You are on page 1of 6

“HEWAN ENDEMIK DI INDONESIA”

NAMA : EXAUDI NAIPOSPOS


KELAS : X–1
Kera Hitam Sulawesi merupakan jenis primata yang mulai langka dan terancam kepunahan. Kera Hitam
Sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra merupakan satwa endemik Sulawesi Utara.

Kera Hitam Sulawesi selain mempunyai bulu yang berwarna hitam juga mempunyai ciri yang unik dengan
jambul di atas kepalanya. Kera yang oleh masyarakat setempat disebut Yaki ini semakin hari semakin langka
dan terancam punah. Bahkan oleh IUCN Redlist digolongkan dalam status konservasi Critically Endangered
(Krisis).

Kera Hitam Sulawesi sering juga disebut monyet berjambul. Dan oleh
masyarakat setempat biasa dipanggil dengan Yaki, Bolai, Dihe. Dalam
bahasa Inggris primata langka ini disebut dengan beberapa nama diantaranya
Celebes Crested Macaque, Celebes Black ape, Celebes Black Macaque,
Celebes Crested Macaque, Celebes Macaque, Crested Black Macaque,
Gorontalo Macaque, Sulawesi Macaque. Dalam bahasa latin (ilmiah) Kera
Hitam Sulawesi dinamai Macaca nigra yang bersinonim dengan Macaca
lembicus (Miller, 1931) Macaca malayanus (Desmoulins, 1824).

Ciri-ciri Kera Hitam Sulawesi. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra)


mempunyai ciri-ciri sekujur tubuh yang ditumbuhi bulu berwarna hitam
kecuali pada daerah punggung dan selangkangan yang berwarna agak terang.
Serta daerah seputar pantat yang berwarna kemerahan.

Pada kepala Kera Hitam Sulawesi (Yaki) memiliki jambul. Mukanya tidak
berambut dan memiliki moncong yang agak menonjol. Panjang tubuh Kera
Hitam Sulawesi dewasa berkisar antara 45 hingga 57 cm, beratnya sekitar
11-15 kg.

Habitat dan Tingkah Laku. Kera Hitam Sulawesi hidup secara berkelompok Besar kelompoknya terdiri
antara 5-10 ekor. Kelompok yang besar biasanya terdiri atas beberapa pejantan dengan banyak betina dewasa
dengan perbandingan satu pejantan berbanding 3 ekor betina.

Primata yang menyukai jenis–jenis pohon yang tinggi dan bercabang banyak. Sepertti Beringin (Ficus sp)
dan Dao (Dracontomelon dao) ini merupakan hewan omnivora, mulai dari buah-buahan hingga serangga.
Musuh utama Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra) ini sama seperti tarsius yaitu ular Phyon.Primata  ini
banyak menghabiskan waktu di pohon.

Penyebaran Kera Hitam Sulawesi biasanya terfokus di hutan primer pada lokasi yang masih banyak jenis
pohon berbuah yang biasa dimakan oleh satwa ini. Daya jelajahnya (home range) selalu menuju ke satu arah
dan akan kembali kearah semula dengan daya jelajah antara 0,8–1 km.

Binatang langka ini dapat ditemui di Sulawesi Utara di  Taman Wisata Alam Batuputih, Cagar Alam Gunung
Tangkoko Batuangus, Cagar Alam Gunung Duasudara, Cagar Alam Gunung Ambang, Gunung Lokon dan
Tangale. Juga dibeberapa pulau seperti di pulau Pulau Manadotua and Pulau Talise, Pulau Lembeh
(kemungkinan telah punah), termasuk di Pulau Bacan (Maluku).

Konservasi. Kera Hitam Sulawesi merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU RI No.5
Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999. Populasi Kera Hitam Sulawesi berdasarkan data
tahun 1998 diperkirakan kurang dari 100.000 ekor. Jumlah ini diyakini semakin mengalami penurunan.
Penurunan popolasi ini sebagian besar diakibatkan oleh perburuan liar.

Karena jumlah populasinya yang semakin menurun, IUCN Redlist memasukkan Kera Hitam Sulawesi dalam
daftar status konservasi Critically Endangered (kritis) sejak tahun 2008. Dan CITES juga memasukkan satwa
endemik ini sebagai Apendix II.

