You are on page 1of 16

"Ilmu Rijal Al- Hadits"

Bismillah....
Ilmu Rijalul Hadits merupakan salah satu ilmu yang paling penting dalam ilmu Hadits dan
menjadi salah satu ilmu yang diutamakan oleh para ulama hadits.
Yang menjadi pokok pembicaraan dalam ilmu Rijalul Hadits ini adalah orang2 yang berada pada
sanad hadits, yaitu para perawi hadits.

Ilmu ini terbagi kedalam dua bagian besar, yaitu :


1. Tarikh ar-Ruwah yaitu ilmu tentang sejarah para perawi hadits
2. Jarh wa Ta’dil yaitu ilmu yang menerangkan adil dan tidaknya seorang perawi hadits.

Insya Allah, kita coba bahas sedikit satu persatu dari kedua bagian ilmu Rijal Al-Hadits ini.

Yang pertama : Ilmu Tarik ar-Ruwah.

Secara umum, ilmu Tarikh ar-Ruwah bisa didefinisikan sebagai berikut :


“Ilmu yang menerangkan keadaan2 perawi hadits dari hal hari kelahiran dan kewafatannya,
nama aslinya, kunyahnya, nasabnya, guru-gurunya, masa mulai mendengar hadits, orang2 yang
meriwayatkan darinya, negerinya, tempat tinggalnya, rihlahnya, sejarah kedatangannya ke
suatu negeri dan segala hal yang berhubungan antara perawi2 tersebut dengan hadits.”

Ilmu ini lahir bersamaan dengan lahirnya sejarah periwayatan hadits di dalam Islam dan para
ulama hadits sangat mementingkan ilmu ini supaya diketahui keadaan perawi2 dalam sanad
suatu hadits agar diketahui ke-mutashil dan ke-munqathi-annya (bersambung dan tidaknya suatu
sanad), tentang ke-marfu’-an dan ke-mauquf-annya (sampai dan tidaknya suatu hadits kepada
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam) dan sebagainya, sehingga nantinya dapat diketahui apakah
hadits itu shahih, dha’if atau bahkan maudhu’.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata :

‫لما استعمل الرواة الكذب استعملنا لهم التاريخ‬


“Tatkala para perawi telah menggunakan kedustaan, kamipun menggunakan sejarah.”

Diantara usaha para ulama untuk mengetahui sejarah para perawi ini adalah dengan cara
berinteraksi langsung dengan para perawi yang semasa dengan beliau semua sehingga para
ulama tersebut betul2 mengetahui dengan pasti hal ihwal tentang seorang perawi dan semua itu
mereka hafal, catat dan kumpulkan di dalam kitab2 karya mereka yang selanjutnya menjadi
rujukan dari para ulama setelahnya.
Ada satu contoh kecil dan menarik tentang masalah ini...
Dari Ibrahim Ath-Thaalaqaaniy, ia berkata :
‫ يا أبا عبد الرحمان الحديث الذي‬: ‫قلت لعبد الله بن المبارك‬
‫ إن البر بعد البر أن تصلي لبويك مع صلتك وتصوم لهما مع‬: ‫جاء‬
‫ يا أبا إسحاق عمن هذا ؟ قال قلت‬: ‫صومك؛ قال فقال عبد الله‬
‫ ثقة عمن ؟ قال‬: ‫ هذا من حديث شهاب بن خراش؛ فقال‬: ‫له‬
‫ قال‬: ‫ ثقة عمن ؟ قال قلت‬: ‫ عن الحجاج بن دينار؛ قال‬: ‫قلت‬
‫ ))يا أبا إسحاق‬: ‫ قال‬.‫رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم‬
‫إن بين الحجاج بن دينار وبين النبي صلى الله عليه وعلى آله‬
‫وسلم مفاوز تنقطع فيها أعناق المطي ولكن ليس في الصدقة‬
‫))اختلف‬.
“Aku pernah berkata kepada ‘Abdullah bin Al-Mubarak : "Wahai Abu ‘Abdirrahman, hadits
yang berbunyi : "Sesungguhnya kebajikan setelah kebajikan adalah engkau shalat untuk kedua
orang tuamu bersama shalatmu, dan engkau puasa untuk keduanya bersama puasamu".
‘Abdullah berkata : "Wahai Abu Ishaq, dari siapa hadits ini ?".
Aku menjawab :"Ini berasal dari hadits Syihab bin Kharasy".
Ia berkata : "Tsiqah, lalu dari siapa ?".
Aku menjawab : "Dari Al-Hajjaaj bin Dinar".
Ia berkata : "Tsiqah, lalu dari siapa ?".
Aku berkata : "‘Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam".
Ia berkata : "Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya antara Al-Hajjaj bin Dinar dengan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa wa sallam terbentang padang sahara luas yang dapat memutuskan leher
orang yang menyeberanginya.."
(Maksudnya bahwa Al-Hajjaj bin Dinar telah diketahui bukanlah seorang dari kalangan sahabat
rasulullah dan tidak pernah bertemu dengan rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sehingga
jika ia berkata :"Dari rasulullah.." atau "Telah bersabda rasulullah.." tanpa menyebutkan perawi
diantara ia dengan rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam maka dapat dipastikan bahwa sanad
hadits itu terputus.)

