You are on page 1of 47

Adakah Nikah Jarak Jauh?” ketegori Muslim.

Assalamualaikum
Warahmatullah Wabarakatuh

Adakah dalam aturan Islam nikah jarak jauh? Dalam artian


mempelai pria terpisahkan jarak dengan wali mempelai perempuan.
Jadi proses ijab qabul dilakukan melalui alat komunikasi, misalnya
telepon atauteleconference. Mohon penjelasan juga mengenai
syarat dan rukun nikah. Jazakumullohu khoir.

wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Indra Dwi Ristanto

Jawaban

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,

Nikah jarak jauh yang Anda impikan itu mungkin saja terjadi,
malahan sudah terjadi, bahkan seringkali terjadi. Di mana
mempelai laki-laki dan wali pihak perempuan dipisahkan jarak yang
sangat jauh, sementara akad nikah tetap bisa berlangsung dengan
sah sesuai dengan syariat Islam dan juga hukum positif negara.

Benarkah?

Ya, benar sekali. Bahkan tidak membutuhkan alat-alat komunukasi


canggih paling modern seperti yang kita kenal di masa sekarang ini.
Semua tetap bisa dilakukan di zaman yang belum ada listrik,
telepon dan mesin kendaraan. Syariat Islam telah memberi sebuah
ruang yang memungkinkan semua itu terjadi, bahkan di masa yang
paling primitif sekalipun.

Bagaimana caranya?

Caranya dengan taukil…


Taukil adalah perwakilan wali. Di mana seorang ayah dari wanita
memberikan wewenang kepada seorang laki-laki lain, tidak harus
familinya, yang penting muslim dan dipercaya oleh si ayah, untuk
melaksanakan akad nikah puterinya dengan calon suaminya.

Yang penting, si wakil wali ini bisa menghadiri acara akad nikah,
karena ladafz ijab akan diucapkannya di depan calon mempelai laki-
laki.

Yang lebih menarik lagi, ternyata yang boleh mewakilkan posisinya


kepada orang lain bukan hanya ayah kandung pihak wanita, tetapi
mempelai laki-laki pun masih dibenarkan untuk memberikan
perwakilan dirinya kepada orang lain lagi. Sehingga sebuah ijab
qibul bisa tetap bisa dilakukan tanpa kehadiran wali dan mempelai
laki-laki. Cukup wakil sah dari masing-masing pihak saja yang
melakukan akad nikah. Bahkan pihak pengantin wanita pun juga
tidak perlu wajib hadir dalam akad itu.

Bukankah ini menarik? Dan sama sekali tidak butuh alat-alat


canggih, bukan?

Yang penting, proses pemberian wewenang sebagai pihak yang


mewakili ayah kandung sah dan dibenarkan secara yakin anpa
diperlukan harus ada saksi. Demikian juga dengan proses pemberian
hak sebagai wakil pihak mempelai laki-laki, juga harus benar dan
sah, meski tanpa saksi. Dan pemberian wewenang untuk mewakili
ini pun tidak mengharuskan keduanya duduk dalam satu majelis.
Jadi bisa lewat telepon, email, faks, SMS bahkan chatting.

Akad nikah atau ijab qabul yang dilakukan oleh masing-masing wakil
dari kedua belah pihak adalah sebuah bentuk keluwesan sekaligus
keluasan syariah Islam. Namun kalau tiba-tiba ada orang
mengangkat diri menjadi wakil tanpa ada pemberian wewenang dari
yang punya hak yaitu wali atau mempelai laki-laki secara sah, maka
orang ini sama sekali tidak berhak melakukan akad nikah. Kalau pun
nekat juga, maka nikah itu tidak sah di mata Allah SWT.

Wallahu a’lam bishshawab wassalamualaikum warahmatullahi


wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber Adakah Nikah Jarak Jauh? : http://assunnah.or.id

Tinjauan Hukum Mengenai Keabsahan Perkawinan Melalui Teleconference


Judul Dalam Agama Islam Dihubungkan Dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan
Pengaran
Aan Pattilouw; Nim 31603001
g
Subjek Hukum, Mengenai Keabsahan, Perkawinan, Teleconference, Agama Islam
Abstrak Perkawinan Teleconference adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang
laki laki dengan

seorang perempuan, dimana proses ijab kabulnya tidak diucapkan secara


langsung melainkan

diucapkan dengan menggunakan media perantara yaitu telephone. Pelaksanaan


perkawinan melalui

teleconference pada dasarnya sama dengan perkawinan pada umumnya, yang


membedakannya adalah

pada saat proses ijab kabul. Pada perkawinan teleconference ini dimungkinkan
salah satu pihak atau
wali dari pihak perempuan tidak berada di tempat pada saat proses ijab kabul.
Perkawinan

teleconference ini pernah terjadi di beberapa daerah di tanah air, salah satunya
terjadi di Bandung Jawa

Barat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana keabsahan


perkawinan melalui

teleconference menurut Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 1 Tahun


1974 Tentang

Perkawinan dan kendala apa yang timbul dalam perkawinan teleconference


sebagai wujud

perkembangan teknologi informasi.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian dengan


melukiskan

fakta-fakta berupa data sekunder seperti bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan

hukum tersier. Penelitian deskriptif analitis dilakukan untuk memberikan


gambaran secara lengkap

tentang pelaksanaan perkawinan melalui teleconference di Indonesia. Metode


pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif dan analisa data dilakukan dengan cara
yuridis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa perkawinan


melalui

teleconference adalah sah secara hukum, baik berdasarkan hukum Islam


maupun Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan karena telah memenuhi rukun dan
syarat perkawinan.

