Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Denny saputra
Ferdiansyah Fajrin
Indias Puspitasari
Pipin Apriani
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
a. Mengapa memilih naskah ini ?
Karena di dalam naskah ini terdapat pesan moral yang sangat tinggi yang
bisa dijadikan panutan bagi kita semua.
b. Bentuk Naskah : Tragedi, karena terdapat kesedihan, pertikaian, dan
kematian.
c. Teori yang digunakan
Teori yang digunakan adalah Teori Abrams, karena menurut kami teori ini
lebih membahas secara dalam apabila diaplikasikan ke dalam naskah. Serta
teori ini lebih kami pahami.
2. Sinopsis
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Goldmann
Mungkin akan muncul pertanyaan, jika teori Goldmann adalah juga teori strukturalisme, lalu
apakah yang membedakannya dengan teori strukturalis yang lain? Menjawab pertanyaan ini
Goldmann menulis: strukturalisme genetik menegaskan bahwa struktur-struktur, yang sudah
menjadi sebuah aspek universal dari pikiran, kepekaan, dan perilaku manusia, bisa
menggantikan manusia sebagai sebuah subjek historis. Hal inilah menurut Boelhower yang
membedakan strukturalisme Goldmann dengan strukturalisme komtemporer yang lain.
Boelhower menambahkan, dalam pandangan strukturalisme genetika Goldmann, karya sastra
yang dilihat sebagai sebuah struktur haruslah dikaitkan subjek historis, bukan dengan
subjek lain di luar lingkungan historis (Goldmann 10-11).
Untuk menopang teorinya, menurut Faruk (12), Goldmann membangun seperangkat kategori
yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk strukturalisme genetik. Kategori-
kategori tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia,
pemahaman dan penjelasan.
Prinsip dasar pertama dari strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan. Fakta
kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia yang dapat dengan jelas dipahami (Goldmann
40), atau dengan kata lain adalah segala hasil aktivitas manusia atau perilaku manusia baik
yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat
berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti
filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sastra (Faruk 12). Goldmann mengatakan
aktivitas-aktivitas tersebut sebagai upaya manusia mengubah dunia, dimana tujuan dari
aktivitas-aktivitas tersebut adalah untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara diri
manusia (sebagai subjek) dan dunia. Perilaku manusia di atas menjadi bermakna karena
membuat mereka memperbaiki keseimbangannya (equilibrium) (Goldmann 40).
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya (Faruk 13-14; Goldmann 61), selalu terjadi
proses timbal-balik yang disebut dengan asimilasi dan akomodasi. Di satu pihak, manusia
berusaha mengasimilasi lingkunagn sekitarnya, tetapi di lain pihak usaha itu tidak selalu
berhasil karena menghadapi rintangan-rintangan yang antara lain:
Menghadapi kendala seperti itu manusia akhirnya menyerah dan melakukan hal sebaliknya,
yaitu melakukan proses akomodasi dengan struktur lingkungan tersebut. Dalam proses
strukturasi dan akomodasi yang terus-menerus itulah karya sastra memperoleh artinya,
sekaligus menjadikan proses tersebut sebagai genesis dari struktur karya sastra (Faruk
14).
2. Subjek Kolektif
Telah dibahas sebelumnya bahwa fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktivitas manusia
sebagai subjeknya. Subjek dapat dibagi menjadi dua, sesuai dengan fakta yang
dihasilkannya: subjek individual yang menghasilkan fakta individual (libidinal), dan subjek
kolektif yang menghasil fakta sosial (historis) (Faruk 14).
Strukturalisme genetika melihat subjek kolektif sebagai sesutau yang penting karena
subjek kolektif mampu menghasilkan karya-karya kultural yang besar yang sering menjadi
topik utama dalam karya sastra, contohnya revolusi sosial, politik dan ekonomi (Faruk 14-
15). Jika kita menggunakan terminology Goldmann, maka fakta-fakta sosial tersebut
dihasilkan oleh subjek trans-individual (Goldmann 97), dimana subjek trans-individual
bukanlah individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan,
satu kolektivitas (Faruk 15).
