Professional Documents
Culture Documents
Assalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatuh
Jawaban
Nikah jarak jauh yang Anda impikan itu mungkin saja terjadi,
malahan sudah terjadi, bahkan seringkali terjadi. Di mana
mempelai laki-laki dan wali pihak perempuan dipisahkan jarak yang
sangat jauh, sementara akad nikah tetap bisa berlangsung dengan
sah sesuai dengan syariat Islam dan juga hukum positif negara.
Benarkah?
Bagaimana caranya?
Yang penting, si wakil wali ini bisa menghadiri acara akad nikah,
karena ladafz ijab akan diucapkannya di depan calon mempelai laki-
laki.
Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil
dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus
keluasan syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang
mengangkat diri menjadi wakil tanpa ada pemberian wewenang dari
yang punya hak yaitu wali atau mempelai laki-laki secara sah, maka
orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad nikah. Kalau pun
nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.
pada saat proses ijab kabul. Pada perkawinan teleconference ini dimungkinkan
salah satu pihak atau
wali dari pihak perempuan tidak berada di tempat pada saat proses ijab kabul.
Perkawinan
teleconference ini pernah terjadi di beberapa daerah di tanah air, salah satunya
terjadi di Bandung Jawa
fakta-fakta berupa data sekunder seperti bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena telah memenuhi rukun dan
syarat perkawinan.
informasi, antara lain adalah adanya pendapat dari sebagian kalangan Islam
yang menyatakan bahwa
perkawinan melalui teleconference ini tidak sah, karena wali nikah mempelai
perempuan tidak secara
nyata hadir pada saat ijab kabul dilaksanakan, adanya gangguan teknis yang
mungkin timbul pada saat
I. LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan
memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery) dibidang
kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-
teknologi baru dibidang konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting
penemuan dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet,
telepon, teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT
(Handy Talky), Faximile dan lain sebagainya. Wartel (warung telephone),
warnet (warung internet) dan teleconference tumbuh berkembang
bagaikan jamur dimusim semi. Sehingga tidak heran jika media
komunikasi semacam ini kini mulai sangat akrab dan kental dengan
aktivitas kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas
pergaulan (persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian,
hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menggunakan
untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan, pernikahan via media komunikasi memang
dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin yang berjauhan.
Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu calon mempelai berada
di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya transportasi. Disela-
sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan baru yang
menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference.
Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan
pesannya kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan
suara (audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala
bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen)
dapat berkomunikasi dengan model apapun yang diinginkan seperti
berhadapan langsung, sekaligus menyimpan data-data yang dianggap
penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan telepon di Indonesia masih mengalami
perdebatan terkait penggunaanya dalam penyelenggaraan transaski
perjanjian, baik yang berupa perdagangan maupun proses pernikahan .
Selain itu alat komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup
kuat untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum.
Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum tentang
transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua
belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri terjadi perbedaan antara
Imam Syafi'i dan para pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih
transaksi melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak
sah, karena surat saja tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena
surat adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min al-
hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat ini juga
didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara pendapat Jumhur
Ulama’ bahwa nikah adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang
kukuh dan kuat) bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah. Oleh karena itu pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh
kedua belah pihak mempelai, wali nikah dan dua orang saksi, sehingga
tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan mengingkari pelaksanaan
pernikahan tersebut.
KESIMPULAN
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami bahwa
akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan
merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur
Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan
dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis).
Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya
para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah memahamkan satu
majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para
pihak. Selian itu antara ijab qabul harus konytiyu dan tidak ada
penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam
majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul)
melalui surat diperbolehkan.
Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat
dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-
benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul.
Pernikahan tidak sah apa bila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa
dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat
menimbulkan keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan
Ibnu Hajar dari Ulama Syafi'iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini
bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat
memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat
dibenarkan dan pernikahannya sah. Kemudain apa bila ditarik kepada
pokok masalah hukum melakukan pernikahan via telekomference, maka
kami dapat menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia
tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majlis sebagaimana yang
dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan Telekonference belum
dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang di
Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab keberadaan
saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan
suatu peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan. Alat
elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai
alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan apa bila merujuk pada
pendapat Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi, juga tidak
dapat ditarik kesimpulan akad melalui media elektronik dapat dibenarkan,
sebab Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka
mensyaratkan adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu majlis
secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir, maka
ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui sepucuk surat
bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini berpedoman
kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian
ulama Syafi'iyyah yang memperbolehkan ijab atau qabul memamakai
surat. Kedua, dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang
bermaterai dapat dijadikan alat bukti yang autentik.
A. Latar Belakang
1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-
aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber
dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan
perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi
pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang
bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur
hal-hal tersebut.
Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal
pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media
Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap
dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang memeriksa perkara
Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah
tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan
gambar/citra secara realtimemelalui jaringan internet. Hal ini seperti yang dipraktekkan
oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4
Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria sedang berada
di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai wanita berada di
Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat
Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif
melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya adalah,
kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan
Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para pakar
hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktek akad nikah jarak jauh dengan
menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman
sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya
menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti pelaku akad apabila pihak
pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria) berhalangan untuk melakukannya.
