You are on page 1of 20

GWR/4/5/2006

LATAR BELAKANG LAHIRNYA UUPA-1960


DAN EKSISTENSINYA SELAMA 46 TAHUN
Antara Gagasan dan Tindakan*)

Oleh :
Gunawan Wiradi

PENGANTAR

(1) Dengan sedikit diubah dan ditambah, isi makalah ini diambil dari
naskah asli berjudul serupa yang pernah disampaikan dalam suatu
sarasehan beberapa waktu yang lalu. Karena berbagai sebab, naskah
ini ditulis secara mengalir begitu saja, tanpa menggunakan rujukan-
rujukan langsung secara ketat. (Jadi, tidak seperti yang biasa saya
lakukan).

(2) Meninjau ulang suatu produk hukum yang keberadaannya sudah 46


tahun, tentu memerlukan uraian yang panjang lebar dan bukan hal yang
mudah. Namun karena berbagai keterbatasan, maka tinjauan ini
sifatnya umum, dan amat ringkas. Di sini tidak akan disajikan angka-
angka, ataupun pembahasan mengenai pasal-pasal Undang-Undang
(kecuali disinggung seperlunya), melainkan lebih menekankan pada
visinya, spiritnya, misi yang diembannya, serta konteks jamannya.
Mengapa lahir UUPA-1960 ? Mengapa isi UUPA-1960 seperti itu ?
Mengapa sekarang ini kondisi keagrariaan kita carut-marut ? Mengapa
selama + 30 tahun terakhir ini sekitar 8000 kasus konflik agraria
merebak di mana-mana mencakup berbagai sektor di hampir semua
wilayah ? Inilah antara lain, pertanyaan-pertanyaan pokok yang untuk
menjawabnya diperlukan pemahaman terhadap latar belakang
kelahiran UU tersebut serta proses-proses selanjutnya. Dengan kata
lain, tinjauan ini menggunakan pendekatan historis.

___________________

1
*) Bahan masukan bagi Sekretariat Jenderal Wantannas. Dengan sedikit
diubah dan ditambah, diambil dari naskah asli yang pernah disampaikan
dalam seminar/kesempatan lain.
(3) Selain tinjauan ulang itu, ada juga baiknya untuk walaupun sepintas
melihat ke depan, terutama dalam waktu dekat ini.

(4) Dengan demikian isi makalah ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: (1)
Latar Belakang lahirnya UUPA-60; (2) Eksistensinya selama 46 tahun,
yang terbagi menjadi tiga periode, (a) 1960-1965; (b) masa Orde Baru;
dan (c) posta Orde Baru; dan (3) Bagaimana ke depan.

I. LATAR BELAKANG

Lahirnya UUPA-1960

Bagian ini hanya menampilkan secara amat ringkas semacam


snapshots saja, atau “potret-potret” kejadian penting yang dialami bangsa
Indonesia sebelum merdeka, terutama sejak lahirnya UU Agraria kolonial
Belanda tahun 1870. Walaupun masa-masa sebelumnya juga mengandung
hal-hal yang penting, namun pengalaman sejak 1870 itulah yang kemudian
menjadi landasan alur pemikiran para pendiri NKRI ini dalam mengambil
kebijakan di b idang agraria.

(1) Periode 1870 – 1942


(a) UU Agraria 1870 melahirkan masuknya modal besar swasta asing,
khususnya Belanda, ke Indonesia, dan lahirlah sejumlah banyak
perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera.
(b) Ternyata kemudian, sistem ekonomi perkebunan besar ini
menyengsarakan rakyat.
(c) Hal itu dari awal sudah mendapat berbagai kritik tajam dari
sejumlah intelektual Belanda sendiri, a.l. Mr. Bool, Prof. van
Gelderen, dll, yang memuncak pada apa yang terkenal dengan
“Gugatan van Kol”, pada tahun 1902.
(d) Kata-kata Prof van Gelderen sangat terkenal, yang sekarang ini
juga banyak dikutip orang, yaitu: “Bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa koelie”, dan menjadi “koelie diantara bangsa-bangsa” !.

