Target 5.7 5 4.5 4 10
Realisasi 21.66 19.25 24.34 37.1 43.31
TAHUN

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes, 2006

Kebijakan penanggulangan penyakit menular telah diatur dalam peraturan


perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi
berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain
berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)
adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan.
Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa
pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yang
dihadapi antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum
dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


4
LAPORAN AKHIR

surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana


pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya
penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit
seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan.
Permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan wabah terutama
berkaitan dengan aspek manajemen menyangkut kesiapan tenaga lapangan,
dukungan logistik, fasilitas pendukung, dana serta sistem pelaporan.

Berkaitan dengan desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan


pembangunan (otonomi daerah), adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UU
No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun
2005 telah memberikan pembagian kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan
di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberi dampak perubahan cukup
signifikan terhadap peran pemerintah dan swasta dalam program dan pelayanan
kesehatan. Adanya otonomi daerah ini juga berpengaruh terhadap peran dan
tanggung jawab Kabupaten/Kota/Propinsi untuk mengembangkan diri sesuai
masalah kesehatan masyarakat, kemampuan SDM dan sumber dana daerah.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang
melandasi kajian ini antara lain adalah :
1. Faktor-faktor apa saja yang mwempengaruhi kinerja surveilans dan
penaggulangan penyakit menular ?
2. Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit
menular, mencakup aspek tenaga, dana, sarana, SOP dan data ?
3. Bagaimana peran dan tanggungjawab (kewenangan) pemerintah daerah
dalam penanggulangan penyakit menular ?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Tujuan

Tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulangan


penyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan penyakit menular di pusat dan
daerah.
Tujuan khusus :
1. Identifikasi kinerja surveilans serta faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja surveilans penyakit menular
2. Identifikasi kinerja penanggulangan penyakit menular serta faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja penanggulangan penyakit menular
3. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam
penanggulangan penyakit menular

Sasaran

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


5
LAPORAN AKHIR

Tersusunnya rumusan kebijakan upaya penanggulangan penyakit menular


secara terpadu melalui optimalisasi sumberdaya yang tersedia sekaligus sebagai
acuan bagi pelaksanaan program penanggulangan penyakit menular di pusat dan
daerah.

1.4 Keluaran

Keluaran kajian adalah rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular


yang mencakup aspek surveilans, penanganan wabah, serta tanggung jawab dan
kewenangan antara pusat dan daerah.

1.5 Ruang Lingkup

Kajian ini difokuskan pada evaluasi kebijakan penanggulangan penyakit


menular yang telah dilakukan selama ini. Lingkup kegiatan yang akan dilakukan
dalam kajian ini antara lain, adalah :
1. Identifikasi kinerja surveilans yang mencakup (1) ketersediaan peta rawan
KLB DBD, dan (2) pelaksanaan diseminasi informasi
2. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja surveilans mencakup
kondisi tenaga, dana, data, sarana, dan SOP.
3. Identifikasi kinerja penanggulangan KLB DBD yang mencakup frekuensi
KLB, jumlah kasus, jumlah kematian dan luas daerah terserang
4. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja penanggulangan KLB DBD
mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP
5. Identifikasi peran dan tanggung jawab daerah dalam penanganan penyakit
menular khususnya pada kasus DBD.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan dibuat dengan sistematika sebagai berikut:

ƒ Bab I membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran kajian,


keluaran serta ruang lingkup kajian.

ƒ Bab II membahas tentang landasan teori mencakup pengertian dan hasil


kajian yang sudah dilakukan.

ƒ Bab III membahas tentang metodologi yang digunakan berkaitan dengan


kerangka pemikiran, disain kajian, jenis, sumber, dan pengumpulan data
serta metode analisis.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


6
LAPORAN AKHIR

ƒ Bab IV Hasil dan Pembahasan, mencakup Gambaran Umum


Penanggulangan DBD, Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD,
Indikator kinerja surveilans dan penanggulangan KLB, Faktor-faktor
Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB,
mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP.

ƒ Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


7
LAPORAN AKHIR

BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Penyakit Menular di Indonesia

Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat


Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular.
Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga
pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya
antar propinsi, Kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular
yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah
dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit
lainnya.
Strategi pengendalian penyakit menular secara umum pada dasarnya sama,
yakni menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari
kasus secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh.
Intervensi faktor resiko, misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku.
Manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular juga memiliki dua
perspektif:
a. Epidemiologi global yakni perjalan penyakit antar benua.
b. Epidemiologi lokal yang intinya dinamika tranmisi penyakit tertentu pada
wilayah tertentu.

Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi,
merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan
kawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa
penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarah
dengue (pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai pada
tikus diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertama
kali di Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakan
penyakit infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagai
kabupaten (daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria.
Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahun
diselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukan
monitoring kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yang
dikenal sebagai Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Semua institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun
pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah,
partner nonkesehatan, bergabung menjadi satu sistem.

2.2 Surveilans Epidemiologi

Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami


hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


8
LAPORAN AKHIR

seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi


epidemiologi sebagai bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans
epidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta
penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil
tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans
epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta
pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan
pengumpulan dan pengolahan data.
Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah
kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau
masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut
agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien melalui
proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi
kepada penyelenggara program kesehatan.
Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur
penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintehrasi antara unit-unit
penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat
penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata
hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan
Pusat.

Jejaring Surveilans

Jejaring surveilans digunakan dalam Surveilans terpadu penyakit adalah


a. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta peningkatan
kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara Puskesmas, Rumah
Sakit, Laboratorium, unit surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit
surveilans di Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans di Ditjen PPM & PL
Depkes, termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel. Alur distribusi data
dan umpan balik dalam dilihat dalam skema di bawah.
b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program terkait pusat-
pusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans program pada masing-
masing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan
Propinsi dan Ditjen PPM & PL Depkes termasuk Puskesmas Sentinel dan
Rumah Sakit Sentinel
c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatan
kemampuan sumberdaya antara unit surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota,
unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit Surveilans Ditjen PPM & PL
Depkes.

Surveilans Terpadu Penyakit merupakan proses kegiatan yang dilakukan


secara terus menerus dan sistematis, sehingga membutuhkan dukungan
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi serta dukungan sumberdaya
yang memadai sebagai suatu program surveilans terpadu.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


9
LAPORAN AKHIR

Unit Surveilans
Ditjen PPM &
PL Depkes

Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Propinsi

Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Kab/Kota

Unit Surveilans
Puskesmas

Unit Surveilans
Rumah Sakit

Unit Surveilans
Laboratorium

Gambar 2.1 Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit

2.3 Kebijakan Sistem Surveilans


Surveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
manajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasi
epidemiologi agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secara
optimal. Informasi epidemiologi yang berkualitas, cepat, akurat merupakan
evidance atau bukti untuk digunakan dalam proses pengambilan kebijakan yang
tepat dalam pembangunan kesehatan.
Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular,
penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta
penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans
penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


10
LAPORAN AKHIR

Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan


sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan
internasional.
Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST)
berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPIRS), yang telah mengalami beberapa kali
perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan
beberapa Sistem Surveilans khusus penyakit. Sistem surveilans tersebut perlu
dikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pemerintah Pusat dan
Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; dan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhan
informasi epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular
dan penyakit tidak menular.

Beberapa produk hukum lain terkait dengan pelaksanaan surveilans epidemiologi


adalah
1. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
2. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit
Menular.
3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit
yang dapat menimbulkan wabah, tatacara penyampaian laporannya dan
tacara penanggulangan seperlunya.
4. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 242 tahun 2003 tentang Penetapan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) sebagai penyakit yang dapat
menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya.
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116 tahun 2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Surveilans Epidemilogi Kesehatan.
6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479 tahun 2003 tentang
Surveilans Terpadu Penyakit.
7. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kewaspadan Dini KLB No.
949 tahun 2004.

2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

Kinerja penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur


dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebut
merupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebut
menunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikator-indikator
tersebuat adalah sebagai berikut:

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


11
LAPORAN AKHIR

Tabel 2.1
Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

Masukan Tingkat Indikator


Tenaga 1. Pusat Unit utama Departemen Kesehatan
memiliki
a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S3)
b. 8 tenaga epidemiologi ahli (S2)
c. 16 tenaga epidemiologi ahli (S1)
d. 32 tenaga epidemiologi terampil

UPT Departemen Kesehatan memiliki


a. 2 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 4 tenaga epidemiologi ahli (S1)
c. 4 tenaga epidemiologi terampil
d. 1 tenaga dokter umum
2. Propinsi a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1)
c. 2 tenaga epidemiologi terampil
d. 1 tenaga dokter umum
3. Kabupaten/Kota a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2)
b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atau
terampil
c. 1 tenaga dokter umum
4. Rumah Sakit a. 1 tenaga epidemiologi ahli
b. 1 tenaga epidemiologi terampil
5. Puskesmas 1 tenaga epidemiologi terampil
Sarana 1. Pusat, Propinsi a. 1 paket jaringan elektromedia
b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasi
lainnya)
c. 1 paket kepustakaan
d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi
komputer
e. 4 paket peralatan pelaksanaan surveilans
epidemiologi
f. 1 roda empat, 1 roda dua
2. Kabupaten/Kota a. 1 paket jaringan elektromedia
b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasi
lainnya)
c. 1 paket kepustakaan
d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi
komputer
e. 1 paket formulir

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


12
LAPORAN AKHIR

f. 2 paket peralatan pelaksanaan surveilans


epidemiologi
g. 1 roda empat, 1 roda dua
3. Puskesmas dan a. 1 paket komputer
Rumah Sakit b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB)
c. 1 paket kepustakaan
d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasi
komputer
e. 1 paket formulir
f. 1 paket peralatan pelaksanaan surveilans
epidemiologi
g. 1 roda dua
Proses 1. Pusat a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan
Kegiatan sumber data awal sebesar 80% atau lebih
Surveilans b. Ketepatan laporan unit pelapor dan
sumber data awal sebesar 80% atau lebih
c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi
sebesar 12 kali atau lebih setahun
d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih
2. Propinsi a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan
sumber data awal sebesar 80% atau lebih
b. Ketepatan laporan unit pelapor dan
sumber data awal sebesar 80% atau lebih
c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi
sebesar 12 kali atau lebih setahun
d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih
3. Kabupaten/Kota a. Kelengkapan laporan unit pelapor
sebesar 80% atau lebih
b. Ketepatan laporan unit pelapor sebesar
80% atau lebih
c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi
sebesar 4 kali atau lebih setahun
d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih
Keluaran 1. Pusat Profil Surveilans Epidemiologi Nasional
sebesar 1 kali setahun
Profil Surveilans Epidemiologi Propinsi
sebesar 1 kali setahun
Profil Surveilans Epidemiologi Kabupaten/
Kota sebesar 1 kali setahun
Sumber: Inspektorat Jenderal Depkes RI, 2003

Selanjutnya Indikator Surveilans Kesehatan dijabarkan dalam Indikator Kinerja


Penyelenggaraan terpadu Penyakit sebagai berikut:
a. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 90%

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


13
LAPORAN AKHIR

b. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan


Kabupaten Kota sebesar 80%
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STP
sebesar 80%
d. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%
e. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 90%
f. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM
& PL Depkes sebesar 100%
g. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM &
PL Depkes sebesar 90%
h. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan
nasional sebesar 100%
i. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional
sebesar 100%
j. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun
k. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12
kali setahun
l. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.

2.5 Penanggulangan Penyakit Menular


Penanggulangan penyakit menular merupakan bagian dari pelaksanaan
pembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan penyakit menular, harus
dilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu penanggulangan wabah
harus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini dimaksudkan untuk
mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit wabah yang dapat
menjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan malapetaka.
Wabah penyebaran penyakit dapat berlangsung secara cepat, baik melalui
perpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau karena jenis dan sifat dari
kuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Kondisi lain yang dapat
menimbulkan penyakit menular adalah akibat kondisi masyarakat dari suatu
wilayah tertentu yang kurang mendukung antara lain kesehatan lingkungan yang
kurang baik atau gizi masyarakat yang belum baik.
Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi
wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung
jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannya
memerlukan keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah dan
masyarakat. Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen Pertahanan
Keamanan, Departemen Komunikasi dan Informasi, Depatemen Sosial,
Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektor
dalam upaya penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


14
LAPORAN AKHIR

penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam


penanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu.
Penanggulangan wabah/KLB penyakit menular diatur dalam UU No. 4
tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, PP No. 40 tahun 1991 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular, Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tentang
Jenis Penyakit Tertentu Yang dapat Menimbulkan Wabah. Pada tahun 2000,
Indonesia menerapkan secara penuh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, yamg kemudian diikuti dengan terbitnya PP No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penanggulangan
KLB. Undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan
kematian yang besar, yang juga berdampak pada pariwisata, ekonomi dan sosial,
sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak terkait.
Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepat
dan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta kondisi rentan yang
memperbesar resiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatan
kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB.

Data & Informasi Perbaikan kondisi rentan KLB


Penduduk dan
Lingkungan

KLB tidak
Menjadi
Masalah
Prioritas
SKD-KLB Kesehatan
Penanggulangan
Masyarakat
KLB

Penanggula
ngan KLB

Data KLB dan Kesiapsiagaan


Data Epidemiologi Menghadapi KLB
Lain

Gambar 2.2 Skema Program Penanggulangan KLB

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


15
LAPORAN AKHIR

2.6. Epidemiologi Global Penyakit


Penyakit menular bersifat global. Misalnya, wilayah tropik secara umum
memiliki karakteristik ekosistem sama, maka memiliki masalah yang sama seperti
malaria. Peta endemisitas malaria terbentang dari Asia Tenggara, Afrika Tengah,
hingga Amerika Latin.
Dalam perspektif global, setiap sudut Kabupaten dan Kota di Indonesia
harus dianggap sebagai bagian dari komunitas dunia. Maksudnya, kabupaten dan
kota di Indonesia merupakan wilayah yang terkena resiko yang sama dalam
perspektif global. Dengan demikian, kabupaten/kota terikat pada komitmen dunia.
Penyebaran global memiliki potensi terjadinya pandemik. Seorang Kepala
Dinas Kesehatan harus memahami benar apakah daerahnya termasuk lalulintas
internasional atau bukan. Sebab, epidemiologi global harus pempelajari kejadian
dan persebaran dalam perspektif dunia. Seperti asal datangnya penyakit,
kemudian melalui apa penyakit tersebut datang. Sebagai contoh Avian influenza,
KLB polio pada awal tahun 2005. Selain itu, migrasi berbagai binatang seperti
migrasi burung antar benua bisa merupakan sumber pembawa penyakit. Atau
perjalanan kelelawar yang dapat menyebarluaskan virus Nipah.
Wilayah-wilayah yang merupakan jalur transmisi sebaiknya memiliki
kapasitas dan aktif mengakses informasi. Misalnya, migrasi burung utara selatan
dan sebaliknya, memiliki jalur barat yakni kawasan semenanjung Malaysia,
Sumatera, Jawa. Sedangkan wilayah timur dari arah utara menyusur pantai timur
China, Filipina, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, kemudian langsung ke
selatan menuju Australia, serta sebaliknya.
Demikian juga dengan daerah wisata internasional. Dalam hal ini Dinas
Kesehatan, LSM, maupun masyarakat hendaknya memiliki kapasitas terhadap
permasalahan epidemiologi global. Termasuk petugas yang mengawasi jalur-jalur
penerbangan internasional, hendaknya meningkatkan kemampuannya untuk
mengahadapi globalisasi penyakit menular.

Lintas Batas
Penyakit menular bersifat lintas batas, terutama penyakit menular melalui
transmisi serangga atau binatang yang memiliki reservoir. Binatang umumnya
memiliki habitat tertentu dan terkait dan batasan ekosistem. Penyakit menular
juga dapat berpindah atau bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya melalui
mobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai
wahana transmisi. Dengan kata lain, penyakit menular tidak mengenal batas
wilayah administratif pemerintah. Penyakit menular yang sifatnya relatif
“tertutup”, lebih dipengaruhi oleh batasan ekosistem, ketimbang batasan
administratif. Oleh karena itu, dua kabupaten berbatasan yang memiliki ekosistem
penyakit yang sama wajib bekerjasama.
Sedangkan wilayah yang sifatnya “terbuka” dengan teknologi transportasi
jarak jauh, penyakit menular dipengaruhi mobilitas penduduk sebagai sumber
penyakit. Hal ini memerlukan kerjasama global, dan mekanisme jaringan antar
negara yang bersifat lintas batas. Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota
yang berbatasan dengan negara lain, harus memahami hal ini. Dengan kata lain,

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


16
LAPORAN AKHIR

dalam satu wilayah otonomi kabupaten, seorang “kepala” pengendalian penyakit


harus mampu menemukan dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif.
Yakni, penderita penyakit menular itu sendiri. Serta mengendalikan faktor risiko
penyakit, dalam perspektif ekosistem maupun dinamika/mobilitas faktor risiko
penyakit antar kabupaten, antar propinsi, antar negara.
Untuk itu, memerlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan
penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota
dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik
antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam
satu wilayah.
Di lain pihak, desentralisasi berati mengharuskan manajemen penyakit
menular melakukan pendekatan wilayah administratif. Di satu sisi, pendekatan
wilayah kabupaten/kota membantu perencanaan dan pelaksanaan serta
pelaksanaan program lebih fokus. Namun, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya hal-hal yang bersifat lintas batas berpotensi terabaikan.
Desentralisasi juga memudahkan identifikasi faktor resiko yang bersifat
lokal. Sehingga intervensi faktor resiko yang bersifat lokal lebih bisa mudah
dikendalikan. Sebagai contoh, penularan Malaria di Kabupaten Banjarnegara
berkenaan dengan nyamuk yang memiliki habitat kebun salak dan/atau kolam
yang merupakan jamban keluarga, sekaligus sebagai mata air. Kemudian, di
daerah Pacitan berkaitan dengan cekungan-cekungan padas di sungai-sungai,
sedangkan di wilayah Riau risiko tertular malaria datang ketika sedang menyadap
karet di pagi buta.
Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya penyakit
menular khas daerahnya, maka perlu identifikasi mitra kerja untuk menangani
faktor risiko tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang harus diikutsertakan,
mitra mana yang dianggap berkepentingan. Dengan demikian, secara teoritis
Bupati atau Kepala Dinas Kesehatan secara efektif melakukan upaya
pemberantasan penyakit menular yang bersifat spesifik lokal. Semua itu
dituangkan dalam bentuk perencanaan yang didukung fakta (evidences) lokal,
sehingga dapat meyakinkan pihak-pihak otoritas pendanaan seperti DPRD.