Alhamdulillah usaha ini diteruskan dan senantiasa dipelihara oleh para ulama dari masa ke masa
dan atas kesungguhan dan ketelitian para ulama hadits dalam menyelidiki dan mengumpulkan
sejarah para perawi ini, maka –alhamdulillah- dengan se-izin Allah terkumpullah suatu
perbendaharaan besar yang menerangkan sejarah para perawi hadits dengan selengkap-
lengkapnya dan semua itu kemudian para ulama simpan dalam kitab2 karya mereka.
Ada ulama yang dalam kitabnya hanya khusus menerangkan tentang nama dan kunyah dari para
perawi.
Ada yang khusus menerangkan tentang nama2 yang hampir sama.
Ada yang menerangkan khusus para perawi dari kalangan sahabat2 rasulullah shalallaahu ‘alaihi
wa sallam.
Ada yang khusus menerangkan tentang silsilah keturunan para perawi.
Dan lain sebagainya.

Diantara kitab2 yang paling masyhur yang menerangkan sejarah para perawi ini ialah :
1. Al-Asma’ wa al-Kuna karya Ali ibnu Abdullah al-Madani rahimahullah (lahir 161 H – wafat
234 H).
Kitab ini khusus menerangkan tentang nama dan kunyah dari para perawi.
2. Thabaqat Al-Kubra karya Muhammad ibnu Sa’ad rahimahullah (lahir 168 H- wafat 230 H).
3. At-Tarikhul Kabir karya imam Bukhari rahimahullah (lahir 194 H – wafat 256 H).
Di dalam kitab ini diterangkan kurang lebih sejumlah 40.000 biografi perawi2 dari kalangan
laki2 dan wanita.
4. Tarikh Naisabur karya imam Al-Hakim (lahir 321 H – wafat 405 H)
5. Al-Isti’ab Fii Ma’rifat al-Ashab karya Ibnu Abdil Barr rahimahullah (lahir 368 H – wafat 463
H).
Di dalamnya diterangkan kurang lebih 4225 sahabat rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dari
kalangan laki2 dan wanita.
6. Tarikh Baghdad karya Al-Khatib al-Baghdadi (lahir 392 H – wafat 463 H).
Di dalam kitab ini diterangkan kurang lebih sejumlah 7.831 biografi para perawi.
7. Al-Ansab karya Ibnu Muhammad as-San’ani rahimahullah (lahir 506 H – wafat 562 H).
Di dalam kitab ini diterangkan tentang silsilah keturunan para perawi.
8. Tahdzib Al-Kamal Fii Asma Ar-Rijal karya Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah (lahir 654 H –
wafat 742 H)
9. Al-Musytabah Fii Asma ar-Rijal karya imam Adz-Dzahabi rahimahullah (lahir 673 H – wafat
784 H).
Di dalam kitab ini diterangkan nama2 dari para perawi yang mirip.
10. Tahdzib at-Tahdzib karya Al-Hafizh ibnu Hajar al-Asqalani (lahir 773 H – wafat 853 H)
11. Dan banyak lagi kitab2 lainnya.

Yang paling pertama kali harus kita kenal dan ketahui serta menjadi pembahasan pertama dalam
bagian ini tentu saja adalah para perawi yang menerima hadits secara langsung dari Rasulullah
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dari kalangan sahabat2 beliau radhiyallaahu
‘anhum.