2
(e) Karena banyak kritik maka pemerintah kolonial Belanda lalu
melakukan penelitian mengenai “Menurunnya kesejahteraan
rakyat” (Mindere Welvaarts Onderzoek – MWO). Kesengsaraan
rakyat itu memang terbukti ! Maka pemerintah kolonial lalu
mengambil langkah kebijakan yang dikenal sebagai “Ethical
Policy” (Ethische Politiek) yang berisi enam program perbaikan,
yaitu: irigasi, reboisasi, kolonisasi (transmigrasi), pendidikan,
kesehatan, dan perkreditan.
(f) Sekalipun mungkin maksudnya baik, dan bukannya tanpa hasil
sama sekali, namun ternyata “Politik Etis” itu tidak banyak
mengubah keadaan. Bahkan sengketa-sengketa agraria juga
merebak di mana-mana, dan pada tahun 1929 – 1933, Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang berat.
(g) Lima diantara enam program Politik Etis tersebut di atas (kecuali
kesehatan), langsung atau tak langsung berkaitan dengan
masalah agraria. Namun dua diantaranya perlu diberi catatan
(karena itu diberi garis bawah).
Pertama soal pendidikan. Ciri kolonialisme Belanda berbeda dari
ciri kolonialisme Inggris ataupun Spanyol. Ciri Inggris adalah
Commerce colonialism. Tujuannya mencari pasaran bagi produk
industrinya. Untuk itu perlu diciptakan terbentuknya kelas
menengah. Karena itu lalu Inggris memberi pendidikan. Di negara
bekas jajahan Inggris, jauh sebelum merdeka, sudah ada
Universitas (mis. Pakistan, India, Malaysia). Ciri Spanyol adalah
kolonialisme total, membabat habis kebudayaan pribumi, karena
tujuannya memang untuk membangun wilayah baru bagi orang-
orang Spanyol sendiri. Karena itu, di hampir semua negara
Amerika Latin misalnya, semua aspek kehidupan (bahasa,
nyanyian, cara makan, cara berpakaian, dll) ter-Spanyolkan.
Namun di sisi lain, Spanyol membangun universitas-universitas,
walaupun semula tujuannya memang diperuntukkan bagi orang-
orang Spanyol sendiri. Di Argentina misalnya, tahun 1622 sudah
ada Universitas. Semua itu berbeda dari apa yang terjadi di
Indonesia, karena kolonialisme Belanda itu sifatnya ekstraktif,
mengeduk sumber alam. Pendidikan baru dibangun pada awal
abad-20, dan itupun bukan tingkat universitas. Saat Indonesia
3
merdeka 1945, di sini belum ada universitas. Yang ada hanya
beberapa “Sekolah Tinggi” (Teknik, Kedokteran, Hukum). Apa
relevansi semua cerita ini bagi masalah agraria ? Berbeda dari
berbagai negara bekas jajahan Inggris atau Spanyol, di Indonesia
jumlah ”pakar agraria” menjadi sangat terbatas, akibat
keterbelakangan pendidikan tersebut. Sebelum Indonesia
merdeka, hampir tidak ada pejuang (baik sipil maupun militer)
yang mengangkat isyu agraria sebagai platform perjuangan
(kecuali dua orang).
Soal kedua adalah perkreditan. Program perkreditan dalam Politik
Etis tersebut dalam pelaksanaannya di pedesan mengalami
hambatan karena terjadinya pertentangan paham antara
Kementerian Keuangan dan Kementerian Tanah Jajahan. Di
Keuangan, pos-pos penting diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda
yang didominasi oleh pemikiran ekonomi neo-klasik (aliran Prof.
Gongrijp). Sedangkan para Pamongpraja Belanda umumnya
adalah penganut pemikiran neo-populis (murid-murid Prof. J.H.
Boeke).

(2) Masa Pendudukan Jepang (1942 – 1945)


(Perang Dunia II)

Tanggal 10 Mei 1940, Negeri Belanda jatuh dan diduduki Jerman, dan
pemerintah Belanda lari ke Inggris. Tetapi di Indonesia, pemerintah kolonial
Belanda masih ada karena Perang Pasifik belum pecah. Barulah tanggal 8
Maret 1942 Belanda di Indonesia menyerah kepada Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, barangkali dua saja soal penting
yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan soal agraria (walaupun tentu
saja ada yang lain-lain), yaitu:

(a) Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya.
(b) Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena
ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing
lainnya). Dengan beban pajak yang tinggi tersebut di atas, maka
rakyat lalu menduduki tanah-tanah terlantar tersebut. Pemerintah
pendudukan Jepang ternyata mentolerir bahkan mendorong
tindakan rakyat tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini telah

4
menciptakan suatu collective perception diantara rakyat, bahwa
seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya atas tanah,
yang dulu digusur oleh Belanda melalui UU Agraria kolonial 1870.

(3) Masa Awal Indonesia Merdeka (1945 – 1960)


Belajar dari pengalaman sejarah tersebut di atas, maka dapat ditarik
pelajaran bahwa sistem ekonomi perkebunan besar ternyata
menyengsarakan rayat, terutama karena telah menggusur tanah-tanah luas
yang semula menjadi garapan rakyat. Sementara itu, pada awal Agustus
1945 Perang Dunia II berakhir karena Jepang menyerah kepada tentara
Sekutu. Lalu, hanya empat bulan setelah itu, yaitu tanggal 9 Desember 1945,
Panglima Tentara Sekutu di Asia, Jenderal Mac Arthur memerintahkan
kepada Kaisar Jepang untuk segera melaksanakan “landreform” di Jepang.

Dua hal itulah yang merupakan landasan pemikiran para pendiri RI


bahwa begitu merdeka, maka pusat perhatian utama di bidang sosial
ekonomi haruslah diletakkan, pada perencanaan untuk ”menata-ulang”
masalah pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah. Baru sekitar
setengah tahun Indonesia merdeka, Wakil Presiden Bung Hatta (sebagai
seorang ekonom) telah menguraikan masalah ”ekonomi Indonesia dimasa
depan”. Diantara berbagai petuah beliau yang penting di masa itu, ada dua
butir yang perlu disebut (yang dikemudian hari turut menjiwai isi dan
semangat UUPA-1960), yaitu bahwa (a) tanah-tanah perkebunan besar itu
dahulunya adalah tanah rakyat; dan (b) bagi bangsa Indonesia, tanah jangan
dijadikan komoditi komersial (istilahnya saat itu: barang dagangan yang
semata-mata untuk mencari keuntungan).