Kendala yang muncul dalam perkawinan teleconference sebagai wujud


perkembangan teknologi

informasi, antara lain adalah adanya pendapat dari sebagian kalangan Islam
yang menyatakan bahwa

perkawinan melalui teleconference ini tidak sah, karena wali nikah mempelai
perempuan tidak secara

nyata hadir pada saat ijab kabul dilaksanakan, adanya gangguan teknis yang
mungkin timbul pada saat

akan atau sedang dilaksanakannya perkawinan melalui teleconference, dan


tidak adanya suatu
peraturan yang secara tegas mengatur mengenai perkawinan melalui media
teleconference, baik dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun dalam


Kompilasi Hukum Islam.

NIKAH VIA VIDEO TELECONFERENCE


NIKAH VIA VIDEO TELECONFERENCE
NIKAH VIA VIDEO
TELECONFERENCE
NIKAH VIA VIDEO TELECONFERENCE
Oleh: al-Faqir Billah M. Safii Gozali

I. LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan
memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery) dibidang
kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-
teknologi baru dibidang konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting
penemuan dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet,
telepon, teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT
(Handy Talky), Faximile dan lain sebagainya. Wartel (warung telephone),
warnet (warung internet) dan teleconference tumbuh berkembang
bagaikan jamur dimusim semi. Sehingga tidak heran jika media
komunikasi semacam ini kini mulai sangat akrab dan kental dengan
aktivitas kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas
pergaulan (persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian,
hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menggunakan
untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan, pernikahan via media komunikasi memang
dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin yang berjauhan.
Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu calon mempelai berada
di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya transportasi. Disela-
sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan baru yang
menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference.
Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan
pesannya kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan
suara (audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala
bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen)
dapat berkomunikasi dengan model apapun yang diinginkan seperti
berhadapan langsung, sekaligus menyimpan data-data yang dianggap
penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan telepon di Indonesia masih mengalami
perdebatan terkait penggunaanya dalam penyelenggaraan transaski
perjanjian, baik yang berupa perdagangan maupun proses pernikahan .
Selain itu alat komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup
kuat untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum.
Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum tentang
transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua
belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri terjadi perbedaan antara
Imam Syafi'i dan para pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih
transaksi melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak
sah, karena surat saja tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena
surat adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min al-
hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat ini juga
didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara pendapat Jumhur
Ulama’ bahwa nikah adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang
kukuh dan kuat) bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah. Oleh karena itu pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh
kedua belah pihak mempelai, wali nikah dan dua orang saksi, sehingga
tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan mengingkari pelaksanaan
pernikahan tersebut.

II. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN


Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas
dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama
terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat
pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab
qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu,
Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus
dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan
adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau
mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak
umum. Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun
pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya
pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan
menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via
telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan
saksi.

A. SYARAT-SYARAT SHIGHAT (IJAB QABUL)


Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan
terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari kecuali dari
Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata
hibbah (pemberian).
2. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat).
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan dengan
kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini
dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka
juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan
Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak,
namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat
dan secara berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan
akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi
dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut
Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab
dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah
tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa
pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi
seperti internet, teleconference dan faximile. Sedangkan menurut
pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama
syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik
ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan.
Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan
kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa
diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat
dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang
akad tersebut. Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan
mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut
hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad),
maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya
sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada
Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.

B. SYARAT-SYARAT SAKSI PERNIKAHAN


Seperti yang telah kami sampaikan di atas, bahwa Jumhur Ulama sepakat
pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama
Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan
wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan
adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut;
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas
bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat
adalah dua komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya
mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga
hanya melihat wujud fisik para pihak, na,un tidka mendengar suara ijab
qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang
dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak
melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi
terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima
jika hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan
oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan
mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak.
Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat
meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab
mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu
keyakinan dalam hati saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi
meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan
adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut
seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang
bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar.
Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini
suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan
hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam
benaknya ada keyakinan.
Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa,
jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena
adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang
sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan,
maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.

KESIMPULAN
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami bahwa
akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan
merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur
Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan
dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis).
Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya
para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah memahamkan satu
majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para
pihak. Selian itu antara ijab qabul harus konytiyu dan tidak ada
penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam
majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul)
melalui surat diperbolehkan.

Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat
dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-
benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul.
Pernikahan tidak sah apa bila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa
dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat
menimbulkan keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan
Ibnu Hajar dari Ulama Syafi'iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini
bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat
memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat
dibenarkan dan pernikahannya sah. Kemudain apa bila ditarik kepada
pokok masalah hukum melakukan pernikahan via telekomference, maka
kami dapat menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia
tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majlis sebagaimana yang
dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan Telekonference belum
dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang di
Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab keberadaan
saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan
suatu peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan. Alat
elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai
alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan apa bila merujuk pada
pendapat Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi, juga tidak
dapat ditarik kesimpulan akad melalui media elektronik dapat dibenarkan,
sebab Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka
mensyaratkan adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu majlis
secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir, maka
ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui sepucuk surat
bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini berpedoman
kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian
ulama Syafi'iyyah yang memperbolehkan ijab atau qabul memamakai
surat. Kedua, dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang
bermaterai dapat dijadikan alat bukti yang autentik.

2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di kajauhan dapat


mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul, tentunya
perwakilan tersebut harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini
berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama sepakat bahwa akad
pernikahan (ijab qabul) dapat diwakilkan kepada orang lain, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-
undang Indonesia, perwakilan dengan disertai surat mandat resmi
(bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai kekuatan hukum.
Diposkan oleh KEISLAMAN, KEINDONESIAAN DAN
KEMANUSIAAN di 08:59

STUDI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENDAPAT SATRIA EFFENDI


M. ZEIN MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON

A. Latar Belakang

Urusan perkawinan di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang Perkawinan No.

