Professional Documents
Culture Documents
Secara etimologis filsafat berasal dari kata philein artinya mencintai dan sophos artinya
kebajikan. Dari pengertian tersebut filsafat berarti usaha untuk mencintai kebajikan atau
kebijaksanaan. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang
merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai
suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara
mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Beberapa ajaran filsafat yang telah mengisi dan tersimpan dalam khasanah ilmu adalah:
1. Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta
badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki
dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis.
2. Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani
atau intelegesi. Variasi aliran ini adalah idealisme subjektif dan idealisme objektif.
3. Realisme. Aliran ini berpendapat bahwa dunia batin/rohani dan dunia materi murupakan
hakitat yang asli dan abadi.
4. Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut)
tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia.
2. FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam hal
memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan. Manfaat filsafat dalam kehidupan adalah sebagai dasar
dalam bertindak, sebagai dasar dalam mengambil keputusan, untuk mengurangi salah faham dan
konflik serta untuk bersip siaga untuk menghadapi situasi dunia yang selalu berubah.
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
potensi fisik, potensi cipta, rasa maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusian universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, harmonis, organis,
dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang
digunakan dalan studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu
yang menyelidiki hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan tujuan, latar
belakang, cara dan hasilnya, serta hakikat ilmu pendidikan, yang berhubungan dengan analisis
kritis terhadap struktur dan kegunaan pendidikan itu. Filsafat pendidikan nasional Indonesia
adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan
yang terdiri atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup bangsa ”Pancasila” yang diabadikan
demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan
negara Indonesia.
filsafat dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (1) filsafat umum atau filsafat murni, dan (2)
filsafat khusus atau filsafat terapan.
Filsafat umum mempunyai obyek antara lain: (a) Hakikat kenyataan segala sesuatu
(Metafisika) yang termasuk di dalamnya, hakikat kenyataan secara keseluruhan (Ontology),
kenyataan tentang alam atau kosmos (Kosmology), kenyataan tentang manusia (Humanology)
dan kenyataan tentang Tuhan (Teologi), (b) Hakikat mengetahui kenyataan, (c) Hakikat
menyusun kesimpulan pengetahun tentang kenyataan (Logika), (d) Hakikat menilai kenyataan
(Aksiologi), antara lain tentang hakikat nilai yang berhubungan dengan baik atau jahat (Etika)
serta nilai yang berhubungan dengan indah dan buruk (Estetika).
Filsafat khusus mempunyai obyek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang
terpenting. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi dalam pendidikan. Ditinjau dari subtansinya
atau isinya, ilmu pendidikan merupakan suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan yang
diperoleh melalui riset dan disajikan dalam bentuk konsep-konsep pendidikan. Dalam arti sempit
pendidikan adalah pengaruh yang diupayakan dan rekayasa sekolah terhadap anak didik yang
diserahkan kepadanya agar mereka mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran
penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial mereka atau pendidikan
memperhatikan keterbatasan dalam waktu, tempat, bentuk kegiatan dan tujuan dalam proses
berlangsungnya pendidikan. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah
pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi
masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak dibatasi
pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh
sains pendidikan. Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan,
perlu mengetahui filsafat pendidikan. Seorang guru perlu memahami dan tidak boleh buta
terhadap filsafat pendidikan, karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan
tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan .
Tujuan pendidikan perlu dipahami dalam hubungannya dengan tujuan hidup. Guru sebagai
pribadi mempunyai tujuan hidupnya dan guru sebagai warga masyarakat mempunyai tujuan
hidup bersama. Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para pendidik
(guru). Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar
(PBM). Selain itu pemahaman filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan
meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Filsafat ilmu pendidikan dibedakan dalam empat macam,yaitu: (1) Ontology: ilmu pendidikan
yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi ilmu pendidikan, (2) Epistomologi:
ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat objek formal dan material ilmu pendidikan, (3)
Metedologi ilmu pendidikan ,yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun
ilmu pendidikan, dan (4) Aksiologi: ilmu pendidikan yang membahas tentang hakikat nilai
kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima.
Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan
juga produk.
1. Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di
dalamnya aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas
identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan kriteria-kriteria yang memandu perilaku.
(b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c)
spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada
sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama
atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya
terpisah menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam
perkembangan intelektual.
2. Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
3
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
5
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
6
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
7
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Agama Kristen
Peranan filsafat pendidikan ditinjau dari tiga lapangan filsafat, yaitu:
Kosmologi. Metafisika merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat: hakekat
dunia, hakekat manusia, termasuk di dalamnya hakekat anak. Kosmologi secara praktis akan
menjadi persoalan utama dalam pendidikan. Karena anak bergaul dengan dunia sekitarnya, maka
ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang ada. Memahami
filsafat ini diperlukan secara implisit untuk mengetahui tujuan pendidikan.
