You are on page 1of 18

1 Mei 2010 UU KETERBUKAAN INFORMASI

PUBLIK DBERLAKUKAN (Apa yang terjadi?)


In informasi on Friday , 30 April 2010 at 4:37 pm

Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang


mulai berlaku besok, 1 Mei 2010, akan menjadi suatu proses belajar bagi kita semua,
baik bagi badan publik maupun masayarat, dalam pelayanan informasi. Badan-badan
publik sudah efektif memberlakukan UU KIP ini secara nasional. Para kepala daerah,
terutama, provinsi, harus segera membentuk komisi informasi provinsi. Karena pada saat
undang-undang ini berlaku, baru 2 provinsi yang sudah membentuk Komisi Informasi
Provinsi, pertama adalah Jawa Tengah dan kedua Jawa Timur. Terdapat 6 provinsi lain
yang masih dalam proses seleksi, sedangkan sisanya belum membentuk sama sekali.

Sejak UU ini diberlakukan, maka sengketa informasi akan ditangani oleh Komisi
Informasi. Jika belum ada komisi ini di provinsi, maka seluruh sengketa informasi yang
ada di daerah akan ditangani oleh Komisi Informasi Pusat. Dalam satu tahun pertama ini,
Komisi Informasi Pusat akan mengutamakan proses mediasi dalam proses penyelesaian
sengketa, mengingat undag-undang ini baru dan masih banyak pihak yang harus belajar,
baik penyelenggara negara sendiri maupun masyarakat. Dalam 4 bulan ke depan KIP
akan me-review pelaksanaan peraturan Komisi Informasi mengenai standar pelayanan
informasi yang sudah dirilis 19 April 2010 lalu ke badan publik. Komisi Informasi akan
memantau pelaksanaan peratuiran tersebut di semua badan publik.

UU ini diprediksi akan menimbulkan kontroversi. Dalam pasal 17 UU tersebut, ada 10


poin yang dijelaskan, di antaranya selama proses hukum sedang berjalan, masyarakat
tidak diperkenankan untuk mendapatkan informasi soal penanganan perkara kasus-kasus
yang belum disidangkan. Padahal yang paling sering terjadi, informasi berkaitan proses
penegakan hukum. Selama proses hukum berjalan, penanganan perkara tersebut tak bisa
diakses. Kalau di pengadilan? Mestinya bisa, karena terbuka untuk umum.

Beberapa poin lain, hal-hal yang tidak bisa diakses oleh publik adalah terkait soal
informasi peralatan tempur, pasukan TNI, informasi berkaitan dengan intelijen, informasi
yang bisa mengganggu kepentingan nasional, misalnya informasi soal pembelian valuta
asing, informasi yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Jika itu dibocorkan bisa
mengganggu negara. Selain itu, beberapa informasi yang tidak boleh diakses oleh publik
di antaranya informasi yang bersifat otentik, semisal wasiat seorang ahli waris termasuk
pribadi seseorang, rekam medik kecuali kepada pihak yang bersangkutan. Serta informasi
lain yang bisa berpotensi untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia.

Bagi pihak-pihak yang secara sengaja menginformasikan ke publik atau


membocorkannya kepada publik, mereka akan dikenakan pidana maksimal satu tahun
dan uang denda maksimal Rp 5 juta.

Badan-badan publik yang dimaksud dalam lembaga ini adalah lembaga-lembaga baik
yudikatif, legislatif maupun eksekutif, serta semua badan atau lembaga yang
mendapatkan dana dari APBN. Dalam UU KIP juga dimuat ketentuan hukuman bagi
pimpinan badan pemerintah yang melanggar UU keterbukaan informasi tersebut diatur
dalam pasal 52 UU No 14 Tahun 2008. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa badan
publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak
menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik
yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap
saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan
UU ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling
lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5 juta.

Jakarta 20/4/2010 (Kominfonewscenter) – Parameter yang dapat digunakan untuk


mengukur keberhasilan implementasi UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik)
No.14/2008 harus merujuk pada tujuan dari UU KIP itu sendiri.

Pelaksana Bidang Infokom (Informasi dan Komunikasi) Ombudsman Patnuaji A


Indrarto, SS di Jakarta, Selasa (20/4), mengemukakan bila merujuk pada ketetapan tujuan
UU KIP seperti diatur Pasal 3, implementasi UU KIP dikatakan berhasil jika warga
negara betul-betul mendapatkan haknya untuk mengetahui rencana, program, dan proses
pengambilan kebijakan dan keputusan publik beserta alasannya;

Parameter keberhasilan lainnya menurut Aji adalah masyarakat aktif berpartisipasi dalam
proses pengambilan kebijakan publik dan masyarakat berperan aktif turut mendorong
terwujudnya badan publik yang baik.