Kita semua tahu bahwa periode 1945 – 1950 dikenal sebagai masa
revolusi fisik, perang dan damai silih berganti. Namun toh, dalam suasana
yang diliputi penuh ketegangan itu, belum ada satu tahun umur RI,
pemerintah telah melakukan langkah percobaan, yaitu melalui UU no.13/
1946, melancarkan ”landreform” kecil-kecilan di daerah Banyumas, dan
berhasil. Kemudian, di tahun 1948, melalui UU Darurat no.13/1948,
menghapus hak-hak istimewa dari sekitar 40 perkebunan tebu terutama di
daerah istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Sementara itu pada tahun 1948
itu pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan
pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru,
5
Undang-Undang nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870.
Namun karena adanya agresi Belanda (”Clash ke-II”, Desember 1948 –
Agustus 1949) maka panitia dibubarkan. Kemudian, sebagai hasil
perundingan Indonesia – Belanda melalui perjanjian KMB (Konperensi Meja
Bundar), lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS), dan RI hanya menjadi
“negara bagian”. Tetapi, RIS ini tak berumur lama. Pada bulan Agustus
1950, Indonesia kembali menjadi NKRI dengan Undang-Undang Dasar
Sementar (UUDS-1950), dan sistem pemerintahan parlementer.

Panitia Agraria Yogya (1948) kemudian dihidupkan kembali pada


tahun 1951 dengan Ketua yang sama (alm. Bp. Sarimin R.) – dikenal
sebagai Panitia Agraria Jakarta. Sistem parlementer membuat Kabinat jatuh
bangun dalam waktu singkat, dan kepanitiaan agraria ini pun dua kali
mengalami perubahan lagi (Panitia Suwahyo, 1956; dan Panitia Sunaryo,
1958). Dengan berbagai masukan dari panitia-panitia sebelumnya, Panitia
Sunaryo akhirnya berhasil menyiapkan RUU yang siap untuk diajukan ke
DPR. Namun atas saran Presiden Soekarno RUU ini digodog kembali oleh
kerjasama DPR dengan Universitas Gajah Mada (UGM).

Sampai dengan 1958 itu tentu saja landasan hukum yang dipakai
rujukan adalah UUDS-1950. Tapi kemudian, dengan terjadinya Dekrit 5 Juli
1959 (kembali ke UUD-1945) maka, disamping substansinya, “legal drafting”
nya pun secara teknis RUU Soenaryo itu pun mengalami perubahan-
perubahan.Hasil kerjasama DPR – UGM itu kemudian diajukan ke DPR
sebagai “Rancangan Sadjarwo”. Tanggal 24 September 1960 RUU ini
disahkan oleh DPR dan ditetapkan sebagai UU no.5/1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal sebagai UUPA-1960).

Demikianlah proses panjang kelahiran UUPA-’60. Ada catatan kecil


tapi penting untuk disebut, yaitu bahwa karena dari awal telah ada niat politik
untuk melakukan “reform”, sedangkan sampai dengan 1950 itu situasi politik
masih penuh gejolak dan landasan hukum untuk “reform” itu masih dalam
proses pembentukan maka untuk sementara pemerintah RI melanjutkan
kebijakan Jepang yaitu mentolerir rakyat menduduki tanah-tanah
perkebunan terlantar, sambil menunggu akan dilaksanakannya “reform”
nanti. Namun dalam periode 1950 – 1960 itu, sesungguhnyalah pemerintah
menghadapi sebuah dilemma, Di satu pihak, gagasan awalnya adalah
bahwa obyek utama “reform” itu adalah tanah-tanah perkebunan dengan hak

6
erfpacht, tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah
terlantar. Tapi di lain pihak, pemerintah (sekalipun sudah kembali menjadi
NKRI, dan bukan lagi RIS sesuai KMB) tetap terikat oleh perjanjian KMB
yang mengandung ketentuan bahwa rakyat harus dikeluarkan dari tanah-
tanah perkebunan milik modal swata Belanda itu. Barangkali, dilemma inilah
salah satu sebab yang turut mempengaruhi mengapa proses perumusan
UUPA tersebut menjadi begitu panjang (12 tahun).

Tahun 1957 Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958


menasionalisir perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU
no.1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.

II. EKSISTENSI UUPA SELAMA 46 TAHUN

A. Periode 1960 – 1965


(1) Semula periode ini direncanakan sebagai target masa pelaksanaan
“reform” di bidang agraria. Tetapi karena berbagai pergolakan, maka
konsentrasi pikiran pemerintah menjadi terpecah. Berbagai masalah
yang dihadapi waktu itu, antara lain, adalah: sisa-sisa masalah
penyelesaian pemberontakan PRRI/Permesta; tindak-lanjut
nasionalisasi perkebunan; perjuangan untuk kembalinya Irian Barat;
dan konfrontasi dengan Malaysia.

(2) Karena UUPA-1960 itu baru berisi “peraturan dasar”, maka masih
banyak pasal-pasal yang sedianya akan dijabarkan lebih lanjut ke
dalam peraturan ataupun undang-undang yang lebih operasional.
Namun karena kondisi seperti tersebut di atas, maka hal itu
sebagian besar belum sempat tergarap.Jabaran terpenting yang
sudah dilakukan adalah ditetapkannya UU no.56/1960 (yang semula
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU), yang kemudian
secara populer dikenal sebagai “UU Landreform”, yaitu tentang
“Penetapan Luas Tanah Pertanian”.