Seorang guru seharusnya tidak hanya tahu tentang hakekat dunia di mana ia tinggal, tetapi harus
tahu hakekat manusia, khususnya hakekat anak. Hakekat manusia: manusia adalah makhluk
jasmani rohani, manusia adalah makhluk individual sosial, manusia adalah makhluk yang bebas,
manusia adalah makhluk menyejarah.
Peran filsafat pendidikan bagi guru, dengan filsafat metafisika guru mengetahui hakekat
manusia, khususnya anak sehingga tahu bagaimana cara memperlakukannya dan berguna untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Dengan filsafat epistemologi guru mengetahui apa yang harus
diberikan kepada siswa, bagaimana cara memperoleh pengetahuan, dan bagaimana cara
menyampaikan pengetahuan tersebut. Dengan filsafat aksiologi guru memahami yang harus
diperoleh siswa tidak hanya kuantitas pendidikan tetapi juga kualitas kehidupan karena
pengetahuan tersebut.
Antropologi. Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik
sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula di mana terjadi pemberian bantuan kepada
pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang
diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka
tiga dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas,
melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional
didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional
disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu
pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada
kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Teologi. Yang menentukan filsafat pendidikan seorang guru adalah seperangkat keyakinan yang
dimiliki dan berhubungan kuat dengan perilaku guru, yaitu: keyakinan mengenai pengajaran dan
pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang perlu diketahui.
Hal tersebut akan mewarnai sikap perilakunya dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain
itu, pemahaman teologi akan menjauhkan guru PAK dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba
tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan. Maka di sini teologi sebagai
penerang kuat, bagaimana seharusnya seorang guru PAK bersikap, baik terhadap dirinya maupun
terhadap siswa/murid. Sehingga siswa/murid dibawa ke dalam pola hidup yang benar sesuai
dengan kebenaran yang teologi (Alkitab) ajarkan.
Epistemologi. Kumpulan pertanyaan berikut yang berhubungan dengan para guru adalah
epistemologi. Pengetahuan apa yang benar? Bagaimana mengetahui itu berlangsung? Bagaimana
kita mengetahui bahwa kita mengetahui? Bagaimana kita memutuskan antara dua pandangan
pengetahuan yang berlawanan? Apakah kebenaran itu konstan, ataukah kebenaran itu berubah
dari situasi satu kesituasi lainnya? Dan akhirnya pengetahuan apakah yang paling berharga?
Bagaimana menjawab pertanyaan epistemologis tersebut, itu akan memiliki implikasi signifikan
untuk pendekatan kurikulum dan pengajaran. Pertama guru harus menentukan apa yang benar
mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru harus menentukan alat yang paling tepat untuk
membawa muatan ini bagi siswa. Meskipun ada banyak cara mengetahui, setidaknya ada lima
cara mengetahui sesuai dengan minat/kepentingan masing-masing guru, yaitu mengetahui
8
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
berdasarkan otoritas, wahyu Tuhan, empirisme, nalar, dan intuisi. Guru tidak hanya mengetahui
bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar. Dengan
demikian epistemologi memberikan sumbangan bagi teori pendidikan dalam menentukan
kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan bagaimana cara untuk
memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga bagaimana cara menyampaikan pengetahuan
tersebut.
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data
di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telah atas objek formil ilmu
pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan
studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya
melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme.
Karena itu penelaahan dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai
pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman
dan pengertian melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang
fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penelitian
dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian
etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan
bahawa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan
sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun
tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental. Dengan demikian
uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus
secara praktis dan atau pragmatis.
Ontologis. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek
realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya,
manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam
situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat
sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau
kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan
dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi
sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual
dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima
terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak
(conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan
yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri
secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlepas dari
factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh
demikian maka akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta
didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secara
kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan
pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas
manusianya belum tentu utuh.
e. Pemahaman dan Korelasional yang Harus Dimiliki Seorang Guru PAK tentang Etika dan
Estetika
9
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Etika dan estetika merupakan bagian dalam filsafat Aksiologi. Aksiologi adalah cabang filsafat
yang membahas nilai baik dan nilai buruk, indah dan tidak indah, erat kaitannya dengan
pendidikan, karena dunia nilai akan selalu dipertimbangkan atau akan menjadi dasar
pertimbangan dalam menentukan tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan
menentukan perbuatan pendidikan. Nilai merupakan hubungan sosial. Pertanyaan-pertanyaan
aksiologis yang harus dijawab guru adalah: Nilai-nilai apa yang dikenalkan guru kepada siswa
untuk diadopsi? Nilai-nilai apa yang mengangkat manusia pada ekspresi kemanusiaan yang
tertinggi? Nilai-nilai apa yang bener-benar dipegang orang yang benar-benar terdidik? Pada
intinya aksiologi menyoroti fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak hanya pada kuantitas
pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan
karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat memberi keuntungan pada individu jika
ia tidak mampu menggunakan pengetahuan untuk kebaikan.
