You are on page 1of 8

MAKALAH

“Filsafat Eksistensialisme”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Kuliah Perekonomian Indonesia
Dosen : Abd. Basith Junaidy, Mag.

Oleh :
Karina MustikaSari ( C34210144 )
Febri Rubiyanto ( C34210135)
Silfy FatmaYuni Soraya ( C34210146 )

Institut Agama Islam Negeri


Sunan Ampel Surabaya
2010
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan
kesehatan yang diberikan kepada saya sehingga saya dapat mengumpulkan bahan – bahan materi
makalah ini dari internet. Saya telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagai macam
bahan tentang Tantangan Menggapai Pemulihan

Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu saya
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih
baik lagi. Oleh karena itu saya mohon bantuan dari para pembaca,

Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan, saya mohon maaf
yang sebesarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.

Hormat Saya

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
FILSAFAT EKSISTENSIALISME

A. PENDAHULUIAN
Dalam kajian filsafat, benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu
pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu tema besar yang menjadi inti dari masing-masing
aliran itu. Dampaknya, untuk para pemula dalam bidang ini, akan mengalami berbagai macam
kebingungan karena komplektisitas dan penuh dialektika didalamnya.
Dan dari masing-masing aliran filsafat tersebut, ternyata berangkat dari cara pandang tokoh
tertentu ketika memandang sesuatu, dan sebagai antitesis terhadap cara pandang itu, akhirnya
memunculkan satu cara pandang baru yang nyata-nyata bertentangan dengan cara pandang sebelumnya,
begitu seterusnya. Pola tesis antitesis ini tidak diakhiri dengan menemukan sintesis yang baku yang
dapat dijadikan rujukan dan bersifat tetap, tetapi justru sintesis yang merupakan perpaduan dari tesis
awal dengan antitesis ini justru menjadi tesis baru yang akan muncul antitesisnya dalam perkembangan
selanjutnya.
Secara sederhana, semua aliran merupakan bentuk pertentangan dari cara pandang yang telah
ada dan berlaku secara menyeluruh, untuk kemudian ditemukan formula baru dalam memandang. Pola
komunikasi yang semacam inilah yang membuat filsafat sampai hari ini masih selalu menarik untuk
bahan kajian yang diminati banyak orang.
Yang paling menarik dari semua itu adalah, bahwa dari berbagai macam
aliran filsafat, ternyata tidak hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang menggunakan cara pandang tersebut
sebagai pisau analisis, tetapi hamper berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan social. Atau semua
aliran memiliki basis kuat di masyarakat.

Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan,
binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia,
kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia
menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat
membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu
sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh
eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau
dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok
bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir.
Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak
tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai.
Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup,
tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan
berperan.

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat


eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang sudah ada dan tak
ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau.
Manusia adalah manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk
apa berada¹.
Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan
mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan
eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optima.
Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam
kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut
kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan
kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat,
mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus
disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan
sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat
orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik
kemerdekaan menjadi
tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan sebagai
norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup
itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja
yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan,
hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan
isinya menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum,
mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan segala peraturan dan
hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung
jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau
lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi perkara untuk
menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling
baik yang menurut pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu.
Yang baik adalah yang baik menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya dan
norma masyarakat, negara, atau agama. Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik
etika eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi,
penglihatannya tentang masa depan.

1 Muhammad Baqir Ash Sadr, 1991,F al safatu n a: Dirasah, Mawudhu’iyyah fi mu’tarak Al Shira’
Al Fikriy Al Qa’im baina Mukhtalaf Al Tahayarat Al Falsafiyyah wa Al Falsafah Al Islamiyyah
wa Al Maddiyyah Al Diyaliktikiyyah (Al Markisiyyah). Penerj. M. Nur Mufid bin Ali, Mizan
Pustaka, Bandung, hal.217
Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima
seperti adanya, dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai,
tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup
manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa, dan dunia seanteronya.
Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai
sudah selesai, mempunyai sikap pasrah dan "menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami
hidup sebagai belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus
diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung jawab. Setiap orang harus
bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh berupaya untuk mengembangkannya.
Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting,
mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi
membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan,
dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang
menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan
karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum
eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa
depan merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup
dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup kaum
eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke masa depan.
Filsuf yang menggunakan eksistensialisme sebagai pisau analisis serta pahamnya diantaranya
yang paling terkenal adalah Jean-Paul Sartre. Filsuf-filsuf lain dari aliran ini lebih senang disebut "filsuf-
eksistensi". Di antara mereka adalah S. Aabye Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-
1900), Karl Jaspers(1883-1969), Martin Heidegger(1889-1976), Gabriel Marcel
(1889-1973) dan M. Merleau-Ponty (1908-1961)2.
Aliran filsafat Eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada
manusia/individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai
kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan
mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relatif, maka masing-
masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan
keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang
berhubungan dengan eksistensialisme adalah (selalu) persoalan kebebasan. Apakah kebebasan itu?
bagaimana manusia yang bebas? dan sesuai dengan ide utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan), Sartre
terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Maka
dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul
sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam
istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi
eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari
kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, Bapak filsafat eksistensialisme
ini adalah Søren Aabye Kierkegaard, dialah yang pertamakali mencetuskan filsafat eksistensialisme
kemudian diturunkan kepada Sartre, walaupun akhirnya Sartre lebih banyak dikenal dalam studi
filsafat eksistensialisme karena karya-karyanya.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain,
sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan
membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat
sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah
inti dari eksistensialisme.

SørenAabyeKierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen,
Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi
sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang
yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard
terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas
hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektika Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat
iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika
diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang
digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis
kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali
mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama
samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh
Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-
pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling
mendalam dari abad ke-19".

PemikiranKierkegaard

Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat
seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh
maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung
jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan
kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai
bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.

Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan
perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan
religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip
kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban
barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan.

Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan
pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh
adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap
keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat
paradoks keimanan.

Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya
(Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai
manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan
yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan
kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan
segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi[8], sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru
dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral
universal.

Penutup

Eksistensialisme sebagai bagian dari aliran filsafat memiliki cara pandang yang cukup akrab
dengan kondisi riil dalam konteks kenyataan di lapangan. Sehingga filsafat ini lebih mengandalkan
eksistensi objek dibandingkan harus memaknai objek tersebut secara lebih mendalam seperti mengkaji
aspek metafisismenya.
Demikian makalah ini dibuat, semoga bermanfaat sebagai pengantar kajian filsafat
eksistensialisme. Terima kasih kepada semua pihak yang membantu menyelesaikan makalah ini dan
mohon maaf apabila ditemukan kesalahan dan kekurang tepatan dalam pembahasannya.

www.google.com/filsafat eksistensialismeSøren Aabye Kierkegaard 29 sept 2010/08.24 pm

You might also like