Saya sendiri belum berkesempatan untuk melihat satwa endemik berjambul ini di habitat aslinya. Semoga
saja keinginan saya untuk menyaksikan keunikan Yaki, Kera Hitam Sulawesi yang langka ini tidak didahului
oleh kepunahannya.
Kucing Merah atau yang dalam bahasa latin disebut Pardofelis badia merupakan salah satu spesies kucing
kecil endemik pulau Kalimantan. Sayangnya tidak banyak yang mengenal kucing merah yang langka ini.
Saya sendiri belum pernah sekalipun melihat Kucing Merah dari kalimantan ini, sekalipun di kebun binatang.
Mungkin sobat ada yang pernah melihatnya?

Kucing Merah disebut juga sebagai Kucing Kalimantan atau Kucing Borneo. Dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai Borneo Bay Cat, Bay Cat, Bornean Bay Cat, dan Bornean Marbled Cat. Di Malaysia binatang yang
juga menghuni Serawak dan Sabah ini dikenal dengan Kucing Merah. Sedangkan dalam bahasa latin disebut
sebagai Pardofelis badia, yang bersinonim dengan Catopuma badia dan Felis badia.

Kucing Merah ini merupakan saudara dekat dan masih satu nenek moyang dengan Kucing Emas (Asian
Golden Cat) yang banyak terdapat di Sumatera, dan beberapa negara Asia Tenggara. Diperkirakan kucing
endemik kalimantan ini telah ada sejak 4 juta tahun yang silam saat pulau Kalimantan masih bersatu dengan
daratan Asia.

Ciri-ciri dan Perilaku. Kucing Merah (Borneo Bay Cat) mempunyai bulu berwarna coklat kemerah-
merahan walaupun ada varian yang berwarna keabu-abuan. Bagian bawah tubuh Kucing Kalimantan
berwarna lebih pucat daripada bagian atas. Terdapat garis warna merah kecokelatan agak muda pada kening
dan pipi. Telinga kucing langka ini berwarna hitam atau cokelat tua, dan pada ekor bergaris putih dengan
bintik hitam diujung ekor.

Kucing Merah mempunyai tubuh ramping memanjang dengan panjang


sekitar 55 cm dengan ekor yang panjangnya berkisar 35 cm. Kucing
Merah  (Borneo Bay Cat) mempunyai berat tubuh antara 2,3 -4,5 kg.

Belum banyak yang dapat digali tentang perilaku kucing endemik


Kalimantan yang langka ini. Kucing Merah (Pardofelis badia) termasuk
binatang nokturnal yang banyak beraktifitas di malam hari untuk
memburu burung, tikus, dan monyet. Selain seekor pemburu, Kucing
Merah (Catopuma badia) juga memakan bangkai-bangkai binatang
yang terdapat di hutan.

Kucing Merah (Borneo Bay Cat) menginjak dewasa dan matang secara
seksual pada usia antara 18-24 bulan. Kucing endemik kalimantan ini
mempunyai masa kehamilan sekitar 70-75 hari dengan melahirkan 1-3
ekor anak dalam sekali masa kehamilan.

Habitat, Populasi, dan Konservasi. Kucing Merah Kalimantan (Pardofelis badia), hanya terdapat di pulau
Kalimantan (Indonesia dan Malaysia) saja. Kucing ini mendiami hutan-hutan tropis dataran rendah yang
lebat hingga ketinggian 900 meter dpl.

Kucing Merah dalam sangkar

Populasi kucing langka ini sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti. Karena itu 2002 Kucing Merah
(Borneo Bay Cat) dikategorikan dalam status konservasi “endangered” (Terancam Punah) oleh IUCN
Redlist. Dan juga dimasukkan dalam Apendiks II CITES. Di Indonesia dan Malaysia, Kucing Merah
termasuk binatang yang dilindungi dari kepunahan.

Saya mempunyai satu harapan besar untuk dapat memotret dan mengabadikan gambar Kucing Merah ini
meskip hanya dengan kamera saku yang saya punyai. Doakan semoga suatu saat harapan saya terkabul.
Kukang atau disebut juga Malu-malu merupakan primata yang mempunyai gerakan lambat. Di dunia
terdapat 14 jenis (spesies) kukang yang 3 diantaranya terdapat di Indonesia. Ketiga jenis kukang yang hidup
di Indonesia adalah kukang besar (Nycticebus coucang), kukang jawa (Nycticebus javanicus), dan kukang
borneo (Nycticebus menagensis).

