You are on page 1of 227

PENYELESAIAN SENGKETA

MELALUI ARBITRASE
Oleh
Basuki Rekso Wibowo
FH Unair
2007
BRW/FHUA/2007 1
BEBERAPA REFERENSI (1)
► BUKU
► Abdurrasjid Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa , Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002.
► Adolf, Huala, Arbitrase Komersial Internasional, Radjawali, Jakarta, 1991.
► …………….,. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994
► ……………., The Arbitration Law in Indonesia, dalam Hendarmin Djarab (ed).,
Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
► Arrow, Kenneth, et.al, Barriers to Conflict Resolution, WW Norton Co, 1995.
► Born, Gary B., International Commercial Arbitration in the United States, Kluwer
Law and Taxation Publishers, Deventer Boston, 1994.
► Buang, Saleh dan Maimoonah Hamid, Commercial Arbitration, Central Law Books
Corp Sdn.Bhd, Kualalumpur, 1998.
► Kantaatmadja,Komar, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, kertas kerja pada Penataran
Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Unpad-Universitas Utrecht, 1989.

BRW/FHUA/2007 2
BEBERAPA REFERENSI (2)
► Cheong, Chan Wing, et.al, Current Legal Issues in International Commercial Litigation, Faculty
of Law University of Singapore, 1997.
► Current Legal Issues in International Commercial Litigation , Faculty of Law University of
Singapore, 1997.
► David, Rene, Arbitration in International Trade, Kluwer, 1985.
► Domke, Martin, Domke on Commercial Arbitration (the Law of Practice of Commercial
Arbitration), Revised edition , 1994.
► Elkouri, Frank, & Edna Elkouri, How Arbitration Works, fifth edition, American Bar Association
(ABA), BNA Books, Washington DC, 1997.
► Emirzon, Joni, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan
Arbitrase), Gramedia, Jakarta, 2000.
► Fuady, Munir, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) , Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000.
► Gautama, Sudargo,,Hukum Perdata Internasional, Buku ke-5, Jilid II, Bagian IV, Alumni,
Bandung, 1992.
► ………….., Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal di Indonsia dan Jurisprudensi
Indonesia Dalam Perkara Perdata, Alumni, Bandung, 1994.
► ……………., Aneka Hukum Arbitrase (KeArah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru), Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
► ……………, Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

BRW/FHUA/2007 3
BEBERAPA REFERENSI (3).
► Budidjaya,T., Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards in Indonesia, Tata Nusa,Jakarta, 2002.
► Khairandy, Ridwan, et.al., Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia , Gama Media,
Jogjakarta, 1999.
► Kusumohamidjojo, Budiono, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Grasindo, Jakarta, 1998.
► Law Firm ABNR & Law Firm MKK, Reformasi Hukum di Indonesia (terj. Diagnostic Assesment
of Legal Development in Indonesia), World Bank Project – IDF Grant No. 28557, Cyber Consult,
Jakarta, 1999.
► Lew, Julian DM (ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Matnus Nijhoff
Publishers, Netherlands, 1987.
► Lillich, Richard B. & Charles N.Brower, International Arbitration in the 21st Century : Towards
“Judicialization and Uniformity”, twelfth Sokol Colloquium, Transnational Publishers Inc,
Irvington, New York, 1993.
► Longdong, Tinneke Louise, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya
Bakti, Jakarta, 1998.
► Lubis, Macneil, Ian R, American Arbitration Law : Reformation, Nationalization,
Internationalization, Oxford University Press, Oxford, 1992.
► Management Action Guides, Handling Conflict by Negotiation (Mengendalikan Konflik dan
Negosiasi), alih bahasa Amitya Kumara Suharso, Gramedia, Jakarta, 1997.

BRW/FHUA/2007 4
BEBERAPA REFERENSI (4).
► Manchester Open Learning, Handling Conflict and Negotiation, London,
1993.
► Parris, John,, Arbitration Principles and Practice, Granada, 1983.
► Peter, Wolfgang , Arbitration and Renegotiation of International Investment
Agreements, second edition, Kluwer, the Hague, 1995.
► Pickering, Peg, How to Manage Conflict (Kiat Menangani Konflik), alih
bahasa Masri maris, Erlangga, Jakarta, 2001.
► Putra, Ida Bagus Wyasa, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.
► Radjagukguk, Erman, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta, 2001.
► Rau, Alan Scott, Edward F.sherman, Scott R. Peppet, Processes of Dispute
Resolution : The Role of Lawyers, third edition, University Casebook Series,
Foundtion Press, New York,

BRW/FHUA/2007 5
BEBERAPA REFERENSI (5).
► Sammartano, Mauro Rubino,, International Arbitration Law, Kluwer Law and Taxation
Publishers, GA Deventer, 1990.
► Manan,Bagir, Kata Pengantar, dalam Yuhassarie,Emmy (ed)., Proceedings Arbitrase dan
Mediasi, Lokakarya Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama 2002.
► Redfern, Alan et.al., Law and Practice of International Commercial Arbitration, Sweet&Maxwell,
London, 1985.
► Saleh, Abdurrachman, Arbitrase Islam Indonesia, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia dan bank
Muamalat,1994.
► Reisman, Micahel W et.al., International Commercial Abitration : Cases, Materials and Notes on
the Resolution of International Business Disputes , University Casebook Series,Westbury New
York, The Foundation PressInc, 1997.
► Shahab, Hamid,, Aspek Hukum Dalam Sengketa Konstruksi , Djambatan, Jakarta, 1996.
► …………….., Menyingkap dan Meneropong Undang Undang Arbitrase No.30 tahun 1999 dan
Jalur Penyelesaian Alternatif Serta Kaitannya Dengan UU Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999
dan FIDIC, Djambatan, Jakarta, 2000.
► Singer,Linda, Settling Disputes, Westview Press, Boulder, 1994.
► Smith, Vincent Powell,, Aspect of Arbitration : Common Law & Sharia’ Compared, Central Law
Book Corporation, Kualalumpur, 1995.
► Soebagijo, Felix O, (ed), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.

BRW/FHUA/2007 6
BEBERAPA REFERENSI (6).
► Sumampouw, M, Pilihan Hukum Sebagai Titik Pertalian Dalam Hukum Perdjanjian
Internasional, disertasi Tay Swee Kian, Caterina, Resolving Disputes by Arbitration :
What You Need to Know, Ridge Books, Singapore University Press, 1998.
► Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf
Publishing, Jogjakarta, 1995.
► Teply, Larry L., Legal Negotiation in a Nutshell, West Publishing Co, St.Paul, Minn,
1992.
► Tiong, Tan Ngoh, (eds), Alternatif Dispute Resolution in Bussines, Family and
Community : Multy Discipline Perspective, Pagesetters Services, Singapore, 2000.
► Wijojo, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental
Disputes), Airlangga University Press, Surabaya, 1999.
► Yeo, Tan Min, Role of Public Policy, Overt and Camouflaged in International
Litigation and Arbitration, 8th Singapore Conference on International Bussines Law,
► Yuhassarie,Emmy (ed)., Proceedings Arbitrase dan Mediasi, Lokakarya Hukum
Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama Pusat Pengkajian Hukum
dan Mahkamah Agung RI, 2002.

BRW/FHUA/2007 7
BEBERAPA REFERENSI (7).
► ARTIKEL
► Abdurrasjid, Prijatna, Future Development of Arbitration and ADR Practices in Indonesia
(Privatization of the Judicial System), Jurnal Hukum Bisnis, Vo. 5, 1998.
► Gautama, Sudargo, Pembatalan Keputusan Dewan Arbitrase Bank Dunia Mengenai Pencabutan
Lisensi Penanaman Modal di Indonesia, Varia Peradilan, No.18, Maret 1987.
► …………….,Kesulitan Dalam Menyusun Perjanjian Arbitrase Dagang Internasional, Varia
Peradilan, No. 25, Oktober 1987.
► …………. , Hukum Manakah Yang Dipakai Untuk Arbitrase Dagang Internasional, Hukum dan
Pembangunan, FHUI, Agustus 1989.
► ………….., Arbitrase WIPO Dalam Bidang Hak Milik Intelektual, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.1, 1997.
► Harahap, M. Yahya,, Penerapan Klausula Arbitrase serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam dan
Luar Negeri di Indonesia, Varia Peradilan, No.61, Oktober 1990.
► ……………………….., Perspektif Arbitrase di Indonesia, makalah Seminar Nasional Hukum
Ekonomi tentang Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengket a, Surabaya 18 Maret 1995.
► ....................................., Beberapa Catatan Yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU No.30/1999,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002.
► Juwana, Hikmahanto, Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam UU Pasar Modal, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol. 14, Juli 2001.
► ……………………., Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 21, Oktober-Nopember 2002.

BRW/FHUA/2007 8
BEBERAPA REFERENSI (8)
► Simanjuntak, Ricardo, Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase dan Pengadilan Negeri , Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 21, Oktober – Nopember 2002.
► Suraputra, Sidik, ICSID dan MIGA : Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus
Penanaman Modal, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.8, 1999.
► Setiawan, Konvensi New York 1958, Kekuatan Mengikat Putusan Hakim Asing
(Perk.Bontmantel – HR. 14 Nopember 1924, NJ, 1925), Varia Peradilan, No. 13,
Oktober 1986.
► ………….., Eksekusi Putusan Arbitrase Asing : Perma No.1/1990, Varia Peradilan,
No.59, Agustus 1990.
► …………..,Aplikasi dan Implikasinya, Newsletter, No.2, Agustus 1990.
► …………..,Pengaruh Mandatory Rules Terhadap Kontrak Bisnis Internasional :
Catatan Dari Jurisprudensi, Varia Peradilan, No.98, Nopember 1993.
► ………….., Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak, Newsletter, No.15,
Desember 1993.
► …………..,Kontrak Bisnis Internasional : Choice of Law & Choice of Jurisdiction,
Varia Peradilan, No. 107, Agustus 1994.

BRW/FHUA/2007 9
BEBERAPA REFERENSI (9).
► Waluyo, Bernadette , Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
9, 1999.
► Wibowo, Basuki Rekso, Perdamaian Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata, Yuridika,
No.1 dan 2, Tahun VIII, Jan-April 1993.
► ……………., Masalah Petitum Subsider Ex Aequo Et Bono, Yuridika, No.7, tahun IX, Januari-
Pebruari 1995.
► ……………., Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata, Yuridika, No.3, Tahun X, Mei-
Juni 1995.
► ……………., Masalah Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, ProJustitia, FH Unpar,
Bandung, April, 1997.
► …………….., Peran Hakim Dalam Pembangunan Hukum, Pro Justitia, FH Unpar, No.4,Oktober
1997.
► ……………., Klausula Arbitrase, Kompetensi dan Public Policy (Catatan Hukum Sengketa
ED.F.Man Sugar Ltd vs. Yani Hariyanto), Yuridika, N0.2&3, Tahun XII, Maret-Juni 1997.
► ……………., Peran Lawyer Dalam Menyelesaikan Sengketa Bisnis : Negosiator ataukah
Gladiator (Sebuah Tinjauan Tentang Legitimasi Pilihan Peran Lawyer dan Pilihan Forum
Penyelesaian Sengketa), Yuridika, Vol.14, No.5, September-Oktober 1999.

BRW/FHUA/2007 10
BEBERAPA REFERENSI (10)
► MAKALAH SEMINAR/PELATIHAN
► Abdurrasjid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
makalah pada Seminar tentang Arbitrase (ADR) dan E Commerce, Law
Offices Remy Darus, Surabaya 6 September 2000.
► ……………, Arbitrase, makalah dalam Lokakarya Terbatas Hukum
Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, kerjasama Pusat Pengkajian
Hukum dan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 8-9 Oktober 2002.
► Badrulzaman, Mariam darus, “E-Commerce Tinjauan Dari Hukum Kontrak
Indonesia, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 12, 2001.
► Hadjon, Philipus Mandiri, Pengkajian Ilmu Hukum, makalah Pelatihan
Metode Penelitian Hukum Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hukum – Lembaga Penelitian Universitas Airlangga bekerjasama dengan
Fakultas Hukum Unair, 11-12 Juni 1997.
► Kantaatmadja, Komar, Beberapa Hal tentang Arbitrase, kertas kerja pada
Penataran Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Unpad-
Universitas Utrecht, Bandung, 1989.

BRW/FHUA/2007 11
BEBERAPA REFERENSI (11).
► Moore, Christopher W. , Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa (MAPS) (terj), ICEL & CDR Associates, Jakarta, 1995.
► Rachmadi, Takdir, Pengembangan Mekanisme Alternative
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Sebagai Wadah Peran Serta
Masyarakat, makalah Seminar Pembangunan Hukum
Lingkungan Nasional, Walhi, Bandung, 24-25 Agustus 1990.
► Radhi, Teuku Mohamad, Konvensi New York tentang Pengakuan
dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, makalah
Seminar Penyelesaian Sengketa Dagang melalui Arbitrase,
Jakarta, 11 Agustus 1990.
► Rosenfeld, Robert A, Negotiating Settlement in International
Business Disputes, paper on International Business Disputes :
Prevention, Management and Resolution, San Fransisco, July 29-
30, 1004.
BRW/FHUA/2007 12
BEBERAPA REFERENSI (12).
► Santosa, Mas Achmad, Court Connected ADR di Indonesia :
Urgensi dan Prasyarat Pengembangannya, tt.
► ………………., Mediasi Lingkungan di Indonesia : Sebuah
Pengalaman, ICEL, Jakarta, 1998.
► ………………, Alternative Disputes Resolution (ADR) di Bidang
Lingkungan Hidup, makalah dalam ForumDialog tentang
Alternatif Disputes Resolution (ADR),Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman – The Asia Foundation,Jakarta, 5
Agustus 1999.
► Setiawan, Ordonansi Kepailitan Serta Aplikasinya Kini, Seminar
on International Bussines Law, Petra Christian University,
Surabaya, 3-4 May 2000.
► Sjahdeini, Sutan Remy, “E-Commerce Tinjauan Dari
PerspektifHukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 12, 2001.
BRW/FHUA/2007 13
BEBERAPA REFERENSI (13).
► HASIL PENELITIAN
► Elips, Laporan Studi Komparatif Mengenai Arbitrase di Korea Selatan, Jepang, Hongkong, dan
Singapore, 1994.
► Harahap, M. Yahya, Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan (Alternative Dispute Resolution ),
penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI , 1995/1996.
► Longdong, Tinneke Louise Tuegeh, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958 ,
disertasi FHUI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
► Natabaya, HAS, Pengaruh Putusan Arbitrase Asing Terhadap Peningkatan Ekonomi, penelitian
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI , 1996/1997.
► Proyek Peningkatan Tertib Hukum dan Pembinaan Hukum Mahkamah Agung RI, Beberapa
Yurisprudensi Perdata Yang Penting, edisi II, Jakarta, 1992.
► Proyek Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Intermanual Himpunan Putusan Mahkamah Agung
Tentang Arbitrase, 1989.
► Wibowo, Basuki Rekso, Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis : Suatu Studi
di Kotamadya Surabaya, penelitian DPP/SPP Unair, 1996/1997.
► …………………………,Kompetensi Peradilan Umum Terhadap Putusan Arbitrase, penelitian
DIK Suplemen Unair, 2000

BRW/FHUA/2007 14
BEBERAPA REFERENSI (14).
► PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
► Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) Stb. 1847-52 jo. 1849-60.
► Burgerlijk Wetboek (BW) Stb. 1847-23.
► Het Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (RIB) Stb. 1941-44.
► Undang-Undang No. 5 tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi Tentang
Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai
Penanaman Modal (LNRI tahun 1968 No.32).
► Undang-Undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(LN RI tahun 1997 No. 68 dan TLNRI No 3699).
► Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (LNRI
tahun 1999 No.42).
► Undang-Undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (LN RI tahun
1999 No. 54 dan TLN RI No. 3955).

BRW/FHUA/2007 15
BEBERAPA REFERENSI (15).
► Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (LNRI. tahun 1999 No. 138 – TLNRI 3872).
► Undang Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
► Undang-Undang No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (LN RI tahun 2000
No.242 dan TLN RI No. 4044).
► Undang Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri (LN RI tahun 2000
No.243 dan TLN RI No. 4045).
► Undang Undang No.32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (LN RI
tahun 2000 No. 244 dan TLN RI No. 4046).
► Undang-Undang No. 14 tahun 2001 tentang Paten (LN RI tahun 2001 No. 109 dan
TLN RI No. 4310).
► Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek (LNRI tahun 2001 No. 110 dan
TLN RI No. 4113).
► Undang Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta (LN RI tahun 2002 No. 85 dan
TLN RI No. 4220).
► Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (LNRI tahun 2003 No.
39 dan TLN RI No. 4279).

BRW/FHUA/2007 16
BEBERAPA REFERENSI (16).
► Undang Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (LN tahun 2004 No. 2 dan TLN No. 4356).
► Undang Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
► Undang Undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
► Peraturan Pemerintah No.12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (LNRI
tahun 1998 No. 15 dan TLNRI No.3731).
► Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum (LNRI
ahun 1998 No. 16 dan TLNRI No.3732).
► Keppres No. 34 tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
► Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing”.

BRW/FHUA/2007 17
BEBERAPA REFERENSI (17).
► KONVENSI INTERNASIONAL
► Convention on the Settlement of Investment Disputes
between States and Nationals of other States 1965 jo.
UU No. 5/1968 tentang Persetujuan atas Konvensi
Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan
Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal
(LNRI tahun 1968 No.32).
► Convention on the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards 1958 jo. Keppres No.34 tahun
1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing di Wilayah Indonesia.
BRW/FHUA/2007 18
BEBERAPA REFERENSI (18)
► PUTUSAN PENGADILAN
► Putusan Mahkamah Agung RI No.225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983 dalam perkara
antara Dato Wong Guong dan PT.Metropolitan Timber Ltd vs. Gapki Trading Co. Ltd.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 2424 K/Sip/1981 tanggal 22 Pebruari 1982 dalam perkara
antara Sutomo qq. PT.Balapan Jaya vs. Ahju Forestry Company Ltd.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 455 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara
Sohandi Kawilarang vs. PT.Maskapai Asuransi Ramayana.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 794 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara
Sohandi Kawilarang vs. PT.Asuransi Royal Indrapura.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 795 K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983 dalam perkara antara
Sohandi Kawilarang vs. PT.Asuransi Indrapura.
► Putusan Mahkamah Agung No.2944 K/Pdt/1983 tanggal 29-11-1984 jo. Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No.2288/Pdt.P/1979 tanggal 10 Juni 1981 antara PT.Nizwar vs.Navigation
Maritime Bulgare.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 1851 K/Pdt/1984 tanggal10 Desember 1985 dalam perkara
antara S.M. Pardede vs. Ir. Syafei Juremi dkk;
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 dalam perkara antara
PT.Arpeni Pratama Ocean Line vs. PT.Shorea Mas.