(3) Karena kekurangan pakar agraria yang berpengalaman dalam hal


“reform”, maka Menteri Agraria (alm. Mr. Sadjarwo) melakukan
konsultasi dengan seorang pakar dari Amerika Serikat, yaitu Dr.
Wolf Ladejinsky. Dia adalah bekas Atase Pertanian Amerika di
Jepang, yang membantu Jenderal Mac Arthur sewaktu
melaksanakan landreform di Jepang. Dia tiga kali datang di
7
Indonesia, yaitu pertama di tahun 1961 (hanya 10 hari untuk
mempelajari berbagai dokumen), dan terakhir di tahun 1963 selama
tiga bulan meninjau pelaksanaan landreform di lapangan.

(4) Ladejinsky memberikan kritik dan saran. Ada dua hal yang menurut
saya merupakan kritik utama, khususnya yang menyangkut program
landreform.
Pertama: menurut dia, antara gagasan dan tindakan pelaksanaan
tidak konsisten, tidak nyambung (disjointed). Gagasannya
revolusioner tapi pelembagaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi di
Indonesia berbelit-belit. Data tidak akurat, sehingga pelaksanaan
redistribusi menjadi sulit dan mengalami hambatan di lapangan.
(Barangkali, inilah juga yang secara politis mendorong PKI
melakukan aksi sepihak, yang menimbulkan trauma dan melahirkan
stigma bahwa “landreform sama dengan PKI”).
Kedua: model redistribusinya tidak sesuai dengan kondisi obyektif
yang ada. Batas minimum 2 ha yang diberlakukan secara
menyeluruh dianggap tidak realistis. Beberapa konsepnya,
definisinya tidak jelas.Misalnya, siapa, dan berapa jumlahnya, orang
yang berhak menerima redistribusi tanah (potential beneficiaries),
dan berapa yang diperkirakan akan menjadi penerima nyata (real
beneficiaries) ? Tanah-tanah apa saja yang akan menjadi obyek
reform ? (PP.224/1961 dianggap tidak konsisten dengan gagasan
ideal awalnya).
Saran Ladejinsky: membentuk Panitia Landreform yang kerangka
dan komposisinya meniru model di Jepang.

(5) Sebenarnya terdapat sejumlah pakar asing lainnya yang melakukan


penilaian terhadap UUPA-1960 beserta program landreform
Indonesia. Tetapi umumnya, hal itu ditulis sesudah tahun 1965. Satu
contoh saja, pandangan dari Patrick Mc Auslan (1986). Menurutnya,
ada sisi positif dan negatif tentang UUPA-1960.
Yang positif: menurut dia:
(a) UUPA-1960 merupakan produk hukum terbaik selama sejarah
RI.
(b) Kerangka, format, dan rumusannya, “moderen”.
(c) Jauh hari para perumus sudah memiliki kepekaan “gender”.
8
(d) Mempunyai idealisme menghapuskan “l’exploitation de
l’homme par l’homme”

Yang negatif :
(a) Dalam hal hukum, adat, kaitan dan penempatannya dalam
UUPA-1960 belum terlalu jelas.
(b) Program landreformnya juga dianggap belum terlalu jelas (mirip
kritik Ladejinsky).
(c) Belum diantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai
hambatan.

Disamping adanya berbagai hambatan lainnya, menurutnya, ada


dua hambatan pokok dalam masalah agraria di Indonesia.
Pertama: hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah, aparat
hukum belum menguasai benar persoalan agraria. Hal ini berkaitan
erat dengan hambatan pokok yang kedua.
Kedua: disebut sebagai hambatan ilmiah. Berbeda dari negara
berkembang lainnya, di Indonesia yang justru merupakan negara
besar yang pada dasarnya agraris, jumlah ilmuwan agraria amat
sangat terbatas. Menurut Mac Auslan, ini suatu ironi. Akibatnya
setiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukum agraria”.
Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan
(sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik. Bahkan juga
hankam).

B. Periode 1965 – 1998


(Masa Orde Baru)

(1) Sudah kita ketahui bersama bahwa sebagai akibat peristiwa


berdarah 1965, maka antara 1965 – 1967 adalah masa peralhan
kekuasan dari pemerintahan lama kepada pemerintahan Orde Baru.
Kebijakan umum Orde Baru sama sekali berbeda dari kebijakan
lama. Slogan lama: “Berdaulat dalam politik, berdikari di bidang
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”, dilindas oleh
slogan baru yang membahana: “Politik no, ekonomi yes !”
Masyarkat terhanyut, dan tak sadar bahwa slogan ini sendiri adalah
politik !

9
(2) Kebijakan Umum Orde Baru ditandai oleh sejumlah ciri, yaitu:
(a) Stabilitas merupakan prioritas utama.
(b) Di bidang sosial ekonomi, pembangunan menggantungkan diri
pada hutang luar negeri, modal asing, dan betting on the
strong.
(c) Di bidang agraria mengambil kebijakan jalan pintas (By-pass
approach), yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria.

(3) Dengan kebijakan demikian, maka UUPA-1960 ibarat masuk “peti-


es”. Artinya, sekalipun tidak dicabut, keberadaannya tidak
dihiraukan. Lahirlah di tahun 1967 tiga undang-undang yang
mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA-1960
(UU PMA; UU Pokok Kehutanan; UU Pokok Pertambangan). Untuk
sekitar 11 tahun lamanya UUPA-1960 dipersepsikan secara keliru,
sebagai produk PKI. (Stigma ini masih melekat di benak sebagian
masyarkat kita sampai sekarang).