Ketiga jenis kukang memiliki ciri yang hampir sama. Warna bulu kukang (malu-malu) beragam, mulai
kelabu keputihan, kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Pada punggung kukang terdapat garis coklat
melintang dari belakang hingga dahi, lalu bercabang ke dasar telinga dan mata. Kukang mempunyai berat
tubuh 0,375-0,9 kg, dengan panjang tubuh dewasa antara 19-30 cm.

Kukang merupakan primata yang hidup di hutan tropis dan menyukai hutan
primer dan sekunder, semak belukar dan rumpun-rumpun bambu dan
beraktifitas dimalam hari.

Kukang Besar (Greater Slow Loris). Kukang bernama latin Nycticebus


coucang ini paling banyak diperdagangkan. Kukang yang hidup alami di
Indonesia (Sumatera), Semenanjung Malaysia, Singapura, dan Thailand ini
dalam bahasa Inggris selain disebut sebagai Greater Slow Loris, juga disebut
Slow Loris, Sunda Slow Loris.

Nama ilmiahnya bersinonim dengan Nycticebus brachycephalus (Sody, 1949),


N. buku (Robinson, 1917), N. coucang (Boddaert, 1785) ssp. coucang, N.
hilleri (Stone & Rehn, 1902), N. insularis (Robinson, 1917), N. malaiana
(Anderson, 1881), N. natunae (Stone & Rehn, 1902), N. sumatrensis
(Ludeking, 1867), N. tardigradus (Raffles, 1821).

Kukang Jawa (Javan Slow Loris). Kukang bernama latin Nycticebus javanicus ini merupakan primata
endemik Pulau Jawa. Kukang jawa termasuk salah satu primata terlangka dan paling terancam kepunahan,
karena itu oleh IUCN Redlist dikategorikan sebagai spesies Endangered.

Sebelumnya, kukang jawa dianggap sebagai anakjenis (sub spesies) dari Nycticebus coucang namun
kemudian diakui sebagai spesies tersendiri. Nama ilmiahnya bersinonim dengan Nycticebus ornatus
(Thomas, 1921).

Kukang Borneo (Bornean Slow Loris). Kukang bernama latin Nycticebus menagensis ini endemik
Kalimantan yang bisa ditemukan di Indonesia (Kalimantan, Bangka, dan Belitung), Malaysia (Sabah dan
Serawak), Brunei Darussalam, dan sebagian Filipina.

Sebelumnya, kukang jawa dianggap sebagai anakjenis (sub spesies) dari Nycticebus coucang namun
kemudian diakui sebagai spesies tersendiri. Nama ilmiahnya bersinonim dengan Nycticebus bancanus (Lyon,
1906), N. borneanus (Lyon, 1906), N. coucang (Trouessart, 1893) ssp. menagensis, N. philippinus (Cabrera,
1908).

Konservasi. Kukang jawa, oleh IUCN Redlist dimasukkan dalam status konservasi “Endangered” (Terancam
Punah), sedangkan kedua jenis kukang lainnya berstatus “Vulnerable”. Anehnya, dari ketiga spesies kukang
(malu-malu) itu hanya kukang besar (Nycticebus coucang) saja yang masuk daftar satwa yang dilindungi
berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999. Padahal keberadaan kukang di alam bebas semakin terancam punah
akibat banyaknya perburuan untuk menjadikan kukang sebagai binatang peliharaan.

Oleh CITES, semua jenis kukang dimasukkan dalam Apendiks I sejak tahun 2008. Dengan dimasukkannya
kukang atau malu-malu dalam Apendiks I, berarti perdagangan kukang dilarang di seluruh dunia kecuali
kukang hasil penangkaran.

Kukang dengan tingkahnya yang malu-malu memang menarik minat setiap orang untuk menjadikannya
sebagai hewan peliharaan. Namun kita musti sadar akan status konservasinya yang semakin terancam punah.
So, tentunya akan lebih bijak jika membiarkan Sang kukang tetap malu-malu di habitat aslinya.
Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan spesies kera kecil tanpa ekor dengan rambut berwarna abu-abu
dan memiliki nyanyian yang indah. Bulu Owa Jawa, bodi tubuhnya yang kecil langsing dan paling seksi
dibanding jenis kera lainnya serta gerakannya yang gesit membuat Owa Jawa terlihat genit. Sayangnya, Owa
Jawa termasuk hewan yang mulai langka dan nyaris punah sehingga oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam
status konservasi “endangered” (Terancam Punah).

