You are on page 1of 93

35

POKOK-POKOK DAN ANALISIS


KONSEP PENDIDIKAN MUTHAHHARI

A. Fitrah: Dimensi Asasi Pendidikan Islam


Dikarenakan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, sebagaimana
telah dibahas pada Bab III, maka pembahasan mengenai pendidikan Islam,
khususnya dalam pemikiran Muthahhari, biasanya diawali dengan awal
terciptanya manusia. Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah
informasi yang akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam
yang sesungguhnya.
Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai dimensi
asasi pendidikan Islam ini lebih bernunsa filosofis. Beliau mengutarakan hal-hal
yang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga dilahirkan ke dunia lalu
membahas masalah mengenai: Manusia dan Pengetahuan. Pembahasan Manusia
dan Pengetahuan ini adalah untuk mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan
apakah pengetahuan yang didapat oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil
dari pencarian manusia sendiri.
Di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, persoalan fitrah memperoleh
perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki perspektif
tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa manusia
mempunyai fitrah. Dengan demikian, kita mesti mengkaji sejarah kosakata fitrah
dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri manusia
benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah tidak.1

1
Murtadha Muthahhari, Al-Fithrah (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.6—34.

33
35

Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah.


Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang menurutnya
pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah, yang disebut oleh al-
Ghazâlî sebagai khulq (sebagai persamaan istilah dari fitrah).2 Di tengah-tengah
kajian tentang fitrah/khulq ini nantinya akan muncul beberapa cabang, antara lain
masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu tema yang amat luas dan
merentang panjang.
Karena itu, jika manusia memang memiliki rangkaian hal-hal yang
bersifat fitrah, maka kita mesti pula berbicara tentang masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran dalam perspektif persoalan-persoalan fitrah tadi.
Bahkan, istilah “pendidikan” (tarbiyah atau ta'dib dalam terminologi
Naquib Alatas3) yang kita gunakan, disadari atau tidak, juga terbentuk atas asas
fitrah tersebut. Sebab yang dimaksud dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha
untuk menyempurnakan kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Semua itu
disandarkan pada sekumpulan sarana. Atau, jika kita gunakan istilah modern,
semua itu membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri
manusia, yang dimensi asasinya adalah fitrah.4
Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi dasar
pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah manusia.
Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu condong kepada
kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat pendidikan yang
mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan mencegah kejahatan.
2

Jalaluddin Rahmat, et. al, “Kuliah-kuliah Tasawuf”, dalam Husein Shahab, Tasawuf dalam
Perspektif Mazhab Etika, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), cet. Ke-1, h.42.
3
S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Educatinal in Islam: A Framework for an Islamic
Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ABIM, 1980), h.60.
4

Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 6.

33
35

Sebagaimana disebutkan dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-


Ghazali adalah mencetak insan kamil, yaitu manusia yang memiliki akhlak mulia
dengan menanamkan nilai-nilai Ilahiyah sejak dini dalam diri manusia sehingga
dalam mengarungi kehidupan ini memiliki pijakan yang kuat dalam menjalani
perjalanannya dalam menuju kesempurnaan hakiki, yaitu kesempurnaan pada saat
“bertemu” dengan Sang Pencipta.

1. Pengertian Fitrah dari Segi Bahasa


Lafadz fithrah, dengan berbagai derivatnya, banyak disebutkan dalam al-
Qur’an, misalnya dalam ayat-ayat di bawah ini:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (Din) yang lurus, (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Ar-Rum: 30).
“Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi
yang telah menciptakannya, dan aku adalah termasuk orang-orang yang bersaksi
akan hal itu” (QS. Al-Anbiya: 56).
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah termasuk dari orang-orang yang
menyekutukannya” (QS. Al-An'am: 79)
“Apabila langit terbelah” (QS. Al-Infithar: 1)
“Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Adalah
janji-Nya itu pasti terlaksana” (QS. Al-Muzammil: 18)
Dalam kitab Mufradat, ar-Raghib al-Isfahani mengemukakan kosakata
fathara sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Atsir. Yakni menunjukkan arti

33
35

“keawal-mulaan sesuatu dan tidak adanya sesuatu sejenis itu yang


mendahuluinya.”5
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazali, dalam konteks ini fithrah
seperti tercantum pada ayat-ayat di atas berarti al-khalq dan al-ibda’. Al-
Khalq itu sendiri identik dengan al-ibda’ (yang memiliki arti menciptakan
sesuatu tanpa contoh). Hanya saja, yang menyebutkannya dalam bentuk ini
(fithrah), yakni yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat ini, “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu”. (QS. Ar-
Rum: 30).
Dalam bahasa Arab, bentuk fi’lah menunjuk pada mashdar yang
menunjukkan arti “keadaan atau jenis perbuatan”. Jika kita mengucapkan kata
jalsah, maka lafal ini menunjuk pada arti “duduk satu kali”. Tetapi jika kita
katakan jilsah, maka artinya adalah keadaan duduk. Karena itu, ucapan kita
yang berbunyi “Jalastu jilsata Zaidan”, berarti “Aku duduk seperti duduknya
Zaid”. Yakni, duduk seperti keadaan duduk yang dilakukan Zaid.
Berdasarkan itu, maka lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan
manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang
disebutkan dalam ayat, “Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut
fitrah itu” (QS. Ar-rum: 30) mengandung arti “keadaan yang dengan itu
manusia diciptakan”. Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan
keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang
ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang
menjadi fitrahnya.6

5
Ar-Raghib al-Isfahani, Al-Mufradât, (Kairo: Mathba’ah al-Maimaniyah, 1324 H), dalam
makna kata fathara.
6
Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 11.

33
35

Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang


berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,” kitab tersebut
memberikan komentar bahwasanya "Al-Fathr" berarti menciptakan dan
menjadikan (al-ibtida’ wa al-ikhtira’), dan fithrah merupakan keadaan yang
dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang
baru, yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti
contoh sebelumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al-Mukhtari’ (yang
menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah at-taqlidi (membuat
sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di
saat dia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya
pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Al-Fithrah adalah
keadaan yang dihasilkan aripenciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-
rikhbah, yakni fitrah merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki
keadaan tertentu.7
Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri
manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung
diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.

2. Watak, Naluri, dan Fitrah


Setelah membahas mengenai pengertian fitrah, maka selanjutnya
dalam buku fitrah-nya Muthahhari mengajak kita untuk membedakan arti dari
tiga istilah yang terkesan sama namun pada hakekatnya berbeda. Hal ini

7
Ibn Atsir, Nihâyah fi Gharib al-Hadits, (Qum: Muassassah Isma’iliyyan, 1405), dalam makna
kata fithrah.

33
35

dirasakan penting, agar pemahaman kita terhadap fitrah tidak dikaburkan


dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama namun berbeda.
Terdapat tiga istilah, yaitu “watak”, “naluri”, dan “fitrah” yang mesti
dibedakan dan diketahui perbedaannya, sebagai berikut.
a. Watak atau Sifat Dasar (ath-thabi’ah)
Watak (sifat dasar) biasanya digunakan untuk benda-benda mati. Tetapi,
bisa pula digunakan untuk benda-benda hidup. Contohnya, jika kita
bermaksud menunjukkah salah satu karakteristik (ciri khas) air, maka
kita mengatakan, “Wataknya adalah begini”. Atau, “Watak oksigen
adalah mudah terbakar.” Jadi, kita menyebut berbagai karakteristik asal
benda-benda dengan wataknya.
Manusia dengan pemikiran rasional dan filosofis yang dimilikinya,
berpikir bahwa dua benda yang sama dalam segala seginya tidak
mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Jika karakternya berbeda,
hal itu membuktikan bahwa kedua benda itu memiliki perbedaan dalam
satu segi atau lebih. Berdasarkan itu, maka pada setiap benda tersebut
terdapat potensi atau kekhususan yang memunculkan karakteristik tadi,
yang hanya dimiliki olehnya dan tidak oleh yang lainnya. Potensi atau
kekhususan itulah yang merupakan watak (thabi’ah) benda tersebut.
b. Naluri (al-gharizah)
Istilah ini banyak digunakan untuk binatang, dan jarang sekali
digunakan untuk manusia, serta tidak pernah digunakan untuk benda-
benda mati dan tumbuh-tumbuhan. Hakikat naluri belum jelas hingga
saat ini. Artinya, seseorang tidak sanggup menginterpretasikan apa
sebenarnya naluri itu. Kendati demikian, kita mengetahui bahwa dalam
diri binatang terdapat kekhususan-kekhususan internal tertentu yang

33
35

menjadi penuntun hidupnya. Di dalam naluri tersebut terdapat kondisi


setengah sadar yang dengan itu binatang-binatang dapat dibedakan
perjalanan hidupnya. Kondisi tersebut bukan muktasabah (diperoleh
dengan usaha), tetapi merupakan sifat dasar yang ada pada binatang.
Termasuk dalam naluri tersebut adalah kesanggupan binatang yang baru
lahir untuk melakukan berbagai gerakan, tanpa melalui latihan lebih
dahulu. Pengetahuan yang seperti itulah yang kita sebut dengan
“Naluri”. Yakni, kondisi kesadaran yang tidak sempurna, suatu keadaan
yang merupakan gabungan dari sadar dan tidak sadar.
c. Fitrah (al-fithrah)
Istilah ini digunakan untuk manusia. Sebagaimana halnya dengan naluri
dan watak, fitrah merupakan bawaan alami. Artinya, ia merupakan
sesuatu yang melekat dalam diri manusia, dan bukan sesuatu yang
diperoleh melalui usaha. Fitrah mirip dengan kesadaran. Sebab, manusia
mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui. Artinya,
dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah, dan dia
tahu betul tentang hal itu.8
Dari pengertian tentang watak, naluri dan fitrah di atas, dapat
dipertegas kembali makna dari fitrah itu sendiri. Fitrah adalah sesuatu yang
melekat dan hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari
dan mencintai kebenaran. Seperti telah dikemukan di atas, bahwa pendidikan
pun memiliki fungsi yang sama, yaitu menanamkan dan mengajarkan kepada
manusia untuk mencari dan mencintai kebenaran.
Di sinilah titik temu antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan
berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui

8
Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.20-24.

33
35

cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang


berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-
nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari
fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya.
Adanya anggapan bahwa anak manusia dilahirkan dalam keadaan
kosong, dengan diibaratkan sebuah kertas kosong yang masih putih, dan tugas
dari ayah-ibu dan lembaga pendidikan formallah yang mewarnainya, maka
dari pengertian fitrah di atas dengan sendirinya terbantah. Anak manusia
bukanlah seperti kertas kosong yang tidak memiliki apa-apa sehingga ia
seperti benda mati yang bebas diperlakukan oleh siapa saja, yang dengannya
tercipta satu kepribadian yang khas. Namun, lebih daripada itu, anak manusia
merupakan subjek yang telah tahu akan kebenaran dan eksistensinya di dunia.
Ketika seorang bayi menangis dan mendapat perlakuan yang tidak
dikehendakinya, ia langsung menangis. Ia tahu akan keberadaan dirinya. Apa
buktinya ia tahu akan keberadaan dirinya? Jika bayi itu tidak tahu bahwa ia
ada, maka dia tidak akan memiliki keinginan. Keinginan sesungguhnya lahir
dari pengetahuan akan eksistensi diri. Tanpa itu maka tidak akan ada
keinginan. Dengan demikian, seorang bayi pun bukanlah secarik kertas yang
kosong, tetapi dia telah memiliki basic pengetahuan mengenai eksistensi diri
yang dengannya dapat tumbuh dan mengenali lingkungannya. Pengetahuan
mengenai eksistensi diri itulah yang disebut fitrah.
Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan
informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah
dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam
pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang

33
35

cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari


kebenaran.9
Lebih jauh, Muthahhari memberikan penjelasan yang rinci mengenai
alasan manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Mencari kebenaran
sendiri adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah “pengetahuan”,
atau kategori “penalaran terhadap alam luar”. Dorongan ini ada dalam diri
manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa
adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin
memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda
dalam keadaan yang sesungguhnya. Masalah pencarian kebenaran, di
kalangan para filosof, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia,
dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat
alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang
di dalam psikologi disebut dengan “dorongan mencari kebenaran”, atau “rasa
ingin tahu.10
Kecendrungan pada kebenaran dan pengetahuan bersumber pada
fitrah. Artinya, manusia merupakan realita yang tersusun (composite) dari
tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiyah, seperti
yang dikatakan oleh ayat al-Qur’an:
“Dan ketika Aku telah sempurnakan kejadinnya (manusia), maka Aku
tiupkan ke dalam jiwanya Ruh-Ku, maka hendaklah kaliah bersujud kepada-
Nya” (QS. Shaad: 72).
Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan
terikat dengannya, sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-

9
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.38.

10
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 57.

33
35

hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran,
dan ini merupakan dorongan jiwanya (rohnya). Semua dorongan ini—
pengetahuan dan penciptaan, cinta dan ibadah—pada dasarnya merupakan
refleksi dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih
yang dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika
muncul kerinduan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan tersebut
menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dari adanya
fitrah tersebut.

3. Manusia dan Pengetahuan

Terdapat suatu pertanyaan yang secara khusus ber kaitan dengan


pengetahuan manusia, yaitu: Apakah dalam diri manusia terdapat sejumlah
pengetahuan yang sifatnya fitri, yakni pengetahuan pengetahuan yang ghair
muktasabah?
Di dalam diri kita terdapat setumpuk konsep dan gambaran, dan tidak
diragukan lagi bahwa banyak pen dapat yang mendekati konsensus
mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak hal yang mukta sabah,
sebagaimana yang juga dijelaskan oleh ayat Al- Qur'an, "Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,
agar kamu bersyukur " (QS. an Nahl: 78).
Sebagian pemikir kita ingin bersandar pada ayat ini guna menegaskan
bahwa semua pengetahuan yang kita miliki adalah muktasabah (diperoleh
melalui usaha), sekalipun terlihat bahwa ada pula pengetahuan- pengetahuan
yang bersifat fitrah. Pengertian lahiriah ayat tersebut mengatakan,
"Sesungguhnya ketika kamu sekalian dilahirkan, kamu sekalian belum

33
35

mengetahui suatu apa pun." Artinya, lembaran hati kalian masih bersih dan
belum ada goresan apa pun. Lalu, kamu sekalian diberi pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar dengan itu kamu sekalian dapat menuliskan ber
bagai hal di lembaran hati kalian.11
Ini baru satu teori. Ada teori lain yang mengatakan sebaliknya. Yakni,
sesungguhnya ketika manusia di lahirkan, dia sudah mengetahui semua hal,
tanpa ada satu pun yang terlewat. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sebelum bertempat di badan, roh manusia berada di alam lain, yakni alam
idea (ingat teori Plato). Idea adalah hakikat hakikat dari segala sesuatu yang
ada di alam semesta. Roh telah mengetahuinya dan telah pula menemukan
hakikat benda benda itu. Kemu dian, ketika ia bertempat di badan, muncullah
peng halang (hijab) yang memisahkan roh dari pengetahuan- pengetahuan
idea tersebut. Kondisinya seperti orang yang sudah mengetahui sesuatu, tapi
untuk beberapa waktu menjadi lupa, dan kemudian ingat kembali. Se tiap bayi
yang dilahirkan, menurut teori Plato, sudah mengetahui segala sesuatu.
Pengajaran dan belajar hanyalah usaha untuk mengingat kembali sesuatu yang
terlupakan. Guru adalah orang yang mengingatkan. Yakni, mengingatkan
sesuatu yang dia ketahui dalam dirinya.12
Teori ketiga mengatakan bahwa manusia mengetahui sesuatu melalui
fitrahnya. Benda benda yang dia ketahui dengan cara ini, tentu. saja, sangat
sedikit. Dengan kata lain, prinsip berpikir pada semua manu sia adalah
bersifat fitrah, sedangkan cabangnya bersifat muktasabah. Yang dimaksud
dengan prinsip berpikir di sini bukanlah prinsip berpikirnya Plato, yang me
ngatakan bahwa di alam lain manusia telah mengetahui segala sesuatu, namun

11
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 37-38.
12
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 39.

33
35

kemudian lupa. Tetapi, yang dimaksud adalah bahwa di dunia ini manusia
dingatkan pada prinsip prinsip tersebut. Hanya saja, untuk mengetahuinya, dia
membutuhkan guru, membutuh kan sistem yang membedakan besar dan kecil,
perlu membuat analogi, menempuh pengalaman, dan lain sebagainya. Artinya,
bangunan intelektualitas manusia dijadikan sedemikian rupa sehingga dengan
menyo dorkan beberapa hal saja, cukuplah baginya untuk mengetahui hal itu
tanpa harus ada dalil dan bukti, dan juga bukan karena dia telah mengetahui
hal itu se belumnya.
Teori ini, pada umumnya, dianut oleh para filosof Muslim. Dengan
beberapa perbedaan dalam rincian nya, ia juga merupakan teori yang dianut
Aristoteles. Perbedaan tersebut juga terjadi di kalangan para filosof modern,
tetapi tidak dalam bentuknya yang Platonis. Sebab, hingga saat ini tidak ada
seorang pun yang tahu secara persis teori Plato. Kendati demikian, dewasa ini
dijumpai filosof filosof yang meyakini bahwa sebagian dari pengetahuan
manusia itu bersifat fitrah, dan se bagiannya lagi. bersifat tajribi (diperoleh
melalui pe ngalaman) dan terjadi sesudah manusia hidup di dunia. Tokoh
aliran ini adalah filosof besar Kant.13
Kant mengakui adanya himpunan pengetahuan yang bersifat fitri,
yakni pengetahuan pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengalaman
ataupun melalui indera, tapi pengetahuan yang mesti ada dalam diri manusia
demi terbentuknya aspek pemikiran manusia. Pemikiran seperti ini ditemukan
di kalangan filosof Jerman. Namun, para filosof Inggris yang mengatakan
bahwa pengetahuan diperoleh melalui indera, jumlahnya lebih banyak,
misalnya john Lock, David Hume, dan lain lain. Kelompok yang disebut
terakhir ini memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok yang disebut

13
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 40-41

33
35

terdahulu. Mereka mengatakan bahwa lembaran lembaran diri manusia pada


mulanya kosong dari suatu pengetahuan pun, kemudian manusia bertemu
dengan segala sesuatu, dan mempelajarinya.
Titik pusat dan paling penting dalam pembicaraan kita sekarang ini
adalah teori yang dianut oleh para filosof Muslim, yang mengatakan bahwa
prinsip prinsip berpikir manusia tidak bersifat pengajaran (dibentuk melalui
belajar) dan tidak pula bersifat istidlaliah (di dapatkan melalui penyusunan
dalil dalil). Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, mereka juga tidak
memandang hal itu sebagai karakteristik asal manusia. Ini berbeda dengan
Plato dan Kant, yang menganggapnya sebagai bawaan asal manusia. Para
filosof Muslim mengatakan, tatkala manusia dilahirkan, dia tidak mengetahui
apa pun, termasuk prinsip prinsip berpikir tersebut. Walau pun begitu, mereka
mengatakan bahwa terbentuknya prinsip prinsip tersebut sesudah itu tidak
membutuhkan pengalaman, penyusunan dalil, ataupun guru. Begitu seseorang
berpikir tentang dua sisi suatu. hal, yakni pokok permasalahannya dan
kemungkinan kemungkinannya, ia pun sampai pada kesimpulan antara pokok
persoal an dan kemungkinan kemungkinannya.
Sebagai contoh, jika kita mengatakan, "Keseluruhan itu lebih besar
daripada bagian bagiannya," maka Plato pasti mengata kan bahwa manusia
mengetahui itu sejak azali, sebagai mana halnya dengan pengetahuannya
terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Terhadap pernyataan
kita itu, Kant juga pasti akan mengatakan: Per nyataan bahwa keseluruhan itu
lebih besar daripada bagian bagiannya merupakan rangkaian dari unsur -unsur
berpikir yang sifatnya fitrah yang terdapat di dalam bangunan akal. Artinya,
sebagian pengetahuan itu diperoleh dari luar, dan sebagian lainnya terkait
dengan akal sejak asalnya.