1 tahun 1974 serta diatur ketentuannya dalam Kompilasi Hukum Islam. Saripati aturan-

aturan Islam mengenai perkawinan, perceraian, perwakafan dan pewarisan ini bersumber

dari literatur-literatur fikih Islam klasik dari berbagai madzhab yang dirangkum dan

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Kedua dasar hukum mengenai

perkawinan dan urusan keluarga tersebut diharapkan dapat menjadi pijakan hukum bagi

rakyat Indonesia yang akan melaksanakan perkawinan. Namun dalam praktek

pelaksanaan perkawinan yang berlaku di masyarakat, banyak muncul hal-hal baru yang

bersifat ijtihad, dikarenakan tidak ada aturan yang tertuang secara khusus untuk mengatur

hal-hal tersebut.

Kurang lebih satu dekade yang lalu, muncul peristiwa menarik dalam hal

pelaksanaan akad nikah yang dilakukan secara tidak lazim dengan menggunakan media

telepon. Kemudian status pernikahan ini dimohonkan pengesahannya melalui Pengadilan


Agama Jakarta Selatan. Oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan status hukumnya

dikukuhkan dengan dikeluarkannya Surat Putusan No. 1751/P/1989. Meski Pengadilan

Agama Jakarta Selatan mengesahkan praktek semacam ini, namun putusan ini tetap

dianggap riskan. Kabarnya, Mahkamah Agung menegur hakim yang memeriksa perkara

tersebut karena dikhawatirkan menimbulkan preseden yang tidak baik.

Peristiwa yang serupa dengan itu terulang kembali. Kali ini praktek akad nikah

tertolong dengan dunia teknologi yang selangkah lebih maju dengan menggunakan

fasilitas video teleconference. Teknologi video teleconference lebih mutakhir dari

telepon, karena selain menyampaikan suara, teknologi ini dapat menampilkan

gambar/citra secara realtimemelalui jaringan internet. Hal ini seperti yang dipraktekkan

oleh pasangan Syarif Aburahman Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4

Desember 2006 silam. Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria sedang berada

di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai wanita berada di

Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak jauh berkat

layanan video teleconference dari Indosat.

Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif

dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka

melangsungkan akad nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya adalah,

kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan

wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.

Fenomena seperti ini menggelitik untuk dikaji dan dikomentari oleh para pakar

hukum keluarga Islam di Indonesia. Oleh sebab praktek akad nikah jarak jauh dengan

menggunakan media teknologi ini belum pernah sekalipun dijumpai pada jaman

sebelumnya. Praktek akad nikah pada jaman Nabi dan para Salafus shalih hanya

menyiratkan diperbolehkannya metode tawkil, yakni pengganti pelaku akad apabila pihak

pelaku akad (baik wali maupun mempelai pria) berhalangan untuk melakukannya.
Satria Effendi M. Zein sebagai salah satu pakar yang membidangi masalah hukum

keluarga Islam di Indonesia ini dalam bukunya “Analisis Yurisprudensi Mengenai

Masalah Keluarga Islam Kontemporer Indonesia” memberikan analisis yurisprudensi

yang cukup mendalam mengenai perkawinan melalui media telepon sebagaimana

dikukuhkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989. Dalam

pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menyatakan bahwa ada dua macam putusan yang

dapat dipilih oleh majelis hakim mengenai masalah ini, yaitu membolehkan sesuai

dengan kecenderungan Madzhab Hanafi ataupun melarang sesuai dengan kecenderungan

Madzhab Syafi'i. Di sini Satria Effendi M. Zein menyerahkan putusan yang diambil

sesuai dengan dasar yang dipakai majelis hakim, dan memberikan penekanan bahwa

keduanya boleh dipakai selama belum ada undang-undang yang secara jelas mengatur

mengenai hal ini. Untuk itulah, di sini penulis berusaha mengedepankan permasalahan

ini, menjelaskan bagaimana metode ijtihad yang dipakai oleh Satria Effendi M. Zein

dalam mengkritisi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989, dasar-

dasar yang menjadi alasannya menentukan hukum yang sesuai, cara pandang ia melihat

permasalahan ini dan pertimbangan-pertimbangan rasional danushuliyah yang ia pakai.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan pada bagian

sebelumnya, penulis mengajukan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum akad nikah melalui telepon?

