You are on page 1of 25

• Home

• About
• RSS

GO

Peni Adji USD


Sastra Indonesia USD

Hey there! Thanks for dropping by Peni Adji USD! Take a look around and grab the RSS
feed to stay updated. See you around!

• IKLAN
• KAJIAN DRAMA INDONESIA

GENDER DALAM DRAMA INDONESIA


Filed under: KAJIAN DRAMA INDONESIA by Peni Adji — Leave a comment
December 1, 2010

I. Pengantar

Menurut Warren (Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174) gender ber-hubungan dengan
perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksii sosial yang diwujudkan
dalam perbedaan peran dan sifat anatara laki-laki dan perempuan. Kemudian, perbedaan
peran dan sifat ini membentuk suatu budaya yang dianggap bersifat “alamiah” oleh
tatanan masyarakat. Selain itu, dalam Analisis Sosial (November 1996) gender juga
dijelaskan sebagai perbedaan tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil
konstruksi masyarakat. Sifatnya bukan biologi dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan
oleh masyarakat melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu,
gender berubah dari waktu ke waktu dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antara kelas
yang satu dengan kelas yang lainnya.

Masalah gender muncul, bermula dari pandangan universal, yaitu bahwa kebudayaan
berusaha menguasai dan mengelola alam untuk keperluan manusia. Dalam hal ini, laki-
laki diidentifikasikan dengan kebudayaan dan perempuan diidentifikasikan dengan alam
yang dikuasai dan dikelola oleh alam karena kehidupannya dianggap dekat dengan proses
biologisnya, yaitu fungsi reproduksinya (Other via Moore, 1988:13). Bermula dari
padangan tersebut perempuan secara stereotip dinilai mewarisis sifat-sifat feminine, yaitu
emosional, pasif, inferior, bergantung, lembut, dan perannya dibatasi pada bidang
keluarga; sedangkan laki-laki dinilai mewarisis sifat-sifat masculine, yaitu rasional, aktif,
superior, berkuasa, keras, dan menguasai peran dalam masyarakat (Moore, 1988:14 dan
Budiman, 1985:1).

Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana gender perempuan dalam tradisi penulisan
drama di Indonesia, maupun gender yang tercermin dalam drama itu sendiri, serta gender
perempuan dalam tradisi pementasan drama.

II. Gender dalam Tradisi Penulisan Drama

Dalam sejarah penulisan drama sebagai genre sastra Indonesia modern (menurut Teeuw
yang yang diawali tahun 20-an) selalu didominasi oleh laki-laki. Mereka adalah Rustam
Effendi , Sanusi Pane, Armijn Pane, Usmar Ismail, El Hakim, Utuy Tatang Sontani,
Motinggo Busje, B. Soelarto, Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Arifin C. Noer, Rendra,
Riantiarno , dan Wisran Hadi. Baru pada tahun 1990-an, muncul penulis drama
perempuan, Ratna Sarumpaet dengan drama Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah.

Hal ini agak berbeda jika dibandingkan dengan perkembangan penulisan prosa.
Perempuan sudah mulai berkarya tahun 1930-an akhir; mereka adalah Hamidah, Arti
Purbani, Selasih, dan Rukiyah. Kemudian, tahun 1950-an muncul N.H. Dini yang sampai
tahuan 90-an masih produktif. Pada tahun 90-an seiring dengan maraknya sastra populer
banyak pengarang perempuan muncul dan mereka cukup produktif. Pada tahun 1990-an
muncul Ayu Utami yang menggemparkan; dan tahun 2000 muncul Dewi, Okka Rusmini,
dan beberapa nama yang menulis karya sastra chiklist.

Tentu, selain karena hakikat antara drama dan prosa yang berbeda (drama ditulis untuk
dipentaskan sementara prosa untuk dibaca) Juga ada hal lain yang menyebabkan adanya
perbedaan tradisi penulisan ini. Untuk menulis prosa, orang “cukup” dengan berbekalkan
banyak membaca (termasuk karya sastra) dan peka akan kehidupan. Hal yang dapat
dilakukan di dalam batas bangunan rumah tangga (domestik). Sementara itu, untuk
menulis drama, selain dibutuhkan bekal yang sama untuk menulis prosa, juga dibutuhkan
bekal pengalaman langsung menonton pementasan dan juga terlibat dalam pementasan.
Suatu hal yang harus dilakukan di luar rumah (publik). Hal yang tidak mudah dilakukan
oleh perempuan karena selama itu ruang lingkupnya dibatasi dalam bidang domestik.

Munculnya penulis drama perempuan, Ratna Sarumpaet, pada tahun 1990-an,


dimungkinkan. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat sudah “lebih” terbuka untuk
menerima perempuan di bidang publik[1]. Juga disebabkan karena ia termasuk
perempuan kelas atas (terdidik, intelek) yang lebih mempunyai kemungkinan dan
keleluasaan untuk berkiprah di bidang publik. Ia bisa mengemukakan suara “keras”
(karakter yang sudah keluar dari bingkai feminine). Dia bisa terlibat dalam dunia
pementasan drama yang “melelahkan” dengan harus banyak di luar rumah.

Hanya satu naskah dramanya yang diterbitkan, yaitu Marsinah, Nyanyian dari Bawah
Tanah (1994). Terdapat beberapa naskah yang ia buat dan dipentaskan, tetapi tidak
diterbitkan. Berturut-turut adalah Terpasung (Pemerkosaan itu ….) tahun 1996: masih
berkaitan dengan kasus Marsinah buruh perempuan di Sidoarjo; Pesta Terakhir :
Marsinah Menggugat (Monolog), dan Sang Raja ; yang ketiganya ini dibuat tahun 1997.
Kritik-kritik kerasnya dalam dramanya itu menyebabkan ia ditahan pada masa Orde Baru.
Pada tahun 1999/2000 dia mementaskan Aulia, kritik tentang kasus Aceh.

Tahun 2000-an Riris Sarumpaet menulis drama berjudul Cairan Vagina. Naskah ini
beberapa kali dipentaskan, tetapi naskah drama ini tidak diterbitkan. Perempuan dan
politik adalah tema-tema utama yang tampak pada karya-karya kedua pengarang
perempuan di atas.

III. Gender dalam Naskah Drama Indonesia

Drama yang mengangkat permasalahan sosial masyarakat sezaman mulai terlihat pada
masa Jepang. Adapun naskah drama yang secara tematik menyingggung permasalahan
perempuan, yaitu Kami Perempuan karya Armijn Pane yang terbit tahun 1943; Tjitra
karya Usmar Ismail yang terbit tahun 1943;Dewi Reni karya El Hakim yang terbit tahun
1944; serta , Djinak-Djinak Merpati Karya Armin Pane yang terbit tahun 1945.