BRW/FHUA/2007 19
BEBERAPA REFERENSI (19)
► Putusan Mahkamah Agung RI No.3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 dalam perkara
antara PT.Batu Mulia Utama vs. SSC. (Sainrapt et Brice Societe Auxiliare
D’Enterprises Societe Routire Colas).
► Putusan Mahkamah Agung No. 1/Banding/wasit/1981 tanggal 14 Mei 1984 antara
PT.Multi Plaza Properties vs. Yahya Wijaya.
► Putusan Mahkamah Agung No.4231 K/Pdt/1986 jo. Putusan Pengadilan Tinggi
JakartaNo.512/PDT/1985/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
64/Pdt.G/1984/PN.Jkt.Sel dalam perkara PT.Bakri & Brothers vs.Trading Corporation
of Pakistan Ltd.
► Putusan Mahkamah Agung No.1/Banding/Wasit/1986 tanggal 12 Pebruari 1987
jo.Putusan BANI No. 5/XII-5/85 tanggal 30 Desember 1985. antara Zainal
Efendivs.Pt. Karya Tehnindo Jaya.
► Putusan Mahkamah AgungNo.2/Banding/Wasit/1986 tanggal 22 April 1987 jo. Badan
PemisahNo.01/IV/P.Arb/1986 tanggal 17 April 1986 antara CV. Lempuing Bengkulu
vs.Ny.Hajar Rifai.
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 3954 K/Pdt/1989 tanggal 9 Nopember 1993 antara
Memet Sulaiman qq. PT.Triguna Ikhlas vs. CV.Sinar Surya Kencana .

BRW/FHUA/2007 20
BEBERAPA REFERENSI (20)
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 1203 K/Pdt/1990 tanggal 4 Desember 1991 jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.485/Pdt/PT.DKI tanggal 14 Oktober 1989 jo.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 736/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst tangghal
29 Juni 1989 antara E.D. F.Man (Sugar) Ltd v.s Yani Hariyanto;
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 1205 K/Pdt/1990 tanggal 4 Desember 1991 jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 486/Pdt/PT.DKI tanggal 14 Oktober 1989 jo.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 499/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst tanggal 29
Juni 1989 antara E.D. F.Man (Sugar) Ltd vs. Yani Hariyanto;
► Putusan Mahkamah Agung RI No. 12 K/N/1999 jo. Putusan. Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung No. 13 PK/N/1999 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta No.
14/Pailit/1999/ PN Niaga/Jkt.Pst antara PT Enindo dan Kelompok Tani FSSP
melawan PT Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporatio
► Putusan Mahkamah Agung No.3145 K/Pdt/1999 tanggal 30 Januari 2001 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Timur No. 730/PDT/1998/PT.Sby tanggal 20 Nopember
1998jo.putusan Pengadilan Negeri Surabaya No.96/Pdt.G/1998/PN.Sbu tanggal 15
Juni 1998 dalam perkara antara Tjong Yenny Sukmawaty vs. .PT. Surabaya Land.

BRW/FHUA/2007 21
BEBERAPA REFERENSI (21).
► Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali No. 010 PK/N/2001 tanggal 16
Mei 2001 jo. Putusan Mahkamah Agung dalam Kasasi No. 05K/N/2001 tanggal 19
Pebruari 2001 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
No.80/Pailit/2000/P.Niaga/Jkt.Pst tanggal 21 Desember 2000jo. Putusan BANI Jakarta
No. 5/X-09/ARB/BANI/99 tanggal 19 Oktober 1999, dalam perkara antara
PT.Trakindo Utama vs. PT.Hotel Sahid Jaya International.
► Putusan Mahkamah Agung No. 01/Banding/Wasit/2001 tanggal 2 Maret 2001 jo.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 167/Pdt.P/2000/PN.Jak.Sel tanggal 18
September 2000 jo. Putusan BANI No. 5/V-29/ARB/BANI/2000 tanggal 25 Mei 2000
antara PT.Danareksa Jakarta International vs PT. Ssangyong Engineering &
Construction dan PT Murinda Iron Stell.
► Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.764/Pdt.P/1996/PN.Jkt.Bar tanggal 18
Juni 1997 dalam perkara pengangkatan arbitrator antara T. Dharma Niaga Ltd
(Indonesia) dengan Hati Prima Potash Pte.Ltd (Singapore).
► Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 86/Pdt.G/2002/PN. Jkt.Pst dalam perkara
antara Pertamina melawan Karaha Bodas Company LLC dan PT. PLN Persero

BRW/FHUA/2007 22
PENGERTIAN ARBITRASE
“……adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat para pihak yang bersengketa”
(ps. 1 ayat 1 UU No.30/1999).

“…..a method of dispute resolution involving one or more


neutral third parties who are agreed to by the disputing
parties and whose decision is binding” (Black’s Law
Dictionary, seventh edition, 1999).

BRW/FHUA/2007 23
PERISTILAHAN
Istilah “Arbitrase” berasal dari istilah Arbitrare
(bahasa Latin) yang maknanya adalah
kewenangan memutus sengketa berdasarkan
kebijaksanaan. Arbitration (bahasa Inggris) atau
Arbitrage (bahasa Belanda), “Perwasitan”
(Penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU No.14/1970
tentang Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan
Kehakiman, sedangkan istilah Arbitrase
digunakan dalam UU No.30/1999.
BRW/FHUA/2007 24
Penjelasan Pengertian Arbitrase
► Sengketa perdata = perdata khusus dalam ruang lingkup hukum
perdagangan, (ps. 5 (1) jo. 66 (b) UU No.30/1999 (penjelasan), yang
meliputi : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri
dan hak kekayaan intelektual.
► Diluar Peradilan umum = out of (state) court dispute settlement. Ps. 1 ke-1,
jo. Ps 3, Ps. 11 (2) UU No.30/1999;
► Berdasarkan perj. arbitrase = kesepakatan tertulis para pihak untuk
menyelesaikan sengketa yg akan terjadi (pactum de compromi tendo) atau
sengketa yg terjadi (acta van compromise). Ps 1 ke-3, Ps. 4 (2), 7, 9 (1,3), 11
(1) UU No.30/1999;
► Dibuat para pihak bersengketa = subyek hukum menurut hukum perdata
maupun hukum publik. Orang perorangan sebagai pribadi maupun, badan
hukum perdata maupun badan hukum publik.
► Ps. 1 (2) UU No.30/1999.

BRW/FHUA/2007 25
KOMPETENSI ABSOLUT
ARBITRASE
► Pasal 5 ayat (1) : “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa”.
► Ayat (2) : “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian”.
► Catatan :
► Norma terkandung ayat (1) : apa yang dimaksud dengan “sengketa
perdagangan” dapat ditafsirkan dari penjelasan Pasal 66 huruf “b”, yang
meliputi perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan
HKI yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak bersengketa.
► Norma terkanding ayat (2) : secara a contrario, kompetensi aboslut arbitrase
mencakup sengketa yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui
perdamaian.

BRW/FHUA/2007 26
Frank Elkouri & Edna Asper Elkouri, How
Arbitration Works, Fifth Edition, 1997,

► ”Arbitration as an institution is not new, having been in use


many centuries before the beginning of the English Common
Law…………...
► King Solomon was an arbitrator and the procedure he used
was in many respects similar to that used by arbitrators
today.
► Philip II of Macedon, the father of Alexander the Great, in
his treaty of peace with the city-states of southern Greece
circa 338-337 BC, specified the used of arbitration in
disputes between members over vexed territory”.

BRW/FHUA/2007 27
ARBITRASE DI INDONESIA
► Eksistensi arbitrase sudah dikenal sejak jaman penjajahan dan
diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvoerdering
(RV) Stb. 1847 – 52, Pasal 615 s/d 651. Pada dasarnya hanya
berlaku bagi penduduk Hindia Belanda, golongan Eropa.

► Berdasarkan Ps. 377 HIR/705 RBG, bagi golongan Bumiputera


dapat menggunakan arbitrase, dengan syarat melakukan
penundukan hukum terhadap RV.

► Pada saat itu terjadi penggolongan penduduk Hindia Belanda,


menjadi 3 golongan, yakni Gol. Eropa, Gol Timur Asing
(Tionghoa dan bukan Tionghoa), serta Gol Bumiputera yang
masing2 tunduk pada hukum perdata berbeda (Ps. 131 dan 163
Indische Staatsregeling).
BRW/FHUA/2007 28
Mauro Rubino Sammartano,
International Arbitration Law, 1990,

► ”While arbitration is known in the large


majority of legal system, in some of them it takes
a different shape. Inevitably this sometimes
reflects local problems and sometimes a
different approach to the entire legal system.

BRW/FHUA/2007 29
SUMBER HUKUM ARBITRASE
PERDAGANGAN DI INDONESIA
► UU No. 30/1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa
(mencabut Pasal 615 s/d 651 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
Stb 1847-52,

► Konvensi New York 1958 – Convention on the Recognition and Enforcement


of Foreign Arbitral Awards yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
berdasarkan Keppres No.34/1981; Konvensi Washington 1965 – Convention
on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of
other States yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan UU
No.5/1968.

► UU 1/1967 (UUPMA) sebagaimana diubah & ditambah dengan UU 11/1970


yang kemudian dicabut dengan UU No. 25/2007 (UUPM),

► PERMA No.1/1990 tentang Prosedur Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

BRW/FHUA/2007 30
UU 30/1999 TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENY. SENGKETA MERUPAKAN
SUMBER HUKUM UTAMA ARBITRASE
INDONESIA
Sistematika :
Terdiri dari 11 Bab, 82 Pasal, dilengkapi dengan Penjelasan.
Pengaturan Arbitrase dalam 81 Pasal, sedangkan pengaturan
Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya (negosiasi, mediasi,
konsiliasi) hanya dalam 1 Pasal (yakni pada Pasal 6 saja).

Catatan :
Arbitrase dilakukan sesuai dengan syarat, prosedur, serta proses
yang diatur “hukum acara arbitrase” yang dalam beberapa hal
mirip dengan hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan.
Adapun pada negosiasi, mediasi dan konsiliasi dapat dilakukan
sesuai kehendak para pihak tanpa harus menggunakan hukum
acara tertentu. Kecuali mediasi di muka Pengadilan (Perma
No.02/2003) yang dilakukan sesuai acara mediasi.
BRW/FHUA/2007 31
ALASAN UTAMA PARA PIHAK
MEMILIH ARBITRASE
1. Otonomi para pihak yang luas;
2. Keahlian arbitrator;
3. Jaminan kerahasiaan subyek, substansi, serta proses
berperkara;
4. limitasi waktu proses arbitrase;
5. Putusan arbitrase bersifat final & mengikat;
6. Eksekutabilitas putusan Arbitrase.
7. Lintas jurisdiksi pada arbitrase internasional.
8. Dll.

BRW/FHUA/2007 32
PENORMAAN PRINSIP PRINSIP
ARBITRASE KE DALAM UU
30/1999
► Pada dasarnya terdapat universalitas prinsip prinsip
umum arbitrase yang berlaku di berbagai negara,
kecuali hal-hal spesifik maupun aturan teknis
pelaksanaannya yang dapat berbeda antara masing
masing negara,
► Prinsip prinsip arbitrase yang telah dinormakan ke
dalam UU (UU 30/1999) menjelma menjadi aturan
hukum positip, baik yang bersifat memaksa (dwingen
recht) maupun yang bersifat mengatur (regelend recht).

BRW/FHUA/2007 33
1. OTONOMI PARA PIHAK :

A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH FORUM


(Choice of Arbitration Forum)
Para pihak berdasarkan perjanjian tertulis dapat
memilih penyelesaian sengketa melalui cara
arbitrase. Apakah Arbitrase ad hoc ataukah
arbitrase institusional (ps. 6 ayat 9), serta apakah
Arbitrase Nasional ataukah Arbitrase
Internasional (ps. 34 ayat 1).
BRW/FHUA/2007 34
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
► CATATAN :
Dewasa ini dalam kontrak2 komersial, terutama kontrak internasional, pada
umumnya telah mencantumkan “dispute settlement caluse” yang memilih
penyelesaian sengketa melalui “arbitrase”. Pertimbangannya, selain efisiensi
waktu, ekspertise arbitrator, pemeriksaannya tertutup (private & confidential),
juga putusannya bersifat final & binding. Putusan arbitrase internasional
bersifat “trans jurisdiksi”, sehingga dapat dimohonkan pengakuan dan
pelaksanaannya di wilayah Negara lain.

Sebaliknya para pihak, dalam kontrak kemersial internasional, pada umumnya


menghindari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Nasional salah satu
pihak (kontraktan). Selain karena alasan ketidakpahaman prosedur dan proses
hukumnya, juga karena adanya kekuatiran terjadinya “pemihakan” Pengadilan
terhadap pihak (tuan rumah) yang bersengketa. Selain daripada itu, putusan
Pengadilan Nasional suatu negara tidak memiliki efek mengikat dan efek
eksekutorial di wilayah negara yang lain.

BRW/FHUA/2007 35
A. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH
FORUM (Choice of Arbitration Forum)
► CATATAN :
Pencantuman “dispute settlement clause”, dalam hal ini
“arbitration clause” dalam kontrak komersial seringkali dijuluki
sebagai “midnight clause”. Artinya, merupakan klausula yang
terakhir mendapat perhatian para pihak, setelah mereka
merampungkan substansi kontrak lainnya. Hal tersebut karena
tujuan utama para pihak mengadakan kontrak adalah untuk
melaksanakan kontrak itu sendiri. Mereka justru tidak
menginginkan atau menghindarkan terjadinya sengketa. Karena
itu, pencantuman “dispute settlement clause” semata-mata
sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya sengketa di
kemudian hari, meskipun sengketa tersebut belum tentu terjadi
dan pada dasarnya tidak dikehendaki terjadi.
BRW/FHUA/2007 36
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
► (1). flexibility,
► (2). focusing on the main issues,
► (3). speed,
► (4). cost.
► Martin Hunter, Freshfileds Guide to Arbitration and
ADR : Clauses in International Contracts, 1993,

BRW/FHUA/2007 37
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
► (1). choice of tribunal;
► (2). privacy and confidentiality;
► (3). speed;
► (4). technical expertise;
► (5). enforceability of award;
► (6). cost;
► (7). Representation;
► (8) flexibility of procedure;
► (9). extent of jurisdiction

► Chaterine Tay Swee Kian, Resolving Disputes by Arbitration :


What You Need to Know, 1998,

BRW/FHUA/2007 38
Alasan memilih arbitrase, antara
lain :
► Chaterina Tay Swee Kian : “Today, commercial
arbitration is widely used by businessmen in
fields such a construction, building, engineering,
shipping, insurance, banking and finance,
transportation, professional practice, etc”.
► M. Yahya Harahap, 1991, “commercial
arbitration” is “a bussines executive court”.

BRW/FHUA/2007 39
ARBITRASE :
BENTUK & LINGKUPNYA

DARI SEGI BENTUKNYA, DIBEDAKAN MENJADI


DUA MACAM :
1. ARBITRASE INSTITUSIONAL.
2. ARBITRASE AD HOC.

DARI SEGI LINGKUPNYA, DIBEDAKAN


MENJADI DUA MACAM :
1. ARBITRASE NASIONAL.
2. ARBITRASE INTERNASIONAL.
BRW/FHUA/2007 40
ARBITRASE LEMBAGA
(INSTITUTIONAL ARBITRATION)
► Disebut juga sebagai arbitrase permanen yang eksistensinya
sengaja didirikan oleh komunitas tertentu dalam rangka
untuk melayani kebutuhan jasa penyelesaian sengketa para
pihak bersengketa.
► Misalnya, di Indonesia :
► BANI, didirikan oleh KADIN.
► BAMUI, didirikan oleh MUI & BANK MUAMALLAT
► BAPMI, didirikan oleh BAPEPAM, HKHPM, BEJ, dll
► BAORI, didirikan oleh KONI,
► dll

BRW/FHUA/2007 41
LEMBAGA ARBITRASE
INTERNASIONAL
► American Arbitration Association (AAA) berkedudukan di
New York,
► International Chamber of Commerce Court of Arbitration
(ICC) di Paris,
► International Centre for the Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington DC,
► Stockholm Chamber of Commerce (SCC) di Stockholm,
London Court of International Arbitration (LCIA)
► Permanent Court of Arbitration (PCA) di Hague
Netherlands,
► Singapore International Arbitration Centre (SIAC),
► Kualalumpur Regional Centre for Arbitration (KRCA),
► dll
BRW/FHUA/2007 42
LEMBAGA ARBITRASE
DI INDONESIA
► Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
► Badan Arbitrase Muammalat Indonesia (BAMUI)
kemudian berganti menjadi Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS)
► Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia
(P3BI).
► Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI),
► Badan Arbitrase Olah Raga Indonesia (BAORI).
► DLL

BRW/FHUA/2007 43
ARBITRASE AD HOC
► Arbitrase ad hoc dibentuk secara khusus untuk
menyelesaikan suatu sengketa tertentu yang telah
terjadi, sehingga bersifat insidentil atau “case by case”.

► Karena sifatnya insidentil, maka arbitrase ad hoc


dengan sendirinya menjadi bubar setelah sengketa
dagang yang diajukan kepadanya telah dijatuhkan
putusan.

BRW/FHUA/2007 44
ARBITRASE BERDASARKAN
RUANG LINGKUPNYA
DIBEDAKAN MENJADI 2 MACAM :
►ARBITRASE NASIONAL, DAN
►ARBITRASE INTERNASIONAL/ASING.
► UU NO.
30/1999 TIDAK MEMBERIKAN
PENGERTIAN YANG JELAS TENTANG
APA YANG DIMAKSUD DENGAN
ARBITRASE NASIONAL MAUPUN
ARBITRASE INTERNASIONAL.
BRW/FHUA/2007 45
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT
DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL

► Pasal 1 (9) UU No.30/1999 “Putusan Arbitrase


Internasional” adalah : “….putusan yang dijatuhkan
oleh suatu lembaga atau arbiter perorangan
di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan yang
menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional”.
BRW/FHUA/2007 46
PENGERTIAN ARBITRASE INTERNASIONAL DAPAT
DITAFSIRKAN DARI PENGERTIAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL

► Bertolak dari rumusan pasal 1 ayat (9) UU No.


30/1999, maka yang dimaksud dengan Arbitrase
Internasional adalah Arbitrase yang putusannya
dijatuhkan di luar wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, atau yang menurut hukum
Indonesia dianggap sebagai Arbitrase
Internasional.

BRW/FHUA/2007 47
UU NO.30/1999 TIDAK MEMBERIKAN BATASAN JELAS
TENTANG MAKNA ARBITRASE NASIONAL
DAN ARBITRASE INTERNASIONAL

► UU No.30/1999 menggunakan istilah “arbitrase


internasional”.
► Perma No. 1/1990 menggunakan istilah “arbitrase
asing”,
► Konvensi New York, 1958, menggunakan istilah
“foreign arbitration”.
masing masing istilah digunakan saling bergantian
untuk maksud yang sama (interchangeable).

BRW/FHUA/2007 48
INTERNATIONAL ARBITRATION

► ”Naturally , the question can be asked wheter there is a place for international
arbitration in addition to national and foreign arbitration, or wheter in reality
international arbitration is merely a synonym for foreign arbitration”.

