You are on page 1of 9

MEMAKNAI SHALAT: sebagai Psikologi Transpersonal

Shalat merupakan suatu aktivitas jiwa (soul) yang termasuk dalam kajian ilmu psikologi
transpersonal, karena shalat adalah proses perjalanan spiritual penuh makna yang
dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat
menjernihkan jiwa dan mengangkat peshalat untuk mencapai taraf kesadaran yang lebih
tinggi (altered states of consciousness) dan pengalaman puncak (peak experience).

Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena mengandung lima


unsur di dalamnya, yaitu:
1. Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari
2. Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat
3. Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat
4. Group-therapy dalam shalat jama'ah atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal
ada aku dan Allah
5. Hydro-therapy dalam mandi junub atau wudhu' sebelum shalat

Dalam shalat, sebagaimana juga pandangan psikologi transpersonal, seseorang akan


berusaha untuk menapaki jalan spiritual untuk mempertemukan diri atau aku yang fana
dengan kekuatan ilahiah (divine power) atau AKU yang kekal (baqa).

Shalat adalah salah satu cara ibadah yang berkaitan dengan meditasi transendental, yaitu
mengarahkan jiwa kepada satu objek dalam waktu beberapa saat, seperti halnya dalam
melakukan hubungan langsung antar hamba dengan Tuhannya. Ketika shalat, ruhani
bergerak menuju Zat Yang Maha Mutlak. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca
indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan peristiwa di sekitarnya, termasuk
keterikatannya terhadap sensasi tubuhnya seperti rasa sedih, gelisah, rasa cemas dan
lelah. Bentuk perjalanan kejiwaan dalam shalat ini oleh para ahli psikologi disebut
sebagai proses untuk memasuki kesadaran psikologi transpersonal.

Menjaga Kesehatan Mental dengan Shalat


Di dunia ini, semua orang ingin menikmati ketenangan hidup dan akan berusaha
mencarinya. Namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat mencapai apa yang
diinginkan. Bermacam sebab dan rintangan sering muncul sehingga banyak orang
mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidak puasan, bahkan tidak sedikit yang
mengalami stress dan depresi. Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak menimpa
golongan tertentu saja, tetapi bisa menimpa siapa saja. Orang kaya atau miskin, pejabat
atau rakyat jelata, berpangkat atau tidak, bahkan seorang pesuruh pun pasti akan
menemui kesukaran dalam hidupnya sehingga ketenangan hidup yang diharapkan tidak
bisa dicapai. Namun sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau
kebahagiaan batin itu tidak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti status sosial,
ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi lebih tergantung pada cara
dan sikap kita dalam menghadapi faktor-faktor tersebut.
Cara dan sikap dalam menghadapi segala permasalahan itu sangat ditentukan oleh
kesehatan mental. Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah
kesehatan mental. Kesehatan mentallah yang menentukan apakah orang akan
mempunyai kegairahan untuk hidup atau tidak. Orang yang sehat mentalnya tidak akan
lekas merasa putus asa, pesimis atau apatis, karena ia dapat mengahadapi semua
rintangan atau kegagalan hidupnya dengan tenang. Apabila kegagalan itu dihadapi
dengan tenang, maka akan dapat dianalisa, dicari sebab-sebab yang menimbulkannya,
atau ditemukan faktor-faktor yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian akan dapat
dijadikan pelajaran sehingga jika muncul hal-hal yang membawa kegagalan pada waktu
yang lain, akan bisa diatasi.

Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau terganggu mentalnya, tidaklah mudah.
Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan atau tanda-tanda dari kesehatan mental
adalah tindakan, tingkah laku atau perasaan. Karenanya seseorang dikatakan terganggu
kesehatan mentalnya bila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau
tindakannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pasien-pasien yang
bermasalah kesehatan mentalnya, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental yang
terganggu dapat mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang. Pengaruh itu dibagi dalam
empat kelompok yaitu; perasaan, pikiran/kecerdasan, kelakuan, dan kesehatan badan. Hal
ini semua merupakan bagian dari gangguan jiwa. Di antara gangguan jiwa yang
disebabkan oleh kesehatan mental ialah rasa cemas, iri hati, sedih, merasa rendah diri,
inferior, pemarah, ragu dsb.

Lantas, bagaimana cara menjaga kesehatan mental kita?