Karena diciptakan pada masa Jepang, secara sekilas karya-karya tersebut sangat kental
unsur propaganda Jepang. Adapun permasalahan perempuan yang diangkat masih
berkisar masalah pemilihan cinta kepada lawan jenis. Misalnya, Sri dalam Kami
Perempuan yang memutuskan pertunangannya pada Supono karena tidak menjadi tentara
Peta. Setelah diakhir cerita diketahui bahwa tunangannya itu secara diam-diam
mendaftarkan diri menjadi tentara Peta, ia kembali mencintainya. Tjitra dan Dewi Reni
juga berkaitan dengan pemilihan cinta yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki.
Cerita dalam drama itu diakhiri bahwa tokoh perempuan akhirnya menjatuhkan pilihan
pada laki-laki yang tidak ekspresif dalam menyatakan cintanya, tetapi mempunyai hati
yang teguh, bijaksana, dan , ternyata tulus dalam mencintai. Sementara dalam Jinak-
Jinak Merpati digambarkan adanya tokoh gadis yang selalu menggoda suami orang.
Suatu ketika ia benar-benar jatuh hati kepada pemuda yang berhati teguh, yang ternyata
adalah tunangan sahabatnya. Akhirnya, ia memilih pemuda pelaut yang sedari dulu selalu
mencintainya.

Pada periode tahun 1950-an, muncul karya-karya Utuy Tatang Sontani. Karya-karya
Utuy oleh Sumardjo (1992) dikategorikan sebagi karya psikologis. Dua karyanya yang
memikat adalah Awal dan Mira dan Di Langit ada Bintang Dua karya ini berisi kritikan
tehadap sikap kemunafikan manusia. Drama Awal dan Mira mengangkat tokoh
perempuan bernama Mira yang cacat kakinya dan sehari-hari bekerja dengan membuka
kedai kopi. Ia selalu melayani para tamu dari balik deretan dagangannya. Dengan begitu,
ia tidak pernah menampakkan kecacatan kakinya. Yang tampak adalah kecantikannya
dan keramahannya melayani. Ia adalah saksi kemunafikan berbagai tamu yang
berkunjung di kedainya, sekaligus menjadi korban kata-kata iseng yang dilontarkan oleh
para tamunya. Hanya ada seorang lelaki yang serius, baik hati, dan tampak gembel.
Lelaki ini dapat mengubah Mira untuk menerima kecacatannya. Dan mereka saling
mencintai.
Drama Di Langit ada Bintang mengisahkan tokoh Marlina (perempuan kampung) yang
mengusir suaminya karena masalah gaji yang tak mencukupi untuk hidup sedikit mewah.
Ia berhubungan dengan Tuan Hamdan (seorang pejabat), dan berharap untuk dijadikan
istri kedua. Tampaknya gaya hidup mempunyai beberapa istri memang mewabah di
kalangan para pejabat. Melihat perilaku suaminya, istri Tuan Hamdan yang terdidik itu,
justru menjadi masa bodoh, dingin, dan egois. Ia tidak mau uring-uringan untuk bersaing
dengan Marlina yang berbeda kelas dengannya. Bibi Marlina hadir untuk menasihati,
agar Marlina kembali kepada suaminya karena mereka masih saling mencinta. Namun,
Marlina menolak dengan alasan hidup tidak cukup dengan cinta. Cerita berakhir dengan
mengambang, semua tokoh tidak berhasil meraih impian mereka.

Dari karya-karya tersebut sudah mulai terlihat bahwa permasalahan perempuan adalah
segmented . Terlihat adanya perempuan yang tidak lagi sekedar berkecipung dengan
masalah-masalah cinta (personal, domestik). Perempuan sudah berperan dalam bidang
publik untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, meskipun peran itu masih berkarakteristik
perempuan, yaitu melayani. Di sisi lain, terlihat perempuan yang hedonis; mencari
kesenangan duniawi dengan meninggalkan suami dan mengacuhkan nasihat bibi, seorang
perempuan yang bijaksana. Terdapat juga perempuan terdidik kelas atas, yang justru
menjadi egois, masa bodoh, dan dingin; ketika merasa tersaingi dalam masalah cinta
dengan perempuan yang dianggapnya berkelas rendah.

Mulai tahun 60-an naskah drama di Indonesia berkembang dengan beraneka ragam.
Drama konvensional tetap bermunculan, dan di sisi lain mulai marak drama absurd
(dengan filsafat eksistensialismenya). Termasuk yang konvensional adalah Bila Malam
Bertambah Malam karya Putu Wijaya dan Malam Pengantin di Bukit Kera karya
Motinggo Busje. Bila Malam Bertambah Malam mengangkat tokoh perempuan kelas
atas, Gusti Biang, yang sering marah kepada abdinya yang laki-laki. Ia sering
membanggakan keperkasaan suaminya (baik sebagai orang yang berkasta tinggi, maupun
sebagai pejuang). Namun, ternyata Gusti Biang mempunyai aib di masa lalu yang selalu
ia tutupi. Masalah mempertahankan gambaran kesempurnaan suaminya sebagai laki-laki
dan hasrat kodratinya untuk memiliki keturunan, menyebabkan ia mau ditiduri laki-laki
lain. Laki-laki itu kemudian menjadi abdinya. Untuk menutupi semuanya itu, ia berlaku
kasar dan menguasai abdinya itu.

