Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Gunawan Wiradi
PENGANTAR
(1) Dengan sedikit diubah dan ditambah, isi makalah ini diambil dari
naskah asli berjudul serupa yang pernah disampaikan dalam suatu
sarasehan beberapa waktu yang lalu. Karena berbagai sebab, naskah
ini ditulis secara mengalir begitu saja, tanpa menggunakan rujukan-
rujukan langsung secara ketat. (Jadi, tidak seperti yang biasa saya
lakukan).
___________________
1
*) Bahan masukan bagi Sekretariat Jenderal Wantannas. Dengan sedikit
diubah dan ditambah, diambil dari naskah asli yang pernah disampaikan
dalam seminar/kesempatan lain.
(3) Selain tinjauan ulang itu, ada juga baiknya untuk walaupun sepintas
melihat ke depan, terutama dalam waktu dekat ini.
(4) Dengan demikian isi makalah ini terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: (1)
Latar Belakang lahirnya UUPA-60; (2) Eksistensinya selama 46 tahun,
yang terbagi menjadi tiga periode, (a) 1960-1965; (b) masa Orde Baru;
dan (c) posta Orde Baru; dan (3) Bagaimana ke depan.
I. LATAR BELAKANG
Lahirnya UUPA-1960
2
(e) Karena banyak kritik maka pemerintah kolonial Belanda lalu
melakukan penelitian mengenai “Menurunnya kesejahteraan
rakyat” (Mindere Welvaarts Onderzoek – MWO). Kesengsaraan
rakyat itu memang terbukti ! Maka pemerintah kolonial lalu
mengambil langkah kebijakan yang dikenal sebagai “Ethical
Policy” (Ethische Politiek) yang berisi enam program perbaikan,
yaitu: irigasi, reboisasi, kolonisasi (transmigrasi), pendidikan,
kesehatan, dan perkreditan.
(f) Sekalipun mungkin maksudnya baik, dan bukannya tanpa hasil
sama sekali, namun ternyata “Politik Etis” itu tidak banyak
mengubah keadaan. Bahkan sengketa-sengketa agraria juga
merebak di mana-mana, dan pada tahun 1929 – 1933, Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang berat.
(g) Lima diantara enam program Politik Etis tersebut di atas (kecuali
kesehatan), langsung atau tak langsung berkaitan dengan
masalah agraria. Namun dua diantaranya perlu diberi catatan
(karena itu diberi garis bawah).
Pertama soal pendidikan. Ciri kolonialisme Belanda berbeda dari
ciri kolonialisme Inggris ataupun Spanyol. Ciri Inggris adalah
Commerce colonialism. Tujuannya mencari pasaran bagi produk
industrinya. Untuk itu perlu diciptakan terbentuknya kelas
menengah. Karena itu lalu Inggris memberi pendidikan. Di negara
bekas jajahan Inggris, jauh sebelum merdeka, sudah ada
Universitas (mis. Pakistan, India, Malaysia). Ciri Spanyol adalah
kolonialisme total, membabat habis kebudayaan pribumi, karena
tujuannya memang untuk membangun wilayah baru bagi orang-
orang Spanyol sendiri. Karena itu, di hampir semua negara
Amerika Latin misalnya, semua aspek kehidupan (bahasa,
nyanyian, cara makan, cara berpakaian, dll) ter-Spanyolkan.
Namun di sisi lain, Spanyol membangun universitas-universitas,
walaupun semula tujuannya memang diperuntukkan bagi orang-
orang Spanyol sendiri. Di Argentina misalnya, tahun 1622 sudah
ada Universitas. Semua itu berbeda dari apa yang terjadi di
Indonesia, karena kolonialisme Belanda itu sifatnya ekstraktif,
mengeduk sumber alam. Pendidikan baru dibangun pada awal
abad-20, dan itupun bukan tingkat universitas. Saat Indonesia
3
merdeka 1945, di sini belum ada universitas. Yang ada hanya
beberapa “Sekolah Tinggi” (Teknik, Kedokteran, Hukum). Apa
relevansi semua cerita ini bagi masalah agraria ? Berbeda dari
berbagai negara bekas jajahan Inggris atau Spanyol, di Indonesia
jumlah ”pakar agraria” menjadi sangat terbatas, akibat
keterbelakangan pendidikan tersebut. Sebelum Indonesia
merdeka, hampir tidak ada pejuang (baik sipil maupun militer)
yang mengangkat isyu agraria sebagai platform perjuangan
(kecuali dua orang).