► “…….for example, Swedish law (Foreign Arbitration Agreements and Awards Act
No.147/1929) defines as “foreign” that arbitration which takes place in a foreign
country, or in Sweden, but in which one of the parties is not Swedish……....”.

► “…However, arbitration which takes place in a given state, but contains elements
external to that legal system, is generally treated as international arbitration…”

► “……As we have seen, the recurring definition of international arbitration is based on


the different nationality, or domicilie, of the parties to the proceedings

MAURO RUBINO SAMARTANO, International Arbitration Law, Kluwer Law and


Taxation Publishers, GA Deventer, 1990.

BRW/FHUA/2007 49
ARBITRASE NASIONAL
Secara a contrario, Pengertian Arbitrase Nasional
adalah arbitrase yang putusannya dijatuhkan di wilayah
Negara Republik Indonesia, atau yang menurut Hukum
Indonesia dianggap sebagai Arbitrase Nasional.
Arbitrase nasional tidak mengandung “unsur asing”
sama sekali. Misalnya, A dan B, keduanya WNI,
sepakat memilih forum arbitrase yang berkedudukan di
Indonesia, proses arbitrase berlangsung di Indonesia,
menggunakan hukum Indonesia, serta menyangkut
obyek sengketa di Indonesia.

BRW/FHUA/2007 50
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION
VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Dalam memilih tempat (Negara) penyelenggaran Arbitrase
Internasional, perlu dipetirmbangkan faktor faktor :
Favourable legal environment .
Tempat penyelenggaraan arbitrase di negara yang dinilai telah
memiliki sistem hukum & tradisi hukum yang kuat dan dapat
dipercaya kehandalannya;
Enforceability of arbitration award.
Negara yang bersangkutan haruslah negara peserta Konvensi
New York 1958, serta memiliki perjanjian bilateral dengan
negara para pihak maupun negara tempat pelaksanaan putusan
arbitrase nantinya.

BRW/FHUA/2007 51
B. OTONOMI PARA PIHAK MEMILIH TEMPAT
ARBITRASE (CHOICE OF ARBITRATION
VENUE)
Ps. 37 (1) UU 30/1999.
Catatan :
Adalah sangat beresiko bagi para pihak apabila memilih
tempat penyelenggaraan arbitrase internasional di suatu
negara yang tidak memiliki stabilitas serta sistem
hukum dan tradisi hukumnya masih dinilai lemah,
sebagaimana umumnya di negara berkembang. Selain
daripada itu, perlu dipastikan apakah negara yang
bersangkutan telah meratifikasi Konvensi New York
1958 ataukah tidak. Hal itu sangat terkait nantinya
dengan eksekutabilitas putusan arbitrase internasional.

BRW/FHUA/2007 52
C. Otonomi Para Pihak Memilih Hukum
(Choice of Law)
► C.1. Memilih Hukum Materiil (ps. 56 ayat 2);
Pilihan hukum materiil pada umumnya dijumpai dalam
perjanjian diantara pihak-pihak yang dikuasai dan tunduk
terhadap hukum materiil yang berlainan. Perjanjian dagang
internasional yang bersifat “cross border”. Hukum pilihan
para pihak berlaku terhadap perjanjian, akibat hukum yang
timbul, maupun sebagai dasar hukum bagi penyelesaian
sengketa yang timbul di kemudian hari. Perjanjian dagang
internasional mengandung “element asing”
Sedangkan, pada perjanjian diantara pihak2 yang tunduk dan
dikuasai hukum materiil (nasional) yang sama, maka tidak
relevan melakukan pilihan hukum materiil lain.
.

BRW/FHUA/2007 53
C.2. Pilihan hukum hanya relevan dengan
kontrak dagang internasional,
► Pasal 56 (2) jo. Pasal 31 (1) dan 34 (2) UU No.30/1999
mengatur tentang kemungkinan para pihak melakukan
pilihan hukum, baik terhadap hukum materiil maupun
hukum formil.

► CATATAN :
Persoalan pilihan hukum tidak semata-mata ditentukan
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak serta
otonomi para pihak saja, melainkan perlu juga
diperhatikan prinsip-prinsip hukum lain yang berlaku.
Antara lain tidak boleh melanggar prinsip “dwingend
recht”, “openbare orde”, “public policy”.
BRW/FHUA/2007 54
C.3. Memilih Hukum Formil
(ps 31 jo. 34 ayat 2);
Pasal 31 (1) : “para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan
bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam UU 30/1999”.

Pasal 31 (2) : dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri


ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam
pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk
berdasarkan Pasal 12, 13 dan 14, semua sengketa yang
penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase
akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam UU
30/1999.

BRW/FHUA/2007 55
C.3. Memilih Hukum Formil
(ps 31 jo. 34 ayat 2);
► Pasal 31 (3) :
Dalam hal para pihak telah memilih acara
arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1), harus
ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka
waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase.
► Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak
ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang
akan menentukan.
BRW/FHUA/2007 56
Catatan Ps. 31 jo. 34 ayat 2.
► Apabila para pihak bermaksud mengadakan pilihan hukum
formil, maka hal itu harus diperjanjikan secara tegas, sepanjang
hukum formil yang dipilih tidak bertentangan dengan UU
No.30/1999. Pilihan hukum formil, dalam arbitrase internasional
harus dilakukan secara hati-hati.

► Oleh karena apabila hukum formil yang dipilih dalam suatu


arbitrase internasional dinilai bertentangan dengan ketertiban
umum i.c. UU No.30/1999, maka Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat berwenang menolak memberikan pengakuan dan
melaksanakan putusan Arbitrase Internasional tersebut di
wilayah Republik Indonesia (Vide Pasal 65 jo. 66 huruf “c”).

BRW/FHUA/2007 57
C.4. Cara Pemilihan Hukum;

Pilihan hukum dilakukan dengan cara :


► (a). pilihan hukum yang dilakukan secara tegas;
► (b). pilihan hukum yang dilakukan secara diam- diam;
► (c). pilihan hukum berdasarkan anggapan;
► (d). pilihan secara hipotetis.

BRW/FHUA/2007 58
C.4. Cara Pemilihan Hukum;
Pada pilihan hukum secara tegas kiranya telah jelas
tentang apa yang dimaksud dan diinginkan oleh para
pihak dalam perjanjian. Para pihak telah dengan tegas
memilih suatu hukum tertentu .
► Pilihan hukum yang dilakukan secara diam-diam,
meskipun mengandung sedikit keraguan tentang apa
sesungguhnya hukum pilihan para pihak, namun masih
dimungkinkan untuk menyelidiki berbagai faktor
obyektif untuk dijadikan pedoman dalam menentukan
hukum pilihan para pihak.
► Pilihan hukum secara anggapan dan secara hipotetis
menimbulkan keraguan yang semakin tinggi.
BRW/FHUA/2007 59
C.5. CHOICE OF LAW & APPLICABLE
LAW
Hukum Pilihan Para Pihak (law of the parties) berlaku sebagai
hukum yang diberlakukan/ diterapkan terhadap sengketa
(applicable law/ governing law), termasuk terhadap
penyelesaian sengketa yang terjadi atau akan terjadi di antara
mereka dan dipergunakan sebagai dasar bagi arbitrator atau
majelis arbitrase untuk memutuskan sengketa.

► C.6.Pilihan hukum hanya dilakukan dalam bidang hukum


perjanjian yang bersifat mengatur (regelend recht) dan tidak
terhadap hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht).
► Pilihan hukum dibatasi pada sistem hukum yang memiliki
hubungan riil dengan dengan substansi perjanjian (the most
characteristic connection).

BRW/FHUA/2007 60
CHOICE OF LAW
WITH A BONAFIDE INTENTION
► pilihan hukum tidak dapat diarahkan pada hukum yang
tidak kaitannya sama sekali dengan substansi
perjanjian.
► Pilihan hukum juga tidak dapat dilakukan dengan
maksud sebagai tindakan penyelundupan hukum.
► Pilihan hukum harus dilakukan dengan maksud-maksud
yang baik (made with a bonafide intention) dari pihak-
pihak yang terlibat di dalam perjanjian yang
bersangkutan.

BRW/FHUA/2007 61
D. Otonomi Para Pihak Memilih Arbitrator/Arbiter
(Choice of Arbitrator) :

D-1, PENGERTIAN ARBITER (Pasal 1 ke-7) :

“Arbiter adalah seorang atau lebih yang :DIPILIH OLEH


PARA PIHAK YANG BERSENGKETA, atau yang
DITUNJUK OLEH PENGADILAN NEGERI, atau OLEH
LEMBAGA ARBITRASE, untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu yang diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase”.

BRW/FHUA/2007 62
D. Memilih Arbitrator/Arbiter
(Choice of Arbitrator) :
► CATATAN :
Pemilihan arbitrator pada dasarnya merupakan
opsi para pihak bersengketa. Namun apabila opsi
tersebut tidak digunakan oleh para pihak, atau
karena terdapat hambatan prosedural dalam
pemilihannya, maka pemilihan arbitrator
dilakukan oleh Pengadilan atau oleh Lembaga
Arbitrase.

BRW/FHUA/2007 63
D.2. Syarat Syarat Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 1);
► (a). cakap melakukan tindakan hukum;
► (b). berumur paling rendah 35 tahun;
► (c). tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa;
► (d).tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan
lain atas putusan arbitrase;
► (e).memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidang paling sedikit 15 tahun.

BRW/FHUA/2007 64
CATATAN TERHADAP PASAL 12 :
SYARAT MENJADI ARBITRATOR
► Rumusan Ps. 12 (a) bersifat berlebihan, karena secara
otomatis untuk bertindak sebagai arbitrator harus cakap
melakukan perbuatan hukum;

► Rumusan Ps. 12 (b) tidak jelas apa “ratio legis”


pengaturan batasan umur minimal arbitrator;

► Rumusan Ps. 12 (c & d), mengandung “ratio legis” agar


tidak terjadi “conflict of interest” antara arbitrator
dengan pihak2 berperkara;

BRW/FHUA/2007 65
CATATAN TERHADAP PASAL 12 :
SYARAT MENJADI ARBITRATOR
► Rumusan Ps. 12 (e) tidak jelas apa “ratio legisnya” penentuan 15
tahun “pengalaman” dan “menguasai secara aktif di bidang”nya.
► Persoalan penentuan “15 tahun” dihitung dari mana serta apakah
hal itu berlangsung secara terus menerus ?
► Persoalan lainnya “siapa” yang kompeten menilai adanya
“pengalaman” dan “menguasai secara aktif di bidangnya”
tersebut ?
► Apakah semata-mata berdasarkan anggapan ataukah harus
dibuktikan melalui sertifikasi keahlian yang diterbitkan oleh
asosiasi profesi atau lembaga yang kompeten ?

BRW/FHUA/2007 66
Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI.

(a). warganegara Indonesia;


► (b). cakap melakukan tindakan hukum;
► (c). berumur paling rendah 35 tahun;
► (d). memiliki pengalaman serta menguasai secara
aktif bidangnya paling sedikit 15 tahun;
► (e). tidak pernah dihukum karena suatu tindak
pidana kejahatan berdasarkan putusan yang telah
mempunyai kekuatan pasti;
► (f). tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

BRW/FHUA/2007 67
Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI.

► (g). bukan merupakan pihak-pihak yang dilarang


untuk menjadi arbiter oleh ketentuan perundang-
undangan yang berlaku;
► (h). terdaftar sebagai anggota dari asosiasi,
himpunan, ikatan dan/atau bentuk organisasi lain
yang telah menjadi anggota BAPMI;
► (i). berpendidikan minimum sarjana atau setara
► (j). telah memperoleh ijin orang perorangan profesi
pasar modal dari BAPEPAM atau terdaftar sebagai
profesi penunjang pasar modal di BAPEPAM;

BRW/FHUA/2007 68
Syarat Sebagai Arbitrator BAPMI
► (k). tidak termasuk dalam Daftar Orang Tercela dan/atau daftar
orang yang tidak boleh melakukan tindakan tertentu di bidang
pasar modal sesuai dengan daftar yang dikeluarkan oleh
BAPEPAM dan/atau tidak pernah dihukum karena suatu tindak
pidana yang terkait dengan masalah ekonomi dan/atau keuangan;
► (l). memahami ketentuan perundang-undangan di bidang pasar
modal dan bidang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Indonesia;
► (m). memahami Peraturan dan Acara BAPMI;
► (n). bukan merupakan pejabat di bidang pengawas pasar modal,
direksi bursa efek, atau lembaga kliring dan penjaminan, atau
lembaga penyimpanan dan penyelesaian;
► (o). bukan merupakan pejabat aktif dari instansi peradilan,
kejaksaan atau kepolisian.
BRW/FHUA/2007 69
D.3. Kualifikasi arbitrator :
- ekspert sesuai substansi sengketa,
- profesionalitas,
- berpengalaman,
- obyektif dan imparsialitas,
- jujur dan tidak tercela,
- memiliki reputasi tidak tercela,
- non conflict of interest,
- dll

BRW/FHUA/2007 70
Garry B. Born, International Commercial
Arbitration in the United States, 1994.
► Expertise, several arbitrators will ussualy offer the
broader range of legal, technical, and other expertise
then a single arbitrator;
► Consistency, several arbitrators are less likely to “drop
the ball” by missing or misunderstanding some
fundamental point;
► Communications, several arbitrators are more likely
than a single arbitrator to fully comprehend, and
convey to the parties that verry comprehend, the issue
in the case…….

BRW/FHUA/2007 71
Garry B. Born, International Commercial
Arbitration in the United States, 1994.

► “Perhaps the most vital initial step in any arbitration is the


appointment of the arbitrator or arbitrators who will resolve the
dispute…………”.
► Several factors are relevant :
► Cost, the more arbitrators one has, the more the parties can
generally expect to pay in arbitrator fees and expences;
► Convenience, finding dates on which several arbitrators are all
avaliable is harder than finding dates on which one arbitrators
is avaliable;
► Speed, although much depends on the individual, one arbitrator
can in theory act more quickly than several, since there need not
be intra tribunal consultation;
BRW/FHUA/2007 72
D.4. Single or panel arbitrator
(ps.14 dan 15);
> Para pihak bersengketa dapat menyepakati apakah
arbitrase dilaksanakan dengan model arbiter tunggal
(single) ataukah majelis arbiter (panel).
> Pada arbiter tunggal, para pihak harus sepakat atas
penunjukan figur arbiter tunggal yang bersangkutan.
> Sedangkan pada majelis arbitrase, masing-masing
pihak menunjuk seorang arbiter, selanjutnya arbiter
yang ditunjuk masing-masing pihak tersebut harus
sepakat menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua majelis
arbitrase.

BRW/FHUA/2007 73
D.5. Larangan Menjadi Arbitrator
(ps 12 ayat 2);
“Hakim, Jaksa, Panitera dan Pejabat Peradilan lainnya
tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter”.
Penjelasan : ……agar terjamin adanya obyektifitas
dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter
atau majelis arbitrase.
Secara a contrario, setelah PURNA TUGAS, maka
mereka dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter,
sepanjang memiliki keahlian dan pengalaman sesuai
dengan substansi sengketa. Serta selalu bersikap
profesional, jujur, obyektif, tidak tercela, serta tidak
terdapat “conflict of interest” dengan pihak pihak
bersengketa.
BRW/FHUA/2007 74
D.6. Prosedur pengangkatan
arbitrator (pasal 13 s/d 19);
► Pada prinsipnya arbitrator dipilih oleh para pihak
bersengketa,
► Pada arbiter tunggal, maka arbiter yang bersangkutan
harus disepakati oleh kedua belah pihak bersengketa,
► Pada arbiter majelis, masing2 pihak bersengketa
menunjuk seorang arbiter, selanjutnya masing2 arbiter
tersebut menunjuk arbiter ketiga untuk bertindak
sebagai ketua majelis arbitrase,

BRW/FHUA/2007 75
D.6. Prosedur pengangkatan
arbitrator (pasal 13 s/d 19);
► Apabila para pihak bersengketa tidak mencapai sepakat
menunjuk arbiter (tunggal) atau para arbiter yang telah
ditunjuk oleh para pihak tidak mencapai sepakat
menunjuk arbiter ketiga (ketua majelis), maka atas
permohonan pihak2 bersengketa, Pengadilan
berwenang untuk menunjuk arbiter (tunggal) atau
arbiter ketiga (ketua majelis),
► Atau para pihak bersengketa menyerahkan penunjukkan
arbiter yang bersangkutan kepada lembaga arbitrase

BRW/FHUA/2007 76
D.7. Campur tangan Pengadilan
(pasal 13 s/d 19);
► Campur tangan Pengadilan dalam penunjukkan arbiter dilakukan
atas dasar permohonan pihak2 bersengketa, karena para pihak
gagal mencapai sepakat dalam penunjukkan arbiter, atau para
arbiter yang ditunjuk para pihak gagal mencapai sepakat memilih
arbiter ketiga,
► Campur tangan Pengadilan diperlukan untuk mengatasi
“kebuntuan prosedural” sebagai akibat tidak tercapainya kata
sepakat tentang penunjukkan arbitrator.
► Campur tangan Pengadilan dalam pemberhentian arbiter juga
dilakukan atas permohonan pihak2 bersengketa, karena arbiter
yang ditunjuk terbukti memiliki “conflict of interest”,

BRW/FHUA/2007 77
COURT INTERVENTION
► Istilah “court intervention” merupakan pernyataan yang seringkali ditemukan
dalam berbagai literatur tentang arbitrase bahwa : “The courts role therefore
should be assist the arbitral tribunal to achieve the purpose of arbitration.
Even if a distinction is made between “court intervention” and “court
assistance and supervision” as in article 5 and 6 of the UNCITRAL Model
Law, its appears that in their respective scopes the two concepts largely
overlap”.

► Mauro Rubino Sammartano mencontohkan sebagaimana praktek di Jerman


bahwa : “German law provides for court intervention not only during the
appointment of an arbitrator or a challenge, or if parties do not appoint him,
but also to hear witnesses or expert, who do not voluntary appear before the
arbitrators. Furthermore, the administration oath to witnesses or experts is
always done by the courts. The possibility for court to intervene by placing
their power to the disposal of the arbitrators is certainly a substansial
contribution to a better functioning of arbitral proceedings”.

BRW/FHUA/2007 78
COURT INTERVENTION
► Simmond K.R. et. al. Commercial Arbitrations Law in Asia and the Pacific, Paris,
ICC Publishing SA, 1987, h. 129,mengemukakan tinjauannya di beberapa negara Asia.
Di India bahwa : “the Court intervention may be sought to remove an arbitrator for ,
or in order for an arbitration agreement to cease effect, or to enforce, modify or correct
and award and to grant an extension of the time limit for rendering an award.
► Di Jepang bahwa : “Court intervention may be sought to appoint or replace the
arbitrator, to extend the time limit for rendering an award, to order discovery or the
appearance of witnesses. Demikian pula halnya di Malaysia, bahwa : “……In
Malaysia, the Courts have the authority to appoint or to remove an arbitrator, to extend
the time for rendering an award, to order discovery or the appearance of witnesses”
Pasal II (3) Konvensi New York 1958 yang mengatur :
► “The court of contracting state, when seized of an action in a matter in respect of
which the parties have made an agreement within the meaning of this article shall, at
the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the
said agreement is null and void, inoperative or in capable of being performed” .

