You are on page 1of 17

PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERGESERAN MAKNA

PADA KATA SERAPAN BAHASA INDONESIA DARI BAHASA ARAB


DALAM HIPOTESA SAPIR-WHORF

Athiyah Salwa*

Abstract
The aim of this paper is to present the semantic lexical shift and change of Indonesia
borrowing words from the original one, in this case Arabic. Those words then are categorized
into broadening, or narrowing in Semantics shift and change. By presenting the data, we will
see that every language has its own meaning in describing the same lexical words. It is as
Sapir-Whorf hypothesis in which states that language is a negotiator between culture and
social worlds of the speaker of language itself. In addition, language determines human and
society cognitive mind.
Keywords: Borrowing words, Meaning Change, Sapir-Whorf Hipothesis

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan. Di dalamnya terdapat beribu-ribu pulau yang didiami
oleh berbagai macam suku. Dari berbagai macam suku yang tersebar dari beragam pulau
inilah lahir berbagai macam budaya dan bahasa. Setiap suku di berbagai pulau dan daerah di
Indonesia memiliki masing-masing bahasa daerah. Mereka menggunakan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu mereka, namun mereka tetap mengakui dan menggunakan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Nasional.
Namun di balik semua itu, Bahasa Indonesia sendiri sebenarnya berasal dari berbagai
macam bahasa yang kemudian digunakan secara massal oleh orang Indonesia sebagai bahasa
serapan. Hal ini tidak terlepas dari faktor historis bangsa Indonesia itu sendiri. Indonesia
dijajah tidak kurang dari 350 tahun dan hal inilah yang menyumbangkan berbagai bahasa
yang digunakan oleh rakyat Indonesia hingga saat ini. Tidak hanya Bahasa Melayu yang
merupakan induk dari Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Bahasa Mandarin (China), Bahasa
Inggris dan Bahasa Arab juga menyumbangkan tidak sedikit dari bahasa mereka dalam
perbendaharaan kata Bahasa Indonesia. Pertukaran bahasa-bahasa ini di dapat melalui proses
campur budaya, proses perdagangan maupun politik yang digunakan para penjajah dahulu.

1
Bahasa pinjaman ini kemudian digunakan oleh orang Indonesia secara luas sama
halnya dengan Bahasa Indonesia asli. Bahasa-bahasa asing itu kemudian disebut sebagai
bahasa serapan dan dianggap sebagai bagian dari Bahasa Indonesia yang digunakan oleh
orang Indonesia kebanyakan.
Namun, adakalanya bahasa serapan yang digunakan oleh orang Indonesia ini
memiliki arti yang berbeda makna dari bahasa aslinya. Hal ini dikarenakan masing-masing
pengguna bahasa memilki budaya dan interpretasi yang berbeda-beda terhadap dunia dimana
bahasa tersebut digunakan. Setiap individu atau masyarakat memiliki dunia realitas sendiri
yang berbeda antara satu dengan yang lain bergantung pada bahasa yang mereka gunakan
(Nurhayati, 2010).
Dalam tulisan ini, kata serapan Bahasa Indonesia akan dibandingkan dengan bahasa
aslinya, dalam hal ini Bahasa Arab. Dari sini kita akan melihat pergesaran maupun perubahan
makna seperti apa yang akan muncul. Walapun keduanya memiliki persamaan bentuk
leksikal maupun fonologis, bisa saja makna keduanya berbeda maupun bergeser. Hal ini tidak
lepas dari unsur budaya yang dimiliki oleh orang Indonesia dengan orang Arab yang berbeda.
Tradisi yang sebenarnya mengenai berbagai ciri dalam bahasa setiap orang itu telah melalui
pribadi-pribadi dan masyarakat-masyarakat yang sangat berbeda-beda (Bloomfield,
1933:429). Tujuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan jika masing-masing pengguna
bahasa yang berbeda memiliki cara tersendiri untuk menginterpretasi dunia yang mereka
diami. Meskipun secara leksikal mereka menggunakan kata yang sama, mereka memiliki
makna masing-masing dalam penggunaanya. Hal ini karena, bahasa merupakan refleksi
pemikiran dan cerminan budaya masyarakat yang berbeda-beda.

2. MAKNA DAN PERUBAHAN MAKNA

Pada dasarnya makna merupakan inti dari segala sesuatu, baik itu benda konkret maupun
abstrak. Sama halnya dengan unsur kebendaan, makna dalam tiap kata dalam bahasa
merupakan inti dari kata itu sendiri. Baik kata itu bersanding dengan kata yang lain maupun
berdiri sendiri.
Makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri terutama kata-
kata (Djajasudarma, 2009:7). Beberapa definisi makna antara lain makna merupakan suatu
sifat intrinsik, konotasi suatu kata, tempat sesuatu di dalam sistem, kata-kata lain yang
dihubungkan dengan sebuah kata di dalam kamus, dan lain-lain (Leech, 1974:7). Sedangkan
menurut Palmer (1981;4) setiap kata tidak hanya memilki satu makna literal saja, melainkan
2
makna lain yang muncul ketika bersanding dengan kata yang lain. Makna dari suatu kata
didefinisikan sebagai bagian dari hubungan kata itu sendiri dengan kata lain dalam suatu
bahasa (Saeed, 1997:53). Sehingga makna suatu kata dapat dicermati dan didefinisikan
ketika kata itu berdiri dalam suatu kalimat dan bersanding dengan kata-kata yang menyusun
kalimat itu sendiri. Contoh:

(1) Surat itu diletakkan ibu di atas meja.