33
35

Para filosof Muslim mengatakan tidak demikian. Seorang bayi yang


baru lahir tidak tahu apa pun mengenai konsep bahwa keseluruhan itu lebih
besar daripada bagian bagiannya. Sebab, dia tidak mempunyai konsepsi
mengenai "keseluruhan" dan "bagian bagian". Akan tetapi, begitu dia
memiliki konsepsi tentang ke dua hal itu, dan salah satu darinya dia terapkan
terhadap yang lain, maka saat itu juga dia dapat memutuskan tanpa perlu
adanya dalil, guru, atau eksperimen bahwa keseluruhan itu lebih besar
daripada bagian-bagiannya.
Kita juga menemukan perbedaan pandangan antara para filosof
Muslim dengan Plato dalam hal ada dan tidak adanya fitrah. Sekarang, mari
kita lihat bagaimana pendapat Al Qur'an. Di satu sisi, Al Qur'an mengatakan:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui suatu apa pun, dan Dia mem beri kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS. an Nahl: 78)
Dalam ayat di atas berpendapat bahwa semua bayi yang dilahirkan
berada dalam keadaan bersih se perti lembaran kertas putih, tanpa ada satu
goresan apa pun. Tetapi, pada sisi lain, Al Qur'an mengemuka kan pertanyaan
pertanyaan yang dari situ seseorang dapat mengetahui bahwa, dalam beberapa
hal, akal manusia tidak membutuhkan penyusunan dalil. Lalu, bagaimana
kedua pandangan ini dapat dikompromikan?
Sebagai contoh, kita ambil masalah tauhid dalam Al Qur'an.
Pengertian pengertian yang akan kami tarik dari ayat ayat tentang tauhid
menunjukkan bahwa tauhid adalah masalah fitrah. Berdasar itu, maka respons
terhadap keesaan Allah dalam instink manusia, sama sekali tidak sejalan
dengan ayat yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak
mengetahui apa pun". Akan tetapi, kenyataannya kedua hal ter sebut sejalan.

33
35

Atau, kita ambil sebagai contoh lagi, diulang ulangnya lafal at


tadzakkur (mengingat) dalam Al Qur'an. Ini betul betul menakjubkan. Ketika
Al Qur'an menghancur luluhkan teori Plato melalui ayatnya yang berbunyi,
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui apa pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan,
dan hati" kita pun menemukan Al Qur'an berkata kepada Rasulullah saw,
"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu ada lah orang yang
menberi peringatan." (QS. al Ghasyiah: 21)
Lihatlah, bukankah Al Qur'an sendiri yang menggunakan kata tadzkir
(mengingatkan) dan memberi predikat mudzakkir (orang yang memberi
peringatan) kepada Nabi saw? Ini menunjukkan, Al Qur'an ber pendapat
bahwa ada beberapa hal yang (untuk me ngetahuinya) orang tidak
membutuhkan penyusunan dalil dan bukti, tetapi cukup dengan mengingat
saja. Antara lain, Al Qur'an mengatakan, "Apakah sama orang orang yang
mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?” QS. az Zumar:
9).14
Ini merupakan pertanyaan retorik (tidak membutuh kan jawaban),
seperti yang digunakan Socrates dalam pendidikan dan pengajaran.
Diceritakan bahwa ketika Socrates ingin menegaskan sesuatu kepada pende
ngarnya, dia memulainya dengan menyampaikan hal- hal yang sangat jelas
dengan menggunakan pertanya an, "Apakah persoalannya begini atau begitu?"
Kendati persoalannya sudah demikian jelas, Socrates benar -benar tahu bahwa
akal manusia akan memilih yang jelas. Karena itu, dia memberikan pilihan
kepadanya. Kemudian, dia mengangkat permasalahan dengan pertanyaan
kecil, dan dengan cara yang sama, "Apakah keadaannya memang seperti ini

14
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 41.

33
35

atau seperti itu?" Me lalui pertanyaan ini, Socrates menyodorkan pilihan yang
secara pasti memang bakal dipilih oleh pendengarnya. Begitulah seterusnya
yang dia lakukan, sampai akhir nya pendengarnya mengetahui apa yang
sebenarnya diinginkan oleh Socrates untuk mereka ketahui, tanpa Socrates
sendiri menjelaskan suatu apa pun. Yang demikian itu dilakukan oleh
Socrates, karena pada dasarnya dia adalah seorang guru, sekaligus orang yang
mengerti tentang jiwa manusia. Karena itu, dia me nyimpulkan jawaban dari
pertanyaan itu sendiri. Socrates sendiri menggambarkan dirinya seperti ibunya
yang dukun bersalin. Socrates bekerja bagai "dukun ber salin" seperti yang
dilakukan ibunya. Alam mengajar kan kepada seorang perempuan untuk
melahirkan, tetapi dukun bersalinlah yang membimbing dan mem bantunya
melahirkan. Jadi, Socrates tidak melakukan apa pun kecuali membantu akal
manusia untuk me lahirkan pemikiran yang baru.15
Al Qur'an juga menggunakan gaya bahasa tertentu dalam melontarkan
pertanyan pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
Katakanlah, "Apakah sama orang~orang yang menge tahui dengan
orang orang yang tidak mengetahui?" (QS. az Zumar: 9)
Patutkah Kami menganggap orang orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh sama dengan orang orang yang berbuat kerusakan
di muka bumi. Atau, patutkah [pula] Kami menganggap orang orang yang
bertakwa sama dengan orang~orang yang berbuat maksiat? QS. Shad: 28)
Dalam kedua ayat itu, Al Qur'an yang bertanya, dan manusia yang
mesti menjawab. Dalam posisi seperti itu, Al Qur'an kemudian menegaskan,
"Bahwasanya hanya orang orang yang berakal sajalah yang dapat meng
ambil pelajaran." (QS. ar Ra'd: 19)

15
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 41-42.

33
35

Demikianlah, maka menjadi jelaslah kepada kita bahwa masalah


masalah fitrah yang dikemukakan oleh al Qur'an bukanlah sejenis fitrah
seperti yang disebut kan Plato, tetapi ia merupakan potensi fitri yang di miliki
oleh setiap manusia. Saat seorang bayi sampai pada fase yang di situ dia telah
sanggup menkonsepsi kan hal hal tadi, maka pembenarannya terhadap hal- hal
tersebut bersifat fitri. Artinya, pembenaran yang terjadi setelah dia melakukan
konsepsi adalah bersifat fitri. Berdasar itu, maka tidak ada kontradiksi apa pun
ketika Al Qur'an mengatakan, "Dialah yang megeIuarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan
untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur," dengan
per nyataan bahwa tauhid itu adalah fitrah.
Kendati Al Qur'an mengisyaratkan banyak masalah untuk diingat,
namun hal itu tidak bertentangan dengan fakta bahwa masalah masalah
tersebut bersifat fitrah. Artinya, untuk mengetahui masalah masalah itu,
seseorang tidak harus belajar dan menyusun dalil. Tetapi, itu juga bukan
sesuatu yang bersifat fitrah dalam pengertian bahwa ia sudah diketahui
manusia sebelum dia dilahirkan.
Sekarang, apa yang akan dikatakan oleh orang orang yang menolak
eksistensi fitrah? Mereka mengatakan bahwa dalam diri manusia tidak
terdapat prinsip pripsip yang tetap yang merupakan kemestian bagi
terbentuknya kegiatan berpikir akal (tak terkecuali kemestian yang dikatakan
oleh Kant). Misalnya, pemikir pemikir terdahulu mengatakan me ngenai
prinsip berpikir, "Menggabungkan dua hal yang bertentangan adalah
mustahil." Artinya, adalah mustahil suatu benda disebut ada dan tidak ada
pada saat yang bersamaan. Itu juga berarti, tidak mungkin ada konsep yang
sesuai dengan realitas dan, pada saat yang sama, tidak sesuai dengan realitas.

33
35

Mengenai masalah ini terdapat banyak sekali pendapat yang kita temukan
dalam filsafat Hegel dan dalam Marxisme. Tetapi masalah ini jelas sudah
berada di luar pembicaraan kita. Atau, misalnya lagi, kita mengatakan, "Dua
benda disebut sama jika semua aspek yang ada pada keduanya sama dengan
benda yang ketiga." Atau, "Keseluruhan lebih besar daripada bagiannya."
Atau lagi, "Menentu kan sesuatu yang lebih baik tanpa adanya penentu adalah
mustahil." 16
Misalnya, jika terdapat dua kemungkin an pada satu benda, di mana
kedua kemungkinan ter sebut bertentangan satu sama lain, dan menisbahkan
benda tersebut kepada masing masing kemungkinan tersebut adalah sama dan
setara, maka mencende rungkan benda tersebut kepada salah satu di antara
kedua kemungkinan tersebut mengharuskan adanya faktor luar (eksternal)
yang mempengaruhinya. jika tidak terdapat faktor luar, maka menentukan
kecen derungan benda tersebut pada salah satu di antara kedua kemungkinan
tersebut adalah mustahil.
Ada ilustrasi lain, misalnya suatu benda dapat ber ada di dua tempat
sekaligus. Hal hal seperti ini tidak mungkin dicarikan dalilnya. Tetapi, ini
tidak berarti bahwa hal hal itu tergolong dalam persoalan persoalan misterius
yang tidak mungkin dibuktikan. Ada hal hal yang tidak ditemukan dalil untuk
mem buktikannya, tetapi hal hal tersebut bukanlah sesuatu yang misterius
(tidak diketahui). Ambillah, sebagai contoh, luas alam semesta ini. Apakah
luas alam ini ada batasnya ataukah tidak? Orang bisa saja menjawab, "Saya
tidak tahu apakah ia terbatas atau tidak terbatas, sebab tidak mungkin
menyodorkan dalil untuk itu."

16
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 45.

33
35

Atau, misalnya lagi, ada yang mengatakan, "Semua benda membesar


bersama sama dan dengan perban dingan yang sama." Pengertiannya, kalau
pada saat ini tinggi Anda sama dengan sebelumnya, katakanlah 170 cm,
demikian pula ukuran ukuran tangan dan kaki, dinding, air, kursi, dan tirai,
kemudian ada orang yang mengatakan, "Ukuran semua benda itu sudah
bertam bah," lantas Anda bertanya, "Semula tinggi saya 170 cm, apakah
sekarang bertambah menjadi 180 cm?" maka orang itu menjawab, "Tidak,
sebab ukuran sentimeter sekarang ini sudah memanjang juga dengan perban
dingan yang sama." Masalah ini tidak dapat kita bukti kan dengan dalil, dan
tidak dapat pula kita buktikan dengan dalil akan kebalikannya. Persoalan
persoalan seperti ini tidak dapat dibuktikan ataupun ditolak dengan dalil,
sehingga seakan akan menjadi sesuatu yang misterius (majhulah).
Adapun pernyataan bahwa suatu benda dapat berada di dua tempat
yang berbeda pada saat yang sama merupakan masalah yang tidak dapat
dibuktikan, tetapi tidak dipandang oleh manusia sebagai sesuatu. yang
misterius (majhulah), maka pernyataan seperti ini, dan pernyataan pernyataan
lain yang sejenis, adalah tidak benar.
Orang orang yang mengakui adanya prinsip prinsip berpikir yang
bersifat bawaan, haruslahjuga mengakui bahwa prinsip prinsip tersebut asli
sifatnya, tidak berubah, dan tidak bisa salah. Mereka menga takan, "Ketika
kita berada di sini, prinsip prinsip ter sebut merupakan prinsip yang sahih, dan
jika kita pindah ke lingkaran lain, maka prinsip prinsip ter sebut tetap benar.
Contohnya, pernyataan 2x2= 4 ada lah benar di dunia ini, dan juga benar di
akhirat kelak, dan pasti akan tetap benar sesudah milyaran tahun lagi. Jadi,
kalau kita percaya tentang adanya fitrah dalam berpikir, maka kita dapat
meyakini adanya cabang dari fitrah tersebut, karena cabang-cabang terbentuk

33
35

dari prinsip itu sendiri. Akan halnya jika ada yang menga takan bahwa prinsip
itu sendiri sesuatu yang diusaha kan, artinya ada suatu faktor yang mendorong
kita untuk menerimanya, dan kita bagaikan cermin yang diletakkan di
hadapan gambar, maka terhadap pen dapat itu kami menjawab: Keseluruhan
itu lebih besar daripada bagiannya. Kesimpulan seperti itu muncul dari
lingkungan sekitar yang memastikan demikian. Jika lingkungan berubah,
maka kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yakni bagian lebih besar
daripada ke seluruhannya. Yang saya maksudkan adalah bahwa jika kita
menolak prinsip prinsip berpikir, maka ilmu dan kegiatan belajar mana pun
menjadi tidak berarti.17
Ilmu matematika, secara keseluruhan, dibangun atas sekumpulan
prinsip yang sudah dikenal. Jika prinsip- prinsip tersebut tidak diakui, bahkan
semata mata di sandarkan pada struktur dan bangunan akal kita yang khas,
maka jika struktur dan bangunan akal kita ber ubah, kita akan mengatakan
sesuatu yang berbeda dari yang kita katakan sebelumnya. Atau, bahwasanya
prinsip -prinsip tersebut akan seperti itu selama kita masih menghuni planet
bumi ini, dan begitu kita pindah ke Mars, maka model pemikiran kita pasti
akan berubah. Cara berpikir seperti ini, tentu saja, tidak dibangun atas kaidah
filsafat yang mana pun.18
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan ini adalah bahwa
orang-orang yang menolak prinsip- prinsip fitrah yang asli (bersifat bawaan)
dalam berpikir tidak memiliki sudut pandang (yang benar) me ngenai alam
ini, dan tidak pula memiliki filsafat yang dapat memberi keputusan yang pasti
bahwa mereka mengetahui alam semesta ini secara baik. Mereka tidak sadar

17
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 46.
18
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 46.

33
35

bahwa orang orang seperti mereka adalah ibarat orang yang duduk di atas
cabang satu pohon yang cabang itu dia gergaji sendiri. Dia tidak sadar, begitu
cabang tersebut tergergaji, maka dia akan jatuh bersamanya.
Itu sebabnya, tidak ada sesuatu pun yang dimiliki oleh filsafat
materialisme kecuali keberingasan semata, dan tidak pula ada teori yang ia
miliki kecuali mengatakan bahwa pemikiran pemikiran itu merupakan se
suatu yang dihasilkan oleh pengaruh faktor faktor eks ternal. Dengan teori itu,
mereka menolak prinsip-prinsip berpikir asli yang diakui banyak orang, yang
tetap, dan tidak berubah. Artinya, seluruh apa yang saya katakan, begitu pula
halnya dengan cabang cabangnya, dipandang oleh orang orang itu sebagai
sesuatu yang tidak memiliki landasan yang benar. Berdasarkan itu, maka
filsafat yang ditegakkan atas prinsip prinsip dan cabang cabang seperti itu,
juga tidak memiliki dasar yang benar. Bahkan, tidak ada asas yang sahih bagi
filsafat apa pun. Akibatnya adalah keraguan, menafikan ilmu pengetahuan dan
filsafat.
Sampai di sini, kajian kita berbicara seputar penalaran dan
pengetahuan. Yang kita peroleh adalah hal- hal berikut ini. Kita sudah
mengemukakan teori teori yang berbeda beda, lalu menentukan teori yang kita
pandang benar dan bisa kita terima, yaitu teori yang mengatakan bahwa
prinsip prinsip berpikir itu bersifat fitrah. Muthahhari juga telah menjelaskan
bahwa fitrah ter sebut berbeda dengan fitrah yang dikatakan Plato dan Kant,
dan ia bukan merupakan sesuatu yang terbentuk saat bayi dilahirkan.
Muthahhari pun telah mengatakan bahwa satu satunya cara membangun
pengetahuan, pemikir an, dan filsafat umat manusia adalah dengan menerima
prinsip prinsip sah yang ada dalam pikiran manusia, dan berarti tidak ada
sesuatu pun yang kita miliki kecuali keraguan. Selanjutnya, ada pula filsafat

33
35

filsafat yang berpendapat seperti itu, tapi pada saat yang sama meyakini
materialisme dialektik. Yakni, teori yang mengatakan bahwa di alam semesta
ini tidak ada apa pun kecuali benda benda (materi). Mereka tidak menyadari
bahwa pernyataan mereka itu merupakan pemikiran yang tidak ada bobotnya
sedikit pun. Artinya, dengan mengabaikan kritik kritik yang bisa kita
lancarkan terhadap materialisme, toh materialisme itu sendiri tetap merupakan
ranting yang akan jatuh bersama tubuh mereka, saat mereka mengger
gajinya.19

4. Manusia dan Kebutuhan-kebutuhannya

Bagian kedua berbicara tentang kebutuhan kebutuhan yang bersifat


fitrah. Yakni apakah dalam dirinya, manusia mempunyai tuntutan-tuntutan
yang bersifat fitrah?
Sebelum ini telah dibicarakan tentang penge tahuan. Sekarang,
pembicaraan kita adalah tentang tuntutan tuntutan fitrah yang mencakup dua
hal berikut:20

a. Kebutuhan kebutuhan jasmani


Yang dimaksud dengan kebutuhan jasmani ialah kebutuhan
kebutuhan yang seratus persen berkaitan dengan jasmani, semisal naluri untuk
makan. Ini merupakan urusan yang bersifat fisik dan jasmani semata- mata,
tapi pada saat yang sama ia merupakan naluri. Artinya, ia berkaitan dengan
bangunan tubuh manusia dan binatang. Sesudah manusia mencerna makanan
19
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 47.
20
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 49.

