You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
Sejak jaman dahulu kala nenek moyang kita telah mengenal beraneka ragam makhluk
hidup. Beragamnya makhluk hidup memberikan kemungkinan bagi manusia untuk memilih
sesuai dengan yang dikehendakinya. Para pendahulu kita telah memahami bahwa sifat-sifat
organism itu diturunkan kepada keturunannya. Adanya keragaman telah memberikan andil bagi
nenek moyang kita untuk memilih jenis makhluk hidup yang sesuai dengan keinginannya. Jenis
dengan sifat ini yang diinginkan tersebut kemudian dikembangbiakkan atau dibudidayakan.
Perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan tentang pewarisan sifat
(Ilmu Genetika) yang dipelopori oleh Gregor Mendel telah mendorong manusia untuk membuat
kombinasi baru dalam sifat-sifat yang diinginkan. Upaya untuk mendapatkan kombinasi beru
dari sifat yang diinginkan dilakukan dengan membuat persilangan-persilangan (breeding) antar
berbagai tanaman maupun hewan. Persilangan tersebut menghasilkan organisme hybrid. Jadi
persilangan merupakan salah satu cara untuk merubah genom suatu organisme.
Dengan telah ditemukannya DNA sebagai bahan gen, manusia pun berupaya untuk
mendapatkan kombinasi sifat-sifat baru suatu makhluk hidup dengan cara melakukan perubahan
langsung pada DNA genomnya. Usaha untuk mengubah DNA genom secara langsung ini disebut
dengan istilah Rekayasa Genetika. Dalam upaya melakukan rekayasa genetika, manusia
menggunakan teknologi DNA Rekombinan. Dalam teknologi DNA rekombinan sangat
berhubungan erat dengan mutasi karena tujuan sebenarnya teknologi ini adalah memutasikan
suatu organisme agar mendapat perubahan sifat baru yang diinginkan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Teknologi DNA Rekombinan
Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan organisme
ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan untuk memurnikannya
dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an berkembang suatu teknologi yang dapat
diterapkan sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan manipulasi
terhadap gen yang bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu
produk.
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan istilah yang
lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu di dalam suatu
sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan sebagai kloning gen. Banyak
definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah
satu di antaranya, yang mungkin paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA
rekombinan adalah pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan
molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan
mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai sel inang.
Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan mengisolasi
dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan tentang fungsi dan mekanisme
kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu
lebih cepat dan jumlah lebih besar daripada produksi secara konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan melalui teknologi
DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu (Gambar 9.1). Tahapan-tahapan tersebut
adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon, pemotongan molekul DNA menjadi
sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran, isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke
dalam vektor untuk menghasilkan molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang
menggunakan molekul DNA rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan
analisis DNA rekombinan.