(2) Dia siap dituntut di meja hijau.

Meja dalam kalimat (1) bermakan harfiah sebagaimana makna di dalam kamus yaitu
perkakas yang memilki bidang datar sebagai daun meja dan kaki sebagai penyangga (KBBI,
1993:570). Sedangkan dalam kalimat (2), meja yang disandingkan dengan kata hijau tidak
berarti perabotan rumah yang berwarna hijau melainkan bermakna pengadilan.
Dalam contoh di atas, dapat kita lihat jika setiap kata memilki tidak hanya satu makna
saja, namun makna yang lain bergantung dimana kata itu berdiri. Kedua makna ini dikenal
dengan makna leksikal dan grammatikal. Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa
sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain, sedangkan makna grammatikal adalah makna
yang menyangkut hubungan intrabahasa atau makna sebagai akibat berfungsinya sebuah
kalimat di dalam kalimat (Djajasudarma, 2009:16). Unsur pembawa makna yang terkecil
yang bersifat gramatikal adalah morfem, maksudnya morfem terikat, seperti afiks atau
imbuhan (Verhaar, 2010: 386). Artinya, jika suatu kata, dalam hal ini kata kerja,
mendapatkan imbuhan baik awalan maupun akhiran atau kedua-duanya maka makna kata itu
dapat berubah atau bergeser dari kata dasarnya.
Leech (1974:38) membagi tipe makna menjadi tujuh yang dapat dikategorikan kedalam
tiga tipe dasar yakni 1) makna konseptual; 2) makna asosiatif, dan 3) makna tematik. Yang
tergabung dalam makna asosiatif antara lain makna konotatif (makna kiasan atau makna tak
sebenarnya), makna stilistik (makna yang berhubungan dengan keadaan sosial penggunanya),
makna afektif (makna yang berasal dari perasaan atau tingkah laku penuturnya), makna
refleksi (makna kiasan dari ungkapan yang sama), dan makna kolokatif (makna yang timbul
dari asoasiasi makna kata yang berbeda).
Karena makna memiliki intensitas untuk berubah-ubah baik bersandingan dengan kata
lain atau berdiri sendiri, maka makna juga dapat berubah tergantung siapa pemakainya.
Adakalanya suatu bahasa memiliki pencitraan arti yang berbeda-beda di suatu daerah dengan
daerah lain. Tiap-tiap masyarakat bahasa belajar dari tetangga-tetangganya. Barang-barang,
3
baik alami maupun buatan, diteruskan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, begitu pula
pola-pola perbuatan,... (Bloomfield, 1933:430). Dari sini dapat kita lihat bahwa bahasa
sebagaimana bagian dari kehidupan bermasyarakat memiliki tendensi untuk dipakai tidak
hanya oleh masyarakat asal tetapi juga diteruskan ke sekelompok masyarakat yang lain.
Bahasa induk dari Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu, sebagaimana bahasa
Malaysia. Namun, seiring dengan perkembangan jaman beberapa bahasa asing seperti,
Bahasa Inggris, Bahasa China, Bahasa Belanda atau Bahasa Arab banyak menyumbangkan
kosa kata mereka dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan
ketiadaan kata dalam Bahasa Indonesia untuk menyebut budaya dari asal bahasa tersebut.
Untuk itu, masyarakat Indonesia menggunakan bahasa tersebut dan digunakannya terus
menerus hingga berlangsung saat ini. Perkembangan bahasa sejalan dengan perkembangan
penuturnya sebagai pemakai bahasa (Djajasudarma, 2009:75). Perkembangan bahasa ini
kemudian dapat disebut dengan pinjaman bahasa. Pengambilan ciri-ciri yang berbeda dengan
ciri-ciri tradisi dasar adalah pinjaman bahasa (Bloomfield,1933:429)
Peminjaman bahasa sebenarnya merupakan fenomena kebahasaan yang diakibatkan oleh
kontak bahasa. Di dalam peristiwa kontak bahasa akan terjadi peminjaman sejumlah unsur
bahasa antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain (Nurhayati, 2010). Jika pengguna
suatu bahasa bersinggungan dengan pengguna bahasa lain dalam jangka waktu yang panjang
dan berkesinambungan maka kemungkinan terjadinya peminjaman bahasa ini sangat besar.
Hal ini karena masing-masing pengguna bahasa menggunakan bahasa ibu mereka untuk
mengungkapkan apa yang ada dalam fikiran mereka dan untuk menggambarkan apa yang ada
dalam dunia mereka. Terlebih, bangsa Indonesia pernah bersinggungan dengan berbagai
bangsa lain dalam kurun waktu yang tidak singkat, sehingga kemungkinan bahasa Indonesia
untuk menyerap dan meminjam bahasa asing sangat besar.
Bloomfield (1933:429-430) membedakan pinjaman bahasa ke dalam pinjaman dialek dan
pinjaman budaya. Pinjaman dialek yang dimaksud Bloomfield disini adalah bahasa yang
berasal dari daerah yang sama namun memilki perbedaan cara pengucapannya saja.
Sedangakan pinjaman budaya adalah bahasa pinjaman dari daerah luar yang memiliki
kebudayaan berbeda.
Pinjaman budaya inilah yang nantinya mempengaruhi perubahan makna dalam suatu
kata. Suatu kata yang memilki ciri-ciri baik morfologis maupun fonologis yang sama dapat
memilki makna yang berbeda karena penggunanya berbeda-beda. Apalagi jika pengguna
tersebut berasal dari daerah yang memilki perbedaan budaya yang signifikan.