Keterpaduan
Untuk memvisualisasikan proses transmisi penyakit serta simpul
manajemen, membutuhkan model manajemen penyakit menular berbasis wilayah
kabupaten/kota. Didukung fakta hasil surveilans terpadu, untuk kepentingan
perencanaan dan kegiatan berdasarkan keperluan (fakta). Analisis masing-masing
faktor risiko dilakukan sekaligus dan terpadu melalui perencanaan. Kemudian
keterpaduan dikaitkan dengan promosi kesehatan seperti penggunaan alat
pelindung ketika bekerja, dan berbagai upaya lain secara bersama dengan lintas
sektor. Keterpaduan pun termasuk penggunaan sumber daya, jadwal, penggunaan
mikroskop, kendaraan, tenaga, intervensi holistik, antara stakeholder, antara
penyakit. Bahkan keterpaduan surveilans yakni surveilans kasus sekaligus
bersama-sama dengan faktor risiko terkait.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


17
LAPORAN AKHIR

2.7 Strategi Pengendalian Penyakit


Strategi pemberantasan penyakit menular berbasis wilayah memiliki
pengertian bahwa setiap wilayah administrasi pembangunan (kabupaten/kota)
pemberantasan penyakit menggunakan “paket” pendekatan strategi sebagai
berikut :

(1) Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasus


Melakukan pencarian dan pengobatan secara intensif terhadap penderita,
selain mengobati dan menyembuhkan penderita yang juga merupakan upaya
pokok untuk menghilangkan sumber penularan dengan cara pemutusan mata
rantai penularan. Dalam satu wilayah kabupaten dapat dilakukan secara
intensif dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaan
tenaga semi-profesional terlatih misalnya juru Malaria Desa, Juru Kusta, dan
sebagainya. Di masa mendatang sebaiknya diciptakan petugas lapangan
penyakit menular setara dengan bidan di desa untuk menekan angka kematian
ibu.

Untuk penyakit tertentu yang membutuhkan konfirmasi laboratorium lebih


tinggi, memerlukan bantuan pemeriksaan yang dilakukan Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Penyelidikan Penyakit (Labkes) terdekat yang
secara regional harus tersedia.

Untuk beberapa penyakit menular yang memerlukan pengobatan jangka


panjang seperti halnya TBC, harus ada jaminan ketersediaan obat dan jaminan
disiplin menelan obat. Oleh sebab itu, keluarga terdekat atau tokoh masyarakat
setempat dapat meminta bantuan Pengawas Menelan Obat (PMO).

(2) Memberikan Perlindungan Spesifik dan Imunisasi


Manajemen pengendalian penyakit menular dapat dilakukan dengan cara
memberikan kekebalan secara artifisial yaitu imunisasi. Cakupan imunisasi
amat penting karena dapat mencegah penyakit dalam satu wilayah. Namun,
tentu saja tidak semua penyakit menular dapat dicegah dengan imunisasi.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya alternatif berupa pemberantasan penyakit
yang berbasis lingkungan.

2.8 Kejadian Luar Biasa (KLB)


Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan
(base line condition) yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan
upaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik
dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut.
Kejadian luar biasa pertama di Indonesia dilaporkan oleh David Beylon di Batavia
(Jakarta) pada tahun 1779. Namun, demam berdarah dengue baru dikenal pada
tahun 1968 dalam KLB di Jakarta dan Surabaya dengan angka kematian sangat
tinggi sekitar 41,3 persen.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


18
LAPORAN AKHIR

Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara
epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab
operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota.
Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota maka
penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur.
Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakit
menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
dengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim
pada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4,
Tahun 1984, Bab I, Pasal 1). Kepala wilayah ketika mengetahui adanya
tersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang
dapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupa
penanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1).
Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara
berjenjang.
Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabut
ketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4,
Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah
wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat
(mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan Kepala
Daerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu
wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLB
hingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan Pemerintah
Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabut
KLB.
Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti
bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat
sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazim
disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusan
upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan.
Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian
proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya,
adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit,
terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas
lingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya.
Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting,
tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pasca-
KLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik
malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan.
Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian
penyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumber
penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit
yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


19
LAPORAN AKHIR

Setiap KLB-apakah itu bencana alam, bencana lingkungan karena ulah


manusia, konflik sosial maupun timbulnya penyakit baru seperti SARS, Avian
influenza, atau penyakit infeksi lama-selalu memiliki dua makna manajemen,
yakni manajemen kesehatan masyarakat untuk mengendalikan jatuhnya korban
berikutnya.
Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah juga
manajemen dua bagian penting yang tak terpisahkan, dan harus dilakukan secara
simultan dalam waktu relatif singkat, yakni :
a. Manajemen kasus.
b. Manajemen public health (manajemen faktor risiko)
Manajemen public health atau manajemen kesehatan masyarakat, pada
hakekatnya adalah manejemen faktor risiko kejadian KLB. Manajemen kasus
maupun faktor risiko mencegah timbulnya eskalasi yang lebih luas. Manajemen
kasus menjadi amat penting, khususnya saat penanganan KLB penyakit menular,
untuk mencegah terjadinya penularan penyakit lebih lanjut.
Sebagai perwujudan demokratisasi pembangunan maka sejak tahun 2000,
upaya-upaya kesehatan termasuk didalamnya manajemen KLB semuanya sudah di
desentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tugas
Pemerintah Nasional (Pusat) antara lain menyusun berbagai kebijakan nasional,
perencanaan strategik, dan menetapkan sasaran nasional, menyusun guidlines
petunjuk, standar. Sedangkan kewenangan pelaksanaan ada pada pemerintah
Kabupaten/Kota, namun dalam hal KLB dan bencana dapat meminta bantuan
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Bahkan bila dipandang perlu,
Pemerintah Pusat dapat mengambil inisiatif melakukan penanganan KLB.
Kurun waktu 2000-2005 banyak terjadi kejadian luar biasa. Mengapa hal
tersebut terjadi? Pemberantasan penyakit menular memerlukan sistem
manajemen. Sementara sistem lama telah dicabut, tetapi sistem baru belum
established atau mapan. Untuk membangun sistem tersebut, memerlukan waktu.
KLB pada dasarnya merupakan ujung dari sebuah proses. Kegagalan manajemen
penyakit secara terintegrasi dalam satu wilayah, akan menimbulkan KLB. Oleh
sebab itu, selama sistem atau kapasitas manajemen penyakit berbasis wilayah
secara terintegrasi belum mapan, maka KLB akan terus menjadi ancaman.
Di samping itu, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah
administratif seperti halnya kesehatan lingkungan, tetapi keduanya memiliki batas
wlayah ekosistem. Satu foci penyakit menular –entah itu demam berdarah,
malaria, TBC, HIV/AIDS, filariasis, dan sebagainya, apabila dibiarkan
berkembang, dengan mobilitas penduduk yang tinggi akibat krisis sosial, maka
berpotensi menyebarkan KLB ke saentero Nusantara. Contohnya tahun 2005 yaitu
penyakit polio. Hal ini tampak adanya kesimpang siuran menajemen penyakit
menular pada saat dimulainya otonomi atau peralihan sistem tersebut.

2.9 Penyakit Demam Berdarah


Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung
meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


20
LAPORAN AKHIR

peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan


transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di
berbagai wilayah Indonesia.
Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah
yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang
terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per
100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya
peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut-
turut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus
diwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular
berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian
dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD
sering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara.
Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI
Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan
menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan
perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah
perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga
cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian
ditularkan kepada orang sehat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan
penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di
daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang
menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan
global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upaya
pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatan
surveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini,
(3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan
masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam
upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana
strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi
pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan
pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta
penggerakan masyarakat.
Kendala Pencegahan DBD
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa.
Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga
(insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukan
pada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


21
LAPORAN AKHIR

nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya


di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan
beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatan
manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan.
Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi
pengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor dan
mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida
yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak
memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida
yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat
menimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk
Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk
dewasa Aedes aegypti berada di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaan
insektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar
rumah.
Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukan
tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yang
terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup
efektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air
bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi
kesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk
yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak
mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu,
sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segera
dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun,
baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih
dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah saja
tidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedes
aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes aegypti mampu
terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya.
Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena
hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar
tempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di
tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan
demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada
waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan fogging
terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya.
Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas.
Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam
darahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain.
Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karena
insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia maupun
lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasan
sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


22
LAPORAN AKHIR

merupakan sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam pelaksanaan PSN


dan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan, misalnya, melalui
GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk), sehingga setiap warga
dapat saling melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya dari penularan DBD.
Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesia
menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik di
musim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporan
adanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertama-
tama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempat
tinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menunggu
terjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan pada waktu populasi
nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging, harus dicari penyebabnya,
apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan,
ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.
Tata Laksana Penanggulangan DBD
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan
kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehingga
kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah.
Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan
peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan
pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.

• Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita


DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular
DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk
tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya
adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta
tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat
penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan
tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD,
dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.

• Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular


DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk
demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan
penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria.
Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB
di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta
tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih
lanjut.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


23
LAPORAN AKHIR

Penderita/tersangka DBD

Penyelidikan Epidemiologi (PE)

- Pemeriksaan Jentik
- Pencarian Penderita Panas

Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita
panas ≥ 3 orang dan ditemukamn jentik (≥ 25%)

Ya Tidak

- Penyuluhan - Penyuluhan
- PSN DBD - PSN FDBD
- Fogging radius 200m - Larvasidasi

Gambar 2.3. Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita


DBD di Lapangan)

• Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya


penanggulangan yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita,
pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan
evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang
terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang
terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian
Penanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian
epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase
(coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian
ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang
direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan
penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya
penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara
membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah
penanggulangan KLB.

• Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN


DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk
penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya.
Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD
dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


24
LAPORAN AKHIR

Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan
dengan ”3M”, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan
air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur
atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

• Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat


perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh
petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik).
Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam
berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam
melaksanakan PSN DBD.

Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD

Masyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagai


contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat
dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu
anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secara
dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini.
Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di
rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan
minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan,
pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang
tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat
memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah
untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga
dapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD.
Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang
merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam
rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan
datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat
berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan
serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes
aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman
penduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan
penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan
tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam
lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M
Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali
atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes
aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes
aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya
barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air
hujan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


25
LAPORAN AKHIR

Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan


menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah
dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang
dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak
menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. Sejak dulu tidak ada
yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti
sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% dari
keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat
berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M
Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak,
sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah
perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup
nyamuk Aedes aegypti aegypti.
Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin
Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan-
gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD
maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diare
dan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali merengkuh dayung, dua tiga
pulau terlampaui...."
Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti
untuk memberantas demam kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang lalu
di Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh Jenderal
Gorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar-besaran
di seluruh negeri. Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa
dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran
struktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta.
Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia
menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain
Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat yang
rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar denda.
Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama
yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan
kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan menempelkan stiker
hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi
pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk
membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang
tersebut dipanggil dan didenda.
Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakan
inovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai Peraturan
Daerah.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


26
LAPORAN AKHIR

BAB 3
METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Kajian ini dilandasi pemikiran adanya hubungan timbal balik antara
rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dalam implementasi
kebijakan penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan
penyakit DBD.
Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2)
pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) pelaporan. Faktor-faktor yang
terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4)
dana, dan (5) SOP.
Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2)
Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang. Faktor-faktor
yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,
(4) dana, dan (5) SOP.
Implementasi kebijakan penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan
desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Berdasarkan landasan pemikiran diatas, kerangka pikir kajian digambarkan
dalam skema berikut:

Kinerja Surveilans

DESENTRALISASI IMPLEMENTASI
KEWENANGAN KEBIJAKAN PENYAKIT
MENULAR

Kinerja
Penanggulangan

Gambar 3.1 Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penannggulangan Penyakit Menular

Kerangka pikir kajian tersebut selanjutnya dijabarkan dalam kerangka


konsep kinerja surveilans dan kerangka konsep kinerja penanggulangan yang
digambarkan dalam skema berikut:

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


27
LAPORAN AKHIR

Kerangka Konsep
Tenaga Kinerja Surveilans
1. Jumlah ,
2. motivasi ,
3. Pengetahuan ,
4. Monev

Dana
1. Jumlah ,
2. Sumber ,
3. Proses ,
4. jenis pengeluaran Kinerja
Surveilans
Data DBD
Kasus , Jentik ,
Vektor , Curah Hujan
PetaRawan
-•Peta Rawan KLB
KLB DBD
DBD
Sarana -•Diseminasi
DiseminasiInformasi
Informasi
1. Transportasi ,
2. Pengolah data,
- Pelaporan
3. Komunikasi

SOP
1. Pedoman (7 seri : modelpokjanal ,
2. Peraturan

Gambar 3.2 Kerangka Konsep Kinerja Surveilans

Kerangka Konsep
Kinerja Penanggulangan
Tenaga
1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab,
support),
2. Pengetahuan (Penyelidikan &
Penanggulangan)

Dana
1. Sumber (APBD, APBD, PHLN)
2. Proses,
3. Jenis pengeluaran

Data Kinerja
Kasus, Jentik, Lingkungan (genangan), Penanggulangan
Prilaku (3M), Vektor, Curah Hujan, KLB DBD
Logistik

Sarana •Frekuensi KLB


1. Transportasi, •Jumlah Kasus
2. Pengolah data, •Jumlah Kematian
3. Komunikasi, •Luas Daerah Terserang
4. Logistik, Obat,
5. insektisida,
6. alat penyemprotan

SOP
1. Pedoman,
2. Peraturan

Gambar 3.3 Kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


28
LAPORAN AKHIR

3.2 Disain Kajian

1. Kajian ini menggunakan metode penelitian survey explanatory, dimana


data diperoleh melalui angket dan wawancara kepada sejumlah responden
terpilih secara acak. Tujuannya adalah untuk memperoleh berbagai
gambaran yang jelas dan diskripsi yang lengkap tentang variabel penelitian.

2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian mencakup 2 aspek, yaitu kinerja surveilans dan kinerja


penanggulangan

No Variabel Parameter yang diukur


KINERJA SURVEILANS DBD
Idependent Variabel
1 Kinerja Surveilans 1. Peta rawan KLB DBD
2 Diseminasi informasi
3. Pelaporan
Dependent Variabel
1 Tenaga 1. Jumlah
2. Sumber
3. Pengetahuan
4. Monitoring dan Evaluasi
2 Dana 1. Jumlah
2. Sumber
3. Proses
4. Jenis pengeluaran
3 Data 1. Kasus
2. Jentik
3. Vektor
4. Curah Hujan
4 Sarana 1. Transportasi
2. Pengolah data
3. Komunikasi
5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)
2. Peraturan
KINERJA PENANGGULANGAN KLB DBD
Idependent Variabel
1 Kinerja 1. Frekuensi KLB
Penanggulangan KLB 2. Jumlah Kasus
3. Jumlah Kematian
4. Luas Daerah Terserang
Dependent Variabel
1 Tenaga 1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab,
support)
2. Pengetahuan (penyelidikan &

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


29
LAPORAN AKHIR

penanggulangan)
2 Dana 1. Jumlah
2. Sumber
3. Proses
4. Jenis pengeluaran
3 Data 1. Kasus
2. Jentik
3. Lingkungan (genangan)
4. Prilaku (3M)
5. Vektor
6. Curah hujan
7. Logistik
4 Sarana 1. Transportasi
2. Pengolah data
3. Komunikasi
4. Logistik
5. Obat
6. Insektisida
7. Alat penyemprotan
5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)
2. Peraturan

3.3 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan
data sekunder, baik dalam bentuk data kualitatif maupun kuantitatif.

ƒ Data sekunder mencakup data berkaitan dengan profil kesehatan


pusat, propinsi dan kab/kota, laporan tahunan tentang Penanggulangan
Penyakit Menular (P2M), laporan tentang wabah, peraturan
perundangan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Kesehatan, Keputusan Dirjen,
Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.

ƒ Data primer yang didapat melalui wawancara mendalam (indepth


interview) di berbagai tingkat (Pusat, propinsi, kab/kota), pengisian
kuesioner, serta focus group discussion.

ƒ Untuk interpretasi hasil analisis data, dilakukan pula studi kepustakaan


terutama kajian teoritis dari hasil penelitian terdahulu yang relevan
dengan kajian ini

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


30
LAPORAN AKHIR

3.4 Responden Kajian


Responden Kajian mencakup 2 (dua) kelompok, yaitu (1) kelompok
pelaksana yang terlibat dalam penanggulangan penyakit menular, serta (2)
kelompok pakar, yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam
penanggulangan penyakit menular.