2
A. Isolasi DNA
Saat ini kita dapat menemukan berbagai macam metode ektraksi DNA. Para peneliti
selalu berusaha menyederhanakan tahapan yang digunakan atau mengurangi jumlah perlakukan.
Tahapan atau perlakuan yang terlalu panjang dan terlalu kompleks sering meningkatkan resiko
kegagalan, terutama bagi pemula. Tahapan atau perlakuan dalam ekstraksi DNA juga
dipengaruhi asal sel atau jaringan target.
DNA biasanya diisolasi dari sel dengan menggunakan metode yang melisiskan sel tetapi
mencegah fragmentasi DNA. Langkah ini biasanya melibatkan EDTA
(ethylenediaminetetraacetic acid) yang dalam proses tersebut akan mengikat ion magnesium
(kofaktor yang dibutuhkan oleh enzim DNase). Idealnya dinding sel (jika ada) didigesti secara
enzimatis (misalnya dengan enzim lisosim). Selanjutnya membran sel sebaiknya disolubilisasi
dengan detergen. Jika disrupsi fisik dibutuhkan sebaiknya dilakukan seminim mungkin. Dalam
proses disrupsi ini enzim nuklease yang terlepas dari komponen selular dapat mencerna asam
nukleat secara efisien, sehingga kerja enzim nuklease harus dihambat. Disrupsi sel dan sebagian
besar langkah selanjutnya sebaiknya dilakukan pada suhu 4 0C, menggunakan alat yang terbuat
dari gelas dan larutan yang telah di-autoclave (fungsi autoclave adalah untuk menghancurkan
aktivitas DNase pada alat atau larutan tersebut).
Setelah melepaskan asam nukleat dari sel, RNA dapat dihilangkan dengan penambahan
RNase yang telah diterapi panas untuk menginaktivasi DNase kontaminan (RNase relatif stabil
terhadap panas karena adanya ikatan disulfida yang akan menyebabkan proses renaturasi ketika
didinginkan). Kontaminan mayor lainnya, yaitu protein, dihilangkan dengan dengan larutan fenol
atau campuran fenol-khloroform (keduanya akan mendenaturasi protein tetapi tidak
mendenaturasi asam nukleat). Setelah campuran tersebut dibuat menjadi emulsi, dilakukan
pemusingan. Setelah pemusingan akan terbentuk bagian organik di bagian bawah dan bagian
aqueous di bagian atas dipisahkan lapisan yang terdiri dari protein yang terdenaturasi. Cairan
aqueous diambil dan dideproteinisasi beberapa kali sampai tidak ada lagi material yang terlihat
pada lapisan tengah. Kemudian DNA yang sudah tidak mengandung protein ini dicampur dengan
dua bagian etanol. DNA akan menjadi presipitat, terpisah dari larutan sampel tersebut. Setelah
dipusingkan, pelet DNA kemudian dilarutkan kembali.

3
Secara umum mekanisme isolasi total DNA seluler secara konvensional adalah sebagai
berikut:
1) Homogenisasi sel/jaringan (dalam suhu 4 0C, semua bahan dan peralatan steril)
2) Lisis seluler (dengan detergen atau lisosim)
3) Penambahan chelating agents: EDTA/sitrat
4) Penambahan proteinase (proteinase K)
5) Ekstraksi fenol (atau fenol-khloroform)
6) Presipitasi alkohol (70% atau 100% etanol)
7) Pelarutan kembali DNA, misalnya dengan bufer TE (Tris-EDTA)
Beberapa senyawa mempunyai fungsi multipel dalam protokol ekstraksi asam nukleat.
Agen chaotropic seperti GuSCN (guanidine isothiocyanate), NaI (sodium iodide), dan LiCl
(lithium chloride) memiliki kemampuan untuk menghancurkan kapsul lemak dan merusak
integritas sel, denaturasi protein dan menginaktivasi nuklease. GuSCN dengan molaritas di atas 4
M dapat mempresipitasi DNA dan RNA berberat molekular tinggi.
Dalam lingkungan yang tinggi garam chaotropic ini senyawa silika dapat berikatan secara
spesifik dengan molekul DNA dan RNA, sedangkan lemak dan protein kontaminan hanya
mempunyai afinitas yang moderat terhadap silika sehingga dapat dicuci bersih darinya. Absorbsi
asam nukleat pada matriks silika meningkat pada pH asam dan konsentrasi garam yang tinggi,
sehingga larutan bufer yang mengandung pH yang tinggi dan konsentrasi garam yang rendah
dapat digunakan untuk mencuci-lepaskan asam nukleat dari matriks silika.
Cara lain pemanfaatan silika dalam proses ekstraksi asam nukleat adalah dengan
melakukan perubahan kimia pada matriks silika sehingga akan secara spesifik berikatan dengan
protein atau polisakarida (prosesnya berkebalikan dengan penjelasan sebelumnya). Ekstraksi
asam nukleat berbasis silika ini telah menjadi dasar metode ekstraksi asam nukleat kit komersial.
Matriks silika dalam kit komersial tersebut dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, seperti filter
(spin column), gel (glassmilk, silica gel), suspensi (celite, plain-coarse silicate), bahkan partikel
berselubung magnetik (Dynabeads). Filtrasi, sentrifugasi, atau penggunaan magnet
memungkinkan pemisahan asam nukleat yang berikatan dengan silika dari kontaminasi lemak,
karbohidrat dan protein melalui langkah pembilasan yang multipel. Metode ini juga mendasari
pembuatan alat ekstraksi asam nukleat.