Selain itu terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien
serta akuntabel serta masyarakat mengetahui alasan pengambilan kebijakan yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

“Juga meningkatnya pengetahuan dan kecerdasan masyarakat dan atau meningkatnya


kualitas pelayanan informasi oleh badan-badan publik,” kata Aji.

Ia mengatakan fungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya tidak hanya


melekat pada Komisi Informasi.

Semua pihak yang menjadi objek hukum dalam suatu UU pada dasarnya mempunyai
tanggungjawab untuk menjalankan UU itu sendiri beserta peraturan turunannya.

Dalam konteks UU KIP, badan-badan publik sesungguhnya juga berperan menjalankan


UU ini dengan cara menyediakan layanan informasi publik dan melakukan semua
kewajiban yang diatur di dalamnya.

Pengaturan fungsi Komisi Informasi secara spesifik tersebut lebih dimaksudkan untuk
menonjolkan betapa pentingnya Komisi Informasi dalam memastikan berjalannya UU
KIP.
Pertama, UU KIP memberi jaminan terbukanya akses informasi bagi masyarakat
terhadap badan publik yang mendapat alokasi dana dari anggaran pendapatan belanja
negara (APBN), anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), bantuan luar negeri, dan
dari himpunan dana masyarakat. UU KIP mewajibkan badan publik untuk memberi dan
membuka akses informasi kepada masyarakat dengan pengecualian yang terbatas.

Tidak ada alasan bagi badan publik untuk tidak melayani permintaan informasi yang
menjadi milik publik. Sanksi pidana menanti, jika badan public tidak menjalankan
amanat UU KIP.

Kedua, keberadaan UU KIP ini semakin menegaskan bahwa akses public terhadap suatu
informasi merupakan hak asasi manusia yang diakui juga oleh UUD 1945 Pasal 28 F.

Hadirnya UU KIP akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam perumusan


kebijakan publik serta pengawasan atas pelaksanaan roda pemerintahan. Terbukanya
akses publik terhadap informasi bertujuan memotivasi badan publik bertanggung jawab
dan berorientasi pada pelayanan yang sebaik-baiknya.

Ketiga, dengan UU KIP upaya mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan transparan
dapat dipercepat. Langkah itu merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance),
dan partisi-patoris dalam seluruh proses pengelolaan kenegaraan, termasuk seluruh proses
pengelo laan sumber daya publik sejak dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan
serta evaluasinya.

Ringkasnya, hadirnya UU KIP memang sudah menjadi keharusan di tengah derasnya


arus tuntutan transparansi di segala bidang. Lewat asupan informasi yang baik dan mudah
diakses, masyarakat bisa memberikan kontribusi dan partisipasinya dalam setiap
kebijakan publik sehingga interaksi dan kerja sama antarkeduanya bisa terjalin baik.
Sebaliknya, tanpa informasi, publik akan kesulitan untuk berpartisipasi, memberi saran,
dan melontarkan kritik terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan badan publik.

Jika hal itu terjadi, cita-cita mewujudkan prinsip-prinsip good governance tentunya akan
sulit tercapai. Menanti keseriusan pemerintah Setelah melalui proses yang panjang dan
seleksi yang ketat di DPR, sesuai dengan amanah UU KIP, pemerintah telah mengangkat
tujuh komisioner pusat (KI) berdasarkan Kepres No 48/ P/2009 tanggal 2 Juni 2009.
Ketujuh komisioner yang dilantik pada 16 Juli 2009 menandai bahwa secara hukum KI
pusat ter bentuk.

Kini, delapan bulan sejak pelantikan atau tiga bulan menjelang implementasi UU KIP
(Mei 2010), tidak ada tanda-tanda keseriusan pemerintah mempersiapkan pemberlakuan
UU KIP. Setidaknya, hal itu tecermin dari belum terbitnya beberapa peraturan
pemerintah (PP) yang dapat dirujuk dan dijadikan pedoman oleh badan publik mengenai
implementasi UU KIP. Akibatnya, sampai saat ini hampir semua badan publik masih
bingung menghadapi pelaksanaan UU KIP. Ketidaksiapan badan publik mengimple
mentasikan UU KIP juga pernah terdeteksi dari survei Institut Studi Arus Informasi
(ISAI) pada 2008.