Sebagaimana yang disampaikan di atas, karya sastra yang besar merupakan produk
strukturasi dari subjek kolektif. Karena itulah strukturalisme genetik melihat karya sastra
sebagai struktur koheren yang terpadu. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan
ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dimana pengarang menciptakan semesta tokoh-
tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner pula. Hal itulah juga yang menurut
Goldmann membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi (Faruk 17).
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa Goldmann ternyata memfokuskan
perhatiannya pada hubungan antar tokoh dan antara tokoh dengan lingkungannya. Dalam
bukunya The Sociology of Literature: Status and Problem of Method, Goldman mengatakan
bahwa hampir seluruh karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, dalam rangka
menguak struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan karya sastra
(Faruk 17).
Dalam kaitannya dengan konsep struktur karya sastra, Goldmann berpendapat bahwa novel
merupakan cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam
dunia yang juga terdegradasi, dan pencarian itu dilakukan oleh seorang pahlawan ( hero) yang
problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas yang secara
tersirat muncul dalam novel. Dengan begitu, nilai-nilai tersebut hanya dapat dilihat dari
kecederungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Itulah sebabnya, nilai
otentik hanya berbentuk konseptual dan abstrak , serta hanya berada dalam kesadaran
penulisnya (Faruk 18).
Goldmann membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, dimana tokohnya
masih ingin bersatu dengan dunia, namun karena persepsi tokoh tersebut bersifat subjektif,
idealismenya menjadi abstrak; novel romantisme keputusasaan, dimana kesadaran tokohnya
terlampau luas dari dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia; dan yang
terakhir adalah novel pendidikan, yang menampilkan pahlawan yang mempunyai kesadaran
akan kegagalannya ketika ingin bersatu dengan dunia karena memilki interioritas (Faruk 19).
4. Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Dalam perspektif strukturalisme genetik, karya sastra merupakan sebuah struktur koheren
yang memiliki makna. Dalam memahami makna itu Goldmann mengembangkan metode yang
bernama metode dialektik. Prinsip dasar metode dialektik yang membuatnya berhubungan
dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan
yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam
keseluruhan. Untuk itu metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yaitu
“keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk 19-20).
Dialektik memandang bahwa tidak ada titik awal yang secara mutlak sahih dan tak ada
persoalan yang secara mutlak pasti terpecahkan. Setiap gagasan individual akan berarti jika
ditempatkan dalam keseluruhan, demikian juga keseluruhan hanya dapat dipahami dengan
menggunakan fakta-fakta parsial yang terus bertambah. Dengan kata lain, keseluruhan tidak
dapat dipahami tanpa bagian, dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan (Faruk
20).
Sebagai sebuah struktur, karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil, yang
mana dengan mengidentifikasinya akan membantu kita memahami apa sebenarnya karya
tersebut. Namun teks sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih
besar yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam memahaminya harus juga
desertai usaha menjelaskanya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
Inilah sebenarnya konsep dialektika “pemahaman-penjelasan”, dimana pemahaman adalah
usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti
makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
1. Teori Abrams
Dalam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971), Abrams
mengetengahkan teori Universe-nya. Melalui teori Universe itu, kita mengetahui bahwa :
pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra;
ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada
penikmat karya sastra (pembaca). Berkenaan dengan teori Universe itu, dia mengatakan:
“Four elements in the total situation of a work of art are discriminated and made salient,
by one or another synonym, in almost all theories which aim to be comprehensive. First,
there is the work, the artist product itself. And since this is a human product, an artifact,
the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a
subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify,
or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of
affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and
feelings, material things and events, or super-sensible essences, has frequently been
denoted by that word-all-work, ‘nature’; but let us use the more neutral and comprehensive
term, universe, instead. For the final element we have the audience : the listeners,
spectators, or readers to whom the work of art is addressed… (Abrams, l971 : 6).
Berdasar teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut pandang : (a)
ekspresif, (b) mimetik, (c) pragmatis dan (d) obyektif. Cara pandang terhadap karya sastra
semacam itu, lebih lanjut, dijelaskan oleh Leary Lewis bahwa dalam memahami atau
menelaah karya sastra bisa difokuskan pada : (a) pengarang bila pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan ekspresif, (b) hubungan antara karya sastra dan universe yang
melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu bila pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan mimetik, (c) efek karya sastra terhadap pembaca bila pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan pragmatis, dan (d) karya sastra sebagai karya yang otonom,
sebagai artifak yang bisa dikenali ciri-ciri strukturnya bila pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan obyektif (Lewis, 1976 : 46). Empat sudut pandang itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta
seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya.Dengan demikian,
menurut Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan
yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau
kespontanitasnya (1976 : 46).
Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra (seni) merupakan
karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam
kaitan ini, Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang,
yakni : daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-
hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya.
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut,
memperlihatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi dalam karya-
karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah kemampuan pengarang untuk
membayangkan, mengkhayalkan, dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa.
Seorang pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu memperlihatkan
dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-
pilihan dari alternatif yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978 : 9).
Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang pengarang berhadapan
dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif
bisa berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-
bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang pengarang merasa tidak
puas dengan realitas obyektif itu, mungkin saja dia lalu merasa ‘gelisah’. Berangkat dari
kegelisahan itu, mungkin saja, dia , dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan
kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif yang, menurutnya,
tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia
mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas obyektif yang
sementara ini dia tolak. Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia
ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif yang dia
temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai
masalah atau persoalan manusia (Esten, 1978 : 9-10).
Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang
di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: “l’art pour l’art” yang dalam
bahasa Inggrisnya “art for art’s sake” yang berarti “seni untuk seni”. Para seniman Perancis,
pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang
agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang sebagai “dirinya sendiri”
sebab ia “mampu berdiri sendiri (self-sufficient) “; ia tidak menghadirkan manfaat atau
mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang
pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l998).
Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan
refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud karena adanya peniruan dan dipadukan
dengan imajinasi pengarang terhadap realitas alam atau kehidupan manusia.
Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra itu, pada dasarnya
tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam hubungan ini, Plato, dalam dialognya dengan
Socrates, mengemukakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra) merupakan
tiruan (imitation). ‘Tiruan’ merupakan istilah relasional, yang menyaran adanya dua hal, yakni:
yang dapat ditiru (the imitable) dan tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara
keduanya. Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-ide abadi dan
ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchanging Ideas), (b) adanya refleksi dari
ide abadi dalam wujud dunia rekaan baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya refleksi
dari kategori kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air dan cermin dan
karya-karya seni ( Abrams, l971 : 8).
Pandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini menggeser doktrin “seni
(hanya) untuk seni” sebagaimana terurai di atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya,
mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni
harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren, l977). Karya seni
yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah antara
satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara
aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak
menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi
keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.
Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan moral yang dihadirkan oleh
karya seni bisa dimanfaatkan oleh para penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra
(seni), misalnya novel, dianggap sebagai “model” kehidupan manusia, betatapun khayalnya,
kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar,
bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan,
hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan
murid terhadap guru atau sebaliknya, dan sebagainya). “Model-model” kehidupan dalam
kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan model kehidupan yang baik
dikonfrontasikan dengan yang jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang jahat; pada akhirnya ‘yang
baik’ menang, berjaya, dan berbahagia, sedangkan ‘yang jahat’ kalah, tersingkir dan lalu
menderita. Aspek pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni tersebut
adalah antara lain : (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik
pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya
mementingkan kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan
kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan sejenisnya) akan
berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan
hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang
jahat.
Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan bahwa karya sastra (seni)
merupakan dunia yang otonom, yang dapat dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-
budaya zamannya. Dalam hal ini, karya sastra dapat diamati berdasarkan strukturnya.
Berikut adalah kajian naskah “Catatan sang Pemimpin” menggunakan teori Abrams :
1. Objektif
a. Tema
b. Amanat
1. Jadilah pemimpin yang mau mengayomi rakyatnya.
2. Janganlah melakukan pengkhianatan.
3. Janganlah lari dari masalah.
4. Berani brtanggung jawab atas segala perbuatan kita.
5. Janganlah mudah percaya dengan omongan orang lain.
c. Penokohan
Protagonis :
Raja
Tidak digambarkan denagn jelas sosok Raja yang ada pada naskah tersebut.