4
Metode alternatif yang berbasis matriks silika antara lain teknik hibridisasi fragmen asam
nukleat yang menggunakan probe yang didesain spesifik yang melekat pada matriks solid atau
bead magnetik. Kelemahan umum dari teknik penangkapan seperti ini adalah selama proses
pelekatan dan cuci-lepas, dapat terjadi fragmentasi dan hilangnya DNA target.
DNA juga dapat diisolasi dari organela spesifik atau partikel virus. Untuk ekstraksi DNA
semacam ini sebaiknya dilakukan isolasi organela target atau virus tersebut terlebih dahulu
sebelum dilakukan ekstraksi DNA-nya karena isolasi DNA target dari campuran DNA (DNA
total) relatif sulit. Jika dibutuhkan isolat DNA dengan kemurnian yang tinggi, DNA dapat
dimurnikan dengan density gradient centrifugation menggunakan CsCl (Caesium chloride).
Untuk memeriksa integritas DNA dapat dilakukan dengan elektroforesis pada gel agarose.
Secara kasar gambaran yang diperoleh dari elektroforesis pada gel agarose tersebut juga dapat
digunakan untuk menaksir konsentrasi isolat DNA kita. Cara yang lebih akurat untuk
mengetahui konsentrasi dan kemurnian DNA yang diperoleh adalah dengan menggunakan
spektrofotometer UV. DNA untai tunggal mempunyai koefisien absorbsi 0,027, DNA untai
ganda 0,02 dan RNA 0,025 g per-ml per-cm pada panjang gelombang 260 nm. Rasio absorbsi
260/280 nm dapat digunakan untuk mengetahui adanya kontaminasi protein atau fenol (protein
memiliki absorbsi maksimum pada 280 nm).
Sampel DNA yang murni memiliki rasio 260/280 nm sebesar 1,8-1,9, sedangkan sampel
RNA yang murni 1,9-2,0. Jika rasio tersebut di bawah 1,8 berarti ada ketidakmurnian yang
signifikan yang masih tertinggal di dalam sampel. Saat ini sudah banyak dijual alat
spektrofotometer otomatik yang secara otomatis mengkalkulasi rasio 260/280 nm dan kuantitas
asam nukleat. Yang perlu diingat dalam penggunaan spektrofotometer adalah jangan lupa untuk
selalu melakukan kalibrasi dengan larutan “blank” sebelum memeriksa konsentrasi asam nukleat
sampel. Yang digunakan sebagai “blank” adalah pelarut yang digunakan untuk melarutkan asam
nukleat yang diperiksa.

B. Enzim Restriksi
` Enzim restriksi atau disebut juga enzim endonuklease restriksi merupakan bagian dari
sistem kekebalan bakteri untuk melindungi bakteri dari infeksi DNA asing. Enzim endonuklease
restriksi biasanya diberi nama berdasarkan nama bakteri asal enzim tersebut diisolasi. Saat ini
telah dikenal lebih dari 200 enzim restriksi dengan sekuens tempat pembelahan yang spesifik.