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah hukum
pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang
dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai
Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan putusan yang diambil
sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan memberikan penekanan bahwa
keduanya boleh dipakai selama belum ada undang-undang yang secara jelas mengatur
mengenai hal ini. Untuk itulah, di sini penulis berusaha mengedepankan permasalahan
ini, menjelaskan bagaimana metode ijtihad yang dipakai oleh Satria Effendi M. Zein
dalam mengkritisi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989, dasar-
dasar yang menjadi alasannya menentukan hukum yang sesuai, cara pandang ia melihat
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian
2. Apa dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
3. Bagaimana metode ijtihad dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
NU Anggap Nikah Lewat Teleconference Tak
Sah
Kamis, 4 Juni 2009 0:33Berita | 1 komentar
Surabaya (Ansor Online) : Pimpinan Wilayah Nahdhlatul Ulama [PWNU]
Jawa Timur menggelar bahtsul masail (diskusi keagamaan) pada
Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) I. Salah satu materi
pembahasan adalah memberikan status hukum pernikahan lewat
“cyber media” (teleconference) dinilai belum memenuhi unsur syariat
Islam.
Alasannya pernikahan itu mengharuskan wali perempuan, saksi, dan
pengantin laki-laki berada tidak dalam satu majelis atau bertatap muka
dan melihat mimik bibir penghulu serta pengantin saat “ijab qobul.”
“Bagi mempelai perempuan itu boleh tidak dalam satu ruang, sebab
sebelum ijab qobul selesai memang kedua pengantin tidak boleh
bersentuhan. Namun pernikahan melalui cyber media itu harus
diulang, karena tidak sah.” Demikian dikatakan Katib (sekretaris)
Syuriah PWNU Jatim KH drs Syarifudin Syarif setelah bahtsul masail
PWNU Jatim di Balai Diklat Depag Jatim di Surabaya, Rabu (03/06/09).
Menurut dia, pernikahan lewat “cyber media” itu tidak sah, karena
pernikahan itu mengharuskan wali perempuan, saksi, dan pengantin
laki-laki berada tidak dalam satu majelis atau bertatap muka dan
melihat mimik bibir penghulu serta pengantin saat “ijab qobul.”
Ia menegaskan bahwa pernikahan merupakan hal yang sakral dan
pernikahan yang sesuai dengan syariat agama akan melahirkan
manusia yang berbudi luhur dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa
serta agama.
Di Indonesia, pernikahan melalui “cyber media” pernah terjadi lewat
saluran telpon dalam tempat berbeda yang dilakukan pengantin
perempuan di Indoneia dan pengantin laki-laki di Amerika.
“Saat itu, Menteri Agama dijabat H Munawir Sjadzali dan Kantor Urusan
Agama (KUA) serta pengadilan agama menyatakan pernikahan itu
tidak sah, sehingga harus dilakukan pernikahan ulang,” katanya.
Pernikahan semacam itu juga pernah terjadi pada 22 Februari 2009
antara Wafa Suhaimi (24) dengan Ahmad Jamil Rojab (26) dengan
mempelai perempuan tinggal di Jeddah Saudi Arabia serta pengantin
laki-laki sedang kuliah di Universitas Merry Mont Virginia AS. “Karena
kesulitan mengurus visa dan ketatnya jadwal kuliah, maka mereka
memanfaatkan cyber media untuk mendukung rangkaian ijab-qobul,”
katanya.
Saat pernikahan, keduanya dinyatakan sah oleh Syaikh Adil Al-Damari
(anggota Majmak Al-Figh al- Aslami) Saudi Arabia, karena itu PWNU
Jatim akhirnya mendiskusikan hal itu.
Bahtsul masail diikuti sepuluh kiai, di antaranya KH Anwar Manshur, KH
Yasin Asmuni, KH Hasyim Abbas, KH Abdullah Syamsul Arifin, Syafrudin
Syarif, KH Imam Syuhada, KH Asyhar Ahofwan, KH Azizi Chasbulloh, KH
Muhibbul Amal, dan KH Romadlon Khotib.
Selain melakukan diskusi keagamaan, Muskerwil I PWNU Jatim pada 2-
3 Juni itu juga membahas pemberdayaan organisasi NU,
pengembangan pendidikan, teknologi informasi, pemberdayaan
ekonomi umat, pelayanan sosial, kesehatan dan tenaga kerja,
pengembangan dakwah pemikiran keagamaan, mobilisasi dana, dan
pengelolaannya. [eko]
MASALAH sah dan tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media teleconference
sebenarnya sudah lama menjadi pembicaraan serius. Ada yang menyatakan boleh
dan ada pula yang menyatakan tidak sah. Dalam studi banding tentang penerapan
hukum syariah ke Mesir yang dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam Drs H
Ahmad Jauhari, bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al Ifta) telah memfatwakan
masalah ternikahan menggunakan jarak jauh tersebut. Menurut Lembaga Fatwa
Mesir, pernikahan melalui media teleconference atau nikah jarak jauh menggunakan
teknologi informasi itu tidak sah. Karena tidak memenuhi persyaratan majelis akad
nikah yaitu satu majelis.