2. Apa dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?

3. Bagaimana metode ijtihad dalam menentukan hukum akad nikah melalui telepon?
NU Anggap Nikah Lewat Teleconference Tak
Sah
Kamis, 4 Juni 2009 0:33Berita | 1 komentar
Surabaya (Ansor Online) : Pimpinan Wilayah Nahdhlatul Ulama [PWNU]
Jawa Timur menggelar bahtsul masail (diskusi keagamaan) pada
Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) I. Salah satu materi
pembahasan adalah memberikan status hukum pernikahan lewat
“cyber media” (teleconference) dinilai belum memenuhi unsur syariat
Islam.
Alasannya pernikahan itu mengharuskan wali perempuan, saksi, dan
pengantin laki-laki berada tidak dalam satu majelis atau bertatap muka
dan melihat mimik bibir penghulu serta pengantin saat “ijab qobul.”
“Bagi mempelai perempuan itu boleh tidak dalam satu ruang, sebab
sebelum ijab qobul selesai memang kedua pengantin tidak boleh
bersentuhan. Namun pernikahan melalui cyber media itu harus
diulang, karena tidak sah.” Demikian dikatakan Katib (sekretaris)
Syuriah PWNU Jatim KH drs Syarifudin Syarif setelah bahtsul masail
PWNU Jatim di Balai Diklat Depag Jatim di Surabaya, Rabu (03/06/09).
Menurut dia, pernikahan lewat “cyber media” itu tidak sah, karena
pernikahan itu mengharuskan wali perempuan, saksi, dan pengantin
laki-laki berada tidak dalam satu majelis atau bertatap muka dan
melihat mimik bibir penghulu serta pengantin saat “ijab qobul.”
Ia menegaskan bahwa pernikahan merupakan hal yang sakral dan
pernikahan yang sesuai dengan syariat agama akan melahirkan
manusia yang berbudi luhur dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa
serta agama.
Di Indonesia, pernikahan melalui “cyber media” pernah terjadi lewat
saluran telpon dalam tempat berbeda yang dilakukan pengantin
perempuan di Indoneia dan pengantin laki-laki di Amerika.
“Saat itu, Menteri Agama dijabat H Munawir Sjadzali dan Kantor Urusan
Agama (KUA) serta pengadilan agama menyatakan pernikahan itu
tidak sah, sehingga harus dilakukan pernikahan ulang,” katanya.
Pernikahan semacam itu juga pernah terjadi pada 22 Februari 2009
antara Wafa Suhaimi (24) dengan Ahmad Jamil Rojab (26) dengan
mempelai perempuan tinggal di Jeddah Saudi Arabia serta pengantin
laki-laki sedang kuliah di Universitas Merry Mont Virginia AS. “Karena
kesulitan mengurus visa dan ketatnya jadwal kuliah, maka mereka
memanfaatkan cyber media untuk mendukung rangkaian ijab-qobul,”
katanya.
Saat pernikahan, keduanya dinyatakan sah oleh Syaikh Adil Al-Damari
(anggota Majmak Al-Figh al- Aslami) Saudi Arabia, karena itu PWNU
Jatim akhirnya mendiskusikan hal itu.
Bahtsul masail diikuti sepuluh kiai, di antaranya KH Anwar Manshur, KH
Yasin Asmuni, KH Hasyim Abbas, KH Abdullah Syamsul Arifin, Syafrudin
Syarif, KH Imam Syuhada, KH Asyhar Ahofwan, KH Azizi Chasbulloh, KH
Muhibbul Amal, dan KH Romadlon Khotib.
Selain melakukan diskusi keagamaan, Muskerwil I PWNU Jatim pada 2-
3 Juni itu juga membahas pemberdayaan organisasi NU,
pengembangan pendidikan, teknologi informasi, pemberdayaan
ekonomi umat, pelayanan sosial, kesehatan dan tenaga kerja,
pengembangan dakwah pemikiran keagamaan, mobilisasi dana, dan
pengelolaannya. [eko]

Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media Teleconference


[Agama dan Pendidikan]

Studi Banding Tentang Penerapan Hukum Syariah ke Mesir


Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media Teleconference

MASALAH sah dan tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media teleconference
sebenarnya sudah lama menjadi pembicaraan serius. Ada yang menyatakan boleh
dan ada pula yang menyatakan tidak sah. Dalam studi banding tentang penerapan
hukum syariah ke Mesir yang dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam Drs H
Ahmad Jauhari, bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al Ifta) telah memfatwakan
masalah ternikahan menggunakan jarak jauh tersebut. Menurut Lembaga Fatwa
Mesir, pernikahan melalui media teleconference atau nikah jarak jauh menggunakan
teknologi informasi itu tidak sah. Karena tidak memenuhi persyaratan majelis akad
nikah yaitu satu majelis.
Sementara dalam kaitan otoritas penetapan produk halal menjadi perhatian utama
Pemerintah Mesir. Hal itu menjadi domainnya menteri perindustrian. Suatu produk
dapat dinyatakan halal setelah mendapat lisensi dan bersertifikat halal dari
Pemerintah. Mufti Mesir bekerja ekstra keras untuk menjawab persoalan-persoalan
mutakhir yang muncul dan berkembang. Seperti halnya apakah bunga bank itu
halal? Lembaga fatwa memberikan argumen bahwa penggunaan bank dalam
berbagai aktifitas kemasyarakatan tidak dapat dihindari. Sehingga penggunaan bank
menjadi sangat penting. Sehingga lembaga fatwa Mesir berpendapat penggunaan
bank dengan segala fariannya adalah halal.
Suatu produk yang telah disertifikasi halal oleh pemerintah diadakan pemeriksaan
dan pengawasan oleh pemerintah bersama mufti sebanyak tiga kali dalam setahun.
Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya perubahan dalam proses produksi
sehingga status halal yang sudah ditetapkan tetap terjaga.