4
Maka tidak dapat dipungkiri lagi jika makna dapat berubah-ubah seiring budaya yang
melekat oleh pengguna bahasa tersebut. Adapun perubahan makna tidak hanya dipengaruhi
oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat saja, melainkan beberapa faktor sebagaimana
yang diungkapkan Djajasudarma (2009:76) yaitu 1) faktor kebahasaan; 2) faktor sejarah; 3)
sebab sosial; 4) faktor psikologis; 5) pengaruh bahasa asing; dan 6) perubahan akan kata-kata
baru.
Sedangkan Palmer dalam bukunya Semantics (1981) menyatakan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan makna antara lain; 1) terjadi karena adanya
kesempatan; 2) kebutuhan akan kata baru; 3) kata-kata ilmiah; dan 4) tabu, baik tabu karena
unsur takut, menghaluskan, maupun kesopanan atau menghindari ungkapan asusila. Namun,
dari berbagai faktor-faktor diatas secara garis besar dapat kita tarik kesimpulan jika
perkembangan makna bahasa digolongkan menjadi dua yakni perluasan makna (broadened
meaning) dan penyempitan makna (narrowed meaning).
Keduanya dapat terjadi karena faktor perbedaan budaya dari kedua pengguna bahasa,
maupun karena faktor kebiasaan yang dilakukan oleh pengguna bahasa pinjaman yang
memakai bahasa semau mereka sendiri, sehingga maknanya bergeser. Bahasa asing yang
dipinjam, dalam hal ini Bahasa Arab, juga dapat bergeser maknanya karena perubahan fonetis
atau luruhnya beberapa fonem sehingga membentuk makna baru. Karena perbedaan latar
belakang budaya dan bahasa yang sangat jauh, sehingga orang Indonesia cenderung
mengucapkan bahasa pinjaman ini dengan bahasa ibu mereka. Sehingga ada kalanya, kata-
kata tersebut melenceng dari pengucapan yang sebenarnya dan pada akhirnya menimbulkan
perbedaan arti.
Jika bangsa yang meminjam relatif tahu benar tentang bahasa yang meminjamkan,
atau jika kata-kata yang dipinjam cukup banyak, maka bunyi-bunyi asing yang
akustiknya jauh berbeda dengan setiap fonem bahasa ibu, mungkin dipertahankan
dengan cara mengucapkannya sedikit banyak tepat sehingga melanggar sistem
fonetis bahasa ibu (Bloomfield, 1933: 432)

Sebagaimana pernyataan Bloomfield di atas, bahwa jika bangsa yang meminjam bahasa
tersebut tahu dengan pasti bahasa aslinya, maka pengucapannya akan dipertahankan.
Sayangnya, bahasa Arab yang diperoleh rakyat Indonesia dahulunya diterima oleh kaum
pedagang dan rakyar jelata karena adanya hubungan perdagangan maupun tali perkawinan
sehingga bahasa asing ini diucapkan sebagaimana yang mereka dengar dari telinga mereka,
entah itu tepat pengucapannya maupun tidak. Sebagai contoh nama-nama dalam bahasa Arab
seperti “’aisyah” dimana huruf /’a/ ditulis dengan huruf /’ain/ dalam Bahasa Arab.
Pengucapan huruf /’ain/ ini tidak ada dalam artikulasi Bahasa Indonesia begitu juga artikulasi
5
huruf /sy/ yang dalam bahasa arabnya ditulis dengan huruf /syin/ tidak ada dalam bahasa
Indonesia. Sehingga pengucapannya disesuaikan dengan bahasa ibu mereka dan nama
“’aisyah” diucapkan dengan “ngaisah”. Huruf /’ain/ diganti dengan /nga/ dan /sy/ dengan /s/.
Bentuk pinjaman dapat mengalami perubahan-perubahan fonetis yang terjadi sesudah
diambil (Bloomfield, 1933:435). Sebagian besar pengaruh orang-orang terpelajar juga
membuat pengucapan menjadi kurang tepat (Bloomfield, 1933:433). Mengapa orang
terpelajar berperan dalam salah pelafalan bahasa pinjaman ini? Mulanya orang-orang
terpelajar ini menggunakan bahasa asing untuk dipinjam dalam mengungkapkan apa yang dia
fikirkan. Namun, mereka cenderung melafalkan bahasa asing ini sebagaimana pelafalan pada
bahasa ibu mereka. Sehingga unsur-unsur fonetis dari bahasa asing cenderung dilanggar oleh
mereka. Hal ini menyumbangkan kesalah-lafalan pada bahasa pinjaman yang berlangsung
hingga saat ini.