ƒ Kelompok Pelaksana yang menjadi responden mencakup


ƒ Pusat: Dit Epidemiologi dan P2B2 Ditjen P2M, subdit arbovirosis, bagian
PI dan kepegawaian, Yanmedik dan Binkesmas
ƒ Dinas Kesehatan Propinsi: (1) Kasubdin P2M, (2) Seksi Surveilans, (3)
P2B2, (4) Kabag Kepegawaian, (5) Kabag Keuangan, (6) Kasubag Umum
ƒ Kabupaten
ƒ Dinas Kesehatan: (1) subdin P2M, (2) unit surveilans, (3) unit
penanggulangan P2B2, (4) unit kepegawaian, (5) unit umum
ƒ Puskesmas : (1) Kepala Puskesmas, (2) petugas P2M, (3) staf Kesling
ƒ Rumah Sakit: (1) Wakil Direktur Yanmed, (2) UGD, (3) Bag. Medical
Record, (4) Lab. Rumah Sakit.

ƒ Kelompok Pakar yang menjadi responden adalah (1) ahli epidemiologi


dari Perguruan Tinggi, (2) ahli epidemiologi dari Departemen Kesehatan,
(3) pakar lain dari WHO.

Tabel 3.1
Responden Kajian
Rumah
No Propinsi/Kab Dinas PKM Bapp Masy Jml
Sakit
1 Riau 5 26
1. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
2 Jawa Barat 3 20
1. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
3 Jawa Timur 1 18
1. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
4 Kalimantan Timur 2 13
1. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
5 Sulawesi Selatan 2 20
1. Kota Makasar 1 4 1 1 1
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
6 Nusa Tenggara Barat 3 25
1. Kota Mataram 2 4 2 1 2
2. Kab Lombok 3 6 3 1 0
Tengah
TOTAL 47 43 21 15 13 122

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


31
LAPORAN AKHIR

3.5. Lokasi Kajian


Kajian ini dilaksanakan di 6 (enam) propinsi terpilih yang ditentukan
berdasarkan karakteristik frekuensi terjadinya kejadian penyakit menular dari
kelompok propinsi di Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur.
ƒ Pada setiap propinsi di ambil 2 (dua) Kabupaten/Kota dengan kriteria
pemilihan kabupaten adalah
o Prevalensi kasus DBD yang tinggi dan rendah
o 1 kab/kota terletak di ibu kota propinsi dan 1 kab/kota di luar
kab/ibu kota propinsi
ƒ Pada setiap kabupaten dipilih dua puskesmas dan 1 (satu) rumah sakit,
dengan kriteria.
o Prevalensi kasus DBD tinggi dan rendah
o Puskesmas di ibukota kabupaten
o Puskesmas di kecamatan di luar ibu kota kab/kota
ƒ Dengan demikian jumlah sampel kabupaten/kota sebanyak 12 buah, 24
puskesmas, dan 12 rumah sakit

3.6 Teknik Analisis


Teknik analisis yang dilakukan dalam kajian ini adalah dengan melakukan
analisis diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di
lapangan, baik berbentuk data sekunder maupun hasil wawancara mendalam.
Selanjutnya data hasil pengumpulan di lapangan dikelompokan, diolah dan
ditabulasikan untuk memudahkan dalam proses analisis. Analisis dan interpretsi
selanjutnya data yang sudah dibuat dalam bentuk tabulasi serta berdasarkan hasil
wawancara mendalam dengan responden.
Berdasarkan hasil analisis dan temuan yang didapat selanjutnya dilakukan
pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD).
mendapatkan rumusan hasil kajian lebih fokus. Hasil FGD disosialisasikan dalam
bentuk workshop untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk kesimpulan dan
rekomendasi serta implikasi kebijakan.

Pengumpulan Pengolahan Analisis


Data Data Data FGD

- Data Sekunder - Mengelompokkan - Interpertasi data Kesimpulan &


- Data Primer - Mengolah - Interpretasi hasil
(kuesioner & - Mentabulasi wawancara
Rekomendasi
wawancara) Kebijakan

Gambar 3.4 Tahapan Pelaksanaan Kajian

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


32
LAPORAN AKHIR

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD
4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR)

Berdasarkan data tahun 1968 sampai dengan tahun 2004, gambaran


Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR) penyakit DBD ini dapat dilihat
pada Gambar di bawah ini. Angka tertinggi IR terjadi pada tahun 1968, 1988,
1999 dan tahun 2004. Pada kurun waktu tahun 2000 – 2004 terjadi
kecenderungan peningkatan IR. Jika diperhatikan gambaran IR dan CFR (gambar)
antara kurun waktu 1968 sampai 2004, terlihat makin menurunnya CFR, hal ini
dimungkinkan makin banyaknya kasus-kasus DBD yang tertangani. Dapat dilihat
pada tahun 1998, peningkatan IR yang paling tinggi tidak mengakibatkan CFR
meningkat di tahun yang sama. Kesadaran masyarakat mengenai kasus DBD dapat
memperkecil peningkatan CFR, namun demikian, PHBS yang rendah masih
menjadi salah satu pemicu tidak menurunnya kasus IR.

Gambar 4.1 IR & CFR Tahun 1968-2004

IR & CFR DBD DI INDONESIA TAHUN 1968-2004

4 0.00 4 5.0 0

IR CFR
4 0.0 0
3 5.00

3 5.0 0
3 0.00

3 0.0 0
2 5.00
CFR
I. R 2 5.0 0
2 0.00
2 0.0 0

1 5.00
1 5.0 0

1 0.00
1 0.0 0

5.00 5 .00

0.00 0 .00
68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04
TAHUN

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Apabila dilihat secara khusus per bulan selama kurun waktu 2003 - 2004,
maka kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD lazimnya dimulai pada
akhir bulan Desember sampai dengan terbanyak yang lazimnya terjadi pada sekitar
bulan Februari – Maret (lihat Gambar 1.7. di bawah ini). Tingginya curah hujan
menyebabkan banyaknya genangan-genangan air yang memudahkan nyamuk
untuk berkembangbiak, dan tidak terlaksananya program baik PSN

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


33
LAPORAN AKHIR

(Pemberantasan Sarang Nyamuk) maupun 3M mengakibatkan kecenderungan


peningkatan kasus DBD.

Gambar 4.2 Perkembangan Kasus DBD Nasional Per Bulan


PERKEMBANGAN KASUS DBD NASIONAL PER BULAN
30000
2003-2004

25000

20000

KA
15000

SU
KASUS

S
NA
10000

IK
5000

0
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR

2003 2004

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Sementara itu, data tahun 2005 – 2006, menunjukkan bahwa


kecenderungan peningkatan kasus DBD per bulan hampir sama polanya dengan
tahun 2003 – 2004, yaitu pada bulan akhir Desember (lihat Gambar 1.7.a). Hal ini
ada kaitannya dengan pergantian musim kemarau ke musim hujan.

Gambar 4. 3 KASUS
Kasus DBD
DBDPer
PERBulan
BULANdi Indonesia, tahun 2005-2006
DI INDONESIA
TAHUN 2005-2006
35,000

30,000

25,000

20,000

15,000

10,000

5,000

0
JAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDECJAN FEB MARAPRMAYJUN JUL AUGSEPOCT NOVDES JAN FEB MARAPRMAY
2,004 2,005 2006
KASUS 9,41 19,8 30,0 6,77 2,79 1,76 1,27 1,10 908 992 1,59 2,94 6,4 10,9 7,61 5,03 5,65 5,35 5,03 8,52 6,99 7,61 10,7 15,3 18, 14, 11, 7,0 335

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


34
LAPORAN AKHIR

Gambar 4.4

JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2005 & 2006


JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2004 DAN 2005
(SITUASI(s/d
SD TGL 19 JUNI
19 Juni 2006)
2006)
20000

2005
18000 2006
16000

14000
Total sd Akhir Mei 2005: 35.686
12000 Total sd Akhir Mei 2006: 50.935
10000

8000

6000

4000

2000

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2005 6475 10916 7610 5033 5652 5357 5,034 8528 6997 7610 10712 15355
2006 18,01 14,143 11,418 7,028 335

Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005

Berdasarkan gambar 1.7; 1.7a; dan 1.8, seperti di atas, data tahun 2003
hingga Juni 2006, terlihat pola yang jelas mengenai kecenderungan peningkatan
kasus DBD, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD pada akhir
bulan Desember sampai dengan kasus terbanyak pada bulan Februari – Maret.
Hal ini menurut beberapa hasil analisa ada kaitannya dengan pergantian musim
kemarau ke musim hujan.

4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD

Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjang


dalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama
pemberantasan DBD adalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui pengasapan.
Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke
Tempat Penampungan Air (TPA). Kedua metode ini sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan
kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan
vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada, maka cara yang paling efektif
untuk mencegah penyakit DBD ialah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang dilaksanakan oleh masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu
sekali.
Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1)
peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadap
penyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap
penyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program
pemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintas
program.
Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


35
LAPORAN AKHIR

(1) Pemberdayaan masyarakat,


Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
penyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasan
penyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka
upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan
kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui
berbagai media massa dan sarana.

(2) Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD,


Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor
kesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat
menentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitra
maupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang,
meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan
diselenggarakan melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagai
sumber daya yang tersedia di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak
dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian.

(3) Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program,


SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur penting
dalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomic vektor,
virology dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus dikuasai
karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnan
kebijaksanaan program P2 DBD.

(4) Desentralisasi,
Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota.
Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yang
di atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini
bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaan
situasi dan kondisi wilayah.

(5) Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan.


Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitan
penyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapat
dibersihkan setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vektor
sebagai penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan
berbagai kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan
agar semuanya dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasan
penyakit DBD.

Pokok-pokok program pemberantasan DBD mencakup (1) Kewaspadaan


dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, dan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) Bulan
Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


36
LAPORAN AKHIR

penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dan


tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatan
profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD, (8)
Penelitian.

Implementasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan DBD di


daerah lokasi kajian dilaporkan sebagai berikut:

Propinsi Riau
Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan
dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, komunikasi
perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2)
mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus
pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjut
perencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintas
program, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM)
termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obat-
obatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggalian
sumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan program
P2M.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus
melalui pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen
kasus diagnostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi,
melalui perencanaan, pemantauan dan informasi program pemberantasan
penyakit dan meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi.
Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui
penyuluhan intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan
menyiapkan sarana pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan
penanggulangan fokus, (2) pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida
dan larvasida, melengkapi sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan
juklaknya, (3) meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala
Pokjanal/Pokja DBD, pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan
gerakan 3M.
Hasil implementasi kebijakan. Strategi dan program adalah (1) pertemuan
dengan tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberapa kesepakatan yang
menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan
masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali
peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam
pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur
Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota
Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat
berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk
penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin
sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,
sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan
kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarkan dengan menggunakan
pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Bila

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


37
LAPORAN AKHIR

terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan (3) Disamping
Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,
diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah
khususnya penyakit menular.

Propinsi Jawa Barat


Kebijakan penanggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada
kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat),
yaitu mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN
dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap
3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimana
Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi
persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6)
peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann
PSN DBD, (8) Penelitian.
Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa
Barat dilakukan melalui (1) pendekatan ”gerak cepat” dan putus rantai, yaitu pada
setiap kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan
dan sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak
menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui ”managing
vector and environment” malalui gerakan 3M yang dilakukan secara lintas sektor
dalam wadah Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
dalam penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui ”workshop tata
laksana” dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan
partisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, fogging focus
massal, dan melakukan ”CLEAN-UP” lingkungan yang dipimpin oleh walikota
selama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5)
Pelibatan lintas sektor, (6) Sosialisasi Pola Hidup Bersih (PHBS).
Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik
belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,
kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah
yang harus diselidiki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan
menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan
peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.

Propinsi Jawa Timur


Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah
kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2)
kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masing-
masing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen dari
pimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilans
epidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksanakan secara bekerjasama dengan
masyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan
kesehatan.
Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus
dan kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


38
LAPORAN AKHIR

pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3)


penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resiko
rendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintas
program dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengan
kinerja yang tidak baik.
Pelaksanaan program penanggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLB
melalui kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi
KLB, mengamati indikasi pra-KLB misal cakupan program, status gizi, perilaku
masyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatan
perbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyelidikan dan penanggulangan KLB,
melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi,
menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi dan
menghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orang
dan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikan
sumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB,
merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi cara
pencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru.

Propinsi Kalimantan Timur


Kebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBD
diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan
tepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatan
lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi
dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan (3)
Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakat dan
swasta.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatan pencarian kasus dan
pemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2)
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi. Pokok-pokok Program yang dilakukan
mencakup Kewaspadaan Dini DBD; penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan,
pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan vector; penyediaan insektisida dan larvasida,
melengkapi sarana pemerantasan vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens
(pelatihan epidemiologi, pertemuan berkala Pokjanal/Pokja DBD, pelaksanaan
gerakan 3M.
Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBD
melibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim Pokjanal
DBD diketuai oleh Walikota, beranggotakan kepala – kepala dinas yang ketika
diadakan rapat-rapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun
2005, APBD mengalokasikan dana 500 juta untuk penanggulangan KLB dan habis
untuk penanggulangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, Kota
Balikpapan memiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkes
dan didanai oleh perusahaan minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapan
selalu melaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memang
DBD di Kota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dan
surveillens baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


39
LAPORAN AKHIR

Propinsi Sulawesi Selatan


Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular,
khususnya penyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnya
dilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah
Pusat (Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan
selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai
pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Materi yang disusun dalam prosedur tetap (Protap) ini adalah langkah-
langkah penanggulangan DBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melalui
penemuan dan pelaporan penderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaan
DBD, pemantauan jentik berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD
terhadap nyamuk dewasa dan jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melalui
penyuluhan, gerakan PSN, abatisasi, dan fogging massal, (4) Peningkatan SDM,
melalui pelatihan petugas kesehatan.
Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antara
lain (1) Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita,
penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik
berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100
rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektor
terkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLB
menemukan jumlah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkan
tahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus, (3) Peningkatan Sumber Daya
Manusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit pada
daerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota,
pembinaan di 23 kab/kota.

Propinsi Nusa Tenggara Barat


Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa
Tenggara Barat membuat pedoman operasional yang berisi ”step by step”
metodologi penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan
bebas jentik dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif
untuk dapat direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan
dana surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutama untuk
insentif tenaga kesehatan dan kader.
Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota
dan puskesmas. Namun terdapat ”gap” pelaksanaan/penanganan KLB, dimana
peran puskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil.
Dengan demikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat dengan
masyarakat tidak dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD.

4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD


Kendala penting yang masih terjadi saat ini adalah kurang atau tidak
adanya koordinasi dari instansi-instansi yang seharusnya terkait dalam menangani

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


40
LAPORAN AKHIR

DBD sehingga menimbulkan masalah tersendiri di lapangan. Penanganan DBD


tidak semata-mata tugas Dinas Kesehatan, melainkan juga terkait dengan instansi
lainnya. Instansi-instansi yang mengatur tata kota dan permukiman, kebersihan
dan lingkungan hidup, bahkan Dinas Pendidikan, serta instansi penyedia sarana
air bersih (PDAM) juga harus ikut pula berpartisipasi. Sebagai contoh, selama
PDAM belum mampu menyediakan air bersih untuk seluruh penduduk, maka
penduduk masih terpaksa menyiapkan bak mandi dan tandon-tandon air (yang
dapat menjadi sarang nyamuk) untuk menampung air yang sering hanya menetes
bahkan mampet. Karena itu, sarang-sarang nyamuk Aides akan tetap ada di
sepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Dengan
demikian, populasi nyamuk Aides dewasa yang mempunyai potensi menyebarkan
virus dengue juga akan selalu dijumpai dan menjadi sumber penularan di
sepanjang tahun.
Kebijakan desentralisasi juga berpengaruh terhadap koordinasi antara pusat
dan daerah dalam kewenangan penanganan DBD. Kebijakan tersebut terkait
dengan anggaran kesehatan untuk pencegahan serta pemberantasan penyakit
menular, yang memang membutuhkan biaya sangat tinggi. Dengan adanya
kewenangan penanganan yang didaerahkan terkadang menyulitkan dalam
koordinasi penganggaran. Pihak daerah seringkali kewalahan dalam penyediaan
biaya operasional penanganan penyakit karena keterbatasan sumberdaya, baik
dana maupun tenaga. Disisi lain adanya desentralisasi sumberdaya yang dimiliki,
pemerintah pusat mengalami kendala dalam pendistribusiannya ke daerah. Hal ini
menjadi faktor penghambat praktek penanganan kasus di lapangan.

4.2. Kinerja Surveilans dan Pe


4.3.
4.4. nanggulangan DBD
Kajian P2M KLB DBD dilakukan di enam propinsi, yaitu propinsi Riau,
Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara
Barat. Pada tiap propinsi dilakukan kunjungan dan wawancara terhadap 2
kabupaten/kota, dan di tiap kabupaten/kota tersebut, dilakukan kunjungan ke
dinas kesehatan kabupaten/kota, 2 puskesmas dan 1 Rumah Sakit, serta
melakukan wawancara ke Bappeda dan masyarakat.

Beberapa kendala yang ditemukan di lapangan, diantaranya:


1. Sumber informan yang seharusnya dan pada saat yang bersamaan tidak berada
di tempat sehingga dilakukan wawancara terhadap informan pengganti.
2. Responden yang diharapkan sebagai informan tidak sesuai, hal ini dikarenakan
adanya perubahan posisi (rolling) yang terjadi beberapa bulan sebelum
kunjungan.
3. Adanya intervensi dalam pemilihan responden di tingkat dinas.
4. Adanya intervensi dari pendamping (orang dinas) dalam wawancara di tingkat
Kab/kota, puskesmas dan rumah sakit.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


41
LAPORAN AKHIR

5. Ketidaklengkapan data dikarenakan keterbatasan waktu dalam pengumpulan


data 3 tahun terakhir (tahun 2003-2005).
6. Kesulitan pada proses wawancara di beberapa puskesmas dan RS dikarenakan
waktu wawancara dilakukan pada saat jam kerja.