Owa Jawa yang merupakan satwa endemik pulau Jawa ini dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Silvery
Javan Gibbon, Javan Gibbon, Moloch Gibbon, dan Silvery Gibbon. Sedangkan dalam bahasa latin (ilmiah)
anggota Ordo Primates (Primata) ini disebut sebagai Hylobates moloch (Audebert, 1798) yang bersinonim
dengan Hylobates cinera Cuvier (1798); Hylobates javanicus (Matchie, 1893); Hylobates leucisca (Schreber,
1799); dan Hylobates pongoalsoni (Sody, 1949).

Ciri-ciri dan Perilaku. Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan primata yang berukuran kecil dengan
panjang tubuh hanya sekitar 80 cm. Tubuhnya lebih kecil, langsing, dan seksi dibandingkan dengan kera
lainnya yang cenderung gendut. Pada bagian tubuh Owa Jawa ditutupi dengan bulu yang berwarna abu-abu
keperakan sedangkan pada bagian muka berkulit hitam pekat. Owa jawa tidak mempunyai ekor.

Owa Jawa (Hylobates moloch) termasuk jenis kera pohon sejati


(arboreal monkey) karena hampir sepanjang hidupnya primata ini
tidak pernah turun dari atas pohon. Uniknya, meski dikenal sebagai
raja pohon, Owa Jawa justru termasuk kera yang berjalan dengan
tegak alias tidak menggunakan keempat tangan dan kakinya,
melainkan mengandalkan kedua kakinya untuk berjalan.

Owa Jawa termasuk satwa yag beraktifitas di siang hari. Mulai aktif
pada pagi hari sekitar pukul 05.00 dan mencapai puncaknya antara
pukul 08.30-12.00. Aktifitasnya akan mulai lagi sekitar pukul
14.30-17.30 sampai menemukan pohon yang dapat digunakan
sebagai tidur. Salah satu kebiasaan khas Owa Jawa adalah
mengeluarkan nyanyian (suara-suara khas) pada pagi hari ketika memulai aktifitasnya.

Makanan Owa Jawa meliputi buah-buahan, dedaunan, dan terkadang makan serangga sebagai tambahan
protein. Owa jawa dalam mencari makan selalu berpindah-pindah secara berkelompok menjelajah dari satu
pohon ke pohon lainnya dalam daerah teritorialnya. Primata langka dan terancam kepunahan ini dalam
kehidupannya bersifat monogami, yaitu hanya mempunyai satu pasangan semasa hidupnya.

Habitat dan populasi. Owa Jawa merupakan satwa endemik pulau Jawa dan hanya mendiami pulau Jawa
bagian barat dan tengah. Habitat yang disukai Owa Jawa adalah hutan dataran rendah dengan pohon-pohon
yang rapat (lebat).

Berdasarkan data International Konservasi Indonesia (2009) populasi Owa Jawa yang genit ini diperkirakan
tersisa sekitar 4.000 – 5.000 ekor saja. Owa Jawa ini terdistribusi terbatas di tiga taman nasional, yaitu TN
Ujung Kulon, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Gunung Halimun. Selain itu, beberapa Owa Jawa dapat
dijumpai di beberapa cagar alam seperti Cagar Alam Simpang, Papandayan, Talaga Warna, Tilu, Kendeng,
dan Slamet.

Konservasi. Lantaran populasinya semakin menurun, IUCN Redlist memasukkan Owa Jawa dalam status
konservasi “Endangered” (EN; Terancam Punah). Selain itu, CITES juga memasukkan primata langka ini
dalam daftar Apendiks I yang berarti tidak boleh diperjualbelikan.

Salah satu langkah konservasi untuk menghindarkan Owa Jawa dari kepunahan adalah pembentukan Pusat
Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di pusat
rehabilitasi ini dipelihara sejumlah Owa Jawa kemudian dilakukan upaya perjodohan antar Owa Jawa
sebelum dilepas di alam liar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan selain hewan monogami, Owa Jawa
tidak akan dapat bertahan bila dilepas di hutan tanpa berpasangan karena terkait proses perkawinan dan
perlindungan wilayah.