3. RELATIVITAS BAHASA
Penjelasan di atas dapat kita cermati sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh dua ilmuwan
bahasa yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir menyatakan bahwa kita hidup
dalam dunia yang berbeda dengan pengguna bahasa yang berbeda pula, sebagaimana
pernyataannya berikut ini:
Human beings do not live in the objective world alone, nor alone in the world of
social activity as ordinarily understood, but are very much at the mercy of the
particular language which has become the medium of expression for their society
(...) The worlds in which different societies live are distinct worlds, not merely the
same world with different labels attached (Sapir 1929, hlm.209 dalam Sampson
1980:82-83)

Sebagaimana pernyataan Sapir diatas bahwa bahasa mencerminkan masing-masing pola


pikir dan budaya masyarakat. Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang
memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama (Widhiarso:
2005). Bahasa merupakan hubungan antara masyarakat, budaya dengan dunia yang mereka
diami dimana bahasa tersebut digunakan. Sehingga tidak ada bahasa yang universal karena
bahasa itu mewakili dunia penggunanya masing-masing.
Sebelumnya, Wilhelm von Humboldt dirujuk sebagai Bapak Relativitas Bahasa.
Menurut filusuf ini, terdapat hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa, dan budaya.
Dalam pandangan Humboldt suatu bahasa secara mutlak menentukan pola pikir penuturnya.
(Kadarisman, 2008:2).

6
Setelah adanya teori Relativitas Bahasa dari Humboldt, di Amerika Serikat, seorang
ahli bahasa yakni Franz Boas juga dikenal karena penelitiannya dalam bidang Relativitas
Bahasa. Dari penelitiannya tersebut, Boas menyatakan bahwa tak ada bahasa dengan tipe
ideal, yang dapat dijadikan model bagi bahasa-bahasa alamiah yang ada. Relativitas bahasa
begitu mutlak, sehingga tak ada ruang bagi universalitas bahasa (Kadarisman, 2008:3).
Pandangan Boas ini kemudian diwariskan kepada muridnya Edward Sapir. Dan dari
Sapir pandangan ini diwarisi juga oleh muridnya, Benjamin Lee Whorf. Di masa sekarang
pembicaraan tentang relativitas bahasa dan juga tentang bahasa dan budaya selalu dikaitkan
dengan Hipotesis Sapir-Whorf (Kadarisman, 2008:3). Karena pandangan Sapir belumlah
sempurna hingga muridnya Whorf meneliti bahasa Amerika-Indian yang meyakinkan dan
membuktikan pandangan Sapir ini (Sampson, 1980:83). Hingga saat ini relativitas bahasa
lebih dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf.
Secara sederhana dinyatakan, Hipotesa Sapir-Whorf berbunyi bahwa isi sebuah
bahasa secara langsung berhubungan dengan isi kebudayaan dan susunan bahasa secara
langsung berhubungan susunan sebuah kebudayaan (Aniq, 2010).
Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan
pikiran. Dua hipotesis itu antara lain:
Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa
perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan
bahasa tersebut. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan
bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar
dunia perseptual (Widhiarso, 2005).

Dari hipotesis Sapir-Whorf yang pertama tentang Relativitas Bahasa dapat kita simak, bahwa
perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan cara berfikir pemakai bahasa tersebut. Suatu
bahasa mencerminkan pola pikir dan budaya pengguna bahasa tersebut. Sehingga, keragaman
bahasa juga menggambarkan keragaman berfikir masyarakat satu dengan yang lainnya.
Bahasa ibu mencerminkan budaya, dan serangkaian pola berpikir dan berperilaku dalam
suatu masyarakat. Dalam Relativitas Bahasa (Linguistics Relativity) dinyatakan bahwa
perbedaan simbol-simbol pada suatu bahasa adalah unik terhadap bahasa itu sendiri, dan
bahwa tak ada batas pada keragaman struktural bahasa (dalam interpretasi Aniq, 2010).
Whorf juga menyatakan bahwa jika terdapat beberapa bahasa yang sama (dalam hal
ini bentuk leksikal dan grammatikal formalnya), namun terdapat paling tidak sedikit saja
perbedaan kognitf dari bahasa tersebut (at

7
http://plato.stanford.edu/entries/relativism/supplement2.html). Disini Whorf memandang, jika
terdapat bahasa yang sama baik bentuk leksikal, grammatikal, maupun strukturnya, paling
tidak dari kedua bahasa yang dibandingkan tersebut terdapat perbedaan kognitif dari
pengguna bahasa tersebut.
Sapir-whorf juga menyatakan bahwa, bahasa ibu menyediakan suatu rangkaian yang
berubah-ubah namun tepat untuk untuk mengkategorikan pengalaman dalam dunia
penggunanya (Sampson, 1980:102). Sehingga, pada dasarnya tidak ada bahasa yang lebih
baik dari bahasa yang lain, begitu juga tidak ada bahasa yang buruk dari bahasa yang lain.
Karena bahasa merupakan suatu kumpulan yang lengkap dan sempurna bagi penggunanya
untuk menggambarkan dunianya masing-masing.