JARH WA TA'DIL (Men-cacat-kan dan meng-adil-kan


rawi)
ILMU JARH WA TA’DIL
(Mencatat dan mengadilkan rawi)

A. Definisi

Lafadz “jarh”, menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan
dan kedhabitanya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan
sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan nya.
Men-ta’dil seorang rawi berarti memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa
yang diriwayatkanya dapat diterima . Rawi yang dikatakan adil adalah orang yang dapat
mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.

Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, maka
periwayatannya diterima selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.

Ilmu jarh wa ta’dil berarti ilmu yang membahas tentang kritik adanya aib (cacat) atau
memberikan pujian pujian adil kepda seorang rawi.

Dr. 'Ajjaj al-Khathib mendefinisikannya sebagai berikut :

َ ّ ‫م أ َوْ َرد‬
‫ها‬ ِ ْ‫ث قَب ُو‬
ْ ِ‫ل رَِواي َت ِه‬ ُ ْ ‫حي‬
َ ‫ن‬
ْ ‫م‬
ِ ِ‫ل الّرَواة‬
ِ ‫وا‬
َ ‫ح‬
َ
ْ ‫ث ِفي أ‬ َ ْ ‫م ال ّذِيْ ي َب‬
ُ ‫ح‬ ُ ْ ‫هُوَ ال ْعِل‬
Adalah suatu ilmu yang membahas perihal para rawi dari segi-segi diterima atau ditolak
periwayatannya

B. Faidah Ilmu Jarh wa Ta’dil

Faedah mengetahui ilmu Jarh wa Ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabilah seorang rawi sudah di tarjih
sebagai rawi yang cacat maka periwayatanya ditolak dan apabilah seorang rawi dita’dil sebagi
orang yang adil maka periwayatanya diterima, selama memenuhi syarat-syarat yang lain untuk
menerima hadits dipenuhi.

- Macam-macam kecacatan Rawi

Cacat (keaiban) rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya berkisar pada 5 macam, yaitu :

1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan Syara’)

Rawi yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang-orang yang di anggap kafir dan
adakalanya tergolong orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan
Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ‘Ali dan pada
imam-imam yang lain , dan mempercayai bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari
kiamat.

Sedangkan orang-orang yang dianggap fasiq ialah orang yang mempunyai I’tikad bertentangan
dengan dasar syari’at.

2. Mukhalafah (meriwayatkan hadits yang berbeda dengan periwayatan rawi yang lebih tsiqah).
Apabila rawi yang bagus ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits yang berlawanan
maknanya dengan orang yang lebih kuat ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang,
yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat disatukan/digabungkan maknanya. Periwayatan
demikian disebut "Syadz", dan kalau perlawanan itu berkesangatan atau rawinya lemah sekali
hapalannya, periwayatannya disebut "Munkar".

3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)

Ghalath (slaah) itu kadang-kadnag banyak dan kadang-kadnag sedikit. Seorang rawi yang disifati
banyak kesalahan dalam riwayatanya maka hendaknya diadakan peninjauan kembali terhadap
hadits-hadits yang telah diriwayatkannya, akan tetapi jika periwayatnya tadi juga terdapat dalam
periwatan rawi yang disifati dengan ghalath, maka haditsnya tsb dapat di pakai melalui sanad
hadits kedua ini tapi apabila tidak ada maka haditsnya di tawaqufkan.

4. Jahalatul hal (tidak dikenal identitasnya)

Jahalatul hal merupakan pantangan untuk diterimanya haditsnya, selama belum jelas identitas
rawinya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian ada yang
mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab
tentu ia lebih tahu dari orang yang mengingkarinya.

5. Da’wal inqitha’ (diduga keras sanadnya terputus)

Misalnya menuduh rawi men-tadlis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.

- Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya

Keadilan seorang rawi daat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :

a. Bi-Syuhrah, karena kepopulerannya di kalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang
yang adil. Seperti: Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’I,
Ahmad dan lain sebagainya. Mereka yang sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan
para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan keadilannya.

b. [b]Pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh
orang yang adil, yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Begitupun kebalikannya dengan jarh.
1. Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan pentarjih (jarih)

a) Berilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, doea kecil, dan makruhat)
d) Jujur
e) Menjauhi fanatik glongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan dan mentajrih. (Mufassar)

2. Dapatkan pen-ta’dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-


sebabnya

Disini terdapat perselisihan pendapat tapi yang dianut oleh para muhadditsin seperti Bukhari
Muslim, Abu Dawud, dll adalah bahwa Menta’dil tanpa menyebutkan sebab-sebabnya itu boleh
karena sebab-sebanya itu banyak sekali dan jika disebutkan bisa menyibukkan kerja saja tapi
kalau dalam hal tajrih tidak boleh kerena setiap pentarjih mempunyai sebab-sebab yang berbeda-
beda, padahal jarh dapat berhasil dengan satu sebab, maka perlu diterangkan cacat seorang rawi.