33
35

di dalam perutnya, ia merasa membutuhkan makanan yang baru. Perasaan


lapar muncul dari sejumlah saraf pencernaan yang secara otomatis memberi
sinyal ke pada otak manusia, bahkan di saat orang tersebut tidak tahu apakah
ia punya makanan ataukah tidak, misalnya anak kecil. Kemudian, agar
laparnya hilang, dia pun makan. Ketika dia selesai makan, laparnya pun
hilang, bahkan dia kadang kadang menjadi lelah seperti orang yang baru
berjalan jauh. Demikian pula halnya dengan naluri seksual, yang berkaitan
dengan syahwat dan hormon hormon tubuh serta saraf saraf tertentu. (Akan
halnya masalah cinta, pertanyaannya adalah: apakah cinta dan seks itu sama
atau berbeda? Seterusnya, apa kah kerinduan itu termasuk dalam kategori
seksual atau bukan? Persoalan persoalan ini membutuhkan kajian yang luas
dan tersendiri).
Masalah lain adalah persoalan tidur, apa pun juga substansinya. jika ia
disebabkan oleh kelelahan sel atau mengendurnya aktivitasnya akibat bekerja
dan penge rahan tenaga atau sebab sebab lain seperti itu, maka ia berkaitan
dengan masalah jasmani. Hal hal tersebut kita masukkan dalam kategori naluri
(al gharaiz). Te tapi ia tidak termasuk dalam kajian kita sekarang ini.21

b. Kebutuhan kebutuhan Rohani (Spiritual)


Terdapat sejumlah tuntutan dan kecenderungan-kecenderungan
naluriah atau. fitriah yang oleh para sarjana psikologi dikategorikan dalam
urusan urusan rohani, dan mereka menyebut kelezatan kelezatan yang
dirasakan manusia setelah terpenuhinya tuntutan tuntutan itu sebagai
"kelezatan rohani". Kecenderungan seperti itu misalnya kecenderungan
keibuan atau ke bapakan. Perasaan ini berbeda dengan naluri seksual yang

21
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 50.

33
35

ingin disalurkan terhadap seorang perempuan. Kecenderungan yang dirasakan


seseorang bahwa dia ingin mempunyai seorang anak tidak sama dengan
kenikmatan jasmani. Artinya, ia tidak khusus berhubung an dengan organ
organ jasmani. Keinginan untuk menang, dihormati, dan berkuasa pada diri
manusia adalah sejenis kehausan yang bersifat rohani. Betapa pun telah
berkuasanya seseorang, pasti dia ingin me miliki kekuasaan yang lebih besar
lagi, dan barangkali keinginannya untuk itu tidak terbatas. Pujangga besar
Sa'di mengatakan:
Jika seorang manusia Tuhan makan roti

Dia kan memberikan separuhnya kepada orang miskin


Tetapi jika seorang raja berkuasa atas tujuh penjuru dunia
Maka hatinya akan tetap ingin menguasai negeri lain.22
Jika manusia berjalan di atas langkah langkah yang mengantarkannya
pada kekuasaan dan kedudukan, maka langkahnya tidak pernah ada akhirnya.
Bahkan, di saat kekuasaannya telah membentang di segenap penjuru dunia,
dia tetap berpikir untuk mengirim pa sukan ke planet planet lainnya yang
sekiranya dihuni oleh manusia. Adapun mencari ilmu dan mengkaji ke
benaran merupakan persoalan lain.
Pengetahuan, danjuga penemuan hakikat hakikat estetika dan seni,
berkreasi dan berteknologi, serta hal- hal lain di atas itu, yang selama ini kita
sebut dengan kerinduan dan peribadatan, semuanya muncul dari cinta.
(Sedangkan ibadah yang muncul dari rasa takut dan pamrih, maka Islam
mengajarkan kepada kita bahwa ibadah seperti itu tidak ada nilainya, kecuali
bahwa hal itu merupakan pengantar yang dengan itu kadang-kadang seseorang
dapat mencapai derajat yang lebih tinggi).

22
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 50-51.

33
35

Tuntutan tuntutan yang disebutkan di atas, wajib kita kaji dalam upaya
kita mengetahui apakah ia ter masuk fitrah atau tidak. Bila kita menolak
perolehan pengetahuan sebagai bersifat fitrah, maka kita pun sampai pada
jurang ke raguan yang sangat menakutkan. Yakni, keraguan total yang
menyeret kita pada Sophisme, penafian pengeta huan dan penalaran, bahkan
pada penafian kebenar an secara total.
Sekarang kita harus melihat apakah dalam diri kita terdapat tuntutan
tuntutan yang bersifat fitrah atau kah tidak. Tetapi, sebelum itu, kita terlebih
dulu harus melihat apakah terdapat perbedaan antara "Adanya tuntutan
tuntutan fitrah dalam diri kita", dengan "Tidak adanya tuntutan tuntutan fitrah
dalam diri kita". Kita juga harus melihat, apakah dalam hal ini ada orang-
orang yang menolak eksistensi tuntutan tuntutan yang bersifat fitrah, sehingga
mereka "memotong cabang dari pohonnya", seperti yang mereka lakukan saat
mereka menolak prinsip prinsip berpikir manusia dan memotong cabangnya
dari pohonnya pula, tanpa mereka sadari bahwa saat itu mereka sendiri sedang
duduk di atas cabang yang mereka gergaji itu.23
Pada bagian yang lalu saya telah mengatakan bahwa sesuatu yang
terdapat dalam diri manusia dan yang keberadaannya sama sekali tidak
diragukan, dan yang dengan itu manusia menjadi makhluk yang berbeda dari
semua makhluk yang ada (dengan mengabaikan perbedaan perbedaan
lainnya), adalah bahwa manusia dapat menyadari alam di luar dirinya. Atau,
dengan kata lain, dia berpikir tentang segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya. Artinya, manusia adalah makhluk yang berpikir, atau jika kita
gunakan istilah yang lebih modern, manusia adalah makhluk yang sadar: sadar
akan dirinya, dan sadar akan alam yang ada di sekitarnya.

23
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 52.

33
35

Karena kelebihannya itu, manusia dapat menerima rangkaian


pengetahuan dari dunia luar. Kerja ini kita sebut dengan "menalar". Menalar!
Alangkah indahnya istilah yang dipilih oleh para pendahulu kita ini. Me nalar
(al idrak) dalam bahasa Arab berarti naik tangga dan sampai. Dengan
bersandar pada pengertian istilah ini, para filosof menyebut orang yang
mencari sesuatu dan menemukannya dengan "Innahu qad adrakahu (Dia telah
menemukannya). Misalnya, orang yang me ngejar orang lain yang melarikan
diri dan berhasil me nangkapnya disebut dengan "Innahu qad adrakahu" Itulah
yang diperoleh manusia dari alam luar, yakni sejenis pertemuan dan
keterikatan antara dirinya dengan dunia luar dirinya. Selagi manusia masih
bodoh, ter dapat tabir yang menutupi dirinya dari alam luar diri nya. Tabir itu
seakan akan menghalangi dirinya untuk sampai pada alam yang ada di luar
dirinya. Tetapi, begitu dia telah pandai (mengetahui) tentang alam di luar
dirinya, seakan akan dia telah sampai ke alam ter sebut. Hal tersebut memang
termasuk dalam jenis sampai pada sesuatu. Tidak diragukan sedikit pun
bahwa dalam masalah pengetahuan ini binatang, tum buh tumbuhan, dan
benda benda mati yang mana pun, tidak dapat disamakan dengan manusia.
Binatang memang memiliki pengetahuan yang kabur tentang alam di
luar dirinya. Akan tetapi, dan tidak diragukan sedikit pun, pengetahuannya
tidak mencapai pengetahuan yang dimiliki manusia. Binatang tidak dapat
berpikir. Sebab, yang dimaksud dengan berpikir adalah sesuatu yang harus
ada modalnya, yaitu penalaran yang mengantarkan pelakunya pada modal
yang baru. Artinya, dengan apa yang diketahuinya, manusia dapat
menemukan hal hal lain yang tidak dia ketahui, manusia dapat menemukan
hal-hal yang tidak dia ketahui.

33
35

Ketika Anda berpikir tentang sesuatu dan menge nai problem tertentu,
misalnya tentang sekolah, lalu Anda berhasil menemukan alternatif, maka apa
yang dimaksud dengan berpikir di situ? Kerja apa itu? Anda berpikir, dengan
bermodal pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki, tentang hal hal yang
tidak Anda ke tahui, yang ada di hadapan Anda. Kemudian Anda mem buat
relasi antara pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki dengan sesuatu yang
tidak Anda ketahui itu. Dengan itu, Anda pun menjadi orang yang me
ngetahui hal hal yang semula tidak Anda ketahui. Artinya, Anda berhasil
menemukan jalan keluar yang baru. Yang demikian ini dapat disamakan
dengan reproduksi dalam alam materi dan jasmani. Binatang tidak memiliki
sesuatu seperti itu. Binatang hanya dapat mengindera, yaitu penginderaan
yang tipis sekali. Mereka melihat warna warna, dan dapat merasakan panas
seperti kita merasakannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Dengan demikian,
berpikir merupakan ke khususan manusia.24
Masalah lain yang membedakan manusia dari bukan manusia adalah
masalah motif motif yang dimiliki ma nusia. Yaitu, sesuatu yang dapat kita
sebut dengan motif motif suci di satu sisi, dan motif motif egois di sisi yang
lain. Apa yang dimaksud dengan motif egois? Ia adalah dorongan dorongan
yang membuat seseorang men jadikan dirinya sebagai pusat dari segala
tindakannya.
Benar, motif seperti ini juga dimiliki oleh binatang dan manusia pada
umumnya. Dorongan untuk makan dimiliki oleh binatang. Akan tetapi
dorongan untuk makan ini hanya merupakan dorongan yang ditujukan untuk
dirinya sendiri. Artinya, ia ingin mengambil makanan untuk dirinya saja.
Manusia juga mempunyai sejumlah kecenderungan egois seperti itu. Sebab,

24
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 52-53.

33
35

manusia memang termasuk golongan binatang. Akan tetapi, manusia memiliki


dorongan dorongan dan kecenderungan lain, yang bukan kecenderungan
kecenderungan egois. Tetapi merupakan dorongan yang dipandang oleh
manusia sebagai dorongan suci yang ada dalam sanubarinya, dan dia
tempatkan di tempat yang jauh lebih tinggi dan mulia. Semakin tinggi bobot
kecenderungan tersebut dimi liki seseorang, semakin bertambah tinggilah
penghor matan orang lain terhadap dirinya. Kecenderungan kecenderungan
yang kita lihat dimiliki oleh binatang, adalah kecenderungan kecenderungan
yang bersifat egois semata, misalnya kecenderungan untuk tidur, makan, dan
sejenisnya. Kalau pun ada kecenderungan lain yang bukan itu, maka galibnya
ia terbatas pada kecenderungan mempertahankan jenis. Artinya, dalam batas
batas reproduksi dan berketurun an, dan itu termasuk dalam kategori naluri.
Sekali lagi, kita telah kembali pada definisi naluri. Yang saya mak sudkan
dengan naluri di sini ialah kerja sesuai tuntutan alam untuk dilakukan oleh
binatang, dan bukan kerja yang dilakukan berdasar kesadaran, kebebasan, dan
pilihan.
Ketika seekor kuda, misalnya, melahirkan bayinya, maka kuda
tersebut dibekali dengan sejenis kecen derungan yang sangat kuat yang tidak
diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah. Ketika bayi kuda itu men yusu,
tampak sekali bahwa induknya tidak ingin berada jauh jauh dari bayinya. Ia
takut jauh dari bayinya dan tak henti hentinya melihatnya. Bila Anda
mendorongnya agak jauh, ia segera merapatkan tubuhnya ke tubuh bayinya.
Begitulah keadaannya, sampai bayi kuda itu menjadi besar sedikit demi
sedikit. Semakin bertambah umur anak kuda itu, semakin lemahlah hubungan
induknya dengan anaknya, sampai akhirnya putus sama sekali.25

25
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 53.

33
35

Pada prinsipnya, jika anak kuda tersebut sudah menginjak usia enam
atau tujuh hari, dan ia mempunyai kecakapan berdiri untuk yang kesekian
kalinya, maka induk kuda itu merasa senang melihat kecakapan anaknya.
Akan tetapi dia tidak merasakan kesenangan yang sama bila yang dilihatnya
bukan anaknya. Bahkan ia seakan akan merasa kotor jika mendekatinya. Me
ngapa? Karena, hubungan naluriah yang pertama ber tujuan melindungi
anaknya dalam rangka memperta hankan jenis. Tidak ada tujuan lain selain
itu. Karena itu, begitu anak kuda itu sudah pandai berdiri sendiri seperti
induknya, maka hubungan induk kuda ter sebut dengan anaknya menjadi tidak
berbeda dengan hubungan induk kuda itu dengan kuda kuda lainnya.
Hal yang sama terjadi pada binatang-binatang yang hidup
berkelompok. Perbuatan yang mereka lakukan bukan bersifat pilihan diri
mereka, tetapi merupakan perbuatan perbuatan yang bersifat pemberian.
Artinya, alam memberi dan memilihkan untuk binatang binatang tersebut
perbuatan perbuatan yang harus mereka laku kan secara terpaksa, tanpa ada
kemampuan untuk me nentang,
Lebah tergolong binatang yang hidup berkelom pok. Demikian pula
halnya dengan semut dan bebe rapa jenis serangga. Semuanya bekerja dalam
bentuk naluriah. Artinya, bekerja secara otomatis, setengah sadar, dan tidak
punya pilihan. Pekerhaan pekerjaan tersebut dipilihkan oleh alam untuk
mereka sejak semula. Ka:rena itu, mereka tidak sanggup untuk tidak mela
kukan pekerjaan pekerjaan itu. Itulah kecenderungan- kecenderungan yang
dimiliki oleh binatang.
Akan halnya manusia, di dalam dirinya terda pat kecenderungan
kecenderungan dan dorongan- dorongan yang tidak mungkin diinterpretasikan
sebagai kecenderungan kecenderungan egois. Kalau pun dapat ditafsirkan

33
35

seperti itu, maka di situ terdapat peluang untuk pro dan kontra. Lebih dari itu,
kecenderungan yang dimiliki manusia bersifat pilihan dan berdasar kesadaran.
Yang disebut "perikemanusiaan" sesungguh nya tak lain adalah
kecenderungan kecenderungan tersebut.26
Apa yang dikemukakan oleh semua aliran pemikiran yang ada di dunia
ini, baik teologis, materialis, atau skeptis, pada akhirnya mengandung hal hal
yang ber sifat non hewani, dan hanya khusus untuk manusia.
Kecenderungan kecenderungan dan dorongan- dorongan yang sesekali
kita sebut dengan motif motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau
kate gori. Atau, setidak tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui
sampai saat ini.

(1) Mencari Kebenaran

Mencari kebenaran adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah
"pengetahuan", atau kategori "pe nalaran terhadap alam luar". Dorongan ini
ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat
seperti apa adanya, atau menalarnya se bagaimana mestinya. Artinya, manusia
ingin memper oleh pengetahuan pengetahuan tentang alam dan wujud benda
benda dalam keadaan yang sesungguh nya. Di dalam salah satu doa yang
dipanjatkan oleh Rasulullah saw, terdapat ucapan beliau yang menga takan,
"Ya, Allah, perlihatkanlah kepadaku segala se suatu. sebagaimana yang
sesungguhnya ada."27
Kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau
falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya

26
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.55.
27
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.55

33
35

kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai


benda, sehingga kita dapat menyebutnya dengan "kesadaran filosofis," atau
"pencarian kebenaran." Ibn Sina mempunyai istilah yang saya kira belum
pernah diperkenalkan oleh orang lain. Tentang maksud dan tujuan filsafat, Ibn
Sina mengatakan, "Menjadikan manusia sebagai makhluk yang mengetahui,
rasional, dan memahami alam inderawi." Artinya, mengetahui alam inderawi
sebagaimana yang sebenarnya, agar dia menjadi tahu tentang dirinya, dan tahu
tentang alam rasional yang tersembunyi di alam inderawi yang ber ada di luar
dirinya."
Masalah pencarian kebenaran, di kalangan filosof, adalah
kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia, dengan fitrahnya, mencari
kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini
terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam psikologi
disebut dengan "dorongan mencari kebenar an, atau "rasa ingin tahu".
Manusia mencarinya dalam lingkup yang sangat luas.
Para ahli mengatakan bahwa dorongan tersebut terdapat dalam diri
anak kecil sejak ia berusia dua se tengah atau tiga tahun. Pertanyaannya
tentang segala sesuatu menjadi semakin banyak. Hanya saja, orangtua yang
tidak mengerti tentang hal itu, melihatnya se bagai "sesuatu yang berlebih-
lebihan", dan "kekanak- kanakan", saat melihat anaknya berceloteh dalam
bahasa yang tidak karuan. Sikap seperti itu jelas keliru. Se orang anak kecil
bertanya, dan dia punya hak untuk itu. Bahkan, jika pertanyaannya tidak
mungkin dijawab oleh orangtuanya sekali pun. Orangtua tidak boleh
menghardiknya, bahkan wajib menjawabnya semaksimal mungkin. Anak
kecil kadang-kadang juga melakukan hal hal yang dianggap berbahaya oleh
kedua orang atuanya, misalnya menyentuh segala sesuatu yang berada di

33
35

dekatnya. Biasanya, orangtuanya mengatakan, “jangan, itu berbahaya."