4. PENGARUH BUDAYA TERHADAP PERUBAHAN MAKNA


Sebagimana hipotesa Sapir-Whorf dalam lingusitic relativity atau Relativitas Bahasa yang
pada intinya menyatakan bahwa perbedaan bahasa mempengaruhi perbedaan cara berfikir
seseorang maka dapat kita tarik benang merah bahwa perbedaan bahasa juga disebabkan
karena perbedaan budaya. Pola berfikir masyarakat menentukan budaya seperti apa yang
muncul dalam suatu golongan masyarakat. Hal ini karena pola fikir menentukan pola perilaku
bersikap dan bertutur dalam suatu golongan masyarakat.
Berkaitan dengan perubahan bahasa inilah kita dapat mencermati perubahan makna
yang terjadi dalam Bahasa Indonesia, khususnya dari bahasa asing yang dalam makalah ini
diambil contohnya yaitu Bahasa Arab. Kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab yang
dipinjam dan digunakan secara umum oleh orang Indonesia tidak kurang dari 250 kata
(http://arabic.web.id/kata-serapan-bahasa-arab/). Lebih dari itu, masih banyak kata-kata yang
diserap namun tidak digunakan dalam konteks yang luas dan umum oleh orang Indonesia.
Metode yang dihimpun adalah dengan membandingkan kedua unsur bahasa baik yang
mengalami perubahan pelafalan maupun tidak namun mengalami pergeseran makna yang
disebabkan karena perbedaan budaya dari masing-masing pengguna bahasa ini. Perbedaan
budaya yang dimaksud disini adalah karena ketiadaan unsur dalam satu bangsa pada bangsa
yang lain, maupun karena kebiasaan pemakaian atau salah kaprah yang terjadi dalam jangka
waktu yang lama.Sehingga pada kata pinjaman yang tidak mengalami perubahan makna tidak
dicantumkan pada objek penelitian ini.
Berikut ini, kata-kata serapan Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab akan dicantumkan berikut
keterangan akan perubahan maknanya.

8
4.1 Perubahan makna dari konsep konkret ke konsep abstrak

a) Badaniyyah (Ar) (‫ = )بدانية‬badan, tubuh, bersifat jasmani

Badan (Ind) = tubuh, awak, sekumpulan orang yang berkumpul untuk mengerjakan
sesuatu hal/ tujuan yang sama

b) Bathin (Ar) (‫ = )بطن‬samar, tersembunyi, di dalam segala sesuatu

Batin (Ind) = yang terdapat di dalam hati, mengenai jiwa

Berdasarkan data yang ditemukan, terdapat perubahan makna dari konsep kata yang
ditujukan untuk hal yang konkret menjadi hal yang abstrak. Kedua kata yang ditemukan
bersifat ragawi atau jasmaniyah. Untuk kata badan yang diserap dari kata badaniyyah
merupakan bentuk perluasan makna. Dalam bahasa arab, kata badaniyyah hanya digunakan
untuk referen yang berhubungan dengan jasmani atau yang berhubungan dengan fisik
seorang manusia. Namun, ketika diserap dalam bahasa Indonesia kata badan digunakan juga
untuk menyatakan suatu kumpulan yang bersekutu dalam satu tujuan yang sama. Begitu juga
dengan kata batin, yang berasal dari kata bathin yang dalam bahasa asalnya hanya untuk
menyatakan letak sesuatu hal yang berada di dalam atau tersembunyi. Namun, dalam bahasa
Indonesia diserap menjadi lawan kata lahir, yakni batin atau apa saja yang ada di hati
(perasaan).

4.2 Perubahan makna dari konsep abstrak ke konsep konkret

a) Wasatho (Ar) (‫ = )وسط‬tengah, pertengahan

Wasit (Ind) = penengah, pemimpin, penentu dalam pertandingan olah raga

b) Qoroba (Ar) (‫ = )قرب‬berati dekat (untuk menyatakan jarak atau hubungan)

Kerabat (Ind) = keluarga, sahabat, dan sanak keluarga


Akrab (Ind) = dekat, erat (dalam konteks pertemanan atau persahabatan)
Dari kedua data yang ditemukan, keduanya merupakan bentuk simbol leksikal untuk
menyatakan jarak antara satu tempat dengan tempat yang lain. Namun, dalam Bahasa
Indonesia penggunaanya lebih ditekankan ke dalam referen yang lebih konkret yaitu orang
yang-. Jadi, untuk kata qoroba yang berarti dekat diartikan ke dalam orang yang dekat dan
dalam Bahasa Indonesia diasosiasikan kedalam hubungan keluarga dan sanak saudara. Dan
untuk kata wasatho yang berarti penengah diartikan orang yang menengahi. Namun, dalam

9
Bahasa Indonesia lebih dimaknai sebagai orang yang menengahi khususnya dalam bidang
pertandingan.

4.3 Perubahan makna yang tidak mengacu makna sebenarnya

a) Jildun (Ar) (‫ = )جلد‬pencambukan, penjilidan

Jilid (Ind) = penggalan bagian buku, penjahitan buku

b) Ahli (Ar) (‫ = )اهل‬famili, keluarga, kerabat

Ahli (Ind) = orang yang mahir, atau paham sekali dalam suatu ilmu atau bidang

Tipe perubahan makna pada jenis ini, bahasa pinjaman tidak memiliki makna yang memiliki
asosiasi atau referen yang sama dengan bahasa asal. Tidak jelas mengapa antara kedua bahasa
tidak memiliki makna yang berhubungan. Namun, dapat kita cermati dari ketiga contoh
tersebut merupakan bentuk arbitrer atau sifat manasuka dari masing-masing bahasa.
Sehingga, penggunaan pada bahasa asli dengan bahasa pinjaman tidak memiliki kaitan sama
sekali. Untuk kata jildun yang berarti hukum cambuk di negara Arab, karena di Indonesia
tidak berlaku hukum cambuk maka digunakan kata jilid untuk menyebut istilah penjilidan
atau pengelompokan buku. Karena dalam hukum jilid di Arab, alatnya menggunakan sapu
lidi yang dikumpulkan menjadi satu terdiri dari 100 atau lebih sapu lidi. Dan hal inilah yang
mendasari penjilidan dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga untuk kata ahli yang berarti famili
dan diterjemahkan kedalam orang yang piawai dalam bidang tertentu.
4.4 Perubahan makna karena menyesuaikan dengan keadaan pada pengguna bahasa