Ketidakseriusan pemerintah juga terlihat dari lemahnya sosialisasi UU KIP. Sebagai


kementerian teknis yang bertanggung jawab terhadap sosialisasi, Kementerian
Komunikasi dan Informatika sebenarnya telah intensif menyosialisasikan UU KIP di
berbagai daerah.

Namun, karena sosialisasi tidak dilaksanakan secara sistematis dan terintegrasi, hasilnya
kurang berdampak luas. Masih banyak lembaga pemerintah maupun nonpemerintah di
tingkat pusat maupun daerah yang belum memahami secara utuh substansi yang
terkandung UU KIP.

Upaya pemerintah yang tidak segera memfasilitasi terbentuknya Sekretariat KI pusat


yang menjadi pendukung kinerja KI sebagaimana diamanatkan UU KIP juga menjadi
bukti lain ketidakseriusan pemerintah. Sebagai Menkominfo baru, Tifatul Sembiring
akhir Desember lalu memang telah mengirim surat.

Ketiadaan dan ketidakjelasan soal sekretariat membuat kinerja para Komisioner KI


menjadi tidak maksimal. Kerja-kerja yang harus mereka lakukan dalam rangka persiapan
implementasi UU KIP menjadi terbengkalai. Sampai saat ini misalnya, baru Provinsi
Jawa Tengah yang sudah merekrut calon-calon anggota KI provinsi. Sementara itu,
beberapa provinsi lainnya seperti Gorontalo dan Sumatra Selatan baru memasuki tahap
persiapan dan sebagian provinsi lainnya masih belum jelas.
Hal itu tentu saja menjadi sebuah ironi.

Saat pemerintah menggembar gemborkan pentingnya reformasi birokrasi dan menjadi


salah satu tolok ukur kesuksesan kerja 100 hari pertama kabinet, para birokrat kita
ternyata tidak siap dan menunjukkan kelambanannya.Tercetusnya undang-undang nomor
14 tahun 2008 memperkuat dan sekaligus membekali keinginan rakyat Indonesia secara
luas baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai pemegang Kedaulatan tertinggi
untuk bisa terus melakukan fungsi sebagai public oversight watch (POW) community
untuk mengkontrol institusi, instansi, dan agencies yang telah dibentuknya baik itu
melalui pemilihan umum, referendum maupun proxy dalam meneggakan dan melindungi
HAK RAKYAT untuk mengetahui dan diberitahu tentang masalah-masalah yang
dihadapi negara dan bangsa Indonesia.

Undang-Undang Nomor 14 thaun 2008 akan memberi keleluasaan bagi rakyat Indonesia
untuk bisa datang ke kantor pemerintah, instansi atau agency dan meminta copy dokumen
atau informasi apa saja yang dianggap perlu oleh rakyat untuk diketahuinya tanpa harus
melakukan unjuk rasa dan demonstrasi. Sebab penolakan akan hal ini merupakan
pelanggaran undang-undang nomor 14 tahun 2008, dan sanksi PIDANA akan menanti
bagi para pejabat pemerintah yang tidak melakukan amanah UU KIP.

“Dapat dikatakan bahwa Komisi Informasi mempunyai posisi sangat penting dalam
menentukan berjalan atau tidaknya implementasi UU KIP,” kata Aji. (mnr) (sumber:
kominfonewscenter.com, 20-4-2010)
Program Air Bersih dan Sanitasi
Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat
yang sehat, sejahtera dan damai. Hampir 50 persen rumah tangga di wilayah perkotaan
dan pedesaan di Indonesia kekurangan layanan-layanan dasar seperti ini. Sistem air bersih
dan sanitasi yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, melindungi lingkungan
hidup, dan vital bagi kesehatan manusia.
Masyarakat tidak selalu menyadari pentingnya kebersihan. Praktik-praktik kebersihan
yang ada seringkali tidak kondusif bagi kesehatan yang baik, dan kakus tidak dipelihara
atau digunakan dengan baik. Tingginya angka kejadian diare, penyakit kulit, penyakit
usus dan penyakit-penyakit lain yang berasal dari air di kalangan masyarakat
berpenghasilan rendah tetap menjadi halangan yang seringkali terjadi dalam upaya
meningkatkan kesehatan anak secara umum. Selain akses yang buruk terhadap air bersih,
kegagalan untuk mendorong perubahan perilaku—khususnya di kalangan keluarga
berpenghasilan rendah dan penduduk di daerah kumuh—telah memperburuk situasi air
bersih dan sanitasi di Indonesia.
Sebuah studi Bank Dunia yang disebarluaskan bulan Agustus 2008 menemukan bahwa
kurangnya akses terhadap sanitasi menyebabkan biaya finansial dan ekonomi yang berat
bagi ekonomi Indonesia, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi sektor publik dan
perdagangan. Sanitasi yang buruk, termasuk kebersihan yang buruk, menyebabkan
sedikitnya 120 juta kasus penyakit dan 50.000 kematian dini setiap tahun, dengan dampak
ekonominya senilai lebih dari 3,3 miliar dolar AS per tahun. Sanitasi yang buruk juga
menjadi penyumbang signifikan dari polusi air—yang menambah biaya air yang aman
bagi rumah tangga, dan menurunkan produksi perikanan di sungai dan danau. Biaya
ekonomi yang terkait dengan polusi air oleh karena sanitasi yang buruk saja telah
melampaui 1,5 miliar dolar AS per tahun. Tahun 2006, Indonesia kehilangan 2,3 persen
produk domestik bruto yang disebabkan oleh sanitasi dan kebersihan yang buruk.