Padahal, belum tentu benda -benda itu berbahaya. Bukankah dorongan yang
membuat dia melakukan semuanya itu adalah rasa ingin tahu? Dia ingin
menggerakkan benda benda itu untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Kita,
tentu saja, sudah tahu apa yang akan terjadi. Sebab, kita sudah pernah
mengalaminya. Tetapi anak tadi belum me ngetahuinya, sebab dia memang
belum mengalaminya. Karena itu, dia ingin mengalaminya.
Ada sebuah cerita sangat indah yang dituturkan oleh Abu Raihan al
Biruni, khususnya dalam konteks ini. Al Biruni mempunyai seorang tetangga
yang ahli dalam bidang fikih, yang mengunjunginya saat dia sakit berat.
Orang itu melihat al Biruni terbujur di atas tempat tidur sambil menghadap
kiblat. Rupanya dia sudah mendekati ajalnya. Tetapi dalam keadaan yang
seperti itu, al Biruni masih sempat bertanya tentang masalah fikih kepada
tetangganya itu. Dengan takjub, orang itu menjawab, "Ini bukan waktunya
untuk bertanya." Mendengar itu, al Biruni berkata, "Aku tahu, bahwa saat ini
aku di ambang kematian. Tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda
tentang, manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui
jawaban atas pertanyaanku tadi, ataukah aku mati tanpa mengetahui
jawabannya?" Orang itu menjawab, "Tentu saja, akan lebih baik jika engkau
mati dengan mengetahui jawabannya. " "Kalau begitu jawablah
pertanyaanku," kata al Biruni pula. Lalu, orang itu pun menjawab pertanyaan
al Biruni. Kemudian fakih itu menuturkan bahwa se belum dia sampai ke
rumahnya (sepulang menengok al Biruni), isak tangis pun terdengar dari
rumah al -Biruni. Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu itu
merupakan kesadaran yang tersembunyi dalam diri manusia. Para ulama yang
terus menerus memelihara dan merawat kesadaran tersebut agar tetap hidup,

33
35

dapat mencapai suatu derajat yang di situ mereka dapat merasakan nikmatnya
penemuan suatu hakikat, yang kelezatannya melebihi apa pun juga.28
Ada kisah lain lagi, yakni kisah tentang Sayyid Muhammad Baqir,
seorang warga Ishfahan. Kisah itu sudah dituturkan orang sejak lama. Alkisah,
ketika malam sudah larut, Almarhum Sayyid Muhammad Baqir (yang saat itu
menjadi mempelai) melihat masih banyak perempuan yang memadati ruang
pengantin. Karena itu, dia segera masuk ke kamar yang bersebe lahan dengan
kamar pengantin itu, dan berkata dalam hati, "Ini kesempatan yang baik untuk
membaca." Karena itu, dia mengambil sebuah kitab dan segera larut di
dalamnya. Ketika kaum wanita itu telah mening galkan kamar pengantin, sang
pengantin perempuan terus menunggu kedatangan Sayyid Muhammad Baqir.
Tetapi yang ditunggu tidak kunjung tiba. Tiba tiba Sayyid Baqir terkejut
karena waktu Subuh telah tiba. Rupanya, Sayyid Baqir betul betul tenggelam
dalam kitab yang dibacanya, sampai sampai dia lupa pada istrinya di malam
pertama itu.
Kisah yang hampir sama diriwayatkan orang tentang diri seorang
pastur yang sedang menunggu waktu se tengah jam di malam pengantinnya.
Untuk menunggu waktu, dia masuk ke perpustakaannya. Dia baru sadar akan
dirinya ketika matahari telah menyingsing. Kondisi seperti itu, sedikit atau
banyak, ada dalam diri semua orang, dan sebagaimana halnya dengan
kesadaran kesadaran lainnya, ia bisa kuat dan bisa pula lemah. Tinggi rendah
pertumbuhannya, tergantung pada sejauh mana seseorang memelihara. dan
mengem bangkannya. Sementara itu, orang selalu mengutama kan orang yang
pandai daripada yang tidak pandai.

28
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.56-57.

33
35

Ada sebuah kata mutiara. yang diucapkan oleh John Stuart Mill,
filosof Inggris yang terkemuka itu. Dia me ngatakan, "Orang pandai yang
miskin jauh lebih baik daripada orang bodoh yang kaya." Artinya, Mill lebih
menghargai orang miskin yang pandai ketimbang orang kaya yang bodoh.29
Pernyataan pernyataan di atas mengisyaratkan betapa pentingnya
pencapaian hakikat bagi manusia. Makna suatu kebenaran terletak pada
kebebasan dan kesadaran, serta menjadi tahu tentang alam semesta ini.

(2) Moral (Akhlak)

Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manu sia adalah


berpegang pada nilai nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai nilai
utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dengan pembicaraan kita,
biasa kita sebut dengan akhlak yang baik (husn al khulq). Manusia memiliki
kecenderungan terhadap banyak hal, di antaranya ada yang memberi manfaat
secara fisik kepadanya, misalnya senang terhadap harta. Sebab, harta memang
memberi manfaat kepada ma nusia dalam menutupi berbagai kebutuhan
materil. Kesenangan terhadap harta ini merupakan bagian dari egosentrisme,
yakni dorongan untuk memper tahankan hidup. Tentu saja, masalah dorongan
yang ada dalam diri makhluk hidup untuk mempertahan kan hidupnya ini saja,
sudah merupakan masalah yang pelik. Kendati demikian, kita tidak punya
cukup ke sempatan untuk membahasnya di sini.
Dengan demikian, manusia memang mempunyai ketergantungan
terhadap banyak hal, bukan karena hal hal itu bermanfaat baginya, tetapi
karena hal hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia
tergolong sebagai kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil,
29
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.57.

33
35

sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran


karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia berten tangan dengan
kejujuran. Ketergantungan terhadap ke jujuran, amanah, ketakwaan, kesucian,
dan lain lain ada lah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergan tungan
jenis ini terbagi menjadi dua bagian: individu al dan sosial. Yang individual
misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilisasi, penguasaan diri, dan
keberanian yang berarti kekuatan hati, bukan kekuat an tubuh. Sedangkan
yang sosial semisal senang mem bantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat
baik, dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta.30

(3) Estetika
Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam
akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada seorang manusia pun
yang kosong dari rasa suka kepada keindahan. Seseorang akan ber usaha
semaksimal mungkin, bahkan hingga soal berpa kaian sekali pun, agar
penampilannya menjadi indah. Keindahan, pada kenyataannya, memang
dibutuhkan dengan sendirinya. Anda mengenakan pakaian agar terlindung
dari panas dan dingin. Kendati demikian, dalam berpakaian Anda pasti
memperhatikan kein dahan dan estetika (seni keindahan). Manusia, pada
dasarnya, memang menyukai keindahan. Karena itu, begitu dia melihat air
gemercik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia
merasakan kenikmatan dan kenyamanan.
Demikian pula halnya dengan seni, yang berarti bentuk bentuk yang
indah. Misalnya, kaligrafi yang sejak lama dipandang sebagai seni. Dalam
kaligrafi terdapat nilai yang sangat penting bagi manusia. Kita seringkali

30
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h. 58-59.

33
35

membolak balik Al Qur'an yang ditulis dengan khat yang indah, lalu berharap
untuk dapat melihatnya di lain waktu. Ayah saya adalah orang yang sangat
bagus tulisan Arabnya. Beliau membuat khat yang indah dalam ukuran besar,
dan ketergantungan jiwanya kepada kaligrafi demikian besar, sampai sampai
beliau menga takan, "Ketika sesekali aku memegang Al Qur'an yang ditulis
dengan khat yang indah, aku nyaris tidak sanggup membacanya, sebab aku
sudah terlebih dulu tenggelam dalam keindahan kaligrafinya."31
Salah satu di antara kaligrafi yang indah adalah al- Qur'an kecil yang
tersimpan di Iran yang betul betul tidak ada bandingannya. Sosok yang
terdapat dalam ayat ayat Al Qur'an itu sendiri sudah merupakan kate gori
keindahan tersebut. Sebab, keindahan fashahah dan kedalaman arti yang
dimiliki Al Qur'an merupa kan unsur unsur penting dari ajaran ajaran yang di
sampaikannya.

(4) Kreasi dan Penciptaan

Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat


sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia
membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana
kehidupan, maka kreativitas pun demikian pula halnya. Pembaca pasti pernah
menyaksikan betapa gembiranya seorang anak ketika dia tahu bahwa dirinya
berhasil membuat atau menciptakan sesuatu. Saat itu dia merasakan kepriba
diannya.
Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang
berbeda beda seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun
31
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.60.

33
35

kota, mem buat perencanaan berbagai program, merancang me tode dan


silabus pendidikan, serta menulis buku. Dengan demikian, kecenderungan
seperti itu memang ada dalam diri semua orang, dan setiap orang pasti senang
membuat dan mencipta sesuatu. Yang lebih dari itu adalah, seseorang
membuat teori baru dan mendukungnya dengan bukti bukti, kemudian
teorinya diterima orang lain, dan dia diakui sebagai penemunya. Yang
demikian ini merupakan sejenis kreativitas dan penciptaan, misalnya orang
yang me nemukan teori gerakan atom dan mendukungnya dengan bukti bukti.
Tidak diragukan, pembaca pasti dapat melihat bahwa dua atau tiga
kategori di antara kategori kategori yang telah disebutkan di atas, dapat
menyatu dalam diri se seorang untuk menciptakan sesuatu. Contohnya syair.
Untuk terciptanya sebuah syair, dua kategori pun me nyatu. Sebab, dengan
menyusun puisi puisinya, seorang penyair telah menciptakan sesuatu. Dia
mewujudkan sesuatu yang semula belum ada. Dengan begitu, dalam dirinva
terdapat kategori mencipta, dan pada saat yang sama ia telah menciptakan
sesuatu yang indah. Dengan begitu, dalam dirinya pun berkembang kate gori
estetika. Di situ juga dapat tumbuh kategori lain, misalnya, pencarian
kebenaran.32

(5) Kerinduan dan lbadah

Kategori kelima kita sebut dengan kategori kerin duan atau kategori
ibadah. Pada bagian yang lalu, saya telah mengatakan bahwa di dunia ini tidak
ada satu pun makhluk yang lebih membutuhkan penginterpretasian kecuali
manusia. Sebab, dalam diri manusia ditemukan banyak sekali masalah yang
tidak kita temukan dalam diri makhluk lain. Di dalamnya terdapat hal hal
32
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.60.

33
35

yang sangat rumit yang sulit sekali diinterpretasikan. Itu sebabnya, manusia
disebut mikro kosmos. Artinya, ia merupakan alam berdiri sendiri. Bahkan,
sebagian orang arif tidak bersedia menyebutnya dengan alam kecil, melainkan
alam besar. Seorang penyair mengatakan: Apakah engkau menganggap dirimu
sebagai alam kecil Padahal dalam dirimu termuat alam besar Mereka
menganggap alam di luar diri manusia sebagai alam kecil. Karenanya, dalam
diri manusia di temukan banyak sekali rahasia yang hingga kini masih
membutuhkan penjelasan. Interpretasi yang meng anggap manusia sebagai
makhluk sederhana adalah keliru.
Saya tegaskan bahwa kategori yang kelima adalah kategori kerinduan
dan ibadah. Kategori ini membu tuhkan banyak penjelasan dan interpretasi,
yang dapat memperlihatkan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kondisi
yang disebut dengan kerinduan. Kerinduan (al 'isyq) adalah kondisi yang lebih
tinggi tingkat annya dibanding cinta. Cinta, dalam tingkatannya yang biasa
biasa saja, terdapat dalam diri setiap orang. Ia dapat dibagi dalam beberapa
jenis, misalnya cinta an tara dua orang sahabat, cinta antara murid (orang yang
menginginkan) dan murad (orang yang diinginkan), atau cinta antara dua
orang suami istri. Begitu pula halnya dengan cinta orangtua terhadap anak
anaknya.
Sedangkan kerinduan, jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Konon,
al 'isyq (kerinduan) semula merupa kan nama pohon yang menempel pada
pohon lain dan memeluknya sedemikian rupa seakan akan dia adalah pemilik
pohon yang dipeluknya itu. Seperti itulah ke rinduan. Berbeda dengan cinta,
kerinduan bisa membuat seseorang keluar dari keadaan normalnya, sehingga
dia tidak mau makan dan minum, dan memusatkan perhatiannya pada titik
yang menjadi pusat perasaannya, yaitu al ma'syuq (sesuatu atau seseorang

33
35

yang di rindukan). Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh


kondisi "menyatu" dengan orang yang dirindukan. Yang dilihatnya adalah
sesuatu yang satu, karena ia menyatu dengan yang dia rindukan. Kondisi
seperti itu tidak dimiliki oleh binatang. Sebab, ikatan yang ada pada binatang
tak lebih dari apa yang pada manusia disebut dengan cinta, atau ikat an antara
suami dengan istrinya. Hubungan tersebut kadang kadang membentuk sedikit
atau banyak kecemburuan dalam diri binatang. Sementara itu, kerinduan jelas
khusus dimiliki oleh manusia.
Hakikat dan sumber kerinduan merupakan salah satu tema kajian
filsafat. Ibn Sina menulis ar Risalah fi al 'Isyq (risalah tentang kerinduan). Di
dalam manuskrip manuskrip yang ditulis Mulla Sadra kita juga dapat
menemukan risalah khusus tentang 'isyq yang jumlahnya tiga puluh halaman.
Kerinduan juga, termasuk dalam kajian psikologi modern dan psikoanalisa.
Yang penting untuk dijawab di sini adalah, apakah atau bermacam
macam jenis? Kerinduan itu satu jenis. Sebagian teori mengatakan bahwa
kerinduan itu hanya satu macam, yaitu kerinduan seksual. Artinya, ia
mempunyai sumber yang bersifat fisik dan tidak pada yang selain itu. Sesuai
jenis kerinduan yang ada di dunia ini, berikut pengaruh dan dampak
dampaknya termasuk di dalamnya kerinduan romantisisme dan hikayat
hikayat cinta dalam karya karya sastra termasyhur, tak lebih adalah kerinduan
seksual.
Teori lain mengatakan bahwa kerinduan antara manusia dengan
manusia lainnya terbagi menjadi dua. Nashiruddin Tusi, dan Mulla Shadra,
membagi kerinduan dalam dua macam. Sebagian merupakan kerinduan
seksual yang mereka namai dengan kerinduan majazi dan bukan hakiki, dan
sebagian lain merupakan kerinduan rohani atau nafsani (kerinduan jiwa).

33
35

Kerinduan seksual, karena merupakan naluri, akan berhenti jika


dipenuhi keinginannya. Sebab, hal itulah yang menjadi tujuannya. Jika
awalnya dimulai dari saraf saraf dalam tubuh, maka dengan menyalurkan
keinginan saraf saraf tersebut persoalan pun selesai. Seperti itu dimulainya,
dan seperti itu pula diakhiri nya.
Akan tetapi mereka mengatakan pula bahwa kerinduan kadang kadang
melebihi apa yang kita bicarakan di atas, sehingga Khwaja Nashiruddin Thusi
menganggapnya sebagai Masyakilah baina an-Nufus (kemusykilan antar
berbagai jiwa). Mereka menyatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat benih
benih kerin duan rohani dan nafsani, dan itulah yang menggerak kannya.
Ma'syuq hakiki manusia ini (yaitu hakikat yang bersifat metafisika) menyatu
dengan roh manusia, se sudah roh itu sampai dan menemukannya. Dengan
demikian, pada dasarnya ma'syuq hakiki tersebut ter dapat dalam diri
manusia.
Dengan karakterisk karakteristik khas seperti itu dinukillah berbagai
hikayat. Mereka mengatakan bahwa kerinduan itu dapat mencapai suatu
tingkat di mana khayalan tentang ma'syuq (kekasih yang dirindukan) lebih
bernilai daripada ma'syuq itu sendiri dalam diri orang yang merindukan. Yang
demikian itu terjadi karena ma'syuq nya hanyalah penggerak dan pendo rong
kerinduan itu sendiri, dan bahwasanya orang yang merindukannya mencari
dalam batinnya suatu hakikat yang lain. Dia merasa bahagia dengan gambaran
al- ma'syuq yang dia lihat dalam rohnya.
Para filosof bahkan menyebut nyebut hikayat Laila Majnun dalam
buku buku mereka. Majnun, sesudah melantunkan syair syair tentang Laila
dengan kasmaran dan penuh kerinduan, menyendiri di padang pasir. Tiba tiba,
ketika dia sedang tidur tiduran di padang pasir, Laila sudah berdiri di

33
35

depannya. Laila memang gil berulang kali. Majnun mengangkat kepalanya,


dan bertanya, "Siapa engkau?" Laila menjawab, "Aku Laila, aku Laila.... Aku
datang untuk menemuimu." Laila merasa bahwa Majnun akan terbang
membawanya pergi dan dia (Majnun) akan menghambur memeluknya,
sesudah sekian lama tidak bertemu dan terpisah jauh. Tetapi tiba tiba Majnun
berkata, "Pergi, pergi jauh -jauh dariku. Aku tidak butuh segala
kerinduanmu!" 33
Keadaan seperti itu juga kita temukan dalam diri seorang penyair di
zaman kita sekarang, yakni penyair Syahriar. Syahriar adalah mahasiswa
Fakultas Kedokter an yang kost di sebuah rumah di Teheran. Ia demikian
kasmaran pada anak gadis pemilik rumah itu. Malang nya, orangtua si gadis
sudah mempunyai calon lain yang dipandangnya lebih baik dan lebih kaya
daripada Syahriar. Karena itu, mereka melarang Syahriar men dekati anak
gadisnya. Syahriar benar benar kasmaran dan menjadi "gila". Dia tidak mau
lagi bekerja dan belajar. Tidak ada yang dilakukannya kecuali memikir
kannya. Keadaan seperti itu berjalan bertahun tahun.
Suatu hari, secara kebetulan Syahriar bertemu dengan kekasihnya yang
saat itu berjalan bersama suaminya. Dia berkata kepada kekasihnya, “Aku
tidak membutuhkanmu lagi. Kalaupun suamimu mencerai kanmu, aku tidak
lagi menginginkanmu." Kemudian Syahriar menulis sebuah puisi, dan sesudah
pertemu an itu ia mempunyai syair yang salah satu baitnya ber bunyi:
Aku tidak mengerti mengapa aku begitu rindu kepadanya
Padahal aku tak lagi perduli kepadanya
Di bawah ini akan dikemukakan bebe rapa bait dari puisi puisi sufis
(sya'ir irfani) dalam Islam sebagai perkenalan. Sebab, puisi puisi sufi

33
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.61.

33
35

memiliki tema tema yang sangat bagus untuk dikaji dan diana lisis. Untuk
mendukung kajiannya, Mulla Shadra me ngemukakan beberapa bait syair
yang kemungkinan besar berasal dari Muhyiddin Ibn Arabi. Ia meng
isyaratkan kerinduan rohani, dan bukan kerinduan jasmani, saat mengatakan:
Aku memeluknya sesudah jiwaku diamuk rindu kepadanya
Adakah sesudah ini kan berpisah lagi?
Kutatap bibirnya agar kehangatan tetap menyala se hingga
kegembiraanku semakin berbunga
Hatiku tidak bertutur tentang apa pun kecuali kulihat di situ dua
jiwa (roh) yang menyatu.34
Dengan demikian, ada teori yang membagi kerindu an dalam dua
macam: kerinduan jasmani dan kerindu an rohani. Artinya, teori ini meyakini
ada suatu kerinduan yang berbeda, secara prinsipil, dari kerinduan jasmani.
Sebab, kerinduan tersebut memiliki benih -benih yang tertanam dalam roh dan
fitrah manusia.
Begitu pula dalam hal tujuannya. Saat ini kita tidak berada dalam
kajian filosofis dan menyusun dalil dalil dalam usaha membuktikan adanya
kerinduan jenis ini (kerinduan rohani). Kendati demikian, kita akan
membicarakannya barang sedikit. Sebagaimana diakui, manusia sangat
memuja kerinduan, dalam arti dia menganggapnya sebagai se suatu yang
harus dijunjung tinggi. Sedangkan kerin duan yang berkaitan dengan syahwat
tidak seperti itu.
Manusia mempunyai kecenderungan untuk makan, dan itu merupakan
kecenderungan yang alami. Hanya saja, karena ia merupakan sesuatu yang
alami, maka manusia tidak memandang kecenderungan ini sebagai sesuatu

34
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.64.

