You are on page 1of 20

Cerpen persahabatan

Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku
melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia
mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.”
ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya
sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya
tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan
yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku.
“Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan
ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku
padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja
dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini
nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari
kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil
namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis
menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia
mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah
teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami
lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya
yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?”
tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol
tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang
sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang
dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak
karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti
kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran
ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba
menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah.
“Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR!
Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah
berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah
nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian
kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak
kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika
kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur
4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.”
jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan
padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya
malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella
keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke
mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan
tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau
aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa
aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti
kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat
yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit
keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella
aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan
aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah.
“Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang
sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano
udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari
kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona
melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi
aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari
Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya
kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat
tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella.
Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan
untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh
tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya
tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin
pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku
ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku.
“Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung
menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka
deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus
belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella
terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan
datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu
aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak
kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!”
jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya
hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan
keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa
beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus
berjalan hingga nanti.

Malam-Malam Nina
Cerpen Lan Fang

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin
mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan
masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya


menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini.
Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku
berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada
tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan
kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka
sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia
bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik
sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah
restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama.
Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya
bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku
terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh
mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku,
mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka
lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan
perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya
belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di
bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan
matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja
kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia
membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna.
Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah,
bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar
rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon
dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu
terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau
menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang
menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa
mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah.
Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi
Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak


mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di
matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku
rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu
kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke
mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya,
asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap
meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-
hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya
sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang


terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa
tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa
sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino.
Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam
bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu
berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna
mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu
ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam
ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka
juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-
kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai
kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi


ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di
udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di
depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.


Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai
berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil
sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka,"
gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan
seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…
menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia


beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas
kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti
sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang


pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan


Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi


menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar
terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia


sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha
menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih
terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia


mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat
cermin diriku.
Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima
tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari
mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar
tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona
di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh
kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu
lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau
suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya
aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-
ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok
masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-
laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas
ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-
dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di
belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia
tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak
seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah
lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti
aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia
menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk
semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku
sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan
memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia
sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku


dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang
begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi,
tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak
ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh
nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa
memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-


benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-
lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang
jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu
seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…
dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga
membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan


dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi
kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise,
bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa
merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang
kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa


ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-
baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah
sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?"
lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri
Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku
mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan
mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa
menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi
sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan
membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat
pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya
yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus


batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan
disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama
baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai
terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan
mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak


menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan
dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas
pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak
haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak
merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku
dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang
berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau
merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang
sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang
nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu


pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik
sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik
yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi
penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti
semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan
semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia
menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke
dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang
bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku
sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat
menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi.
Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama
sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku.
Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai
kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-
nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk
semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-
kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah
Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku
tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau
menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang
kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka
warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha


mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan
itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…
halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus
menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya.
Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui
hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia
menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada
perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya
berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk
pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi
bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah
bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara
berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu
melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia
tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu
sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya
"membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita?
Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah
merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi.


Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi
ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja
dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan
menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan.
Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang
kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna


itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan
dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan
mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati
sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat
menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang
dirasakannya kepada Bayu. ***

RAH-KANG RI
Cerpen Budi Palopo
SENJA telah jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki telah berubah.
Kuning keemasan yang tadinya terlihat cerah, berganti dominasi warna merah.
Tapi, sejumlah anak lelaki telanjang dada itu masih juga tampak asyik bermain
tembak-tembakan.

"Dor? Dor?Dor?!"
Pelepah daun pisang yang dijadikan senjata api laras panjang dibidikkan
berulang-ulang. Yang kena tembak harus mati, kendati tak lama kemudian boleh
hidup lagi. Ada yang tiarap. Ada yang bersembunyi. Ada yang berlari-lari.