Perkembangan mazhab fiqh


Mazhab fiqh di Mesir dapat berkembang dengan baik, meskipun dalam praktik
sehari-hari sebagian besar warga Mesir mengikuti mazhab Syafiiyah. Dalam
memutuskan persoalan-persoalan umat, terkadang Daar al-Ifta juga memakai
pendapat-pendapat mazhab selain Syafiiyah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas mufti
dalam melihat pendapat imam mazhab, sehingga di dalam pengambilan pendapat
hukum dapat menggunakan salah satu pendapat imam mazhab yang relatif dapat
diterima masyarakat Mesir.
Dalam kunjungan tersebut, banyak informasi yang didapatkan dari hasil audiensi
dengan Dubes Indonesia di Mesir, Abdurahman Fakhir, diantaranya tentang
keberadaan warganegara Indonesia di Mesir. Mahasiswa Indonnesia yang belajar di
Universitas Al-Azhar dan Universitas-universitas lainnya di Mesir kurang lebih
berjumlah 5.000 orang.
Dubes menginformasikan bahwa Syekh Al-Azhar telah menghibahkan tanah di dalam
lingkungan kampus Al-Azhar untuk dibangun asrama bagi mahasiswa asal Indonesia.
Menurut Dubes, suasana di Mesir sangat kondusif bagi mahasiswa Indonesia yang
belajar di sana, meskipun masih ditemui banyak mahasiswa kita yang lambat
menyelesaikan masa perkuliahan di sana.
Tentang pembinaan dan pencatatan perkawinan di KBRI Mesir telah berjalan dengan
baik. Tercatat kurang lebih 40 pasangan nikah di KBRI setiap tahun. Akad nikah
Warganegara Indonesia di Mesir dipandu oleh konsuler mereka langsung
mendapatkan buku nikah atau kutipan akta nikah sebagaimana layaknya pernikahan
di Indonesia.
Sementara ketika berkunjung ke perpustakaan Alexandria atau perpustakaan
Iskandariyah, delegasi Indonesia menyatakantakjub. Perpustakaan terbesar di Mesir
itu sungguh indah, berada di tepi pandai dengan struktur bangunan menjorok ke
permukaan laut. Sehingga perpustakaan yang didirikan pada awal abad ke-3 SM
pada masa Pemerintahan Ptolemeus II dari Mesir (setelah Bapaknya mendirikan kuil
Muses, Musaeum yang merupakan asal kata Museum) ini menjadi daya tarik
tersendiri baik bagi para wisatawan maupun peneliti serta mahasiswa yang ingin
mencari referensi di dalamnya. Perpustakaan ini diperkirakan menyimpan sekitar
400.000 sampai 700.000 naskah pada masa puncaknya.
Pada zaman dahulu, kota Alexandria (Iskandariyah) terkenal dengan bangunannya
yang termasyhur namun sekarang sudah lenyap seperti Faros, mercusuar kuno yang
konon tingginya mencapai 110 meter dan diangap sebagai salah satu dari tujuh
keajaiban dunia, dan makam Alexander yang Agung.
Dinasti Yunani, Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan menguasai negeri itu
sampai Caesar Octavianus Augustus mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada
tahun 30 SM. Dibawah Ptolemeus, Alexandria berubah secara drastis. Sesungguhnya,
kota itu suatu masa menjadi pusat perdagangan dan budaya dunia, menurut Atlas of
the Greek World. Pada puncak kejayaannya. Alexandria berpenduduk sekitar 600.000
jiwa. (sidik m nasir)

Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media


"Teleconference
28 Jul 2010

• Opini

• Pelita
Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media "Teleconference

MASALAH sah dan tidaknya nikah jarak jauh atau melalui media
teleconference sebenarnya sudah lama menjadi pembicaraan serius.
Ada yang menyatakan boleh dan ada pula yang menyatakan tidak sah.
Dalam studi banding tentang peflfraRan hukum syariah ke Mesir yang
dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam Drs H Ahmad Jauhari,
bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al IJta) telah memfatwakan
masalah ternikahan menggunakan jarak jauh tersebut. Menurut
Lembaga Fatwa Mesir, pernikahan melalui media "teleconference" atau
nikah jarak jauh menggunakan teknologi informasi itu tidak sah.
Karena tidak memenuhi persyaratan majelis akad nikah yaitu satu
majelis.

Sementara dalam kaitan otoritas penetapan produk halal menjadi


perhatian utama Pemerintah Mesir. Hal itu Oienjadi domainnya
menteri perindustrian. Suatu produk dapal dinyatakan halal setelah
mendapat lisensi dan bersertifikat halal dari Pemerintah. Mufti Mesir
bekerja ekstra keras untuk menjawab persoalan-persoalan mutakhir
yang muncul dan berkembang. Seperti halnya apakah bunga bank itu
halal? Lembaga fatwa memberikan argumen bahwa penggunaan bank
dalam berbagai aktifitas kemasyarakatan tidak dapat dihindari.
Sehingga penggunaan bank men-tedi sangat penting. Sehingga
lembaga fatwa Mesir berpendapat penggunaan bank dengan segala
Tariannya adalah halal.

Suatu produk yang telah disertifikasi halal oleh pemerintah diadakan


pemeriksaan dan pengawasan oleh pemerintah bersama mufti
sebanyak Uga

kali dalam setahun. Hal ini untuk menghindari kemungkinan adanya


perubahan dalam proses produksi sehingga status halal yang sudah
ditetapkan tetap terjaga.

Perkembangan mazhab fiqh

Mazhab fiqh di Mesir dapat berkembang dengan baik, meskipun dalam


praktik sehari-hari sebagian besar warga Mesir mengikuti mazhab
Syafiiyah. Dalam memutuskan persoalan-persoalan umat, terkadang
Door al-IJla juga memakai pendapat-pendapat mazhab selain
Syafiiyah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas mufti dalam melihat
pendapat imam mazhab, sehingga di dalam pengambilan pendapat
hukum dapal menggunakan salah satu pendapat imam mazhab yang
relatif dapat diterima masyarakat Mesir.

Dalam kunjungan tersebut, banyak informasi yang didapatkan dari


hasil audiensi dengan Dubes Indonesia di Mesir. Abdurahman Fakhir.
diantaranya tentang keberadaanwarganegara Indonesia di Mesir.
Mahasiswa Indonnesia yang belajar di Universitas Al-Azhar dan
Universitas-universitas lainnya di Mesir kurang lebih berjumlah 5.000
orang.

Dubes menginformasikan bahwa Syekh Al-Azhar telah menghibahkan


tanah di dalam lingkungan kampus Al-Azhar untuk dibangun asrama
bagi mahasiswa asal Indonesia. Menurut Dubes, suasana di Mesir
sangat kondusif bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di sana,
meskipun masih ditemui banyak mahasiswa kita yang lambat
menyelesaikan masa perkuliahan di sana.

Tentang pembinaan dan pencatatan perkawinan di KBRI Mesir telah


berjalan dengan baik. Tercatat kurang lebih 40 pasangan nikah di
KBRI setiap tahun. Akad nikah Warganegara Indonesia di Mesir
dipandu oleh konsuler mereka langsung mendapatkan buku nikah atau
kutipan akta nikah sebagaimana layaknya pernikahan di Indonesia.