Kajian-kajian ilmiah mengenai kesehatan mental dewasa ini telah berkembang begitu
pesat, terutama aliran psikologi transpersonal yang membahas secara transparan tentang
rahasia kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dalam perkembangan
selanjutnya, kecerdasan emosional dan spiritual inilah yang memiliki andil besar dalam
menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang. Di dalam kajian psikologi modern,
psikologi transpersonal merupakan kekuatan keempat dalam aliran psikologi setelah
psikoanalisa, behaviorisme dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal merupakan
bentuk perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para psikolog
terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah pusat
(eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja.

Sekarang kita menyoroti kasus Shalat. Shalat merupakan suatu aktivitas jiwa yang
termasuk dalam kajian ilmu psikologi transpersonal, karena shalat adalah proses
perjalanan spiritual yang penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui
Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat orang yang
menunaikannya untuk mencapai taraf kesadaran yang lebih tinggi dan pengalaman
puncak spiritualitas. Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena ia
merupakan meditasi tertinggi dalam Islam. Gerakan shalat merupakan sebuah proses
relaksasi yang akan menjadikan kita sehat. Bacaan-bacaan dalam shalat bisa
memunculkan auto sugesti yang membuat kita selalu berpandangan positif terhadap
permasalahan yang dihadapi. Ketika shalat, ruhani bergerak menuju Zat Yang Maha
Mutlak. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca indra melepaskan diri dari segala
macam keruwetan peristiwa di sekitarnya.

Sedikit keterangan tentang shalat di atas menunjukkan kepada kita bahwa shalat bukan
sekedar ritual yang menjadi kewajiban rutin umat Islam. Lebih dari itu, jika ia
dilaksanakan dengan penuh ketekunan, kesadaran, dan penghayatan, ia akan menjadi
semacam terapi yang bisa membuat peshalat mencapai tingkat kecerdasan emosional dan
spiritual yang mapan. Dan pada gilirannya ia akan memiliki mental yang sehat, yang
tidak pernah merasa tertekan dengan segala permasalah hidup yang menghimpit.

Shalat merupakan perjalanan ruhani menuju Allah

— Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku — Thaha, 20:14

Kajian-kajian ilmiah mengenai spiritual dewasa ini telah berkembang sangat luar biasa,
terutama aliran psikologi transpersonal yang membahas secara transparan tentang rahasia
kecerdasan emosional dan spiritual. di dalam kajian psikologi modern, psikologi
transpersonal merupakan kekuatan ke empat dalam aliran psikologi setelah psikoanalisa,
behaviorisme dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal merupakan bentuk
perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para ahli jiwa terdahulu,
padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah pusat (eksistensi dan
aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja.

Sekarang kita menyoroti kasus sholat. Sholat merupakan suatu aktivitas jiwa (soul) yang
termasuk dalam kajian ilmu psikologi transpersonal, karena sholat adalah proses
perjalanan spiritual yang penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui
Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat peshalat untuk
mencapai taraf kesadaran yang lebih tinggi (altered states of consciousness) dan
pengalaman puncak (peak experience).

Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena terdapat lima unsur di
dalamnya, yaitu

• Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari


• Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat
• Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat
• Group therapy dalam shalat jama’ah atau bahkan dalam shalat sendirian pun
minimal ada aku dan Allah
• Hydro therapy dalam mandi junub atau wudhu’ sebelum shalat
Dalam shalat, sebagaimana juga pandangan psikologi transpersonal, seseorang akan
berusaha untuk menapaki jalan spiritual untuk mempertemukan diri atau aku yang fana
dengan kekuatan ilahiah (divine power) atau AKU yang kekal (baqa’)

Shalat adalah salah satu cara ibadah yang berkaitan dengan meditasi transendental, yaitu
mengarahkan jiwa kepada satu objek dalam waktu beberapa saat, seperti halnya dalam
melakukan hubungan langsung antar hamba dengan Tuhannya. Ketika shalat, ruhani
bergerak menuju Zat Yang Maha Mutlak. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca
indra melepaskan diri dari segala keruwetan peristiwa disekitarnya, termasuk
keterikatannya terhadap sensasi tubuhnya, seperti rasa sedih, gelisah, cemas dan lelah.
Bentuk perjalanan kejiwaan dalam shalat ini oleh para ahli psikologi disebut sebagai
proses untuk memasuki kesadaran psikologi transpersonal.