Malam Pengantin di Bukit Kera mempermasalahkan kemunafikan yang dikontraskan


dengan kejujuran. Untuk siasat dapat menikahi Maya, Bujang Tambun mengaku bahwa
dia berasal dari keluarga baik-baik dan keturunan bangsawan. Ketika menikmati malam
pengantin di rumah nenek Bujang di kampung Bukit Kera, barulah Maya ketahui bahwa
nenek moyang Bujang adalah petani. Nenek Bujang bercerai dengan Kakek (almarhum)
karena masalah judi. Hal ini membuat Maya marah kepada Bujang karena telah
membohonginya. Konflik juga terjadi antara Maya dan Nenek. Karena melihat perilaku
Nenek yang terkadang aneh dan karena dibisiki oleh perempuan kampung, Maya
menuduh Nenek gila. Sementara itu, Nenek menanggapi tuduhan Maya dengan
perkatakaan bahwa dia adalah keturunan petani tangguh yang sangat menjunjung
kejujuran, berbeda dengan Maya yang meskipun tampak halus dan lembut, selalu
mendorong suaminya untuk melakukan korupsi.
Lingkup permasalahan yang diangkat dalam drama Bila Malam Bertambah Malam dan
Malam Pengantin di Bukit Kera berkaitan dengan masalah keluarga, domestik, lingkup
yang secara kovensional dekat perempuan. Namun, terdapat adanya karakter yang tidak
feminin yang dimiliki Gusti Biang, yaitu sangat keras, pemarah, dan suka berkata kasar
kepada laki-laki yang adalah abdinya. Tidaklah jauh diintepretasi, bahwa hal ini dapat
terjadi karena ia adalah perempuan kelas atas yang lebih banyak mempunyai keleluasaan.
Sementara dalam malam Pengantin di Bukit Kera, terlihat adanya perbedaan perempuan
dalam mensikapi kejujuran. Maya yang adalah perempuan kota, halus, dan lembut sangat
marah ketika mengetahui bahwa suaminya tidak jujur dalam hal keturunan, namun di sisi
lain dia mendorong suaminya untuk berlaku tidak jujur, korupsi dalam pekerjaannya.
Perilaku Maya ini ditanggapi dengan sinis oleh Nenek Bujang: meski ia keras, tampak
aneh, dan sempat dituduh Maya gila, Nenek adalah orang yang sangat menjunjung
kejujuran.

Drama monolog Prita Istri Kita karya Arifin C. Noor (1960) men-ceritakan konflik
tokoh aku yang perempuan. Dia menyesal menikah dengan suaminya yang adalah
seorang guru (miskin). Dia mengeluh tentang tekanan ekonomi dan kesederhanaann
hidupnya. Marah dengan ketidakmampuannya bersenang-senang karena gaji suaminya
yang sedikit. Dia membayangkan menikah dengan orang lain yang kaya, yang dapat
membebaskannya dari kemiskinan. Sekali-lagi drama ini masih mengangkat
permasalahan keluarga dalam lingkup domestik. Dan hal ini mungkin suatu stereotip
perempuan yang biasanya ditangkap oleh laki-laki.

Menarik untuk menyimak drama Iwan Simatupang yang berjudul Petang di Taman
(1966) yang dikategorikan sebagai drama absurd. Dari empat tokoh penting terdapat satu
tokoh perempuan. Semua tokoh ini datang ke taman membawa permasalahan eksistensi
mereka masing-masing. Yang lebih menarik lagi, bahwa tokoh perempuan itu marah
ketika disapa dengan sebutan “Nyonya”. Suatu sebutan yang sifatnya bias gender karena
keberadaannya sangat ditentukan oleh laki-laki (suami). Misalnya untuk mengacu diri
perempuan digunakan istilah Nyonya Sutanto atau Nyonya Broto, bukan nama
perempuan itu sendiri. Kedirian perempuan itu lebur dalam eksistensi suaminya.
Sebaliknya, ketika dipanggil dengan sebutan Ibu, tokoh perempuan itu menjadi tenang.
Suatu sebutan yang sifatnya netral, tidak bias gender karena mengacu pada kedirian yang
sifatnya kodrati.

Kembali menyinggung drama Ratna Sarumpaet yang berjudul Marsinah Nyanyian dari
Bawah Tanah. Drama ini menceritakan perjuangan TOKOH perempuan ketika ia sudah
mati. Namun, masih terlihat adanya latar belakang kejadian yang menimpa tokoh itu
ketika ia hidupdi dunia. Selama hidup, Tokoh ini bekerja sebagai buruh yang berarti
adalah kelas bawah. Dalam drama itu digambarkan bahwa Tokoh tidak hanya “ditindas”
oleh kelas atas (penguasa dalam sistem kapitalisme), tetapi juga “ditindas” oleh sistem
patriarki. Tokoh perempuan ini tidak mampu menyuarakan hati nuraninya ketika ia
hidup. Ia mampu menyuarakan suaranya ketika sudah mati. Dengan kata lain, ia
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menyuarakan ketertindasannya selamam
hidup di dunia, justru setelah ia hidup dalam dunia kematian.
IV. Penutup

Ada beberapa nama yang be-rkaitan dengan pementasan drama (atau yang lebih dikenal
dengan teater. Tidak begitu banyak, hal ini bisa dikembangkan dalam diskusi). Terdapat
beberapa artis yang dicatat sebagai aktris terbaik versi Dewan Kesenian Jakarta. Mereka
adalah Sri Suhita (1977), Reni Jayusman (1979), dan Neno Warisman (1981). Selain
nama-nama itu juga dikenal Ken Juraida, Ratna Majid, dan saya sebut lagi Ratna
Sarumpaet.

Reni Jayusman sampai sekarang masih berkecipung dalam dunia teater (dengan diwarnai
kehidupan pribadi yang jatuh bangun). Ken Juraida membantu pementasan suaminya,
Rendra. Ratna Madjid dahulu adalah artis, kini banyak bekerja sebagai manajer Teater
Koma yang saat ini dipimpin oleh suaminya N. Riantiarno. Peran Ken dan Ratna dalam
dunia publik, yaitu teater berkaitan erat dengan suaminya. Terdapat bias ketimpangan
gender.

Setelah berjilbab, Neno Warisman tidak banyak lagi berteater. Mengapa? Adakah
pertentangan antara ketaatan beribadah dengan dunia teater? Bisa jadi. Sri Suhita
namanya tidak lagi dikenal. Dulu dia adalah guru STM, tetapi karena kemampuannya
berakting dia ditarik menjadi dosen di IKIP Jakarta yang kini adalah UNJ. Konon, setelah
berkeluarga dia tidak lagi berkecipung dalam teater. Keteaterannya yang masih tersisa
sekedar berkaitan dengan pengajaran. Alasannya, dia menginginkan “kebersihan dalam
rumah tangga”nya. Ironis? Mungkin. Dalam banyak hal perempuan harus memilih.

Sosok Ratna Sarumpaet berbeda dengan perempuan-perempuan di atas. Taeter adalah


pilihannya untuk terjun di bidang publik dan berkarir. Sejak tahun 1969 ia mulai berkarir
dalam dunia teater. Dalam perjalanan karirnya ia tidak hanya menjadi aktris, tetapi juga
sutradara, penulis naskah drama, dan pemimpim kelompok teater: Satu Merah Panggung.
Tampaknya, sebagai sosok pribadi ia tidak terlibas oleh adanya ketimpangan gender.
Namun, ia sangat peka terhadap ketimpangan gender yang dialami oleh “sebagian besar”
kaumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Analisis Sosial. 1996, November. “Istilah-istilah Umum dalam Gender”.