3. Jumlah orang yang di pandang cukup untuk menta’dil dan mentarjih rawi-rawi

Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat :

a) Pedapat fuqoha’ Madinah minimal 2 orang baik dalam syahadah maupun riwayah

b) Cukup 1 orang dalam riwayah dan bukan dalam soal syahadah, sebab bilangan tidak jadi
syarat dalam penerimaan hadits.

c) Cukup 1 orang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.

4. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil

Apabila terjadi pertentangan antara jarh dan ta'dil pada seraong rawi, dimana sebagian ulama’
menta’dil dan sebagian yang lain mentakhrij maka dalam hal ini terdapat ada 4 pendapat :

i. Jarhi harus didahulukan secara mutlak walau jumlah mu’addil lebih banyak dari pada jarhnya.

Sebab bagi rajih tentu lebih mengetahui tentang sisi batin dari rawi daripada mu’addil. Pendapat
ini dianut oleh Jumhur 'ulama.

ii. Ta’dil harus didahulukan dari jarh


Karena jarihh bisa salah dalam mencacatkan rawi apalagi kalau ada rasa benci maka pasti sebab
pentarjihanya bersifat subyektif berbeda dengan mu’addil dalam menilai rawi mereka lebih
mendahulukan kelogisan atau obyektif

iii. Bila jumlah mu’addilnya lebih banyak dari rajih maka didahulukan ta’dil

Karena jumlah yang banyak memperkuat kedudukan mereka

iv. Masih tetap dalam pertentangan selama belum ditentukan yang menjarhnya.

Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini ialah jika jumlah mu'adiil lebih
banyak dari jarih, tetapi kalau jumlahnya seimbang atau lebih sedikit antara mu'addil dan jarih,
maka didaulukan jarh, dan ini merupaka putusan 'ijma.

5. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dil dan mentarjih rawi

Ibnu Hajar menyusun ke dalam 6 tingkatan, yaitu

1) Berbentuk af’alut tafdhil atau ungkapan lain yang setara maknanya dengan af’alut tafdhil.

Contoh :

‫( أوثق الناس‬Orang yang paling tsiqah)

‫( أثبت الناس حفظا وعدالة‬orang yang paling mantap hafalan dan keadilanya)

‫( إليه المنتهي فى الثبت‬orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya)

‫( ثقة فوق الثقة‬orang yang tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh)

2) Berbentuk pengulangan lafadz yang sama atau dalam maknanya saja

Contoh:

‫( ثبت ثبت‬Orang yang teguh lagi teguh)

‫( ثقة ثقة‬orang yang tsiqah lagi tsiqah)


‫( حجة حجة‬orang yang ahli lagi petah lidahnya)

‫( ثبة ثقة‬orang yang teguh lagi tsiqah)

‫( حافظ حجة‬orang yang hafidz lagi petah lidahnya)

‫( ضابط متقن‬orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya )

3) Menggunakan Lafadz yang mengandung arti kuat ingatan

Contoh:

‫( ثبت‬orang yang teguh hati dan lidahnya )

‫( متقن‬orang yang meyakinkan ilmunya)

‫( ثقة‬orang yang tsiqoh)

‫( حافظ‬orang yang kuat hafalanya)

‫( حجة‬orang yang petah lidahnya)

4) Menggunakan Lafadz yang tidak menggunakan arti kuat ingatan dan adil Contoh:

‫( صدوق‬orang yang sangat jujur)

‫( مأمون‬orang yang dapat memegang amanat)

‫( لبأس به‬orang yang tidak cacat)

5) Menggunakan lafadz yang menunjukkan kejujuran rawi tanpa ada kedhabitn

Contoh:

‫( محله الصدق‬orang yang berstatus jujur)


‫( جيد الحديث‬orang yang baik haditsnya)

‫( حسن الحديث‬orang yang bagus haditsnya)

‫( مقارب الحديث‬orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits-hadits orang lain yang tsiqoh)

6) Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat diatas yang
diikuti kafadz “inssaAllah”, atau ditashghitkan, atau lafadz tersebut dikaitkan dengan
pengharapan .