BRW/FHUA/2007 79
D.8. Opsi Calon Arbitrator
► Pasal 16 ayat (1) :Seorang yang ditunjuk sebagai arbitrator
memiliki opsi untuk menerima atau menolak penunjukkan
tersebut, dengan alasan menyangkut kompetensi serta
menyangkut hak & kewajiban masing2, atau alasan spesifik
lainnya;

► Pasal 16 ayat (2) mengatur bahwa seseorang yang telah ditunjuk


atau diangkat sebagai arbitrator harus menyatakan secara tegas
dan tertulis tentang sikapnya apakah ia menerima atau menolak
penunjukkan dan pengangkatan tersebut, dan harus disampaikan
kepada para pihak dalam waktu paling lama 14 hari terhitung
sejak penunjukan dan pengangkatannya sebagai arbitrator.

BRW/FHUA/2007 80
D.8. Opsi Calon Arbitrato
► Apabila telah tercapai kesepakatan tertulis antara pihak
pihak yang menunjuk dengan arbitrator yang
bersangkutan, maka terjadi perjanjian perdata yang
menimbulkan hak dan kewajiban timbal balik (pasal 17
ayat 1).
► Arbiter atau para arbiter akan memberikan putusan nya
secara jujur, adil, dan sesuai dgn ketentuan yang
berlaku dan para pihak akan menerima putusannya
secara final dan mengikat seperti yang diperjanjian
bersama (pasal 17 ayat 2).
BRW/FHUA/2007 81
D.8. Opsi Calon Arbitrator
► Seorang calon arbitrator yang diminta oleh salah satu
pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib
memberitahukan kepada pihak tentang hal yang
mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan ke berpihakan putusan yang akan
diberikan (pasal 18 ayat 1).
► Seorang yang menerima penunjukkan sebagai
arbitrator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
diberitahukan kepada para pihak mengenai
penunjukkannya (pasal 18 ayat 2).
BRW/FHUA/2007 82
D.8. Opsi Calon Arbitrator
► Pasal 19 UU No.30/1999 : seseorang menerima
penunjukan dirinya sebagai arbitrator sebagaimana
dimaksud Pasal 16 UU No.30/1999, maka tidak dapat
menarik diri kecuali atas persetujuan para pihak.
► Pengunduran diri arbitrator diajukan secara tertulis
kepada para pihak. Apabila disetujui, maka arbitrator
dibebaskan dari tugas sebagai arbitrator, sedangkan
apabila tidak disetujui maka pembebasan tugas sebagai
arbitrator ditetapkan oleh Pengadilan.

BRW/FHUA/2007 83
D.8. Opsi Calon Arbitrator
► Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima
penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud
Pasal 16, maka yang bersangkutan tidak dapat
menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak
(pasal 19 ayat 1).
► Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam pasal
19 ayat (1) yang telah menerima penunjukkan dan
pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang
bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada para pihak (pasal 19 ayat 2).
BRW/FHUA/2007 84
D.8. Opsi Calon Arbitrator
► Dalam hal para pihak dapat menyetujui
permohonan penarikan diri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas
sebagai arbitrator (pasal 19 ayat 3);
► Dalam hal permohonan penarikan diri tidak
mendapatkan persetujuan para pihak,
pembebasan tugas arbitrator ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri,
BRW/FHUA/2007 85
D.9. Perjanjian Perdata antara Arbitrator
dengan Pihak yg Menunjuknya (ps 17 ayat 1);
► Peran arbitrator tidak identik dengan peran lawyer, meskipun
seorang lawyer dapat saja ditunjuk sebagai arbitrator.
► Paradigma peran lawyer dan arbitrator berbeda satu sama lain,
lawyer memihak kepentingan klien, sedangkan arbitrator harus
tetap independen, obyektif & imparsial.
► Hubungan lawyer dengan klien atas dasar surat kuasa, sedangkan
hubungan arbitrator dengan pihak berperkara berdasarkan
perjanjian perdata;
► Peran lawyer mengurus perkara klien sesuai dengan surat kuasa
yang diberikan klien, sedangkan arbitrator memeriksa dan
memutus perkara berdasarkan pengalaman dan keahlian yang
dimilikinya.

BRW/FHUA/2007 86
D.9. Perjanjian perdata antara arbitrator
dgn pihak yg menunjuknya (ps 17 ayat 1);
► Perjanjian perdata antara arbitrator dengan pihak yang
menunjuknya menimbulkan hak dan kewajiban secara
resiprositas. Arbitrator yang telah menyatakan
kesediaannya untuk diangkat sebagai arbitrator
berkewajiban untuk memberikan jasa layanan berupa
kemampuan melakukan memeriksa dan memutus
sengketa sesuai keahlian &pengalamannya.
► Perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana berlaku bagi ketentuan perjanjian pada
umumnya, termasuk segala akibat hukum maupun hak
dan kewajiban yang timbul dari adanya perjanjian
perdata tersebut.
BRW/FHUA/2007 87
D.9. Perjanjian perdata antara arbitrator
dgn pihak yg menunjuknya (ps 17 ayat 1);
Arbitrator berhak mendapatkan imbalan atas jasa dan
keahlian yang akan diberikannya yang berupa
honorarium maupun berbagai fasilitas lain yang
diperlukan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
kewajibannya.
► Konsekuensinya, apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan isi perjanjian tersebut dapat dikatakan
telah melakukan wanprestasi oleh karenanya dapat
digugat secara perdata oleh pihak yang dirugikan ke
muka Pengadilan;
BRW/FHUA/2007 88
D.10. Tuntutan Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Terhadap arbitrator dapat diajukan tuntutan ingkar
apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbitartor akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
putusan (pasal 22 ayat 1);
► Tuntutan ingkar terhadap arbitrator dapat pula
dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan
kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan
salah satu pihak atau kuasanya (pasal 22 ayat 2).

BRW/FHUA/2007 89
D.10. Tuntutan Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Hak ingkar terhadap arbitrator yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan (pasal 23 ayat 1);
► Hak ingkar terhadap terhadap arbitrator tunggal
diajukan kepada arbitrator yang bersangkutan (pasal 23
ayat 2);
► Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan
kepada majelis arbitrase yang bersangkutan (pasal 23
ayat 3).

BRW/FHUA/2007 90
D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Arbitrator yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan,
hanya dapat diingkar berdasarkan alasan yang baru diketahui
pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan
arbitrator yang bersangkutan (pasal 24 ayat 1);
► Arbitrator yang diangkat dengan penetapan Pengadilan, hanya
dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah
adanya penerimaan penetapan Pengadilan tersebut (pasal 24 ayat
2).
► Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukkan seorang
arbitrator yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan
tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 hari sejak
pengangkatan (pasal 24 ayat 3).

BRW/FHUA/2007 91
D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan
dalam waktu paling lama 14 hari sejak diketahuinya hal
tersebut; (pasal 24 ayat 4).
► Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak lain
maupun kepada arbitrator yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya (pasal 24 ayat 5);
► Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain, arbitrator yang bersangkutan
harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan
ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam UU 30/1999.
(pasal 24 ayat 6).

BRW/FHUA/2007 92
D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oelh salah satu pihak
tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan negeri yang
putusannya mengikat kedua pihak dan tidak dapat diajukan
perlawanan (pasal 25 ayat 1);
► Dalam hal Ketua Pengadilan negeri memutuskan bahwa tuntutan
sebagaimana dimaksud ayat (1) beralasan, seorang arbitrator
pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku
untuk pengangkatan arbitrator yang digantikan (pasal 25 ayat 2);
► Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak tuntutan ingkar,
maka arbitrator melanjutkan tugasnya (pasal 25 ayat 3).

BRW/FHUA/2007 93
D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Wewenang arbitrator tidak dapat dibatalkan
dengan meninggalnya arbitrator dan
wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh
penggantinya yang kemudian diangkat sesuai
dengan UU 30/1999 (Pasal 26 ayat 1);
► Arbitrator dapat dibebastugaskan bilamana ia
terbukti berpihak atau menunjukkan sikap
tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum (pasal 26 ayat 2).
BRW/FHUA/2007 94
D.10. Tuntutan Hak Ingkar terhadap
arbitrator (ps 22 s/d 26);
► Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung,
arbitrator meninggal dunia, tidak mampu, atau
mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, seorang arbitrator pengganti akan diangkat
dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan
arbitrator yang bersangkutan (Pasal 26 ayat 3).
► Dalam hal seorang arbitrator tunggal atau ketua majelis arbitrase
diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang
kembali; (pasal 26 ayat 4);
► Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa
hanya diulang kembali secara tertib antar arbitrator (pasal 26 ayat
5).

BRW/FHUA/2007 95
D.11. Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);

► Arbitrator atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung


jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama
proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya
sebagai arbitrator atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan
adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut (pasal 21).
► Sebagaimana halnya hakim dan advokat, juga memiliki imunitas
dalam menjalankan kewajiban atau profesinya, sepanjang
dilakukan dengan itikad baik;
► Persoalannya adalah bagaimana mekanisme untuk membuktikan
bahwa arbitrator atau majelis arbitrase telah melakukan itikad
tidak baik pada saat menjalankan tindakan dalam proses arbitrase
hal itu bukanlah merupakan proses yang sederhana

BRW/FHUA/2007 96
D.11 Imunitas arbitrator & batas2nya (ps. 21);

► Persoalan lainnya adalah siapa yang berwenang untuk


memberikan penilaian terhadap masalah “ada/tidaknya
itikad baik” arbitrator ketika memutus sengketa.Belum
lagi muncul persoalan selanjutnya
► Persoalan lainnya lagi adalah bagaimana dengan status
putusan arbitrase yang telah dijatuhkan, apakah secara
otomatis batal ataukah dimohonkan pembatalan terlebih
dahulu ke Pengadilan ? (lihat pasal 70 s/d 72),
► Persoalan-persoalan tersebut dalam penjelasan UU
No.30 tahun 1999, hanya disebutkan “cukup jelas”.

BRW/FHUA/2007 97
D.12. Berakhirnya tugas & wewenang
arbitrator (ps 48 jo. 59 ).
► Pasal 73 UU No.30/1999 mengatur bahwa tugas arbitrator berakhir
karena :
► (a). putusan mengenai sengketa telah diambil;
► (b). jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah
lampau; atau
► (c). para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukkan
arbitrator.
CATATAN Pasal 73 huruf “a”, meskipun sengketa telah diputus
namun tugas Arbiter tidak langsung berakhir, karena Arbiter atau
kuasanya masih berkewajiban menyerahkan dan mendaftarkan
putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59).

BRW/FHUA/2007 98
E. Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa
(Choice of Arbitration Language);

Ps. 28 : keharusan proses arbitrase menggunakan


Bahasa Indonesia, KECUALI atas persetujuan arbitrator
atau majelis arbitrase, para pihak dapat menggunakan
bahasa lain yg disepakati.
Pada arbitrase internasional, pemilihan bahasa
merupakan soal yg penting, berkenaan dengan
perbedaan latar belakang bahasa para pihak. Proses
arbitrase, keterangan saksi, serta dokumen bukti
dialihbahasakan ke dalam bahasa yang pilih.

BRW/FHUA/2007 99
E. Otonomi Para Pihak Memilih Bahasa
(Choice of Arbitration Language);
Persoalannya adalah :

► Bahasa yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak, akan digunakan sebagai
bahasa resmi dalam proses arbitrase yang bersangkutan.
► Penggunaan “bahasa asing” harus mendapatkan persetujuan arbitrator yang akan
menjalankan proses persidangan arbitrase.
► Pentingnya pemilihan bahasa dalam proses arbitrase berkaitan dengan kenyataan
bahwa antara bahasa yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan konseptual
dalam memaknai suatu terminologi dan konsep hukum tertentu sebagai akibat
adanya perbedaan latar belakang sejarah, budaya dan sistem hukum masing2.
► Misalnya konsep “public policy” di negara-negara Anglo American yang
maknanya tidak sama persis dengan konsep “openbare orde” atau “orde publique”
di negara negara Kontinental, maupun dengan konsep “ketertiban umum” di
Indonesia karena masing2 memiliki latar belakang sejarah dan sistem hukum
berlainan.

BRW/FHUA/2007 100
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
► Pasal 3 : “Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase”.
► Pasal 11
(1). “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADA KAN
HAK PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri”.
(2). “Pengadilan Negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN
CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam UNDANG UNDANG INI”.

BRW/FHUA/2007 102
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
► Pasal 3 jo. 11 mengandung norma yang bersifat memaksa, bahwa
dengan adanya perjanjian arbitrase menentukan kompetensi
absolut arbitrase mengadili sengketa, dengan demikian
Pengadilan Negeri tidak memiliki kompetensi absolut untuk
mengadili sengketa yang bersangkutan. Konsekuensi adanya
perjanjian arbitrase maka para pihak telah melepaskan haknya
untuk menyelesaikan sengketanya melalui lembaga Pengadilan.
Apabila sengketa tersebut oleh salah satu pihak tetap diajukan ke
Pengadilan, maka Pengadilan wajib menolak campur tangan atas
perkara yang oleh para pihak sebelumnya telah diperjanjikan
akan diselesaikan melalui arbitrase. Pengadilan selain terikat
pada Pasal 3 jo. 11 UU No.30/1999, juga wajib menghormati
pilihan para pihak yang telah mengadakan perjanjian arbitrase.

BRW/FHUA/2007 103
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
PERJANJIAN ARBITRASE TIDAK BOLEH MELANGGAR
UNDANG-UNDANG.
► Pasal 303 Undang Undang No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, mengatur bahwa : “Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari
para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase, sepanjang utang yang
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang ini”.

► Pasal 2 ayat (1) mengatur : “Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”

BRW/FHUA/2007 104
CATATAN Pasal 303 jo. Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004
KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN
ARBITRASE
► Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut,
meskipun terdapat perjanjian arbitrase yang dibuat oleh
para pihak, namun yang berwenang asbolut memeriksa
dan memutus sengketa kepailitan adalah Pengadilan
Niaga. Kedudukan Pengadilan Niaga sebagai satu-
satunya Pengadilan yang memiliki kompetensi absolut
dalam perkara kepailitan tidak dapat tergantikan atau
disingkirkan oleh adanya perjanjian arbitrase yang
dibuat oleh para pihak.
Hal tersebut menunjukkan sifat memaksa (“dwingend”)
ketentuan tersebut.
BRW/FHUA/2007 105
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
B. Klausula Arbitrase & Perjanjian Arbitrase;

► Klausula arbitrase (arbitration clause/pactum de compromittendo)


merupakan salah salah satu klausula yang terdapat dalam suatu kontrak
dan dibuat sebelum terjadi sengketa, sedangkan perjanjian arbitrase
(arbitartion agreement/acta van compromise) dibuat tersendiri/ terpisah
dengan perjanjian pokoknya namun tetap saling berkaitan.

► Perbedaan antara klausula arbitrase dengan perjanjian arbitrase hanya


terletak pada saat pembuatan serta cara penuangannya, namun pada
pokoknya, keduanya memiliki kesamaan yakni kesepakatan para pihak
memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dengan adanya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase maka yang berwenang secara absolut
menyelesaikan sengketa adalah lembaga arbitrase yang telah disepakati
para pihak.

BRW/FHUA/2007 106
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
C. Dibuat sebelum & sesudah terjadi sengketa (ps. 7);

► Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian arbitrase


dapat dibuat sebelum terjadi sengketa (arbitration clause/ pactum
de compromitendo) sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya
sengketa di kemudian hari, maupun dalam perjanjian arbitrase
yang dibuat tersendiri setelah terjadinya sengketa (arbitration
agreement/acta van compromis).
► Dalam praktek, mengadakan perjanjian arbitrase setelah terjadi
sengketa pada umumnya lebih sulit dilakukan, karena pihak yang
posisi hukumnya lemah, cenderung lebih menyukai penyelesaian
melalui Pengadilan, dengan maksud untuk memanfaatkan
kelambanan proses dan prosedur Pengadilan guna mengulur
pemenuhan kewajiban.
BRW/FHUA/2007 107
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
E. Para Pihak dalam Perj. Arbitrase (ps. 1 ke-2);
Para pihak dalam perjanjian arbitrase adalah
SUBYEK HUKUM BAIK MENURUT HUKUM
PERDATA MAUPUN HUKUM PUBLIK.
Subyek hukum perdata meliputi orang dan badan
hukum perdata (misalnya PT, Yayasan, dll).
Subyek hukum publik meliputi badan hukum publik
(misalnya, Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/
Kota).

BRW/FHUA/2007 108
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
D. Perjanjian Arbitrase Tertulis.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam
suatu DOKUMEN YANG DITANDATANGANI PARA PIHAK (ps. 4 ayat
2). Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak, sedangkan apabila para pihak tidak dapat menanda tangani maka
perjanjian tertulis tersebut dibuat dalam bentuk AKTA NOTARIS (Ps. 9 ayat
1 dan 2).
CATATAN :
Keharusan perjanjian dibuat tertulis dan ditandatangani para pihak masih
menggunakan paradigma perjanjian berbasis kertas. Padahal dalam praktek
dewasa ini, melalui kegiatan e commerce, maka komunikasi para pihak,
termasuk pembuatan perjanjian arbitrase, dapat dilakukan melalui berbagai
sarana komunikasi, tanpa para pihak harus melakukan perjumpaan fisik.
Misalnya melalui e-mail dan lain sebagainya.

BRW/FHUA/2007 109
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
► Pasal 4 ayat (3) mengatur : Dalam hal disepakati penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi DALAM BENTUK
PERTUKARAN SURAT, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimile, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya,
wajib disertai dengan catatan penerimaan oleh para pihak.
► CATATAN :
Pasal 4 ayat (3) telah mengakomodasi kemungkinan pembuatan
perjanjian arbitrase melalui berbagai sarana telekomunikasi
akibat pesatnya perkembangan e-commerce. Rumusan frasa
“dalam bentuk sarana komunikasi lainnya” merupakan antisipasi
terhadap kemungkinan munculnya teknologi mutakhir di bidang
komunikasi di masa depan.

BRW/FHUA/2007 110
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
F. Pasal 9 ayat (3) Perj. Arbitrase harus memuat :
a. masalah yang disengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal para arbiter dan majelis arbitrase;
d. tempat arrbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase. (Ps. 9 ayat 3).

BRW/FHUA/2007 111
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
Pasal 9 ayat (4) mengatur bahwa perjanjian tertulis yang
tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
BATAL DEMI HUKUM.
CATATAN :
Unsur2 dalam Pasal 9 ayat (3) bersifat limitatif dan
imperatif, artinya semua unsur tanpa kecuali harus
terpenuhi dan termuat dalam suatu perjanjian arbitrase.
Disertai ancaman sanksi dalam Pasal 9 ayat (4), yakni
“perjanjian arbitrase batal demi hukum”, apabila
terbukti tidak memuat semua unsur Pasal 9 ayat (3).