(4) Barulah di tahun 1978 keberadaan UUPA-1960 dikukuhkan kembali


sebagai “produk nasional” (bukan produk PKI), setelah adanya
laporan hasil penelitian dari Panitia Soemitro Djojohadikoesoemo
(alm. Prof. Dr. Soemitro saat itu adalah Menristek). Kembalinya
perhatian atas keberadaan UUPA 1960 ini – barangkali – juga
karena adanya undangan dari FAO untuk menghadiri Konperensi
Sedunia tentang Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan, di
Roma 1979.

(5) Sementara itu karena beberapa UU sektoral sudah terlanjur berlaku


sekian lama, maka ketika UUPA-1960 dikukuhkan kembali, yang
terjadi bukannya penjernihan, melainkan justru ketumpang tindihan.
Terdapat kesan kuat bahwa di sana-sini terjadi rekayasa hukum dan
manipulasi agar seolah-olah suatu kebijakan itu merujuk kepada
UUPA-1960 namun pada hakekatnya demi kepentingan sektoral
untuk memfasilitasi investasi asing.
(6) Dalam Konperensi Roma 1979 (tersebut di atas), Indonesia
mengirim delegasi besar. Hasil konperensi ini adalah sebuah
dokumen yang di tahun 1981 diterbitkan oleh FAO dengan judul The
Peasants’ Charter (Piagam Petani). Disepakati bahwa setiap dua
tahun sekali tiap negara akan melaporkan pelaksanaan Reforma
10
Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Tidak ada berita, apakah
Indonesia memenuhi kesepakatan ini. Di tahun 1981 itu pula di
Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat berlangsung lokakarya
internasional dengan tema yang sama, sebagai tindak lanjut
Konperensi Roma, yang hasilnya disertai sebuah rekomendasi
kepada pemerintah Indonesia.
(7) Keberadaan Piagam Petani hasil pertemuan Roma, dan
rekomendasi Selabintana ternyata tidak mampu untuk mendorong
pemeirntah Orde Baru untuk melakukan “reorientasi kebijakan”.
Bahkan, kebanggaan yang berlebihan dari berhasilnya swasembada
pangan di tahun 1984 telah membuat Orde Baru terlalu percaya diri
bahwa tanpa Reforma Agraria (melalui “jalan pintas”) kita akan
mampu memakmurkan rakyat. Terbukti kemudian bahwa
swasembada pangan tak berumur lama. Namun hal ini tetap tidak
membuat Orde Baru menyadari apa yang sesunggunnya terjadi.
Bahkan semakin terdapat kecenderungan untuk jauh menyimpang
dari semangat UUD-1945 dan UUPA-1960. Penyimpangan ini
dimulai dengan adanya berbagai paket deregulasi di akhir dekade
1980-an (Inilah indikasi pertama kecenderungan kebijakan liberal,
meskipun semula dibantah sendiri oleh pimpinan Orde Baru).

(8) Di awal dekade 1990-an, slogan “globalisasi” mulai menggelora.


Dimana-mana berlangsung seminar/lokakarya dengan spanduk
besar-besar bertuliskan: “menyongsong globalisasi” (walaupun jika
ditanya apa yang dimaksud dengan istilah “globalisasi”, saat itu
banyak orang masih “bengong”). Apalagi setelah runtuhnya negara-
negara sosialis, maka pemikiran globalisasi ekonomi menjadi arus
dominan. Pasar bebas didewakan.

(9) Sementara itu, meskipun di pertengahan dekade 1980-an itu


Indonesia mencpai swasembaga pangan, namun berbagai konflik
sosial yang hakekatnya berlatar belakang masalah agraria telah
merebak di mana-mana.Namun agaknya kenyataan ini tidak cukup
membuka mata-hati para pemimpin bahwa masalah agraria adalah
masalah mendasar. Bahkan kecenderungan penyimpangan dari
semangat UUPA-1960 semakin nyata ketika di pertengahan dekade
1990-an terlontar pernyataan dari seorang pejabat yang berwenang

11
bahwa “tanah sebagai komoditi strategis” (bertentangan dengan
fatwa Bung Hatta tersebut di depan). Karena itulah maka di tahun
1996, Gunawan Wiradi (GWR) menulis di suatu jurnal, yang
memberi “warning“ bahwa jika kebijakan itu diteruskan maka
Indonesia akan mengalami krisis. Terbukti kemudian bahwa tanpa
diduga oleh GWR sendiri, hanya satu tahun setelah terbitnya tulisan
tersebut, yaitu tahun 1997, Indonesia benar-benar mengalami krisis.

C. Periode 1998 – 2006


(Posta Orde Baru)

Tidak banyak yang perlu diuraikan di sini karena saya yakin kita
semua sama-sama telah menyaksikan berbagai kejadian yang berlangsung
dalam periode ini. Beberapa saja yang barangkali perlu dicatat.

(1) Setelah lengsernya Presiden Soeharto, maka pada masa kepresidenan


B.J. Habiebie sebenarnya ada niat meninjau kembali kebijakan
landreform. Pernah dibentuk Panitia di bawah pimpinan Prof. Dr.
Muladi, SH. Tapi belum sempat panitia ini bekerja, keburu terjadi
pergantian Presiden.
(2) Di jaman Presiden Abdurachman Wahid (Gus Dur), terlontar
pernyataannya yang menggemparkan, yaitu bahwa 40% dari tanah-
tanah perkebunan itu seharusnya diredistribusikan kepada rakyat.