Sementara ketika berkunjung ke perpustakaan Alexandria atau


perpustakaan Iskandariyah, delegasi Indonesia menyatakantakjub.
Perpustakaan terbesar di Mesir itu sungguh indah, berada di tepi
pandai dengan struktur bangunan menjorok ke permukaan laut.
Sehingga perpustakaan yang didirikan pada awal abad ke-3 SM pada
masa Pemerintahan Ptolemeus II dari Mesir (setelah Bapaknya
mendirikan kuil Muses, Musaeum yang merupakan asal kata Museum)
ini menjadi daya tarik tersendiri baik bagi para wisatawan maupun
peneliti serta . mahasiswa yang ingin mencari referensi di dalamnya.
Perpustakaan ini diperkirakan menyimpan sekitar 400.000 sampai
700.000 naskah pada masa puncaknya.

Pada zaman dahulu, kota Alexandria (Iskandariyah) terkenal dengan


bangunannya yang termasyhur namun sekarang sudah lenyap seperti
Fa-ros, mercusuar kuno yang konon tingginya mencapai 110 meter
dan diangap sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, dan
makam Alexander yang Agung.

Dinasti Yunani. Ptolemeus mewarisi Mesir dari Alexander dan


menguasai negeri itu sampai Caesar Octavianus Augus-tus
mengalahkan Antonius dan Cleopatra pada tahun 30 SM. Dibawah
Ptolemeus. Alexandria berubah secara drastis. Sesungguhnya, kota itu
suatu masa menjadi pusat perdagangan dan budaya dunia, menurut
Atlas of the Greek World. Pada puncak kejayaannya. Alexandria
berpenduduk sekitar 600.000 jiwa (sidik rn nasir)

Entitas terkaitAbdurahman |Akad |Alexander |Alexandria |


Antonius |Atlas |Azhar |Bapaknya |Cleopatra |Dibawah |
Dinasti |Door |Dubes |Greek |Indonesia |Jla |KBRI |Lembaga |
MASALAH |Mazhab |Mesir |Musaeum |Oienjadi |Pemerintah |
Perkembangan |Perpustakaan |Ptolemeus |Ran |SM |Suatu |
Syekh |Tariannya |Teleconference |Tercatat |Uga |Universitas
|Caesar Octavianus |Daar Al |Dubes Indonesia |Fatwa Mesir |
KBRI Mesir |Mahasiswa Indonnesia |Mufti Mesir |Warganegara
Indonesia |Menurut Lembaga Fatwa |Pemerintahan Ptolemeus
II |Tidak Sah Pernikahan Gunakan Media |Direktur Penerangan
Agama Islam Drs H Ahmad |Ringkasan Artikel Ini
Dalam studi banding tentang peflfraRan hukum syariah ke
Mesir yang dipimpin oleh Direktur Penerangan Agama Islam
Drs H Ahmad Jauhari, bahwa lembaga Fatwa Mesir (Daar Al
IJta) telah memfatwakan masalah ternikahan menggunakan
jarak jauh tersebut. Perkembangan mazhab fiqh Mazhab fiqh di
Mesir dapat berkembang dengan baik, meskipun dalam praktik
sehari-hari sebagian besar warga Mesir mengikuti mazhab
Syafiiyah. Hal ini menunjukkan fleksibilitas mufti dalam
melihat pendapat imam mazhab, sehingga di dalam
pengambilan pendapat hukum dapal menggunakan salah satu
pendapat imam mazhab yang relatif dapat diterima masyarakat
Mesir. Mahasiswa Indonnesia yang belajar di Universitas Al-
Azhar dan Universitas-universitas lainnya di Mesir kurang lebih
berjumlah 5.000 orang. Menurut Dubes, suasana di Mesir
sangat kondusif bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di
sana, meskipun masih ditemui banyak mahasiswa kita yang
lambat menyelesaikan masa perkuliahan di sana.

Jumlah kata di Artikel : 642


Jumlah kata di Summary : 134
Ratio : 0,209
*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran
atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat
ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.Pendapat Anda

HUKUM AKAD NIKAH


VIA TELEKONFERENCE

I. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan
memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery)
dibidang kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula
ditemukan teknologi-teknologi baru dibidang konstruksi,
transportasi dan yang tak kalah penting penemuan dibidang
komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet, telepon,
teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT
(Handy Talky), Faximile dan lain sebagainya.
Wartel (warung telephone), warnet (warung internet) dan
teleconference tumbuh berkembang bagaikan jamur dimusim
semi. Sehingga tidak heran jika media komunikasi semacam ini
kini mulai sangat akrab dan kental dengan aktivitas kehidupan
masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas pergaulan
(persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian,
hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang
menggunakan untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan, pernikahan via media komunikasi
memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin
yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah
satu calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat
menghemat biaya transportasi.
Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah
penemuan baru yang menggabungan antara televisi dan telepon
yang disebut Teleconference. Dengan media ini komunikan
(orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya kepada
recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara
(audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala
bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer
(konsumen) dapat berkomunikasi dengan model apapun yang
diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan
data-data yang dianggap penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan telepon di Indonesia masih
mengalami perdebatan terkait penggunaanya dalam
penyelenggaraan transaski perjanjian, baik yang berupa
perdagangan maupun proses pernikahan . Selain itu alat
komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup kuat
untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum.
Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum
tentang transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa
kehadiran kedua belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri
terjadi perbedaan antara Imam Syafi'i dan para pengikutnya.
Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui sepucuk surat
tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja
tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mengatakan
bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat
adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min
al-hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat
ini juga didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara
pendapat Jumhur Ulama’ bahwa nikah adalah sebuah mitsaq
ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat) bertujuan
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh
karena itu pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua
belah pihak mempelai, wali nikah dan dua orang saksi, sehingga
tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan mengingkari
pelaksanaan pernikahan tersebut.