Langkah konservasi yang dilakukan oleh Pusat Rehabilitasi dan Penyelamatan Owa Jawa Bodogol
merupakan kabar gembira buat Owa Jawa dan kita semua. Namun langkah ini tentunya tidak cukup berarti
menghindarkan Si Genit Owa Jawa dari kepunahan tanpa penegakan hukum yang ketat termasuk sinergi
kebijakan pemda yang sejalan dengan pemerintah pusat. Yang terakhir tentunya, kepedulian seluruh lapisan
masyarakat untuk tidak menangkap dan memelihara Si Genit Owa Jawa yang nyaris punah ini.
Mentilin atau Tarsius bancanus merupakan satwa identitas Bangka Belitung. Salah satu spesies Tarsius
yang merupakan endemik Sumatera dan Kalimantan ini ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Bangka
Belitung.

Mentilin yang dalam bahasa ilmiah (latin) dikenal sebagai dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Horsfield’s
Tarsier atau Western Tarsier.

Terdapat 4 subspesies Horsfield’s Tarsier, yaitu Tarsius bancanus bancanus, Tarsius bancanus borneanus,
Tarsius bancanus natunensis, dan Tarsius bancanus saltator.

Diskripsi. Mentilin atau Horsfield’s Tarsier mempunyai ciri-ciri dan perilaku seperti jenis-jenis tarsius
lainnya. Tubuh primata ini relatif mungil dengan panjang tubuhnya berkisar antara 12-15 cm dengan berat
tubuh sekitar 128 gram (jantan) dan 117 gram (betina). Bulu tubuh mentilin berwarna coklat kemerahan
hingga abu-abu kecoklatan.

Primata yang dijadikan fauna identitas provinsi Bangka Belitung ini memiliki ekor
yang panjang, bahkan melebihi panjang tubuhnya. Panjang ekor mentilin (Tarsius
bancanus) bisa mencapai 18-22 cm. Seperti tarsius lainnya, Horsfield’s Tarsier
memiliki sepasang mata yang sangat besar.

Mentilin (Tarsius bancanus) merupakan binatang karnivora. Makanannya


terutama adalah serangga seperti belalang, kumbang, kupu-kupu, belalang
sembah, semut, dan jangkrik, tetapi fauna identitas provinsi Bangka Belitung
ini juga memakan berbagai vertebrata kecil lainnya seperti kelelawar dan ular.

Mentilin tergolong binatang nokturnal yang banyak berisitirahat pada siang


hari pada dahan-dahan kecil dengan ketinggian 3 hingga 5 meter dari
permukaan tanah dan baru bangun untuk beraktifitas saat menjelang malam
tiba.

Persebaran dan Konservasi. Di Indonesia, Tarsius ini dapat ditemukan di pulau Kalimantan, Sumatera, dan
pulau-pulau sekitar seperti Bangka, Belitung, dan Karimata. Selain itu terdapat juga di Sabah dan Serawak
(Malaysia) dan Brunei Darussalam.

Persebaran lebih spesifik dilihat berdasarkan jenisnya. Tarsius bancanus saltator terdapat di Belitung,
Indonesia. Tarsius bancanus natunensis terdapat di pulau Natuna dan pulau Subi Island, Indonesia. Tarsius
bancanus borneanus terdapat di Brunei, Indonesia (Kalimantan dan pulau Karimata) dan Malaysia (Sabah
dan Sarawak) and on the island of Karimata (Indonesia). Tarsius bancanus bancanus
terdapat di sebagian Sumatra dan pulau Bangka, Indonesia.

Secara umum, mentilin atau Horsfield’s Tarsier dikategorikan dalam status konservasi vulnerable oleh IUCN
Redlist. Namun jika berdasarkan masing-masing subspesies, Tarsius bancanus natunensis dikategorikan
Critically Endangered, Tarsius bancanus bancanus dan Tarsius bancanus saltator dikategorikan sebagai
Endangered. Sedangkan Tarsius bancanus borneanus dikategorikan Vulnerable.

Oleh CITES, tarsius ini dimasukkan dalam daftar Apendiks II. Sedangkan oleh pememrintah Indonesia,
mentilin dan semua jenis tarsius dilindungi berdasarkan PP. No. 7 Tahun 1999.

Meskipun kalah tenar dibandingkan Tarsius tersier yang ada di Sulawesi, namun mentilin pun menjadi salah
satu kekayaan bumi Indonesia. Terlebih primata ini ditetapkan menjadi maskot salah satu provinsi di
Indonesia, Bangka Belitung. So, mari kita kenali dan jaga kelestariannya.

You might also like