(3) Euphoria kebebasan sebagai akibat lengsernya Orde Baru telah


melahirkan berbagai organisasi rakyat (serikat tani dan nelayan, serikat
buruh, dll., termasuk munculnya puluhan partai politik). Isyu agraria pun
terangkat kembali ke permukaan oleh desakan berbagai organisasi tani/
nelayan serta berbagai LSM.
(4) Dalam masa kepresidenan Megawati, ketika pemerintah belum juga
menunjukkan kepastian sikap mengenai masalah agraria,maka dapat
dicatat berlangsungnya beberapa kejadian sebagai berikut:
(a) Bulan April 2001 berlangsung Konperensi nasional petani yang
dihadiri oleh berbagai organisasi tani, berbagai LSM, dan juga
KOMNAS HAM sebagai salah satu pemrakarsanya. Selain
sejumlah dokumen yang intinya adalah mendesak kepada
pemerintah (dan DPR/MPR) agar segera menangani masalah

12
agraria, konperensi ini juga melahirkan “Deklarasi tentang Hak-
Hak Asasi Petani”.
(b) Menyadari kerasnya desakan rakyat saat itu, maka sebagian
anggota MPR (hasil Pemilu 1999) cukup tanggap.Maka BP MPR
bidang agraria kemudian melakukan berbagai dialog dengan
berbagai organisasi tani dan LSM, yang dilanjutkan dengan
penyelenggaraan dua kali lokakarya besar di Bandung,
September/Oktober 2001. Hasilnya adalah lahirnya TAP-MPR
no.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber-
daya Alam. Dilihat dari semangat UUPA-1960, isi TAP ini memang
ambigu. Namun, bagaimana pun juga, harus diterima kenyataan
bahwa itulah hasil maksimal yang bisa dicapai sebagai hasil
kompromi dari pertarungan berbagai kepentingan. Bahkan TAP
seperti yang ada sekarang itupun mungkin tak akan lahir
seandainya saja tak ada dukungan pressure group berupa demo
sekitar12.000 orang anggota Serikat Petani Pasundan.
(c) Isi TAP MRP No.IX/2001 itu pada dasarnya merupakan semacam
“perintah“, baik kepada Presiden maupun kepada DPR, agar
mengambil langkah tindak lanjutnya. Ketika sampai dengan tahun
2003 ternyata tak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR
maupun dari Presiden, maka Komnas Ham bersama sejumlah
LSM dan organisasi tani mengambil prakarsa lain, yaitu menyusun
usulan kepada Presiden Megawati agar membentuk KNUPKA
(Komite Nasional Untuk Penanggulangan Konflik Agraria).
Tanggapan Presiden adalah postiif. Tetapi, sekali lagi, belum
sempat konsep ini direalisir, keburu terjadi pergantian Presiden.
(d) Sementara itu pada masa akhir jabatannya Presiden Megawati
mengeluarkan Keppres no.34/2004 yang isinya memberi mandat
kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan
penyusunan RUU mengenai “penyempurnaan” UUPA-1960.
Dengan adanya pergantian Presiden, masalah ini pun sampai
sekarang belum selesai.

(5) Dalam masa kepresiden SBY yang baru berumur satu setengah tahun
ini, belum ada tanda-tanda bahwa masalah keagrariaan (yang memang
sudah menjadi sangat kompleks) akan teratasi dalam waktu dekat.

13
Meskipun sewaktu masih dalam masa kampanye Pemilu – Presiden
memang tertera agenda Reform Agraria, namun setelah terpilih sampai
sekarang, belum pernah SBY menyatakan sikap yang jelas mengenai
hal ini. Sepanjang yang saya ketahui, ada beberapa hal saja yang bisa
dicatat.
(a) Mandat kepada BPN untuk melakukan “penyempurnaan” UUPA-
1960 masih tetap berlaku, dan proses penyempurnaan itu masih
tetap berlangsung.
(b) Keluar Perpres no.36/2005 (tentang infrastruktur) yang
mengundang berbagai reaksi masyarakat.
(c) Terakhir baru-baru ini keluar Perpres no.10/2006 mengenai
penataan ulang secara internal kelembagaan BPN.
(d) Disamping ketiga hal tersebut, perlu dicatat juga bahwa pada
bulan Maret 2006 yang baru saja lalu, Indonesia telah mengirim
delegasi untuk menghadiri ICARRD (International Conference on
Agrarian Reform and Rural Development) di Porto Alegre, Brazil,
tanggal 7 – 10 Maret 2006. Namun ternyata tidak ada arahan yang
jelas dari pimpinan nasional, misi apa yang harus diemban oleh
delegasi ini.

III. MENCOBA MELIHAT KE DEPAN

A. Isyu-isyu Aktual

Disamping sejumlah banyak isyu-isyu lainnya (masalah korupsi, soal


pendidikan, soal buruh, dll), dalam waktu dekat ke depan ini ada sejumlah
isyu aktual yang berkaitan dengan masalah agraria, yang sejak sekarang ini
sudah menjadi wacana pembahasan di sejumlah kalangan. Untuk sekedar
menyebut beberapa saja:

(1) Isyu yang seolah menjadi reda (entah apa sebabnya) adalah masalah
Perpres 36/2005 yang menyangkut pembebasan tanah dalam rangka
program pembangunan infrastruktur.
(2) Masalah kebijkan “Revitalisasi Pertanian” yang walaupun memang
sudah mengandung pikiran-pikiran baru dalam masalah tanah, namun
menurut saya, belum mengandung nuansa Reforma Agraria.