Setiap pelaku meditasi membutuhkan objek di dalam mengarahkan pikirian atau jiwanya.
Pada saat jiwa diarahkan terhadap sesuatu, jiwa pergi meninggalkan tubuh sehingga
kesadarannya dengan leluasa berubah menjadi berada di puncak ketinggian. Dengan
demikian, jiwa menjadi pengendali atas dirinya.

Islam menempatkan Zat Yang Maha Mutlak sebagai puncak tujuan ruhani, sandaran
istirahatnya jiwa, sumber hidup, sumber kekuatan dan sumber mencari inspirasi. Dengan
mengarahkan jiswa kepada Allah, ruhani akan mengalami pencerahan karena ia berada
pada ketinggian yang tak terbatas, sehingga jiwa kembali pada kondisi semula, bersih
(fitrah) dan tidak terkontaminasi oleh dorongan-dorongan nafsu negatifnya. Jiwanya
menjadi bersih lantaran usahanya menanggalkan keterikatannya dengan wilayah tubuh
yang memiliki kecenderungan melakukan aktivitas kimiawi. Secara alami, ia selalu
menyeret pikiran untuk mengikuti reaksi kimia tersebut tanpa mampu menghentikannya.
Selama ini kita merasakan yang mengendalikan pikiran ini bukan kesadaran jiwa, tetapi
dorongan-dorongan seperti rasa lapar, rasa haus, rasa sex, rasa marah, dan malas. Semua
itu timbul karena aktifitas tubuh. Inilah yang dinamakan jiwa mengikuti nafsu binatang
bukan nafsu binatang yang mengikuti jiwa.

Jiwa (ruh) yang diturunkan oleh Allah kepada tanah yang diberi rupa adalah berasal dari
tiupan Ilahi yang suci, yang membawa misi memelihara serta mengendalikan bumi
(khalifah). Entah bagaimana mulanya, kesadaran diri jatuh ke dalam lumpur tanah
sehingga ruh suci itu tampak gelap dan tidak bersinar. Ia tidak mampu mengendalikan
gerakan-gerakan alamiah tubuhnya. Tubuhnya seolah tanpa tuan dan pengetahuan. Pada
kondisi seperti ini, ruh sering disebut orang “hati yang paling dalam” atau hati nurani.
Seolah ruh ada berada jauh di dasar sekali. Ini menunjukkan nurani tidak mampu
melakukan tugasnya sebagai utusan Allah, yang mengatur anggota tubuhnya dengan sinar
ketuhanan untuk menata kehidupan sesuai dengan fitrah Ilahi. Inilah yang disebut sebagai
Al Qur’an sejati yang tidak tertulis dengan tinta dan tidak berupa suara, sehingga
keabadian firman-Nya tetap terjaga karena tersimpan dalam kalam yang suci, bukan
berupa huruf dan suara, tidak dalam kertas dan pelepah kurma maupun tulang-tulang.
Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai “alfitrah almunazzalah” yaitu kesucian yang
diturunkan.
Shalat adalah salah satu cara mengembalikan kesadaran ini dengan perjalanan mi’raj
yaitu menuju kepada ketinggian Ilahi yang luas sehingga kesadaran ruhani kembali pada
kedudukannya sebagai duta Ilahi (khalifatullah) yang membawa pesan-pesan ilahiyah.

Posisi ruhani menjadi tidak terikat dengan irama tubuhnya. Yang menjadi pengendali
adalah jiwa yang berserah kepada Allah, jiwa yang tercerahkan dan jiwa yang tidak
terjangkau oleh pikiran negatif maupun perasaan yang gelisah, karena jiwa berada di atas
wilayah itu semua. Allah menggambarkan setan pun tidak mampu menjangkau keadaan
jiwa yang berserah diri kepada Allah.