33
35

yang pantas disucikan. Cinta, dalam bentuknya yang berkaitan dengan


syahwat, tidak pantas dipuja -puja. Sebagian besar sastra dunia berkisar
seputar pensakralan kerinduan, dan ini merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap kajian psikologis. Mengapa demikian? Yang lebih
mengherankan lagi adalah manusia selalu bangga jika dapat berkorban dengan
apa saja untuk membela sang kekasih, bahkan jika perlu dengan jiwanya.
Merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan jika seseorang merasa tidak
punya apa pun yang berarti di depan kekasihnya, dan sang kekasih adalah
segala galanya baginya. Dengan kata lain: leburnya 'asyiq dalam ma'syuq.
Kerinduan seperti ini mirip dengan apa yang saya katakan dalam
masalah akhlak, sebagai tidak sesuai dengan logika fungsional. Akan tetapi ia
merupakan salah satu di antara nilai nilai utama (summum bonum), misalnya
altruisme. Manusia, secara etik, menjunjung tinggi kebaikan, kemuliaan,
altruisme, dan pengorba nan, dan menganggapnya sebagai nilai nilai luhur. Di
sini lantas dapat dibedakan antara kerinduan yang ber sifat hawa nafsu
(syahwani) dari kerinduan yang bukan syahwani. Jika persoalannya adalah
persoalan cinta dua orang dan berkaitan dengan nafsu, maka tujuannya adalah
ingin bersama sama dengan orang yang dirin dukan dan melampiaskan cinta
dengan pertemuan dengan sang kekasih. Akan tetapi, kerinduan yang kita
bicarakan ini tidak ada urusannya dengan kebersama an dan pertemuan
dengan sang kekasih. Artinya, ke rinduan tersebut tidak terdiri dari dua orang,
dan pusatnya adalah diri sendiri. Itu sebabnya, maka tema ini lebih rumit dan
membutuhkan analisis mendalam agar kita dapat mengetahui apa yang
sebenarnya dialami oleh manusia, dari mana datangnya kerinduan tersebut,
dan mengapa pula manusia menghadapinya dengan sikap pasrah semata,

33
35

dalam arti dirinya seakan- akan lenyap begitu saja, sampai sampai Maulawi
me nulis sebuah puisi dalam bahasa Persianya, antara lain, sebagai berikut:
Kerinduan adalah penakluk
dan aku tunduk di bawah paksaan kerinduan
Aku pun memancarkan sinar bagai rembulan
karena cahaya rindu.35
Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di
situ dia ingin menjadikan ma’syuq-nya sebagai Tuhan (sesuatu yang dipuja)
dan dirinya se bagai hambanya. Dengan demikian, dia melihat ma’syuq-nya
tersebut sebagai al wujud, yakni al wujud al muthlaq (yang mutlak ada), dan
dirinya sebagai 'adam (tidak ada). Kategori apa ini? Dari mana sumbernya?
Dan apa pula hakikatnya?
Ada teori yang mengatakan bahwa kerinduan, dalam bentuknya yang
mana pun, berakar pada seks. Ada pula teori lain yang didukung oleh para
filosof kita. Yakni, teori yang mengatakan. adanya dua jenis kerinduan:
kerinduan jasmani dan kerinduan rohani. Sedangkan teori yang ketiga,
merupakan teori yang ingin melaku kan sintesa antara kedua teori
sebelumnya.
Di samping ketiga teori itu, ada pula teori Freud, seorang ahli
psikoanalisa terkemuka, yang berpenda pat bahwa sumber segala sesuatu, tak
terkecuali. cinta, adalah seks. Freud meyakini bahwa pengetahuan, ke
dermawanan, kebajikan, keutamaan, ibadah, kerindu an, dan lain lain,
bersumber dari seks (libido seksual). Sekarang teori ini tidak lagi diterima
oleh siapa pun.

35
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.65.

33
35

Di samping itu muncul pula teori lain yang me ngatakan bahwa di


dalam kerinduan itu terdapat aspek- aspek yang tidak sejalan dengan aspek
aspek seksual. Artinya, aspek aspek tersebut tidak bersumber dari saraf saraf
seksual. Sebab, kondisi yang berkaitan dengan seks dapat disamakan dengan
rasa lapar, sedangkan rasa lapar merupakan sesuatu yang dialami dalam diri
manusia. Ketika seseorang merasa lapar, beberapa saraf pencernaan
mengalami perenggangan, dan itu tidak terjadi saat dia kenyang. Sedangkan
kerinduan tidak dapat ditempatkan di bawah proses tersebut. Itu sebab nya,
maka dikatakan bahwa kerinduan bersifat seksual jika dilihat dari awal
mulanya, tetapi bukan seksual dalam hal proses dan tujuannya. Maknanya,
kerinduan dimulai dengan awalan yang bersifat seksual dan syah wani, tetapi
pada tahap akhir ia berubah menjadi hal yang bersifat rohani.
Dalam buku Ladzaidz al falsafah, Will Durant, se orang ahli sejarah
filsafat, menuliskan suatu kajian tentang kerinduan, dan secara khusus
mendukung teori di atas, sesudah menyinggung dan menyerang teori Freud.
Will Durant mengatakan, "Tidak, tidak demikian. Yang benar adalah bahwa
cinta itu merubah alur, tujuan, dan karakteristik ke rinduan, bahkan prosesnya
pula. Sebab, ia keluar dari kondisi seksual secara total." Seterusnya Will
Durant mengemukakan kesalahan mendasar teori Freud.
William James, dalam bukunya yang berjudul Religion and Soul
mengatakan, "Seperti halnya dengan kecenderungan kecendeirungan yang
terkait dengan alam, maka dalam diri kita juga terdapat kecende rungan
kecenderungan lain yang tidak sejalan dengan perhitungan perhitungan fisik,
bahkan mengaitkan kita dengan hal hal yang metafisik."36

36
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.66.

33
35

5. Teori-teori yang Menolak Adanya Fitrah


Sekarang, mari kita kembali pada persoalan semula. Yakni, bagaimana
menafsirkan lima kategori di atas, yaitu kebenaran dan pengetahuan, seni dan
estetika, kebaikan dan ke utamaan, kreasi dan penciptaan, cinta dan ibadah.
Secara umum terdapat dua cara penafsiran yang dapat digunakan
untuk menginterpretasikan kelima kategori tersebut. Interpretasi pertama yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa kelima kategori tersebut ber sumber pada
fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun (composite) dari
tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, se perti
yang dikatakan oleh ayat Al Qur'an, "Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya
Roh Ku.”
Unsur unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan
terikat dengannya, sedangkan unsur- unsur non alaminya cenderung pada hal
hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran,
dan ini merupakan dorongan jiwanya (roh nya). Semua dorongan ini-
kreativitas dan penciptaan, seni dan ibadah- pada dasarnya merupakan refleksi
dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih yang
dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika
muncul kerin duan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan ter sebut
menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dalam fenomena
seperti itu.
Tafsir yang kedua tidak mengakui hal hal itu sebagai kondisi kondisi
yang bersifat fitri. Karena ia tidak se perti itu, maka ia harus menyandarkan
diri pada tafsir tafsir lain yang ada di luar diri manusia. Jika kita ambil contoh
yang paling representatif untuk itu, yakni cinta dan pengetahuan, dan
mengapa manusia mencintai ilmu pengetahuan dan menjunjung tingginya,

33
35

niscaya kita lihat mereka mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada
perbedaan apa pun antara manusia dengan bina tang. Segala yang dilakukan
manusia dibangun ber dasarkan naluri, dan bahwasanya seluruh keinginannya
hanyalah untuk mempertahankan hidup dan berkait an dengan kehidupannya,
atau dengan masalah masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan fisik
material.37
Di balik kebutuhannya terhadap hal hal fisik yang berkaitan dengan
kehidupannya itu, manusia membu tuhkan hal hal lain. Misalnya, dia
membutuhkan hukum dan peraturan. Artinya, manusia adalah makhluk sosial.
Kepentingan kepentingan individualnya mengharus kan mereka hidup bantu
membantu satu sama lain. Kehidupan sosial mereka yang seperti ini
mengharus kan mereka membuat aturan aturan dan batas batas, agar setiap
orang tahu hak dan kewajibannya. Untuk itu, mereka pun membuat peraturan
dan undang- undang, dan berjanji untuk mentaatinya. Mereka ber usaha
menegakkan keadilan, karena mereka memang membutuhkan hal itu. Ketika
kita melihat diri kita, saya dan Anda semua, membutuhkan kehidupan sosial
seperti itu, dan bahwasanya kehidupan sosial tersebut mengharuskan adanya
keadilan, maka kita terpaksa menerima keadilan. Yang demikian itu, karena
saya memang menginginkan keadilan, agar Anda tidak memaksakan
kehendak Anda kepada saya dengan menggunakan kekuasaan Anda.
Sebaliknya, Anda juga membutuhkan keadilan, agar saya tidak memaksakan
kehendak saya kepada Anda dengan kekuasaan saya pula. Akan halnya
pendapat yang mengatakan bahwa saya membutuhkan keadilan karena
keadilan itu sendiri, maka pernyataan seperti ini tidak ada artinya sama sekali.

37
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.67.

33
35

Dengan kata lain, manusia melihat bahwa ilmu pengetahuan


merupakan sarana paling baik bagi tercapainya kesejahteraan material. Lalu,
terjadilah pensakralan terhadap ilmu pengetahuan. Kalau tidak ada tujuan se
perti itu, niscaya ilmu pengetahuan, dengan definisi nya yang seperti itu, tidak
mungkin disakralkan. juga, tidak ada artinya belajar untuk belajar itu sendiri.
Sebab, ilmu pengetahuan tak lebih hanyalah sarana kehidup an, sekalipun ia
merupakan sarana yang terbaik.
Kadang kadang suatu pensakralan dilekatkan pada beberapa hal tanpa
justifikasi. Misalnya, sebagian manusia memiliki ilmu yang lebih banyak dan
lebih luas. Kemudian mereka memperdaya orang lain agar kesimpulan
kesimpulan ilmu mereka dapat memberi keuntungan. Karena itu, mereka pun
memberi warna sakral pada ilmu pengetahuan mereka. Hal yang sama terjadi
pula dalam seni dan kreativitas. Sementara itu, cinta dan ibadah tidak ada
nilainya sama sekali. Sebab, keduanya merupakan dua hal yang membuat
manusia keluar dari lingkaran dirinya dan menjadi asing. Pendapat yang
mengatakan bahwa orang yang dimabuk rindu berubah menjadi manusia lain,
dan siapa binasa dalam membela sang kekasih dan mengorbankan segala yang
dimiliki deminya, tidak dapat dimasukkan di bawah logika yang mana pun.
Begitulah, kita melihat bahwa orang orang itu telah menghancurkan seluruh
asas kategori kategori yang kita bicarakan terdahulu, serta menolak dengan
sosok pemikiran mereka yang seperti itu -segala kaidah moral. Mereka
menganggap nilai nilai moral tak lebih dari aksioma aksioma yang dibuat oleh
manusia manusia usil. Lantas mereka pun bertanya, apa itu kederma wanan,
kebaikan, altruisme, dan pengorbanan? Tentu saja, mereka tidak dapat
menginterpretasikannya.

33
35

Akan tetapi sebagian aliran filsafat memiliki kebe ranian moral yang
mengantarkan mereka pada ke simpulan yang mungkin bisa mereka capai.
Akan tetapi tidak semua aliran seperti itu. Misalnya, dalam kajian kita tentang
masalah masalah yang berkaitan dengan fitrah, kita mengatakan bahwa
gelombang filsafat em pirisisme telah melanda Eropa, sehingga muncullah
masyarakat empiris, yang sampai saat ini masih ber pegang pada prinsip
prinsipnya yang empirik. Mereka mengatakan, "Kami tidak percaya pada
sesuatu yang tidak dapat kami tangkap dengan indera. Akan tetapi kami tidak
mengingkarinya." Lantas mereka pun terus menerus berpegang pada dua
prinsip berikut ini:38
Pertama, "Apa yang tidak dapat kita tangkap dengan indera, tidak kita
tolak dan tidak kita terima." Ini jelas dapat dimengerti. Seterusnya mereka
mengatakan, "Kita dapat merasakan hal ini." Dengan demikian, pe rasaan itu
ada. Akan tetapi apa yang tidak dapat kita rasakan, tidak mungkin kita ingkari
keberadaaannya, sebab perasaan kita tidak mengatakan bahwa hal itu tidak
ada.
Kedua, pendapat mereka yang mengatakan bahwa banyak hal diyakini
adanya oleh manusia dan mereka terima eksistensinya; akan tetapi, sesudah
kita melaku kan pengkajian, kita menemukan bahwa apa yang di nyatakan ada
itu ternyata tidak dapat dibuktikan dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat
membenarkannya. Contohnya, prinsip kausalitas. Seterusnya, mereka me
ngatakan: Sesuatu dapat dikatakan inderawi (dapat diindera) jika ia
merupakan peristiwa peristiwa alam yang terjadi beberapa kali, susul
menyusul, dan me miliki kesamaan. Akan halnya teori kausalitas semisal: A
adalah sebab bagi B, yang digambarkan dengan, jika sekiranya tidak ada A

38
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.68-69.

33
35

pasti tidak akan ada B, adalah teori yang logis, tapi tidak dapat dibuktikan
dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat menerimanya. Orang orang yang
berpendapat seperti itu adalah penganut penganut empirisisme yang sangat
berani. Sebab, mereka yakin seyakin yakinnya terhadap mazhab mereka.
Karena itu mereka pantas dihormati.
Akan tetapi ada kelompok lain yang ingin dipandang sebagai orang
orang yang, dalam premis minor, dipan dang sebagai penganut empirisisme,
dan dalam premis mayor dipandang sebagai penganut rasionalisme. Di antara
mereka adalah para penganut materialisme. Dalam hal ilmu pengetahuan,
mereka mengekor kepada penganut empirisisme, tetapi dalam masalah-
masalah kefilsafatan mereka berpegang pada rasio nalisme, dalam arti mereka
berpegang pada masalah- masalah yang tidak ada urusannya sama sekali
dengan indera.
Hal yang sama terjadi pada aliran aliran. Aliran materialis yang
melihat manusia semata mata sebagai materi, terbagi menjadi dua aliran.
Pertama, penganut materialisme yang sangat berani, dan kedua, penganut
materialisme yang membelot.
Penganut materialisme yang sangat berani adalah orang-orang yang
menyatakan bahwa roh itu adalah materi, dari semua seginya. Mereka
konsekuen dengan pendapat mereka ini. Misalnya, Nietzsche, seorang filosof
materialis yang tidak percaya pada adanya roh dan hal hal lain sejenis itu.
Melalui filsafatnya yang se perti itu, Nietzsche sampai pada banyak
kesimpulan.
Nietzsche mengatakan, "Apa yang selama ini kita kenal dengan
sebutan moral (akhlak), hendaknya Anda buang seluruhnya dari diri Anda.
Jika sampai hari ini kaum moralis mengatakan kepada Anda, 'Anda jangan

33
35

memperturutkan hawa nafsu Anda,' maka saya kata kan kepada Anda,
'Ikutilah hawa nafsu Anda.' Dan jika kaum moralis mengatakan kepada Anda,
'Tolonglah orang orang miskin,' maka saya mengatakan kepada Anda, jangan
bantu mereka."
Nietzsche mengatakan, "Perkataan adalah dosa. jika Anda melihat
seseorang mendekati pinggir sumur, maka lemparlah kepalanya dengan batu.
Jalan yang dilalui alam (hukum alam) adalah jalan yang benar. Orang orang
miskin harus. dimusnahkan. Orang yang disebut manusia unggul adalah orang
semisal Jengis Khan. Lalu, apa artinya kasih sayang? Kasih sayang dan
membela orang lain adalah kelemahan, karena itu ke duanya tidak boleh
diikuti." Lebih jauh lagi, kita me lihat Nietzsche menolak semua nilai
kemanusiaan, "Ke tika kita menganggap manusia sebagai makhluk yang
seratus persen materi, maka konsekuensinya kita harus menolak semua nilai
kemanusiaan. Nilai nilai kemanu siaan, dan hal hal lain yang sejenis dengan
itu, hanyalah ilusi tanpa dasar."39
Mengakui bahwa manusia semata mata materi di satu sisi, dan
mengakui adanya nilai nilai kemanusiaan di sisi lain, dipandang sebagai
pandangan yang kontra diktif, dan tidak mungkin dapat diinterpretasikan.
Nilai nilai kemanusiaan mempunyai hubungan langsung dengan fitrah, dan
fitrah dapat ditafsirkan dengan, bahwa dalam diri manusia terdapat hakikat
kemanusia an yang suci, salah satu di antaranya adalah kecende rungan
mencari Tuhan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan di kalangan Sunni dan Syiah.
Hadis yang diriwayatkan dalam al- Kafy ini menuturkan bahwa Allah SWT
menciptakan malaikat, lalu menempatkan akal dalam diri mereka. Kemudian

39
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.70.

33
35

Allah menciptakan binatang dan memberi mereka syahwat (nafsu), lalu


menciptakan manusia dan memberi mereka kedua duanya.
Struktur malaikat binatang yang dimiliki manusia, melahirkan dua
dorongan dalam diri mereka: Dorong an menuju ke atas dan dorongan mennju
ke bawah; dorongan langit dan dorongan tanah. Allah telah mem beri manusia
akal dan kemauan, lalu membiarkannya berada di persimpangan jalan. Al
Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. " (QS. al Insan: 3)
Manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam memilih kedua jalan
itu. Pertentangan pertentangan yang muncul dalam sejarah, bersumber dari
pertentangan ciptaan yang ada dalam diri manusia. Artinya, orang-orang yang
mengikuti bimbingan akal-langitnya adalah pengikut kebenaran dan tergabung
dalam barisan Allah, sedangkan orang orang yang terjerumus dalam jalur
binatang tanah adalah orang orang yang dapat diberi predikat sebagai
binatang. Pertarungan yang terjadi dalam sejarah tidak seluruhnya merupakan
pertem puran antara berbagai kepentingan dan antara lapisan- lapisan
masyarakat saja. Tidak diragukan bahwa kelas orang orang yang tertindas
memiliki semangat juang yang lebih berkobar. Sebab, perjuangan itulah yang,
di satu sisi, dapat memuaskan dorongan mereka untuk mencari kebenaran, dan
di sisi lain dapat mengantar kan mereka untuk memperoleh hak haknya.
Berdasar kan itu, maka apa yang dikenal dalam diri manusia se bagai
perikemanusiaan, adalah sesuatu yang muncul dari aspek maknawi rohani
malakuti manusia, yang tidak sama dengan kecenderungan kecenderungan
mate rialisnya. Itu sebabnya, dia harus memilih salah satu di antara kedua
jalan yang membentang di depannya.