14
(3) Masalah “penyempurnaan UUPA-1960” yang sampai sekarang masih
dalam proses. Sebenarnya ini masalah berat, karena akan terbentur-
bentur kepada kondisi hukum yang ada (sudah terlanjur ada lebih dulu
UU sektoral: perkebunan, kehutanan, pengairan, dll; dan yang lebih
mendasar lagi adanya ketentuan dalam amandemen UUD-1945 yang
amat merisaukan). Karena itu, jika dipaksakan DPR untuk
mengagendakan menuntaskan masalah UUPA ini dalam tahun 2006
(sesuai rencana), maka perkiraan saya, di masa depan akan terjadi
kerumitan hukum yang lebih parah, jika hal itu dilakukan tanpa
meninjau ulang produk-produk hukum lainnya tersebut di atas.
Sebaliknya, jika harus melakukan pembongkaran terhadap semua UU
yang sudah terlanjur disahkan itu, barangkali terlalu berat bagi DPR jika
hanya diberi waktu tahun 2006 ini. Inilah dilema yang dihadapi.

(4) Masalah agraria dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU Otonomi


Daerah(Otoda). Berbagai kasus konflik di bidang politik dalam
pelaksanaan Otoda ini, sedikit banyak juga dilatar belakangi oleh
pertentangan kepentingan dalam masalah agraria.

(5) “Last but not least”, isyu mengenai bagaimana pandangan dan sikap
pemerintah di dalam menanggapi hasil-hasil ICARRD Porto Alegre
Brazil tersebut di atas (yang sampai sekarang belum jelas).

Demikianlah, semua itu kait mengkait satu sama lain. Yang lebih
memerlukan perhatian lagi adalah apa yang oleh seorang pengamat disebut
sebagai “krisis konstitusi“ ! Artinya, UUD yang mana sebenarnya yang
diterima untuk menjadi rujukan? Secara legalistik, memang produk-produk
sesudahnya itu, merujuk kepada UUD 2002 (hasil amandemen UUD 1945).
Namun perilaku politik kita ternyata ada yang bertentangan dengan hasil
amandemen, karena memang, menurut istilah pengamat tersebut di atas
UUD 2002 itu “cacat hukum”. Dengan demikian hasil amandemen itu
menjadi tidak efektif, artinya tak dapat dijalankan, karena memang
mengandung sejumlah kejanggalan. Contoh konkrit perilaku politik yang
kontroversial itu adalah yang akhir-akhir ini rame-rame (termasuk reaksi
masyarakat luas) mengenai hubungan Indonesia – Australia menyangkut
masalah 42 orang Papua yang memperoleh suaka politik di Australia.
Padahal, dalam UUD hasil amandemen itu, dengan dalih “hak-hak asasi
manusia”, terdapat ayat yang menjamin larinya orang mencari suaka politik

15
di negeri lain (Pasal 28 G, ayat-2). Ada juga baiknya kita mencatat situasi
yang lebih luas dan lebih makro, sekedar menambah wawasan.

B. Ulasan Umum Sebagai Penutup


Dalam kondisi seperti sekarang ini, sungguh tidak mudah untuk
melihat apa yang akan terjadi di masa depan serta apa yang harus kita
sikapi dan lakukan. Pada aras makro, di satu sisi terjadi perubahan-
perubahan cepat dalam percaturan politik dunia, di sisi lain di dalam negeri
terjadi dinamika politik yang masih berputar-putar.
Dalam dua dekade terakhir ini situasi dunia mengalami apa yang oleh
seorang pakar disebut sebagai “global paradox”. Di satu sisi terjadi
disintegrasi di sejumlah negara (runtuhnya Uni Soviet; terpecah-pecahnya
Yugoslavia – Balkanisasi), di sisi lain terjadi penggabungan sejumlah negara
(Uni Eropa).

Sementara itu kondisi di dalam negeri masih tetap carut-marut. Krisis


multidimensi bukannya mereda, malahan semakin rumit. Dalam kondisi
demikian itu, maka menurut saya, usaha untuk melihat ke depan perlu
dimulai dengan melemparkan sejumlah pertanyaan, yang paling mendasar
lebih dulu. Antara lain:
(1) Mengapa kita mengalami krisis?
(2) Dahulu, pada awal kemerdekaan, dunia sedang diliputi suasana
“Perang Dingin”. Para pendiri RI mengambil kebijakan “mendayung
diantara dua karang” (istilah Bung Hatta). Artiya, kita mengambil sikap
“Non-Blok”. Apakah kita masih konsisten dengan sikap ini? [Memang,
dengan selesainya perang dingin, maka seolah-olah tinggal ada satu-
satunya batu karang yang harus menjadi pegangan. Mengapa kita
begitu “malas” untuk berusaha mengidentifikasi kemungkinan adanya
batu karang lain yang bisa menjadi pegangan ?].
(3) Mengapa kita seolah-olah kehilangan kepercayaan diri ? Mengapa kita
seolah-olah justru bangga berperan sebagai “bangsa koelie”?
(4) Mengapa kita seolah-olah enggan untuk mengatasi masalah agraria
secara mendasar ?