Namun bila dilihat secara sifat, tokoh Raja dalam naskah “Catatan sang Pemimpin” adalah
sosok raja yang galak, karena menanggapi segala perkataan penasehat yang tidak sesuai
dengan kemauannya dengan ketus . Raja tersebut juga adalah sosok Raja yang bertanggung
jawab karena ia berniat kembali ke kerajaannya atas dasar pertimbangan ingin menangkap
pemberontak dan menghentikan aksi pengungsiannya.
Antagonis :
Penasehat
Penasehat yang ditampilkan pada naskah “Catatan sang Pemimpin” juga tidak
dijelaskan secara fisik. Penulis naskah hanya menjelaskan watak penasehat lewat dialog
serta perbuatannya. Penasehat di dalam lakon ini adalah sosok yang licik dan bermuka dua
karena ingin menggulingkan kekuasaan sang Raja dan telah mempersiapkan rencana
pembunuhan Raja.
Utility
Pengawal 1
Pengawal 1 pada naskah ini, adalah sosok ang setia pada Rajanya dan tidak ikur
campur dalam kudeta yang dilakukan oleh penasehat. Ia juga patuh terhadap perintah dari
Raja
Pengawal 2
Pengaal 2 pada lakon ini, adalah sosok ang mudah tergiur dengan jabatan yang
ditawarkan oleh penasehat andengan mudahnya pengawal 2 turut menjadi kaki tangan
Penasehat untuk melakukn kudeta.
d. Setting
Waktu
Dikatakan dalam naskah ini bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat Raja
melakkan kegiatan berkemas untuk meninggalkan kerajaan dan sepanjang
perjalanan meninggalkan kerajaan. Hingga Raja terbangun dan melakukan
pembunuhan terhadap penasehat dan pengawal 2.
Tempat
Peristiwa ini terjadi di sebuah kerajaan yang sedang rusuh, di ruang kerajaan,
di jalan yang ditelusuri Raja untuk meninggalkan kerjaan, dan di dalam sebuah
kereta kuda.
Suasana
Memperihatinkan
Yaitu saat Raja menjelaska suasana kerajaannya yang sedang carut-marut
akibat adanya pemberontakan-pemberontakan dalam.
Menegangkan
Yaitu saat terjadi pertikaian antara Penasehat dengan Raja dan Penasehat
dengan Pengawal 2 yang menyebabkan ia mau berkhianat pada Rajanya sendiri.
Serta ketika Penasehat dibunuh oleh Raja.
Sunyi
Yaitu ketika pengawal 1 melihat jasad Raja, Penasehat, dan Pengawal 2
e. Alur
Plot : Plot yang digunakan pada cerita ini adalah maju dengan tingkat kerapatan
yang rapat.
Alur :
Direction : Ketika Raja bercerita tentang keadaan kerajaanya.
Conflik : konflik mulai hadir ketika Penasehat datang dan ingin
melakukan kudeta.
Climax : konflik memanas dan mencuat ketika raja mengetahui bahwa
Penasehat berupaya melakukan kudeta.
Anti-klimaks : Raja terbangun dari tidurnya dan menghabisi Penasehat serta
Pengawal 2.
Conclusion : Pengawal 1 menggantikan tahta sebagai Raja.
2. Mimetik
(a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil yang baik pula, dalam
ceita ini tergambar pada kesetiaan yang dilakukan oleh pengawal 1 tanpa adanya
pengkhianatan yang kemudian pada akhir cerita ia bisa mendapatkan tahta sebagai
Raja
(c) perbuatan yang baik akan mengalahkan perbuatan yang jahat. Dalam cerita ini
digambarkan pada niat buruk Penasihat yan kemudian berhasih digagalkan oleh Raja.
Penggulingan kekuasaan Raja oleh penasihatpun gagal. Dan segala bentuk kejahatan
bisa ditaklukan.
4. Ekspresif
Raja : Maksudmu mereka rela untuk menjadi pengantin bom ? hanya untuk
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford : Oxford University Press.
Abrams, M.H. 1993 . A Glossary of Literary Terms. Fort Worth : Harcourt Brace Press.
Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa.
Lewis, Leary. 1976. American Literature: A Study and Research Guide. New York: St.
Martin’s Press.
Sumarjo, Yakop. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : C.V. Nur Cahaya.