33
35

Berkaitan dengan karakteristik tersebut, Maulawi menuturkan kisah


berikut ini: "Manusia diciptakan separuh bersifat langit dan separuh bersifat
tanah. Karena itu, ia selamanya berada dalam tarikan kedua kekuatan itu, dan
selalu berbolak-balik. Sesekali dia tertarik ke atas (langit), dan pada kali lain
ke bawah.
"Sekali waktu Majnun mengendarai untanya- yang memiliki anak-
menuju rumah kekasihnya. Begitu dia berada sedikit jauh dari kota dia pun
tenggelam dalam khayalan khayalan tentang kekasihnya. Dia lupa pada
untanya dan pada jalan yang dilaluinya. Tali kekang unta itu dilepaskannya
begitu saja, sehingga unta berjalan ke mana saja ia mau. Ketika unta itu me
rasa bahwa penunggangnya tidak perduli lagi kepadanya, ia pun berputar
menuju jalan pulang ke tempat anaknya yang merindukannya. Majnun
tersentak kaget saat tahu dirinya berada di depan rumahnya sendiri, bukan di
depan pintu rumah kekasihnya. Karena itu, dia kembali membalikkan untanya
ke arah rumah ke kasihnya. Tetapi, tidak lama kemudian Majnun kem bali
tenggelam dalam lamunan, dan untanya pun balik ke rumah. Begitu terjadi
beberapa kali, sehingga dia melantunkan syair di bawah ini:
Keinginan untaku adalah ke belakangku. Sedangkan nafsuku ke
depanku
Aku dan dia berbeda keinginannya.40
Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa semua kategori dan
karakteristik manusia itu dapat diinter pretasikan. Tetapi kaum materialis
tidak sanggup menafsirkannya sesuai dengan mazhab mereka. Interpre tasi
yang sama juga dikemukakan oleh para penganut eksistensialisme. Seraya
menganggap manusia sebagai seratus persen fisik, para penganut

40
Murtadha Muthahhari, al-Fithrah, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah, 1410 H), h.70.

33
35

eksistensialisme mencoba menafsirkan nilai nilai kemanusiaan dalam bentuk


tertentu.
Itulah penjelasan mengenai kaitan antara fitrah dan pendidikan.
Penjelasan tentang fitrah tersebut adalah titik awal dalam memahami hakekat
pendidikan Islam yang sesungguhnya. Dari pembahasan di atas, kita telah
mendapat gambaran mengenai titik tolak pendidikan Islam, yaitu pendidikan
yang memiliki dimensi asasinya pada fitrah manusia. Pendidikan sebagai
pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Informasi tersebut
berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran, sebagai sifat dasar dari
fitrah.

B. Kewajiban Mencari Ilmu


Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari mengenai
“Kewajiban Mencari Ilmu”.41
Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini berlandaskan atas firman Allah
SWT dan hadits Nabi yang masing-masing berbunyi sebagai berikut.
“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari
buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori & Muslim).
Hadits di atas adalah salah satu dari sekian banyak hadits-hadits yang
diriwayatkan baik oleh ulama hadits dari mazhab Sunni maupun dari mazhab Ja’fari.
Masing-masing dari mereka menukilnya dari Rasulullah saw melalui sanad-sanad
41
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,
terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi (Jakarta: Lentera, 1999), h.156-158.

33
35

mereka. Dari sudut kebahasaan, kata faridhah dalam hadits di atas berarti ‘wajib’.
Kata ini berasal dari akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang
sekarang kita nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal
mereka menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan
wajib pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak
digunakan adalah kata faridhah, mafrudh, dan fardhu. Sedangkan kata mustahab,
dengan makna sebagaimana yang digunakan sekarang, tampaknya adalah kata baru
yang diciptakan oleh para fuqaha.42
Arti dari hadits di atas adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang sejajar
dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu. Mencari ilmu
adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim; tidak hanya dikhususkan bagi satu
kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain. Di dalam sejarah disebutkan bahwa
pada masa sebelum datangnya Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu
itu memandang bahwa mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak
mengakui bahwa mencari ilmu adalah hak dari seluruh lapisan masyarakat. Di dalam
Islam, ilmu bukan hanya dianggap sebagai hak bagi setiap orang, melainkan Islam
menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi setiap orang. Mencari ilmu adalah
sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain.
Muthahhari menjelaskan secara luas mengenai kewajiban mencari ilmu.
Shalat adalah satu kewajiban; puasa adalah salah satu kewajiban; zakat adalah salah
satu kewajiban; haji adalah salah satu kewajiban; jihad adalah salah satu kewajiban;
dan amar makruf nahi munkar adalah satu kewajiban. Demikian juga halnya—
berdasarkan hadits di atas—dengan mencari ilmu, ia merupakan salah satu kewajiban.
Pada sisi ini, secara umum, tidak ada perselisihan. Sejak masa permulaan Islam
hingga hari ini seluruh kelompok dan seluruh ulama Islam epakat dan menerima hal
42
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan,
terjemahan Dah Guftor oleh A. Subandi (Jakarta: Lentera, 1999), h.158.

33
35

ini. Di dalam kitab-kitab hadits selalu ada satu bab khusus dengan judul “Bab
Kewajiban Mencari Ilmu” atau judul-judul lain yang sejenis. Kalau pun ada
perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran makna dan maksud hadits ini,
dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu. Sebagaimana
Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal
ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan
kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah
terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti
dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal
ini berlandaskan pada firman Allah swt dan hadits di bawah ini:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang
sangat agung” (QS. Al-Qalam: 4).
”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlaq” (HR. Bukhari & Muslim).
Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk wanita
atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum’at hanya untuk kaum mukminin.
Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu, sebagaimana
hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur” (Bukhari &
Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan kesempatan yang ada
untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu juga digambarkan dalam
hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak
memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga tidak memiliki waktu tertentu
seperti ibadah haji (umrah) di Mekah.
Muthhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara kembar.
Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan perkara yang

33
35

sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi informasi ilmu yang
dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik yang tidak memiliki bahan
baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat sedikit, sehingga produksinya akan
sangat sedikit pula. Karena, banyaknya produksi tergantung banyaknya bahan baku
yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang memiliki banyak bahan baku tetapi mesin
pengolahnya tidak difungsikan, maka pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.43
Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, "Ya Hisyam,
ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu."44 Ungkapan ini
sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu merupakan
proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah. Sedangkan akal
merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah yang mengolah dan
memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai wadah proses analisa dan
pemilahan.
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah satu
hadis Rasulullah saw, “Seandainya engkau mengetahui apa yang terkandung di dalam
mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai harus mengalirkan darah
dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai hikmah, Muthahhari juga
tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul saw,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja
mereka menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan,
“Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu
meskipun dari orang munafik”.

43
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam",
(Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.38.
44
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam",
(Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.38.

33
35

Jika Islam memerintahkan menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan


tertentu, waktu, tempat dan pengajarnya, lalu mengapa kaum Muslimin saat ini begitu
mundur dan selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan
karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan begitu saja
oleh pengikut Islam itu sendiri.
Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian antara
hal yang seharusnya (hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam) dengan
realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran dalam tradisi
keilmuan Islam.
Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan perantaraan alat-alat
kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya friksi-friksi di dalam
kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang “berkasta”, yang sama sekali
tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam. Masyarakat terbagi kepada dua kasta:
“kasta orang miskin dan malang”, yaitu mereka yang untuk memperoleh makanan
pokok saja harus bekerja keras; dan “kasta orang yang bermewah-mewahan dan
sombong”. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan harta
yang ada di tanggannya. Keadaan kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan
kesempatan untuk memperhatikan dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan
bahkan muncul faktor-faktor yang mendorong tidak dilaksanakannya perintah-
perintah Islam.
Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan,
menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari masyarakat Islam sendiri
terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam masyarakat saat ini adalah
bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka dan anak-anak mereka sebagai
orang yang berilmu, malah tertarik kepada bagaimana memperoleh ganjaran dan

33
35

keutamaan dengan cara menghormati dan bersikap khudu’ kepada orang yang
berilmu. Penghargaan masyarakat dengan sendirinya telah beralih dari yang
seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi berbalik dengan mengambil bentuk yang
salah arah, yaitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berilmu,
meskipun hal itu bukan sesuatu yang salah.45
Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena ilmu
dan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.46
“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala
sesuatu” (QS. Ath-Thalaq: 12).

1. Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i (Siap Sedia)


Lebih jauh, Muthahhari menjelaskan bahwa, para fuqaha mempunyai
sebuah istilah, yaitu mereka mengatakan bahwa kewajiban mencari ilmu
adalah bersifat wajib tahayyu’i (kewajiban menjadikan diri siap sedia).
Artinya, kewajiban ilmu bukan hanya satu kewjaiban mukadimah seperti
semua mukadimah kewajiban-kewajiban, yang tidak memiliki hukum wajib
yang berdiri sendiri; melainkan dia adalah kewajiban yang berdiri sendiri.
Pada saat yang sama, ilmu juga merupakan satu kewajiban dari sisi dia
memberikan kesiapan kepada seorang manusia untuk bisa melaksanakan
semua kewajibannya.

45
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam",
(Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.168-169.
46

Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-240.

33
35

Para fuqaha mengkhususkan wajib tahayyu’i ini kepada mempelajari


ahkam (hukum-hukum). Sepertinya, kebanyakan dari mereka mengibaratkan
bahwa pelaksanaan kewajiban-kewajiban Islam hanya bisa dilaksanakan bila
Muslimin mengetahui kewajiban-kewajiban mereka. Ketika mereka telah
mengetahui kewajiban-kewajiban mereka, maka dengan sendirinya mereka
pun akan mampu melaksanakannya. Jadi, ilmu yang diwajibkan dalam
pandangan para fuqaha adalah ilmu yang menjadikan seorang Muslim
mengetahui kewajibannya, yaitu apakah menjadi seorang mujtahid atau
muqallid (orang yang bertaklid).
Jelas bahwa sebagaimana mengetahui kewajiban dan mempelajari
perintah-perintah agama adalah sesuatu yang wajib, maka banyak sekali
pekerjaan-pekerjaan yang menurut hukum agama adalah wajib, yaitu
pekerjaan-pekerjaan yang menuntut belajar, pengetahuan, dan kemahiran.
Sebagai contoh, bidang kedokteran adalah kewajiban kafa’i (fardhu kifayah).
Pelaksanaan kewajiban ini sulit untuk dilaksanakan tanpa terlebih dahulu
mempelajari ilmu kedokteran. Jadi berdasarkan ini, mempelajari ilmu
kedokteran pun wajib hukumnya. Demikian juga banyak bidang yang lain.
Jadi harus dilihat, perkara apa saja yang menurut pandangan Islam itu harus
wajib, dan perkara itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan
belajar, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan perkara
itu wajib hukumnya. 47
Kewajiban mencari ilmu, dari semua sisi mengikuti ukuran kebutuhan
masyarakat. Zaman dahulu, pertanian, pertukangan, perdagangan, dan politik
adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu; dan tidak satu
pun dari keempat bidang tersebut banyak membutuhkan ilmu dan belajar.
47
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan dari kitab "Tarbiyatul Islam",
(Jakarta: Ikra Kurnia Gemilang, 2005), h.172.

33
35

Masyarakat, cukup menjadi murid untuk beberapa saat di hadapan seorang


tukang kayu atau pedagang, dan bekerja di bawah pengawasan seorang
politikus atau pedagang yang mahir, atau tukang kayu. Sekarang, keadaan
dunia telah berubah; kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman
sekarang, tidak satu pun dari bidang di atas dapat sejalan dan menyesuaikan
diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai
ilmu dan belajar. Bahkan, pertanian pun, sekarang harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan. Seorang pedagang tidak dapat
menjadi pedagang yang diperhitungkan hingga dia mempelajari ilmu
ekonomi. Seorang politikus tidak bisa menjadi seorang politikus yang baik di
dunia sekarang hingga dia mempelajari ilmu politik.
Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni
ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya,
ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.
Muthahhari mengutip perkataan Imam Ali kw bahwa "Allah
mempunyai dua hujjah: hujjah yang nyata (hujjah zhahirah) dan hujjah yang
bathin (hujjah bathinah)." Hujjah yang nyata adalah para nabi, sedangkan
hujjah yang bathin adalah akal manusia.48
Kebodohan adalah lawan dari akal. Akal dalam riwayat-riwayat Islam
ditegaskan sebagai kekuatan atau daya untuk menganalisis (analysis power).
Islam senantiasa menyeru manusia untuk memerangi kebodohan, yaitu
kebodohan yang disebabkan tidak menggunakan potensi akal. Orang yang
berakal adalah orang yang mampu memahami dan menganalisis sedangkan
orang yang bodoh adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ini. Banyak
orang yang dianggap pintar padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya memiliki

48
Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, (Beirut: Darul Hadi, t.t.), h.228.

33
35

banyak informasi yang mereka dapatkan dari luar. Mereka telah mempelajari
banyak hal, tetapi otak mereka hanya ibarat sebuah gudang yang menyimpan
banyak informasi namun tidak dimanfaatkan untuk melakukan ijtihad,
mencari solusi ataupun dalam menganalisis persoalan berbagai persoalan yang
dihadapi. Orang dalam kelompok ini masih belum dapat dikatakan sebagai
orang yang pintar, karena otak mereka beku.
Muthahhari pun mengutip pendapat Ibn Sina dalam menganalisis
masalah pentingnya ilmu. Di dalam kitab Al-Isyarat, Ibnu Sina menyatakan
"Barangsiapa yang terbiasa membenarkan sesuatu tanpa dalil, sesungguhnya
dia telah melepas atribut jati diri kemanusiaannya". Ini berarti bahwa
seseorang tidak boleh menerima sesuatu pernyataan tanpa sesuatu argumen
atau dalil. Sebaliknya Ibn Sina juga menyatakan, "Barangsiapa yang terbiasa
mengingkari sesuatu tanpa dalil, maka sesungguhnya inipun sesuatu yang
jelek". Dia pun mengatakan, "Manusia sesungguhnya adalah orang yang
senantiasa menerima dan menolah sesuatu berdasarkan kepada dalil. Jika
tidak ada dalil maka dia akan menjawab, "Saya tidak tahu".
Untuk memperkuat pemikirannya tersebut, Muthahhari pun mengutip
statement yang dikemukakan Backon, bahwa para ilmuwan itu dapat
dikategorikanm ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, ada yang diibaratkan
seperti semut yang senantiasa menarik biji-bijian dari luar lalu menyimpannya
ke dalam gudang sarangnya. Ilmuwan semacam ini, otaknya tak ubahnya
seperti sebuah gudang, mereka hanya merekam seluruh informasi ilmu dan
menyimpannya. Ketika dibutuhkan barulah mereka menyebutkan apa yang
telah mereka pelajari. Kedua, ibarat ulat, mereka merajut sarang dengan air
liurnya, ilmuwan semacam ini juga tidak baik karena tidak ada masukan
informasi dari luar. Ia hanya melahirkan ilmu lewat daya imajinasi dan

33
35

batinnya saja. Akibatnya, mereka dapat tercekik di sarangnya sendiri. Ketiga,


mereka inilah ilmuwan sesungguhnya. Mereka ibarat lebah, mengisap saripati
bunga-bungaan dari luar kemudian mereka sendiri yang mengolah madu.
Karena itu akan lebih ideal jika antara akal dan ilmu berpadu, ilmu yang
diperoleh dipadu dengan daya kekuatan dari dalam serta daya analisis yang
dimiliki untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat. 49
Sementara itu, Al-Ghazâli memberikan pandangan yang berbeda
mengenai jenis ilmu. Menurutnya, ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu
yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan ukhrâwî.
Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan manusia untuk
mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori mencakup
empat kebahagiaan.50
Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah)
adalah iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah
(pengetahuan tentang wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan
agama). Jadi, iman dianggap sinonim dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri
empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah (kebijaksanaan), ‘iffah (menahan
diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Keempat keutamaan jiwa
akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan semua sifat jiwa yang
terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju kebahagiaan.
Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap
sebagai sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu,
keutamaan jiwa tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama

49
Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, (Beirut: Darul Hadi, t.t.), h.232.
50
M. Abul Quasem, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1988), h. 55-59.

33
35

pentingnya, derajat keutamaan jasmani berda di bawah kebaikan jiwa.


Keutamaan jasmani adalah kesehatan, kekuataan, panjang usia, dan
kerupawanan.
Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah
kekayaan, pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya
berguna bagi kebahagiaan.
Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah
berupa petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah
(tasdîd), dan penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian
perintah Allah dengan kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi
fadhilah ini ialah menggabungkan fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani
dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik dipandang sebagai sarana hakiki bagi
kebahagiaan.
Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling
menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan
ukhrâwî. Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki
itu ialah ilmu dan amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus
dipersiapkan menuju kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk
membersihkan jiwa dari keinginan-keinginan duniawi yang dapat
memalingkan manusia dari kebahagiaan tersebut. Dan mencapai kebahagiaan
itu melalui latihan-latihan kerohanian (mujahadah) adalah jalan yang paling
selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai kebahagiaan. Inilah jalan para sufi,
orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.51
Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî.
Dalam al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang
51
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991),
h. 76.

33
35

berhubungan dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi


yang menyangkut batin ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang
bisa melakukannya. Menurut al-Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim
mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan mengabaikan amal batin. Kaum
sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua jenis amal, kecuali yang
berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika sufi al-Ghazâlî, kata
‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal lahir (al-’amal
al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing terbagi
dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat), dan
amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
(adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-
nafs) dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-
qalb) dengan sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk
keseluruhan aspek praktis etika al-Ghazâlî.52
Ilmu dipelajari karena manfaatnya, dan sarana terbaik dari ilmu adalah
amal yang mengantarkannya kepada kebahagiaan. Amal tidak mungkin
terlaksana dengan baik tanpa ilmu tentang cara beramal. Dengan demikian,
asal kebahagian adalah ilmu, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan yang asli dan luhur adalah mengenal hakikat. Tidak ada
pengetahuan yang lebih luhur selain mengenal hakikat Allah dan inilah
puncak kebahagiaan.53
Di lain pihak, Muthahhari mengatakan bahwa pekerjaan dan profesi
zaman sekarang telah menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin
dilakukan tanpa pengetahuan, belajar, dan spesialisasi. Jenis-jenis pekerjaan

52
M. Abul Quasem, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1988), h. 63.
53
Al-Ghazâlî, Ilhya Ulum al-Din, vol. I, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 1334 H), h. 12.

33
35

yang zaman dahulu dapat dikuasai dengan hanya melakukan latihan sebentar
atau belajar singkat di hadapan seorang ahli, pada zaman sekarang sudah
sedemikian berbeda, di mana tidak dapat dikuasai kecuali dengan belajar di
sekolah-sekolah menengah kejuruan, perguruan-perguruan tinggi politeknik,
atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang, kebanyakan
pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli.54
Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas dari paparan Muthahhari
dan al-Ghazali di atas, bahwa dikarenakan keadaan yang telah disebutkan di
atas, maka kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang
mempunyai tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman.
Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa
adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan
diketahuinya yang dengannya tidak terpenuhi.
Mengenai kewajiban mencari ilmu bagi setiap Muslim, di sini juga
terdapat persamaan pemikiran di antara al-Ghazâlî dan Muthahhari. Meskipun
tidak secara implisit, al-Ghazâlî juga menekankan pentingnya menuntut ilmu
yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama semata. Namun, di sini, al-Ghazâlî
lebih menekankan pada kewajiban setiap manusia dalam mendalami ilmu-
ilmu keagamaan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat wajib kifa’i;
sementara cakupan pemikiran Muthahhari lebih luas, yaitu pada kewajiban
menuntut ilmu bagi setiap muslim pada semua ilmu yang dibutuhkan oleh
masyarakat Islam. Setiap ilmu yang disyaratkan untuk kemajuan dan
pemenuhan kebutuhan masyarakat Muslim menjadi wajib dengan sendirinya.