Saat itu, di pojok luar rumah, Rah pun masih juga tampak asyik mengelus-elus
sepatu kumal yang tergeletak di dekat tempat sampah. Entah itu sepatu lars milik
siapa. Tak jelas pula siapa yang pertamakali memakainya. Yang pasti, sepatu
kotor itu tak bertali. Tanpa pasangan, hanya tinggal yang sebelah kiri.
***
HAMPIR setiap hari Rah berusaha membersihkan kotoran yang melekat pada
sepatu kulit itu, dengan cara merendamnya di bak mandi. Tapi, sepatu lars
kumal itu tetap saja tak bersih. Baunya tetap saja tak sedap. Sampai-sampai,
hanya untuk menghilangkan bau, Ning Tin --ibu Rah-- perlu menjemurnya
hingga berhari-hari. Sayangnya, setelah kering, Rah kembali membasahinya.
Setiap mandi, Rah pun selalu memandikannya pula. Alasannya, biar bersih. Tapi,
sekali lagi, sepatu lars tak berlidah itu tetap saja tak bersih. Bahkan, baunya kian
menyengat.

Kalau saja tumbuh sebagai manusia normal, dalam usia yang telah meninggalkan
angka belasan tahun, Rah tentunya lebih gandrung bermain cinta daripada
berakrab-akrab dengan barang rongsokan yang tak layak pakai itu. Kini, di
Kampung Negariki, gadis-gadis seusia Rah toh nyaris semua telah hidup
berpasang-pasangan. Bahkan tak sedikit yang telah berstatus janda muda.

Sayangnya, Rah bukanlah gadis normal. Soal wajah, sepintas memang masih
menarik, kendati tak bisa dibilang cantik. Terutama kalau gerai rambutnya diatur
menutupi bagian telinga. Sebab, selain buah dadanya tak menyembul, Rah
ternyata tak memiliki daun telinga

Pendek kata, kondisi fisik maupun mental Rah tergolong cacat berat. Nyaris tak
pernah mau bicara. Kalau toh ada suara yang bisa dilontarkannya, itu pun tak
lebih dari kata-kata umpatan: "bangsat?!" Tersenyum, kalau ingin menunjukkan
suasana hati senang. Tertawa-tawa kalau sekiranya ada hal yang dianggapnya
lucu dan patut ditertawakan. Selebihnya, diam.
Rah gadis ideot? Sepertinya memang begitu. Tapi, nanti dulu. Ketika masih
diperbolehkan bersekolah dasar, Rah ternyata pernah menunjukkan diri sebagai
anak yang normal dan cerdas. Ia selalu jadi bintang saat kelas I dan II. Rah selalu
menempati ranking pertama. Sayangnya, ketika ia kelas III, pendidikan formal
itu harus berakhir dengan tragis.
***
PAGI itu, langit tak lagi mendung. Dari rumah seorang tetangga yang sedang
berhajat mengkhitan anaknya, terdengar lagu berirama langgam yang
tersuarakan lewat tape recorder. Lirik lagu berbahasa Jawa itu pun cukup
menyentuh: "?golekan, kae golekane sapa. Yen sira tansah dadi golek-golekan,
ingsun mengko entek mimis pira?"(1)

Di tempat pejagalan samping rumah, Kang Ri sedang sibuk menguliti seekor sapi
yang baru saja disembelihnya. Tampak serius, dan menegangkan. Tanpa nyanyi.
Tanpa cengkerama. Saat itulah, di dekat Kang Ri kerja, Rah bermain anak-
anakan. Boneka plastik yang dimilikinya, dikudang-kudang, di-emban-ayun-kan,
dan diajarinya untuk bisa bicara dengan bahasa manusia.

"Rah? minggir?!" bentak Kang Ri, merasa terganggu.


Entah kenapa, Rah seakan tak mendengar perintah Kang Ri yang dipanggilnya
"bapak" itu. Akibatnya, Rah kena marah. Boneka yang tengah dipeluknya
mendadak direbut Kang Ri, lalu dibuangnya.

Rah kaget. Dengan tangis tertahan, ia segera memburu boneka kesayangannya.


Tapi, bocah tak beralas kaki itu pun mendadak ragu. Kendati air matanya
menetes-netes, Rah sepertinya tak berani lagi menyentuh boneka
kesayangannya. Ia memilih sikap menggores-gores tanah dengan sebilah tatal
kayu, di sekitar tubuh boneka berlumur darah, yang tergeletak di pelataran
rumah. Ia seakan membuat tengara kesedihan bergaris-garis tanpa aturan di
tanah pijakan, untuk mengenang boneka yang dianggapnya telah mati terbunuh.