4.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB

(1) Indikator Kinerja Surveilans

Peta Rawan
Indikator Kinerja Surveilans bisa dilihat dari peta rawan, DP-DBD, K-DBD,
W2 DBD, dan W1. Indikator kinerja surveilans tersebut tidak sepenuhnya
merupakan indikator surveilans. Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase
keberadaan indikator tersebut di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan
Puskesmas. Berdasarkan data tersebut terlihat 4 dari 5 dinkes propinsi memiliki
peta rawan sebagai salah satu indikator kinerja surveilans. Begitu pula pada
tingkat dinkes kab/kota, dari 12 dinkes kab/kota sebanyak 10 dinkes kab/kota atau
83,3% memiliki peta rawan. Tidak demikian dengan Rumah Sakit, dari sebanyak
12 rumah sakit kab-kota yang menjadi lokasi kajian, tak satupun memiliki peta
rawan DBD. Hal ini dapat dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai
unit rujukan yang berperan melakukan tindakan medis atas kejadian kasus.
Sementara di Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dasar, peta rawan tidak
tersedia disemua puskesmas. Dari 19 puskesmas yang dikunjungi, hanya 11
(52,4%) yang memiliki peta rawan.

Tabel 4.1
Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES RUMAH
INDIKATOR PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA SAKIT
KINERJA (ntot =24, 5 miss)
(nto= 5, 1 miss ) (ntot =12) (ntot =12, 6 miss)

jml % jml % jml % jml %


Peta rawan 4 80.0 10 83.3 0 0.0 11 52.4
DP-DBD 4 80.0 7 58.3 1 16.7 9 42.9
K-DBD 3 60.0 6 50.0 1 16.7 12 57.1
W2-DBD 3 60.0 9 75.0 5 83.3 15 71.4
W1 4 80.0 9 75.0 5 83.3 12 57.1
Sumber: Data Lapangan, 2006

Selain peta rawan, indikator kinerja surveilans lainnya adalah DP-DBD, K-


DBD, W2-DBD dan W1. Dari tabel di atas tergambarkan di tingkat propinsi data
tersebut hampir semuanya tersedia. Sedangkan di tingkat kab/kota indikator
kinerja surveilans yang dimiliki dinkes kab/kota dan RS lebih banyak pada

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


42
LAPORAN AKHIR

indikator W2 DBD dan W1. Sedangkan di tingkat Puskesmas, keberadaaan data-


data tersebut relatif tersedia, walau tidak semua puskesmas memilikinya.
Di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, pengumpulan data surveilans
dilakukan oleh dua bagian, seksi surveilans dan program pemberantasan penyakit
(dalam hal ini program DBD/pemberantasan penyakit bersumber binatang).
Surveilans hanya menerima laporan yang berkaitan dengan KLB, dalam hal ini
laporan W1. Sementara, laporan peta rawan, W2, DP-DBD, dan K-DBD, diperoleh
dari bagian program pemberantasan DBD. Sehingga, informasi mengenai ke lima
indikator, merupakan gabungan dari bagian seksi surveilans dan program
pemberantasan penyakit (DBD).
Dari hasil keseluruhan memperlihatkan adanya persentase yang tinggi
dalam hal kinerja ditingkat propinsi. Yang perlu diperhatikan adalah meskipun
semua indikator terpenuhi, namun apakah laporan tersebut tepat waktu atau
tidak. Seperti halnya di propinsi Riau, setelah kejadian KLB laporan W2 seringkali
terlupakan untuk dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada tingkatan
rumah sakit, ketiadaan indikator di atas karena pendekatan rumah sakit yang lebih
kepada kuratif. Lokasi yang tercakup dalam peta rawan kadang kali tidak kecil. Di
Samarinda, karena merupakan kota endemis, maka peta rawan adalah seluruh
kota Samarinda itu sendiri.

Diseminasi Informasi
Kinerja surveilans juga diukur berdasarkan indikator diseminasi informasi
seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Penerbitan bulletin kajian epidemiologi
ternyata lebih banyak dilakukan oleh Dinkes propinsi. Demikian pula untuk
pembuatan profil surveilans epidemiologi. Laporan umpan balik dari propinsi
sudah dilakukan oleh sebagian dinkes propinsi, dinkes kab/kota dan puskesmas.
Laporan umpan balik ke RS sangat jarang dilakukan. Pada level puskesmas, 76%
puskesmas sudah menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota; sementara
untuk rumah sakit hanya 1 buah rumah sakit saja yang menerima laporan umpan
balik dari Pemda kab/kota.
Pada tingkat puskesmas, hanya pertanyaan mengenai adanya umpan balik
dari kabupaten dan profil surveilans epidemiologi yang ditanyakan. Ke dua
pertanyaan lainnya (penerbitan epidemiologi dan laporan umpan balik dari
propinsi) tidak berkaitan langsung pada aktifitas puskesmas.
Dalam pembuatan laporan, faktor ketepatan juga sangat penting. Di Dinkes
kota Samarinda, meskipun kelengkapan laporan puskesmas mencapai 90-100%,
namun ketepatannya hanya 60% saja. Pembuatan laporan pun tidak dilakukan
setiap hari. Kadangkala diperlukan pengiriman informasi melalui short message
system (sms dengan hand phone) untuk melaporkan kejadian BDB.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


43
LAPORAN AKHIR

Tabel 4.2
Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKES DINKES RUMAH
INDIKATOR PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA SAKIT
KINERJA (ntot =24)
(ntot=6) ntot =12) (ntot =12)
jml % jml % jml % jml %
Penerbitan
buletin kajian 3 75.0 1 11.1 0 0.0 2 15.4
epidemiologi
Laporan umpan
balik dari 2 50.0 6 66.7 2 28.6 7 53.8
propinsi
Laporan umpan
balik dari
1 14.3 10 76.9
kab/kota (untuk
RS & puskesmas)
Profil survaeilans
3 75.0 5 55.6 0 0.0 1 7.7
epidemiologi
Sumber: Data Lapangan, 2006

(3) Indikator Kinerja Penanggulangan

Data Kasus
Hasil kinerja surveilans dan penanggulangan diukur dengan penemuan
kasus, angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Grafik diatas ini
memperlihatkan dari ke 6 lokasi kajian.

Gambar 4.5 Data Kasus DBD di Lokasi Kajian

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


44
LAPORAN AKHIR

DATA KASUS DBD DI LOKASI KAJIAN


TAHUN 2003-2005

20000

15000

10000

5000

0
2003 2004 2005

RIAU 739 1059 1897

JABAR 8932 19012 18590

JATIM 4243 8321 14796

KALTIM 2276 3165

SU LSEL 2628 4175 3164

N TB 198 805 1062

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006


Berdasarkan gambar tersebut terlihat propinsi Jawa Barat memiliki kasus
DBD yang paling banyak, disusul dengan Propinsi Jawa Timur. Sedangkan kasus
terendah terjadi di propinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data tersebut
kecenderungan data selama tahun 2003-2005 menunjukkan peningkatan kasus di
semua propinsi. Grafik ini adalah data yang diambil di Dinkes propinsi.

Gambar 4.6 Data Kematian DBD di Lokasi Kajian


DATA KEMATIAN DBD DI LOKASI KAJIAN TAHUN 2003-2005

300

250

200

150

100

50

0
2003 2004 2005

RIAU 6 21 32

JABAR 201 214 285

JATIM 59 120 254

KALTIM 41 82

SULSEL 39 25 59

NTB 8 16 15

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006

Sementara untuk jumlah kematian, grafik di atas memperlihatkan jumlah


kematian tertinggi di Jabar disusul dengan Jatim. NTB adalah propinsi terendah

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


45
LAPORAN AKHIR

dalam jumlah kematian. Dari data yang dicatat dinkes propinsi selama tahun
2003-2005 menunjukkan sejumlah propinsi mengalami peningkatan jumlah
kematian, yaitu di propinsi Riau, Jabar, Jatim, Kaltim, dan Sulsel.
Salah satu penyebab tingginya kasus DBD adalah faktor geografis dan
perilaku masyarakat. Seperti terjadi di Samarinda, di sana banyak perumahan
penduduk yang tersebar di pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan petugas untuk
memantau. Sementara Dinkes tidak memiliki kendaraan untuk menjangkaunya.
Masyarakat pun memiliki kebiasaan menampung air hujan (tadah hujan) yang
menambah habitat jentik. Tipe rumah panggung yang merupakan ciri masyarakat
asli Kaltim turut menambah risiko pertumbuhan habibat jentik karena biasanya
bagian bawah rumah tergenang air buangan rumah tersebut dan menjadi sarang
nyamuk.

Gambar 4.7
Case Fatality Rate (CFR)DBD di Lokasi Kajian

CASE FATALITY RATE (CFR) DBD DI LOKASI KAJIAN


TAHUN 2003-2005

4.50

4.00

3.50

3.00

2.50

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
2003 2004 2005

RIAU 0.81 1.98 1.69

JABAR 2.25 1.13 1.53

JATIM 1.39 1.44 1.72

KALTIM 0.00 1.80 2.59

SULSEL 1.48 0.60 1.86

NTB 4.04 1.99 1.41

NAS 1.5 1.2 1.36

Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006


Untuk melihat kinerja penanganan kasus, khususnya pada rumah sakit yang
berfungsi kuratif, dapat dilihat dengan indikator CFR. Indikator ini menunjukkan
jumlah penderita DBD yang meninggal dari tiap 100 penderita DBD. Grafik di atas
memperlihatkan pada tahun 2003, CFR tertinggi adalah NTB, bahkan di atas
angka nasional. Pada tahun 2004 CFR di lokasi kajian terlihat rendah. Namun bila

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


46
LAPORAN AKHIR

dibandingkan dengan angka nasional, CFR sejumlah propinsi lebih tinggi. Pada
tahun 2004, CFR yang paling tertinggi dimiliki oleh Riau dan NTB. Pada tahun
2005, angka CFR kembali meningkat di bandingkan tahun sebelumnya. Semua
CFR berada di atas angka nasional. CFR tertinggi pada tahun 2005 adalah di
propinsi Kaltim.
Data pada grafik memperlihatkan pula adanya kenaikan CFR dari tahun
2003-2005 di sejumlah propinsi yaitu Jatim, Kaltim dan NTB. Sementara di
propinsi lain CFR terlihat fluktuatif (naik dan turun).

4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans


dan Kinerja Penanggulangan KLB

(1) Tenaga

Tenaga adalah sumberdaya manusia dari pihak provider kesehatan yang


terlibat langsung dalam kegiatan surveilans maupun penanggulangan KLB. Pada
tingkat dinkes propinsi, komposisi jenis tenaga yang bertugas dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan terbanyak adalah S1 dan S2 Epidemiologi;
sementara di tingkat dinkes kab/kota adalah dokter umum dan tenaga pendukung
laibnya. Lulusan S1 dan S2 Epidemiologi lebih banyak berperan sebagai tenaga
surveilans, sementara dokter umum berperan sebagai tenaga penanggulangan
KLB.

Yang dimaksud tenaga pendukung/lainnya adalah tenaga yang berprofesi/


berpendidikan perawat, lulusan SMA, lulusan D3, APK, kesehatan lingkungan/
sanitasi, manajemen kesehatan, staf administrasi, teknik lingkungan, tenaga
fogging, ahli gizi, SKM, tenaga rekam medis, dokter gigi, dan kader
kesehatan/posyandu.

Tabel 4.3
Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota

DINKES PROPINSI DINKES KAB/KOTA


PENANGGULA PENANGGULA
JENIS TENAGA SURVEILANS SURVEILANS
NGAN KLB NGAN KLB

Jml % jml % jml % jml %

S2 Epidemiologi 9 20.9 1 4.8 3 8.6 5 2.7

S1 Epidemiologi 15 34.9 3 14.3 14 8.6 17 9.1

Dokter umum 5 11.6 4 19.0 4 8.6 65 34.9

Epidemiologi 4 9.3 2 9.5 8 8.6 6 3.2


terampil

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


47
LAPORAN AKHIR

0 0.0 1 4.8 0 8.6 35 18.8


Analis Laboratorium
10 23.3 10 47.6 6 8.6 59 31.7
Pendukung/lainnya
43 100.0 21 100.0 35 8.6 187 100.5
Jumlah
Sumber: Data Lapangan, 2006

Di Rumah Sakit, dokter umum paling banyak terlibat dalam kegiatan


surveilans maupun penanggulangan. Hal yang sama juga ditemukan pada tingkat
puskesmas. Banyaknya tenaga dokter untuk penanggulangan di tingkat
kabupaten/kota dikarenakan pelaksana operasional penanggulangan KLB berada
di tingkat kabuapten/kota. Sehingga, tenaga dokter yang ada, adalah semua dokter
yang berada di puskesmas. Sementara di tingkat puskesmas maupun rumah sakit,
tenaga dokter masuk dalam kategori sebagai ‘pengumpul data’, dimana mereka
sebagai pemeriksa pasien, maupun sebagai tenaga klinis pada saat
penanggulangan. Sementara, peran propinsi hanya sebagai koordinator, sehingga
sumber daya yang bersifat klinis tidak banyak tersedia. Seperti halnya di dinas
kesehatan propinsi Riau, kepala seksi surveilans adalah seorang dokter dengan
pendidikan strata dua epidemiologi. Sehingga, dalam pengelompokkan
dimasukkan dalam tenaga yang mempunyai latar belakang S2 Epidemiologi.

Tabel 4.4
Distribusi Jenis Tenaga di RS dan Puskesmas

RS PUSKESMAS
PENANGGU PENANGGU
SURVEILAN SURVEILA
JENIS TENAGA LANGAN LANGAN
S NS
KLB KLB
jml % jml % jml % jml %
S2 Epidemiologi 2 4.4 1 1.5 0 0.0 0 0.0
S1 Epidemiologi 1 2.2 0 0.0 5 11.4 4 2.2
Dokter umum 7 15.6 18 27.7 15 34.1 39 21.8
Epidemiologi
terampil 1 2.2 0 0.0 5 11.4 0 0.0
Analis Laboratorium 3 6.7 33 50.8 2 4.5 18 10.1
Pendukung/lainnya 31 68.9 13 20.0 17 38.6 118 65.9
Jumlah 45 100.0 65 100.0 44 100.0 179 100.0
Sumber: Depkes RI, 2006

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


48
LAPORAN AKHIR

Untuk penanggulangan, terlihat jumlah tenaga dokter umum yang banyak.


Hal ini dikarenakan tenaga dokter yang diasumsikan oleh responden adalah tenaga
dokter yang berada di puskesmas (seluruh puskesmas), yang langsung berada di
bawah institusi dinas kesehatan kabupaten/kota dan terlibat sebagai tim
penanggulangan. Sementara bila dokter umum tidak terlibat dalam kegiatan
penanggulangan seperti yang terjadi di kabupaten Lombok Tengah, karena mereka
berasumsi bahwa yang dimaksud dengan tim penanggulangan adalah tim
penanggulangan yang berada di dinas kesehatan kabupaten itu sendiri.

Sementara itu untuk tenaga laboran/laboratorium, ada hal yang menarik


dari pernyataan dinas kota pekan baru, “kalau sudah terjadi KLB, untuk apa
tenaga laboran?”. Hal ini mungkin yang menyebabkan tidak adanya laboran di
tingkat dinas kabupaten/kota. Selain itu, laporan kasus yang masuk biasanya
penderita sudah dari rumah sakit, sehingga sudah terlihat hasil laboratoriumnya.
Tenaga laboran cenderung banyak di RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan,
seperti terjadi di RS Mataram. Di tingkat Puskesmas, tenaga perawat atau
sanitarian sering dijadikan petugas yang merangkap sebagai tenaga surveilans dan
penyelidikan epidemiologi (PE).
Di lapangan juga ditemukan masih adanya perbedaan persepsi tentang
tenaga surveilans dan tenaga penanggulangan. Di puskesmas Pekanbaru Kota,
Puskesmas Tambak Rejo, dan Puskesmas Kota Mataram berpendapat bahwa
tenaga surveilans merupakan tenaga tersendiri, yaitu orang yang melakukan rekap
data. Sehingga dokter-dokter tidak dianggap bukan tenaga surveilans. Hal yang
berbeda di puskesmas lainnya, yang berasumsi bahwa dokter juga merupakan
tenaga surveilans.
Ketiadaan tenaga epidemiologi pada tingkat rumah sakit salah satunya
disebabkan karena sudah adanya tim pokja DBD seperti yang ada di di RSUD
Mataram. Di rumah sakit ini yang mengumpulkan data adalah bagian rekam medis
yang bertugas mengumpulkan dan merekap data. Namun, ada pula RS yang
mengkategorikan dokter sebagai tenaga surveilans seperti di rumah sakit daerah
Siak.
Jumlah tenaga dirasakan masih kurang, seperti yang terjadi di propinsi
Sulawesi Selatan. Pada Dinas Kesehatan kabupaten atau kota, satu tenaga
berperan sebagai tenaga DBD merangkap tenaga untuk program malaria dan
zoonosis. Bahkan di tingkat puskesmas, satu tenaga juga merangkap sebagai
tenaga untuk program DBD, malaria, filariasis dan zoonosis. Perawat atau
sanitarian puskesmas sering merangkap sebagai tenaga surveilans dan tenaga
penyelidikan epidemiologi (PE). Selain jumlah, kualifikasi tenaga masih kurang.
Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah pelatihan di dalam atau di luar negeri
seperti terjadi di Jabar. Usaha lain yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi
dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakan
pertemuan/lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidang
surveilans maupun penanggulangan penyakit. Selain pelatihan formal,
pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam
penanganan P2M. Khusus Jawa Barat sebagai daerah P2M pengetahuan praktis
tenaga surveilans dan penanggulangan melebihi pengetahuan bersifat formal

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


49
LAPORAN AKHIR

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang surveilans oleh


tenaga surveilans, sejumlah sampel dari daftar tenaga diambil. Pengetahuan ini
diukur dengan persepsi terhadap 40 pertanyaan tentang surveilans. Tiap
pertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk hingga baik). Data menunjukkan
bahwa total skor persepsi surveilans berkisar dari 93-181; rerata 150 dan median
156. Berdasarkan cut off ≥ 156 untuk kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa
85% dari 21 sampel tenaga mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Cut off
dipilih median karena distribusi data tidak normal.