“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah atas orang-
orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang
mempersekutukannya dengan Allah. ” (An Nahl, 16:99-100)

dalam ayat lain

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari setan,
mereka mengingat Allah. Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
(Al A’raaf, 7:201)

demikian pula pengakuan setan kepada Allah yang tercantum dalam surat Shaad, 38 ayat
82-83

“Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-
hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.“

Pada saat shalat, seluruh syaraf tidak menghantarkan impuls gerakan dari panca indra
sebab jiwa secara perlahan bergerak meninggalkan keterikatannya dengan badan
(syahwat). Keadaan ini disebut berpikir abstrak. Elektron-elektron pikiran berhenti
berputar hingga kembali menjadi “aether” (energi non materi), lalu dilepaskan oleh
rohani dan menjelma sebagai cahaya yang disebut nur fuad, cahaya bathin, yang
langsung kembali ke pangkalnya, yaitu Allah. Ketika getaran antara cahaya bathin
berjumpa dengan Nurullah, terjadilah keadaan jiwa yang berserah dan lepas bebas dari
pengaruh alam-alam atau sensasi tubuhnya.

Setan hanya mampu menembus jiwa manusia ketika berada di alam rendah (tubuhnya).
Ketika ruhani yang bening tidak mampu melihat karena berada tenggelam dalam lumpur
tanah, maka yang menggantikan penguasa tubuh adalah setan. Tinggallah ruhani (nurani)
hanya menangis sedih, tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya mengatakan tidak setuju
terhadap perbuatan-perbuatan keangkara-murkaan yang dilakukan oleh tubuh tetapi dia
tidak mampu berbuat banyak, sehingga setanlah yang menggantikan kedudukan nurani
sebagai pengendali pikiran, perasaan dan bathin manusia. Jika dalam shalatnya manusia
tidak melakukan perjalanan ruhani kepada Allah, maka jiwanya akan terjebak pada
pengaruh alam-alam yang lebih rendah. Sebagaimana petunjuk Allah yang tercantum
dalam Surat Az Zukhruuf, 43 ayat 36
“Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami
adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.”

Itulah sebabnya Allah menurunkan cara yang paling mudah untuk mengembalikan
kesadaran tersebut agar jiwa kembali kepada fitrah. Berpuasa di bulan Ramadhan
merupakan salah satu cara agar jiwa kembali ke fitrah yang suci seperti bayi. Namun kita
terkadang tidak menyadari, bahwa beribadah sebenarnya bukanlah bertujuan untuk
mengejar pahala tetapi sebagai training atau latihan untuk mencapai sesuatu yang perlu
diraih, yaitu derajat takwa ataupun kesejatian diri yang bersih sehingga menghasilkan
manusia yang mampu menjalankan kehidupannya dengan nurani.

Kalimat “hati nurani” ini sering kita dengar di setiap pengajian ataupun pembahasan
mengenai kehidupan masyarakat yang ideal. Namun kenyataannya, pengetahuan ini tidak
pernah kita dapatkan dengan mudah. Sampai sekarang belum banyak orang menjelaskan
kemudian mengajak memasuki nuraninya sendiri. Ibarat seorang bertanya tentang cinta
itu seperti apa? Tentunya sulit membayangkan kalau hanya dijelaskan dengan kata-kata,
apalagi ditafsirkan. Rasa cinta tidak perlu ditafsirkan maupun diuraikan menurut tata
bahasa sastra tinggi karena akan semakin jauh dari kenyataan yang sebenarnya.

Kalau kita belajar cinta dari membaca buku-buku karangan Kahlil Gibran, yang akan kita
dapatkan adalah pengetahuan tentang cinta serta liku-liku yang panjang dan tidak habis-
habisnya. Lalu cinta itu apa? Cinta itu bukan liku-liku, cinta itu bukan sebuah fragmen
kehidupan, cinta itu bukan gula-gula, Cinta itu …. kita tidak bisa menjelaskan dan
mendefenisikannya. Masuklah kedalamnya, Anda akan menjadi cinta itu sendiri. Anda
akan menceritakan diri Anda yang kasmaran dengan lancar. Cinta itu akan bercerita
dengan bahasa tanpa huruf, tanpa suara, bahkan dengan bunga, dengan bahasa apa saja.
Yang penting orang tahu itu adalah bahasa cinta yang bisa dimengerti oleh semua
mahluk.

Begitu pun nurani sejati yang penuh sinar Ilahi, kita hanya bisa “menjadi nurani” barulah
bisa kita berkata dengan nurani, berjalan dengan nurani, bekerja dengan nurani. Bukan
mendengarkan nurani, karena kita tidak akan mampu menjalankan nasehat nurani, karena
kita (tubuh, pikiran, perasaan) bukanlah nurani. JADILAH NURANI !! Setan tidak ada
disini, karena nurani adalah utusan (duta) Ilahi yang dilindungi oleh sinar Nya. Ia adalah
pesuruh yang suci yang selalu taat kepada keputusan Tuhannya. Itu sebabnya mengapa
Allah mengatakan RUH adalah rahasia Nya.