Tak lama kemudian, Kang Ri yang jari-jari kedua tangannya masih belepotan
warna merah, datang menghardik. Rah diminta untuk segera masuk rumah.
Tapi, Rah menanggapinya dengan gelengan kepala. Rah menolak. Rah memilih
diam di tempat, untuk terus menggores-gores tanah di sekitar boneka dengan
sebilah tatal kayu yang dipegangnya.

Tanpa banyak kata-kata, lelaki bertubuh kekar itu lalu mencengkeram lengan kiri
Rah. Dan, tangis bocah perempuan berpita rambut merah itu pun meledak.
Menyayat, menjerit-jerit. Kendati demikian, Rah tetap diseret dan terus diseret-
seret. Rah dipaksa jauh meninggalkan boneka mainannya. Alasannya sederhana:
Rah harus mandi sembari menghapal teks Pancasila, sebelum pamit berangkat
sekolah dengan mencium tangan bapaknya.
***
ENTAH sudah berapa kali Rah kena gebuk Kang Ri. Yang jelas, Rah sering
menangis. Suatu hari, menjelang bulan Agustus, setelah melihat bendera merah-
putih berbagai ukuran diperjualbelikan di pinggir jalan, Rah juga menangis. Rah,
ketika itu digebuk Kang Ri lantaran memaksa minta dibelikan bendera baru.

"Rah, memang nakal. Bapaknya sudah punya bendera kok masih saja minta
dibelikan bendera lagi. Maunya sih ingin bendera sendiri, yang bisa dibawa
untuk karnaval di sekolah. Tapi untuk karnaval itu kan bisa dengan bendera
kertas. Bapaknya telah berjanji mau membuatkannya, tapi Rah menolak. Rah
minta dibelikan bendera sungguhan. Bendera kain. Lha itu kan, namanya
pemborosan," jelas Ning Tin pada seseorang yang berbasa-basi menanyakan soal
tangis Rah.

Rah nakal. Vonis itulah yang dijatuhkan ibunya sendiri. Ya, Rah nakal. Tepatnya,
dianggap nakal. Karena itulah, ia kena gebuk. Karena itulah, ia sering menangis.
Dan, pagi itu, setelah diseret-seret Kang Ri untuk meninggalkan boneka, tangis
Rah kembali terdengar menyayat. Di antara jerit tangisnya, dari kamar mandi,
terdengar pula suara Rah terbata-bata melafalkan teks Pancasila.

"Kang Ri memang keterlaluan kok," aku Ning Tin pada orang lainnya. "Wataknya
kaku. Apa maunya harus dituruti. Kang Ri itu nggak mau dibantah. Sementara
Rah sendiri ya ndablek. Seringkali nggak pedulikan omongan bapaknya,"
jelasnya.

Kang Ri wataknya memang kasar. Juga tergolong pemberang. Tukang jagal sapi
satu-satunya yang ada di Kampung Negariki itu sering marah-marah. Dan, kalau
sudah marah, orang-orang di dekatnya nyaris tak ada yang berani membuka
mulut. Istrinya, kemenakannya, juga semua pembantu kerja penjagalannya,
terpaksa diam. Tak ada yang berani memotong kalimat omelannya. Jika ada yang
berani menyela kata, bisa dipastikan semua barang di dekatnya hancur
berantakan.

Menurut Ning Tin, Kang Ri itu punya penyakit dog-nyeng. Sebentar-sebentar


marah, sebentar itu pula ia kegetunen. Jelasnya, marah Kang Ri tak pernah
berlarut-larut. Setelah memuntahkan amarahnya, seringkali Kang Ri merasa
menyesali diri. Bahkan, seringkali pula, hal-hal yang menyulut kemarahannya
justru dijadikan bahan kelakar setelah ia tak marah lagi.

Pernah, dalam sebuah kesempatan ngobrol di pos jaga kampung, Kang Ri


bercerita sembari tertawa-tawa. Saat itu menyinggung soal Rah yang menolak
diciumnya. Alasan Rah, mulut Kang Ri bau. Dan, karena Rah tidak mau dicium,
Kang Ri marah-marah. Rah pun digebukinya. "Setelah saya pikir-pikir, ternyata
Rah benar. Mulut saya memang baunya amit-amit. Saya sendiri jijik. Tapi, istri
saya kok betah ya?" katanya penuh canda.