Contoh:

‫( صدوق إن شاءالله‬orang yang jujur, jika Allah menghendaki)

‫( فلن أرجوا بأن لبأس به‬orang yang diharapkan tsiqah)

‫( فلن صويلح‬orang yang shalih)

‫( فلن مقبول حديثه‬orang yang diterima haditsnya)

Untuk mentajrih hadits ada 6 tingkatan lafadz yang digunakan :

1) Menggunakan lafadz –lafadz af’alut tafdhil atau ungkapan-ungkapan lain yang serupa
denganya menunjukkan amat cacatnya rawi.

Contoh:

‫( أوضع الناس‬orang yang paling dusta)

‫( أكذب الناس‬orang yang paling bohong)

‫( إليه المنتهى فى الوضع‬orang yang paling top kebohonganya)

2) Menggunakan lafadz –lafadz sighot mubalaghoh menunjukkan amat cacatnya rawi.


Contoh:

‫( كذاب‬orang yang pembohong)

‫( وضاع‬orang yang pendusta)

‫( دجال‬orang yang penipu)

3) Menunjukkan tuduhan dusta, bohong atau yang lainya

Contoh:

‫( فلن متهم بالكذل‬orang yang dituduh bohong)

‫( أو متهم بالوضع‬orang yang dituduh dusta)

‫( فلن فيه النظر‬orang yang perlu diteliti)

‫( فلن ساقط‬orang yang gugur)

‫( فلن ذاهب الحديث‬orang yang hadtsnya telah hilang)

‫( فلن متروك الحديث‬orang yang ditinggal haditsnya)

4) Menunjukkan amat lemahnya rowi

Contoh:

‫( مطرح الحديث‬orang yang dilempar haditsnya)

‫( فلن ضعيف‬orang yang lemah)

‫( فلن مردود الحديث‬orang yang ditolak hadtsnya)

5) Menunjukkan kacaunya hafalan rawi


Contoh:

‫( فلن ليحتج به‬orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadtsnya)

‫( فلن مجهول‬orang yang tidak dikenal identitasnya)

‫( فلن منكر الحديث‬orang yang munkar haditsnya)

‫( فلن مضطرب الحديث‬orang yang kacau haditsnya)

‫( فلن واه‬orang yang banyak menduga-duga)

6) Menggunakan lafadz-lafadz yang dekat dengan sifat adil tapi menunjukkan kelemahanya.

Contoh:

‫( ضعف حديثه‬orang yang didho’ifkan haditsnya)

‫( فلن مقال فيه‬orang yang diperbincangkan)

‫( فلن فيه خلف‬orang yang disingkiri)

‫( فلن لين‬orang yang lunak)

‫( فلن ليس با لحجة‬orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya)

[size]‫[فلن ليس با لقوى‬/size] (orang yang tidak kuat)

C. Kitab-kitab ilmu Jarh wa Ta’dil

1. Ma’rifatur rijal, karya Yahya Ibni Ma’in, merupakan kitab pertama yang sampai pada kita, juz
I buku tersebut berupa manuskrip ( tulisan tangan) berada di Darul Kutub Adh-Dhahiriyah

2. Ad-Dhu’afa’, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhpri . Dicetak di Hindia tahun 320
H

3. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H). Ingat bahwa beliau ini
sangat muda menta’dil rawi jadi hati-hati atas pendapatnya. Naskah asli kitab ini ditemukan di
Darul Kutub Al-Mishriyah dengan tidak lengkap.

4. Al-jarhu wa ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H), kitab ini
merupakan kitab yang terbesar dan mempunyai banyak faidah bagi kita. Terdiri dari 4 jilid yang
memuat 18.055 rawi, sering di setak berkali-kali dan terakhir dicetak di India pada tahun 1373 H
menjadi 9 jilid, 1 jilid I dijadikan mukaddimah dan jilid yang lainya dijadikan 2.

5. Mizanul I’tidad, karya Imam Syamsuddin Muhammad Ad-Dzahabi (673-748), terdi dari 3
jilid, sudah dicetak berkali-kali dan terakhir dicetak di Mesir tahun 1325 H mencakup
10.907oran rijalus sanad.