“Tidaklah kalian mengetahui tentang ruh kecuali sedikit.” (Al Isra’ : 85)
Psikologi Dalam Kajian Keislaman
Kalau kita kembali ke sejarah masa lalu ada tiga corak pendekatan dalam memahami jiwa
manusia. Pertama, pendekatan Qur’ani-Nabawi dimana jiwa manusia dipahami dengan
merujuk pada keterangan kitab suci al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw.
Perbincangannya berkisar sifat-sifat universal manusia (syahwat kepada lawan jenis,
properti, uang, fasilitas mewah, takut mati, takut kelaparan, pongah, pelit, korup, gelisah,
mudah frustrasi), sebab maupun akibatnya (lupa kepada Allah, kurang berzikir, ikut
petunjuk syaitan, tenggelam dalam hawa nafsu, hidup merana dan mati menyesal, di
akhirat masuk neraka), dan beberapa karakter jiwa (nafs): yang selalu menyuruh berbuat
jahat (ammarah bis-su’), yang senantiasa mengecam (al-lawwamah) dan yang tenang
damai (al-mutma’innah). Perspektif ini diwakili oleh tokoh-tokoh semisal Ibn Qayyim al-
Jawziyyah (w. 1350). Dalam kitabnya ar-Ruh, misalnya, diterangkan bagaimana ruh
menjalar di tubuh manusia yang memungkinkannya bergerak, merasa, dan berkehendak.
Ruh orang mati itu wujud dan merasakan siksa di alam kubur sekalipun jasadnya hancur.

Saya punya pengalaman tentang proses kematian, bagaimana rasanya ketika jasad
dimandikan, dikafani dan dikubur. Berawal dari proses perenungan disitu saya berfikir
apakah orang yang mati itu dapat merasakan dan melihat ketika jasad itu diperlalukan
hingga di alam kubur?. Pertanyaan ini selalu terngiang-ngiang dibenak saya, sayapun
tanpa sadar sudah masuk kedalam alam bawah sadar yang menghantarkanku ke sebuah
mimpi yang panjang. Dalam mimpi itu saya menghembuskan nafas dalam waktu seketika
saya dalam proses dimandikan,kemudian dikafani. Dan sampailah pada sebuah lobang
persegi panjang yang sangat gelap. Jasad saya dapat merasakan dari orang-orang yang
memegang, dan dari kejauhan Roh saya melihat kepada jasadnya yang tidak berdaya
begitulah seterusnya hinggga proses penguburan saya tersentak dan bangun dari tidur
dengan spontan saya berucap "Astaghfirulloh"

Kembali kepada pembahasan awal bahwa untuk pendekatan kedua bahwa Filsafat dimana
para ilmuan mengatakan "Berbagai masalah jiwa dibahas menurut pandangan para filsuf
Yunani kuno. Mazhab falsafi ini mulai berkembang pada abad ke-10 Masehi, menyusul
penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Para psikolog
Muslim pada masa itu banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa Plato dan Aristoteles. Tak
mengherankan, sebab Aristoteles mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat
logis dan terperinci. Teori-teorinya tertuang dalam bukunya De Anima (tentang hakikat
jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek
mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan,
hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). Adapun Plato ialah filsuf yang pertama
kali melontarkan teori tiga aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani),
dan vegetatif (berdaya tumbuh).
Hampir semua filsuf Muslim yang menulis karya tentang jiwa bertolak dari pandangan
Aristoteles. Mulai dari Miskawayh yang menulis kitab Tahdzib al-Akhlaq dan Abu Bakr
ar-Razi pengarang kitab at-Thibb ar-Ruhani hingga Ibnu Rusyd dan Abu Barakat al-
Baghdadi. Menurut mereka, jiwa manusia adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa,
manusia tak berarti apa-apa. Kecuali ar-Razi, semua filsuf percaya bahwa jiwa manusia
itu tunggal dan sendiri. Karenanya mereka menolak teori transmigrasi jiwa dari satu
tubuh ke tubuh yang lain, seperti dalam kepercayaan agama tertentu. Dalam salah satu
kitabnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat
dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal
dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi). Kemampuan
semacam inilah yang dimiliki oleh para nabi, tambahnya. Jiwa para nabi itu begitu bersih
dan kuat sehingga mereka mampu menerima intuisi, ilham dan wahyu ilahi (Lihat: kitab
an-Nafs, ed. Fazlur Rahman, hlm 248-50 dan Avicenna’s Psychology, hlm 36-7.