Budiman, Arif. 1985. Pembagian Kerja Secara Sexual. Jakarta: Gramedia.

Heraty, Toety. 1998/1999. “Perempuan dan Hak Asasi Manusia” dalam Jurnal
Perempuan. Ed.9. November 1998-Januari 1999.

Kramarae, Cheris dan Paula A. Treichler. 1985. A Feminit Dictionary. London:

Pandora.

Noor, Arifin C. 1977. Prita Istri Kita. dalam Ajib Rosidi Laut Biru Langit Biru.

Jakarta: Pustaka Jaya.

Moore, Henrietta. 1988. Feminist and Antropology. Singapore: Polity Press.

Sarumpaet, Ratna. 1997. Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah. Yogyakarta:

Bentang.

Sontani, Utuy T. 1969. Awal dan Mira. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama

Indonesia. Bandung: Airlangga.

Tan, Mely G. (ed). 1991. Perempuan Indoneisa Pemimpin Masa Depan? Jakarta:

Sinar Harapan.

Wijaya, Putu. 1971. Bila Malam Bertambah Malam. Jakarta : Pustaka Jaya.

[1] Hal ini terlihat (1) secara resmi ide tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan sudah diimplementasikan melalui UU RI No. 7 tahun 1984, (2)
adanya peningkatan peran dan kedudukan perempuan di berbagai sektor kemasyarakatan
(laporan Pemerintah RI bersama Unicef, januari 1989, (3) kiprah dan kesempatan kerja
serta kemampuan mengungkapkan pendapat perempuan kelas atas di Indonesia dapat
sejajar dengan laki-laki (Tan, 1991).

Tags: KAJIAN DRAMA INDONESIA


Comments RSS feed
Like
Be the first to like this post.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
Name *

Email *

Website

Comment

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr
title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code>
<pre> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Post Comment

Notify me of follow-up comments via email.

Notify me of site updates

« SILABUS KAJIAN DRAMA INDONESIA


4. ASPEK PEMENTASAN »

Recent entries
o SILABUS PEMBUATAN IKLAN
o 1. ASPEK NASKAH
o 2. SUTRADARA
o 3. ASPEK PEMAIN
o 4. ASPEK PEMENTASAN
o GENDER DALAM DRAMA INDONESIA
o SILABUS KAJIAN DRAMA INDONESIA
Browse popular tags

IKLAN KAJIAN DRAMA INDONESIA Silabus


Meta
o Register
o Log in
o Entries RSS
o Comments RSS

Friends & links


o Discuss
o Get Inspired
o Get Polling
o Get Support
o Learn WordPress.com
o WordPress Planet
o WordPress.com News

Pages
o About

Monthly archives
o December 2010

Blog at WordPress.com. | Theme: Motion by 85ideas.


[ Back to top ]

http://file.upi.edu/Direktori/SPS/PRODI.PENDIDIKAN%20LUAR
%20SEKOLAH/196111091987031%20-%20MUSTOFA%20KAMIL/Bhaan
%20kuliah/ANALISIS%20GENDER%20DAN%20RENCANA%20AKSI%20DALAM
%20PEMBANGUNAN%20PENDIDIKAN.pdf

http://www.zef.de/module/register/media/e0ad_Kerangka%20Analisis
%20Perencanaan%20Gender-Jonatan%20Hivos.doc
Kerangka Analisis Perencanaan Gender (Gender Planning Frameworks)1
Jonatan A. Lassa2

Sudah banyak kritik bahwa gender planning dalam kerja-kerja rekonstruksi di Aceh
merupakan hal yang mendapatkan perhatian kurang. Kritik ini tidak selalu ditanggapi
secara serius karena memang sudah banyak lembaga mencoba untuk melakukan pengarus
utamaan gender dalam level proyek dan program mereka, berdasarkan gender analisis
versi tiap lembaga. Di samping itu, ada ratusan alat gender analisis dan gender planning.
Mana yang terbaik?

Tentu pula, sudah banyak training berjudul “gender training” level dasar yang diberikan
dari dan untuk pegiat kemanusian terutama LSM/NGOs/CSOs. Namun tidak banyak
training bagaimana melakukan pengarusutamaan gender dalam proyek dan program.
Langkah pertama pengarus utamaan gender adalah gender analisis (WHO, 2002: 2).
Bukan hal yang mudah bila sebuah lembaga atau staf pekerja kemanusiaan untuk
rekonstruksi tidak memiliki alat analisis gender planning yang baik. Oleh karena itu,
ringkasan alat analisis gender ini ditulis secara sederhana dalam bahasa Indonesia dan
ditujukan lebih pada para perencana proyek dan program pada level komunitas (mikro),
maupun makro.

Kerangka analisis perencanaan gender atau disingkat kerangka analisis gender


merupakan upaya untuk menerjemahkan ide-ide dari analisis gender yang “akademis”
serta “konseptual” ke dalam kerja-kerja dan panduan untuk para praktisi LSM, pekerja-
pekerja pembangunan, relief dan dalam konteks Aceh saat ini adalah perencanaan
rekonstruksi Aceh.

Kerangka-kerangka ini digunakan untuk memperkenalkan secara singkat konsep gender


bagi mereka yang ‘awam’ dengan issu perempuan/gender dalam pembangunan, dengan
menekankan bahwa gender adalah isu pembangunan dan bahwa pembangunan tidak
bebas nilai sehingga potensial menindas gender tertentu. Tidak dimaksudkan untuk

1
Paper ini ditujukan tidak terbatas pada mitra-mitra Hivos, tetapi bagi semua pihak yang merasa
membutuhkan untuk mengarusutamakan Gender dalam perencanaan proyek-proyek rehabilitasi di Aceh.
Paper ini disarikan dari berbagai sumber-sumber berbahasa Inggris yang dipakai Penulis yakni: 1. March,
Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks, Oxford: Oxfam. 2. March C. A
Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996. 3.
Bahan Kulian Gender & Rural Livelihood, Fall Term 2004, The University of East Anglia, UK.
2
Saat ini bekerja sebagai Coordinator Program, HIVOS.
terjebak dalam berpikir secara “mengisi matrix” semata dan terkotak-kotak, tetapi
memberikan dasar-dasar analisis gender.

Di samping itu, kegunaan lain adalah bisa dijadikan dasar kebijakan gender (gender
policy) pada institusi-institusi seperti masyarakat sipil, LSM, CBOs, NGOs, BRA,
pemerintahan dan sebagainya. Umumnya, kerangka analisis gender yang berbeda
digunakan untuk saling melengkapi demi menjawabi kebutuhan kebijakan lembaga dan
pembangunan kembali masyarakat Aceh.