6. Lisanul Mizan, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany (773-852 H) memuat 14.343 rijalus
sanad, dicetak di India pada th 1329-1331 dalam 6 jilid.

--------
Dikutip dari : Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, "PT. AlMa'arif Bandung",
Bab IV, hal. 307 dengan peringkasan.

Al-Jarh wat Ta’dil Khusus untuk Para Perawi Hadits

Sesungguhnya ilmu al-jarh wat ta’dil adalah khusus untuk para perawi yang
bermasalah dalam periwayatan haditsnya. Dan apa yang dipraktikkan oleh para
ulama salaf dalam hal ini sama sekali bukan ghibah. Ketika hadits-hadits telah
dibukukan dan masa para perawi telah berlalu, maka selesailah sudah al-jarh wat
ta’dil. Ia sama sekali tidak bisa diterapkan pada seorang muslim yang bukan
perawi, apalagi diterapkan terhadap para ulama dan syuhada yang sangat
dimuliakan Allah dan dicintai oleh kaum muslimin.

Demikian adalah pendapat para ulama tentang al-jarh wat ta’dil :

Ø Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Luhaidan berkata, “Al-Jarh wat ta’dil telah habis
masanya. Ia sudah tidak ada lagi sekarang.”1
Ø Syaikh Abdul Aziz bin Abdilah Ar-Rajihi berkata, “Ilmu al-jarh wat ta’dil suah
selesai, karena ia sekarang telah terbukukan rapi dalam berbagai kitab. Begitu pula
dengan hadits-hadits Nabi, ia telah terbukukan dalam berbagai kitab shahih, sunan,
musnad, dan mu’jam…sehingga sekarang tidak ada lagi al-jarh wa ta’dil. Dan, al-
jarh wat ta’dil itu memang khusus untuk para ahli hadits.”2

Ø Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani berkata, “Besar sekali bedanya antara ilmu
al-jarh wat ta’dil yang dipraktikkan oleh para ulama salaf dalam kitab-kitab dan
karya-karya mereka, dengan pelecehan terhadap para ulama dan da’I, pencemaran
nama baik, dan penyebaran aib serta kesalahan seseorang dengan
mengatasnamakan al-jarh wat ta’dil yang terjadi sekarang ini.”3

Ø Syaikh Ridha Ahmad Shamadi berkata, “Tidak usah dijarh orang yang tidak perlu
dijarh, seperti para ulama yang periwayatan hadits mereka tidak dibutuhkan.”4

Ø Ibnul Murabith (w. 485 H) berkata, “Hadits-hadits telah dibukukan dan tajrih pun
sudah tidak ada faedahnya lagi.”5

Ø Syaikh Athiyah bin Muhammad Salim berkata,6 “… Dan tidak termasuk dalam hal
itu apa yang disebut al-jarh wat ta’dil. Seperti orang yang mengatakan; si fulan
mudallis,7 atau si fulan sifatnya begini… Sebab, yang semacam ini terdapat faedah
di dalamnya bagi kaum muslimin, agar mereka berhati-hati terhadap hadits-hadits
yang diriwayatkannya.”8

Dan yang lebih luar biasa lagi adalah pendapat Syaikh yang sangat mereka
banggakan [terlebih diriku: peny.] yaitu Syaikh Shalih Fauzan. Sebenarnya aku juga
mau menampilkan pendapat Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq. Tapi karena beliau
sangat dibenci oleh orang-orang ‘Salafi Ekstrim’, maka aku cukupkan saja dengan
pendapat Syaikh Shalih Fauzan berikut ini:

Syaikh Shalih Fauzan: Tidak Ada Ulama Al-Jarh wat Ta’dil Pada Masa Ini

Dalam satu kesempatan, terjadi dialog tanya jawab antara Syaikh Dr. Al-Alamah
Shalih bin Fauzan hafizhahullah dengan seorang thalibul ilmi (Pelajar/Penuntut ilmu)
:
Penanya: Syaikh yang mulia, siapakah yang dimaksud dengan ulama al-jarh wat
ta’dil pada masa kita sekarang ini?