5
Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat ditemukannya sistem restriksi dan
modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag
lambda (l). Virus l digunakan untuk menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C.
Jika l yang telah menginfeksi strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian
digunakan untuk mereinfeksi strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih
kurang sama banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,
dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.  Namun, jika l
yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K, maka nilai EOP-nya hanya 10-
4
. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak 1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan.
Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika
direinfeksikan pada strain K maupun pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem
restriksi/modifikasi (r/m) pada strain K.
Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K, molekul
DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam strain K. Di sisi lain,
untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri, strain K juga mempunyai sistem
modifikasi yang akan menyebabkan metilasi beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang
merupakan tempat-tempat pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi pada siklus
infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan terhadap enzim
restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus dibuat pada setiap akhir
putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang diinfeksikan dari strain K ke strain
C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA. Berlangsungnya
metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga molekul DNA baru hasil replikasi
tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi. Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan
banyak dipelajari. Selanjutnya, enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang
dinamakan enzim restriksi tipe I.  Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada
berbagai spesies bakteri lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian dimasukkan ke
dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II. Ia mengisolasi enzim
tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan sejak saat itu ditemukan lebih dari

6
475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies dan strain bakteri. Semuanya sekarang telah
menjadi salah satu komponen utama dalam tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai
berikut:
1) Mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di dalam molekul
DNA.
2) Memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat tempat
pengenalannya.
3) Menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan pengenal yang
mempunyai sumbu simetri rotasi. Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan
sebagai berikut. Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim,
sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua nama
petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada, berasal dari nama
strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan enzim yang berbeda tetapi
diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh beberapa pasang
basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini akan menghasilkan fragmen-
fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masing-masing untai tunggalnya menjadi tidak
sama panjang. Dua fragmen DNA dengan ujung yang runcing akan mudah disambungkan satu
sama lain sehingga ujung runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau
ujung kohesif.
Hal itu berbeda dengan enzim restriksi seperti Hae III, yang mempunyai tempat
pemotongan DNA pada posisi yang sama. Kedua fragmen hasil pemotongannya akan
mempunyai ujung 5’ yang tumpul karena masing-masing untai tunggalnya sama panjangnya.
Fragmen-fragmen DNA dengan ujung tumpul (blunt end) akan sulit untuk disambungkan.
Biasanya diperlukan perlakuan tambahan untuk menyatukan dua fragmen DNA dengan ujung
tumpul, misalnya pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’.

7
Contoh enzim-enzim restriksi:
Enzim Organisme Urutan Pengenal Ujung Potongan
EcoRI Escherichia coli RY13 GAATTC sticky-end
HindIII Haemophylus influenzae Rd AAGCTT sticky-end
HinfI Haemophylus influenzae Rf GANTC sticky-end
HaeIII Haemophilus aegyptius GGCC blund end
AluI Arthrobacter luteus AGCT blund end
SmaI Serratia marcescens CCCGGG blund end
XbaI Xanthomonas badrii TCTAGA sticky-end

C. Ligasi Molekul – molekul DNA


Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi harus
menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmen-fragmen DNA genomik
nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA vektor yang sudah berbentuk linier.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in vitro.
Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri. Kedua, ligasi menggunakan DNA
ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai
enzim T4 ligase. Jika cara yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung-ujung
lengket, cara yang kedua dapat digunakan baik pada ujung lengket maupun pada ujung tumpul.
Sementara itu, cara yang ketiga telah disinggung di atas, yaitu pemberian enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai
tunggal semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat diligasi
menggunakan DNA ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada suhu ini
ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket akan menjadi tidak
stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut.  Oleh karena itu,
ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan 15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang
diperpanjang (sering kali hingga semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor, khususnya
plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga plasmid yang telah
dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler kembali. Hal ini jelas akan
menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi ligasi dapat dilakukan beberapa cara,
antara lain penggunaan DNA dengan konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan

8
enzim alkalin fosfatase untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’ pada molekul DNA
yang telah terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan enzim
deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’ seperti telah
disebutkan di atas.