Ada banyak model yang sering digunakan tetapi yang akan diperkenalkan di sini adalah 4
jenis alat analisis yang berbeda satu sama lain, yakni Kerangka Harvard, Moser,
Longway dan Kerangka Relasi Sosialnya Naila Kabeer.3

Tujuan utama paper singkat ini adalah utuk memperlengkapi,teman-teman di Aceh,


tentunya tidak tertutup bagi mitra-mitra Hivos, supaya bersama-sama memiliki
pemahaman gender secara umum dalam kerja-kerja mereka. Tidak ada tendensi di sini
untuk mengatakan mana yang paling benar, tetapi diharapkan pengguna (users) bisa
memilih sendiri alat analisis yang disajikan berikut, lebih cocok dalam kerja-kerja
mereka. Walaupun, preferensi Penulis adalah pada model yang dikembangkan Longwe
dan Kabeer.

I. Harvard Framework (Kerangka Harvard).

Kerangka analisis gender Harvard lebih concern dengan membuat pembagian kerja
gender (division of labour), peran dalam pengambilan keputusan, tingkat control atas
sumberdaya yang kelihatan.

Sebagai konsep dan alat, ini dibutuhkan data detail bagi perencanaan gender. Implikasi
perencanaan program terhadap gender perempuan adalah diperlukan analisis yang
menutupi bolong (gaps) pada level beban kerja, pengambilan keputusan dsb antara
perempuan dan laki-laki.

Tiga data set utama yang diperlukan:


1. Siapa melakukan apa, kapan, di mana, dan berapa banyak alokasi waktu yang
diperlukan? Hal ini dikenal sebagai “Profil Aktifitas”.
2. Siapa yang memiliki akses dan kontrol (seperti pembuatan kebijakan) atas sumber
daya tertentu? Hal ini kerap dikenal dengan “Profil Akses dan Kontrol” Siapa
yang memeliki akses dan kontrol atas “benefit” seperti produksi pangan, uang
dsb?
3. Faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam pembagian kerja berbasis gender,
serta akses dan kontrol yang ada pada “profil aktifitas” dan “profil akses dan
kontrol”.

Tujuan dari alat analisis ini adalah:


• Membedah alokasi sumberdaya ekonomis terhadap laki-laki dan perempuan
3
Untuk mengetahui lebih jauh,
• Membantu perencana proyek untuk lebih efisien dan meningkatan produtifitas
secara keseluruhan

Tabel 1. Alat Profil Aktifitas


Aktifitas Perempuan Laki-laki
Aktifitas produksi
• Pertanian
• Livelihood
• Pekerjaan
• Peternakan
• Perikanan
• Dsb
Aktifitas reproduksi
• Mengambil air
• Pemenuhan energi KK
• Penyiapan makanan
• Menjaga anak
• Kesehatan
• Membersihkan rumah
• Memperbaiki rumah
• Belanja/jual di/ke Pasar

Catatan: Parameter lainnya perlu juga dilihat namun bergantung dari konteks:
• Gender dan dominasi umur: indetifikasi yang lebih jelas soal perempuan dewasa,
laki-laki dewasa, anak-anak, dan/atau orang tua yang melakukan aktifitas tertentu
• Alokasi waktu: perlu dihitung prosentasi alokasi waktu untuk tiap aktifitas dan
apakah dilakukan secara harian atau kadang-kadang?
• Lokus aktifitas: perlu dilihat secara jeli di mana suatu kegiatan dilakukan supaya bisa
melihat peta mobilitas penduduk.

Tabel 2. Profil Akses dan Kontrol atas sumber daya dan benefit
Akses Kontrol
Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Sumber daya
• Tanah
• Alat produksi
• Tenaga kerja
• Cash/uang
• Pendidikan
• Pelatihan
• Tabungan
• Dll
Benefit
• Aset kepemilikan
• Non pendapatan
• Kebutuhan dasar
• Pendidikan
• Kekuasaan politis
• dll

Tabel 3. Faktor saling pengaruh antara “profil aktifitas” dan “profil akses dan kontrol”.
Faktor Pengaruh Hambatan (constraints) Kesempatan (opportunities)
Norma-norma dan hierarki
sosial
Faktor demografi
Struktur kelembagaan
Faktor ekonomi
Faktor politik
Parameter hukum
Training
Sikap komunitas terhadap
pihak luar spt LSM?
Dll

Kekuatan/keutamaan dari Kerangka Harvard:


• Praktis dan mudah digunakan khususnya pada analisis mikro yakni level komunitas
dan keluarga
• Berguna untuk baseline informasi yang detail
• Fokus pada hal-hal yang kasat mata, fakta objektif, fokus pada perbedaan gender dan
bukan pada kesenjangan
• Gampang dikomunikasikan pada pemula/awam

Keterbatasan:
• Tidak ada fokus pada dinamika relasi kuasa dan kesenjangan (inequality)
• Tidak efektif untuk sumberdaya yang tidak kasat mata seperti jaringan sosial dan
sosial kapital
• Terlalu menyederhanakan relasi gender yang kompleks, kehilangan aspek negosiasi,
tawar-menawar dan pembagian peran.

II. Kerangka Moser (The Gender Roles Framework)

Dikenal juga sebagai “the University College-London Department of Planning Unit


(DPU) Framework”. Secara singkat, kerangka ini menawarkan pembedaan antara
kebutuhan praktis dan strategis dalam perencanaan pemberdayaan komunitas dan
berfokus pada beban kerja perempuan. Uniknya, ia tidak berfokus pada kelembaggan
tertentu tetapi lebih berfokus pada rumah tangga.

Tiga konsep utama dari kerangka ini adalah:


1. Peran lipat tiga (triple roles) perempuan pada tiga aras: kerja reproduksi, kerja
produktif dan kerja komunitas. Ini berguna untuk pemetaan pembagian kerja
gender dan alokasi kerja
2. Berupaya untuk membedakan antara kebutuhan yang bersifat praktis dan strategis
bagi perempuan dan laki-laki. Kebutuhan strategis berelasi dengan kebutuhan
transformasi status dan posisi perempuan (spt subordinasi).
3. Pendekatan analisis kebijakan – dari fokus pada kesejahteraan (welfare),
Kesamaan (equity), anti kemiskinan, effisiensi dan pemberdayaan atau dari WID
ke GAD.