a) Ibtidaiyyah (Ar) (‫ = )ابتدائية‬yang pertama, permulaan

Ibtidaiyah (Madrasah) (Ind) = sekolah berbasis islam setara SD

b) Tsanawiyyah (Ar) (‫ = )ثنوية‬yang kedua, sekolah menengah

Tsanawiyah (Madrasah) (Ind) = sekolah berbasis islam setara SMP

c) Aliyyah (Ar) (‫ية‬


ّ ‫ = )عل‬yang tertinggi, perguruan tinggi
Aliyah (Madrasah) (Ind) = sekolah berbasis islam setara SMA

d) Madrosah (Ar) (‫ = )مدرسة‬sekolah

Madrasah (Ind) = sekolah atau perguruan (biasanya berdasarkan agama islam)


Dari data-data yang ditemukan diatas, Bahasa Arab yang dipinjam oleh Bahasa Indonesia ini
dipakai untuk mengungkapkan istilah yang dipakai pada lembaga pendidikan di Indonesia,

10
khususnya yang berbasis islami. Sedangkan dalam Bahasa Arab digunakan untuk
menyatakan tingkat baik pada sekolah maupun lembaga lain, walaupun kebanyakan
digunakan untuk tingkat sekolah. Begitu juga kata madrasah yang berarti sekolah, namun
dalam Bahasa Indonesia konteksnya lebih kepada sekolah yang menggunakan kurikulum
islam. Kata-kata ini masih dipakai meskipun dalam bahasa Indonesia sudah terdapat kata
SMA, SMP, maupun SD. Hal ini untuk membedakan mana yang umum dan mana yang
islami. Untuk menyesuaikan keadaan pendidikan yang ada di Indonesia, kata-kata yang
dipinjam tidak digunakan secara langsung namun memiliki sedikit perbedaan saja. Sebagai
contoh kata Madrasah Aliyyah yang dalam bahasa asal bermakna perguruan tinggi, tidak
digunakan pada perguruan tinggi di Indonesia karena sudah terdapat bahasa pinjaman lain
yaitu kata Universitas.

4.5 Perubahan makna karena asosiasi pengguna bahasa pinjaman

a) Wujudun (Ar) (‫ = )وجود‬ada ditemukan (baik itu benda abstrak maupun konkret)

Wujud (Ind) = benda yang nyata, ada rupa dan bentuknya

b) Lughoh (Ar) (‫ = )لغة‬bahasa (yang digunakan untuk komunikasi)

Logat (Ind) = cara mengucapkan kata-kata atau aksen

c) ‘Aqobah (Ar) ) (‫ =عقبة‬kesudahan, atau hukuman

Akibat (Ind) = sesuatu yang menjadi hasil dari segala sesuatu atau kesudahan
(intensitasnya negatif)

d) Ashlu (Ar) (‫ = )اصل‬pangkal

Asal (Ind) = keadaan (tempat, wujud, rupa, dsb) yang semula,mula-mula sekali,

e) Hamilun/hamala (Ar) (‫ = )حمل‬membawa

Hamil (Ind) = mengandung, bunting

f) Lazim (Ar) (‫ = )لزم‬yang perlu sekali, tak dapat dihindari

Lazim (Ind) = sudah biasa, sudah umum, menjadi kebiasaan

Tidak jauh berbeda dengan tipe-tipe perubahan makna yang sebelumnya, pada perubahan
jenis ini, kata serapan digunakan dalam konteks yang lebih sempit dari makna aslinya. Kata-
kata yang memiliki makna luas kemudian hanya digunakan pada hal-hal tertentu yang lebih
spesifik. Seperti kata hamilun yang berarti membawa, digunakan untuk menyebut seseorang

11
yang sedang mengandung (membawa) jabang bayi pada tubuh mereka. Begitu juga untuk
kata ashlu yang berarti pangkal diserap menjadi kata asal yang berarti keadaan awal atau
keadaan semula dengan kata lain merupakan pangkal dari segala sesuatu.
4.6 Perubahan makna karena adanya hubungan religi antara kedua bahasa

a) Aqad (Ar) (‫ = )عقد‬dalam bahasa arab bermakna perjanjian atau kontrak

Akad (Ind) = janji namun, lebih pada konsep janji nikah

b) Waliy (Ar) (‫ = )ولى‬dekat dengan, menguasakan atau memerintahkan kepada

Wali (Ind) = orang yeng menurut hukum ditugasi untuk mengurus harta anak yatim,
atau pendamping pengantin wanita.

c) Kitabun (Ar) (‫ = )كتاب‬buku (dalam konteks apapun)