Soal kedua adalah perkreditan. Program perkreditan dalam Politik
Etis tersebut dalam pelaksanaannya di pedesan mengalami
hambatan karena terjadinya pertentangan paham antara
Kementerian Keuangan dan Kementerian Tanah Jajahan. Di
Keuangan, pos-pos penting diduduki oleh pejabat-pejabat Belanda
yang didominasi oleh pemikiran ekonomi neo-klasik (aliran Prof.
Gongrijp). Sedangkan para Pamongpraja Belanda umumnya
adalah penganut pemikiran neo-populis (murid-murid Prof. J.H.
Boeke).
Tanggal 10 Mei 1940, Negeri Belanda jatuh dan diduduki Jerman, dan
pemerintah Belanda lari ke Inggris. Tetapi di Indonesia, pemerintah kolonial
Belanda masih ada karena Perang Pasifik belum pecah. Barulah tanggal 8
Maret 1942 Belanda di Indonesia menyerah kepada Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, barangkali dua saja soal penting
yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan soal agraria (walaupun tentu
saja ada yang lain-lain), yaitu:
(a) Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya.
(b) Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena
ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing
lainnya). Dengan beban pajak yang tinggi tersebut di atas, maka
rakyat lalu menduduki tanah-tanah terlantar tersebut. Pemerintah
pendudukan Jepang ternyata mentolerir bahkan mendorong
tindakan rakyat tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini telah
4
menciptakan suatu collective perception diantara rakyat, bahwa
seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya atas tanah,
yang dulu digusur oleh Belanda melalui UU Agraria kolonial 1870.
Kita semua tahu bahwa periode 1945 – 1950 dikenal sebagai masa
revolusi fisik, perang dan damai silih berganti. Namun toh, dalam suasana
yang diliputi penuh ketegangan itu, belum ada satu tahun umur RI,
pemerintah telah melakukan langkah percobaan, yaitu melalui UU no.13/
1946, melancarkan ”landreform” kecil-kecilan di daerah Banyumas, dan
berhasil. Kemudian, di tahun 1948, melalui UU Darurat no.13/1948,
menghapus hak-hak istimewa dari sekitar 40 perkebunan tebu terutama di
daerah istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Sementara itu pada tahun 1948
itu pula dibentuklah sebuah Panitia Negara yang bertugas mengembangkan
pemikiran dalam rangka mempersiapkan Undang-Undang Agraria yang baru,
5
Undang-Undang nasional, untuk menggantikan UU Agraria kolonial 1870.
Namun karena adanya agresi Belanda (”Clash ke-II”, Desember 1948 –
Agustus 1949) maka panitia dibubarkan. Kemudian, sebagai hasil
perundingan Indonesia – Belanda melalui perjanjian KMB (Konperensi Meja
Bundar), lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS), dan RI hanya menjadi
“negara bagian”. Tetapi, RIS ini tak berumur lama. Pada bulan Agustus
1950, Indonesia kembali menjadi NKRI dengan Undang-Undang Dasar
Sementar (UUDS-1950), dan sistem pemerintahan parlementer.
Sampai dengan 1958 itu tentu saja landasan hukum yang dipakai
rujukan adalah UUDS-1950. Tapi kemudian, dengan terjadinya Dekrit 5 Juli
1959 (kembali ke UUD-1945) maka, disamping substansinya, “legal drafting”
nya pun secara teknis RUU Soenaryo itu pun mengalami perubahan-
perubahan.Hasil kerjasama DPR – UGM itu kemudian diajukan ke DPR
sebagai “Rancangan Sadjarwo”. Tanggal 24 September 1960 RUU ini
disahkan oleh DPR dan ditetapkan sebagai UU no.5/1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal sebagai UUPA-1960).