BRW/FHUA/2007 112
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
G. Perj. Arbitrase Tertulis & Perkemb. TI/TK/E-C.
Berkaitan dengan perkembangan Teknologi
Iinformasi/Teknologi Kominukasi maupun E-Commerce, maka
kesepakatan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibuat
dalam bentuk pertukaran surat, melalui teleks, telegram, e-mail,
atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya. Namun hal itu
disyaratkan wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh
para pihak (ps. 4 ayat 3). Karena itu, berdasarkan norma yang
terkandung dalam pasal 4 ayat (3), perjanjian arbitrase tidak
mutlak harus berbasis kertas serta ditandatangani para pihak di
tempat yang sama, dan pada waktu yang sama pula. Melainkan
dapat memanfaatkan sarana teknologi yang ada.

BRW/FHUA/2007 113
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
H. Wewenang Absolut Arbitrase
Pengadilan Negeri TIDAK BERWENANG untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase
(ps. 3).
► Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis MENIADAKAN HAK
PARA PIHAK untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
negeri (pasal 11 ayat 1).
► Pengadilan negeri WAJIB MENOLAK dan TIDAK AKAN
CAMPUR TANGAN di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI DALAM HAL-
HAL TERTENTU yang ditetapkan dalam UU ini (ps. 11 ayat 2).

BRW/FHUA/2007 114
2. PERJANJIAN ARBITRASE
MENJADI DASAR WEWENANG
ARBITRASE.
► I. Pasal 10, Perjanjian arbitrase TIDAK MENJADI BATAL
disebabkan keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat2 hapusnya perikatan pokok;
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialitugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut, atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

BRW/FHUA/2007 115
KETIDAKBATALAN PERJANJIAN
ARBITRASE : PASAL 10 “f” dan “h” UU
30/1999
► Persoalan hukumnya adalah, khususnya menyangkut apa
“reasoning” pengaturan dalam Pasal 10 huruf “f” dan huruf “h”,
bahwa perjanjian arbitrase tidak batal karena berlakunya syarat2
hapusnya perikatan pokok serta berakhirnya atau batalnya
perjanjian pokok ???
► Hal tersebut berkaitan dengan kedudukan perjanjian arbitrase
yang bersifat “assessor” terhadap perjanjian pokoknya;
► Bukankah kedudukan perjanjian assessor mengikuti perjanjian
pokoknya ? Dalam pengertian, bukankah batalnya perjanjian
pokok maka secara otomatis menyebabkan batal pula perjanjian
assessornya ?
► Ibaratnya perjanjian pokok sebagai “lokomotip” sedangkan
perjanjian arbitrase sebagai “gerbong”nya. Maka apabila
lokomotipnya tidak jalan, apakah gerbongnya tetap jalan ?
BRW/FHUA/2007 116
3. PRIVATE & CONFIDENTIAL :

Pasal 27 : “Semua pemeriksaan sengketa dilakukan


secara tertutup”.
Prinsip ini merupakan daya tarik utama arbitrase dalam
penyelesaian sengketa bisnis, karena para pihak sejatinya
tidak menginginkan publikasi terhadap persona, substansi,
proses, obyek sengketa. Terjadinya publikasi dikuatirkan
justru dapat merugikan nama baik dan berbagai kepentingan
para pihak lainnya.
Prinsip ini merupakan “pekecualian” terhadap prinsip “sidang
terbuka untuk umum” yang berlaku dalam proses peradilan;

BRW/FHUA/2007 117
4. AUDI ET
ALTERAM PARTEM :

Pasal 29 : Para pihak yang bersengketa mempunyai hak &


kesempatan yg sama dalam mengemukakan pendapat dalam
proses arbitrase (audi et alteram partem). Hal ini merupakan
wujud prinsip keadilan dan keseimbangan (justice & fairness)
dalam proses arbitrase. Arbitrator/Majelis arbitrase wajib
mendengar keterangan para pihak yang bersengketa, serta
memberikan kesempatan yang sama kepada mereka untuk
menggunakan hak dan kewajibannya dalam proses arbitrase.
Prinsip ini juga merupakan prinsip umum penyelenggaraan
Peradilan pada umumnya.

BRW/FHUA/2007 118
5.LIMITASI WAKTU
PROSES ARBITRASE
Proses arbitrase dibatasi waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis
arbitrase terbentuk (ps. 48 ayat 1). Perpanjangan waktu oleh arbiter atau
majelis arbitrase dapat dilakukan atas persetujuan para pihak (ps. 38 ayat 2 jo.
Ps. 33).

SANKSI : dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah
tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter
dapat dihukum untuk mengganti biaya kerugian yang diakibatkan karena
keterlambatan tersebut kepada para pihak (Pasal 21). Oleh karena itu, seorang
calon arbiter harus mengukur kemampuannya apakah sanggup menyelesaikan
sengketa dalam koridor waktu yang telah ditentukan. Sebaliknya ketika telah
bersedia ditunjuk sebagai arbiter, maka ia harus melakukan manajemen waktu
sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.

BRW/FHUA/2007 119
5.LIMITASI WAKTU
PROSES ARBITRASE
► CATATAN :
dibandingkan dengan proses peradilan, maka secara
teoritis maupun secara normatif waktu dalam proses
arbitrase relatif lebih cepat. Selain dibatasi dalam waktu
180 hari, juga putusannya bersifat final & binding.
Sedangkan terhadap putusan Pengadilan masih terbuka
dimohonkan banding dan kasasi. Apabila diperlukan
penambahan waktu, maka harus ada persetujuan para
pihak, oleh karena hal itu akan berdampak pada
bertambahnya biaya-biaya yang harus ditanggung oleh
para pihak.
BRW/FHUA/2007 120
Perpanjangan Waktu
Proses Arbitrase (Ps. 33 UU 30/1999);
► Arbitrator/majelis arbitrase berwenang memperpanjang jangka
waktu tugasnya apabila : diajukan permohonan oleh salah satu
pihak mengenai hal khusus tertentu atau sebagai akibat
ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lain nya; atau
memang dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk
kepentingan pemeriksaan.
► Perpanjangan waktu diperlukan, mengingat kompleksitas perkara
yang diperiksa, sehingga tidak meungkinkan diputus dalam
waktu 180 hari. Namun perpanjangan waktu tetap harus
mendapatkan persetujuan para pihak berperkara, mengingat
perpanjangan waktu beresiko pada biaya-biaya yang harus
dipikul para pihak berperkara itu sendiri.

BRW/FHUA/2007 121
ACARA ARBITRASE
► Secara umum, prosedur dan proses beracara di forum
arbitrase (UU 30/1999) memiliki berbagai kesamaan
dengan beracara di forum peradilan (HIR atau RBG).
Kecuali hal2 tertentu yang memang merupakan ciri
khas arbitrase, antara lain berlakunya prinsip otonomi
para pihak untuk memilih forum, memilih hukum,
memilih bahasa, memilih arbiter, prinsip private &
confidential, prinsip final & binding putusan arbitrase,
prinsip resiprositas, eksekutabilitas putusan arbitrase
internasional, dll.
BRW/FHUA/2007 122
ACARA ARBITRASE (1)
(pasal 27 s/d 51)
 Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup (ps.
27).
 Bahasa yg digunakan dalam proses arbitrase adalah
Bahasa indonesia, kecuali digunakan bahasa lain
(ps.28).
 Para pihak memiliki hak dan kesempatan yg sama
dalam mengemukakan pendapat masing2 (ps. 29 ayat
1).
 Para pihak yang bersengketa dapat diwakili kuasa
dengan surat kuasa khusus (ps. 29 ayat 2);

BRW/FHUA/2007 123
ACARA ARBITRASE (2)
► Pihak ke-3 di luar perj. arbitrase dapat turut serta
menggabungkan diri dalam proses arbitrase, apabila terdapat
kepent yg terkait, dan disepakati para pihak yg bersengketa, serta
disetujui arbitrator atau majelis arbitrator (ps. 30);
► Para pihak dalam perjanjian yang tegas & tertulis bebas
menentukan acara arbitrase, sepanjang tidak bertentangan dg UU
30/1999 (ps. 31 ayat 1). Apabila para pihak tidak menentukan
sendiri acara arbitrase, maka acara arbitrase diselenggarakan
menurut UU 30/1999 (ps. 31 ayat 2). Para pihak dapat sepakat
memilih acara arbitrase, maka harus ada kesepakatan tentang
jangka waktu dan tempat arbitrase (ps.31 ayat 3).

BRW/FHUA/2007 124
ACARA ARBITRASE (3)
► Pasal 32 ayat (1) : Atas permohonan salah stau pihak,
arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa, termasuk
penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan
barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang
mudah rusak.
► Pasal 32 ayat (2) : Jangka waktu pelaksanaan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
► Penjelasan Pasal 32 : cukup jelas.

BRW/FHUA/2007 125
ACARA ARBITRASE (4)
► CATATAN :
Kata-kata “dapat” pada Pasal 32 ayat (1) menunjuk kan bahwa
arbiter atau majelis arbitrase secara tentative dapat mengabulkan
atau menolak permohonan provisionil, atau putusan sela,
termasuk sita jaminan, penitipan barang kepada pihak ketiga,
atau penjualan barang yang mudah rusak, yang diajukan pihak
berperkara. Hal tersebut bergantung pada alasan dan urgensi
permohonan yang diajukan oleh pemohon.

Adapun jangka waktu pelaksanaan ayat (1), tidak dihitung dalam


jangka waktu 180 hari proses arbitrase sebagaimana dimaksud
Pasal 48. Dengan kata lain, diluar jangka waktu 180 hari
tersebut.

BRW/FHUA/2007 126
ACARA ARBITRASE (5)

► Pasal 34 ayat (1) : Para pihak berdasarkan kesepakatan dapat


menyelesaikan sengketa melalui arbitrase nasional atau arbitrase
internasional.
► Pasal 34 ayat (2) : Penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut
peraturan dan acara lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain
oleh para pihak.

► Penjelasan Pasal 34 ayat (2) : memberikan kebebasan kepada para


pihak untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan
dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus
mempergunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang
dipilih.
BRW/FHUA/2007 127
ACARA ARBITRASE (6)

► Pasal 35 : Arbiter atau majelis arbitrase dapat


memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai
dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase.
► CATATAN :
Terkait dengan kemungkinan dokumen atau bukti yang
diajukan ditulis dalam bahasa berbeda dengan bahasa
yang digunakan dalam proses arbitrase. (Vide Pasal 28).

BRW/FHUA/2007 128
ACARA ARBITRASE (7)

► Pasal 36 ayat (1) : Pemeriksaan arbitrase terhadap


sengketa harus dilakukan secara tertulis.
► Pasal 36 ayat (2) : Pemeriksaan secara lisan dapat
dilakukan apabila disetujui para pihak atau dianggap
perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
CATATAN :
Pada umumnya proses arbitrase berlangsung secara
tertulis, dimaksudkan agar proses jawab menjawab
terdokumentasikan dalam berkas perkara. Mirip dengan
proses peradilan perdata melalui proses jawab jinawab,
repik, duplik, kesimpulan, dstnya.

BRW/FHUA/2007 129
ACARA ARBITRASE (8)
► Pasal 37 Ayat (1) : Tempat arbitrase ditentukan arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak. Ayat (2) : Arbiter
atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan
pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat
arbitrase diadakan;

► CATATAN :
Norma pada ayat (1) : para pihak berhak memilih dan menentukan tempat
arbitrase, namun apabila hal itu tidak dilakukan maka arbiter atau majelis
arbitrase yang memilih dan menentukannya.

Norma pada ayat (2) : arbiter atau majelis arbitrase mendengar langsung
keterangan saksi, atau mengadakan pertemuan dengan saksi diluar tempat
arbitrase diadakan. Tidak jelas, apakah pertemuan dengan saksi tersebut
dimaksudkan dalam konteks pemeriksaan perkara ?

BRW/FHUA/2007 130
ACARA ARBITRASE (9)

► Pasal 37 ayat (3) : Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau
majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara
perdata.
► Ayat (4). Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan
setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan
dengan sengketa yang sedang diperiksa……..”.
CATATAN :
Norma ayat (3) : Menurut Hukum Acara Perdata (HIR) jo. Pasal 49 ayat (3)
UU No.30/1999, saksi wajib datang, mengangkat sumpah, memberikan
keterangan yang benar sesuai pengetahuan dan pendengarannya sendiri (saksi
fakta), atau sesuai dengan pengalaman dan keahliannya (saksi ahli).
Norma ayat (4) : pemeriksaan setempat dilakukan atas inisiatif arbiter atau
majelis arbitrase, atau atas permohonan pihak bersengketa, di tempat dimana
barang sengketa berada.

BRW/FHUA/2007 131
ACARA ARBITRASE (10)
► Pasal 38 ayat (1) : Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau
majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada
arbiter atau majelis arbitrase.
► Ayat (2) : Surat tuntutan minimal harus memuat :
> nama lengkap & tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
> uraian singkat sengketa disertai lampiran bukti2;
> isi tuntutan yang jelas.

Catatan :
Hal tersebut mirip dengan format dan substansi surat gugatan dalam proses
peradilan perdata. Tuntutan diajukan secara tertulis minimal harus memuat
identitas para pihak bersengketa, posita (fundamentum petendi) maupun
petitum (tuntutan yang diajukan).

BRW/FHUA/2007 132
ACARA ARBITRASE (11)
► Pasal 39 : Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter
atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan
tersebut kepada Termohon, disertai dengan perintah bahwa
Termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban tertulis
paling 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh
termohon.
► Pasal 40 ayat (1) : Segera setelah diterimanya jawaban dari
Termohon, atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase,
salinan jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon;
► Ayat (2) : Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis
arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasanya
menghadap sidang arbitrase, yang di tetapkan paling lama 14
hari terhitung mulai dikeluarkannya perintah itu.

BRW/FHUA/2007 133
ACARA ARBITRASE (12)
► CATATAN :
Norma yang terkandung dalam Pasal 39 dan 40 :
jawaban Termohon atas tuntutan Pemohon, dibatasi
paling lama 14 hari sejak menerima salinan tuntutan
tersebut. Kemudian arbiter atau majelis arbitrase
menyerahkan jawaban Termohon kepada Pemohon.
Selanjutnya arbiter atau majelis arbitrase
memerintahkan para pihak atau kuasanya agar hadir
dalam sidang arbitrase paling lama 14 hari terhitung
mulai dikeluarkannya perintah itu.
BRW/FHUA/2007 134
ACARA ARBITRASE (13)
► Pasal 41 : Dalam hal Termohon setelah lewat 14 hari
tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan
dipanggil dengan ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2).
► Catatan :
Norma yang terkandung dalam Pasal 41, apabila
Termohon tanpa alasan yang sah tidak menyampaikan
jawabannya dalam waktu 14 hari, maka Termohon akan
dipanggil lagi menghadap sidang dalam waktu paling
lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkan perintah
itu.

BRW/FHUA/2007 135
ACARA ARBITRASE (14)
► Pasal 42 : Termohon dalam sidang pertama
dapat mengajukan tuntutan balasan/ rekonpensi.
Terhadap tuntutan balasan/rekonpensi diperiksa
dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase
bersama-sama dengan pokok perkara.
► CATATAN
Subtansi ketentuan tersebut mirip dengan proses
peradilan perdata di Pengadilan.

BRW/FHUA/2007 136
ACARA ARBITRASE (15)
► Pasal 43 :
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (2) Pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak
datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat
tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis
arbitrase dianggap selesai.
► CATATAN :
Norma pasal 43 :
Pemohon tanpa alasan sah tidak datang menghadap sidang
meskipun telah dipanggil secara patut, maka Pemohon dianggap
tidak serius dalam tuntutannya. Maka tuntutan Pemohon
dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis arbitrase
dianggap selesai. Proses perkara dihentikan.

BRW/FHUA/2007 137
ACARA ARBITRASE (16)
► Pasal 44 ayat (1) : Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), Termohon tanpa suatu alasan sah tidak
datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter
atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
► Ayat (2) : Paling lama 10 hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon
dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka
persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan
tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak
beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
► CATATAN ;
Norma yang terkandung, Termohon tanpa alasan sah dianggap mengabaikan
panggilan sidang, oleh karena itu sidang dilanjutkan tanpa kehadiran
Termohon. Arbiter atau Majelis Arbitrase dalam putusannya (Verstek) akan
mengabulkan tuntutan Pemohon, kecuali apabila tuntutan Pemohon tidak
beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
Hal ini mirip dengan proses peradilan perdata di Pengadilan Negeri.

BRW/FHUA/2007 138
ACARA ARBITRASE (17)
► Pasal 45 ayat (1) : dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang
telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian antara para pihak yang bersengketa. Ayat (2) : dalam hal usaha
perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu akta
perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para
pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

Catatan :
► Sebagaimana dalam peradilan perdata, maka penyelesaian damai harus
dikedepankan. Apabila para pihak berhasil didamaikan, maka sengketa
dinyatakan selesai, para pihak diperintahkan menjalankan akta perdamaian
yang bersifat final dan mengikat. Kalau perdamaian di muka Pengadilan para
pihaklah yang menyusun dan menandatangani akta perdamaian, namun pada
perdamaian di muka arbitrase yang membuat akta perdamaian adalah arbiter
atau majelis arbitrase.

BRW/FHUA/2007 139
ACARA ARBITRASE (18)
► Pasal 46 ayat (1) : Pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan apabila
usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak
berhasil.
► Ayat (2) : Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan
secara tertulis pendirian masing2 serta mengajukan bukti yang dianggap perlu
untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
► Ayat (3) : Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak
untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti
lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan arbiter atau
majelis arbitrase.
► CATATAN :
Norma yang terkandung Pasal 46, apabila perdamaian tidak berhasil, maka
persidangan tetap dilanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menjelaskan pendirian masing2 disertai bukti yang dipandang
perlu.

BRW/FHUA/2007 140
ACARA ARBITRASE (19)
► Pasal 47 ayat (1) : Sebelum ada jawaban dari Termohon, Pemohon dapat
mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Ayat (2) : Dalam hal sudah ada jawaban dari Termohon, perubahan atau
penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan
Termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal
yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar dasar hukum yang
menjadi dasar permohonan.
► CATATAN
Norma yang terkandung pada ayat (1), pencabutan tuntutan dapat dilakukan
secara sepihak oleh Pemohon sepanjang belum ada jawaban Termohon.
Norma ayat (2) : Apabila Termohon sudah mengajukan jawabannya, maka
pencabutan tuntutan oleh Pemohon tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan
termohon. Perubahan dan penambahan tuntutan hanya diperbolehkan apabila
hanya menyangkut fakta, bukan menyangkut dasar hukum permohonan.

BRW/FHUA/2007 141
ACARA ARBITRASE (20)
Pasal 48 ayat (1) : Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam
waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk. Ayat (2) : dengan persetujuan para pihak dan apabila
diperlukan sesuai ketentuan pasal 33, jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.
CATATAN :
Norma yang terkandung ayat (1) merupakan prinsip limitasi waktu,
artinya putusan arbitrase harus dijatuhkan dalam waktu 180 hari
terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Mengandung
prinsip efisiensi penggunaan waktu. Norma yang terkandung ayat (2)
membuka kemungkinan perpanjangan waktu, dengan catatan hal itu
sebelumnya telah disetujui oleh para pihak bersengketa. Karena
perpanjangan waktu akan berdampak bagi para pihak itu sendiri, baik
dari segi waktu maupun biaya-biaya.