Persoalan yang menyulut amarah Kang Ri kadang memang terlalu sepele. Yang
terjadi pada pagi itu, misalnya. Hanya karena Rah bermain anak-anakan sembari
bernyanyi-nyanyi di dekatnya, Kang Ri marahnya bukan main. Celakanya,
peristiwa mengenaskan itu pun masih berlanjut.

Usai mandi, Rah ternyata kembali tertatih ke tengah pelataran. Bocah sekolah
dasar itu telah mengenakan rok seragam berwarna merah. Sepatu belum dipakai.
Baju putihnya belum juga dikancingkan. Ya, dengan dada sedikit terbuka, Rah
melangkah mendekati boneka kesayangannya yang masih tergeletak di pelataran
rumah. Sorot matanya memerah saga. Isak tangisnya masih tersisa.

"Rah?!"
Ning Tin memanggil-manggil. Tapi, Rah tak peduli. Ia seolah tak mendengarnya.
Rah tetap melangkah. Boneka yang berlumur darah sapi itu pun kembali
digendong dan dipeluknya.

"Rah?! Pakai sepatu dulu?!" pinta Ning Tin, setengah memperingatkan.

Dan, suara peringatan Ning Tin ternyata memancing perhatian Kang Ri.
Pandangnya seketika mengarah ke bocah yang tak beralas kaki itu. Melihat Rah
tak memedulikan suara panggilan ibunya, Kang Ri kembali beraksi. Lelaki
pemberang yang tengah sibuk memotong-motong daging sapi di pejagalan
samping rumah itu segera mendekati Rah. Tapi, entah kekuatan dendam macam
apa yang merasukinya, Rah menantang. Tanpa sepatah kata yang terlontar, Rah
cepat-cepat meraup segenggam batu kerikil pelataran untuk dilempar ke wajah
bapaknya.

Lalu, tangis Rah pun kembali meledak. Rah kembali digebuk. Rah kembali
dihajar. Rah diseret-seret hingga ke pojok rumah, dan kepalanya dibentur-
benturkan ke tempat sampah. Bahkan, sepatu lars hilang pasangan yang
tergeletak di dekat tempat sampah itu diangkat Kang Ri tinggi-tinggi, lalu
dihantamkan ke wajah Rah berkali-kali.

"Bangsat?! Aku ini bapakmu? bangsat! Berani-beraninya kamu melawan? hah!


Bangsat?! Bangsat?! Bangsat?!" umpat Kang Ri, sembari menendang-nendang
tubuh Rah. Dan, sejak itulah Rah dilarang main boneka. Rah dikurung. Dilarang
keluar rumah. Dilarang melanjutkan sekolah.

Bertahun kemudian, tahulah semua orang kampung. Ternyata, Rah tumbuh


sebagai gadis yang cacat berat. Tak punya buah dada, dan tanpa daun telinga.
Setelah dilarang Kang Ri main anak-anakan, Rah seolah kehilangan rasa cinta.
Setiap melihat boneka plastik yang berwajah bayi manusia, Rah segera
mengambil pisau dapur lalu berusaha menyembelihnya. Celakanya, sepatu lars
hilang pasangan, kumal dan berbau, yang pernah jadi alat penghantam
kepalanya itu, justru dianggapnya sebagai teman main yang menyenangkan.
Teman main yang patut digendong-gendong dan diemban-ayunkan.

Hampir setiap hari, Rah menghabiskan waktu di pojok rumah, dekat tempat
sampah, hanya untuk berakrab-akrab dengan sepatu lars yang dianggapnya
sebagai satu-satunya teman main. Dan, anehnya, jika ada seseorang yang
menyapa saat ia bermain, Rah buru-buru masuk rumah. Bersembunyi di balik
pintu, sembari mengintip-intip lewat celah dinding bambu. Setelah memastikan
si penyapa beranjak pergi, barulah Rah keluar untuk bermain lagi.
***
DAN, senja pun telah benar-benar jatuh. Warna langit di barat Kampung
Negariki kian memerah. Dari surau terdengar kumandang adzan. Tapi, anak-
anak lelaki yang telanjang dada itu masih saja ribut main tembak-tembakan. Di
tengah suasana permainan yang ribut itu, Rah ternyata masih juga tampak asyik
mengelus-elus sepatu lars kesayangannya.

"Rah?Rah?!"
Mendengar suara Ning Tin memanggil-manggil, Rah segera beranjak masuk
rumah. Namun, sebelum sampai pintu, ia ditabrak seorang anak lelaki yang
tengah berlari menghindari bidikan senapan. Rah jatuh, terjengkang di teras
rumahnya sendiri.

"Dor? dor? dor!" teriak seorang anak lelaki lainnya, sembari membidik-bidikkan
pelepah pisang yang dijadikan senjata.

"Pause?pause. Nggak bisa. Aku lagi tiarap, nggak bisa ditembak!"


"Ya nggak bisa begitu. Kamu kena tembak. Kamu harus mati. Kamu nggak tiarap,
tapi terjatuh karena menabrak Rah?.!"

Perang mulut pun terjadi. Dua anak lelaki yang tengah bermain tembak-
tembakan itu tak ada yang mau mengalah. Masing-masing punya alasan. Masing-
masing merasa benar. Mereka bahkan tak peduli pada Rah yang menjerit-jerit
kesakitan.

Sementara, di ruang tengah, Kang Ri berbaring lunglai di atas balai-balai bambu


bertikar pandan. Kang Ri jatuh sakit. Lima tahun sudah, tukang jagal sapi itu tak
bisa bicara. Kalau minta sesuatu pada Ning Tin ia hanya menuding-nuding
sembari mendesis, "oh? oh? oh" yang tak jelas artinya. Anehnya, sorot mata lelaki
berbibir sumbing itu masih juga tampak berapi. (*)

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya


Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga
dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu
yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di
rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi
meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah
pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Mereka adalah anak-anak yang dulunya sangat rajin belajar dan berhasil
menyelesaikan studi mereka di universitas-universitas terkenal. Putut, yang
tertua, yang dulunya bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, sekarang
bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing berukuran raksasa, dan
dia tidak pernah tinggal di satu kota besar dalam tempo yang lama. Kegiatannya
berterbangan dari satu bandara ke bandara internasional yang lain, memberikan
konsultasi yang mahal harganya, beristirahat akhir pekan di pantai negeri jauh,
dan hanya sekali-sekali singgah di Jakarta. Tidak ada waktu untuk pulang ke Bali
mengikuti berbagai upacara adat yang mengalir tak kering-keringnya dari hari ke
hari, dari tahun ke tahun. Anggota keluarganya di desa selalu membicarakannya
sebagai seorang sosok yang sangat dibanggakan oleh seluruh keluarga di
kampung. Warga desa yang berhasil, seorang local genius yang sudah go
international.

Bilamana mereka berkumpul di pura desa untuk sebuah upacara besar, sebuah
piodalan , maka ketidakhadirannya dapat dimaafkan, sedangkan warga desa
yang sudah merantau ke Denpasar atau bahkan ke Surabaya, bilamana tidak
menghadiri upacara itu selalu dibicarakan.

"Berapa jauhkah Surabaya? Banyak bus malam yang melintasi desa kita, tetapi
kenapa dia tak datang? Bukankah dia dapat menyisihkan waktu barang dua
malam untuk pulang?"

Mungkin yang paling rajin pulang untuk menghadiri piodalan di desa maupun di
sanggah keluarga adalah Dek Gung yang bekerja sebagai dosen Universitas
Negeri Malang. Ada Bus Simpatik yang melayani penumpang dari Malang ke
Singaraja, dan bilamana pulang, Dek Gung selalu menumpang bus itu, atau
membawa mobil sendiri, datang dengan istri dan anak-anaknya. Dek Gung-lah
yang paling mendapat pujian dari penduduk desa maupun dari keluarga, apalagi
lelaki yang semasa mudanya itu aktif dalam kegiatan Teruna-Teruni di Banjar
Bali di kota Singaraja sekarang sering memberikan dana punia untuk
pembangunan desa maupun pura desa.

Mang Yul adalah anak ketiga, satu-satunya anak yang paling cantik dalam
keluarganya sebab dialah anak perempuan satu-satunya. Adatnya santun
sebagaimana diteladankan oleh ibunya. Dia sudah hidup bersama suaminya di
Jakarta, dengan demikian tak banyak dibicarakan oleh orang sedesa karena dia
sudah mengikuti keluarga suaminya yang berasal dari Badung.

Tut Sur adalah si bungsu, dan setelah itu tak ada lagi anak kelima. Bukan sebab
lelaki itu mengikuti prinsip KB cara Bali, yakni beranak maksimum empat
sebagaimana ditunjukkan oleh sistem penamaan anak-anak, tetapi karena Tut
Sur membawa serta berita duka menyertai kelahirannya. Tut Sur-lah yang masih
tinggal bersama lelaki tua yang dulu terkenal sebagai seorang pemburu yang
mahir menggunakan senapannya itu, tetapi lelaki itu jarang berada di rumah
walaupun tinggal bersama ayahnya.

Di rumah itu hanya tinggal tiga orang, lelaki itu bersama anaknya, seorang
pembantu perempuan yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan
seekor anjing yang bertugas menjaga rumah di malam hari.

Ketika istrinya hamil anak keempat itu, permintaan yang mudah dikabulkan
adalah seekor babi guling yang lezat, harus dimasak sendiri, dan harus berasal
dari seekor babi hutan yang masih muda.
"Kalau itu urusan kecil," kata lelaki itu.
Maka dia pun berangkat sendirian ke arah hutan lindung di Bali Barat,
perbatasan antara wilayah Buleleng dan Jembrana, namun dia tidak berburu di
sana. Di mulut hutan dia berbelok ke kanan menuju arah pantai. Di situlah
tempat sebaik-baiknya berburu babi hutan sebagaimana teman-temannya
sesama pemburu pernah katakan. Di sana dia mungkin akan bertemu sesama
pemburu dan akan mengadakan perburuan bersama. Di hutan lindung, di
wilayah dekat Desa Cekik, menurut teman-temannya tidak aman. Bukan lantaran
polisi hutan sering berkeliaran, tetapi lantaran penjaga hutan dari alam gaib
tidak selalu ramah pada orang yang datang memasuki wilayah ini. Banyak sekali
pantangan yang harus dipatuhi bilamana orang memasuki wilayah ini. Yang
pertama, tentu, hati mereka tidak boleh kotor. Lalu, mereka tidak diperkenankan
membawa daging sapi. Lalu, tidak boleh mengucapkan kata-kata yang dapat
menyinggung perasaan penjaga hutan di situ.

Pernah terjadi serombongan siswa SMA berkemah di wilayah itu bersama


beberapa guru pembimbing. Sebelum berangkat, kepala sekolah sudah memberi
pesan agar mereka berhati-hati berada di wilayah itu, tidak berbuat yang tak
senonoh, berkata kotor, berpikiran kotor, dan tidak membawa bekal yang berasal
dari daging sapi. Tidak boleh ada dendeng sapi, abon daging sapi, atau apa pun.

Salah seorang gurunya berasal dari Jawa dan tidak terlalu percaya pada hal-hal
yang dianggapnya tahyul. Celakanya, ketika berada di wilayah itu dia ungkapkan
ketidakpercayaan itu dalam kata-kata.

Tidak terjadi apa-apa, dan bapak guru itu semakin berani dengan mengatakan,
"Bapak kan boleh makan abon, ya?" Lalu dengan enaknya dia menyantap abon
yang dibawanya dari rumah dengan nasi bungkus yang disediakan panitia.

Tidak terjadi apa-apa, dan yakinlah dia bahwa apa yang dikatakan orang tentang
semua larangan itu hanyalah tahyul belaka.

Ketika jam tidur datang, anak lelaki berkumpul dengan anak lelaki, dan siswa
perempuan berkumpul dengan siswa perempuan dalam kemah mereka sendiri.
Mula-mula terdengar teriakan dari kemah siswa perempuan.
"Ada yang bebainan ," teriak seorang siswa.

Ternyata bukan hanya seorang siswi yang bebainan, tetapi dua, tiga, lima.
Sejumlah guru perempuan mencoba menolong, lalu guru lelaki ikut datang, lalu
datang pula guru yang berbekal abon daging sapi itu, tergopoh hendak
memberikan pertolongan.
"Aduh!" teriak lelaki itu, jatuh terkapar ke tanah, badannya kejang-kejang.
"Pak Man bebainan juga!" teriak para siswa panik.

Begitulah kisah teman-teman pemburu tentang Pak Man yang jatuh terkapar,
dan ketika dicarikan dukun yang pandai, nyawanya ditebus dengan nasi kuning,
bunga-bunga, dan sebaris doa.
"Kalau tidak, dia pasti mati. Nyawanya diminta oleh penjaga hutan."

Itu cuma salah satu kisah yang dapat ditimba dari wilayah itu. Masih banyak
kisah lain yang terjadi tetapi tak tercatat. Misalnya tentang berpuluh mahasiswa
yang tiba-tiba sakit perut.
"Lebih baik kita berburu di wilayah yang aman," kata pemburu itu.

Di langit tak ada bulan, hanya bintang yang bertebaran sampai memayungi laut.
Dia menunggu dengan sabar sementara dari tadi dia tak bertemu seorang pun.
Tiba-tiba dia mendengar suara semak-semak yang diterjang gerakan tubuh.
Dia pun bersiap-siap dengan senapannya.
"Ini pasti babi hutan," pikirnya.

Dan ketika suara semak belukar yang bergerak itu makin keras maka meletuslah
senapannya dan terdengar tubuh yang rebah ke tanah.

"Ah, babi hutan besar yang terkena tembakanku," keluhnya, sementara istrinya
minta seekor babi yang masih muda. Pelahan dia berjalan ke semak-semak itu,
dan ketika dia menyorkan senternya ke arah bunyi rebah itu, dia tertegun tak
berkata apa, tak bergerak.
"Tidak!!!"
Mematung beberapa saat lamanya, akhirnya dia lari meninggalkan tempat itu.
Kepada istrinya disampaikan warta bahwa semalaman tak dijumpainya babi
hutan seekor pun.
"Mungkin mereka berpindah ke arah barat, tapi aku tak berani menginjak
wilayah tenget itu," katanya.

Menjelang pagi istrinya mengeluh lantaran kandungannya terasa sakit. Dengan


sepeda motor dia melarikan istrinya langsung ke rumah sakit. Ketika fajar tiba
istrinya melahirkan anak mereka yang keempat, Tut Sur, Ketut Surya yang lahir
ketika surya telah terbit. Ibunya meninggal saat melahirkan bayi yang sehat itu.

Lelaki itu menangis, dan seminggu kemudian dia menyembunyikan tangis yang
lain dan menuai was-was yang makin bertunas, ketika dia membaca berita di
harian Bali Post tentang mayat seorang lelaki dengan luka tembakan di jidatnya,
ditemukan sudah membusuk di tengah hutan di wilayah pantai ujung barat Pulau
Bali.

Tut Sur yang jarang tinggal di rumah itu ternyata dari jam ke jam berada di sudut
kota, bicara dengan banyak orang yang tak terlalu mempedulikannya. Kadang dia
bicara pada rembulan, kadang pada jembatan beton Kampung Tinggi yang
kokoh. Pada suatu sore dia kembali ke rumah, bau badannya tak terlukiskan dan
pakaiannya kotor. Pemburu itu masih duduk tepekur di kursi malas di tengah
kebun bunga halaman rumahnya.

Tut Sur tiba-tiba menubruk lelaki itu, bersimpuh di pangkuannya dengan


pertanyaan seorang anak yang haus akan jawaban:
"Ayah, ayah, kenapa ada luka di jidatku ini?"
Luka itu sudah ada sejak dia dilahirkan, tetapi kenapa dia baru bertanya
sekarang?

Lelaki pemburu itu memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangan dan
dikecupnya bekas luka di jidat anak itu seolah dia ingin menghisapnya supaya
tertelan ke dalam perutnya.
"Ya, Hyang Widhi. Kenapa tidak kau lubangi saja kepalaku agar anakku ini tidak
menjalani siksa seumur hidupnya?"

"Ayah, ayah, kenapa ada bekas luka di jidatku? Apakah aku anak durhaka?
Apakah aku Prabu Watugunung yang durhaka? Atau, apakah aku putera Dayang
Sumbi?"
"Ah, siapakah yang mendongeng padamu, anakku? Ibumu bukan?" ***

You might also like