Sementara dalam kaitan otoritas penetapan produk halal menjadi perhatian utama
Pemerintah Mesir. Hal itu menjadi domainnya menteri perindustrian. Suatu produk
dapat dinyatakan halal setelah mendapat lisensi dan bersertifikat halal dari
Pemerintah. Mufti Mesir bekerja ekstra keras untuk menjawab persoalan-persoalan
mutakhir yang muncul dan berkembang. Seperti halnya apakah bunga bank itu
halal? Lembaga fatwa memberikan argumen bahwa penggunaan bank dalam
berbagai aktifitas kemasyarakatan tidak dapat dihindari. Sehingga penggunaan bank
menjadi sangat penting. Sehingga lembaga fatwa Mesir berpendapat penggunaan
bank dengan segala fariannya adalah halal.
Suatu produk yang telah disertifikasi halal oleh pemerintah diadakan pemeriksaan
dan pengawasan oleh pemerintah bersama mufti sebanyak tiga kali dalam setahun.
Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya perubahan dalam proses produksi
sehingga status halal yang sudah ditetapkan tetap terjaga.
• Opini
• Pelita
Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media "Teleconference
MASALAH sah dan tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media
teleconference sebenarnya sudah lama menjadi pembicaraan serius.
Ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang menyatakan tidak sah.
Dalam studi banding tentang peflfraRan hukum syariah ke Mesir yang
dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam Drs H Ahmad Jauhari,
bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al IJta) telah memfatwakan
masalah ternikahan menggunakan jarak jauh tersebut. Menurut
Lembaga Fatwa Mesir, pernikahan melalui media "teleconference" atau
nikah jarak jauh menggunakan teknologi informasi itu tidak sah.
Karena tidak memenuhi persyaratan majelis akad nikah yaitu satu
majelis.
I. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan
memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery)
dibidang kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula
ditemukan teknologi-teknologi baru dibidang konstruksi,
transportasi dan yang tak kalah penting penemuan dibidang
komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet, telepon,
teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT
(Handy Talky), Faximile dan lain sebagainya.
Wartel (warung telephone), warnet (warung internet) dan
teleconference tumbuh berkembang bagaikan jamur dimusim
semi. Sehingga tidak heran jika media komunikasi semacam ini
kini mulai sangat akrab dan kental dengan aktivitas kehidupan
masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas pergaulan
(persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian,
hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang
menggunakan untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan, pernikahan via media komunikasi
memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin
yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah
satu calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat
menghemat biaya transportasi.
Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah
penemuan baru yang menggabungan antara televisi dan telepon
yang disebut Teleconference. Dengan media ini komunikan
(orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya kepada
recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara
(audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala
bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer
(konsumen) dapat berkomunikasi dengan model apapun yang
diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan
data-data yang dianggap penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan telepon di Indonesia masih
mengalami perdebatan terkait penggunaanya dalam
penyelenggaraan transaski perjanjian, baik yang berupa
perdagangan maupun proses pernikahan . Selain itu alat
komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup kuat
untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum.
Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum
tentang transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa
kehadiran kedua belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri
terjadi perbedaan antara Imam Syafi'i dan para pengikutnya.
Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui sepucuk surat
tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja
tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mengatakan
bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat
adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min
al-hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat
ini juga didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara
pendapat Jumhur Ulama’ bahwa nikah adalah sebuah mitsaq
ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat) bertujuan
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh
karena itu pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua
belah pihak mempelai, wali nikah dan dua orang saksi, sehingga
tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan mengingkari
pelaksanaan pernikahan tersebut.
III. Kesimpulan
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami
bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat
sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan.
Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah
terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan
dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi
perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan
berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah
memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara
kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab
qabul harus konytiyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa
memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak,
sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui
surat diperbolehkan.
Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan
syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya
saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para
pihak melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah apa bila saksi
hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab
kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan
keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu
Hajar dari Ulama Syafi'iyyah berpendapat, jika para saksi
meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia
dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka
kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.
Kemudain apa bila ditarik kepada pokok masalah hukum
melakukan pernikahan via telekomference, maka kami dapat
menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara
Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majlis
sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan
Telekonference belum dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang
sah menurut Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan
persengketaan hukum. Sebab keberadaan saksi mengandung
hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan suatu
peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan.
Alat elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa
dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan
apa bila merujuk pada pendapat Malikiyyah yang tidak
mensyaratkan adanya saksi, juga tidak dapat ditarik kesimpulan
akad melalui media elektronik dapat dibenarkan, sebab
Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka
mensyaratkan adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu
majlis secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir,
maka ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui
sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi.
Hal ini berpedoman kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama
Hanafiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah yang
memperbolehkan ijab atau qabul memamakai surat. Kedua,
dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai
dapat dijadikan alat bukti yang autentik.
DI MAKASSAR
DRAFT
Deskripsi Masalah
Isbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas
menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan
hadis, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk
kategori mujtahid. Isbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai
penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan,
menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama
dalam kutub mu’tamadah di lingkungan mazhab Imam Syafi’i.
Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama
NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua mazhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
Pertanyaan :
Jawaban :