BRW/FHUA/2007 142
ACARA ARBITRASE (21)
► Pasal 49 ayat (1) : Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase
atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi
atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar
keterangan. Ayat (2) : Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi
dan saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta. Ayat (3) :
sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah.
► CATATAN :
Norma yang terkandung Pasal 49, saksi atau saksi ahli
dihadirkan atas perintah arbiter/majelis arbitrase atau permintaan
para pihak bersengketa. Biaya pemanggilan saksi menjadi
kewajiban pihak yang meminta. Saksi dan saksi ahli wajib
mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan di muka
sidang arbitrase.
BRW/FHUA/2007 143
ACARA ARBITRASE (22)
► Pasal 50 ayat (1) : Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta
bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan
keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang
berhubungan dengan pokok sengketa.
► Ayat (2) : Para pihak wajib memberikan keterangan yang
diperlukan oleh para saksi ahli;
► Ayat (3) : Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan
keterangan saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat
ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa,
► Ayat (4) : Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas
permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang
bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang
arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.

BRW/FHUA/2007 144
ACARA ARBITRASE (23)
► CATATAN Pasal 50 :
Ayat (1) mengandung norma, bahwa arbiter atau
majelis arbitrase secara tentative dapat meminta “legal
opinion” kepada saksi ahli mengenai suatu persoalan
khusus terkait pokok sengketa;
Ayat 2 mengandung norma, bahwa para pihak wajib
memberikan keterangan yang diperlukan saksi ahli. Hal
ini bedanya dengan proses peradilan, bahwa dalam
proses peradilan, pihak yang meminta keterangan
kepada saksi ahli adalah pihak berperkara.

BRW/FHUA/2007 145
ACARA ARBITRASE (24)
► CATATAN Pasal 50 :
Ayat (3) mengandung norma, melalui arbiter atau majelis
arbitrase, para pihak bersengketa diberikan kesempatan
menanggapi secara tertulis terhadap “legal opinion” yang telah
diberikan oleh saksi ahli.
Ayat (4) mengandung norma, atas permintaan pihak
berkepentingan, apabila terdapat hal yang kurang jelas
menyangkut “legal opinion” tersebut, maka saksi ahli yang
bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang,
dengan dihadiri para pihak atau kuasanya. Para pihak
bersengketa, dalam sidang, dapat meminta konfirmasi atas “legal
opinion” saksi ahli tersebut.

BRW/FHUA/2007 146
ACARA ARBITRASE (25)
► Pasal 51 : “Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan
sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh
sekretaris”.
CATATAN :
Ketentuan tersebut mengandung norma, bahwa
sekretaris (panitera) berkewajiban untuk mencatat dan
membuat berita acara tentang jalannya kegiatan
pemeriksaan maupun sidang arbitrase. Fungsi berita
acara arbitrase sangat penting, hal itu tidak saja
berfungsi sebagai dokumentasi pemeriksaan perkara,
melainkan juga sebagai bahan bagi arbiter atau majelis
arbitrase dalam membuat putusan.
BRW/FHUA/2007 147
PENDAPAT MENGIKAT DAN
PUTUSAN ARBITRASE
BERSIFAT FINAL & BINDING

Para pihak dalam suatu perjanjian arbitrase


berhak untuk memohon pendapat mengikat
(bindend advies/binding opinion) dari lembaga
arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari
suatu perjanjian (Ps. 52).
Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 52 tidak dapat dilakukan
perlawanan melalui upaya hukum (Ps. 53).

BRW/FHUA/2007 148
Penjelasan Pasal 52, mengenai
Pendapat Mengikat.
Tanpa adanya suatu sengketapun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat
(binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut. Misalnya penafsiran ketentuan yang
berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain2.
CATATAN : Dengan telah diberikannya pendapat oleh lembaga
arbitrase tersebut, maka kedua belah pihak terikat padanya. Oleh
karena itu wajib mentaati. Apabila salah satu pihak bertindak
bertentangan dengan pendapat mengikat tersebut akan dianggap
sebagai tindakan yang melanggar perjanjian.
Persoalannya apakah “pendapat mengikat” memiliki kekuatan
eksekutorial ?

BRW/FHUA/2007 149
PUTUSAN ARBITRASE (1)
► Pasal 54 ayat (1), harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”;
b. Nama lengkap dan alamat para pihak;
c. Uraian singkat sengketa;
d. Pendirian para pihak;
e. Nama lengkap dan alamat arbiter;
f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai
keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam
majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan;
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

BRW/FHUA/2007 150
PUTUSAN ARBITRASE (2)
► Pasal 54 ayat (2) : “Tidak ditandatanganinya putusan
arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit
atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
berlakunya putusan”;
► Pasal 54 ayat (3) : “Alasan tentang tidak adanya
tandatangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus dicantumkan dalam putusan”
► Pasal 54 ayat (4) : “Dalam putusan ditetapkan suatu
jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan”.

BRW/FHUA/2007 151
PUTUSAN ARBITRASE (3)
► CATATAN :
Pasal 54 ayat (1), mengandung norma yang bersifat memaksa
(dwingend), dalam pengertian bahwa semua unsur harus termuat
dalam putusan arbitrase. Secara umum unsur2 tersebut mirip
dengan unsur2 dalam putusan Pengadilan. Kecuali unsur “e”,
tentang alamat arbiter yang juga harus dicantumkan dalam
putusan arbitrase.
Pasal 54 ayat (2) dan (3), mengandung norma, bahwa meskipun
salah seorang arbiter karena sakit atau meninggal dunia sehingga
tidak mampu menandatangani putusan arbitrase, namun hal itu
tidak mengurangi kekuatan berlaku putusan arbitrase. Namun
dalam putusan tetap harus dicantumkan alasan tidak
ditandatanganinya putusan tersebut.

BRW/FHUA/2007 152
PUTUSAN ARBITRASE (4)
► Pasal 55 : “Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai,
pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang
untuk mengucapkan putusan arbitrase” jo. Pasal 57 :
“Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah pemeriksaan ditutup”.
Catatan :
Ketentuan ini mengandung norma, bahwa sidang
pembacaan putusan arbitrase ditetapkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase setelah proses pemeriksaan
perkara telah dinyatakan selesai, yakni maksimal 30
hari setelah pemeriksaan ditutup.
BRW/FHUA/2007 153
DISSENTING OPINION

► Ps. 54 (1) huruf “g”;


► Putusan arbitrase dapat dijatuhkan secara aklamasi, namun
apabila terjadi perbedaan pendapat diantara arbiter, maka
putusan dijatuhkan melalui voting;
► Putusan arbitrase yang dijatuhkan berdasarkan voting harus
memuat pendapat arbiter (minoritas) yang melakukan pendapat
berbeda (dissenting opinion);
► Dissenting opinion merupakan wujud demokratisasi dan
transparansi proses pengambilan putusan, dimana masing-masing
arbiter memiliki kedudukan, peran, maupun hak dan kewajiban
yang setara antara satu dengan yang lain;
► Pemuatan dissenting opinion dalam putusan arbitrase sekaligus
merupakan pertanggungjawaban kualitas arbiter maupun kualitas
putusan arbitrase;
BRW/FHUA/2007 154
PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU EX
AEQUO ET BONO;
 Ps. 56
 Ayat (1) : Arbiter atau majelis arbitrase
mengambil putusan berdasarkan ketentuan
hukum, atau berdasarkan keadilan dan
kepatutan.
 Ayat (2) : “Para pihak berhak menentukan
pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah
timbul antara para pihak”.
BRW/FHUA/2007 155
PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU
EX AEQUO ET BONO;
Catatan :
Yang dimaksud dengan putusan berdasarkan “hukum” adalah
hukum pilihan para pihak (bila ada pilihan hukum), atau hukum
yang dipilih/digunakan oleh arbiter, yakni hukum di tempat
arbitrase diadakan (bila para pihak tidak melakukan pilihan
hukum).
Penerapan ex aequo et bono dalam putusan arbitrase
mengenyampingkan penerapan peraturan perundang-undangan,
kecuali hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht) tidak
dapat disimpangi, melainkan harus tetap diterapkan dalam
putusan.
Penerapan hukum atau ex aequo et bono harus didasarkan pada
perjanjian yang dibuat oleh para pihak telebih dahulu.

BRW/FHUA/2007 156
PUTUSAN BERDASARKAN HUKUM ATAU
EX AEQUO ET BONO;
 CATATAN :
Mirip dengan proses peradilan perdata di Pengadilan, Penggugat
dalam gugatannya secara sepihak dapat mengajukan petitum
yang bersifat alternatif, yakni petitum primer (berisi sejumlah
tuntutan), serta petitum subsider berdasarkan keadilan dan
kepatutan (ex aequo et bono). Kalau pada proses peradilan,
petitum primer dan petitum subsider dapat diajukan secara
simultan - kumulatif. Adapun pada proses arbitrase, apakah
putusan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan e x qequo et bono, selain harus diperjanjian, juga
diajukan secara alternatif.

BRW/FHUA/2007 157
KOREKSI PUTUSAN
ARBITRASE
Pasal 58 : “Dalam waktu paling lama 14 hari setelah putusan diterima,
para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis
arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif
dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan”.
CATATAN :
Ketentuan ini mengandung norma, bahwa terhadap putusan arbitrase
yang sudah diterima masih terbuka kemungkinan diajukan permohonan
koreksi atas kekeliruan administratif maupun untuk menambah atau
mengurangi tuntutan putusan. Berbeda dengan peradilan perdata,
terhadap putusan yang telah dibacakan dalam sidang, sudah tidak
mungkin lagi dimohonkan penambahan atau pengurangan tuntutan.
Kecuali apabila terjadi kekeliruan adimistratif yang bersifat
redaksional, maka hal itu mungkin saja dikoreksi melalui renvooi
putusan.

BRW/FHUA/2007 158
PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL
► Pasal 59
Ayat (1) : “Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri”;
Ayat (2) : “Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh
Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran”;

BRW/FHUA/2007 159
PELAKSANAAN PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL
► Ayat (3) : “Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan
dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan
otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri”;
► Ayat (4) : “Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan;
► Ayat (5) : “Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan
akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak”.
Catatan :
Norma yang terkandung ayat (1) jo. ayat (4) bersifat imperatif,
bila dilanggar maka putusan arbitrase menjadi non eksekutabel.
Atas kelalaian arbiter atau majelis arbitrase atau kuasanya
tersebut, maka pihak yang menang dalam putusan jelas akan
merasa sangat dirugikan.

BRW/FHUA/2007 160
FINAL & BINDING
PUTUSAN ARBITRASE
► Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak (ps.60).Dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan PERINTAH KETUA PENGADILAN
NEGERI atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa
(ps.61).
► CATATAN :
► Putusan arbitrase memiliki kekuatan final & mengikat sejak
dibacakan dan diberitahukan kepada pihak-pihak berperkara.
► Putusan arbitrase merupakan putusan tingkat satu-satunya dan
terakhir. Tidak terdapat proses banding atau kasasi sebagaimana
proses peradilan perdata. Karena itu, secara teoritis, proses
arbitrase lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan proses
peradilan.
BRW/FHUA/2007 161
CATATAN Pasal 60 & 61
► Idealnya suatu putusan arbitrase dijalankan
secara sukarela disertai itikad baik oleh pihak
yang dikalahkan, mengingat para pihaklah yang
memilih forum arbitrase, hukum, tempat, arbiter,
bahasa dll, serta memahami sifat “final &
binding”nya putusan arbitrase.
► Namun apabila putusan arbitrase tidak
dijalankan secara sukarela, maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permohonan pihak
berperkara, berwenang memerintahkan eksekusi
putusan arbitrase.
BRW/FHUA/2007 162
PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE (Pasal 70)
► Pasal 70 mengatur tentang dapat dibatalkannya putusan arbitrase,
melalui permohonan yang diajukan oleh para pihak, dengan
alasan putusan arbitrase mengandung unsur2 sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

BRW/FHUA/2007 163
PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE
► Penjelasan Pasal 70 :
Permohonan pembatalan HANYA DAPAT diajukan
terhadap putusan arbitrase yang SUDAH
DIDAFTARKAN DI PENGADILAN. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini
HARUS DIBUKTIKAN dengan putusan pengadilan.
Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka PUTUSAN
PENGADILAN INI DAPAT DIGUNA KAN
SEBAGAI DASAR PERTIMBANGAN BAGI
HAKIM UNTUK MENGABULKAN ATAU
MENOLAK PERMOHONAN.
BRW/FHUA/2007 164
CATATAN TERHADAP
PASAL 70
► Apakah terdapat “konflik norma” antara Pasal 60
tentang Asas Putusan Arbitrase bersifat Final &
Binding dengan Pasal 70 tentang Asas “Dapat
Dibatalkannya” Putusan Arbitrase oleh Pengadilan
Negeri berdasarkan alasan alasan limitatif tertentu ?.
► Pada satu pihak pasal 60 mengatur bahwa putusan
arbitrase bersifat final & binding, namun mengapa pasal
70 justru membuka kemungkinan dapat dibatalkannya
putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri ?
► Hal tersebut pada dasarnya menyangkut persoalan
antara tuntutan “kepastian hukum” dan “keadilan”,

BRW/FHUA/2007 165
CATATAN TERHADAP
PASAL 70
► Pasal 70 s/d 72 mengatur bahwa upaya hukum pembatalan
putusan arbitrase diajukan dalam bentuk “permohonan”.
Penggunaan istilah “permohonan” kurang tepat, oleh karena i.c.
bukan semata-mata bersifat voluntaria. Lebih tepat digunakan
istilah gugatan pembatalan (contentiosa). Mengingat terdapat
kepentingan pihak lain i.c. pihak yang menang dalam putusan
arbitrase yang juga harus diberikan kesempatan untuk
menjawab/menanggapi dalil-dalil “permohonan” a quo. Istilah
tersebut sebagaimana digunakan dalam perkara antara Pertamina
(Penggugat) vs Karaha Bodas Company (Tergugat) dan PLN
(Turut Tergugat). Putusan Mahkamah Agung RI
No.01/BANDING / WASIT-INT/2002 tanggal 8 Maret 2002 jo.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.86/Pdt.G/2002
tanggal 27 Agustus 2002 (dimuat dalam Varia Peradilan,
No.233, Pebruari 2005).
BRW/FHUA/2007 166
CATATAN TERHADAP
PASAL 70
► Secara a contrario, permohonan pembatalan tidak dapat
diajukan sebelum putusan arbitrase telah didaftarkan secara
resmi ke Pengadilan oleh arbiter atau kuasanya;
► Apabila menyangkut alasan “a” dan/atau “c”, maka Pemeriksaan
Pengadilan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase
MENUNGGU putusan Pengadilan Pidana berkekuatan tetap.
► Apabila menyangkut alasan “b” (Novum), maka Pemeriksaan
Pengadilan terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase
dapat secara langsung dijalankan.

BRW/FHUA/2007 167
CATATAN TERHADAP
PASAL 70
5. Secara kasuistis, permohonan pembatalan putusan arbitrase memang
didasarkan pada alasan2 dan bukti2 yang kuat, sehingga sifat “final &
binding” putusan arbitrase harus dipahami secara “lentur” dan “kontekstual”
dengan alasan2 pembatalan dalam Pasal 70;
6. Namun, yang sering terjadi permohonan pembatalan Putusan Arbitrase
diajukan dengan “itikad buruk Termohon Eksekusi” yakni sekedar untuk
“mengganjal” eksekusi putusan arbitrase ? Dengan alasan bahwa putusan
arbitrase tersebut mengandung alasan2 pembatalan sebagaimana dimaksud
Pasal 70 UU 30/1999.
Misalnya dengan membuat laporan pidana ke Polisi, dengan alasan Pasal 70
huruf “a” dan/atau “c”. Padahal proses pidana mulai dari laporan polisi s/d
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk membuktikan alasan
Pasal 70 huruf “a” da/atau “c” tersebut memerlukan waktu bertahun-tahun.

BRW/FHUA/2007 168
CATATAN TERHADAP
PASAL 70
► 7.Bagaimana Ketua Pengadilan seharusnya menyikapi persoalan
tersebut ?
a. Apakah eksekusi ditangguhkan dengan alasan adanya permohonan
pembatalan putusan arbitrase ? Jadi harus menunggu adanya putusan
Pengadilan pidana berkekuatan tetap menyangkut Pasal 70 huruf “a”
dan/atau “c”.
b. Ataukah eksekusi putusan arbitrase tetap dijalankan meskipun
terdapat permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan ke
Pengadilan Negeri ?
c. Ketua Pengadilan Negeri memiliki wewenang diskresioner untuk
menangguhkan eksekusi atau tetap menjalankan eksekusi yang harus
dipertimbangkan secara kasuistis (bukan generalisasi) dengan cermat
dan hati-hati terhadap segala resiko dan akibat hukum di kemudian hari
dari penggunaan wewenang diskresionernya tersebut.

BRW/FHUA/2007 169
PROSEDUR PERMOHONAN PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE (Pasal 71)

► Pasal 71 : “Permohonan pembatalan putusan


arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam
waktu PALING LAMA 30 HARI terhitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”.
Penjelasan Pasal 71 : “cukup jelas”.
► Konsekuensinya, rumusan redaksional ketentuan
Pasal 71 harus dibaca secara tekstual sesuai
dengan rumusannya.
BRW/FHUA/2007 170
CATATAN TERHADAP PASAL
71
► Tenggang waktu 30 hari bersifat imperatif (harus).
Permohonan yang diajukan lewat 30 hari, dianggap
“lampau waktu” dan Pengadilan Negeri harus
menyatakan permohonan pembatalan “tidak dapat
diterima”.
► Persoalannya adalah, inisiatip siapakah penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri
tersebut ? Bertolak dari Pasal 59 (1), jo. Pasal 67 (1)
maka penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
merupakan kewajiban arbiter atau kuasanya.
BRW/FHUA/2007 171
CATATAN TERHADAP PASAL
71
► Persoalannya berikutnya adalah bagaimana apabila
yang berinsiatif menyerahkan dan mendaftarkan
putusan arbitrase itu bukan arbiter atau kuasanya,
melainkan atas inisiatif pihak berperkara ? Apakah
tindakan tersebut dilarang ?
► Periksa kasus Pertamina vs Karaha Bodas Company di
Pengadilan Jakarta Pusat, dimana yang mendafatrkan
putusan arbitrase Jenewa bukan arbiter atau kuasanya,
melainkan kuasa hukum Pertamina, selaku pihak yang
berperkara dan dikalahkan dalam putusan Arbitrase
Jenewa.
BRW/FHUA/2007 172
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE
► Pasal 72 ayat (1) : Permohonan pembatalan putusan arbitrase
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
CATATAN : Mengandung norma, bahwa yang berwenang
membatalkan putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri di
tempat kedudukan Termohon (Vide Pasal 1 ke- 4 UU 30/1999).