Ketiga ialah pendekatan Sufistik dimana penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan
pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf
yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan
eksperimental. Termasuk dalam aliran ini kitab ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-
Hakim at-Tirmidzi (w. 898) dimana beliau terangkan kiat-kiat mendisiplinkan diri dan
membentuk kepribadian luhur. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia
sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi.

Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali yang menguraikan dgn sangat baik
berbagai penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia
ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Kebanyakan kita sangat memperhatikan kesehatan
tubuh tetapi jarang peduli dengan kesehatan jiwa. Bagaimana cara mengobati penyakit-
penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau
jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin. (Lihat juga: Amber Haque,
“Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and
Challenges to Contemporary Muslim Psychologists,” Journal of Religion and Health.

Di abad modern, upaya-upaya untuk menyelami lautan ilmu psikologi Islam dan
“menjuall mutiara”nya brilian masih terkendala oleh beberapa hal. Selain sikap prejudice
terhadap khazanah intelektual Islam di satu sisi, dan sikap fanatik terhadap psikologi
Barat modern yang nota bene sekular-materialistik di sisi lain, penguasaan bahasa Arab
merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) untuk bisa menjelajahi literatur
psikologi Islam yang sangat kaya namun belum terjamah itu. Psikolog muslim tinggal
memilih mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, yang banyak
menyesatkan.Atau belajar dari para ahli psikologi Islam? tinggal pilih. Wallahua'lam
bissawab.

sumber: Psikologi Dalam Kajian Keislaman http://id.shvoong.com/writing-and-


speaking/presenting/2031308-psikologi-dalam-kajian-keislaman/#ixzz1IKZZAyWz

Psikologi Shalat
Psikologi Shalat

Kualitas shalat seseorang diukur dari tingkat kekhusyu'annya. Shalat


dapat disebut sebagai zikir manalakala orang yang shalatnya itu
menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam
shalatnya. Karena zikir itu sendiri adalah kesadaran. Lawan dari
zikir adalah lalai, oleh karena itu Quran juga mengingatkan orang
yang berzikir(shalat) agar jangan lalai, "wala takun min alghafilin"
(Q/7:205).

Shalatnya orang yang lalai pasti tidak efektif karena tidak


komunikatif. Hadist riwayat abu Hurairah menyebutkan betapa banyak
orang yang shalat tetapi tidak memperoleh apa-apa selain capek dan
lelah. "Kam min qa imin hazzuhu min shalatihi at ta'abu wa an
nasobu." shalat sebagai zikir bukan kata-kata, ruku' dan sujud
tetapi dialog, muhawarah dan munajat seorang Hamba dengan Tuhannya.
Kuncinya dari muhawarah dan munajat adalah kehadiran hati, "hudur al
qalb" dalam shalatnya.

Jadi khusyu' adalah hadirnya hati dalam setiap aktifitas shalat.


Makna shalat terletak pada seberapa besar kehadiran hati didalamnya.
Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menyebutkan enam makna batin yang
dapat menyempurnakan makna shalat yaitu (1)Kehadiran hati, (2)
Kefahaman, (3)Ta'zim, mengagungkan Allah SWT (4) Segan, haibah (5)
Berharap, roja (6)Malu.

Disamping enam hal yang bersifat maknawi bagi orang awam masih
dibutuhkan situasi fisik yang kondusif untuk shalat,
agarperhatiannya tidak terpecahsehingga hatinya hadir. Bagi yang
sudah kuat konsentrasinya maka lingkungan fisik tidak lagi menjadi
stimulus yang mengganggu, apa yang bagi orang awam, sesuatu yang
didengar, yang dilihat, justru menarik perhatiannya, lupa kepada
Allah SWT yang sedang diajak berbicara. Demikian juga bagi orang
banyak problem yang tidak halal, ruang gelap, ruang kosong, menutup
mata dan menutup telinga tidak akan membantu mengkonsentrasikan
hatinya kepada Allah SWT, karena dua hal yang bertentangan.

You might also like