Tabel 4: Tiga alat utama Kerangka Moser


Alat 1: Peran lipat tiga (triple roles) Perempuan A. Kerja reproduksi perempuan
B. Kerja Produktif
C. Kerja komunitas
Alat 2: Gender need assessment A. Kebutuhan/kepentingan praktis
B. Kebutuhan/kepentingan strategis
Alat 3: Gender Disaggregated data - intra- Siapa mengotrol apa dan siapa yang
household memiliki kekuasaan atas pengambilan
keputusan?

Kekuatan/Keutamaan Kerangka Moser:


• Mampu melihat kesenjangan perempuan dan laki-laki
• Penekanan pada seluruh aspek kerja di mana membuat peranan ganda perempuan
terlihat
• Menekankan dan mempertanyakan asumsi dibalik proyek-2 intervensi
• Penekanan pada perbedaan antara memenuhi kebutuhan dasar-praktis dengan
kebutuhan strategis

Keterbatasan/Kelemahan Kerangka Moser:


• Fokus pada perempuan dan laki-laki dan tidak pada relasi sosial
• Tidak menekanakan aspek lain dari kesenjangan spt akses atas sumber daya
• Jika ditanyakan, perempuan akan mengidentifikasikan kebutuhan praktisnya.
Menemukan ukuran-2 kebutuhan strategis sulit. Perubahan strategis adalah sebuah
proses yang kompleks dan kontradiktif. Dalam prakteknya, sesuatu yang praktis dan
strategis berkaitan erat.
• Pendekatan kebijakan yang berbeda-2 bercampur dalam prakteknya
• Kerja secara efektif lebih berfungsi sebagai alat analisis intervensi ketimbang
perencanaan.
Table 5. Perkembangan Pendekatan Kebijakan Gender (dari Moser 1989)
Pendekatan Tujuan Implementasi Asumsi
kebijakan
Kesejahteraan Melibatkan perempuan Proyek-2 kesejahteraan -Perempuan dilihat sebagai
(Welfare) 1950- dalam kegiatan social focus pada bantuan penyebab ketertinggalan
1970, masih pembangunan semata- pangan, nutrisi spt. -peran pasif perempuan dalam
digunakan mata sebagai “ibu Ketrampilan masak yang penelitian pertanian, SDA dan
yang lebih baik” dan lebih tinggi, dan proyek-2 pembangunan
ibu rumah tangga KB -Tidak ada kaitan antara perempuan,
gender dan isu strategis spt nutrisi,
kesehatan dan pangan
Kesamaan -upaya mensejajarkan Asalinya dikenal dengan -pengakuan atas ”triple roles”
(Equity) perempuan dalam istilah ”Perempuan dalam perempuan dalam pembangunan
1975-1985, pembangunan pembangunan – pada ranah rumah tangga, ekonomi
sangat -mempromosikan WID/Women in dan komunitas
dipromosikan perempuan sebagai Development” yang -pengakuan bahwa perempuan
pada konferensi peserta aktif dalam dipromosikan pada memiliki hak-hak dasar tapi juga
perempuan I pembangunan permulaan dekade kebutuhan strategis
-menjawab masalah Perempuan PBB dan -penelitian pertanian dan SDA
subordinasi ”Nairobi Forward Looking mulai mengakui peran lipat tiga dan
perempuan dalam Strategies” kebutuhan strategis perempuan
pembangunan dalam pembangunan
-perempuan mulai dilihat sebagai
korban pembangunan
Anti Kemiskinan -untuk meningkatakan Proyek-2 WID berubah -Prioritas utama pada kerentanan
1970an produktifitas fokus pada proyek-2 dan marginalisasi ekonomi
perempuan miskin income generating (IGA) perempuan
-pengentasan skala kecil, proyek-2 -penelitian-2 pertanian dan
kemiskinan melalui kerajinan tangan adalah pembangunan mulai konsentrasi
peningkatan produksi tipikal “proyek perempuan” pada IGA perempuan tapi belum
melihat kepentingan strategis
perempuan
Effisiensi -mengentaskan -Proyek-2 WID berfokus -Perempuan diakui produktif dalam
1980an kemiskinan dengan pada proyek-2 sektoral pertanian dan management SDA.
meningkatkan efisiensi seperti perempuan dan -perempuan dilihat sebagai solusi
dalam penelitian dan kehutanan, perempuan dan terhadap pembangunan; waktu
pembangunan perikanan dsb. mereka dilihat sebagai elastis
-meningkatkan -proyek-2 pembangunan -relasi gender sebagai relasi kuasa
partisipasi perempuan masih berkutat pada belum dikenali
dalam penelitian dan pemenuhan kebutuhan -Pengarusutamaan isu perempuan
pembangunan dasar perempuan dan gender dalam pembangunan
-beberapa proyek mulai untuk efisiensi sumber daya proyek
mengadopsi perspektif
gender ketimbang berbicara
semata tentang perempuan
Pemberdayaan -pemberdayaan Gender dan pembangunan -pengakuan bahwa walaupun fokus
Akhir 1980an perempuan melalui (GAD-gender and pada peran perempuan adalah
hak yang lebih besar development) berfokus penting, namun relasi dengan laki-2
untuk menentukan pada kebutuhan dasar dan dan seluruh sistim politik dan
nasip sendiri strategis dan kerap ekonomi adalah sangat penting
-sub-ordinasi sebagai dipisahkan. -Perempuan sebagai agen
akibat dari penindasan pembangunan dan agenda kolektif
laki-2 tapi juga sistim perempuan adalah penting
yang meninda laki-2 -Perlu dikaji ulang penelitian dan
terlebih perempuan pembangunan
III. Longwe Framework – Kerangka Kerja ”Pemberdayaan”

Kerangka Longwe berfokus langsung pada penciptaan situasi/pengkondisian di mana


masalah kesenjangan, diskriminasi dan subordinasi diselesaikan. Longwe menciptakan
jalan untuk mencapai tingkat pemberdayaan dan kesederajatan (equality) di mana
ditunjukan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar-praktis perempuan tidak pernah sama
dengan, pemberdayaan maupun sederajat (equal). Pengambilan keputusan (kontrol)
merupakan puncak dari pemberdayaan dan kesederajatan (equality). Table 4 memberikan
gambaran jelas mengenai hal ini.

Dalam assessment proyek, kerangka Longwe bisa diturunkan menjadi dua alat:

1. Level kesederajatan (Equality level)


Tujuan utama alat ini adalah untuk menilai apakah sebuah proyek/program intervensi
pembangunan mampu mempromosikan kesederajatan dan pemberdayaan perempuan
atau tidak.