Tabel 4.5
Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD
Total %
Tinggi 18 85.7
Rendah 3 14.3
Total 21 100.0
Sumber: Data Lapangan, 2006

Berdasarkan tabel di atas tergambarkan bahwa pengetahuan para petugas


(responden) terhadap pengetahuan surveilans cukup baik. Dari sejumlah
responden yang ditanya, 85,7 % responden menyatakan cukup memahami tentang
pengetahuan surveilans, dan 14,3menyatakan kurang memahami. Dari data
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemahaman aparat terhadap
program surveilans cukup baik.

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang


penanggulangan oleh tenaga penanggulangan, 19 sampel dari daftar tenaga
diambil. Pengetahuan ini diukur dengan persepsi terhadap 36 pertanyaan tentang
penanggulangan DBD. Tiap pertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk
hingga baik). Data menunjukkan bahwa total skor persepsi penanggulangan
berkisar dari 86-156; rerata 127 dan median 128. Berdasarkan cut off ≥ 128 untuk
kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa hanya 53 % dari 19 sampel tenaga
mempunyai tingkat pengetahuan yang baik.

Tabel 4.6
Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD

Tingkat Pengetahuan Total %


Tinggi 10 52.6
Rendah 9 47.3
Total 19 100.0
Sumber: data Lapangan, 2006

Berdasarkan data di atas dapat digambarkan bahwa persepsi responden


terhadap pengetahuan berkaitan dengan penanggulangan DBD cukup baik, yaitu
52,6% responden memiliki pengetahuan tinggi dan 47,3% responden memiliki
pengetahuan rendah. Apabila dibandingkan persepsi responden terhadap

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


50
LAPORAN AKHIR

pengetahuan berkaitan dengan surveilans dan pengetahuan berkaitan dengan


penanggulangan, terlihat persentase responden lebih tinggi dalam pemahaman
surveilans. Hal ini menandakan terutama pada praktek di lapangan, dimana
sebagian responden adalah tenaga aparat dinas dan tenaga puskesmas yang
memiliki informasi dalam praktek kegiatan surveilans. Sedangkan praktek
penanggulangan dipahami lebih banyak oleh tenaga medis di rumas sakit sebagai
unit rujukan dalam kasus penanganan DBD.

Pengetahuan dalam penyelidikan dan penanggulangan KLB DBD sudah


bagus, sesuai dengan standar. Namun pemahaman ditingkat kabupaten/kota
secara general terhadap penanggulangan KLB belum optimal. Dalam operasional
di lapangan sudah baik karena mereka langsung cepat tanggap untuk menangani
KLB dan mencegah penyebaran lebih luas, namun dalam sistem pelaporan mereka
masih ada masalah. Setiap terjadi KLB, kabupaten/kota sering lupa untuk
mengirimkan laporan W2 (mingguan), yang sebenarnya merupakan salah satu
tools untuk melakukan evaluasi. Kalau tidak diminta oleh propinsi,
kabupaten/kota tidak mengirimkan.
Data di atas juga menggambarkan masih adanya persoalan berkaitan
dengan tenaga dalam penanganan DBD khususnya dalam hal koordinasi. Masih
banyak ditemukan masalah kurangnya atau lemahnya koordinasi untuk
pemberantasan DBD. Di Sulsel terdapat Pokjanal yang terdiri dari lintas sektor.
Namun setiap usulan dana dari APBD untuk kegiatan Pokjanal sering tidak
mendapat persetujuan Pemda karena urusan DBD dianggap urusan dinas
kesehatan. Adanya otonomi daerah pun malah mempersulit koordinasi. Seperti
terjadi di Sulsel, masing-masing kabupaten atau kota dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya terkesan tidak memerlukan bantuan dinkes propinsi.

(2) Dana

Masalah pembiayaan dalam penanggulangan penyakit DBD menjadi


permasalahan yang dihadapi setiap tahunnya oleh Dinas Kesehatan karena alokasi
anggaran yang bersumber dari APBD tidak/belum mencukupi sesuai dengan
kebutuhan. Selain itu, meskipun sudah teralokasi namun sebagian besar alokasi
anggaran dipergunakan untuk pengadaan obat dan peralatan (investasi) tidak
berupa biaya operasional. Hal tersebut berdampak pada pembiayaan untuk
operasional Puskesmas dalam upaya penanggulangan KLB. Dari hasil kunjungan
lapangan ke Puskesmas diketahui bahwa dana atau anggaran yang dipergunakan
untuk operasional penanggulangan penyakit menular di Puskesmas adalah
sebagian besar mempergunakan dana operasional yang diperoleh dari program
asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin).
Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan DBD di lokasi
kajian terlihat pada tabel di bawah ini. Sebagian besar dana ternyata berasal dari
APBD. Untuk puskemas, dana yang bersumber APBN sangat kecil. Hal ini sejalan
dengan kebijakan yang ada, dimana dana APBN berkaitan dengan operasional di
Puskesmas terbatas pada dana perbantuan untuk penguatan kapasitas.

Tabel 4.7

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


51
LAPORAN AKHIR

Distribusi sumber dana di Dinkes Propinsi dan Dinkes Kab/Kota

DINKES PROPINSI DINKES KAB/KOTA

SURVEILANS PENANGGULA SURVEILAN PENANGGULA


SUMBER DANA
NGAN KLB S NGAN KLB

jml % jml % jml % jml %


4 100.0 5 100.0 7 100.0 10 100.0
APBD
3 75.0 4 80.0 1 14.3 1 10.0
APBN
0 0.0 0 0.0 2 28.6 3 30.0
Lainnya
Sumber: Data Lapangan, 2006

Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan di tingkat


dinkes propinsi bersumber dari APBN (dekonsentrasi) dan APBD propinsi.
Sedangkan di tingkat dinkes kab/kota, selain berasal dari APBN (dalam bentuk
dana tugas perbantuan) dan APBD propinsi dan APBD kab/kota, juga berasal dari
sumber lainnya. Sumber dana lain tersebut didapat dari kelompok masyarakat
yang peduli terhadap penanganan kesehatan masyarakat, seperti dalam
pelaksanaan fogging fokus, penyediaan bahan-bahan pendukung untuk promosi
kesehatan, serta partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan penyuluhan,
khususnya di lingkungan RT/RW melalui posyandu. Yang dimaksud dengan
sumber dana lainnya adalah swadaya RS, swadaya masyarakat, dan swadana
puskesmas.
Sementara di tingkat puskesmas, sumber dana untuk pelaksanaan
opersional penanggulangan DBD juga bersumber dari APBN dan APBD serta
sumber lainnya. Dana APBN didapat dalam bentuk dana dekonsentrasi yang
disalurkan melalui APBD propinsi. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan
peningkatan kapasitas, seperti pelatihan tenaga puskesmas, serta peningkatan
manajamen puskesmas. Begitupula dana APBD, selain untuk peningkatan
kapasitas puskesmas, sebagian dana diberikan untuk pembelian bahan
operasional, seperti insektisida, peralatan fogging, pembelian insektisida,
larvasida, upah kader, transport supervisor, penanggulangan kasus, jasa kader,
jasa dokter, biaya perawatan, pembelian obat-obatan, pembelian bahan
bakar/solar, biaya akomodasi, biaya transfusi darah, pembuatan laporan, fogging,
penyuluhan, pembelian mesin, penyelidikan epidemiologi, dan penanggulangan
fokus.
Kader merupakan salah satu tenaga yang terlibat dan dibiayai dengan dana
kegiatan surveilans dan penanggulangan KLB. Salah satu peran kader jumantik
adalah mendampingi petugas puskesmas dalam melakukan pemeriksaan di 20
rumah sekeliling rumah penderita jika ada kasus DBD.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa kepala puskesmas di lapangan,
sumber dana untuk kegiatan surveilans berasal dari dana operasional puskesmas
(DOP). Bila tidak mencukupi menggunakan dana program, seperti JPK-MM. Tidak
ada dana yang spesifik diperuntukkan untuk kegiatan surveilans, sebagian besar
kegiatan operasional surveilans dan penanggulangan DBD mengggunakan dana

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


52
LAPORAN AKHIR

operasional umum yang ada di puskesmas. Hal tersebut karena dalam prakteknya
kegiatan operasional di lapangan dilakukan oleh semua petugas puskesmas.

Tabel 4.8
Distribusi Sumber Dana di RS dan Puskesmas

RS PUSKESMAS

SUMBER DANA PENANGGUL SURVEILAN PENANGGUL


SURVEILANS
ANGAN KLB S ANGAN KLB
jml % jml % jml % jml %
APBD 1 100.0 4 100.0 3 42.9 8 57.1
APBN 1 100.0 0 0.0 1 14.3 1 7.1
Lainnya 0 0.0 1 25.0 6 85.7 10 71.4
Sumber: Data Lapangan, 2006

Operasional surveilans di tingkat propinsi menggunakan dana APBN murni


maupun Dekon, serta dana APBD. Sedangkan untuk tingkat kabupaen/kota,
hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD
kabupaten/kota atau APBD sharing. Di kota Surabaya bahkan terkadang
menggunakan dana pribadi, bila dana yang diusulkan belum turun. Untuk tingkat
puskesmas, rata-rata penggunaan operasional surveilans berasal dari APBD.
Walaupun beberapa puskesmas terkadang menggunakan dana JPKMM sebagai
tambahan. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya
pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Hanya rumah sakit
Gresik yang menyatakan adanya dana surveilans, yaitu berasal dari APBN dan
APBD (Gakin).

Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN


(Dekon) dan APBD. Hal ini karena adanya kebijakan setiap propinsi mendapatkan
dana Rp. 2 milyar yang berasal dari dana dekon (APBN) khusus untuk
penanggulangan KLB. Untuk tingkat kabupaten/kota penggunaan dana terbanyak
berasal dari APBD baik APBD murni, maupun APBD-ABT yang diajukan sebagai
tambahan. Namun tidak menutup kemungkinan pendanaan dapat juga berasal
dari APBN, seperti halnya kabupaten Gresik. Sementara untuk puskesmas, selain
dana penanggulangan dari APBD, seringkali harus menggunakan dana tambahan
dari PKPS-BBM (JPKMM) maupun Askeskin karena seringnya dana terlambat
dicairkan. Tidak jarang puskesmas juga harus menggunakan dana swadaya
masyarakat atau pribadi. Seperti ditemukan di puskesmas Duduk Sampeyan dan
puskesmas Kebomas. Alokasi dana terbanyak adalah untuk obat dan peralatan
(investasi), seperti terjadi di Sulsel. Sehingga wajar saja jika digunakan sumber
lain.
Masalah lain dalam aspek dana berkaitan dengan proses pencairan yang
dirasakan prosesnya selalu lama dan terlambat. Contoh di Jawa Barat DIPA

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


53
LAPORAN AKHIR

seringkali terlambat. Proporsi anggaran untuk preventiv (surveilans) dan kuratif


(penanggulangan) tidak seimbang. Lebih banyak dana dikucurkan untuk kuratif.
Di propinsi Kalimantan Timur yang merupakan daerah endemis DBD, peran
swasta dalam kontribusi dana belum optimal. Bahkan meskipun sudah dibentuk
Yayasan Penanggulangan DBD dengan SK Walikota dan didanai oleh perusahaan-
perusahaan minyak, DBD masih merupakan masalah besar di Kaltim.

(3) Standar Operasi dan Prosedur (SOP)

Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular,


khususnya penyakit DBD, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arah
kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan). Dinas
Kesehatan Propinsi selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap)
Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas
Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkah
penanggulangan DBD sebagai berikut:

1. Kewaspadaan Dini;
(a) penemuan dan pelaporan penderita;
(b) penangggulangan focus;
(c) bulan kewaspadaan DBD;
(d) pemantauan jentik berkala;
2. Pemberantasan Nyamuk Penular DBD;
(a) terhadap nyamuk dewasa;
(b) terhadap jentik nyamuk;
3. Penanggulangan KLB;
(a) penyuluhan;
(b) Gerakan PSN;
(c) abatisasi;
(d) fogging massal;
4. Peningkatan SDM; antara lain pelatihan petugas kesehatan.

Pedoman yang bersifat teknis di lapangan diwujudkan dalam bentuk SOP.


Keberadaan SOP penting untuk panduan petugas. Pelaksanaan SOP kegiatan
surveilans dilakukan berdasarkan pedoman dan peraturan. Pada tingkat dinkes
propinsi maupun dinkes kab/kota keberadaan SOP dalam bentuk peraturan dan
pedoman cukup baik. Sedangkan di tingkat puskesmas dan RS masih sangat
rendah. Sementara SOP kegiatan penanggulangan KLB tampaknya sudah cukup
banyak dimiliki di semua level.

Tabel 4.9
Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


54
LAPORAN AKHIR

DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
PROPINSI KAB/KOTA
SOP
jml % jml % jml % jml %

Pedoman 5 83.3 11 91.7 4 57.1 12 50.0

Peraturan 3 100.0 4 57.1 1 14.3 0 0.0


Sumber: Data Lapangan, 2006

SOP dalam rangka penanggulangan KLB di Dinkes propinsi, kab/kota,


rumah sakit maupun puskesmas yang ada mencakup peraturan SKD-KLB,
pedoman SKD-KLB, pedoman penyelidikan KLB, pedoman penanggulangan KLB,
pedoman cara pelaporan, laporan penyakit potensi KLB, dan laporan kondisi
rentan KLB. Penyusunan SOP dimaksud dilakukan dengan melibatkan lintas
program.
Tabel 4.10
Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas

DINKES DINKES PUSKESMA


RS
SOP PROPINSI KAB/KOTA S
jml % jml % jml % jml %

Peraturan SKD-KLB 5 100.0 7 63.6 3 75.0 7 36.8

Pedoman SKD-KLB 5 100.0 9 81.8 3 75.0 8 42.1


Pedoman penyelidikan 5 100.0 10 90.9 2 50.0 15 78.9
KLB
Pedoman 5 100.0 10 90.9 3 75.0 13 68.4
Penanggulangan KLB
Pedoman Cara 5 100.0 7 63.6 2 50.0 13 68.4
Pelaporan
Laporan Penyakit 4 80.0 9 81.8 2 50.0 11 57.9
Potensi KLB
Laporan Kondisi Rentan 4 80.0 4 36.4 3 75.0 8 42.1
KLB
Sumber: Data Lapangan, 2006

Propinsi belum membuat SOP sendiri, selama ini masih mengikuti


pedoman dari pusat. Kedepan propinsi juga akan menyusun Standar Pelayanan
Minimal (SPM) dan Standar operasional (SOP) agar SOP bisa operasional di
lapangan. Di tingkat kabupaten/kota SOP yang ada selain mengadopsi dari pusat
juga mengadopsi SOP yang dibuat oleh Dinkes propinsi.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


55
LAPORAN AKHIR

Dari Tabel 4.10 tergambarkan keberadaan SOP di masing-masing tingkatan.


Seperti halnya SOP dalam rangka kegiatan surveilans, pada kegiatan
penanggulangan, setiap dinkes propinsi dan kabupaten/kota memiliki cukup
lengkap pedoman dan peraturan sebagai landasan operasional penanggulangan
penyakit. Namun demikian SOP dimaksud tidak secara lengkap dimiliki oleh
puskesmas. Rumah sakit memiliki SOP penanggulangan cukup baik dibandingkan
SOP surveilans. Hal ini dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai unit
rujukan dalam penanganan kasus penyakit menular termasuk kasus DBD.
Walaupun keberadaan SOP dimaksud cukup lengkap hampir pada setiap
tingkat unit pelayanan kesehatan, namun demikian keberadaan pedoman belum
tentu digunakan. Seperti halnya di RSU Ujung Berung, di propinsi Jawa Barat SOP
yang ada dianggap kurang operasional karena tidak sesuai dengan kondisi dan
permasalahan yang ada di lapangan. Upaya yang dilakukan dalam melakukan
operasionalnya dilakukan dengan membuat SOP yang lebih rinci dan sederhana
menjabarkan SOP yang dibuat dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota.
Yang menarik adalah di RSUD Mataram yang juga merupakan rumah sakit
pendidikan dan memilki tim pokja DBD, hanya laporan kondisi rentan KLB yang
mereka miliki. Namun mereka juga membuat standar operasional dalam
pertolongan pasien DBD yang tidak terdapat dalam ke-enam SOP tersebut.

(4) Data

Ketersediaan data, baik pada kegiatan surveilans maupun penanggulangan


KLB sangat penting. Data untuk surveilans yang dibutuhkan mencakup kasus,
jentik, vektor dan curah hujan. Dari ke-4 data tersebut ternyata hanya data kasus
yang tersedia di semua tingkatan. Data jentik yang sangat penting pun tidak
tersedia kecuali pada level puskesmas. Jumlah puskesmas yang memiliki data
tersebut sangat sedikit. Ketiadaan data di tingkat RS dikarenakan fungsi rumah
sakit yang lebih sebagai kuratif.
Informasi data surveilans diperoleh berdasarkan data dari seksi surveilans,
yang notabene tidak melakukan pengumpulan data jentik, vektor maupun curah
hujan. Baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Adapun
informasi jentik dan curah hujan dilakukan oleh seksi pemberantasan penyakit
(program DBD) yang bekerjasama dengan sanitasi. Oleh karena informasi yang
diperoleh berasal dari seksi surveilans, maka ketiga data tersebut tidak ada.
Sementara di bagian pemberantasan penyakit sendiri juga terdapat bagian
surveilans, yang melakukan pengumpulan data rutin DBD. Oleh karena itu bukan
berarti dalam surveilans data mengenai jentik dan vektor tidak ada, informasi
mengenai jentik dan vektor tidak bisa didapatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari
informasi penanggulangan yang merupakan perpaduan informasi dari seksi
surveilans dan pemberantasan.