Syaikh: Demi Allah, kami tidak mengetahui seorang pun ulama al-jarh wat ta’dil
pada saat ini. Sekarang ini para ulama al-jarh wat ta’dil telah berada di dalam
kubur. Akan tetapi, perkataan mereka tetap ada di dalam kitab-kitab mereka, kitab
al-jarh wat ta’dil. Al-jarh wat Ta’dil itu hanya ada dalam ilmu sanad dan riwayat
hadits. Dan mencela manusia serta menjatuhkannya bukanlah bagian dari ilmu al-
jarh wat ta’dil. Mengatakan si fulan begini… si fulan begitu… memuji sebagian
orang dan mencela sebagian yang lain adalah ghibah dan namimah. Dan itu bukan
al-jarh wat ta’dil.

Penanya: Anda mengatakan bahwa al-jarh wat ta’dil pada zaman ini sudah tidak
ada lagi, hal ini akan membuat sebagian orang memahami Anda tidak memandang
perlunya membantah ahlu bid’ah dan para penyeleweng agama?

Syaikh: Al-jarh wat ta’dil itu bukan ghibah dan namimah seperti yang banyak terjadi
sekarang ini,9 khususnya di sebagian kalangan penuntut ilmu. Wahai saudaraku, al-
jarh wat ta’dil itu adalah bagian dari ilmu isnad dalam hadits, dan ini adalah
spesialisasi para imam dan ahli hadits. Dan, kami tidak tahu siapa yang termasuk
ulama al-jarh wat ta’dil sekarang ini, dimana ulama tersebut menguasai sanad-
sanad hadits dan mampu memilah mana yang shahih dan mana yang dha’if. Kami
tidak mengetahui seorang pun sekarang! Ya’ inilah dia yang dimaksud dengan al-
jarh wat ta’dil.”10

Footnote:

[1] Http://www.almanhaj.net/vb/showthead.php?p=34223

[2] Ibid.

[3] An-Naqd; Adabuhu wa Dawafi’uh/Syaikh Hasan bin Falah Al-Qahthani/Hlm


34/Penerbit Dar Al-Humaidhi, Riyadh/Cetakan pertama/1993m-1414H.

[4] Lihat artikel; Al-Jarh wat Ta’dil ‘Indal Muhadditsin/Syaikh Ridha Ahmad Shamadi,
di http://saaid.net/doat/rida-samadi/5.doc

[5] Ibid. Menukil dari; Ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil/Syaikh Abdul Hayy Al-
Laknawi/Tahqiq:Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah/Hlm 50. Buku ini juga bisa
didownload di http://www.waqfeya.com/open.php?cat=12&book=623 atau
http://www.almeshkat.net/books/open.php?cat=9&book=1415 dan beberapa situs
lain.

[6] Beliau menyampaikan ini ketika membahas masalah ghibah terhadap orang
yang sudah meninggal.

[7] Mudallis, yaitu: Seorang perawi yang tidak menyebutkan dari siapa dia
mendengar hadits yang diriwayatkannya, namun dia menyebutkan perawi (syaikh)
yang di atasnya sehingga mengesankan dia mendengar langsung dari syaikh
tersebut. Meski banyak ulama tsiqah yang melakukan tadlis, tetapi mayoritas imam
hadits mengatakan bahwa hal ini tidak bisa diterima. Imam Asy-Syafi’I mengatakan,
“Tadlis adalah saudaranya dusta.” Adapun Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah berkata,
“Tadlis itu bukan dusta, tetapi dia itu semacam perkataan yang mengesankan
sesuatu dengan lafal yang tidak tegas.” (Lihat lebih rinci tentang tadlis, mudalis,
dan dua macam tadlis di: Muqaddimah Ibnu As-Shalah; Al-Baits Al-Hatsits fi
Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits/Ibnu Katsir; Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits/As-Syarif Al-
Jurjuni; Al-Muqizhah fi ‘Ilmi Mushthalah Al-Hadits/Imam Adz-Dzahabi; Tadbir Ar-
Rawi/Imam As-Suyuthi; Al-Kifayah fi ‘Ilmi Ar-Riwayah/Al-Khathib Al-Baghdadi; dan
kitab-kitab lain yang sejenis.

[8] Syarh Bulugh Al-Maram/Syaikh Atihyah bin Muhammad Salim/Pelajaran nomor


123. Sumber: http://www.islamweb.net. Kitab yang bersumber dari ceramah hadits
ini terdapat dalam Program Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[9] Syaikh Shalih Fauzan benar, sesungguhnya ghibah yang banyak terjadi sekarang
ini memang tidak termasuk dalam al-jarh wat ta’dil.

[10] http://www.almanhaj.net/vb/showthread.php?p=34223

You might also like