16
(5) Mengapa gambaran “era reformasi” yang semula diharapkan sebagai
solusi mengatasi krisis ekonomi, ternyata justru menambah luasnya
dimensi krisis ?
(6) Mengapa kita sekarang ini terkesan berada di tepi jurang disintegrasi ?

Daftar pertanyaan tersebut memang bisa diperpanjang, termasuk


berbagai pertanyaan ikutannya. Tetapi untuk sementara, enam pertanyaan
itu rasanya cukup sebagai PR kita (karena mungkin jawabannya yang tepat
masih harus dicari), atau menjadi bahan diskusi kita sekarang ini.

Di sini saya hanya akan menjawab satu pertanyaan saja, yaitu


pertanyaan no.5 tersebut di atas. Saya sependapat dengan pandangan
seorang pengamat (orang Indonesia, ahli hukum, cukup terkenal, tapi tak
perlu saya sebut namanya), yang menyatakan bahwa sekarang ini kita
sedang mengalami krisis konstitusional, krisis konstitusi, berupa hasil
amandemen UUD-1945. Menurut dia, baik secara prosedural maupun
substansial hasil amandemen tersebut “cacat hukum“ ! Nah, inilah muara
dari seluruh dimensi krisis yang kita alami. Lengkaplah sudah semua
dimensi, dan menyatu menjadi “kristal“ (krisis total !). (Untuk uraian yang
lebih lengkap, baca tulisan GWR dalam tabloid Cita-Cita, edisi 16).

Hasil amandemen itu menunjukkan bahwa para perumusnya kurang


memahami sejarah dan mungkin tidak pernah membaca dan mendalami
latar belakang serta landasan filosori UUPA-1960.
Karena itu semua maka di dalam melihat ke depan, menurut pendapat
saya, masalah konstitusi ini harus segera diatasi lebih dulu. Tanpa
penyelesaian tuntas mengenai masalah ini, maka langkah apapun yang akan
diambil di masa depan ini (apakah soal revitalisasi pertanian, apakah
masalah Reforma Agraria, apa soal penyempurnaan UUPA-1960, atau
bahkan berbagai soal lain di luar agraria), semuanya akan menjadi kebentur-
bentur secara hukum, dan menambah rumitnya keadaan. Pihak eksekutif
pun menjadi canggung untuk melangkah karena hal itu.

Demikianlah, sebagai penutup, saya mohon maaf sebesar-besarnya,


karena berbagai sebab makalah ini ditulis dengan “mengalir” begitu saja, dan
tanpa rujukan langsung secara ketat seperti yang biasa saya lakukan. (Tapi
daftar bahan dilampirkan di belakang).

17
Walaupun isinya mungkin kurang memenuhi harapan Panitia, mudah-
mudahan makalah ini ada gunanya.

D:\data\data\GWR\Latar Belakang Lahirnya UUPA-4-5-06


DAFTAR PUSTAKA

Christodoulou, D. The Unpromised Land. Agrarian Reform and Conflict


Worldwide. London dan New Jersey: Zed Books Ltd.,1990.

FAO, The Peasants’ Charter. Rome: FAO, 1981.

King, Ressell. Land Reform, A World Survey. Boulder, Colorado: Westview


Press, 1977.

Ladejinsky, W. “Land Reform in Indonesia” (1961), dalam Walinsky, L.J.


(Ed.) Agrarian Reform as Unfinished Business. Oxford University
Press, 1977, hlm.297-299.

Ladejinsky, W. “Land Reform in Indonesia” (1964), dalam Walinsky, L.J.


(Ed.) Agrarian Reform as Unfinished Business. Oxford University
Press, 1977, hlm.340-352.

Mac Auslan, P. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta:


Gramedia, 1986.

Pelzer,Karl. Sengketa Agraria, Pengusaha Agraria Melawan Petani. Jakarta,


Sinar Harapan, 1991.

Praptodihardjo, Singgih. Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia (cetakan


ketiga), Jakarta: Yayasan Pembangunan (1953).

Selo Soemardjan (1962). “Land Reform in Indonesia”, dalam Asian Survey, I,


no.12, 1962. hlm.23-30.

Shigeru Sato (1994). War, Nationalism, and Peasants. Java Under The
Japanese Occupation 1942 – 1945. NSW-Australia. Unwyn Pty, Ltd.

Soetiknyo, Iman. Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press, 1987.

Soetojo, M.(1961). Undang-Undang Pokok Agraria dan Pelaksanaan Land


Reform. Jakarta. Penguasa Perang Tertinggi, 1961.

18
Suhendar, Endang. Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat.
Bandung. Yayasan Akatiga, 1994.

Wiradi, Gunawan. “Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan”.


Makalah. PAU-Studi Sosial, UGM, Yogyakarta, 1990.

Wiradi, Gunawan. “Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris”.


Makalah Seminar Agraria Nasional FSPI, Bandar Lampung,
Septermber 1998.

Wiradi, Gunawan. “Kebijakan Agraria/Pertanahan yang Berorientasi


Kerakyatan dan Berkeadilan. Makalah dalam Seminar Nasional
Pertanahan, Dalam Rangka Lustrum Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional, Yogyakarta, 25-26 Februari 1999.

Wiradi, Gunawan (2000). Reforma Agraria. Perjalanan Yang Belum Berakhir.


Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.

Wiradi, Gunawan (2005): Reforma Agraria: Untuk Pemula. Jakarta:


Sekretariat Bina Desa.

19
D:\data\data\GWR\Latar Belakang Lahirnya UUPA-4-5-06

20

You might also like