6
erfpacht, tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah
terlantar. Tapi di lain pihak, pemerintah (sekalipun sudah kembali menjadi
NKRI, dan bukan lagi RIS sesuai KMB) tetap terikat oleh perjanjian KMB
yang mengandung ketentuan bahwa rakyat harus dikeluarkan dari tanah-
tanah perkebunan milik modal swata Belanda itu. Barangkali, dilemma inilah
salah satu sebab yang turut mempengaruhi mengapa proses perumusan
UUPA tersebut menjadi begitu panjang (12 tahun).
(2) Karena UUPA-1960 itu baru berisi “peraturan dasar”, maka masih
banyak pasal-pasal yang sedianya akan dijabarkan lebih lanjut ke
dalam peraturan ataupun undang-undang yang lebih operasional.
Namun karena kondisi seperti tersebut di atas, maka hal itu
sebagian besar belum sempat tergarap.Jabaran terpenting yang
sudah dilakukan adalah ditetapkannya UU no.56/1960 (yang semula
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU), yang kemudian
secara populer dikenal sebagai “UU Landreform”, yaitu tentang
“Penetapan Luas Tanah Pertanian”.
(4) Ladejinsky memberikan kritik dan saran. Ada dua hal yang menurut
saya merupakan kritik utama, khususnya yang menyangkut program
landreform.
Pertama: menurut dia, antara gagasan dan tindakan pelaksanaan
tidak konsisten, tidak nyambung (disjointed). Gagasannya
revolusioner tapi pelembagaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi di
Indonesia berbelit-belit. Data tidak akurat, sehingga pelaksanaan
redistribusi menjadi sulit dan mengalami hambatan di lapangan.
(Barangkali, inilah juga yang secara politis mendorong PKI
melakukan aksi sepihak, yang menimbulkan trauma dan melahirkan
stigma bahwa “landreform sama dengan PKI”).
Kedua: model redistribusinya tidak sesuai dengan kondisi obyektif
yang ada. Batas minimum 2 ha yang diberlakukan secara
menyeluruh dianggap tidak realistis. Beberapa konsepnya,
definisinya tidak jelas.Misalnya, siapa, dan berapa jumlahnya, orang
yang berhak menerima redistribusi tanah (potential beneficiaries),
dan berapa yang diperkirakan akan menjadi penerima nyata (real
beneficiaries) ? Tanah-tanah apa saja yang akan menjadi obyek
reform ? (PP.224/1961 dianggap tidak konsisten dengan gagasan
ideal awalnya).
Saran Ladejinsky: membentuk Panitia Landreform yang kerangka
dan komposisinya meniru model di Jepang.
Yang negatif :
(a) Dalam hal hukum, adat, kaitan dan penempatannya dalam
UUPA-1960 belum terlalu jelas.
(b) Program landreformnya juga dianggap belum terlalu jelas (mirip
kritik Ladejinsky).
(c) Belum diantisipasi kemungkinan akan terjadinya berbagai
hambatan.
9
(2) Kebijakan Umum Orde Baru ditandai oleh sejumlah ciri, yaitu:
(a) Stabilitas merupakan prioritas utama.
(b) Di bidang sosial ekonomi, pembangunan menggantungkan diri
pada hutang luar negeri, modal asing, dan betting on the
strong.
(c) Di bidang agraria mengambil kebijakan jalan pintas (By-pass
approach), yaitu Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria.
11
bahwa “tanah sebagai komoditi strategis” (bertentangan dengan
fatwa Bung Hatta tersebut di depan). Karena itulah maka di tahun
1996, Gunawan Wiradi (GWR) menulis di suatu jurnal, yang
memberi “warning“ bahwa jika kebijakan itu diteruskan maka
Indonesia akan mengalami krisis. Terbukti kemudian bahwa tanpa
diduga oleh GWR sendiri, hanya satu tahun setelah terbitnya tulisan
tersebut, yaitu tahun 1997, Indonesia benar-benar mengalami krisis.