Tabel 4.11
Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


56
LAPORAN AKHIR

DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
DATA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %

Kasus 3 100.0 6 100.0 4 80.0 11 100.0

Jentik 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 18.2


Vektor 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Curah hujan 0 0.0 1 16.7 0 0.0 0 0.0


Sumber: Data Lapangan, 2006

Data yang dibutuhkan untuk penanggulangan DBD mencakup kasus, jentik,


lingkungan/genangan, perilaku 3M, vektor, curah hujan dan logistik. Terlihat pada
tabel di bawah ini bahwa data yang paling banyak tersedia adalah data kasus dan
jentik. Tampaknya di dinkes propinsi dan dinkes kab/kota, data lebih lengkap
tersedia dibandingkan di tingkat RS dan puskesmas.

Tabel 4.12
Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB di Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas

DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
DATA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Kasus 5 100.0 12 100.0 5 71.4 18 94.7
Jentik 3 60.0 12 100.0 0 0.0 7 36.8
Lingkungan/genan
1 20.0 4 33.3 0 0.0 1 5.3
gan
Perilaku 3M 0 0.0 2 16.7 0 0.0 0 0.0

Vektor 1 20.0 1 8.3 0 0.0 1 5.3

Curah hujan 1 20.0 1 8.3 0 0.0 2 10.5

Logistik 2 40.0 4 33.3 2 28.6 5 26.3


Sumber: Data Lapangan, 2006

Di Dinkes Kota Bandung Jawa Barat kegiatan surveilans dilakukan secara


manual dengan cara pengumpulan data, pencatatan dan pelaporan. Sementara
pelaporan yang dilakukan Puskesmas dikirim langsung oleh petugas puskesmas ke
dinas kesehatan kota sesuai format yang ditentukan dalam bentuk manual. Sharing
informasi antar petugas bidang/unit puskesmas dilakukan dalam bentuk ”rakor
bulanan”, sekaligus ajang tukar informasi dan pengalaman serta upaya
pemecahan masalah yang ditemukan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


57
LAPORAN AKHIR

Temuan lain yang di dapat di lapangan adalah tidak dikumpulkannya data


jentik, vektor, dan curah hujan. Selain itu ketepatan dan kelengkapan laporan dari
kabupaten masih rendah. Juga belum dilakukan analisis data baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk
SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat /diprediksi diawal untuk
kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Selama ini propinsi tidak pernah
mempermasalahkan validitas data yang dilaporkan. Untuk pengecekan data
biasanya menyamakan informasi yang berasal dari media massa. Propinsi belum
mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atau
ketidak lengkapan.

(5) Sarana

Ketersediaan sarana penunjang kegiatan surveilans terlihat pada tabel


berikut ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah sarana masih sangat terbatas.
Kepemilikan sarana transportasi dan pengolah data, dari level puskesmas hingga
dinkes propinsi berkisar 11-50% saja. Sementara untuk sarana komunikasi sudah
lebih baik; meskipun untuk level RS dan puskesmas masih perlu ditambah.

Tabel 4.13
Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas

DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
SARANA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 3 50.0 4 36.4 1 11.1 11 50.0
Pengolah data 3 50.0 5 41.7 4 44.4 9 40.9
Komunikasi 6 100.0 10 83.3 6 66.7 14 63.6
Sumber: Data Lapangan, 2006

Bila di lokasi kajian lain, peralatan pengolah data sudah menggunakan


komputer, tidak halnya di Puskesmas Benteng Hilir yang masih menggunakan cara
manual. Padahal di puskesmas lainnya, sudah disediakan komputer.

Faktor geografis rupanya menentukan jenis alat komunikasi dan dipakai. Di


propinsi Jawa Timur, semua wilayah dapat dijangkau dengan telepon, sementara
di NTB tidak hanya memanfaatkan telepon sebagai alat komunikasi, tetapi juga
SSB. Di kabupaten Lombok Tengah yang menggunakan SSB sebagai sarana
komunikasi karena belum adanya kabel telepon. Di propinsi Riau, sarana
komunikasi menggunakan telepon, walaupun tidak semua wilayah dapat dijangkau
dengan fasilitas telepon.

Untuk kegiatan penanggulangan KLB, ketersediaan/kepemilikan sarana


yang diperlukan terlihat sudah jauh lebih baik daripada ketersediaan/kepemilikan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


58
LAPORAN AKHIR

sarana untuk kegiatan surveilans. Namun, untuk insektisida, obat, alat


penyemprot dan alat penyuluhan masih kurang tersedia di semua level.

Tabel 4.14
Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan KLB di Propinsi,
Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas

DINKES DINKES
RS PUSKESMAS
SARANA PROPINSI KAB/KOTA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 4 80.0 10 83.3 2 33.3 12 66.7
100.
Pengolah data 5 10 83.3 5 83.3 13 72.2
0
100.
Komunikasi 5 9 75.0 4 66.7 14 77.8
0
Obat 4 80.0 4 33.3 4 66.7 9 50.0
100.
Insektisida 5 11 91.7 2 33.3 13 72.2
0
Alat penyemprot 3 60.0 12 100.0 0 0.0 8 44.4
Alat Penyuluhan 0 0 7 58.3 4 66.7 10 55.6
Sumber: Data Lapangan, 2006

Sarana yang dimiliki ada yang statusnya “tidak khusus” untuk kegiatan
surveilans atau penanggulangan KLB. Artinya bisa digunakan juga untuk kegiatan
lainnya. Umumnya sarana yang demikian adalah untuk jenis transportasi. Selain
itu, kondisinya pun belum tentu bagus. Di Dinkes Kota Samarinda, Kaltim,
misalnya, alat transportasi untuk surveilans dalam kondisi rusak.
Berkaitan dengan jumlah dan jenis sarana, dalam kenyataannya terdapat
variasi di berbagai dinkes propinsi, maupun dinkes di kab/kota, rumah sakit dan
puskesmas. Di propinsi Jabar, yaitu di Dinas Kesehatan Kota Bandung, tersedia 3
mobil, sementara di Dinkes Kabupaten Bogor hanya 1 mobil; dan di Puskesmas
Bojong Gede selain ada 1 mobil juga tersedia 1 motor. Kondisinya pun belum tentu
bisa digunakan. Misalnya di Dinkes Kota Samarinda tersedia 2 motor, tetapi hanya
1 yang bisa digunakan.
Untuk alat komunikasi, karena tidak adanya fasilitas kantor, seringkali
digunakan fasilitas pribadi seperti handphone, seperti yang terjadi di Dinkes
Kabupaten Gowa dan Puskesmas Palangga di Sulsel.
Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah
adanya fogging fokus serta insektisida. Pengadaan insektisida dan fogging fokus
untuk beberapa propinsi di kirim oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum
siap.
Satu hal yang unik adalah ketiadaan sarana senter. Senter digunakan untuk
surveilans khususnya dalam penemuan jentik dari rumah ke rumah. Bahkan yang

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


59
LAPORAN AKHIR

sangat menyedihkan, di puskesmas Temindung Kaltim penggantian biaya batere


untuk senter hanya setahun sekali saja.

4.3 Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam


Penanggulangan Penyakit DBD

4.3.1 Kewenangan Daerah dan Standar Pelayanan Minimum

Sejak diberlakukannya paket UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan No. 25


tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004)
telah terjadi perubahan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota. Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147
tahun 2000, maka tugas Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional,
pedoman, standar, petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah,
sementara fungsi-fungsi yang bersifat operasional sudah harus diserahkan kepada
daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Penerapan UU tersebut, khususnya di
bidang kesehatan belum disikapi dengan utuh, sehingga terkesan tidak tuntas
dalam bertindak. Ini disebabkan adanya kegamangan dalam peran dan
tanggungjawab di masing-masing jenjang ataupun instansi di pemerintahan.
Selanjutnya pasal 12 UU No. 32/2004 menyatakan bahwa fungsi yang telah
dilimpahkan kepada daerah tersebut termasuk tanggung jawab daerah untuk
menyediakan sumberdaya yang diperlukan, termasuk pembiayaan, sarana dan
ketenagaan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimum
(SPM). Untuk itu daerah wajib menyediakan pelayanan dasar yang dianggap
esensial bagi kesejahteraan penduduk, termasuk di bidang kesehatan.
SPM yang sekarang ini berlaku adalah daftar yang ditetapkan dalam
Keputusan Menkes No. 1457/2003 (saat ini sedang dilakukan proses revisi).
Dalam daftar tersebut ada 9 kewenangan wajib (KW) dan 31 jenis
kegiatan/pelayanan/program, seperti dalam tabel di bawah.

Tabel 4.15
Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan

No Kewenangan Wajib (KW) No Standar Pelayanan Minimum (SPM)


1 Pelayanan Dasar 1 KIA
2 Kesehatan anak pra-sekolah 7 sekolah
3 KB
4 Imunisasi
5 Pengobatan dan perawatan dasar
6 Kesehatan Jiwa
Kesehatan kerja *)
Kesehatan usila *)
2 Giji Masyarakat 7 Pemantauan pertumbuhan balita
8 Pelayanan gizi

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


60
LAPORAN AKHIR

3 Rujukan dan Pelayanan Penunjang 9 Pelayanan obstetri dan neonatal


emergency dasar
10 Pelayanan emergency
4 Pencegahan dan Pemberantasan 11 Surveilans dan pengendalian KLB kurang
Penyakit Menular gizi
12 Pencegahan dan pengobatan polio
13 Pencegahan dan pengobatan TBC
14 Pencegahan dan pengobatan infeksi
saluran nafas
15 Pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS
16 Pencegahan dan pengobatan DBD
17 Pencegahan dan pengobatan Diare
Pencegahan dan pengobatan Malaria *)
Pencegahan dan pengobatan Kusta *)
Pencegahan dan pengobatan Filaria *)
5 Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi 18 Kesehatan lingkungan
Dasar 19 Pengendalian vektor
20 Hygiene dan sanitasi tempat umum
6 Promosi Kesehatan 21 Promosi Kesehatan
7 Pengendalian Napza 22 Promkes dan pengendalian
penyalahgunaan obat
8 Pelayanan Farmasi 23 Pengadaan obat dan bahan medis
24 Obat generik
9 Pembiayaan kesehatan, kesehatan 25 Pembiayaan untuk pelayanan kesehatan
perorangan dan auransi kesehatan perorangan
26 Pembiayaan kesehata penduduk miskin
dan risti
Sumber: Depkes RI, 2006
*) Hanya di kab/kota tertentu

Berdasarkan hasil analisis tentang daftar SPM tersebut disebutkan bahwa


kriteria yang tersirat dalam 3 kegunaan SPM seperti disebutkan dalam UU No.
32/2004 belum seluruhnya terakomodir. Tiga pelayanan dasar menurut UU
tersebut adalah (1) hak konstitusi penduduk, (2) kepentingan nasional untuk
kesejahteraan masyarakat, keamanan dan ketertiban umum serta integritas dan
kesatuan nasional, (3) komitmen nasional terhadap kesepakatan dan konvensi
internasional.
Pelaksanaan SPM di tingkat kabupaten/kota ternyata menimbulkan
kebingungan dan masalah. Pertama, penghitungan kebutuhan biaya untuk semua
pelayanan dalam daftar SPM tersebut menghasilkan suatu jumlah yang tidak
dapat ditanggung oleh banyak daerah. Ada daerah beranggapan bahwa
pemerintah pusat harus menanggung selisih biaya yang tidak bisa ditanggung
pemerintah daerah. Kedua, banyak daerah mengalami kesulitan menterjemahkan
target nasional dalam target daerah. Misalnya, tidak banyak kabupaten/kota yang
memiliki data dasar tentang prevalens penyakit, masalah kesehatan kerja, TBC
dan penyakit lainnya, sehingga kesulitan dalam menetapkan target untuk
Indonesia Sehat 2010. Ketiga, tidak mudah menterjemahkan target 2010 dalam
target tahunan. Dalam kenyataan, banyak kabupaten/kota yang menetapkan
target programnya atas dasar plafond anggaran yang akan diterima untuk tahun
bersangkutan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


61
LAPORAN AKHIR

4.3.2 Peran Pemerintah daerah dalam Penanggulangan DBD


Pemberantasan penyakit demam berdarah dengue (DBD) sangat tergantung
pada peran besar pemerintah daerah, yang langsung menghadapi masyarakat.
Daerah diharapkan lebih aktif menggerakkan masyarakatnya untuk menjaga
lingkungan masing-masing. Peran daerah dalam penanggulangan DBD antara lain
dilakukan dengan tindakan preventif seperti (1) mengeluarkan surat edaran
kewaspadaan penyakit DBD kepada semua kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota, (2) kampanye gerakan pembersihan sarang nyamuk, (3)
penyebaran poster, ceramah klinik penyegaran tata laksana kasus, maupun
membahas penanganan dan antisipasi DBD. Pemerintah Provinsi memfasilitasi
teknis dan pengamatan DBD di daerah endemis, membagikan bubuk abate dan
malathion untuk pengasapan ke kabupaten/kota, selain juga memberikan bantuan
cairan infus.
Kebijakan pemerintah melalui PSN dalam mengendalikan tempat
perindukan telah ditetapkan dan disosialisasikan melalui berbagai media. Usaha
promosi kesehatan secara konvensional telah meningkatkan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat mengenai pemberantasan DBD, namun belum diikuti
dengan perbaikan sikap. Belajar dari negara tropis lainnya yang telah
mengembangkan inovasi pemberdayaan masyarakat melalui COMBI
(Communication for Behavioural Impact) menunjukkan bahwa sebelum
menetapkan intervensi, perlu didasari pada suatu formative research yang
mengungkap hal-hal yang dibutuhkan masyarakat (Park 2004, WHO 2003).
Inovasi ini masih belum menjadi fokus perhatian dalam kegiatan PSN di
Indonesia.
Di propinsi pemantauan kasus terus dilakukan, para bupati dan wali kota
disurati untuk mengantisipasi DBD, termasuk kampanye di media massa.
Pemerintah Provinsi juga mendistribusikan abate, malathion, cynoft, dan filter
paper ke kabupaten/kota. Selain itu juga dilakukan penyuluhan dan gerakan 3 M
(menguras, menimbun, dan menutup tempat-tempat potensial perindukan
nyamuk). Strategi penanganan DBD dilakukan dengan pengumpulan data kasus
DBD dari RS, puskesmas, klinik swasta, pengumpulan data morbiditas kasus DBD
yang lalu (tiga-lima tahun) yang akan dipakai sebagai data dasar. Pengumpulan
data lapangan dengan mengunjungi rumah penderita, dan pencarian kasus baru,
serta pengamatan terhadap perilaku masyarakat disertai penaburan abate 10
gr/100 lt pada TPA di setiap rumah penduduk dengan radius 400 meter persegi
dari rumah kasus.
Dinkes mengembangkan sistem kerja deteksi dini, yaitu mengidentifikasi
berbagai kasus penyakit yang timbul, mulai dari gejala, penyebab, dan daerah
sebarannya, terutama daerah rawan endemi. Pelaporan dini, pada tahap ini
dilakukan Puskesmas sebagai ujung tombak dalam tindakan darurat mengatasi
berbagai permasalahan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


62
LAPORAN AKHIR

Kebijakan desentralisasi semakin rumit ketika harus dilaksanakan di sektor


kesehatan yang mencakup area kegiatan luas dan yang selama ini didominasi
peran pemerintah pusat. Sebelum desentralisasi alokasi anggaran kesehatan
dilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model negosiasi ke
propinsi-propinsi. Setelah desentralisasi kebijakan sektor kesehatan menghadapi
apa yang disebut anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU)
yang berbasis pada formula. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak
hanya ke propinsi melainkan sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota di
Indonesia. Secara implisit DAU kesehatan dianggap sudah termasuk dalam
formula tersebut walaupun sebenarnya secara eksplisit tidak ada. Praktis sektor
kesehatan harus berjuang di tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk
mendapatkan anggaran. Dengan demikian daerah harus merencanakan dan
menganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk
mendapatkannya.