D. Vektor
Vector adalah sebuah agen yang dapat membawa fragmen DNA ke dalam sel inang. Ada
dua macam vector yaitu vector cloning yang digunakan untuk memproduksi fragmen DNA dan
vector ekspresi yang digunakan untuk mengekspresikan gen tertentu dalam fragmen DNA. Ada
beberapa vector yang sering digunakan dalam teknik DNA rekombinan, antara lain plasmid,
phaga, cosmid, YAC, BAC, dan Ti-Plasmid.
1. Plasmid
Plasmid merupakan DNA bakteri yang terpisah dari kromosom bakteri. Plasmid dapat
bereplikasi sendiri. Plasmid juga mengandung berbagai gen. Jenis, jumlah jenis, dan jumlah tiap
jenis (copy) plasmid bervariasi antar sel. Bahkan antar sel dalam satu spesies bakteri. Ukuran
plasmid berkisar antara beberapa kbp hingga mendekati 100kbp. Sebuah vector plasmid juga
harus mengandung gen resistensi obat untuk amplifikasi selektif.

Gambar 1. Teknik menyisipkan DNA target pada Plasmid.


Plasmid dapat dimodifikasi untuk mampu membawa potongan DNA lain ke dalam sel
bila memiliki:
a. Replikator (origin of replication)

9
b. Penanda (Marker) yang mudah diseleksi (misalnya gen ketahanan terhadap antibiotik)
c. Situs untuk mengklon (potongan DNA yang memiliki urutan basa nukleotida yang
menjadi sasaran enzim restriksi tetapi tidak terletak di dalam daerah replikator atau
penanda

2. Phaga
Phaga merupakan virus yang dapat menginfeksi bakteri, tersusun atas molekul DNA yang
membawa beberapa gen dan kapsid (molekul protein yang membungkus). Keuntungan utama
dari vector phaga adalah efisiensi transformasi yang tinggi, sekitar 1000 kali lebih efisien dari
pada vector plasmid.
Terdapat dua jenis siklus hidup phaga yaitu:
a. Siklus litik yaitu siklus yang diakhiri degan pelepasan fage baru dari bakteri yang
menjadi sel inang karena terjadi lisis .
b. Siklus lisogenik yaitu siklus dimana DNA fage tersisip di dalam kromosom bakteri yang
berfungsi sebagai sel inang.

Gambar 2. Teknik menyisipkan DNA target dan transduksi DNA dengan menggunakan phaga.
3. Cosmid
Cosmid merupakan vector kombinasi antara vector plasmid dan situs COS yang
memungkinkan DNA target untuk dimasukkan ke dalam kepala situs COS. Teknik ini memiliki

10
keuntungan yaitu efisiensi transformasi yang tinggi dan cosmid dapat membawa 45 kbp
dibandingkan plasmid dan phaga yang dibatasi hingga 25 kbp.

Gambar 3. Teknik menyisipkan DNA target dengan menggunakan Cosmid.

4. YAC
Yeast Artificial Chromosomes (YAC) merupakan vector yang mampu membawa fragmen
DNA hingga sebesar 2mbp, untuk membuat pustaka genom yang berukuran besar. Digunakan
untuk membuat pengurutan (sequencing) organisme genom organisme eukaryote, namun
efisiensi transformasi sangat rendah.

5. BAC
Bacterial Artificial Chromosomes (BAC) adalah membentuk DNA berdasarkan
kesuburan fungsional plasmid (atau F-plasmid), digunakan untuk mengubah dan kloning pada
bakteri, F-plasmid memainkan peran penting partisi karena mengandung gen yang
mempromosikan pemerataan plasmid setelah pembelahan sel bakteri. The bacterial artificial
chromosome's usual insert size is 150-350 , but can be greater than 700 kbp. A similar called a
has also been produced from the bacterial P1-plasmid. Buatan bakteri yang biasa menyisipkan
kromosom ukuran 150-350 KBP, tetapi dapat lebih besar dari 700 KBP.
BACs are often used to the genome of organisms in , for example the .BAC sering
digunakan untuk urutan genom organisme dalam proyek genom, misalnya Proyek Genom
Manusia. A short piece of the organism's is amplified as an insert in BACs, and then sequenced.