Kitab (Ind) = wahyu Tuhan yang dibukukan, buku yang menjadi pegangan penting

d) ‘Ayah (Ar) (‫ = )اية‬tanda

Ayat (Ind) = beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian dari
kitab suci Alqur’an

e) Barokah (Ar) (‫ = )بركة‬kenikmatan, kebahagiaan

Berkah (Ind) = karunia Tuhan yang membawa kebahagiaan dalam hidup, pengaruh
baik

f) Da’wah/da’watun (Ar) (‫ = )دعوة‬do’a, ajakan, seruan, panggilan, permintaan

Dakwah (Ind) = penyiaran, mengajak untuk mengajari dan mengamalkan ajaran


agama

g) Fithroh (Ar) (‫ = )فطرة‬sifat pembawaan yang ada sejak lahir,

Fitrah (Ind) = sedekah wajib berupa makanan pokok, sifat asal, kesucian

h) Tholaq (Ar) (‫ = )طلق‬lepas/pisah dari ikatannya

Talak (Ind) = perceraian dalam hukum islam yang dijatuhkan suami atas istri

i) Ruju’ (Ar) (‫ = )رجوع‬kembali, pulang

Rujuk (Ind) = kembalinya suami kepada istri yang telah dijatuhi talak

j) Imsak (Ar) (‫ = )امسك‬menahan diri dari

Imsak (Ind) = waktu mulai berpuasa setelah makan sahur

k) Khusyu’ (Ar) (‫ = )خسع‬tunduk, takut, menyerah

Khusyu’ (Ind) = sungguh-sungguh, penuh penyerahan dan kebulatan hati


12
Perubahan makna pada data-data yang ditemukan di atas merupakan istilah atau simbol
leksikal yang digunakan karena pengaruh ajaran dan budaya yang diajarkan pada tradisi
Islam. Di satu sisi, bahasa Arab yang digunakan tersebut sebenarnya merupakan bahasa
keseharian, namun hal ini kemudian berakar kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Mereka mengasosiasikan istilah yang digunakan tersebut
untuk merujuk pada satu referen yang sifatnya lebih spesifik sebagaimana ajaran dan budaya
yang telah diwariskan dari nenek moyangnya. Seperti kata imsak yang dalam bahasa aslinya
bermakna menahan diri (dari apapun) karena digunakan untuk menyebut waktu dimana kita
memulai menahan untuk tidak makan saat bulan puasa, maka imsak diartikan waktu dimana
kita harus menahan diri untuk tidak (boleh) makan setelah waktu sahur.
4.7 Perubahan makna akibat penyesuaian budaya pemakai bahasa

a) Ahad (Ar) (‫ = )احد‬satu

Ahad = minggu,

b) Isnaini (Ar) (‫ = )اثنين‬Dua

Senin = menyatakan nama hari

c) Tsalaasun (Ar) (‫ = )ثلث‬tiga

Selasa = nama hari

d) Arba’un (Ar) (‫ = )اربع‬empat

Rabu = nama hari

e) Khomsun (Ar) (‫ = )خمس‬lima

Kamis (Ind) = nama hari

f) Jum’ah (Ar) (‫ = )جمعة‬didirikan sholat jum’at

Jum’at (Ind)= hari jum’at

g) Sab’atun (Ar) (‫ = )سبعة‬tujuh


Sabtu (Ind) = nama hari
Yang dimaksud dengan menyesuaikan budaya para pemakai bahasa adalah kata serapan tidak
serta merta digunakan untuk menunjuk referen yang sama. Hal ini karena ketiadaan unsur
pada pengguna bahasa. Yakni, jika dalam Bahasa Arab penggunaan angka-angka ini untuk
menyatakan nama hari, dalam Bahasa Indonesia hari yang dikenal dimulai dari hari Senin,
Hal ini terpengaruh dengan ajaran Negara Barat, seperti Inggris pada jaman dahulu, karena
13
hari pertama memulai bekerja hari Senin dan Minggu (Ahad) merupakan hari terakhir dalam
seminggu. Kata Jum’ah yang berarti hari dimana orang-orang, khusunya kaum muslimin
melaksanakan sholat Jum’at disebut dengan hari Jum’at dan bukan tsadisun yang berarti hari
ke enam. Sehingga, kata Ahad jarang dipakai dari pada hari Minggu, hal ini untuk mencegah
adanya penyebutan hari Ahad sebagai hari yang pertama dalam seminggu dalam Bahasa
Indonesia.
4.8 Perubahan makna dari konsep non-formal ke formal

a) Majlis (Ar ) (‫ = )مجلس‬tempat duduk, tempat berkumpul

Majlis (Ind) = dewan atau atau rapat yang mengemban tugas kenegaraan tertentu dan
terbatas

b) Kuliyyah (Ar) (‫ = )كلية‬Sekolah tinggi, fakultas, college

Kuliah (Ind) = mengikuti pelajaran di perguruan tinggi, (banyak diartikan seperti


ceramah)

c) Babun (Ar) (‫ = )باب‬pintu, pembagian dalam bab-bab/bahasan

Bab (Ind) = bagian isi buku dibagi atas pasal-pasal

c) Faslun (Ar) (‫ = )فصصصل‬yang memisahkan antara dua perkara/ barang,


bagian/seksi/kelas.
Pasal (Ind) = bab, pokok pembicaraan, artikel dalam undang-undang
Perubahan makna pada jenis ini, merupakan bentuk perubahan dari tempat atau simbol
leksikal yang umum ke khusus. Dengan kata lain, perubahan jenis ini merupakan bentuk
penyempitan makna. Antara bahasa asli dengan bahasa pinjaman memiliki referen yang tidak
jauh berbeda. Hanya saja penggunaan dalam bahasa Indonesia kata-kata serapan tersebut
hanya digunakan pada konteks yang lebih formal atau berlaku hanya pada satu bidang saja,
seperti pasal banyak digunakan dalam KUHP atau bidang peradilan. Juga kata kuliah yang
digunakan untuk menyebut pelajaran pada perguruan tinggi atau perkataan dari seseorang
yang bersifat negatif.