II. Rukun dan Syarat Pernikahan


Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak
bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan.
Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-
rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya
mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari
rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah,
Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus
dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak
mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun
sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan)
pernikahan kepada halayak umum.
Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun
pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu
adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk
dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via
telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali
hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
A. Syarat-syarat Shighat (Ijab Qabul)
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama
mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat,
yaitu;
1. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari
kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan
memakai kata-kata hibbah (pemberian).
2. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat)

Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas)


difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara
fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah
dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah
kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami satu
majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan
qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara
berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad
nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan
saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-
pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi
dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera
dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal
Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah
hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet,
teleconference dan faximile.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang
mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak
boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam
transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka
beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk
menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi,
dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat.
Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi
apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut.
Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan
mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil
tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian
(mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi
yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah
mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu
Rafi'.

B. Syarat-syarat Saksi Pernikahan


Seperti yang telah kami sampaikan di atas, bahwa Jumhur Ulama
sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-
saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan
adanya saksi, namun pernikahan wajib diumumkan kepada
halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi
mensyaratkan sebagai berikut;
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan
kita bahas bersama yaitu syarat mendengar dan melihat.
Mendengar dan melihat adalah dua komponen yang harus
bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak
tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat
wujud fisik para pihak, na,un tidka mendengar suara ijab
qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad
nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena
para saksi tidak melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan
saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan akad, dan
mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara
tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu
Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab
qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari
pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat meyakini
hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab
mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan
suatu keyakinan dalam hati saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani,
jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para
pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya
diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini
bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed
dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar.
Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan
meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka
kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar
diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah
bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi)
meyakini karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang
sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference
memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan
hukumnya diperbolehkan dan sah.

III. Kesimpulan
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami
bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat
sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan.
Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah
terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan
dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi
perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan
berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah
memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara
kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab
qabul harus konytiyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa
memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak,
sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui
surat diperbolehkan.

Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan
syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya
saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para
pihak melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah apa bila saksi
hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab
kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan
keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu
Hajar dari Ulama Syafi'iyyah berpendapat, jika para saksi
meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia
dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka
kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.
Kemudain apa bila ditarik kepada pokok masalah hukum
melakukan pernikahan via telekomference, maka kami dapat
menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara
Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majlis
sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan
Telekonference belum dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang
sah menurut Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan
persengketaan hukum. Sebab keberadaan saksi mengandung
hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan suatu
peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan.
Alat elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa
dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan
apa bila merujuk pada pendapat Malikiyyah yang tidak
mensyaratkan adanya saksi, juga tidak dapat ditarik kesimpulan
akad melalui media elektronik dapat dibenarkan, sebab
Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka
mensyaratkan adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu
majlis secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir,
maka ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui
sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi.
Hal ini berpedoman kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama
Hanafiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah yang
memperbolehkan ijab atau qabul memamakai surat. Kedua,
dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai
dapat dijadikan alat bukti yang autentik.

2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di kajauhan


dapat mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau
qabul, tentunya perwakilan tersebut harus disertai surat mandat
bermaterai. Hal ini berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama
sepakat bahwa akad pernikahan (ijab qabul) dapat diwakilkan
kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-undang Indonesia,
perwakilan dengan disertai surat mandat resmi (bermaterai)
dapat dibenarkan dan mempunyai kekuatan hukum.

BM Diniyah Maudluiyah- Muktamar NU Ke-32


BM Diniyah Maudluiyah
NASKAH RANCANGAN KEPUTUSAN

KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH MAUDLU’IYYAH

MUKTAMAR KE-32 NAHDLATUL ULAMA

DI MAKASSAR

TANGGAL 22 - 27 MARET 2010

‫بسم ال الرحمن الرحيم‬

DRAFT

BAHSUL MASAIL AL-DINIYYAH AL-MAUDLU'IYYAH

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA' KE-32

TH. 1431 H. / 2010 M.

1. FORMAT PENETAPAN HASIL BAHSUL MASAIL

Deskripsi Masalah
Isbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai aktifitas
menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-Qur’ân dan
hadis, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama yang masuk
kategori mujtahid. Isbatul ahkam dalam konteks ini dimaksudkan sebagai
penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan (mencocokkan,
menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan ’ibarah terutama
dalam kutub mu’tamadah di lingkungan mazhab Imam Syafi’i.

Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU merumuskan


perkembangan penting dari sistem isbatul ahkam. Ketika itu mulai
diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum sepenuhnya mampu
diaplikasikan dalam bahsul masail. Dalam Munas tersebut dirumuskan
prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada perkembangan baru,


yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadis dicantumkan dalam setiap
jawaban persoalan hasil bahsul masail, tradisi demikian, nyaris tidak
pernah dilakukan dalam bahsul masail NU sebelumnya.

Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun 2006, Ulama
NU membuat pengelompokan kutub mu’tamadah di semua mazhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).

Pertanyaan :

1. Apakah perlu mencantumkan ayat-ayat al-Quran, al-Hadis, dan dalil-


dalil syara’ lainnya dalam jawaban bahsul masail NU?

2. Jika memang diperlukan mencantumkan al-Quran dan al-Hadis,


bagaimana formatnya? Apakah menggunakan urutan sesuai dengan
tingkat kekuataannya (al-Quran, al-Hadis, al-adillatul ukhra kemudian
aqwalul ulama), ataukah aqwalul ulama baru kemudian ayat al-Quran
dan al-Hadis, dan al-adillatul ukhra?.