Pasal 72 ayat (2) : Apabila permohonan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan
lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan
arbitrase.
CATATAN : Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut
akibat hukum pembatalan putusan arbitrase.

BRW/FHUA/2007 173
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE
(3). Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima;
(4). Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus
dalam tingkat pertama dan terakhir;
CATATAN :
- ayat 3 menetapkan norma terkait limitasi waktu (max 30 hari)
bagi Ketua PN untuk memutus permohonan pembatalan putusan
arbitrase yang diajukan Pemohon;
- ayat 4 menetapkan norma bahwa terbuka upaya banding ke
MA (tingkat pertama & terakhir) terhadap putusan KPN atas
permohonan pembatalan putusan arbitrase.

BRW/FHUA/2007 174
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE
(5). Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan permohonan banding sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30
hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh
Mahkamah Agung.
CATATAN :
mengandung norma terkait limitasi waktu (max 30 hari)
bagi MA untuk memutus permohonan banding terhadap
putusan KPN atas permohonan pembatalan putusan
arbitrase.

BRW/FHUA/2007 175
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN
PUTUSAN ARBITRASE
► Penjelasan Pasal 72.
Ayat (1), (3), (5) : cukup jelas.
Ayat (2) : “Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk
memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan
mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari
putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat
memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang
sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa
bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak
mungkin diselesaikan melalui arbitrase”.
Ayat (4) : “Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya
terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70.

BRW/FHUA/2007 176
OBYEK PEMBATALAN :
PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN/ ATAU
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ?
► Timbul pertanyaan, apakah kewenangan pembatalan oleh
Pengadilan Negeri meliputi putusan arbitrae nasional maupun
arbitrase internasional ? Mengingat pasal 70 tidak secara tegas
mengatur hal tersebut.
► Menurut teori jurisdiksi, berlaku ketentuan bahwa jurisdiksi
pengadilan nasional terbatas di wilayah negara yang
bersangkutan dan tidak berlaku di wilayah negara lain.
► Bertolak dari teori tersebut, maka kewenangan Pengadilan
Negeri membatalkan putusan arbitrase terbatas hanya terhadap
putusan arbitrase nasional yang bersangkutan. Adapun
pembatalan putusan arbitrase internasional merupakan
wewenang Pengadilan di negara dimana putusan arbitrase
internasional itu dijatuhkan.

BRW/FHUA/2007 177
OBYEK PEMBATALAN :
PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL DAN/ ATAU
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL ?
Periksa pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI
No.01/BANDING/WASIT-INT/2002 tanggal 8 Maret 2002 jo. Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.86/Pdt.G/2002 tanggal 27 Agustus
2002, dalam perkara antara Pertamina (Penggugat) vs Karaha Bodas
Company (Tergugat) dan PLN (Turut Tergugat). Dalam VARIA
PERADILAN, No. 233, Pebruari 2005.

► Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinyatakan tidak berwenang


membatalkan putusan arbitrase Jenewa tersebut. Yang berwenang
Pengadilan di Negara dimana putusan arbitrase a quo dijatuhkan i.c.
Pengadilan Swiss. Pertimbangan didasarkan pada ketentuan Pasal V (1)
(e) Konvensi New York 1958 bahwa : “The award has not yet become
binding on the parties,or has been set aside or suspended by a
competent authority of the country in which, or under the law of which,
that award was made” (garis bawah oleh BRW).

BRW/FHUA/2007 178
RELIGIUSITAS PUTUSAN
ARBITRASE DI INDONESIA;
► Putusan arbitrase di Indonesia harus memuat irah-irah : “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” (ps. 54 ayat 1);
► Merupakan ciri khas arbitrase di Indonesia. Irah2 memberikan
kek. Eksekutorial putusan arbitrase. Sebagai
pertanggungjawaban etis religius arbiter/ majelis arbitrase
kepada Tuhan YME terhadap putusan yang dijatuhkannya.
► Namun ketentuan tersebut tidak dapat diberlakukan untuk
menilai putusan arbitrase asing yang dimohon kan pengakuan
dan pelaksanaannya di Indonesia.
► Oleh karena itu, meskipun suatu putusan Arbitrase Asing yang
dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia, tidak
mencantumkan irah-irah tersebut, namun hal itu tidak dapat
dipakai sebagai alasan untuk menolak memberikan pengakuan
dan pelaksanaan.
BRW/FHUA/2007 179
NON INTERVENSI
PENGADILAN
► PN tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam perjanjian arbitrase (ps. 3);
► PN wajib menolak & tidak campur tangan di dalam peny.
sengketa yg telah ditetapkan melalui arbitrase, KECUALI dalam
hal hal tertentu yang ditetapkan dalam UU ini. ps 11 ayat (2);
► CATATAN :
Pasal 3 jo. 11 ayat (2) secara imperatif mengatur tentang
KETIDAKBERWENANGAN & LARANGAN CAMPUR
TANGAN Pengadilan Negeri terhadap perkara yang oleh para
pihak telah disepakati akan diselesaikan melalui Arbitrase.

BRW/FHUA/2007 180
NON INTERVENSI
PENGADILAN
► Oleh karena itu, apabila salah satu pihak yang terikat dalam
perjanjian arbitrase mengajukan perkara a quo ke PN, maka PN
secara “ex officio”, berdasarkan pasal 134 HIR, lebih dahulu
wajib memeriksa kompetensi absolut atas perkara tsb, tanpa
bergantung ada/tidaknya eksepsi Tergugat;
► PN dalam putusan sela memutuskan apakah berwenang absolut
mengadili atau tidak berwenang absolut mengadili.
► Apabila menyatakan berwenang mengadili maka pemeriksaan
terhadap pokok perkara dilanjutkan;
► Apabila menyatakan tidak berwenang mengadili, PN menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvangkelijk
verklaard) dan menghentikan pemeriksaan terhadap pokok
perkara,

BRW/FHUA/2007 181
PN SEBAGAI “SUPPORTING
INSTITUTIONS” TERHADAP PROSES
ARBITRASE
► Peran PN sebagai “state court” diperlukan untuk mengatasi
“kebuntuan prosedural” yang mungkin terjadi dalam proses
arbitrase, antara lain :
► PN berwenang menunjuk arbitrator (ps. 13, ps. 14 ayat 3 dan 4,
ps. 15 ayat 4, ps 19 ayat 4).
► PN berwenang mengadili gugatan hak ingkar terhadap arbitrator
(ps. 22 s/d 25);
► PN berwenang mengeksekusi putusan arbitrase :
> arbitrase nasional (ps. 59 s/d 64);
> arbitrase internasional (ps. 65 s/d 69).
► PN berwenang membatalkan putusan arbitrase berdasarkan
alasan limitatif (ps. 70 s/d 72);
BRW/FHUA/2007 182
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
NASIONAL DAN INTERNASIONAL DI
INDONESIA
Eksekusi Putusan Arbitrase Nasional merupakan
wewenang Ketua Pengadilan Negeri di tempat
kedudukan Termohon Eksekusi (Vide Pasal 59
jo. Pasal 1 ke 4)

Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional


merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (Vide Pasal 65).
BRW/FHUA/2007 183
EKSEKUTABILITAS PUTUSAN
ARBITRASE;
► Putusan arbitrase seharusnya dijalankan suka rela, karena para
pihak berdasarkan perjanjian yang telah memilih forum
(arbitrase), hukum, tempat, bahasa, arbitrator;
► Bila putusan tidak dipenuhi sukarela, maka putusan arbitrase
dapat dimohonkan eksekusinya melalui PN setempat (ps. 61);
► Kewenangan eksekusi Putusan arbitrase nasional oleh PN
tempat kedudukan termohon (ps. 61 s/d 64 jo. ps. 1 ke-4);
► Kewenangan eksekusi Putusan arbitrase internasional di
Indonesia oleh PN Jakarta Pusat (ps. 65) jo. PERMA 1/1990;
► Secara teknis, eksekusi dapat didelegasikan ke PN tempat
kedudukan obyek sengketa;
► Hukum acara eksekusi tidak diatur UU 30/1999, melainkan
diatur dalam HIR/RIB atau RBG/RDS serta ketentuan lainnya.

BRW/FHUA/2007 184
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE
► KEDUDUKAN KPN BERSIFAT STRATEGIS

► Apabila putusan arbitrase yang dimohonkan eksekusi, dinilai oleh KPN tidak
memenuhi syarat Ps. 4 dan 5, serta dinilai bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum, maka permohonan eksekusi ditolak. Terhadap penolakan
tersebut bersifat final dan tertutup upaya hukum apapun (ayat 3).

CATATAN :

Dalam persoalan ini, kedudukan KPN sangat strategis dalam melakukan


penilaian tersebut. Untuk menghindarkan subyektifitas penilaian, penilaian tsb
hendaknya disertai argumentasi hukum yang cermat. Mengingat apabila KPN
menolak eksekusi putusan arbitrase dengan alasan bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum, maka penolakan tersebut bersifat final dan
menutup upaya hukum apapun.

BRW/FHUA/2007 185
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE
► KEDUDUKAN KPN BERSIFAT STRATEGIS

► KPN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan


arbitrase (ayat 4). Artinya KPN tidak berwenang untuk
memeriksa dan menilai substansi putusan arbitrase. Kewenangan
KPN sebatas apakah menerima ataukah menolak permohonan
eksekusi putusan arbitrase.
► CATATAN :
Norma yang terkandung dalam ketentuan tersebut, alasan dan
pertimbangan putusan arbitrase merup “ranah kompetensi”
arbiter atau majelis arbitrase. Karena itu, KPN tidak wenang
memeriksa alasan dan pertimbangan yang dipergunakan oleh
arbiter atau majelis arbitrase dalam menjatuhkan putusannya.

BRW/FHUA/2007 186
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE
► Idealnya putusan arbitrase dijalankan dengan itikad baik dan
secara sukarela oleh pihak bersengketa, mengingat para pihaklah
yang melakukan pilihan forum arbitrase, pilihan tempat, pilihan
hukum, pilihan arbitrator, pilihan bahasa. Apapun putusan
arbitrase sepatutnya diterima secara lapang dada dan itikad baik
oleh pihak bersengketa, khususnya pihak yang dikalahkan;
► Namun, Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang
melaksanakan putusannya sendiri, karena selain kedudukannya
sebagai non state court, juga tidak memiliki alat perlengkapan
eksekusi (jurusita, dll). Wewenang eksekusi putusan arbitrase
dilimpah kan ke Pengadilan Negeri dan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa (Ps. 61).

BRW/FHUA/2007 187
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL
► Perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri diberikan waktu 30
hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera
PN (ayat 1).
► Persoalannya, adalah SIAPA YANG BERWENANG DAN
BERKEWAJIBAN MENDAFTARKAN PUTUSAN
ARBITRASE ?
► Dikaitkan dengan Ps. 59 (1), pihak yang berwenang
menyerahkan dan mendafarkan putusan arbitrase ke adalah
arbiter atau kuasanya, dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh)
hari terhitung sejak putusan diucapkan dengan menyerahkan
lembaran asli atau salinan otentik putusan arbitrase.
► Apakah hal itu mengandung pengertian bahwa pihak berperkara
atau kuasanya dilarang mendaftarkan putusan arbitrase ?

BRW/FHUA/2007 188
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL
► Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, KPN memeriksa
terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi
ketentuan Pasal 4 dan 5 serta apakah tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum. (ayat 2).
► Apa yang dimaksud dengan Pasal 4 dan 5 cukup jelas, namun
mengenai apa yang dimaksud dengan “kesusilaan dan ketertiban
umum” masih memerlukan interpretasi secara kasusistis;
► Di tiap negara memiliki prinsip dan konsep “ketertiban umum”
(public policy, public order, openbare orde, orde publique),
namun substansinya bisa berbeda satu dengan yang lain, juga
berbeda antara suatu waktu dengan waktu yang lain (berubah
dinamis).

BRW/FHUA/2007 189
EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE NASIONAL
► Perintah KPN ditulis pada lembar asli dan salinan
otentik putusan arbitrase (ps. 63).
► Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah KPN
dilaksanakan sesuai pelaksanaan putusan dalam perkara
perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (Ps. 64).
► CATATAN :
prosedur eksekusi putusan arbitrase dilakukan
sebagaimana eksekusi putusan perdata PN yang telah
berkekuatan hukum tetap dengan mengacu ketentuan
HIR/RIB atau RBG/RDS serta peraturan terkait lainnya.

BRW/FHUA/2007 190
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Dibandingkan dengan eksekusi putusan arbitrase nasional, maka
eksekusi putusan arbitrase internasional memiliki dimensi yang
lebih kompleks menyangkut masalah pengaturan hukum,
prosedur dan proses eksekusi, serta berbagai kendala nya.
► Pengaturan hukum eksekusi putusan arbitrase internasional di
Indonesia tidak hanya terdapat dalam perundang-undangan
nasional melainkan juga dalam konvensi internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia.
► UU No.30/1999 mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase
internasional pada pasal 65 s/d 69.
► Selain daripada itu, pengaturan tentang eksekusi putusan
arbitrase internasional di Indonesia juga terdapat dalam Konvensi
New York 1958 jo. Keppres No.34/1981

BRW/FHUA/2007 191
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Pasal 65 UU No.30/1999 mengatur bahwa yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam penjelasannnya disebutkan “cukup jelas”.
► CATATAN :
Pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan
pengadilan satu-satunya di Indonesia yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia.
Kedua, menyangkut ruang lingkup wewenang Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, meliputi :
a. pengakuan putusan arbitrase internasional
b. pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

BRW/FHUA/2007 192
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Pada dasarnya suatu putusan arbitrase internasional untuk dapat
dilaksanakan di wilayah suatu negara tertentu harus memenuhi
syarat dan prosedur yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di
negara yang bersangkutan.
► Pada umumnya, terdapat perbedaan antara tempat (negara) putusan
arbitrase dijatuhkan dengan tempat (negara) putusan arbitrase
dilaksanakan.
► Sebelum suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan
dilaksanakan maka terlebih dahulu harus dilihat apakah hukum
negara yang bersangkutan telah memberikan pengaturannya ataukah
tidak.
► Lebih penting lagi adalah, apakah negara-negara yang bersangkutan
merupakan negara peserta atau negara yang turut meratifikasi
Konvensi New York 1958 ataukah tidak, serta apakah telah terdapat
perjanjian bilateral ataukah tidak.
BRW/FHUA/2007 193
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Suatu negara yang telah menjadi peserta atau
ikut meratifikasi Konvensi New York 1958
berarti membuka pintu bagi kemungkinan
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
intrnasional di wilayah hukum negara masing2
► Masing-masing negara yang meratifikasi
tersebut akan mengatur lebih lanjut dan lebih
tehnis dalam perundang-undangan tersendiri
yang substansinya tidak selalu sama antara
negara yang satu dengan negara yang lain.

BRW/FHUA/2007 194
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 berdasarkan
Keppres No.34/1981, dan dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah
Agung No.1/1990 (PermaNo.1/1990) tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

► Perma No.1/1990 dibuat pada waktu jauh sebelum berlakunya


UU No.30/1999. Perma No.1/1990 tersebut dimaksud kan untuk
mengatur tentang teknis prosedural yang berkaitan dengan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Saat
ini, pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia
telah diatur dalam UU No. 30/1999.

BRW/FHUA/2007 195
KASUS P.T. NIZWAR vs
NAVIGATION MARITIME BULGARE
► Periksa putusan Mahkamah Agung RI No.2944 K/Pdt/1983
tanggal 20 Agustus 1984, dalam perkara antara PT.Nizwar
(Indonesia) sebagai Pemohon Kasasi/dahulu Termohon melawan
Navigation Maritime Bulgare, Varna, Chervenoermeiski
(Bulgaria) sebagai Termohon Kasasi/dahulu Pemohon.
► Sengketa tersebut sebelumnya telah diputus oleh Arbitrase di
London, PT.Nizwar dihukum untuk membayar uang sejumlah
72.576,39 US dollar kepada Navigation Maritime Bulgare
tersebut. Selanjutnya oleh Navigation Maritime Bulgare putusan
arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaan setelah mendapat fiat
eksekusi dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan
tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
penetapannya No.2288/1979 P tanggal 10 Juni 1981, yang
intinya memerintahkan agar PT.Nizwar memenuhi isi putusan
arbitrase London tersebut.
BRW/FHUA/2007 196
KASUS P.T. NIZWAR vs
NAVIGATION MARITIME BULGARE
► PT.Nizwar mengajukan kasasi terhadap Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tersebut, tanpa disertai dengan
risalah/memori kasasi, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi
menyatakan permohonan kasasi PT.Nizwar tersebut tidak dapat
diterima.
► Namun yang menarik dalam pertimbangannya, Mahkamah
Agung tersebut antara lain menyatakan :”………Keppres
No.34/1981 dan lampirannya tentang pengesahan “Convention
on the Recoqnition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards” sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih
harus ada peraturan pelaksanaannya……………”.
► Pertimbangan aquo, kemudian ditindaklanjuti Mahkamah Agung
dengan menerbitkan PERMA No.1/1990.

BRW/FHUA/2007 197
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Konvensi New York 1958 dalam pasal-pasalnya tidak memberikan
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “recognition”
tersebut. Perma No.1/990 maupun UU No.30/1999 juga tidak
memberikan penjelasan secara eksplisit tentang apa yang
dimaksud dengan istilah “pengakuan”. Lagi pula pada penjelasan
pasal 65 hanya menyebutkan “cukup jelas”.
► Padahal suatu putusan arbitrase internasional hanya dapat
dieksekusi di wilayah hukum Republik Indonesia setelah
sebelumnya mendapatkan pengakuan dari Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
► Secara implicit UU No.30/1999 menguraikan tentang
pengertian :”pengakuan” dengan jalan menetapkan syarat-syarat
putusan arbitrase internasional yang dapat diakui dan dilaksanakan
di wilayah hukum Republik Indonesia.

BRW/FHUA/2007 198
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► Pasal 66 menetapkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :

► (a). Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau


majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Republik
Indonesia terikat pada perjanjian, bik secara bilateral mupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional;
► (b). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud huruf
“a” terbatas pada pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
► (c). Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam
huruf “a” hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

BRW/FHUA/2007 199
EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE
INTERNASIONAL
► (d). Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan
di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
► (e). Putusan arbitrase internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf “a” yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hany dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.