4.3.3 Koordinasi antar sektor

Koordinasi dengan instansi terkait di tingkat Kabupaten/Kota setelah


adanya desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi lebih sulit untuk dilakukan.
Hal ini dikarenakan ada kesan masing-masing Kabupaten/Kota dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak memerlukan bantuan/koordinasi
Dinas Kesehatan Propinsi. Koordinasi yang sulit terlihat dari lambatnya
mekanisme pelaporan kasus KLB, meskipun prosedur pelaporan ada dan telah
baku. Masalah penanggulangan KLB semakin sulit penanganannya manakala
mekanisme pelaporan tidak berjalan baik, meski prosedur telah ada dan baku.
Masalah lemahnya koordinasi lintas program dan lintas sektor, masih
dijumpai dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit. Di tingkat Propinsi,
pelaksanaan tugas kelompok kerja operasional (Pokjanal) DBD tingkat Propinsi,
yang merupakan salah satu wadah koordinasi antar instansi/lintas sektor,
tidak/belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan tidak adanya
dukungan pendanaan dari masing-masing instansi terkait yang tergabung dalam
Pokjanal DBD. Setiap usulan rencana kegiatan dan pembiayaan kegiatan Pokjanal
DBD yang diajukan oleh masing-masing instansi terkait di luar kesehatan sering
tidak mendapat persetujuan untuk mendapat dana APBD dari Pemerintah Daerah
setempat, dengan pertimbangan antara lain bahwa urusan penyakit menular DBD
adalah urusan dinas kesehatan, tidak melibatkan instansi di luar kesehatan.
Pemberdayaan lintas sektor dalam menjalankan Pokja/Pokjanal DBD yang
telah dibentuk, belum optimal. Pada umumnya, sektor kesehatan masih dipandang
sebagai aktor dan inisiator utama dalam pencegahan DBD. Hal ini sejalan dengan
temuan Siregar (2003) tentang tidak adanya hubungan bermakna antara fogging,
abatisasi, PSN dan PJB dalam menurunkan insidens DBD di Kota Medan, karena
tenaga Pokja DBD tidak aktif. Hal ini diperkuat oleh Halstead (2000) mengenai
sukses dan kegagalan pengendalian penyakit DBD. Metode konvensional promosi
kesehatan melalui KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan advokasi telah
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, namun belum berhasil

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


63
LAPORAN AKHIR

memperbaiki perilaku. Communication for Behavioural Impact (COMBI)


menawarkan pendekatan dinamis untuk mengubah perilaku dalam pengembangan
sosial (Kusriastuti, 2004; Parks, 2004: Umniyati, 2004).
Adanya usulan mengenai pembentukan dan pengaktifan Tim Epidemiologi
Kota sebagai wahana untuk penelusuran penyakit berbasis lingkungan, diharapkan
dapat merangkum berbagai pihak terkait dari lintas program pemberantasan
penyakit, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan maupun lintas sektor dari
lingkungan dan dinas tata kota.
Semua petugas sektor kesehatan memiliki panduan mengenai tata laksana
penanggulangan penyakit DBD yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI,
bahkan seorang di antara enam Kepala Puskesmas yang diwawancarai,
menindaklanjutinya dengan menyusun protap pelaksanaan di lapangan.
Mekanisme PSN-DBD terhadap masyarakat diakui berjalan dengan baik,
walaupun tidak di seluruh tempat. Diakui oleh para petugas kesehatan adanya
peminatan masyarakat yang lebih tinggi terhadap fogging bila dibandingkan
dengan PSN. Walaupun demikian hasil wawancara dengan masyarakat
menunjukkan bahwa masyarakat mengakui PSN melalui 3M lebih baik dan lebih
murah daripada pengasapan. Hampir seluruh petugas memahami takaran larutan
untuk fogging dan mengatakan bahwa fogging fokus dilaksanakan hanya setelah
ada kasus, tidak dilakukan sebelum masa penularan. Petugas dinas kesehatan
mengemukakan esensi intensifikasi penyuluhan mengenai PSN-DBD pada masa
rendah penularan penyakit

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


64
LAPORAN AKHIR

BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan

(1) Kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan


penanggulangan penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1) koordinasi
antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan
DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum
dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan
tanggung jawab masing-masing, (3) sistem pengelolaan program
penanganan penyakit menular masih didominasi pusat, (4) tingginya beban
puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi
kebijakan penanggulangan penyakit menular.

(2) Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan


i. Peta rawan, hampir semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota
memiliki peta rawan, sedangkan di Puskesmas sebagai unit
pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan rujukan,
peta rawan tidak selalu tersedia.
ii. Diseminasi informasi dilakukan melalui penerbitan buletin kajian
epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi dan dinkes
kabupaten/kota.
iii. Sistem Pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan laporan
mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%.
iv. Jumlah Kasus periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi
lokasi kajian (kecuali Jatim meningkat), sedangkan data kematian
cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR) DBD fluktuatif.

(3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan


penanggulangan terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4)
SOP, (5) sarana, dan (6) data.

i. Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota


termasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan
dalam kegiatan surveilans dan penanggulangan.
ƒ Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum
sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi
merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan.
ƒ Kualitas dan kualifikasi masih belum terpenuhi sesuai dengan
bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata perawat,
Sarjana (SKM) dan MKes.
ƒ Tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara Surveilans
dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


65
LAPORAN AKHIR

Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak


menggambarkan pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi
lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak dilakukan
ƒ Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi.

ii. Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan


KLB masih belum sama,
ƒ Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun
kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah
pembinaan teknis, mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan
melakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupun
penangulangan penyakit.
ƒ Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnya
dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M.

iii. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan


penanggulangan penyakit menular.

ƒ Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan penanggulangan


penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus
untuk KLB tersedia block grant dari pusat.
ƒ Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir semuanya menggunakan
dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kota
atau APBD sharing.
ƒ Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus untuk kegiatan
surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana
operasional umum juga memanfaatkan dana JPK-MM.
ƒ Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya
pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis.
Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari
APBN (Dekon) dan APBD.
ƒ Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlambatan
turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya
ketika kasus terjadi, dan (3) proporsi anggaran untuk preventif
dan kuratif yang tidak seimbang.

iv. SOP. Hampir semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki


pedoman dan peraturan dalam rangka pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD. Namun demikian kebanyakan SOP tersebut
belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota inisiatif melakukan
modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes.

v. Sarana. Walaupun kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan


penanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak
menjadi kendala dalam berjalannya sistem.
ƒ sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD
adalah adanya fogging fokus serta insektisida

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


66
LAPORAN AKHIR

ƒ pengadaan insektisida dan fogging fokus di supply oleh Dinkes


Propinsi karena kab/kota belum siap

vi. Data.
ƒ Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten/kota masih
rendah,
ƒ Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota (baru bersifat pengumpulan data).
Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat
/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum
dilakukan.
ƒ Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan
ƒ Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.

(4) Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD


ƒ Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun
belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan
tenaga, sarana dan dana.
ƒ Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu
kegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antar
area yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang
tersedia.
ƒ Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saat
kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak
dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala,
antara lain (1) keterbatasan tenaga, (2) Keterbatasan dana, (3)
ketiadaan sarana.
ƒ Penyelidikan Epidemiolegi (PE) yang dilakukan Puskesmas belum
maksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklanjuti dengan PE karena
DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang
seharusnya dilakukan tidak berjalan.
ƒ Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit.
Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali
kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi
ƒ Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada
keterlambatan pengobatan akibat terlambat merujuk

(5) Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem


kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem
perencanaan dan sistem keuangan yang baru.
i. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk
penanganan penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan
dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN
(dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan),

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


67
LAPORAN AKHIR

ii. Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertata


dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal
sektor maupun lintas sektor.
iii. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak
dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi
kesehatan, bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta
informasi.

5.2 Rekomendasi Kebijakan


Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup
1. Peningkatan koordinasi antar instansi dan antar unit dalam berbagai
tingkatan dalam penanganan penyakit menular,
2. Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi
pelaksanaan program antar pusat daerah yang mencakup aspek
perencanaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi),
3. Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program oleh
pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan
profesionalisme pengelola program di daerah,
4. Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan
dalam operasionalisasi surveilans dan penanggulangan penyakit menular,
malalui
a. Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun
APBD,
b. Penyepurnaan SOP sesuai “local specific”,
c. Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data,
analisis, validasi dan pengembangan “respond system”, dan sistem
kesiapan dini (early warning system),
d. Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan melibatkan
peran aktif masyarakat,
5. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui
intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi,
6. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko,
7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko,
8. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko,
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah,
9. Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit.
10. Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam
meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan
dan penanggulangan DBD.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


68
LAPORAN AKHIR

11. Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan


lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam
perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik
antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri
dalam satu wilayah.

5.3 Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut

Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut yang
diperlukan mencakup

1. Aspek Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya


kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu
diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat
promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta
tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan
penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud
secara memadai.

2. Aspek Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan


kesehatan seperti askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat
terjamin, sekaligus menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Pola pendanaan diharapkan dapat lebih fleksibel dan
dimungkinkan untuk kebutuhan KLB dalam bentuk multiyears fund.

3. Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan


dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan. Keberadaan
data dan informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator
kinerja pembangunan kesehatan.

4. Aspek Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para


pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak
pembangunan kesehatan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaran
memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif.

5. Aspek SOP, dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaan


opersional tenaga lapangan.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


69
LAPORAN AKHIR

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:


Penerbit Buku KOMPAS

Anies.2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah dan


Menanggulangi Penyaki Menular. Jakarta: Elex Media Komputindo

Anies. 2005. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia

Bappenas. 2005. Progress Report on The Millenium Development Goals

Chin, JMES. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:


Infomedika

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Modul Surveilans

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pencegahan dan


Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Standar Pengawasan Program


Bidang Kesehatan. Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD)

Hadinegoro, Sri Rezeki, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta: Ditjen P2M & PL, Departemen Kesehatan RI

Halstead, Scott B. Successes and Failures in Dengue Control-Global Experience,


Dengue Bulletin Volume 24, December-2000 [cited 9 Juli 2005] Available
from : http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332

Kusriastuti, Rita. 2006. Kebijakan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di


Indonesia. Subdit Arbovirosis, Ditjen PP & PL Depkes RI

Muninjaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC

Noor, Nur Nasry. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Reka
Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rekacipta.

Parks, Will & Linda Lloyd.2004. Planning social mobilization and communication
for dengue fever prevention and control, World Health Organization

Santoso, Gempur. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.


Jakarta: Prestasi Pustaka

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


70
LAPORAN AKHIR

Siregar, Sari Nurhamida. 2003. Analisa Penatalaksanaan Penanggulangan


Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam menurunkan Insidens DBD dan
Menentukan Kebijakan Operasional di Kota Medan, Universitas Airlangga.

Soerawidjaja, Resna A.. dan Azrul Azwar. 1989. Penanggulangan Wabah Oleh
Puskesmas. Jakarta : Bina Putra Aksara.

Sulastomo. 2003. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

World Health Organization. 2001. Panduan Lengkap Pencegahan & Pengendalian


Dengue dan Deman Berdarah Dengue. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
EGC.

Peraturan Perundangan

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit


Menular

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/SK/VIII/2004


tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (KLB)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Penyakit


Menular

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit
Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 Tentang


Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar
Biasa (KLB)

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


71
LAPORAN AKHIR

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


72
LAPORAN LAMPIRAN
AKHIR 1
RANCANGAN INSTRUMEN KAJIAN
I. Tujuan
a. Identifikasi faktor-faktor yang menghambat system informasi manajemen
surveilans penyakit menular

b. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam penanggulangan


penyakit menular

c. Identifikasi langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan penyakit menular

II. Kerangka Konsep

SURVEILANS

INPUT PROSES OUTPUT

• Tenaga • Koordinasi kegiatan


• Dana pengumpulan
• Sarana • Validasi
• Pengetahuan yang benar • Pengolahan data • Identifikasi masalah
• Pelatihan • Analisis data • Penyelidikan sebab masalah
• Metoda pengumpulan data • Supervisi pengumpulan • Diseminasi
• Potensi komunitas • Supervisi pengolahan

PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR

INPUT PROSES OUTPUT

• Tenaga • Koordinasi lintas sektor


• Sarana • Upaya perbaikan kondisi
• Dana rentan
• Protap • Sistem kewaspadaan dini
• Pengetahuan ttg Wabah & • Penyelidikan & • Wabah tidak menjadi masalah
Penanggulangan Penanggulangan wabah kesehatan masyarakat
III. •Definisi
Pelatihan Operasional • Kesiapsiagaan menghadapi
• Informasi surveilans wabah
•SURVEILANS
Pengambilan Keputusan
•Input
Potensi komunitas

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


73
LAPORAN AKHIR

1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan surveilans yang meliputi jumlah pelaksana


dan tingkat pendidikan serta lamanya bekerja di surveilans.
2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber dana
kegiatan surveilans.
3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yang
diperlukan dalam melakukan kegiatan surveilans.
4. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang survailans penyakit
menular.
5. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentang
surveilans penyakit.
6. Metoda pengumpulan data merupakan keberadaan tata laksana kegiatan
pengumpulan data dan kesesuaian dengan fungsinya.
7. Partisipasi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas
(seperti: tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan surveilans.

Proses
1. Koordinasi kegiatan pengumpulan merupakan kerjasama tim surveilan dengan
komunitas dan koordinasi di dalam tim itu sendiri dalam melakukan pengumpulan
data
2. Validasi merupakan kesesuaian proses kegiatan dengan SOP yang sudah ada.
3. Pengolahan data merupakan ketapatan waktu dan keakuratan suatu data di olah.
4. Analisis data merupakan ketepatan penggunaan teknik analisa data.
5. Supervisi pengumpulan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengumpulan data.
6. Supervisi pengolahan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengolahan data.

Output
1. Identifikasi masalah merupakan hasil analisis data yang sudah diproses untuk
mengetahui kemungkinan munculnya/timbulnya kejadian (morbiditas/mortalitas)
penyakit menular.
2. Penyelidikan sebab masalah merupakan proses identifikasi sumber/penyebab
timbulnya masalah
3. Diseminasi merupakan ketepatan waktu penyebaran dan kelengkapan informasi
surveilans kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pengambil keputusan).
Kelengkapan diukur berdasarkan SOP yang ada

PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR


Input
1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan penanggulangan wabah yang meliputi jumlah
pelaksana dan latar belakang pendidikan serta lamanya bekerja.
2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber dana
kegiatan.
3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yang
diperlukan dalam melakukan kegiatan penanggulangan wabah.
4. Protap merupakan keberadaan peraturan yang sesuai dengan fungsinya dalam
kegiatan.
5. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang karakteristik dan
kegiatan penanggulangan penyakit menular.
6. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentang
penanggulangan penyakit.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


74
LAPORAN AKHIR

7. Informasi Surveilans merupakan hasil output system surveilans yang sudah diolah
dan dianalisis dengan melihat ada dan tidaknya informasi, ketepatan dan
kelengkapan data, dan ketepatan waktu yang diterima oleh pihak-pihak pengambil
keputusan.
8. Pengambilan Keputusan merupakan individu yang bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan dalam kegiatan penanggulangan.
9. Potensi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti:
tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan penanggulangan wabah.

Proses
1. Koordinasi lintas sektor merupakan kerjasama antar pihak-pihak yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan wabah.
2. Upaya perbaikan kondisi rentan merupakan upaya pencegahan melalui perbaikan
keadaan yang menjadi sebab timbulnya kerentanan.
3. Sistem kewaspadaan dini merupakan pelaksanaan pemantauan terus menerus
terhadap munculnya kerawanan yang terjadi pada unsur-unsur dasar penyebab
terjadinya suatu wabah, dan peningkatan jumlah penderita yang merupakan indikasi
adanya kemungkinan meletusnya suatu wabah.
4. Penyelidikan merupakan proses kegiatan kajian penyelidikan pendahuluan dan
laporan awal, penyelidikan awal dan laporan perkembangan wabah (periodik), dan
penyilidikan wabah yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab (Dinas
kesehatan dan pusat).
5. Pelayanan pengobatan merupakan upaya pengobatan terhadap kelompok yang
berisiko.
6. Pencegahan merupakan upaya memutus mata rantai penularan.
7. Surveilans Ketat merupakan upaya pemantauan kecenderungan wabah.

Output
1. Wabah tidak menjadi masalah kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


75
LAPORAN AKHIR

IV. Draft Instrumen


Instrumen yang akan dirancang adalah instrument untuk wawancara mendalam (indepth
interview) dan instrument observasi (check list).

Sumber Informan adalah petugas yang terkait dengan pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan penyakit menular, yaitu:
1. Tingkat Pusat antara lain P2M, Yanmedik dan Binkesmas
2. Tingkat Provinsi antara lain:
3. Tingkat Kabupaten antara lain: kepala dinas kesehatan, kasubdin P2M, seksi
surveilance, Bappeda, Biro Kesra
4. Puskesmas: Kepala Puskesmas, petugas P2M, staf Kesling
5. Masyarakat anatar lain: : Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel.,Pustu/polindes, Kader
Kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


76
LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 2
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyempurnaan Proposal

Dalam rangka memperkaya proposal telah dilakukan beberapa kegiatan


mencakup (1) pelaksanaan brainstorming dengan Tim Pakar, (2) Ekspose Tim
Ahli, serta (3) Diskusi Internal.

(1) Brainstorming dengan Tim Pakar

ƒ Pelaksanaan brainstorming dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 28


Pebruari 2006.
ƒ Tim yang diundang dalam acara brainstorming adalah nara sumber dari
kajian ini serta beberapa pakar lainnya, yaitu
- Dr. Broto Warsito, MPH
- Dr. Indrijono Tantoro, MPH, Setditjen P3L Depkes
- Prof. Dr. Sukirman, Ahli Gizi IPB
- Dr. Dadi Argadiredja, MPH, Fakultas Kedokteran Unpad
- Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D, Balitbang Depkes
- Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
- Dr. Dedi M. Masykur Riyadi, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan
Bappenas
ƒ Brainstorming dengan tim pakar dimaksudkan untuk mendapatkan
wawasan yang lebih jelas mengenai penanggulangan penyakit menular.
ƒ Masukan yang diharapkan dari pelaskanaan brainstorming mencakup
perbaikan konsep, kerangka pemikiran, rumusan masalah serta tujuan
dan sasaran penelitian. Dalam aspek metodologi masukan dari
brainstorming yang diharapkan berkiatan dengan aspek runga lingkup
kajian, pemilihan lokasi peneltian, penetapan responden, serta variabel
kajian
ƒ Hasil brainstorming selengkapnya pada LAMPIRAN 2.