Sepanjang sejarahnya selama 10 tahun di Indonesia, IRD telah berada di garis depan
dalam bekerja bersama masyarakat-masyarakat lokal untuk membangun dan memperbaiki
infrastruktur air dan sanitasi, mendidik penduduk mengenai kebersihan yang lebih baik,
berkontribusi pada perlindungan lingkungan hidup, dan membantu masyarakat
memperoleh pendapatan dari penyediaan layanan-layanan dasar.
Baru-baru ini, Program Restorasi Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan memperbaiki
status kesehatan jangka panjang dari masyarakat yang terkena dampak tsunami,
khususnya perempuan dan anak-anak, di propinsi Aceh melalui kombinasi antara
peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi dan pendidikan mengenai praktik-
praktik kesehatan dan kebersihan yang baik. Berkolaborasi dengan UNICEF, pihak
berwenang setempat, dan perusahaan penyedia layanan publik, IRD telah bekerja untuk
menyediakan air bersih kepada lebih dari 300.000 penduduk.

Atas: Staf IRD dan pejabat setempat meletakkan batu pertama untuk sistem distribusi air
yang baru. Bawah: Menguji hasilnya.

Setiap intervensi oleh IRD dimulai dengan melibatkan pemerintah setempat dan tokoh-
tokoh masyarakat untuk membangkitkan minat dan kepercayaan pada program serta
pemikiran mengenai keberlanjutan program. Para penerima manfaat dari kegiatan IRD
dilibatkan secara aktif dalam keseluruhan proses mulai dari perencanaan dan
pembangunan hingga penyuluhan mengenai pengoperasian dan pemeliharaan sistem. Hal
ini dicapai melalui pembentukan komite air desa, dimana penduduk memutuskan
bagaimana cara menggalang sumbangan dari desa terhadap proyek tersebut. Ini biasanya
dilakukan dengan menerapkan iuran bulanan dimana setiap rumah tangga menyumbang
sejumlah kecil uang selama empat hingga enam bulan. IRD bekerja bersama komite
tersebut untuk mengkaryakan dan mengatur kontraktor-kontraktor serta pekerja-pekerja
lokal dan menyediakan pelatihan bagi para pekerja untuk membanguna atau merestorasi
sistem pasokan air kecil, koneksi ke rumah-rumah, sistem sanitasi dan pembuangan, serta
septic tank yang baik. Sebagian besar pekerjaan tersebut dilakukan secara manual,
sehingga mengurangi biaya dan dampak terhadap lingkungan.
Atas: Mempraktekkan kebersihan yang baik di sebuah sekolah.

Instalasi-instalasai pengolahan air dan jaringan-jaringan distribusi air telah


menghubungkan sekolah-sekolah dan rumah-rumah ke pasokan air yang
berkesinambungan yang sebelumnya tidak ada. Di Aceh, IRD merestorasi dan
memperbaiki empat sistem pasokan air besar bagi 197.000 penduduk. Pihak berwenang
setempat, PDAM, diberi pelatihan untuk mengoperasikan dan memelihara sarana-sarana
ini dengan baik. IRD juga bekerja bersama masyarakat di 20 desa untuk membangun
sarana pasokan air dan sanitasi desa yang baik yang akan dijalankan dan dipelihara oleh
masyarakat itu sendiri. Selain itu, sarana sanitasi air di 20 sekolah di desa-desa tersebut
juga direhabilitasi. IRD melibatkan siswa dan tokoh masyarakat dalam mempromosikan
kebersihan yang baik pada saat infrastruktur yang baru telah berfungsi.