2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama


54

Al-Ghazâlî, Ilhya Ulum al-Din, vol. I, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 1334 H), h.174.

33
35

Di bawah judul “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama”,55 Muthahhari


menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di mana kita
menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu agama”, dan
sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan agama”. Ilmu-ilmu
agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait dengan masalah-
masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama; atau ilmu-ilmu yang
menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan hukum-hukum
agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika.
Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka
ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam
Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu
hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu-
ilmu agama. Atau, jika Rasulullah Saw mengatakan bahwa ilmu itu wajib,
maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw
terbatas pada ilmu-ilmu agama.
Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa
yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi pandangan,
ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama agama, yaitu al-
Qur’an al-Karim, Sunah Rasul Saw, atau wasiat-wasiat beliau. Pada masa
awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum mengenal Islam,
diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan-matan pertama
agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu belum ada satu
ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih,
dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan lain-lainnya.

55
Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah
Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h.175.

33
35

Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama


agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu
dengan berdasarkan perintah al-Qur’an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal
secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan; dan
selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi
pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan mabfaat kepada kaum
Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu
agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat
kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bagi
mereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu-
ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam
mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin,
maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang
yang mencari ilmu.
Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana kita
membagi ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan
agama. Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian
orang, bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan
agama” adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan
keuniversalan Islam menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting
dan diperlukan oleh masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu
agama.56
Sementara itu, al-Ghazâlî membagi ilmu ke dalam dua bagian: (1)
ilmu mengenai Allah dan (2) ilmu yang berhubungan dengan jalan menuju
Dia. Pertama, yang berkenaan dengan esensi, sifat-sifat dan ciptaan Allah
56
Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah
Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 177.

33
35

meliputi semua wujud kecuali Dia, beberapa di antaranya merupakan dunia


persepsi indera, sedang yang lainnya berupa dunia gaib, seperti malaikat dan
ruh. Ilmu tentang Allah, atribut-Nya, dan ciptaan-Nya adalah ilmu jenis
tertinggi. Kedua, ialah ilmu tentang jalan menuju Allah bertalian dengan
semua amal yang empat jenis tersebut di atas tersebut dengan tarikat
(tharîqat), tanpa ilmu pengetahuan ini, amal tidak dapat dilaksanakan secara
pantas. Meskipun ilmu tentang wahyu (ilmu ma’rifat) dan ilmu tentang jalan
(tharîqat) dua-duanya perlu untuk kebahagiaan, namun yang pertama sangat
fundamental, ia kadang-kadang dinamakan benih kebahagiaan di akhirat atau
malah kebahagiaan itu sendiri.57
Terdapat sedikit perbedaan antara Muthahari dan al-Ghazali, al-
Ghazali lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan ilmu agama sementara
Muthahhari berusaha memperbaharui pemikiran hal tersebut yang selalu
mengadakan upaya dikhotomisasi antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu
bukan agama”.

C. Kaitan antara Sains dan Agama (Ilmu dan Iman)


Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di atas,
yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari ilmu
bagi Muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang kaitan antara
Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada subbab khusus untuk memperlihatkan
bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam dunia pendidikan, yang
nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep pendidikan Muthahhari
secara utuh.

57
Murtadha Muthahhari, “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama, dalam Ceramah-ceramah
Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 64.

33
35

Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man and
Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut beserta
analisisnya yang tajam.58 Berikut ini adalah pembahasan beliau mengenai hal
tersebut.
Dalam hubungannya dengan keimanan dan sains, seseorang bisa
memperbincangkan hal itu dari dua sudut pandang. Yang satu adalah apakah ada
penafsiran yang akan meningkatkan keimanan dan ideal-ideal seseorang, dan pada
saat yang sama bersifat logis? Lalu, adakah semua pemikiran yang diilhami oleh sains
dan filsafat bertentangan dengan keimanan, harapan dan ortimisme? Aspek kedua
adalah pengaruh sains atas manusia di satu pihak, dan keimanan di pihak lain.
Adakah sains membawa manusia kepada suatu hal, sedangkan keimanan kepada hal
yang lain, yang bertentangan satu sama lain? Adakah sains bermaksud membuat
sesuatu yang lain? Adakah sains menyeret kita ke suatu sis dan keimanan ke sisi yang
lain? Adakah sains dan keimanan bersifat melengkapi satu sama lain? Marilah kita
lihat apa yang telah diberikan oleh sains dan keimanan kepada kita.
Muthahhari lalu memberikan jawaban atas pertanyaan di atas dengan
ungkapan yang dalam dan sarat dengan makna filosofis yang mesti diselami
maknanya secara serius. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita kekuatan
dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains
meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan. Sains memberi kita
momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan, dan
keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada kita apa yang ada di
sana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang mesti kita kerjakan.
Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi internal. Sains
memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan meningkatkannya
58
Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H),
h.9.

33
35

secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan. Sains adalah
keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh.59
Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat kita
pahami bahwa menurut beliau Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan)
adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika
salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh
Muthahhari—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar
dan orang bodoh yang tekun beribadah”.60
Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan oleh
Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa sekarang
adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Hal itu
dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu (keimanan).
Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: (1) Suatu
penafsiran Spiritual atas jagat, (2) emansipasi spiritualitas atas individu, dan (3) suatu
himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi
masyarakat manusia atas dasar spiritual. Eropa modern, tak syak lagi, telah
membangun sistem idealistis pada jalur ini, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa
kebenaran yang terungkap lewat akal murni tidak mampu membawa api keyakinan
hidup yang hanya bisa dibawa oleh wahyu yang bersifat personal saja. Inilah
alasannya, kenapa pemikiran saja telah mempengaruhi manusia sedemikian sedikit,
sementara agama selalu meningkatkan individu-individu dan mentransformasikan
masyarakat secara keseluruhan. Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang

59
Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H),
h.12.

60
Murtadha Muthahhari, Ceramah-ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, (Jakarta: Lentera, 1999), h.184.

33
35

mencari dirinya melalui demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi


hanya untuk menindas yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya.
Iqbal mempertegas, percayalah padaku, Eropa masa sekarang adalah
hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang-orang
Muslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber dari wahyu
yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam, menginternalisasikan
eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan adalah masalah keyakinan
yang untuknya orang-orang yang paling sedikit tercerahkan di antara kita sekalipun
bisa dengan mudah mengatur hidupnya.61
Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba
saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu tidak
bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama lain.
Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah
menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa
sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu,
maka agama, dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu
instrumen di tangan-tangan pada “dukun cerdik”.
Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan orang mabuk;
seperti secercah cahaya di tangah pencuri di tengah malam, membuatnya mampu
mencuri barang-barang yang terbaik. Inilah sebabnya, kenapa orang-orang terpelajar
yang kafir pada masa kini sama sekali tidak berbeda dari orang-orang yang kafir pada
masa lampau dalam hal sifat dan perilakunya.
Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang
mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya
kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai dan
61
Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H).,
h.12-13.

33
35

bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan-


bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh-contoh
semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama sebagaimana di
dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah digunakan untuk
memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme, ambisi, penindasan,
perbudakan, penipuan dan kecurangan.62
Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya dengan
pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan yang
mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya mementingkan
sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut hanya akan melahirkan
generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di atas, yaitu orang berilmu
yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah. Inilah salah satu inti dasar
pembahasan yang dapat diidentiifkasikan sebagai konsep pokok pendidikan
Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kemuliaan manusia
dengan pijakan keimanan dan penguasaan sains yang handal.
Namun, mengenai konsep sains dan agama, di sini terlihat perbedaan yang
cukup signifikan antara pemikiran Muthahhari dan al-Ghazâlî. Hal ini bisa dipahami
dikarenakan landasan pemikiran Muthahhari adalah filsafat—yang menjadi musuh
utama al-Ghazali, yang dapat dilihat dalam karya monumental beliau, tahâfut al-
falâsifah—sedangkan landasan pemikiran al-Ghazâlî adalah tasawuf—yang banyak
dianut oleh para ulama salaf yang cenderung “kekiri-kirian”, dalam arti sangat anti
terhadap filsafat. Dalam konsep ma’rifah-nya, terlihat dengan jelas bahwa al-Ghazâlî
sangat anti terhadap filsafat, sedangkan filsafat seperti banyak dikatakan oleh para
ahli adalah bapaknya dari ilmu pengetahuan (sains) modern. Pengetahuan yang
didapat dari hasil penalaran akal, yang merupakan ciri khas dari sains modern, sangat
62
Murtadha Muthahhari, Man and Universe, (Qum: Ansariyan Publication, 1997M / 1417 H),
h.15-16.

33
35

ditentang oleh al-Ghazâlî. Pengetahun yang hakiki, menurut beliau, adalah


pengetahuan yang didapat dari hasil nalar intuisi (qalb) melalui jalur tasawuf.63
Lebih jelas, al-Ghazâlî membagi ma’rifat ke dalam tingkatan sesuai dengan
dasar pengetahuan dan metode yang dipergunakan, yaitu: pertama, ma’rifat orang
awam, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui jalan meniru atau taklid. Kedua,
pengetahuan Mutakallimin dan Filosof yaitu pengetahuan yang didapat melalui
pembuktian rasional. Ketiga, pengetahuan para sufi yaitu pengetahuan yang diperoleh
melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi, yaitu qalbu yang
bening. Adapun pengetahuan mistis atau sufisme menurut al-Ghazâlî adalah Dzat
Allah, sifat-sifat-Nya serta af’al-nya, dan inilah pengetahuan yang paling tinggi
nilainya. Pengetahuan yang demikian ini akan membawa kebahagiaan bagi yang
memilikinya, serta akan menemukan kesempurnaan dirinya, karena ia berada di sisi
Yang Maha Sempurna.64
Untuk mengetahui dampak dari sains yang tanpa dilandasi adanya keimanan,
berikut ini dikemukakan hasil analisis Kuntowijoyo mengenai hal tersebut.65
Kuntowijoyo (1999) pernah mengeluhkan mengenai kenyataan berubahnya
sistem sosial manusia saat ini. Menurutnya, sistem sosial kebebasan manusia telah
digantikan dengan mekanisasi manusia lewat industrialisasi dan teknologi. Manusia
hanyalah dipakai sebagai bagian dan pelengkap dari mesin, ia berada pada bayang-
bayang alienasi industrialisasi yang membawa manusia terpuruk pada tipe
“perbudakan” baru, “perbudakan mesin”. Itulah masyarakat yang kita sebut sebagai
“masyarakat kapitalistik”. Di dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi
elemen dari pasar. Dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja dan bahkan kualitas
kemanusiaan itu sendiri, ditentukan oleh pasar.

63
Imam Al-Ghazali, Al-Munqizh min al-Dlalâl, (Kairo: tpn., 1336 H), h.12.
64
Al-Ghazâlî, Al-Munqizh min al-Dlalâl, (Kairo: tpn., 1336 H), h. 13.
65
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h.73-75.

33
35

Selain itu, kenyataan lainnya, seperti banyak dikemukakan oleh banyak ahli
yang menanggapi perkembangan dunia modern saat ini, bahwa sebagai akibat dari
kemajuan sains yang tanpa landasan keimanan, jiwa manusia banyak mengalami
gangguan psikologis; dari mulai keresahan jiwa, kejenuhan dalam mengejar ambisi
yang tidak pernah berhenti, dan banyak lagi penyakit manusia modern lainnya. Belum
lagi kejahatan yang kian merajalela dan telah dikemas sedemikian rupa sehingga
menyerupai “kebijaksanaan sejati”: pembunuhan di mana-mana, penindasan terhadap
kaum tertindas sudah menjadi hiburan, dan mencuri telah menjadi kewajiban. Itu
semua adalah penyakit manusia saat ini.
Berbagai terapi psikologis telah dikembangkan untuk mengobati penyakit
manusia modern, dari mulai terapi sugesti sampai terapi bunuh diri. Namun itu semua
hanya pengobatan secara sementara dan terkesan sebagai upaya untuk lari dari
kenyataan (escape from reality). Manusia modern akhir-akhir ini sedang melirik ke
jalur spiritual (keimanan yang bersumber dari wahyu dan cinta) untuk mengobati
penyakit jiwanya. Di Barat pun, kini telah berkembang banyak ragam pengobatan
dengan menggunakan mediasi ghaib. Terbukti dengan semakin banyaknya buku-buku
yang berbau spiritual yang diterbitkan untuk melatih spiritualitas manusia dengan
berbagai metode dan beberapa di antaranya termasuk the best seller; dari mulai
latihan aura jiwa, keajaiban berdoa, meditasi, dan banyak lagi.
Di Indonesia sendiri, terapi spiritual yang banyak berkembang, sebagai objek
pelarian manusia modern untuk mengobati kehausan jiwanya, adalah terapi spiritual
(biasanya mengambil bentuk jalur tasawuf). Namun, terkadang dalam prakteknya,
jalur tasawuf pun masih sama sebagai alat pelarian diri dari kenyataan. Seseorang
yang menekuni bidang tasawuf—meskipun tidak seluruhnya begitu—sering terlena
dalam menikmati kelezatan kontemplasi dengan Tuhan sehingga “lupa untuk turun ke

33
35

alam nyata” (bidang-bidang keduniaan dan sosial). Mereka terlalu berambisi dalam
memenuhi hasrat bathinnya, tetapi lupa terhadap kehidupan sosial di sekelilingnya.

D. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman


1. Belajar tentang Zaman
Di antara kata-kata cemerlang Imam Shadiq, salah satu cucu Rasulullah
dari kalangan Ahlul Bait Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Kâfi
adalah ucapannya:66

.‫س‬
ُ ‫عَلْيِه الّلَواِب‬
َ ‫جُم‬
ُ ‫َاْلَعاِلُم ِبَزَماِنِه َل َتْه‬
“Barangsiapa mengerti tentang zamannya, tak akan dikejutkan oleh serbuan
segala yang membingungkannya”.
Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari,
adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan
menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali
dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Kata “serbuan” (hujûm) dalam
ucapan Imam Shadiq di atas, digunakan dalam bahasa Persia untuk
menunjukkan suatu serangan yang dahsyat, tapi dalam bahasa Arab digunakan
untuk menunjukkan suatu serangan mendadak yang menimbulkan kebingungan.
Atas dasar itu, ucapan Imam Shadiq tersebut menunjukkan bahwa seorang ‘arif
(bijak) yang mengenal baik-baik segal ihwal zamannya, dan benar-benar
mengetahui segala rahasianya, pasti tidak akan dikejutkan oleh hal-hal yang
datang secara mendadak, sehingga membuatnya kebingungan, hilang akal, dan
kehilangan kesempatan untuk meluruskan pikirannya guna memecahkan
persoalan-persoalan yang muncul di hadapannya.67
66
Al-Kulayni, Al-Kafi, Jilid II, h.45.
67
Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah,
1395 H), h. 57.

33
35

Muthahhari menambahkan, bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada


lagi kalimat-kalimat lainnya yang menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan
berhasil siapa saja yang tidak menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan
akalnya siapa yang tidak berpengetahuan”. Yakni, takkan berhasil orang yang
tidak memiliki pengetahuan; sebab akal sama dengan kemampuan melakukan
analisis dan menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan. Atau membuat
premis agar mencapai kesimpulan. Akal memperoleh “minuman” dari ilmu, dan
akal adalah pelita sedangkan minyaknya adalah ilmu. Kemudian, kata Imam
Shadiq lagi: “Barangsiapa memiliki pemahaman, akan meraih kepandaian dan
menjadi terouji dalam ucapan dan tindakannya.” Karena itu, seyogianya kita
tidak mencemaskan ilmu dan tidak menganggapnya sebagai bahaya atas diri
kita.
Sekarang ini, kita berdiri berseberangan dengan ucapan berikut:
“Barangsiapa mengerti tentang zamannya, takkan dikejutkan oleh hal-hal yang
membingungkannya.” Dengan kata lain, kita kini tak mengerti sedikit pun
tentang zaman kita sendiri, dari awal sampai akhir. Kita sedang terlelap dalam
tidur yang membuat kita lalai akan segalanya. Dan tiba-tiba, kita mendapati diri
kita berhadapan langsung dengan berbagai masalah serius.
Selanjutnya, Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai
bagaimana membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa
depan yang boleh jadi tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat
sekarang. Menurut beliau, ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya
membuat planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh
—di dalam diri kita sendiri—pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan
pembinaan (pendidikan), baik dalam segi teknis administratif maupun dalam
aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan

33
35

juga perbedaan objek yang hendak dibina/dididik. Karenanya, kita harus


menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan mendidik
generasi muda ini dengan cara-cara lama.68
Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda saat
ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk itu,
secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula untuk
melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi muda
sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi tentang
dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam keburukan lainnya.
Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi muda dengan pandangan
penuh kebencian dan pelecehan.
Akan tetapi, pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah
sangat berbeda. Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka.
Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan
kepiawaian yang memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun,
terkadang generasi lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan
memandang buruk kepada generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala
aspeknya.
Ada beberapa ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua
gambaran tentang dua generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak
mungkin dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak
kerusakannya daripada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan
menuju kepada kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang
berikutnya senantiasa lebih sempurna daripada yang sebelumnya. Ayat-ayat
tersebut adalah sebagai berikut.
68
Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah,
1395 H), h.59.