Asumsi dasar dibalik alat ini adalah bahwa titik tercapainya kesederajatan (equality)
antara perempuan dan laki-laki mengindikasikan level pemberdayaan perempuan.
Ada lima level dalam aras kesederajatan dan pemberdayaan yang perlu dicermati:

Bentuk ini, menurut saya, seolah mengikuti alur pikirnya Abraham Maslow tentang
teori hierarki of human needs, dengan meletakan kebutuhan dasar-praktikal pada titik
yang paling bawah dan kebutuhan ”aktualisasi diri” sebagai kebutuhan tertinggi
diterjemahkan sebagai ”kontrol dan decision making”. Tentunya, ilustrasi ini
memiliki kelemahan dan terkesan dipaksakan.

Tabel 6. Level kesederajatan dan pemberdayaan


Equality Pemberdayaan
Perempuan Laki-laki perempuan Laki-laki
Kontrol (decision Making)

Partisipasi

Kesadaran Kritis
(conscienticicao)
Akses

Welfare (kebutuhan dasar-


praktis)

Anak panah di atas menunjukan arah peningkatan menuju pemberdayaan dan


equality.

2. Isu Spesifik Perempuan – dengan tujuan pada pengenalan akan kebutuhan spesifik
perempuan.
Asumsi utamanya adalah bahwa semua isu perempuan berkaitan dengan equality
dalm peran sosial dan ekonomis. Tiga level pengenalan atas isu perempuan di dalam
proyek adalah NEGATIF, NETRAL & POSITIF.

IV. Kerangka Analisis ”Relasi Sosial”

Kerangka “relasi social” ini awalnya dikemukakan oleh Naila Kabeer yang sebelumnya
adalah pengajar pada Institute of Development Studies, Sussex, UK. (Lihat Reversed
Realities: Gender Hierarchies in Development, Verso, 1994).

Tujuan dari kerangka ini adalah untuk:

• Menganalisis ketimpangan gender yang ada di dalam distribusi sumber daya,


tanggung jawab dan kekuasaan.
• Menganalisis relasi antara orang, relasi mereka dengan sumber daya, aktifitas dan
bagaimana posisi mereka melailui lensa kelembagaan.
• Menekankan kesejahteraan manusia (human well-being) sebagai tujuan utama
dalam pembangunan

Kerangka ini didasarkan pad aide bahwa tujuan pembangunan adalah pada kesejahteraan
manusia (human well-being), yang terdiri atas survival, security dan otonomi. Produksi
dilihat bukan hanya relasinya terhadap pasar, tetapi juga reproduksi tenaga kerja,
kegiatan subsistent, dan kepedulian lingkungan hidup.

Kemiskinan dilihat sebagai relasi social yang tidak seimbang, yang dihasilkan oleh
ketidak seimbangan distrubusi sumber daya, klaim, dan tanggun jawab. Relasi gender
adalah salah satu tipe relasi social. Relasi social bukanlah sesuatu yang kaku dan kekal.
Mereka dapat dan berubah melalui faktor-faktor seperti perubahan makro atau agen
manusia. Relasi social termasuk sumber daya yang dimiliki orang. Perempuan miskin
kerap dikeluarkan dari akses dan kempemilikan atas sumber daya dan bergantung pada
hubungan patron dan ketergantungan. Pembangunan dapat menolong si miskin untuk
membangun solidaritas, reciprocity and otomomi dalam akses terhadap sumber daya

Kelembagaaan menjamin produksi, memperkuat dan reproduksi relasi social, dank arena
itu perbedaan social dan kesenjangan. Ketimpangan gender di reproduksi bukan hanay di
level KK, tapi melalui sekelompok kelembaggaan termasuk komunitas internasional,
negara dan pasar. Kelembagaan didefinisikan sebagai kerangka yang nyata atas aturan
main organsasi sebagai bentuk structural khusus

Oleh karena itu analisis gender mengandung pengertian atau pemahaman untuk melihat
pada bagaimana kelembagaan menciptakan dan mereproduksi ketidak seimbangan dan
ketimpangan. Ada empat ranah kelembaggan utama yakni negara, pasar, komunitas dan
keluarga.
Table 7. Ranah Kelembagaan
Ranah Kelembagaan Bentuk organisasi/struktur
Negara Lembaga hukum, administrasi, militer, GAM dsb
Pasar Perusaan, tukang kredit, industri pertanian, multi nasionanl
dsb.,
Komunitas Lembaga nonformal gampong, organisasi desa, PKK,
jaringan informal, relasi patron-client, NGOs, panglima
Laot dsb.
Keluarga-kekerabatan Rumah tangga, garis keturunan, keluarga household,
extended families, lineage groupings

Lima dimensi relasi social kelembagaan yang relevan dengan gender analisis:

• Aturan (Rules), atau bagaimana aturan main yang terjadi; apakah memperkuat
atau menghambat? Aturan tertulis atau tidak (informal)
• Aktifitas (Activities), yakni siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, siapa
berhak mengklaim atas apa. Aktifitas bisa saja yang bersifat produktif, regulative,
dan distributive.
• Sumber daya, yakni yang yang digunakan, apa yang diproduksikan, termasuk
input sdm (tenaga kerja, pendidikan), material (pangan, capital aset, dan
sebagainya), ataupun yang tidak kelihatan seperti kehendak baik, informasi dan
jaringan.
• Orang (People), yakni siapa yang terlibat, siapa yang pergi, siapa melakukan apa?
Kelembagaan relative selektif dalam masukan atau mengeluarkan orang,
menugaskan mereka pada sumber daya dan tanggung jawab, memposisikan
mereka dalam hierarkis dsb.
• Kekuatan (Power), yakni siapa mengontrol, memutuskan dan kepentingan siapa
yang dilayani.

Analisis kelembagaan ini menyingkapkan beta gender dan berbagai jenis


kesenjangan/ketimpangan diproduksi dan direproduksi ulang.