BRW/FHUA/2007 200
CATATAN TERHADAP PASAL 66 “a” BERKAITAN
DENGAN PRINSIP RESIPROSITAS PENGAKUAN DAN
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

► Substansi Pasal 66 “a” di atas menyangkut tentang


penerapan prinsip resiprositas diantara negara-negara
yang telah mengadakan perjanjian tentang pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
wilayah negara masing-masing. Tanpa adanya bukti
berupa perjanjian tersebut maka Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat akan memasang “palang pintu” untuk
menutup permohonan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional di wilayah hukum
Republik Indonesia.
BRW/FHUA/2007 201
CATATAN TERHADAP PASAL 66
“b” TENTANG ARBITRABILITAS
► Substansi Pasal 66 “b” UU No.30/1999 menyangkut soal arbitralitas putusan
arbitrase internasional yang dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan di
Indonesia apakah menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan ataukah tidak.
► Tolok ukur yang dipergunakan bukan bagaimana menurut hukum yang
berlaku di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan, melainkan
menggunakan tolok ukur menurut hukum yang berlaku di Indonesia sebagai
tempat putusan arbitrase internasional tersebut dimohonkan pengakuan dan
pelaksanaan.
► Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perbedaan
substansial antara hukum di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Menurut hukum di negara tempat
putusan arbitrase dijatuhkan substansi sengketa merupakan “sengketa
komersial” sehingga termasuk dalam kompetensi arbitrase, namun bisa jadi
dipihak lain ternyata menurut hukum Indonesia dinilai bukan termasuk
sengketa perdagangan.

BRW/FHUA/2007 202
CATATAN TERHADAP PASAL 66
“b” TENTANG ARBITRABILITAS
Tolok ukur tentang pengertian “ruang lingkup hukum
perdagangan” menurut hukum Indonesia adalah dengan
menggunakan interpretasi sistematis dan interpretasi ekstensif
terhadap substansi Pasal 5 dengan 66 (b) UU No.30/1999.

Pasal 5 (1) hanya menyebutkan secara umum “sengketa


perdagangan” tanpa penjelasan apapun tentang apa yang
dimaksudkannya. Adapun pasal 66 (b) memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum
perdagangan yaitu meliputi: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

BRW/FHUA/2007 203
CATATAN TERHADAP PASAL 66
“b” TENTANG ARBITRABILITAS
► Namun apabila ditelaah lebih jauh, ternyata tidak jelas apa batas-
batas dari sengketa di bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.
Karena masing-masing istilah memiliki elastisitas interpretasi
secara dinamis sejalan dengan perkembangan waktu dan
perubahan masyarakat.
► Akibat ketidakjelasan batas-batas dari apa yang dimaksud
dengan “ruang lingkup perdagangan” tidak menutup
kemungkinan akan dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat untuk bertindak semena-mena memasang “palang pintu”
dengan cara menafsirkan secara subyektif pengertian “ruang
lingkup hukum perdagangan” sebagai alasan untuk menolak
setiap permohonan pengakuan putusan arbitrase internasional di
Indonesia.

BRW/FHUA/2007 204
CATATAN TERHADAP PASAL 66
“b” TENTANG ARBITRABILITAS
► Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk menilai
dan menafsirkan secara obyektif, apakah sengketa yang telah
diputus oleh arbitrase internasional dan dimohonkan pengakuan
dan pelaksanaan tersebut menurut hukum Indonesia termasuk ke
dalam ruang lingkup hukum dagang atau tidak .
► Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang untuk menilai
dan menafsirkan secara obyektif, apakah sengketa yang telah
diputus oleh arbitrase internasional dan dimohonkan pengakuan
dan pelaksanaan tersebut menurut hukum Indonesia termasuk ke
dalam ruang lingkup hukum dagang atau tidak. Penafsiran
tersebut sudah seharusnya bertumpu pada perkembangan ilmu
hukum terkini serta dikaitkan dengan perkembangan dalam
kegiatan praktek perdagangan sehari-hari.

BRW/FHUA/2007 205
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
Pasal 66 (c) :
► Dalam bahasa Belanda disebut sebagai “openbare orde”, dalam bahasa
Perancis disebut sebagai “ordre public”, dalam bahasa Jerman disebut
sebagai “vorbenhaltklausel”, sedangkan di negara-negara dengan
sistem common law menggunakan istilah “public policy”.
► Istilah “policy” dipergunakan untuk menunjukkan adanya pengaruh
besar dari faktor-faktor yang bersifat politis dalam hal menentukan ada
atau tidaknya ketertiban umum.
► Tinneke Louise Tuegeh Longdong, sebagaimana mengutip Sudargo
Gautama, mengemukakan bahwa banyak penulis yang telah mencoba
untuk menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban
umum, meskipun demikian hingga kini masih banyak pertentangan
tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ketertiban umum.

BRW/FHUA/2007 206
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
► Masalah ketertiban umum sangat penting, oleh karena fungsinya menyangkut
tentang pengenyampingan berlakunya hukum asing dan putusan arbitrase
asing yang seharusnya dilaksanakan. Dengan alasan bertentangan dengan
sendi asasi sistem hukum yang berlaku di negara tempat dimana putusan
arbitrase internasional tersebut dimohonkan pelaksanaannya.

► Pasal V (2) “b” Konvensi New York 1958 : “ the recognition or


enforcement of the award would be contrary to the public policy of that
country”.

► Penggunaan prinsip “ketertiban umum” oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta


Pusat sebagaimana diatur Pasal 66 © jo. 65 UU No.30/1999 adalah
dimaksudkan sebagai “filter” untuk menyaring dan menilai secara obyektif
terhadap setiap permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
wilayah hukum Republik Indonesia.

BRW/FHUA/2007 207
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
► Meskipun tidak ada kesatuan pendapat tentang apa yang
dimaksud dengan ketertiban umum, namun pada
dasarnya mereka berpendirian bahwa ketertiban umum
memegang peran penting dalamarti bahwa setiap
sistemhukum negara manapun memerlukan semacam
veiligheidskiep atau rem darurat yang disebut dengan
istilah ketertiban umum. M.Sumampouw
mengemukakan bahwa,meskipun system hukum dari
setiap negara mengenal konsepsi tentang ketertiban
umum, namun sebaiknya dipergunakan seirit
mungkin dan hanya sebagai pengecualian.

BRW/FHUA/2007 208
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
► Oleh karena apabila setiap kali menggunakan ketertiban umum sebagai alasan
untuk mengenyampingkan berlakunya hukum asing maka akan
mengakibatkan hukum perdata internasional tidak berkembang (Sudargo
Gautama, menggambarkan bagaimana seharusnya penggunaan prinsip
tersebut……public policy only as a shield, not as a sword).
► Menurut pendapat saya, adalah merupakan sikap yang berlebihan apabila
berpendirian tentang superioritas hukum nasional terhadap hukum asing.
► Padahal kita tidaklah mungkin hidup secara soliter dengan mengasingkan diri
dari pergaulan hidup antar negara, melainkan dalam kenyataannya kita berada
dalam pergaulan hidup antara negara secara internasional dengan system
hukumnya yang berbeda-beda.
► Lebih-lebih dewasa ini, dengan terjadinya globalisasi kegiatan perdagangan
yang melibatkan berbagai negara, dengan keragaman sistem hukum masing-
masing.

BRW/FHUA/2007 209
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
► Dalam kaitannya dengan syarat bahwa putusan arbitrase internasional tidak
bertentangan dengan “ketertiban umum” juga diatur dalam Pasal 4 (2) Perma
No.1/1990. Istilah “ketertiban umum” penjelasannya terdapat dalam
rumusan Perma No.1/1990, Pasal 4 (2) yakni : “sendi-sendi asasi dari
seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia”.

► Namun apa pengertian serta sejauh mana batas-batas dari “sendi-sendi asasi
dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia” dalam ketentuan
tersebut ternyata tidak terdapat penjelasan lebih jauh lagi.

► Dalam keadaan demikian, maka pengertian serta batas-batasnya akan


ditentukan melalui interpretasi berdasarkan situasi dan kondisi kasus per
kasus. Sebagai konsekuensinya, apabila suatu putusan arbitrase internasional
dinilai sebagai telah bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia, maka
putusan tersebut tidak dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaannya di
wilayah Republik Indonesia.

BRW/FHUA/2007 210
CATATAN TEHADAP PASAL S 66 “c”
TENTANG KETERTIBAN UMUM
► Menurut Setiawan, fungsi ketertiban umum pada dasarnya adalah sebagai
pengawal dari “the fundamental moral convictions or policies of the
forum” dan berkaitan langsung dengan “the principle of territorial
souvereignity”.

► Penggunaan prinsip ketertiban umum tersebut “escape clause” sesuai dengan


istilah Sudargo Gautama hendaknya terbatas : “only as a shield and not as a
sword”. Dalam pengertian, untuk melindungi sendi-sendi asasi seluruh
sistem hukum dan masyarakat Indonesia, dan bukannya digunakan
sedemikian rupa bagaikan sebilah pedang untuk melumpuhkan terhadap setiap
kemungkinan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
wilayah hukum Republik Indonesia.

► Tiong Min Yeo mengemukakan bahwa : “…..public policy generally works


in a negative way. It opposes the application of foreign law or more
precisely, it is exception to the choice of law rule that would ordinarily
mandate the application of foreign law”.
BRW/FHUA/2007 211
CATATAN TERHADAP PASAL
66 “d” SOAL EKSEKUATUR
► Substansi Pasal 66 “d” UU No.30/1999 menyangkut syarat
bahwa Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan persyaratan tersebut, dikaitkan
dengan Pasal 65 tampak bahwa pengadilan yang berwenang
memberikan eksekuatur adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
► Kedudukan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat
penting dan menentukan berkenaan dengan pemberian atau
penolakan eksekuatur terhadap permohonan eksekusi putusan
arbitrase internasional. Artinya, Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak hanya terbatas berwenang dalam memberikn
eksekuatur melainkan sebaliknya juga berwenang untuk
menolak pemberian eksekuatur terhadap permohonan pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

BRW/FHUA/2007 212
CATATAN TERHADAP PASAL
66 “d” SOAL EKSEKUATUR
► Eksekuatur akan diberikan atau sebaliknya ditolak sepenuhnya
bergantung pada apakah permohonan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia telah
memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam
Pasal 66 dan 67 UUNo.30/1999.
► Meskipun tidak disebutkan secara tegas, namun bila dikaitkan
dengan Pasal 66 huruf “e” dapat ditafsirkan secara a contrario
bahwa Termohon Eksekusi sebagaimana dimaksud pada Pasal
66 huruf “d” adalah menyangkut perorangan atau badan hukum
perdata dan bukan menyangkut negara Republik Indonesia.
► Apabila Termohon Eksekusinya adalah menyangkut negara
Republik Indonesia maka diperlukan persyaratan dan prosedur
yang berbeda sebagaimana diatur secara tersendiri dalam Pasal
66 “e” UU No30/1999.
BRW/FHUA/2007 213
CATATAN TERHADAP PASAL
66 “d” SOAL EKSEKUATUR
► Substansi pasal 66 “e” UU No.30/1999 mengatur syarat apabila
putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf
“a” Pasal 66 a quo adalah menyangkut Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
► Aturan ini memberikan wewenang eksekuatur kepada Mahkamah
Agung sebagai puncak badan peradilan karena termohon akibat
serta konsekuensi eksekusi putusan arbitrase internasional tersebut
menyangkut kepentingan negara.
► Dalam hal Termohon Eksekusi adalah negara Republik Indonesia,
merupakan ujian yang cukup berat dan dilemmatis bagi Mahkamah
Agung berkenaan dengan pemberian atau penolakan eksekuatur
terhadap putusan arbitrase internasional.
BRW/FHUA/2007 214
CATATAN TERHADAP PASAL
66 “d” SOAL EKSEKUATUR
► Dikuatirkan dapat menimbulkan “conflict of interest”, karena di
satu pihak kedudukan Mahkamah Agung sebagai lembaga negara
Republik Indonesia sedangkan di pihak lain yang bertindak
sebagai Termohon Eksekusi adalah negara Republik Indonesia.
► Secara teoritis bisa saja terjadi bahwa Mahkamah Agung
bersikap konsisten dengan undang-undang yakni tetap akan
memberikan eksekuatur.
► Namun, pada bagaimana kenyataan prakteknya, saya termasuk
orang meragukan kemungkinan Mahkamah Agung mampu
bersikap konsisten dengan hal tersebut.

BRW/FHUA/2007 215
CATATAN TERHADAP PASAL
66 “d” SOAL EKSEKUATUR
► Alasan pokoknya adalah terjadinya “conflict of
interest”. Kecil kemungkinan Mahkamah Agung
Republik Indonesia akan memberikan eksekuatur
eksekusi putusan arbitrase internasional terhadap
Negara Republik Indonesia sebagai pihak termohon
eksekusinya.
► Apabila sudah menyangkut kepentingan negara, maka
Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara
cenderung akan lebih menonjolkan pemihakannya
kepada kepentingan negara (parochial principle).

BRW/FHUA/2007 216
PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL (Ps. 67)
(1). Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh Arbiter atau
Kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
CATATAN PASAL 67 (1) :
Ketentuan tersebut mengandung norma bahwa putusan
arbitrase internasional yang dimohonkan
pelaksanaannya di Indonesia, harus lebih dahulu
diserahkan & didaftarkan oeh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
BRW/FHUA/2007 217
PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL (Ps. 67)
(2). Penyampaian berkas permohonan disertai :
(a). Lembar asli atau salinan otentik putusan Arbitrase
Internasional sesuai ketentuan perihal otentikasi dokumen asing
dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
(b). Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi
dasar putusan Arbitrase Internasional sesuai dengan ketentuan
perihal otentitikasi dokumen asing dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia;
(c). Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia
di negara dimana putusan Arbitrase Internasional tersebut
ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat
pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional.
BRW/FHUA/2007 218
CATATAN 67 AYAT 2
► Pasal 67 ayat (2) huruf “a” dan “b” mengandung norma
tentang keharusan dilakukannya otentikasi trhadap
dokumen asing dan penterjemahan secara resmi naskah
putusan arbitrase internasional maupun naskah
perjanjian arbitrase dari bahasa asing yang digunakan
ke dalam naskah yang menggunakan Bahasa Indonesia
melalui penterjemah tersumpah. Hal tersebut
dimaksudkan agar terdapat kesesuaian makna antara
bahasa asing yang digunakan dalam naskah aslinya
dengan naskah terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

BRW/FHUA/2007 219
CATATAN 67 AYAT 2 huruf “C”,
MENSYARATKAN :
a. “keterangan”,
b. Yang dibuat oleh perwakilan diplomatik Republik
Indonesia di negara dimana putusan Arbitrase Internasional
tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa
c. Negara Pemohon,
d. terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral dengan
e. Negara Republik Indonesia,
f. Perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional.

BRW/FHUA/2007 220
KONSEKUENSI SYARAT PASAL
67 AYAT 2 huruf “C”
Konsekuensinya, apabila menurut “keterangan” yang dibuat oleh
Perwakilan Diplomatik Negara Republik Indonesia di negara
dimana putusan arbitrase asing dijatuhkan, ternyata antara
Negara Asal Pemohon Eksekusi dengan Negara Republik
Indonesia tidak terdapat perjanjian bilateral maupun multilateral
menyangkut masalah Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing maka Putusan Arbitrase Asing tersebut tidak
dapat dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan nya di wilayah
Negara Republik Indonesia.
Berkaitan dengan hal tersebut, penting mendapatkan perhatian
saat para pihak melakukan pemilihan forum dan tempat arbitrase
(choice of forum & choice of arbitration venue).

BRW/FHUA/2007 221
PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL
► Pasal 68
ayat (1) : “Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagaimana dimaksud Pasal 66 huruf “d” yang mengakui dan melaksanakan
Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi”;
ayat (2) : “Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf “d” yang menolak untuk
mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat
diajukan kasasi.
ayat (3) : “Mahkamah Agung mempetimbangkan serta memutuskan setiap
pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu
paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh
Mahkamah Agung”.
ayat (4) : “Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 huruf “e”, tidak dapat diajukan upaya perlawanan”.

BRW/FHUA/2007 222
CATATAN
TERHADAP PASAL 68
► Norma ayat (1), pemberian eksekuatur oleh Ketua PN Jakarta
Pusat terhadap putusan arbitrase internasional bersifat “final and
binding”.
► Norma ayat (2), (3) dan (4), penolakan pemberian eksekuatur
oleh Ketua PN Jakarta Pusat terhadap putusan arbitrase
internasional dapat dimohonkan kasasi ke Mahakamah Agung.
Setelah permohonan kasasi tersebut diputus oleh Mahkamah
Agung, tidak dapat diajukan upaya perlawanan. Namun timbul
pertanyaan, bagaimana kalau terhadap putusan Mahkamah
Agung tersebut kemudian dimohonkan peninjauan kembali ???
Oleh karena hakekat “perlawanan” adalah berbeda dengan
“peninjauan kembali”.

BRW/FHUA/2007 223
PERMOHONAN EKSEKUSI PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL
► Pasal 69
ayat (1) : “Setelah Ketua PN Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya
dilimpahkan kepada Ketua PN yang secara relatif berwenang
melaksanakannya”;
ayat (2) : “Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang
milik termohon eksekusi”;
ayat (3) : “Tatacara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tatacara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata”.
CATATAN :
Norma ayat (1), menyangkut pendelegasian wewenang eksekusi dari Ketua
PN Jakarta Pusat kepada Ketua PN setempat (domisili Termohon Eksekusi
atau tempat kedudukan obyek sengketa).
Norma ayat (2) dan (3), menyangkut tindakan sita eksekusi terhadap harta
kekayaan termohon eksekusi yang dijalankan sebagaimana berlaku pada
praktek peradilan berdasarkan HIR/RIB maupun RBG/RDS.

BRW/FHUA/2007 224
14. BIAYA ARBITRASE

Pasal 77 :
ayat (1) : Biaya arbitrase dibebankan kepada
pihak yang kalah.
ayat (2) : Dalam hal tuntutan hanya dikabul kan
sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada
para pihak secara seimbang.

BRW/FHUA/2007 225
14. BIAYA ARBITRASE

► Pasal 76
ayat (1) : Arbiter menentukan biaya arbitrase.
ayat (2) : Biaya sbagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. honorarium arbiter,
b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan
oleh arbiter,
c. biaya saksi dan saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa, dan
d. biaya administrasi.
BRW/FHUA/2007 226
CATATAN MENGENAI
BIAYA ARBITRASE (Ps 76 & 77)
► Konsekuesi biaya berkenaan dengan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, yang menyangkut honorarium arbitrator, biaya
perjalanan dan yang lainnya yang dikeluarkan oleh arbitrator
(misal : akomodasi, lumpsum, telekomunikasi dll) maupun biaya
saksi dan saksi ahli (honorarium, transportasi, akomodasi,
lumpsum, telekomunikasi, dll), biaya adiministrasi dibebankan
kepada pihak yang berperkara (Vide Ps.77).
► Berlainan dengan proses di Pengadilan, hakim justru dilarang
mendapatkan honorarium, biaya perjalanan maupun lainnya dari
pihak berperkara, karena semua dibebankan kepada Negara.
Para pihak hanya diwajibkan membayar biaya
adimistrasi/perkara. Adapun menyangkut saksi atau saksi ahli,
maka pihak berperkara yang wajib menanggungnya (Vide Pasal
49 ayat 2).

BRW/FHUA/2007 227
AKHIRNYA…………..
► Thank U,
► Dank U,
► Kamsiah,
► Arigato Gozaimazu,
► Terima kasih,
► Matur Nuwun, atas segala perhatian, pertanyaan,
kritik, dan saran2nya.

BRW/FHUA/2007 228

You might also like