4.9 Pergeseran (penyempitan) makna

a) Daftarun (Ar) (‫ = )دفتر‬buku, buku tulis,

Daftar (Ind) = catatan sejumlah nama atau hal yg disusun berderet, dari atas ke bawah

b) Ashliyun (Ar) (‫ = )اصلى‬yang mula-mula, yang dahulu

Asli (Ind) = tulen, murni, bukan salinan, tak ada campurannya


14
c) Safar (Ar) (‫ = )سفر‬perjalanan

Safari (Ind) = perjalanan jarak jauh (konteksnya bertamasya)

d) ‘Alamah (Ar) (‫ = )علمة‬tanda, alamat untuk menyatakan sesuatu baik yang abstrak
mapun konkret
Alamat (Ind) = tanda, sasaran atau tujuan (untuk menyatakan nama atau tempat yang
dituju)

e) Kalimah (Ar) (‫ = ( كلمة‬kata

Kalimat (Ind) = rangkaian kata-kata yang membentuk satu kesatuan dalam


mengungkapkan ide.

Data-data yang dikumpulkan pada perubahan jenis ini merupakan bentuk penyempitan
makna. Antara makna asli dengan dengan makna bahasa pinjaman memilki referen yang
sama, namun perbedaanya hanya lingkup dan kajiannya yang lebih dikhususkan pada hal-hal
yang lebih spesifik saja pada bahasa peminjam. Seperti kata alamah yang ditransliterasi
dengan kata alamat. Dalam bahasa arab, alamah digunakan untuk menyatakan tanda, alamat,
atau tujuan yang akan dituju baik itu abstrak maupun konkret. Namun, penggunaan dalam
bahasa Indonesia dikhususkan untuk menunjukkan nama, tempat, atau tempat tinggal
seseorang.

5 SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa yang telah diperoleh, kebanyakan bahasa serapan dari Bahasa Arab
mengalami penyempitan makna dan hanya beberapa saja yang mengalami perluasan makna.
Hal ini tidak lepas karena pengaruh ajaran dan tradisi dari nenek moyang karena mayoritas
penduduk Indonesia adalah agama Islam yang ajaran asalnya berasal dari negara Arab. Kata-
kata yang pada dasarnya bermakna umum pada bahasa aslinya, mengalami penyempitan
makna dalam Bahasa Indonesia karena digunakan hanya untuk menyatakan referen tertentu
sebagaimana ajaran agama. Hal ini menunjukkan eksistensi Relativitas Bahasa sebagaimana
yang dikemukakan oleh Sapir-Whorf. Meskipun kedua bahasa memiliki simbol leksikal yang
sama atau hampir sama ciri morfologis dan fonologisnya, pada tataran kognitifnya terdapat
sedikit perbedaan karena adanya perbedaan pengguna bahasanya.

DAFTAR PUSTAKA

15
Aniq, M. 2010. Mengadili Hipotesa Sapir-Whorf. 27 September 2010. Dikutip dari
http://ikippgrismg.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=129:mengadili-hipotesa-sapir-
whorf&catid=45:artikel&Itemid=91
Bloomfield, L. 1933. Language. Diterjemahkan oleh I. Sutikno Bahasa 1995. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Djajasudarma, F. 2009. Makna Leksikal dan Gramatikal. Bandung: Refika Aditama.
Kadarisman, A. Effendi. 2008. Hipotesis Sapir-Whorf dan Ungkap Verbal Keagamaan.
Dikutip dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/002-Hipotesis-Sapir-
Whorf-MLI-(hipotesis ungkap verba)
Leech, G. 1974. Semantics. Diterjemahkan oleh Paina Partana Semantik 2003. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Munawwir, A.W. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta:
Pustaka Progressif
Nurhayati. 2010. Pengaruh Teknologi Mesin Terhadap Perubahan Penggunaan Kosa Kata
di Bidang Pertanian. Dalam Parole Jurnal Linguistik dan Edukasi. Oktober 2010. Vol
1: Hal 34. Semarang: Program Studi Magister Linguistik Universitas Diponegoro
Semarang.
Palmer, F.R. 1981. Semantics. Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Saeed, J.I. 1997. Semantics. Oxford: Blackwell Publishing.
Sampson, G. 1980. Schools of Linguistic. Stanford: Stanford University Press.
Verhaar. J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Widhiarso, W. (2005). Pengaruh bahasa terhadap pikiran kajian hipotesis Benyamin Whorf
dan Edward Sapir. Dikutip dari http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/h-33/pengaruh-bahasa-
terhadap-pikiran.html
_________. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_________ . 2010 . The Linguistic Relativity Hypothesis. Dikutip dari
http://plato.stanford.edu/entries/relativism/supplement2.html
http://arabic.web.id/kata-serapan-bahasa-arab/

*) Athiyah Salwa
Mahasiswa Program Magister Linguistik UNDIP Semarang
E-mail: athswa_sofiez@yahoo.com
16
CP: 085 641 028 528

17

You might also like