11
Potongan pendek organisme DNA diperkuat sebagai masukkan BAC, dan kemudian sequencing.
Finally, the sequenced parts are rearranged , resulting in the genomic sequence of the organism.
Akhirnya, bagian-bagian yang mengatur sequencing in silico, menghasilkan urutan genom
organisme.

6. Ti-Plasmid
Ti-Plasmid merupakan vector plasmid yang berukuran besar (200-900 kbp) pada sel
bakteri Agrobacterium. Agrobacterium mampu menginfeksi tanaman dengan mengintgrasi pada
DNA kromosom tanaman. Sifat unik inilah yang memungkinkan Ti-Plasmid menjadi alat
transport dari gen lain dengan cara menyisipkan gen asing tersebut pada T-DNA. Kemudian
dengan sengaja Agrobacterium diinfeksikan pada sel atau jaringan tanaman yang memiliki
potensi menjadi tanaman utuh. Keuntungan teknik ini antara lain adalah gen yang terintegrasi
umumnya hanya satu copy atau sedikit karena disisipkan pada T-DNA.

E. Transformasi
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA genomik
dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut. menggunakan teknik
elektroforesis (lihat Bab X). Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen
DNA genomik telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA
rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat diperbanyak
dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut selain terdapat molekul
DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik dan DNA plasmid yang tidak
terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini
dinamakan transformasi karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu
setelah dimasuki molekul DNA rekombinan.

12
Gambar 4. Contoh transformasi plasmid rekombinan pada bateri E. coli.

Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A.
Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya, transformasi pada beberapa
spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah
dapat dilakukan. Kemampuan transformasi B. subtilis pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk
mengubah strain-strain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof
(dapat tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh. Baru
beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara vektor, yang
selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi E.coli. 
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium klorid
(CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari bakteriofag l. Pada
tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan
dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid. Frekuensi transformasi tertinggi akan
diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC.
Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah
pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi
tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi
transformasinya daripada molekul DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidak-tidaknya
transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel
bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya
sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan
membentuk kompleks resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel.
Kompleks ini kemudian diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.

F. Seleksi (Screening)
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA rekombinan,
maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang membawa DNA
rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel transforman yang membawa DNA rekombinan masih

13
harus dilakukan seleksi untuk mendapatkan sel yang DNA rekombinannya membawa fragmen
sisipan atau gen yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid
(lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi
dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal, (2)
sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor
rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara
kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel
inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan
kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga
dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan
salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan
ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan
mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan
secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain
reaction (PCR). Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara
yang dinamakan hibridisasi koloni. Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon,
dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa
DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak.
Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni
pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel
rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.

14
Gambar 5. Teknik melakukan Screening.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Teknologi DNA rekombinan merupakan salah satu teknik untuk merekayasa DNA
dengan tujuan mempelajari DNA (Pustaka Gen) dan mengekspresikan suatu gen untuk
mendapatkan suatu produk yang bermanfaat.

15
DAFTAR PUSTAKA
− http://afie.staff.uns.ac.id/files/2009/11/materi-asistensi-biomedik-fk-uns2009.doc
− http://cahscient.files.wordpress.com/2008/08/textbook-mikrobiologi14.doc
− http://rudyct.com/PPS702-ipb/04212/m_yusri_k.doc
− http://staff.unud.ac.id/~ib_darmayasa/wp-content/uploads/2009/06/bioteknologi.doc
− http://susanto1408.files.wordpress.com/2007/07/buku-ajar-gen-01.doc
− http://trimanjuniarso.files.wordpress.com/2008/02/enzim-sifat-dan-cara-kerja.doc
− http://web.ipb.ac.id/~tpb/tpb/files/materi/genetika/dnarekombinan/plasmidpdf.pdf
− http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/koromatografi
%20pDNA.pdf
− http://www.fp.unud.ac.id/biotek/wp-content/uploads/2009/02/kuliah-1.doc
− http://www.fp.unud.ac.id/biotek/wp-content/uploads/biologisel/kuliah-bab-ii.doc

16

You might also like