Tanpa pemahaman dan kesadaran akan praktik-praktik kebersihan yang baik, perbaikan
infrastruktur saja tidak akan cukup untuk memelihara kesehatan dalam jangka panjang.
IRD melatih bidan-bidan, baik di puskesmas maupun di tingkat desa, serta kelompok-
kelompok perempuan dan komite-komite sanitasi air desa dalam hal metodologi
peningkatan kebersihan. IRD melaksanakan program WASH di sekolah-sekolah setempat,
melatih guru-guru dan siswa-siswa untuk menjadi pendidik sebaya mengenai prakti-
praktik kebersihan yang baik dengan menggunakan metodologi pembelajaran aktif.
Siswa menggunakan drama, lagu dan tarian untuk mempromosikan kebersihan yang baik
di sekolah dan dalam acara masyarakat setempat

Standar Minimal Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi di


Daerah Bencana
Tuesday, 06 October 2009 10:44

Bencana selalu menimbulkan permasalahan.


Salah satunya bidang kesehatan. Timbulnya masalah ini berawal dari kurangnya air
bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan. Akibatnya
berbagai jenis penyakit menular muncul.

Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera diberikan


baik saat terjadi dan pasca bencana disertai pengungsian. Saat ini sudah ada standar
minimal dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penganan
pengungsi. Standar ini mengacu pada standar internasional. Kendati begitu di lapangan,
para pelaksana tetap diberi keleluasaan untuk melakukan penyesuaian sesuai kondisi
keadaan di lapangan.

Beberapa standar minimal yang harus dipenuhi dalam menangani korban bencana
khususnya di pengungsian dalam hal lingkungan adalah:

A. Pengadaan Air.

Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan
dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling mendesak. Namun
biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air muncul akibat
kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai tingkat tertentu.

Tolok ukur kunci

1. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per orang per
hari
2. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
3. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
4. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang

B. Kualitas air

Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk keperluan
keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa
menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit–
penyakit maupun pencemaran kimiawi atu radiologis dari penggunaan jangka pendek.

Tolok ukur kunci ;

1. Di sumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan bakteri
dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 mili liter
2. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahwa resiko pencemaran semacam itu
sangat rendah.
3. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang jumlahnya
lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu ada resiko atau
sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare, air harus didisinfektan lebih
dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai standar yang bias diterima (yakni
residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5
NTU)
4. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
5. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna air,
akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian jangka pendek, atau
dari pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah direncanakan,
menurut penelitian yang juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan–
bahan kimiawi yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan
menurut penilaian situasi nampak tidak ada peluang yang cukup besar untuk
terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.

C. Prasarana dan Perlengkapan

Tolok ukur kunci :

1. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter,
dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk
wadah yang berleher sempit dan/bertutup
2. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
3. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup
banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–jam
tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki–laki.

Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk umum,
satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.
D. Pembuangan Kotoran Manusia

Jumlah Jamban dan Akses

Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang cukup dan jaraknya
tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat kapan
saja diperlukan, siang ataupun malam

Tolok ukur kunci :

1. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang


2. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis
kelamin (misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki dan jamban
perempuan)
3. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di
kamp pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban hanya
memakan waktu tidak lebih dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.
4. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik pembagian
sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb.
5. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang–kurangnya berjarak 30
meter dari sumber air bawah tanah. Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5
meter di atas air tanah. Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke
sumber air mana pun, baik sumur maupun mata air, suangai, dan sebagainya
6. 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang

E. Pengelolaan Limbah Padat

Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat

Masyarakat harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis.

1. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum
sempat menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
2. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas
pakai, perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman
atau tempat–tempat umum.
3. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat tempat
pembakaran limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara
benar dan aman, dengan lubang abu yang dalam.
4. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–tempat
khusus untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan, dengan system
pengumpulan sampah secara harian.
5. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu
sedemikian rupa sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup
dapat terhindarkan.
6. 2 (dua) drum sampah untuk 80 – 100 orang

Tempat/Lubang Sampah Padat

Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah rumah tangga sehari–hari
secara nyaman dan efektif.