Tidak banyak yang perlu diuraikan di sini karena saya yakin kita
semua sama-sama telah menyaksikan berbagai kejadian yang berlangsung
dalam periode ini. Beberapa saja yang barangkali perlu dicatat.
12
agraria, konperensi ini juga melahirkan “Deklarasi tentang Hak-
Hak Asasi Petani”.
(b) Menyadari kerasnya desakan rakyat saat itu, maka sebagian
anggota MPR (hasil Pemilu 1999) cukup tanggap.Maka BP MPR
bidang agraria kemudian melakukan berbagai dialog dengan
berbagai organisasi tani dan LSM, yang dilanjutkan dengan
penyelenggaraan dua kali lokakarya besar di Bandung,
September/Oktober 2001. Hasilnya adalah lahirnya TAP-MPR
no.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber-
daya Alam. Dilihat dari semangat UUPA-1960, isi TAP ini memang
ambigu. Namun, bagaimana pun juga, harus diterima kenyataan
bahwa itulah hasil maksimal yang bisa dicapai sebagai hasil
kompromi dari pertarungan berbagai kepentingan. Bahkan TAP
seperti yang ada sekarang itupun mungkin tak akan lahir
seandainya saja tak ada dukungan pressure group berupa demo
sekitar12.000 orang anggota Serikat Petani Pasundan.
(c) Isi TAP MRP No.IX/2001 itu pada dasarnya merupakan semacam
“perintah“, baik kepada Presiden maupun kepada DPR, agar
mengambil langkah tindak lanjutnya. Ketika sampai dengan tahun
2003 ternyata tak ada tanda-tanda tanggapan baik dari DPR
maupun dari Presiden, maka Komnas Ham bersama sejumlah
LSM dan organisasi tani mengambil prakarsa lain, yaitu menyusun
usulan kepada Presiden Megawati agar membentuk KNUPKA
(Komite Nasional Untuk Penanggulangan Konflik Agraria).
Tanggapan Presiden adalah postiif. Tetapi, sekali lagi, belum
sempat konsep ini direalisir, keburu terjadi pergantian Presiden.
(d) Sementara itu pada masa akhir jabatannya Presiden Megawati
mengeluarkan Keppres no.34/2004 yang isinya memberi mandat
kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk melakukan
penyusunan RUU mengenai “penyempurnaan” UUPA-1960.
Dengan adanya pergantian Presiden, masalah ini pun sampai
sekarang belum selesai.
(5) Dalam masa kepresiden SBY yang baru berumur satu setengah tahun
ini, belum ada tanda-tanda bahwa masalah keagrariaan (yang memang
sudah menjadi sangat kompleks) akan teratasi dalam waktu dekat.
13
Meskipun sewaktu masih dalam masa kampanye Pemilu – Presiden
memang tertera agenda Reform Agraria, namun setelah terpilih sampai
sekarang, belum pernah SBY menyatakan sikap yang jelas mengenai
hal ini. Sepanjang yang saya ketahui, ada beberapa hal saja yang bisa
dicatat.
(a) Mandat kepada BPN untuk melakukan “penyempurnaan” UUPA-
1960 masih tetap berlaku, dan proses penyempurnaan itu masih
tetap berlangsung.
(b) Keluar Perpres no.36/2005 (tentang infrastruktur) yang
mengundang berbagai reaksi masyarakat.
(c) Terakhir baru-baru ini keluar Perpres no.10/2006 mengenai
penataan ulang secara internal kelembagaan BPN.
(d) Disamping ketiga hal tersebut, perlu dicatat juga bahwa pada
bulan Maret 2006 yang baru saja lalu, Indonesia telah mengirim
delegasi untuk menghadiri ICARRD (International Conference on
Agrarian Reform and Rural Development) di Porto Alegre, Brazil,
tanggal 7 – 10 Maret 2006. Namun ternyata tidak ada arahan yang
jelas dari pimpinan nasional, misi apa yang harus diemban oleh
delegasi ini.