Naila Kabeer mengkalsifikasikan kebijakan pembangunan sebagai berikut:

Gender-blind (Buta gender)

• Tidak membedakan perbedaan perempuan dan laki-laki


• Terjebak ‘built in”
• Cenderung mengeluarkan perempuan

Sadar gender (Gender-aware)


• Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-laki
Tabel 8. Kebijakan sensitive gender ada tiga jenis:
gender-neutral • dalam terang perbedaan gender, targeting layanan kebutuhan praktis
perempuan dan laki-laki
• Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumber
daya dan tanggung jawab berbasi gender
gender-specific • dalam terang perbedaan gender, merespon kebutuhan praktis perempuan
dan laki-laki secara spesifik
• Bekerja dalam kondisi yang ada untuk pembagian kerja atas sumber
daya dan tanggung jawab berbasis gender
gender redistributive • Dimaksudkan untuk transformasi relasi gender yang ada untuk
menciptakan keseimbagan relasi.
• Menargetkan secara spesifik perempuan dan laki-laki
• Bekerja untuk kebutuhan praktis gender secara transformative
• Bekerja untuk kebutuhan strategis gender

Kerangka analisisi relasi social menekankan pada akar masalah ketimpangan gender
dengan memetakan secara jelas apa sebab langsung (immediate), faktor kontributif
(underlying) dan yang bersifat structural.
Lihat table 7.
Table 7.
Analisis Akar Masalah Gender – Pada Berbagai Aras

Dampak jangka panjang


Dampak jangka menengah
(Intermediate)/underlying causes
Dampak Langsung (Immediate)
Masalah Utama
Dampak Langsung di level:
• Rumah tangga
• Komunitas
• Pasar
• Negara
Dampak jangka menengah
(Intermediate)/underlying causes
• Rumah tangga
• Komunitas
• Pasar
• Negara
• Rumah tangga
• Komunitas
• Pasar
• Negara
Kekuatan:

• Melihat kemiskinan bukan semata sebagai deprivasi material tetapi pada


marginalisasi social
• Mengkonsepkan gender sebagai pusat dari pembangunan dan bukan terpisah
• Menghubungkan analisis makro dan mikro.
• Membuat interaksi antara berbagai bentuk kesenjangan berbasis kelas, gender dan
ras
• Memusatkan analisis pada kelembangaan dan memberikan inspirasi pada aspek
politik kelembagaan.
• Dinamis karena berupaya membongkar proses-proses pemiskinan dan
pemberdayaan
• Bisa digunakan pada proyek level ataupun perencanaan kebijakan pada berbagai
level.

Kelemahan

• Karena lebih kompleks, analisis gender jadi bisa tenggelam dalam konteks yang lebih
luas.
V. Selected Referensi
WHO (2002) Gender Gender analysis in health: A Review of Selected Tools.

March, Smuth and Mukhopahyay (1999) A Guide to Gender Analysis Frameworks,


Oxford: Oxfam. 2.

March C. (1996) A Tool Kit: Concepts and Frameworks for Gender Analysis and
Planning. Oxford, oxfam uk/Ireland, 1996.

Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website
http://www.undp.org/gender

Kabeer, N. (1994) Reversed Realities: Gender Hierarchies in Development 1994

Sumber-sumber di Internet:

Eldis

http://www.eldis.org/gender

Bridge
http://www.ids.ac.uk/bridge/index.html

Genie
http://www.genie.ids.ac.uk/

Siyanda
http://www.siyanda.org/

UNDP
http://www.undp.org/gender

ILO
http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/socrelfw.htm

DFID GEM
http://www.genie.ids.ac.uk/gem
Silakan dibaca:
Pesan pribadi
dari Lilaroja, penulis di Wikipedia

Baca Sekarang

Gender (sosial)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Gender, lihat Gender (disambiguasi).

Gender (cara pengucapan: [gènder]) dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri
khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran
sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai
"seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan
perempuan, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat."[1]

Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang
bersifat biologis, walaupun dalam pembicaraan sehari-hari seks dan gender dapat saling
dipertukarkan. Ilmu bahasa (linguistik) juga menggunakan istilah gender (alternatif lain
adalah genus) bagi pengelompokan kata benda (nomina) dalam sejumlah bahasa. Banyak
bahasa, yang terkenal dari rumpun bahasa Indo-Eropa (contohnya bahasa Spanyol) dan
Afroasiatik (seperti bahasa Arab), mengenal kata benda "maskulin" dan "feminin"
(beberapa juga mengenal kata benda "netral").

Dalam isu LGBT, gender dikaitkan dengan orientasi seksual. Seseorang yang merasa
identitas gendernya tidak sejalan dengan jenis kelaminnya dapat menyebut dirinya
"intergender", seperti dalam kasus waria.

Dalam konsep gender, yang dikenal adalah peran gender individu di masyarakat,
sehingga orang mengenal maskulinitas dan femininitas. Sebagai ilustrasi, sesuatu yang
dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminin dalam budaya
lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminin itu tergantung dari konteks sosial-
budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
[sunting] Rujukan
1. ^ What do we mean by "sex" and "gender"?. World Health Organization. Diakses pada
29 September 2009.

[sunting] Pranala luar


• Children's Gender Beliefs
• Gendercide Watch: a project of the Gender Issues Education Foundation (GIEF),
a registered charitable foundation based in Edmonton, Alberta
• WikEd—Gender Differences
• WikEd—Gender Inequities in the Classroom

Artikel bertopik sosiologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu
Wikipedia dengan mengembangkannya.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial)"
Kategori: Sosiologi
Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik sosiologi

Peralatan pribadi

• Masuk log / buat akun

Ruang nama

• Halaman
• Pembicaraan

Varian

Tampilan

• Baca
• Sunting
• Versi terdahulu

Tindakan

• ↑

Cari
Navigasi

• Halaman Utama
• Perubahan terbaru
• Peristiwa terkini
• Halaman sembarang

Komunitas

• Warung Kopi
• Portal komunitas
• Bantuan

Wikipedia

• Tentang Wikipedia
• Pancapilar
• Kebijakan
• Menyumbang

Cetak/ekspor

• Buat buku
• Unduh sebagai PDF
• Versi cetak

Kotak peralatan

• Pranala balik
• Perubahan terkait
• Halaman istimewa
• Pranala permanen
• Kutip halaman ini

Bahasa lain

• ‫العربية‬
• Azərbaycanca
• Català
• Česky
• Deutsch
• English
• Esperanto
• Español
• ‫فارسی‬
• Suomi
• Français
• 贛語
• ‫עברית‬
• Ido
• Íslenska
• Italiano
• 日本語
• 한국어
• Македонски
• Bahasa Melayu
• नेपाल भाषा
• Norsk (nynorsk)
• Norsk (bokmål)
• Polski
• Português
• Русский
• Srpskohrvatski / Српскохрватски
• Simple English
• Slovenčina
• Svenska
• தமிழ்
• ไทย
• Tagalog
• Türkçe
• Українська
• Winaray
• ‫יִידיש‬
• 中文

• Halaman ini terakhir diubah pada 19:23, 12 Juni 2010.


• Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons;
ketentuan tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih
jelasnya.

• Kebijakan privasi
• Tentang Wikipedia
• Penyangkalan

You might also like