Tolok ukur kunci :

1. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak
sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar
lubang sampah umum.
2. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah
rumah tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

F. Pengelolaan Limbah Cair

Sistem pengeringan

Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari–hari yang cukup bebas dari risiko
pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air luapan dari sumber–sumber,
limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari prasarana–prasarana medis. Hal–hal
berikut dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat keberhasilan pengelolaan limbah
cair :

1. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik pengambilan/sumber air


untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun di sekitar tempat pemukiman
2. Air hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran pembuangan
air.
3. Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan
sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air. (Sumber: Kepmenkes No.
1357 /Menkes/SK/XII/2001)

Menjaga Septic Tank Berfungsi Baik


Tuesday, 24 August 2010 09:57
Septic Tank atau sering disebut sebagai tangki
septik adalah bangunan pengolah dan pengurai kotoran tinja manusia cara setempat
(onsite) dengan menggunakan bantuan bakteri. Tangki ini dibuat kedap air sehingga air
dalam tangki septik tidak dapat meresap ke dalam tanah dan akan mengalir keluar
melalui saluran yang disediakan. Septic tank (dengan disertai bidang resapan) merupakan
salah satu bentuk pengolahan limbah setempat yang umum digunakan di Indonesia dan
direkomendasikan sebagai pilihan teknologi yang relatif aman apabila memenuhi
persyaratan tertentu.

Kerja bakteri dalam melakukan pengolahan limbah yang memadai dalam tangki septik
sangat bergantung pada pengoperasian dan perawatan yang benar yang dilakukan oleh
rumah tangga bersangkutan. Mengingat pentingnya peran bakteri tersebut maka perlu
dihindari masuknya bahan-bahan yang berbahaya bagi keberadaan bakteri ke dalam
septic tank. Bahan-bahan itu di antaranya adalah pemutih pakaian, bahan-bahan kimia,
cat, maupun deterjen.

Dalam perawatan septic tank, salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui
bahwa tangki septik memenuhi standar adalah dilakukan atau tidaknya pengurasan rutin
terhadap lumpur tinja (indikator ini digunakan dalam studi Environmental Health Risk
Assessment – Penilaian Resiko Kesehatan Lingkungan yang dilakukan Kabupaten/Kota
dalam rangka penyusunan Buku Putih Sanitasi). Septic Tank yang tidak pernah dikuras
(ataupun memiliki periode pengurasan lumpur yang panjang) mengindikasikan bangunan
yang tidak standar dan berpotensi mencemari air tanah setempat.

Pengurasan lumpur dari septic tank secara teratur akan menjamin proses pengolahan air
limbah berjalan optimal. Lumpur yang berlebih akan mengurangi lamanya air limbah
tinggal di dalam septic tank sehingga mengurangi kinerja proses pengolahan. Waktu
tinggal yang disyaratkan agar air limbah mengalami proses pengolahan yang optimal di
dalam septic tank adalah 1,5 hari.

Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 03-2398-2002 mengenai Perencanaan Septic


Tank dengan sistem resapan, memberikan pedoman mengenai ukuran (dimensi) septic
tank dengan periode pengurasan tiga tahun untuk digunakan bagi satu keluarga (terdiri
atas 5 jiwa). Apabila ukuran (dimensi) septic tank telah sesuai dengan apa yang terdapat
dalam SNI, maka pengurasan dapat mengikuti periode yang disarankan tersebut.

Untuk septic tank yang tidak mengikuti ukuran standar maupun septic tank yang tidak
diketahui dimensinya, salah satu cara untuk mengetahui apakah tangki septik tersebut
perlu dikuras atau tidak adalah dengan melakukan pengecekan sederhana terhadap
ketinggian lumpur. Pengecekan ini sangat sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa saja
dan perlu dilakukan secara teratur (sekitar 6 bulan sekali). Langkah-langkah pengecekan
ini adalah sebagai berikut:

ü Gunakan tongkat panjang yang dibungkus kain katun warna putih pada ujungnya

ü Selanjutnya ukur kedalaman lumpur

ü Apabila tinggi lumpur sudah mencapai setengah dari kedalaman tangki, maka tangki
septik sudah perlu untuk dikuras.

ü Pengurasan lumpur dari tangki septik dapat dilakukan dengan bantuan mobil sedot
tinja milik pemerintah maupun dari pihak swasta.

Septic tank yang berfungsi dengan benar dapat menurunkan potensi pencemaran air tanah
dangkal yang masih menjadi salah satu sumber air utama bagi rumah tangga di Indonesia

Pemerintah Susun RUU Pengelolaan Air Limbah


Thursday, 19 August 2010 10:22

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum tengah menyusun Rancangan


Undang-Undang tentang Pengelolaan Air Limbah. Sampai saat ini, penyiapan RUU
tersebut sudah sampai pada tahap penyusunan draft rancangan undang-undang. Draft
RUU ini diharapkan dapat menjadi bahan pemenuhan syarat pengajuan sebuah RUU
sesuai dengan tata cara pembentukan Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia.

Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PLP) Ditjen Cipta Karya


Syukrul Amien mengatakan, Draft RUU ini merupakan kelanjutan dari Penyusunan
Naskah Akademik RUU Pengelolaan Air Limbah pada 2009 lalu. Penyusunan legal
drafting ini merupakan langkah awal pembuatan undang-undang tentang air limbah.

“Memang perlu waktu panjang untuk menjadi undang-undang, tapi yang penting kita
sudah memulai,” katanya, saat membuka “Diskusi Pakar I Pemantapan Muatan Naskah
Akademik Penyusunan Draft Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Air Limbah,” di
Jakarta, Rabu (18/8).

Ia menambahkan, saat ini kepedulian akan pentingnya prasarana dan sarana air limbah
masih rendah, terlihat dari masih tumpah tindihnya lembaga pemerintah di
kabupaten/kota yang bertanggungjawab. Bahkan, ada kabupaten/kota tidak mempunyai
lembaga khusus yang bertanggung jawab di bidang tersebut.

Selain itu, peraturan perundang-undangan di bidang air limbah yang ada, seringkali tidak
cukup kuat mendorong penyelenggaraan prasarana dan sarana menjadi lebih baik.
Sehingga perlu dikembangkan agar penyelenggaraan prasarana dan sarana air limbah
tidak tertinggal dari penyelenggaraan prasarana dan sarana permukiman yang lain seperti,
air minum sampah dan sebagainya.

Menurutnya, keberadaan UU Pengelolaan Air Limbah saat ini semakin mendesak. Di sisi
peraturan, pengelolaan air limbah masih diatur secara parsial dan sektoral sehingga tidak
cukup komprehensif, seperti dalam UU kesehatan, permukiman dan UU perindustrian.
Peraturan juga masih dalam tataran sektoral perda, misalnya Peraturan bersama Gubernur
Bali, Bupati Badung dan Walikota Denpasar No.36A tahun 2006 tentang Pengelolaan
Bersama Sistem Air Limbah Perpipaan.

Sementara, disisi prasarana dan sarana, berdasarkan data Susenas 2008, pelayanan
prasarana dan sarana air limbah masih jalan ditempat. Pada tahun 2001, sebanyak 61,99%
prasarana tidak aman dan 38,01% aman. Naik sedikit pada 2007 sebesar 60,86% tidak
aman dan 39,14% aman.

“Untuk itulah Ditjen Cipta Karya melakukan penyusunan Draft RUU Pengelolaan Air
limbah ini. Marilah kita bersama-sama membuat suatu landasan baru untuk pengelolaan
air limbah kedepan,” tambahnya.

Dalam penyusunan draft RUU ini, Kementerian Pekerjaan Umum bekerjasama dengan
Kementerian Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, Bappenas dan Kesehatan. Sementara di
luar itu, juga melibatkan para akademisi dari ITB dan Trisakti, praktisi serta Lembaga
Swadaya Masyarakt (LSM).

Dari Open Dumping ke Controlled Landfill lalu


Sanitary Landfill
Thursday, 01 July 2010 15:39

Semua daerah harus segera bersiap-siap menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
sampah sistem terbuka (open dumping) pada 2013 sesuai amanat undang-undang
persampahan. Tidak ada alternatif lain kecuali meningkatkan pengelolaan sistemnya.

Pilihan terbaik adalah membangun TPA sanitary landfill. Namun jika pemerintah daerah
tidak mampu membangun TPA sanitary landfill, sistem controlled landfill bisa menjadi
pilihan. Hanya saja, sistem ini bersifat sementara sampai sistem sanitary landfill bisa
diwujudkan.

Di mana perbedaan sistem-sistem tersebut? Pada sistem terbuka (open dumping), sampah
dibuang begitu saja dalam sebuah tempat pembuangan akhir tanpa ada perlakuan apapun.
Tidak ada penutupan tanah. Tak heran bila sistem ini dinilai sangat mengganggu
lingkungan.

Sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping. Untuk


mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun dengan
lapisan tanah setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan dan
pemadatan sampah.

Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk diterapkan di kota sedang dan
kecil. Untuk bisa melaksanakan metode ini, diperlukan penyediaan beberapa fasilitas, di
antaranya :

• Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan.


• Saluran pengumpul air lindi (leachate) dan instalasi pengolahannya.
• Pos pengendalian operasional.
• Fasilitas pengendalian gas metan
• Alat berat

Sedangkan sistem sanitary landfill merupakan sarana pengurugan sampah ke lingkungan


yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Ada proses penyebaran dan
pemadatan sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap hari. Penutupan
sel sampah dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari.

Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internasional. Untuk
meminimalkan potensi gangguan timbul, maka penutupan sampah dilakukan setiap hari.
Namun, untuk menerapkannya diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup
mahal.

Di Indonesia, metode sanitary landfilled dianjurkan untuk diterapkan di kota besar dan
metropolitan. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa
fasilitas, sama seperti fasilitas dalam sistem controlled landfill. Tentu dengan kebutuhan
jumlah dan spesifikasi yang berbeda.

Inilah Kota/Kabupaten PPSP 2011


Posted in Artikel |
September 21st, 2010

Setelah melalui proses penjaringan, pemerintah pusat menetapkan kota/kabupaten yang


terpilih menjadi peserta program nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
(PPSP) 2011. Ada 62 kota/kabupaten terpilih.

Meski sudah terpilih, kota/kabupaten ini harus melengkapi persyaratan yang ditetapkan,
yakni:

1. Membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang berfungsi sebagai forum koordinasi


antar instansi yang terlibat dalam pembangunan sanitasi (Pokja Sanitasi, Pokja
AMPL, Pokja Kabupaten/Kota Sehat, atau Pokja-Pokja lain yang sejenis) atau
memperkuat Pokja lainnya yang sejenis dan sudah berdiri secara resmi di tingkat
kota/kabupaten.
2. Mengalokasikan dana pada APBD 2011 (sudah dicantumkan dalam DPA 2011)
untuk operasional Pokja, pelaksanaan kegiatan dan studi-studi pendukung PPSP
serta menyediakan sekretariat yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan
harian Pokja.

Nantinya, PPSP akan melakukan verifikasi kepada seluruh kota/kabupaten sasaran, pada
Oktober 2010. Dalam verifikasi ini, kota/kabupaten yang sudah menyatakan minat dan
komitmennya akan diminta untuk membuktikan realisasi komitmen tersebut berupa
keberadaan SK Pokja (baik Pokja Sanitasi, Pokja AMPL atau sejenisnya) dan alokasi
anggaran untuk kegiatan PPSP yang sudah dimuat dalam DPA 2011. Apabila terdapat
kota/kabupaten sasaran yang ternyata tidak dapat memberikan bukti tersebut, maka
kota/kabupaten itu akan dinyatakan tidak terlibat dalam PPSP 2011.

Inilah daftar kota/kabupaten terpilih:

1. Kabupaten Aceh Tenggara


2. Kabupaten Aceh Besar
3. Kabupaten Bireun
4. Kabupaten Pidie
5. Kabupaten Aceh Tamiang
6. Kabupaten Karo
7. Kota Tanjung Balai
8. Kota Binjai
9. Kabupaten Pesisir Selatan
10. Kabupaten Sijunjung
11. Kabupaten Pasaman
12. Kota Sawahlunto
13. Kota Pariaman
14. Kabupaten Agam
15. Kota Pagaralam
16. Kabupaten Musi Rawas
17. Kabupaten Bangka
18. Kota Depok
19. Kota Cimahi
20. Kota Tasikmalaya
21. Kota Banjar
22. Kabupaten Banyumas
23. Kabupaten Banjarnegara
24. Kabupaten Klaten
25. Kabupaten Sukoharjo
26. Kabupaten Sragen
27. Kabupaten Blora
28. Kabupaten Kudus
29. Kota Magelang
30. Kabupaten Blitar
31. Kabupaten Probolinggo
32. Kabupaten Pasuruan
33. Kabupaten Sidoarjo
34. Kabupaten Madiun
35. Kabupaten Bojonegoro
36. Kabupaten Lamongan
37. Kabupaten Pasuruan
38. Kabupaten Gresik
39. Kabupaten Pandeglang
40. Kota Serang
41. Kabupaten Gianyar
42. Kabupaten Karangasem
43. Kabupaten Sumbawa Barat
44. Kabupaten Lombok Timur
45. Kabupaten Lombok Utara
46. Kabupaten Bima
47. Kabupaten Sumbawa Besar
48. Kabupaten Lombok Barat
49. Kabupaten Ketapang
50. Kabupaten Kubu Raya
51. Kabupaten Barito Kuala
52. Kabupaten Tanah Bumbu
53. Kota Banjar Baru
54. Kabupaten Kotabaru
55. Kabupaten Pasir
56. Kabupaten Kutai Timur
57. Kota Tarakan
58. Kota Bontang
59. Kabupaten Berau
60. Kabupaten Penajam Paser Utara
61. Kabupaten Kutai Barat
62. Kota Pare-Pare

You might also like