A. Isyu-isyu Aktual
(1) Isyu yang seolah menjadi reda (entah apa sebabnya) adalah masalah
Perpres 36/2005 yang menyangkut pembebasan tanah dalam rangka
program pembangunan infrastruktur.
(2) Masalah kebijkan “Revitalisasi Pertanian” yang walaupun memang
sudah mengandung pikiran-pikiran baru dalam masalah tanah, namun
menurut saya, belum mengandung nuansa Reforma Agraria.
14
(3) Masalah “penyempurnaan UUPA-1960” yang sampai sekarang masih
dalam proses. Sebenarnya ini masalah berat, karena akan terbentur-
bentur kepada kondisi hukum yang ada (sudah terlanjur ada lebih dulu
UU sektoral: perkebunan, kehutanan, pengairan, dll; dan yang lebih
mendasar lagi adanya ketentuan dalam amandemen UUD-1945 yang
amat merisaukan). Karena itu, jika dipaksakan DPR untuk
mengagendakan menuntaskan masalah UUPA ini dalam tahun 2006
(sesuai rencana), maka perkiraan saya, di masa depan akan terjadi
kerumitan hukum yang lebih parah, jika hal itu dilakukan tanpa
meninjau ulang produk-produk hukum lainnya tersebut di atas.
Sebaliknya, jika harus melakukan pembongkaran terhadap semua UU
yang sudah terlanjur disahkan itu, barangkali terlalu berat bagi DPR jika
hanya diberi waktu tahun 2006 ini. Inilah dilema yang dihadapi.
(5) “Last but not least”, isyu mengenai bagaimana pandangan dan sikap
pemerintah di dalam menanggapi hasil-hasil ICARRD Porto Alegre
Brazil tersebut di atas (yang sampai sekarang belum jelas).
Demikianlah, semua itu kait mengkait satu sama lain. Yang lebih
memerlukan perhatian lagi adalah apa yang oleh seorang pengamat disebut
sebagai “krisis konstitusi“ ! Artinya, UUD yang mana sebenarnya yang
diterima untuk menjadi rujukan? Secara legalistik, memang produk-produk
sesudahnya itu, merujuk kepada UUD 2002 (hasil amandemen UUD 1945).
Namun perilaku politik kita ternyata ada yang bertentangan dengan hasil
amandemen, karena memang, menurut istilah pengamat tersebut di atas
UUD 2002 itu “cacat hukum”. Dengan demikian hasil amandemen itu
menjadi tidak efektif, artinya tak dapat dijalankan, karena memang
mengandung sejumlah kejanggalan. Contoh konkrit perilaku politik yang
kontroversial itu adalah yang akhir-akhir ini rame-rame (termasuk reaksi
masyarakat luas) mengenai hubungan Indonesia – Australia menyangkut
masalah 42 orang Papua yang memperoleh suaka politik di Australia.
Padahal, dalam UUD hasil amandemen itu, dengan dalih “hak-hak asasi
manusia”, terdapat ayat yang menjamin larinya orang mencari suaka politik
15
di negeri lain (Pasal 28 G, ayat-2). Ada juga baiknya kita mencatat situasi
yang lebih luas dan lebih makro, sekedar menambah wawasan.
16
(5) Mengapa gambaran “era reformasi” yang semula diharapkan sebagai
solusi mengatasi krisis ekonomi, ternyata justru menambah luasnya
dimensi krisis ?
(6) Mengapa kita sekarang ini terkesan berada di tepi jurang disintegrasi ?
17
Walaupun isinya mungkin kurang memenuhi harapan Panitia, mudah-
mudahan makalah ini ada gunanya.
Shigeru Sato (1994). War, Nationalism, and Peasants. Java Under The
Japanese Occupation 1942 – 1945. NSW-Australia. Unwyn Pty, Ltd.
18
Suhendar, Endang. Pemetaan Pola-Pola Sengketa Tanah di Jawa Barat.
Bandung. Yayasan Akatiga, 1994.
19
D:\data\data\GWR\Latar Belakang Lahirnya UUPA-4-5-06
20