(2) Ekspose Tim Ahli

ƒ Ekspose Tim Ahli dilaksanakan pada tanggal 5 April 2006


ƒ Ekspose Tim Pakar dimaksudkan untuk menggali lebih dalam lagi
berbagai aspek yang berkaitan dengan Penanggulangan Penyakit
Menular, mencakup aspek
• Review tentang Kajian Penyakit Menulat (Aspek Metodologi Kajian,
oleh Prof. Dr. dr. Soedarto Romoatmojo, FKM-UI

• Tinjauan Umum tentang Kebijakan Penanggulangan Penyakit


Menular di Indonesia (Kebijakan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


77
LAPORAN AKHIR

Yang Akan datang, oleh Dr. Indriono, Setditjen Pengendalian


Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes
• Kebijakan Umum Departemen Kesehatan dan/atau Nasional dalam
Upaya Penanggulangan Penyakit Menular, oleh Kepala Pusat Kajian
Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Depkes
• Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas, oleh Direktur Bina
Kesehatan Komunitas, Depkes
• Penanggulangan penyakit Menular di Rumah Sakit Kabupaten/Kota,
oleh Direktur Bina Pelayanan Medik dasar, Depkes
• Tinjauan terhadap Kebijakan Surveilans Epidemiologi. Teori dan
Praktek dalam Penanggulangan Penyakit Menular, ole Direktur
Surveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra, Depkes.
• Kebijakan Penanggulangan Wabah DHF, oleh Direktur Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang, Depkes
.
ƒ Pokok-pokok Pikiran hasil Ekspose Tim Ahli selengkapnya dalam
LAMPIRAN-3.

(3) Diskusi Internal

ƒ Diskusi internal dilakukan pada berbagai kesempatan diskusi yang


diselenggarakan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
ƒ Diskusi inernal dilakukan diantara anggota Tim Perumus Rekomendasi
Kebijakan dengan melibatkan Tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
ƒ Diskusi internal dilakukan dalam rangka menyempurnakan kerangka
acuan kajian dengan mengakomodasi berbagai masukan yang didapat
dalam pertemuan brainstorming tim pakar maupun dari hasil ekspose
tim ahli.
ƒ Dalam diskusi internal juga dilakukan kesepakatan akhir berkaitan
dengan disain kajian, metodologi serta teknis pelaksanaan survei
lapangan, serta rencana analisis data dan informasi dan bentuk laporan
kajian.
ƒ Dalam diskusi internal juga dibahas berbagai pertauran perundangan
yang berkaitan dengan penanggulangan penyakit menular, sekaligus
dibahs tentang aspek kewenangan dari masing-masing tingkatan.

(B) Pembahasan Disain Riset

Pembahsan disain riset yang dilakukan mencakup aspek (1) penetapan lokasi
kajian, (2) penentuan sampel dan responden, (3) perumusan kuesioner, serta
(4) teknik analisis data.

ƒ Penetapan Lokasi Kajian


ƒ Lokasi kajian ditetapkan di 6 propinsi dengan kriteria pemilihan
propinsi didasrkan pada ferkuensi dan jumlah kasus Keadaan Luar Biasa
(KLB) penyakit.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


78
LAPORAN AKHIR

ƒ Berdasarkan hasil pembahasan dengan kriteria di atas, ditetapkan


propinsi yang akan menjadi lokasi kajian adalah
1. Propinsi Riau
2. Propinsi Sumatera Selatan
3. Propinsi Kalimantan Timur
4. Propinsi Sulawesi Selatan
5. Popinsi Jawa Timur
6. Propinsi Nusa Tenggara Barat
ƒ Pada setiap porpinsi ditetapkan sampel 2 kabupaten .
ƒ Pada setiap kabupaten ditetapkan 2 kecamatan/puskesmas

ƒ Penetapan Responden
Pada setiap Propinsi dan Kabupaten ditetapkan 4 orang responden
mencakup
ƒ Kepala Dinas/Subdinas
ƒ Kepala Rumah Sakit/Bagian P2M
ƒ Kepala Puskesmas pada 2 kecamatan

ƒ Perumusan Kuesioner
ƒ Rumusan Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka
dan pertanyaan tertutup
ƒ Pengelompokkan didasarkan pendekatan sistem serta
berdasarkan kalster variabel dari konsep penanggulangan
penyakit menular, mencakup (1) aspek surveilans dan (2) aspek
penanggulangan wabah
ƒ Kuesioner bersifat terbuka akan dilakukan dalambentuk
interview dan wawancana mendalam
ƒ Kuesioner dalam bentuk tertutup akan disampaikan kepada
responden untuk mengisi
ƒ Kuesioner Pada LAMPIRAN 1

ƒ Teknik Analisis Data


ƒ Untuk menganalisis data yang bersumber dari responden
dilakukan analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif
ƒ Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan cara
mengelompokkan, mengolah, mentabulasikan dan
menginterpertasikan data

C. Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner

Uji Coba Kuesioner dilakukan dalam rangka menguji sejauhmana materi


pertanyaan dan isian dalam kuesioner dapat dijawab sesuai dengan tujuan kajian.
Uji coba juga dilakukan untuk melihat kesesuaian, konsistensi dari materi
kuesioner sehingga runtut dan dapat dijawab dengan baik oleh responden. Aspek
realibilitas dan vailiditas materi kuesioner juga menjadi target uji coba.
Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner dilakukan di Kota Depok, pada tanggal 3-11
Juli 2006, dengan responden adalah petugas di lingkungan Dinas Kesehatan,

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


79
LAPORAN AKHIR

Puskesmas serta Rumah Sakit yang menangani bidang penyakit menular,


khususnya terkait dengan penanganan surveilans dan penaggulangan penyakit
Demam Berdarah (DHF).
Hasil uji coba kuesioner selanjutnya dianalisa untuk kemudian dijadikan
bahan perbaikan. Hal lain yang juga menjadi masukan dari pelaksanaan uji coba
kuesioner adalah berkaitan dengan (1) perijinan dalam pelaksanaan wawancara,
(2) penetapan kontak person di lapangan, (3) penetapan waktu wawancara yang
sesuia sehingga tidak berbebnturan dengan agenda lain bagi petugas di lapangan.
Laporan umum hasil uji coba kuesioner dalam LAMPIRAN ....

D. Pembahasan Dengan FGD

Pembahasan dengan Forum Group Disscussion dilakukan untuk


mendapatkan masukan dan penyempurnaan konsep kajian, mencakup aspek (1)
Tujuan, (2) Lingkup Kajian, (3) Metode Kajian, termasuk lokasi, variabel serta
parameter kajian.
Beberapa masukan dari FGD adalah
• Responden perlu ditambah tidak hanya unsur aparat (institution base),
dan fasilitas kesehatan (facility based), tetapi juga dari unsur
masyarakat (community based)
• Unsur institusi selain Dinkes juga ditambah Bappeda
• Bagaimana menemukan sistem penanggulangan yang cepat (efektif dan
efesien) dengan mempertimbangkan sistem pelaporan (survailans)
yang ada dan cenderung birokratis
• Masalah kewenangan penanganan perlu diperjelas (otorisasi) antara
kewenangan pusat, propinsi, kabupaten/kota. Namun pusat tepat ”take
a lead”
• Perlu kejelasan antara survailans dan penanggulangan: mekanisme
kerja serta proses pengambilan keputusannya

E. Pelaksanaan Survey Lapangan

Sesuai dengan lokasi kajian yang telah ditetapkan, survey lapangan


dilakukan di 6 (enam) provinsi, yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan Survey di masing-masing propinsi dilakukan di
2 (dua) kabupaten, dan pada masing-masing kabupaten dilakukan wawancara
mendalam serta pengisian kuesioner pada dinas kesehatan, Bappeda, 2 puskesmas,
1 rumah sakit dan tokoh/perwakilan warga masyarakat. Jadwal dan Tim pelaksana
dari Survei Lapangan dalam LAMPIRAN .....

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


80
LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 3
Struktur Organisasi/Tim Pelaksana

PENANGGUNG JAWAB

Dr. Dedy M. Masykur Riyadi, Deputi SDM dan Kebudayaan

TPRK

1. Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH


2. Dr. Hadiat, MA
3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA.
4. Sularsono, SP, ME.
5. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM

NARA SUMBER

1. Dr. Broto Wasisto, MPH


2. Dr. Indrijono Tantoro, MPH
3. Dr. Dadi Argadiredja, MPH
4. Prof. Dr. Soekirman
5. Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D.

TIM PENDUKUNG

1. Nurlaily Aprilianti
2. Sulaeman

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


81
LAPORAN AKHIR
LAMPIRAN 4

NOTULENSI PEMBAHASAN
DENGAN TIM PAKAR

KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN


WABAH PENYAKIT MENULAR

Jakarta, 28 Februari 2006

• Fokus yang akan diteliti


– Umum,
– Case Study : DBD

• Kriteria Lokasi Kajian


– Endemis dan Non Endemis
– Sedang ada KLB dan tidak ada KLB
– Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas dan Desa, Rumah
Sakit terpilih

• Responden
– Pusat: P2M, Yanmedik dan Binkesmas
– Propinsi: Kadinkes, Kasubdin P2M, Seksi Surveilance, Bappeda,
Biro Kesra
– Kabupaten : idem
– Puskesmas : Kepala Puskemas, petugas P2M, staf Kesling
– Desa: Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel., Pustu/polindes, Kader
Kesehatan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


82
LAPORAN AKHIR

• Design Penelitian: Case Control


• Variabel Penelitian:
– Peraturan perundang-undangan (pusat,
propinsi, kab/kota)
– Managerial/sistem (pusat, propinsi, kab/kota
& kec)
– Operasional (puskesmas ke bawah)

• Cara Pengumpulan Data


– data sekunder
– data primer : wawancara mendalam di
berbagai tingkat (Pusat s/d kab/kota) dan
focus group discussion di tingkat Kecamatan
dan desa
• Perlu diperhatikan
– Kaitan antara JUDUL, PERUMUSAN
MASALAH, PERTANYAAN PENELITIAN,
TUJUAN, SASARAN dan REKOMENDASI

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


83
LAPORAN AKHIR

LAMPIRAN 5

POKOK-POKOK PIKIRAN
EKSPOSE TIM AHLI
Kajian Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular
Jakarta, 5 April 2006

I. METODOLOGI KAJIAN
1. Pendekatan kajian:
• policy review dengan fokus pada
management oriented system model
• Identifikasi terhadap faktor penghambat dan
diakhiri dengan rekomendasi kebijakan
2. Jenis Penelitian: Penelitian Operasional
3. Sampling: Non Propability Sampling
4. Ruang Lingkup: Umum dengan case DBD

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


84
LAPORAN AKHIR

II. TINJAUAN KABIJAKAN


1. Kebijakan yang ada belum fokus
2. Pemahaman terhadap produk hukum yang ada
masih rendah
3. Kebijakan peraturan perundangan dapat diikuti oleh
stakeholder: Kepmen Æ Perpres
4. Dalam Renstra Depkes Penanggulangan Wabah
masuk dalam 2 strategi utama: (1) memberdayakan
masy. u/ hidup sehat dan (2) peningkatan sistem
surveilans
5. Ketentuan yang ada belum dilaksanakan secara
optimal di tingkat operasional akibat keterbatasan
dana, sarana, tenaga dan koordinasi
6. Infrastruktur Puskesmas untuk surveilans
ditingkatkan : Poskesdes Vs Pustu

III. PRAKTEK PENANGGULANGAN DI LAPANGAN


PUSKESMAS
• Surveilans di Puskesmas belum Optimal
• Koordinasi lintas sektor belum terintegrasi
• Keterbatasan tenaga yang kompeten
• Kontribusi utama Puskesmas dalam penanggulangan
wabah PP dalam jejaring pelayanan, tenaga, sarana,
sistem pencatatan

RUMAH SAKIT
• Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar
• Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belum
terbangun
• Insentif petugas perlu menjadi perhatian
• Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


85
LAPORAN AKHIR

IV. KEBIJAKAN SURVEILANS


1. Daerah berperan dalam pengambilan
keputusan menentukan prioritas masalah
maupun penanggulangan
2. Perlu Advokasi untuk dukungan legal aspek
pelaksanaan dilapangan
3. Pelaksanaan SKD-KLB belum optimal
4. Surveilans faktor resiko selain surveilans
penyakit
5. Dukungan tenaga, sarana dan anggaran

V. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DBD


1. Penguatan komitmen semua pihak
2. Pengembangan jejaring kerjasama dan
kemitraan
3. Optimalisasi dan profesionalisme Sumber
Daya (SDM dan dana)
4. Penguatan program: evidence based,
prioritisasi
5. Manajemen terpadu berbais wilayah:
Jumantik, desa siaga
6. Fleksibilitas pencairan dana KLB
7. Mobilisasi Sosial Gerakan Masyarakat “3M”

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


86
LAPORAN AKHIR

LAPORAN PELAKSANAAN SURVEY


KAJIAN KEBIJAKAN PENYAKIT MENULAR

1. Responden Kajian

Rumah
No Propinsi/Kab Dinas PKM Bapp Masy Jml
Sakit
1 Riau 5 26
1. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
2 Jawa Barat 3 20
1. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
3 Jawa Timur 1 18
1. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
4 Kalimantan Timur 2 13
1. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
5 Sulawesi Selatan 2 20
1. Kota Makasar 1 4 1 1 1
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
6 Nusa Tenggara Barat 3 25
1. Kota Mataram 2 4 2 1 2
2. Kab Lombok 3 6 3 1 0
Tengah
TOTAL 47 43 21 15 13 122

2. Kesimpulan Hasil Survey

PROPINSI RIAU

Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan dengan


menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, imunisasi,
perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2)
mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokus
pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjut
perencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintas
program, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM)
termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obat-
obatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggalian
sumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan program
P2M.

Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus melalui


pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen kasus
diganostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi, melalui

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


87
LAPORAN AKHIR

perencanaan, pematauan dan informasi program pemberantasan penyakit dan


meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi.

Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui penyuluhan
intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan menyiapak sarana
pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan penanggulangan fokus, (2)
pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapi
sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3)
meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala Pojanal/Pokja DBD,
pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan gerakan 3M.

Hasil implemnatsi kebijakan. Strategi dan program adaah (1) pertemuan dengan
tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberpa kesepakatan yang
menitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkan
masyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembali
peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalam
pemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur
Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di Kota
Pekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat
berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk
penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutin
sekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,
sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dan
kegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarakan dengan menggunakan
pola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Nbila
terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan. (3) Disamping
Tim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,
diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalah
khususnya penyakit menular.

PROVINSI JAWA BARAT

Kebijakan penannggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada kebijakan


dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitu
mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN
dengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap
3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimana
Puskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi
persebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6)
peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann
PSN DBD, (8) Penelitian.

Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa Barat


dilakukan melalui (1) pendekatan ”gerak cepat” dan putus rantai, yaitu pada setiap

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


88
LAPORAN AKHIR

kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan dan


sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ke
tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui ”managing vector and
environment” malalui ger kan 3M yang dilakukan secara linta sektor dalam wadah
Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemamampuan tenaga kesehatan dalam
penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui ”workshop tata laksana”
dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan partisipasi
masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, foggig focus massal, dan
melakukan ”CLEAN-UP” lingkungan yang dipimpin oleh wali kota selama 1-2 jam,
pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5) Pelibatan lintas
sektor, (6) Sosialissi Pola Hidup Bersih (PHBS).

Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik belum
optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,
kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah
yang harus diselediki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB dengan
menggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten dengan
peruntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.

PROVINSI JAWA TIMUR

Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah


kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2)
kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masing-
masing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen dari
pimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilans
epidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksnakan secara bekerjasama dengan
masyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan
kesehatan.

Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus dan
kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)
pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3)
penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resiko
rendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintas
program dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengan
knerja yang tidak baik.

Pelaksanaan program penannggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLB melalui


kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi KLB,
mengamati indikasi pra-KLB misala cakupan program, status gizi, perilaku
masyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyususnan rumusan kegiatan
perbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyeldikan dan penanggulangan KLB,
melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi,
menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi dan
menghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orang
dan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikan

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


89
LAPORAN AKHIR

sumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB,


merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi cara
pencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru.

PROVINSI KALIMNATAN TIMUR

Kebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBD


diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan
tepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatan
lingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans
epidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan
(3) Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakat
dan swasta.

Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatkan pencarian kasus dan


pemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2)
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi.

Pokok-pokok Program yang dilakukan mencakup Kewaspadaan dini DBD;


penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan, pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan
vector; penyediaan insektiside dan larvasida, melengkapi sarana pemerantasan
vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens (pelatihan epidemiologi, pertemuan berkala
Pokjanal/Pokja DBD, pelaksanaan gerakan 3M.

Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBD melibatkan


masyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim Pokjanal DBD diketuai
oleh Walikota, beranggotakan kepala – kepala dinas yang ketika diadakan rapat-
rapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun 2005, APBD
mengalokasikan dana 500 juta untuk peanggulangan KLB dan habis untuk
penanggukangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, Kota Balikpapan
memiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkes dan didanai
oleh perusahaahn2 minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapan selalu
melaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memang DBD di
Kota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dan surveillens
baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir.

PROVINSI SULAWESI SELATAN


Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular, khususnya
penyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnya dilaksanakan
berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat
(Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan selanjutnya
menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan
pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
Kabupten/Kota.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


90
LAPORAN AKHIR

Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkah penanggulangan


DBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melalui penemuan dan pelaporan
penderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaan DBD, pemantauan jentik
berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD terhdap nyamuk dewasa dan
jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melalui penyuluhan, gerakan PSN,
abatisasi, dan fooging massal, (4) Peningkatan SDM, melalui pelatihan petugas
kesehatan.

Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antara lain (1)


Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita,
penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik
berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100
rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektor
terkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLB
menemukan jumah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkan
tahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus., (3) Peningkatan Sumber Daya
Manusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit pada
daerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota,
pembinaan di 23 kab/kota.

PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa Tenggara
Barat membuat pedoman operasional yang berisi ”step by step” metodologi
penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik
dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapat
direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan dana
surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutma untuk insentif
tenaga kesehatan dan kader.

Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota dan


puskesmas. Namun terdapat ”gap” pelaksanaan/penanganan KLB, dimana peran
puskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil. Dngan
demikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat edngan masyarakat tidak
dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD.

Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular


91

You might also like