33
35

“Kami telah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik


kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah.
Masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.
Sehingga apabila telah mencapai dewasa dan usianya sampai empat puluh
tahun, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku,
dan agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan
kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku
bertobat kepada-Mu dan sungguh aku termasuk ke dalam orang-orang yang
berserah diri kepada-Mu” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Ayat di atas melukiskan cara pemikiran generasi yang shaleh. Di
antaranya, adalah semangat bersyukur dan mengakui luasnya karunia-karunia
Allah Swt. “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-
Mu yang engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”. Di sini
ia mengakui nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah Swt atas dirinya dan
generasi pendahulunya, lalu meminta dari-Nya agar diberi kekuatan untuk
memnuhi rasa terima kasih dan penghargaannya atas semua itu. Dan agar ia
diberi petunjuk untuk dapat menggunakan nikmat-nikmat itu demi meraih
keridhaan-Nya. Sebab, arti mensyukuri suatu nikmat adalah dengan
memanfaatkannya secara proporsional, sesuai yang dikehendaki oleh Sang
Pemberi. Dan karenanya ia memohon daari Allah Swt agar memberinya taufik
untuk menggunakan nikmat-Nya demi sesuatu yang bermanfaat dan diridhai
oleh-Nya: “…agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai..”.
Di antaranya pula, perhatiannya kepada generasi berikutnya, semoga ia
menjadi generasi yang shaleh. Karenanya, ia memohon kepada Allah Swt, “…
Berikan kepadaku kebaikan dengan memberi kebaikan kepada anak-

33
35

cucuku…” Selanjutnya, semangat bertobat dan menyesali kelalaian dan


kekurangannya pada masa-masa lalu, “….Sungguh aku bertobat kepada-
Mu..”
Tentang generasi seperti ini, Allah Swt kemudian berfirman: “Mereka
itulah orang-orang yang Kami terima amal baik yang telah mereka kerjakan,
dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama para penghuni
surga, sebagai janji yang benar yang dijanjikan kepada mereka” (QS. Al-
Ahqaf: 16)
Adapun ayat berikutnya (QS. al-Ahqâf [46]: 17) berbicara tentang
suatu generasi yang tusak dan menyimpang:
“Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, “Cis bagi
kalian berdua; adakah kalian memperingatkan kepadaku bahwa aku akan
dibangkitkan (setelah mati), padahal sungguh telah berlalu beberapa umat
sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada
Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah
adalah benar.” Maka berkatalah ia, “Ini tidak lain hanyalah dongengan
orang-orang dahulu belaka” (QS. Al-Ahqaf: 17)
Ayat ini, menurut Muthahhari, adalah generasi yang menyimpang dan
terkelabui. Generasi yang mentah, belum matang. Begitu telinganya
mendengar dua kalimat, ia tidal lagi merasa terikat dengan sesuatu. Ia tidak
merasa sebagai hamba Allah. Ia merasa kesal terhadap kedua orang tuanya.
Menghina mereka. Mengejek pandangan mereka, juga semua kepercayaan
mereka. Menertawakan mereka akibat ucapan mereka tentang adanya Hari
Kiamat, hari kebangkitan kembali tentang alam yang lain dan kehidupan yang
lain. Padahal generasi-generasi terdahulu, datang dan hidup, kemudian mati
dan tidak kembali lagi. Dan kedua orang tuanya yang religius, dan yang tidak

33
35

tahan mendnegar sesuatu yang bertentangan dengan agama, kini mendengar


putra kesayangan mereka menyakiti hati mereka dengan omongan seperti itu,
sehingga mereka berteriak, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah
adalah benar.”69
Itulah ayat-ayat yang menjelaskan tentang dua generasi yang berbeda:
generasi yang shaleh dan yang lainnya rusak dan menyimpang. Dari
penjelasan Muthahhari di atas, dapat dikatakan bahwa penjelasan yang
disampaikan beliau di atas terkait erat dengan upaya memahami dalam
mengidentifikasi generasi saat ini, sebagai objek dari dunia pendidikan yang
akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Memahami sifat dan
karakteristik generasi saat ini sangat penting dalam merumuskan metode
pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena
metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi
pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian
objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak komprehensif
maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga
generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan terwujud.

2. Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman


Muthahhari dalam bukunya “Islam dan Tantangan Zaman” di bawah
judul “Dua Perubahan Zaman” mengutarakan pandangannya tentang cara
menyikapi perubahan zaman. Perubahan-perubahan mana yang mesti kita
hitung sebagai mengarah pada kebaikan dan perkembangan mana yang harus
kita hitung sebagai mengarah pada penyimpangan dan kerusakan? Dari mana
kita bisa mengetahui bahwa suatu perubahan keadaan itu baik dak kita mesti
69
Murtadha Muthahhari, Muhadharat fi ad-Din wa al-Ijtima’, (Teheran: Muassasah al-Bi'tsah,
1395 H), h.70-72.

33
35

bekerja sama atau perubahan keadaan itu justru buruk sehingga kita harus
menentangnya? Apa yang menjadi sebagai ukuran?
Ukuran umum ialah bahwa kita mesti memperhatikan dengan teliti apa
yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada
semua zaman, ke mana arah tujuannya, dan apa yang dihasilkannya.
Terkadang, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering muncul manusia
penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat
untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Misalnya, ada
manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film
yang merusak.70
Dengan demikian, dari pendapat Muthahhari di atas, jika dikaitkan
dalam dunia pendidikan, dapat dikatakan bahwa sikap dunia pendidikan dalam
menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima seluruh
perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan zaman.
Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati
dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistis dari sikap menolak seluruh
perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan
idealistis orang yang memandangnya.
Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu
menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-
efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai
landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi
dari sebuah lembaga pendidikan.
70
Murtadha Muthahhari, Inna ad-Dîn ‘inda Allah al-Islâm (Qum: Muassasah Sadr, 1394 H),
h.22.

33
35

E. Disiplin Ilmu Islam


Berikut ini akan dikemukakan pemikiran Muthahhari mengenai disiplin ilmu-
ilmu Islam (‘ulûm Islami). Menurut beliau, ilmu-ilmu Islam dapat didefinisikan
dengan berbagai pola, yang masing-masing pola akan memiliki sesuatu sebagai
subyek. Dengan demikian, subyek akan ditentukan dengan pola pendefinisian tadi. Di
bawah ini adalah pola-pola yang muncul untuk mendefinisikan ulum Islami:71
1. Serangkaian ilmu yang membahas seputar agama Islam; pokok maupun
cabangnya, sekaligus hal-hal yang menjadi pendahuluan bagi hasil pokok dan
cabang tersebut, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk ilmu-ilmu
tersebut ialah: Ilmu Qira’ah, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam Nakli, Fiqih, dan
Ilmu Akhlaq.
2. Ilmu-ilmu yang tercantum di atas, ditambah serangkaian ilmu yang menjadi
pendahuluan baginya, seperti: Ilmu-ilmu linguistik Arab (Sharaf, Nahwu,
Lughoh Ma’ani, Bayan, Badi’, dan sebagainya), Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu
Dirayah Hadits, Ilmu Kalam Akli, Ilmu Akhlaq akli, Hikmah Ilahiyah,
Mantiq, dan Ushul Fiqh.
3. Disiplin-disiplin ilmu yang mempelajarinya bagaimanapun juga termasuk
dalam kewajiban agama, walaupun sekadar wajib kifa’i.
Berdasarkan definisi ketiga di atas, ulum Islami akan mencakup mayoritas Ilmu
Alam dan Ilmu Matematika yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam.
Sementara itu, al-Ghazâlî menyebut empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda:
1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhûri) dan yang dicapai
(hushûli).
71
Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, terjemahan Asynai ba Ulume Islami,
Duruse Mantiq oleh I.H. Al-Habsyi (Bangil: Yapi, 1994), h. 12—14.

33
35

3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlîyah).


4. Pembagian ilmu menjadi fadhu ‘ain dan fardhu kifayah.72
Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadits Rasul saw: "Menuntut ilmu
itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat” (HR. Bukhori & Muslim).
Dengan demikian, terdapat kemiripan antara pembagian ilmu antara
Muthahhari dan al-Ghazali. Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga
jenis, yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-
jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.
Lebih lanjut, al-Ghazâli memberikan arahan bahwasanya ilmu yang paling
bermanfaat adalah ilmu yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai
kebahagiaan ukhrâwî. Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan
manusia untuk mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori
mencakup empat kebahagiaan.73
Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah) adalah
iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang
wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan agama). Jadi, iman dianggap sinonim
dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah
(kebijaksanaan), ‘iffah (menahan diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan).
Keempat keutamaan jiwa akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan
semua sifat jiwa yang terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju
kebahagiaan.
Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap sebagai
sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu, keutamaan jiwa

72
Lebih rinci lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1998), h. 231-250.
73
M. Abul Quasem, Kamil, Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J.
Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 55-59.

33
35

tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama pentingnya, derajat keutamaan
jasmani berda di bawah kebaikan jiwa. Keutamaan jasmani adalah kesehatan,
kekuataan, panjang usia, dan kerupawanan.
Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah kekayaan,
pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya berguna bagi
kebahagiaan.
Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah berupa
petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah (tasdîd), dan
penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian perintah Allah dengan
kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi fadhilah ini ialah menggabungkan
fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik
dipandang sebagai sarana hakiki bagi kebahagiaan.
Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling
menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan ukhrâwî.
Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki itu ialah ilmu dan
amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus dipersiapkan menuju
kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk membersihkan jiwa dari
keinginan-keinginan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari kebahagiaan
tersebut. Dan mencapai kebahagiaan itu melalui latihan-latihan kerohanian
(mujahadah) adalah jalan yang paling selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai
kebahagiaan. Inilah jalan para sufi, orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.74
Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî. Dalam
al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang berhubungan
dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi yang menyangkut batin
ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang bisa melakukannya. Menurut al-
74
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikran Falsafi dalam Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1991),
h. 76.

33
35

Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan
mengabaikan amal batin. Kaum sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua
jenis amal, kecuali yang berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika
sufi al-Ghazâlî, kata ‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal
lahir (al-’amal al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing
terbagi dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat),
dan amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
(adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-nafs)
dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-qalb) dengan
sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk keseluruhan aspek
praktis etika al-Ghazâlî.75
Kita sadar bahwa serangkaian ilmu yang membahas seputar agama dalan hal-
hal yang menjadi pendahuluan bagi mereka, memang wajib untuk dipelajari dan
dikaji, karena mengenali pokok agama (ushuluddin) merupakan kewajiban bagi setiap
pribadi muslim, sementara mengenali cabang agama (furu’udin) merupakan wajib
kifa’i. Mengenali al-Qur’an dan Sunnah juga wajib, karena tanpa keduanya tak akan
didapatkan pengenalan tentang pokok maupun cabang agama. Demikian pula
disiplin-disiplin ilmu yang menjadi pendahuluan bagi serangkaian ilmu di atas, juga
menjadi wajib berdasarkan muqadimatul wajib.
Semestinya, di kalangan ilmuwan Islam terdapat orang-orang yang senantiasa
menguasai disiplin-disiplin ilmu tersebut, bahkan orang-orang yang
mengembangkannya. Para ilmuwan Islam sepanjang empat belas abad, telah berusaha
semaksimal mungkin untuk terus memperluas jangkauan ilmu-ilmu di atas, dan

75
Abul Qasem. Etika al-Ghazâlî: Etika Majemuk Di dalam Islam, (terj.) J. Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1988), h. 63.

33
35

sebagaimana yang nantinya akan menjadi jelas bagi kita, mereka telah mencapai
kesuksesan yang menonjol sekali.
Kini kita menyadari bahwa ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap
umat Islam, tidaklah terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan juga
mencakup segala macam ilmu yang menjadi syarat atas terselesaikannya setiap
kebutuhan dan kepentingan masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam
merupakan agama yang tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang
individual personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun
sebuah masyarakat sempurna.
Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat, Islam telah
mewajibkannya. Misalnya sebuah masyarakat membutuhkan dokter, maka menuntut
ilmu kedokteran akan menjadi wajib kifa’i; artinya harus terdapat dokter sebanyak
yang dibutuhkan oleh masyarakat, jika tidak, maka setiap orang dalam masyarakat
tersebut bertanggung jawab dan harus mencurahkan upayanya demi menghasilkan
angka yang mencukupi, yaitu dengan mendatangkan dokter-dokter dari luar yang
resikonya jauh lebih tinggi.
Begitu pula dengan ilmu politik, ekonomi, industri, dan sebagainya. Jika pada
kondisi tertentu keterjagaan sebuah masyarakat Islam tergantung pada penguasaan
terhadap tahap-tahap tertinggi dari teknologi, maka Islam akan mewajibkan
pengkajian terhadapnya. Dengan demikian, pada prinsipnya, segala ilmu yang
dibutuhkan oleh sebuah masyarakat Islam akan menjadi wajib kifa’i bagi setiap
pribadi untuk menuntutnya.
Ilmu-ilmu yang—garis besarnya—berkembang di kalangan kebudayaan
Islam, mencakup ilmu yang menurut Islam wajib atau bahkan haram sekalipun.
Seperti ilmu Astrologi dan beberapa ilmu lainnya.

33
35

Sebagaimana kita ketahui, jika ilmu yang mengkaji tentang perbintangan


menerangkan prinsip-prinsip yang bersangkutan dengan mekanisme benda-benda
angkasa dan memperkirakan kejadian-kejadian yang diperhitungkan, seperti gerhana,
cuaca, dan hal semacam itu (astronomi), tetap merupakan disiplin ilmu yang
diperbolehkan oleh agama.
Sementara itu, ilmu perbintangan yang mengkaji tentang hal-hal di luar
perhitungan matematis dan menjelaskan hubungan yang terselubung antara kejadian-
kejadian kosmik dengan kejadian di bumi (Astrologi), merupakan disiplin ilmu yang
dilarang oleh agama. Meski demikian, kedua ilmu ini pernah berkembang di
lingkungan kebudayaan Islam.76
Dari keempat definisi di atas, jelaslah bahwa ilmu-ilmu Islam telah digunakan
pada beberapa arti yang sebagian dari arti tersebut lebih luas dari sebagian yang lain.
Harus disadari bahwa sesungguhnya budaya Islam merupakan sebuah budaya yang
eksklusif (unik) di antara budaya-budaya yang tersebar di seantero bumi, memiliki
ciri dan gelora tersendiri. Demi membantu kita mengenali budaya Islam sebagai
budaya yang sedemikian hebat, maka haruslah kita memperhatikan animo yang
mewarnai kebudayaan tersebut, arah gerak, serta nilai-nilai yang menonjol padanya.
Jika dalam beberapa hal di atas itu budaya Islam berbeda dengan budaya-
budaya selainnya, itu akan merupakan tanda orisinalitas budaya Islam. Tetapi
mengambil keuntungan dari budaya di sekitarnya sama sekali tidak bertentangan
dengan orisinalitas budaya Islam, bahkan mustahil suatu budaya muncul tanpa
menggunakan beberapa hal dari budaya-budaya sebelumnya. Lagipula penggunaan
itu sendiri memiliki dua cara yang berbeda: menelan sebuah budaya asing ke dalam
lingkaran kebudayaan tersebut. Atau menyerap hal-hal dari budaya lainnya, seperti
sebuah sel hidup yang menyerap zat makanan dari benda-benda di sekitarnya.

76
Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, (Bangil: Yapi, 1994), h. 14.

33
35

Penyerapan yang terjadi oleh budaya Islam dari budaya Yunani, India, Persia, dan
sebagainya merupakan contoh bagi cara yang kedua tersebut.
Menurut penilaian para ahli sejarah budaya, budaya Islam merupakan salah
satu dari budaya terbesar yang pernah muncul di muka bumi. Tentunya, budaya
agung ini pertama kali dicetuskan oleh Nabi Besar Muhammad Saw di kota Madinah.
Layaknya setiap sel hidup yang berkembang, budaya itu muncul secara diam-diam
tanpa disadari oleh mereka yang berada di sekitarnya.77
Itulah penjelasan dari Muthahhari dan al-Ghazali mengenai pengenalan
terhadap berbagai disiplin ilmu Islam, yang nantinya dapat dijadikan sebagai panduan
dalam merumuskan bidang-bidang ilmu Islam yang dapat diterapkan dalam sebuah
pendidikan Islam yang ada di sekitar kita.

F. Paradigma Model Pendidikan Islam Murtadha Muthahhari


Setelah dipaparkan mengenai pokok-pokok konsep pendidikan Mutahhari
yang penulis coba identifikasikan dari seluruh karya-karya beliau, maka pada bab ini
penulis mencoba untuk menganalisis seluruh konsep-konsep pendidikan Muthahhari
tersebut dengan membuat suatu perumusan ke dalam poin-poin yang sistematis.
Setelah menyusunnya kepada beberapa poin, maka akan terlihat jelas konsep-konsep
pendidikan Muthahhari secara integral.
Konsep pendidikan Muthahhari dapat dirumuskan secara sistematis dan
integral sebagai berikut:
1. Menurut Muthahhari, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah. Fitrah
adalah dimensi asasi dari pendidikan. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan
77
Murtadha Muthahhari, Pengantar Menuju Logika, (Bangil: Yapi, 1994), h. 15.

33
35

hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari dan


mencintai kebenaran. Pendidikan pun memiliki fungsi yang sama, yaitu
menanamkan dan mengajarkan kepada manusia untuk mencari dan mencintai
kebenaran. Di sinilah titik temunya antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan
berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui
cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang
berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-
nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari
fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya.
Pendidikan sebagai pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran.
Informasi tersebut berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran,
sebagai sifat dasar dari fitrah.
2. Kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai
tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari
ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka
kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan diketahuinya yang
dengannya tidak terpenuhi. Keadaan dunia telah berubah; kebutuhan-
kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman sekarang, tidak satu pun dari
bidang kehidupan manusia dapat sejalan dan menyesuaikan diri dengan
keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai ilmu dan
belajar.
3. Pembagian antara “ilmu agama” dan “ilmu bukan agama” adalah tidak benar.
Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang,
bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama”
adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam

33
35

menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh
masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.
4. Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan) adalah dua hal yang saling
melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika salah satu hilang
dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh Muthahhari
—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar dan
orang bodoh yang tekun beribadah”. Sejarah telah membuktikan bahwa
pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa
diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat
fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, maka agama,
dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu instrumen di
tangan-tangan para “dukun cerdik”.
5. Upaya untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik generasi saat ini
adalah sesuatu yang penting, sebagai objek dari dunia pendidikan yang akan
hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting dalam
merumuskan metode pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga
pendidikan. Karena metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan
dari pesan dan misi pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika
pengidentifikasian objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara
tidak komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan
sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan
terwujud.
6. Sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak
secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya
menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia
pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin

33
35

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu
tradisionalistik dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman yang
menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealisme orang yang
memandangnya. Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang,
yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-
efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai
landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi
dari sebuah lembaga pendidikan.
7. Ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap umat Islam, tidaklah terbatas
pada ilmu-ilmu agama, melainkan juga mencakup segala macam ilmu yang
menjadi syarat atas terselesaikannya setiap kebutuhan dan kepentingan
masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam merupakan agama yang
tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang individual personal,
melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun sebuah
masyarakat sempurna. Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat,
Islam telah mewajibkannya.
Perlu penulis tambahkan, sehubungan dengan perkembangan zaman yang ada
pada saat ini, dan dengan menginduk kepada pendapat Muthahhari di dalam
menyikapi perubahan zaman di atas. Metode-metode pengajaran sebagai akibat dari
perubahan zaman telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Hal itu bisa
diadopsi ke dalam dunia pendidikan Indonesia sejauh metode itu bisa meningkatkan
proses belajar dari peserta didik. Selain itu, teknologi yang telah berubah pesat dapat
pula diadopsi dalam dunia pendidikan, khususnya yang menyangkut media
pengajaran yang dengan menggunakan teknologi mutakhir dapat meningkatkan
efektifitasnya. Namun, teknologi adalah suatu produk yang mesti disertai dengan

33
35

sensor keimanan yang ada dalam diri masing-masing orang, termasuk dalam diri
peserta didik.
Dari ketujuh poin di atas, dapat dibuatkan paradigma model konsep
pendidikan Muthahhari beserta penerapannya, seperti tampak di bawah ini. Gambar
tersebut dapat memudahkan kita dalam melihat konsep pendidikan Muthahhari yang
utuh.

33

You might also like