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga
diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat
intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh
yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu
pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk
memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai. Itu sebabnya pendidikan
memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui
bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu
sosial dan ilmu perilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu
sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi
satu-sayunyaa metode ilmiah.
Bila kita benar-benar reformed, kita harus berkata bahwa kehendak Allah harus menjadi penentu
sikap kita terhadap sekolah Kristen, dan bahwa kehendakNya dinyatakan kepada kita dalam
wahyu umum-Nya, tetapi lebih lagi dalam wahyu khusus-Nya.
Pendidikan dan Orang tua. Orang tua adalah yang paling bertanggung jawab untuk mendidik
anak-anaknya. Alkitab jelas menyatakan agar orang tua mendidik anak-anak di dalam ajaran
dan nasihat Tuhan (Ef. 6:4).
Karakter religius dari Pendidikan. Firman Tuhan juga menunjukkan secara eksplisit bahwa
pendidikan yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya pada dasarnya harus
bersifat religius (bnd. Kej. 18:19, Ams. 22:6).
Natur sejati dari Anak dan Pendidikan. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah,
dengan demikian, orang tua Kristen mempunyai alasan untuk menganggap anak-anaknya
sebagai pembawa gambar Allah.
Kesatuan Pendidikan. Kita selalu diingatkan akan fakta bahwa manusia yang seutuhnyalah
yang dapat berpikir, berpersepsi, berkeinginan dan memiliki kehendak. Dengan demikian
pendidikan anak seharusnya dianggap sebagai satu kesatuan proses. Orang Kristen
Reformed, yang percaya bahwa anak adalah pembawa gambar Allah, secara alami akan
menganggap bahwa semua kebenaran paling mendasar tidak boleh diabaikan dalam semua
bagian pendidikannya, terutama dalam pendidikan di sekolah.
Pendidikan adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan setiap manusia. Gagalnya
pendidikan juga merupakan kegagalan kehidupan dan masa depan. Profesor Louis Berkhof dan
10
Ekstensi SETIA-Seriti Filsafat PAK Ev. Darwin T. Zega, S.Th.
Profesor Cornelius Van Til, mencoba menyadarkan kita bahwa pendidikan Kristen bersifat
antitesis terhadap pendidikan sekuler. Bukan hanya secara konseptual pendidikan ini bertolak
belakang atau bersifat antitesis, tetapi itu berdampak sampai pada aplikasi pendidikan.
Jika pendidikan Kristen berbasiskan kebenaran Firman Tuhan, maka pendidikan sekuler
dibangun di atas pendekatan ateistik. Akibatnya, terjadi perbedaan konsep yang mutlak berbeda.
Antitesis pendidikan sekuler dan Pendidikan Kristen, yakni perbedaan asas/dasar, tujuan, arah
serta standard pendidikan.
Dasar pendidikan dunia/sekuler adalah kekayaan atau materi, intelektual dan kebahagiaan
dunia. Akibatnya menjadi materialistis atau orientasi duniawi. Pendidikan dunia sekuler sering
kali berorientasi pada uang (profit oriented). Sedangkan dasar pendidikan Kristen adalah Allah
sendiri. Dasar pendidikan Kristen adalah menggenapkan rencana Allah dalam kehidupan.
Akibatnya menjadi berpusat pada Allah serta memiliki ketaatan spiritual.
Tujuan pendidikan non-Kristen lebih mengarah ke perdagangan, materialistik dan
bersifat kompetitif, akibatnya sering manipulatif dan sekuler. Sedangkan pendidikan Kristen
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi dan talenta yang Tuhan beri. Orientasinya kepada
pribadi dan didasari oleh cinta kasih.
Pendidikan non-Kristen mengarahkan anak untuk memenuhi tuntutan materi dan industri,
sebagai akibatnya kelak menjadi budak dunia kerja atau budak industri. Orang-orang hanya
memikirkan pekerjaan yang menghasilkan materi tanpa menyadari bahwa sebenarnya dia sudah
diperalat atau diperbudak oleh pekerjaannya. Pendidikan Kristen mengarahkan anak untuk
mengerti panggilan Tuhan atas dirinya, akibatnya menjadi manusia yang taat pada pimpinan
Tuhan. Pekerjaan merupakan panggilan Tuhan dalam dirinya, sehingga melalui pekerjaannya
dapat menjalankan mandat budaya.
Standard pendidikan non-Kristen lebih melihat kepentingan dan tuntutan zaman, lokal
dan kondisi tertentu, akibatnya anak kehilangan kebenaran dan acuan moral yang mutlak.
Sedangkan standard pendidikan Kristen adalah agar anak hidup sesuai dengan karakter Allah
sehingga bisa menjalankan kehendakNya. Sebagai akibatnya, anak akan berjuang mengerti
kebenaran dan taat pada kekudusan Allah, serta melakukan sesuatu yang memuliakan Allah.
11