3. Sejauh mana muqaranatul madahib diperlukan dalam bahsul masail NU


dengan menggunakan kutub mu’tamadah yang telah dirumuskan dalam
Munas Alim Ulama di Surabaya?

Jawaban :

1. Musyawirun sepakat untuk mencantumkan ayat Al-Qur’an dan hadits,


dengan ketentuan:

a. Wajhud dilalah-nya relevan dengan tema yang dibahas.

b. Ayat al-Qur’an / hadits yang dicantumkan adalah bagian pendapat


ulama. Untuk itu ayat al-Qur’an atau al-hadits yang dicantumkan
dilengkapi dengan tafsirnya atau syarhul hadits-nya.

2. Musyawwirun berbeda pendapat, antara mendahulukan ayat Al-Qur’an,


al-hadits, dan al-adillatul ukhra atau mendahulukan aqwalul ulama.
Sebagian mengatakan, aqwalul ulama didahulukan, sebagian lain
berpendapat, ayat al-Qur’an, al-hadits, dan al-adillatul ukhra
didahulukan.

3. Kesadaran akan pentingnya muqaranatul madzahib muncul dari prinsip


wajibnya memilih qaul yang kuat atau lebih kuat dalilnya untuk
diamalkan, karena untuk mengetahui bahwa suatu madzhab atau qaul
memiliki dalil yang kuat atau lebih kuat diperlukan kegiatan muqâranah.
Di pihak lain, kegiatan muqaranatul madzahib membuat seseorang
menjadi kaya dengan aqwâl. Dan kekayaan aqwal bisa menjadi rahmah
dengan adanya pilihan-pilihan dan jalan keluar dari himpitan situasi,
dengan tetap berpegang pada prinsip ‫( عدم تتبع الرخص‬tidak hanya mencari
kemudahan semata)

WACANA AGAMA DAN SAINS DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI


KEILMUAN ISLAM KONTEMPORER
SM No 7 dan SM No 8
Drs. Muhammad Azhar, MA.
Historisitas Sains di Dunia Muslim
Berbicara tentang relasi antara agama dan sains khususnya dalam
perspektif epistemologi keilmuan Islam kontemporer, tampaknya
merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang di masa
awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justeru dikesankan
menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains.
Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat
dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir semuanya didominasi
oleh para ilmuwan Barat. Temuan sains di dunia Muslim hampir-hampir
dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan
dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau
Habibie yang menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie
digelar sebagai Mr. Crack. Sedangkan ribuan jenis temuan lainnya masih
didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini,
mengapa fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia
Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa dikemukakan, sekedar ilustrasi
kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika
pengetahuan modern. Dalam kaitan ini menarik kita kutip pernyataan
Nurcholish Madjid (1992: lvi):
Dalam lembaga-lembaga pendidikan itu terasa sekali semangat
pengucilan diri dari sistem kolonial pada umumnya. Secara simbolik
semangat itu dicerminkan dalam sikap para ulama yang mengharamkan
apa saja yang datang dari Belanda, sejak dari yang cukup prinsipil seperti
ilmu pengetahuan modern (dan huruf Latin) sampai hal-hal sederhana
seperti celana dan dasi. Ajakan pemerintah kolonial kepada mereka untuk
ikut serta dalam “peradaban modern” disambut dengan sikap berdasarkan
sebuah Hadits, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum
itu” (Man tasyabbaha bi qawm-in fa-huwa min-hum).
Disamping faktor politik isolatif di atas, faktor sosial, budaya, ekonomi dan
lainnya juga cukup berpengaruh. Namun dalam makalah ini penulis hanya
mengemukakan secara lebih spesifik dari segi aspek mandeknya
epistemologi keilmuan Islam yang secara implikatif berdampak pada
mandeknya temuan-temuan di bidang sains.
Sebelum kita temukan jawabannya, ada baiknya sekilas penulis
kemukakan tentang prestasi temuan sains yang pernah terjadi di dunia
Muslim. Menurut Nurcholish Madjid (1992: xxxv-xxxvi) bahwa peradaban
Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana
kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu
pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia
Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat
modern sekarang ini sejak masa renaissance. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah
kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi
sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di
bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Secara historis,
dunia Islamlah yang pertama kali melakukan internationalization of
knowledge. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini
masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya
berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait pengadaan
bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain. Sebagai
tambahan, kita kutip pernyataan Hassan Hanafi (2001: 144-145) tentang
fakta kemajuan sains dunia Islam di masa lalu:
Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan differensial dan
integral, geometri analitik, yaitu transformasi dari geometri menjadi aljabar
di dalam matematika (Khauarasmi, Tusi), atau bahkan arabesque di dalam
seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang berada
pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid sebagai
sistem keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis waktu
sebagai “tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang ditentukan
dalam Al-Quran. Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan konsep
cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan ayat-ayat Al-
Quran sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan
perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas
pembagian monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh lain
dapat diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika.
Namun sesuai dengan hukum rotasi sejarah, jatuh bangun sebuah
peradaban menjadi sebuah keniscayaan historis. Mengenai bangun dan
jatuhnya peradaban ini menarik kita kutip pernyataan Prof. Dr. Sutan
Takdir Alisyahbana bahwa peradaban yang kecil selalu saja dapat
mengalahkan peradaban yang lebih besar. Ia ilustrasikan, dulu peradaban
India Kuno itu besar, lalu dikalahkan oleh Mesir yang kecil, Mesir pun
menjadi besar. Demikian pula, Mesir yang besar akhirnya dikalahkan oleh
peradaban Yunani yang kecil, Yunani pun menjadi besar. Tapi kemudian
Yunani dikalahkan oleh Arab (Islam), