You are on page 1of 15

Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta : Berbasis

Kultural
Sejarah Yogyakarta

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13
Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur
Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara
Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi
menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi
diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta),


Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu;
Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung,
Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang


bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di
dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di
Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang
disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana
terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono
II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas
diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad
hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati


pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya
pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau
selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru
sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama
utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang
ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru.
Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756. Kota Yogyakarta dibangun pada tahun
1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai
Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu
itu.

Yogyakarta Paska Proklamasi

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa
Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki
status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman
sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai
cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara
bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis
(Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda
(Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran
Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh
Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik
berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri di bawah pengawasan
pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung
hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI
sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemederkaan RI, Sultan HB IX


dan Sri Paduka Paku Alam VIII segera mengirim ucapan selamat dan dukungan kepada
proklamator Soekarno-Hatta dan kepada ketua BPUPKI, DR KRT Rajiman Wedyodiningrat.
Soekarno segera menanggapi dukungan Sultan HB IX dengan mengirimkan Piagam
Penetapan Kedudukan Jogjakarta. Ditanda-tangani oleh Soekarno selaku presiden RI di
Jakarta, pada 19 Agustus 1945. Intinya, piagam itu menetapkan Sultan HB IX pada
kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sultan HB IX akan mencurahkan segala pikiran,
tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Jogjakarta sebagai bagian NKRI.
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI
membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam
UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari
Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom,
dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul
tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan
yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan
sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan
keguncangan.

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian
Negara , Otto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat
sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan
menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta,
Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai
dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga
Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September
1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)


Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada
hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan
BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar
Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap
Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan
Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam
Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII
pada hari yang sama.

Berikut ini catatan lengkap bunyi amanat Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku
Alam yang ditandatangani pada 5 September 1945.
AMANAT SRIPADUKA KANGDJENG SULTAN JOGJAKARTA
Kami HAMENGKU BUWONO IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat
menjatakan:
1. Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat jang bersifat Keradjaan adalah daerah
istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri
Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa
ini, segala urusan pemerintahan Dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat
ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
3. Bahwa, perhubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah
Pusat Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung-djawab atas negeri
kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjokarto


Hadiningrat mengindahkan amanat Kami ini.
Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe 1976 (5 September 1945).
HAMENGKU BUWONO IX1

AMANAT
SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat
menjatakan:
1.  Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari
Negara Republik Indonesia.
2.  Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri
Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan
pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan
kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
3.  Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami
langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

1
http://regional.kompas.com/read/2010/12/06/11115737/Amanat.Lengkap.Sultan.Hamengku.Buwono.IX
Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan
Amanat Kami ini.
Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-19452

Ketika Badan Komite Nasional Daerah Jogjakarta terbentuk pada 29 Oktober 1945,
sehari berikutnya Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII yang menyadari pentingnya kesatuan
dan persatuan kembali mengukuhkan integrasi Jogjakarta kepada NKRI dengan membuat
secara bersama-sama, Maklumat 30 Oktober 1945. Keistimewaan Jogjakarta pun semakin
dipertegas dengan Maklumat No 6/1948 dan Maklumat No 10/1948, yang menyatakan daerah
Istimewa Jogjakarta sebagai bekas daerah swapraja sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Keistimewaan DIY juga kian diperkuat lagi dengan UU No 3/1950 tentang


Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta dan jabatan gubernur yang bersifat melekat pada
Sultan yang bertahta. Keistimewaan DIJ dengan berbagai landasan yuridis tersebut, bukan
sekedar penghargaan kosong tanpa peran. Sejarah di awal terbentuknya NKRI sungguh
menampakkan peran besar Sultan HB IX dan rakyatnya dalam mempertahankan keutuhan
NKRI.

Latar Belakang Tuntutan Keistimewaan Yogyakarta

Yogyakarta sebagai bentuk daerah istimewa dengan identitasnya yang membedakan terhadap
daerah lain. Yogyakarta sendiri mempunyai sejarah dan budaya yang kuat yang dipahami sebagai
pondasi dalam upaya mempertahankan dan menjalankan daerahnya sendiri. Dalam perjalanannya, jika
melihat sejarah yang ada bahwa Yogyakarta menyatakan mulai bergabung dengan Republik Indonesia
yang tercantum dan diakui (diterima) oleh presiden pertama Ir. Soekarno dalam naskah Amanat 5
September 1945. Naskah tersebut berisikan pernyataan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman untuk
bergabung ke Republik Indonesia dengan beberapa poin tertentu yang menjelaskan posisi Yogyakarta
terhadap pemerintah pusat. Berdasarkan kesepakatan itulah, semua yang ada di Yogyakarta dikelola
dan dikuasai oleh Kesultanan Yogya dan Pakualaman baik urusan pemerintahan, pertanahan dan lain-
lain namun bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah pusat. Posisi Gubernur dan Wakil
Gubernur selama ini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sultan Pakualam
menjabat sebagai Wakil Gubernur.

2
http://ngada.org/maklumat5.9-1945.htm
Setelah sekian lama sejak Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia, muncul wacana
tentang status keistimewaan yang kemudian akan diatur dalam rancangan Undang-undang
Keistimewaan Yogyakarta pada tahun 1999 setelah runtuhnya rezim soeharto. Pembahasan mengenai
RUU Keistimewaan Yogyakarta pun molor hingga saat ini karena terkendala di draf undang-undang
yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu salah satunya mengenai sistem pemilihan langsung atas
posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Hal inilah yang membuat masyarakat Yogyakarta
resah dan segera menuntut penetepan atas RUU Keistimewaan Yogyakarta dengan format Sultan
Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sultan Pakualam sebagai Wakil Gubernur. Masyarakat
Yogyakarta dibuat resah setelah sekian lama wacana pembahasan RUU Keistimewaan belum juga
selesai dan ditambah dengan berbagai tanggapan dari berbagai tokoh bahkan oleh Presiden SBY yang
seakan menambah kisruh pembahasan RUU ini.

Pemerintahan DIY di Era Otonomi Daerah

Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I. Yogyakarta) merupakan daerah yang memiliki


struktur pemerintahan khas yang disebut istimewa. Keistimewaan tersebut timbul diantaranya
dari latar belakang historis dan asal usul daerah. Salah satu keistimewaan yang paling pokok
sampai saat ini adalah dalam hal rekrutmen Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilakukan
dengan penetapan bukan dengan pemilihan sebagaimana Daerah-daerah lain.

Secara yuridis konstitusional, Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)


dibentuk secara legal formal berdasarkan UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan DI
Jogjakarta. Kemudian dari UU No 3 Tahun 1950 dilakukan perubahan ke dalam Undang-
Undang No 19 Tahun 1950 Tentang Perubahan Perubahan Pembentukan DI Jogjakarta yang
selanjutnya diberlakukan mulai tanggal 15 Agustus 1950 dengan Peraturan Pemerintah (PP)
No 31 Tahun 1950. UU No 3 Tahun 1950 berisikan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar
kewenangan otonomi yang secara keseluruhan mengatur wilayah, ibukota daerah, jumlah
anggota DPRD, jenis kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, dan aturan-aturan yang
sifatnya peralihan. Kemudian muncul UU No 19 Tahun 1950 yang merevisi UU No 3 Tahun
1950 dengan penambahan kewenangan bagi DI Yogyakarta.3

Mengenai pembagian wilayah administratif berupa kabupaten dan kota selanjutnya di atur
dalam UU No 15 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta dan UU No 16 Tahun 1950 Tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
dan DI Yogyakarta (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 45). Kedua undang-undang ini
3
http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta diakses tanggal 10 Maret 2011
diberlakukan melalui PP No 32 Tahun 1950. Di dalamnya mengatur wilayah administratif DI
Yogyakarta yang terdiri atas:

1. Kabupaten Bantul dengan ibukota Bantul

2. Kabupaten Sleman dengan ibukota Sleman

3. Kabupaten Gunung Kidul dengan ibukota Wonosari

4. Kabupaten Kulon Progo dengan ibukota Sentolo

5. Kabupaten Adikarto dengan ibukota Wates

6. Kota Besar Yogyakarta sebagai ibukota DI Yogyakarta.

Dengan pertimbangan untuk mengefektifikan pelaksanaan pemerintahan, maka pada


tahun 1951 dilakukan penyatuan Kabupaten Adikarto dengan Kabupaten Kulon Progo yang
semula beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Wates.
Penggabungan kedua daerah kabupaten ini dilandasi dengan UU No 18 Tahun 1951.
Keseluruhan undang-undang yang membentuk DI Yogyakarta dan daerah kabupaten dan kota
di dalam lingkungannya didasarkan UU Pokok Tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No
22 Tahun 1948.

Perampingan dan pengefektifan wilayah masih terus dilakukan oleh Pemerintah DI


Yogyakarta. Sesuai dengan Mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 6 Tahun 1952 yang bertanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave seperti
Imogiri, Kotagede, dan Ngawen dilepaskan dari Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Ketiga
wilayah tadi kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penyatuan enclave tersebut didukung melalui UU Darurat Nomor 5 Tahun 1957
yang selanjutnya dijadikan UU No 14 Tahun 1958 .

Perubahan pada tatanan pemerintahan daerah kembali dilakukan untuk


mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan tujuan pembangunan nasional melalui
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada undang-undang
desentralisasi fiskal ini, dilakukan perubahan atas struktur dan wewenang pemerintahan
daerah. Istilah pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) I diganti dengan Pemerintahan Daerah
Propinsi. Pemerintahan Daerah Tingkat (Dati) II diganti dengan Pemerintahan Daerah
Kabupatan atau Kota. Berdasarkan ketentuan tersebut, istilah Kotamadya Yogyakarta diganti
dengan Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, pemerintahan Kota Yogyakarta memiliki wewenang
penuh dalam mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sasaran otonomi dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang sekarang menjadi UU No. 32/ 2004.

Sampai saai ini, pemerintah Propinsi darah Istimewa Yogyakarta tetap menjalankan
secara penuh roda pemerintahan sebagaimana amanat UU No. 32/ 2004, kecuali ketentuan
pasal 58 tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak dapat
dilaksanakan. Pasal ini tidak bisa dilaksanakan tanpa ada peraturan perundangan lebih lanjut
dari pemerintah pusat karena akan berbenturan dengan UU No. 3/1950 tentang Pembentukan
dan Asal-Usul Daerah Istimewa Yogyakarta.4

Rancangan Undang-Undang Keistimewaan

Polemik Keistimewaan Yogyakarta bukanlah sesuatu yang baru, mulai 1998, 2003
dan 2008 penuh dengan ketegangan politik. Polarisasi pemaknaan terhadap keistimewaan
sampai pada posisi dikotomis, antara penetapan dan pemilihan. Permasalahan RUUK ini
semakin menghangat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan “tidak ada
monarki di dalam negara ini”. Beberapa draf terkait RUUK pun telah dilayangkan. Draf
pertama, mendukung status quo. Draf kedua, mengetengahkan sebuah model “monarki
konstitusional” di mana Sultan diposisikan di atas Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
selaku “Pengageng.” Sementara draf ketiga, mengadopsi sejumlah aspek “monarki-
konstitusional” yang ditawarkan UGM, di mana Sultan diposisikan sebagai “Parardhya.”
Namun, sampai saat ini draf RUUK yang telah masuk ke DPR pada 16 Desember 2010
belum memperoleh hasil, karena belum sampai pada tahap pembahasan oleh DPR.

Berdasarkan data yang kelompok kami peroleh, terdapat enam substansi


keistimewaan dalam draf RUU ini. Lima poin antara lain terkait soal kultural, pengelolaan
tanah, adat, tata ruang, dan keuangan sudah disepakati, hanya tinggal satu yakni terkait posisi
Gubernur yang ditetapkan atau dipilih. Secara keseluruhan tentu saja RUUK ini terdapat
kekurangan maupun kelebihannya, yang akan dibahas sebagai berikut.

Bila kita memperhatikan masing-masing poin yang terdapat dalam Draf RUUK
tersebut, terdapat beberapa keganjilan yang bisa kita sebut sebagai kekurangan yakni pada:

4
Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX. Dharmakaryadhika: Yogyakarta.
( Hal.80)
 Bagian Penetapan terhadap: UU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta

Pada bagian tersebut secara tidak langsung tersirat bahwa penggunaan kata 'provinsi DI
Yogyakarta' tidak sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1950 tentang pembentukan DI
Yogyakarta yang menyebutkan daerah ini setingkat provinsi. Menurut Sultan, DIY tidak
sama dengan provinsi lainnya. Oleh karena itu, penulisan judul RUU seharusnya cukup
dengan 'RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta' dan tidak menggunakan kata
provinsi.

 Penyebutan Kedudukan Sultan sebagai Gubernur Utama

Penyebutan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 di pasal 18 yang menyebutkan


bahwa provinsi atau daerah istimewa dipimpin gubernur. Prinsip gubernur dan wakil
gubernur utama dinilai melanggar prinsip negara hukum. Penggunaan istilah ini dinilai
sama saja kekuasaannya makin dipersempit. Juga dinilai mengandung resiko hukum yang
besar bagi eksistensi DI Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta diperkirakan bisa hilang
saat ada pihak yang mengajukan uji materiil terhadap UU ini dan dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi nantinya.

 Pada Bab II, Pasal 2, ayat 1b, tentang Batas dan Pembagian Wilayah

Sebelah timur dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Dalam draf disebutkan
batas wilayah di timur dengan Kabupaten Klaten, padahal secara rill dengan Kabupaten
Sukoharjo dan Wonogiri.

Bila diamati pasal per pasal demikianlah kekurangan yang kelompok kami temukan.
Namun, disisi lain pembahaasan mengenai RUUK ini sesungguhnya juga membawa beberapa
kelebihan diantaranya, adalah :

1. Niat pemerintah untuk menutup celah perpecahan atau pemberontakan yang mungkin
terjadi untuk melepaskan diri dari NKRI
2. Spesifikasi tugas antara pemimpin struktur pemerintahan dengan pemimpin adat
derah Yogyakarta (Sultan)
3. Membuka peluang untuk masyarakat luas masuk dalam pemerintahan serta partisipasi
dalam pemilihan gubernur Yogyakarta
Respon Masyarakat Terhadap Polemik RUUK
Seperti dilansir dalam media online www.kompas.com mengenai respon masyarakat
Yogyakarta , mayoritas mengatakan kecewa dengan langkah pemerintah, berikut adalah hasil
penelusuran kami terhadap artikel media online tersebut mengenai kekecewaan masyarakat.
Kekecewaan masyarakat Yogyakarta karena daerah yang mereka banggakan dengan segala
adat dan peraturan yang mereka taati justru dianggap sebagai daerah yang menganut paham
monarki absolut karena gubernur tidak dipilih melalui pemilihan umum melainkan dipilih
berdasarkan keturunan, oleh pernyataan Presiden SBY beberapa saat lalu. Sebagai ekspresi
kekecewaan terhadap presiden, rakyat Jogja menggelar Kongres Rakyat untuk menetapkan
Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai gubernur dan wakil gubernur yang
merupakan suatu bentuk tindakan atas mencuatnya masalah keistimewaan Jogjakarta.
Masyarakat menyatakan tidak akan mengikuti alias memboikot pemilihan gubernur
dan wakil gubernur, jika pemilihan itu diadakan. Masyarakat juga mendesak DPRD agar
tidak menganggarkan biaya pemilihan kepala daerah. Masyarakat sudah sepakat
mempertahankan keistimewaan, bagaimana tidak, keistimewaan yang diberikan kepada
daerah Yogyakarta jelas sudah mendapatkan tandatangan dari Ir.soekarno sewaktu dulu.
Begitu pula pemilihan adalah bentuk demokrasi, namun demikian demokrasi jangan
dipaksakan karena yang melaksanakannya adalah rakyat DIY.
Sejarah juga telah membuktikan bahwa peranan Kesultanan Yogya dalam perjuangan
kemerdekaan sangatlah jelas. Siapa lagi kalau bukan Sultan Yogya yang memberi tempat
perlindungan kepada para pemimpin republik dan memberi wilayah Yogyakarta sebagai ibu
kota perjuangan Republik Indonesia ketika perang kemerdekaan berlangsung. Sehingga tak
heran, jika pada 15 Agustus 1950 pemerintah RI memberikan keistimewaan Yogyakarta
karena dukungan penuh kepada Republik yang masih muda itu dan Undang-undang No.03
Tahun 1950 menjadi dasar pembentukan provinsi DIY.
Selain itu, jika kita simak Sultan Hamengkubuwono X sebagai Kepala Daerah
Propinsi DIY selalu menjalankan tugas, peran, dan fungsinya sama dengan beberapa kepala
darerah lainnya di propinsi yang ada di Indonesia. Bahkan perangkat pemerintahan Yogya
juga sama sekali tidak berbeda dengan  tatanan fungsi daerah lainnya seperti; sekda, kepala
dinas, dan tatanan pemerintahan lainnya.
Dalam hal kewenangan terkait keistimewaan diatur dalam Pasal 6 ayat (2).  Dalam
draft tersebut tertulis bahwa kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud
mencakup penetapan fungsi dan tugas dan wewenang gubernur  utama dan wakil gubernur
utama, penetapan kelembagaan pemda provinsi, kebudayaan dan pertanahan dan penataan
ruang.
Dalam ayat selanjutnya, diatur juga bahwa kewenangan dalam urusan istimewa
didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan pada rakyat. Pengaturan lebih
lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal
dan keberpihakan kepada rakyat dan pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan
istimewa diatur dalam perda.
Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Gandung
Pardiman menilai aspirasi sejumlah kalangan yang menginginkan penghapusan keistimewaan
DIY sebagai pandangan historis.5 Masyarakat menilai bahwa orang-orang yang memiliki
pandangan seperti itu sebenarnya tidak mengerti sejarah tentang DIY, sehingga mereka
dipastikan tidak paham masalah keistimewaan daerah ini.
Berdasarkan Survei yang dilakukan Kompas dalam periode 2008-2010, hasilnya
menunjukkan bahwa 79 Persen Warga DIY Tolak Pemilihan. 6 Data survei yang menjadi
pegangan Kementerian Dalam Negeri bertolak belakang dengan hasil jajak pendapat Kompas
yang dilakukan sejak tahun 2008 hingga 2010. Faktanya ketika ditanya apakah sebaiknya
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat atau penetapan, sebagian
besar masyarakat Yogyakarta menginginkan penetapan. Angkanya mencapai antara 53,5
persen dan 79,9 persen (Kompas, 2/12/2010).
Selain itu, respon juga ditunjukkan dengan adanya berbagai golongan simpatisan yang
kerap berdemo dengan kirab budaya maupun memasang tulisan-tulisan gerakan pro
keistimewaan, maka tidak lazim bila sering kita jumpai gambar-gambar dibawah ini.

5
Dikutip dari http://regional.kompasiana.com pada 22 Februari 2011
6
Data berdasarkan survey yang diambil dari www.kompas.com pada 22 Februari 2011
Gambar diambil di salah satu sudut jalan Alun-Alun Selatan

Berkenaan dengan masalah demokrasi yang merupakan akar masalah munculnya


polemic keistimewaan Jogja ini, masyarakat menilai Demokrasi secara substansi memang
baik. Namun kalau demokrasi hanya kulit, ini yang mengkhawatirkan.  Politik saat ini lebih
mengedepankan bungkus atau kulit. Jadi betapa pun terdengar baik, isinya tidak berkualitas.
Betapapun terkesan indah, kualitasnya ternyata mengecewakan.
Bagaimana dengan pemerintah dan aparat negara lainnya yang dipilih secara
demokratis? Di beberapa daerah, pemerintah yang menjalankan demokrasi, tidak berhasil
melindungi hak-hak beribadah sebagian rakyatnya. Di beberapa daerah, pemerintah yang
menjalankan demokrasi tidak berhasil menciptakan lapangan kerja, juga pendidikan yang
berkualitas untuk rakyatnya. Bahkan, untuk mengatur secara fisik daerah istimewa Jakarta
dalam hal lalu lintas dan mengurangi bencana banjir, pemerintah yang menjalankan
demokrasi masih jauh dari keberhasilan. Di situ vulgar terlihat, demokrasi masih berupa
bungkus.
Bandingkan dengan Yogya yang (katanya) monarki. Saat bencana Merapi terjadi,
rakyatnya bahu-membahu membantu. Ada beberapa rumah tangga yang secara spontan
menyiapkan lima bungkus nasi; ada dukuh yang segera mengumpulkan baju layak pakai satu
jam setelah letusan besar 30 Oktober 2010 terjadi; ada warga yang dengan inisiatif sendiri
menyiramkan air ke kaca-kaca mobil yang tertutup abu merapi.
Seorang pedagang kaki lima dan seorang pedagang angkringan dengan bangga
mengungkapkan keunikan Yogya, yang menurut mereka memiliki solidaritas sosial yang kuat
dan membuat sebagian besar korban Merapi mampu menghadapi bencana besar itu.
Lihat juga tata kota Yogya. Sepanjang jalan Solo dan jalan-jalan utama, terlihat
pohon-pohon yang tertata rapi, terawat subur dan indah. Tidak salah kalau pemerintah daerah
memasang tulisan: ”Jalan raya adalah taman terpanjang.” Yogya juga memiliki tata kelola air
yang sejauh ini berhasil menghindarkan rakyatnya dari banjir. Walaupun jumlah kendaraan
sangat banyak, tetapi Yogya relatif berhasil mengatasi kemacetan. Salah satunya, karena
kedisiplinan polisi menegakkan aturan lalu lintas.
Dari sisi ekonomi, barang-barang di Yogya relatif lebih murah di banding daerah
lainnya. Tingkat korupsi pemerintah Yogya juga sangat rendah. Kerukunan antarkelompok
masyarakat juga sangat terjaga. Orang dengan berbagai latar belakang suku dan agama bisa
hidup berdampingan dengan harmonis di Yogyakarta. Situasi yang jarang kita temukan di
daerah lainnya.
Indikator-indikator sederhana itu menunjukan, walau Yogya tidak demokratis, isinya
relatif lebih dekat dengan arti demokrasi sesungguhnya, dibanding beberapa daerah yang
menjalankan (bungkus) demokrasi. Jika arti demokrasi yaitu: pemerintah dipegang oleh
rakyat dan untuk rakyat, maka silakan juga tanya warga Yogya. Sejauh ini rasa-rasanya,
penetapan gubernur dalam diri Sri Sultan dan wakilnya adalah aspirasi mayoritas warga
Yogya.
Tentu, indikator-indikator tersebut bukan hanya karena prestasi Sri Sultan sebagai
kepala daerah Yogyakarta, ini juga disebabkan pengaruh nilai dan budaya Yogya yang masih
kuat dipegang rakyatnya. Nilai-nilai seperti harmoni, rasa malu yang positif, juga introspeksi
diri saat menghadapi hal buruk, mendasari cara rakyat Yogya berpikir dan bertindak.

Kesimpulan

Secara tatanan otonomi daerah selama ini seluruh fungsional dan operasional sistem
pemerintahan di Yogyakarta sama dengan daerah lainnya kecuali jabatan Gubernur yang
dilakukan penetapan. Bila melihat secara regulasi hal ini memang bertentangan dengan azas
pemilihan yang membolehkan semua warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi
pejabat publik. Dalam UUD 1945 pasal 28 (Amandemen) tersebutkan bahwa Gubernur, wali
kota, bupati, harus diplih secara langsung, sementara di DIY jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur ditetapkan langsung.Namun bila dilihat secara historis, Yogyakarta memiliki
sejarah panjang yang mendasari mengapa kebijkan itu dibuat dan dijalankan, sejarah panjang
ini tidak bisa diabaikan oleh warga Yogyakarta. Keterkaitan emosional pada sosok Sultan dan
Kraton membuat Yogyakarta merasa perlu dilakukan suatu tatanan khusus bagi sistem
pemerintahan di DIY.

Selama ini pembahasan mengenai RUUk masih berkutat pada konflik kepentingan
berbagai pihak, aspirasi dari masyarakat yang begitu nyata belum tersentuh. Diseminasi perlu
dilakukan untuk mendengar aspirasi masyarakat yaitu dengan mengembalikan draf RUUK
kepada masyarakat Yogyakarta dan membiarkan masyarakat yang memilih. Secara tatanan
pemerintahan pula seorang Gubernur di Indonesia bagaikan kepala dari kepala daerah yang
tidak mempunyai kuasa wilayah administratif, karena kabupaten dan kota lah yang memiliki
wilayah. Sesungguhnya pemerintah tak perlu kuatir keistimewaan ini akan berdamapak
negatif pada kesatuan Republik Indonesia, karena sejarah lagi-lagi membuktikan betapa setia
nya Yogyakarta pada RI.

Pada dasarnya Keistimewaan Yogyakarta bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan


karena terkesan mencuri perhatian publik, sementara masih banyak lagi hal lain yang harus
diselesaikan oleh negara dan pemerintah kita ini. Terlebih setelah melihat keadaan
Yogyakarta dalam kurun waktu yang tidak singkat, menentukan siapa yang menjadi
Gubernur atau pemimpin bagi masyarakat DIY adalah Sultan dan Paku Alam. Bukankah
seyogyanya yang menjadi harapan suatu bangsa adalah ketentraman masyarakat yang
dipimpinnya, dan senyatanya Yogyakarta tidak pernah mengalami konflik terhadap
kedudukan Sultan sebagai Gubernur (pemimpin) di Yogyakarta, jadi mengapa harus terus
dipermasalahkan.

Sumber Referensi :

Wahyukismoyo, Heru. 2008. Merajut kembali Pemikiran Sri Sultan HB IX.


Dharmakaryadhika: Yogyakarta. ( Hal.80)

http://regional.kompas.com/read/2010/12/06/11115737/Amanat.Lengkap.Sultan.Hamen
gku.Buwono.IX , diakses pada tanggal 14 Maret 2010, pukul 13.24)

http://ngada.org/maklumat5.9-1945.htm , diakses pada tanggal 14 Maret 2010, pukul


13.24)

http://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta diakses tanggal 10 Maret


2011
http://regional.kompasiana.com diakses pada 22 Februari 2011

www.kompas.com diakses pada 22 Februari 2011

You might also like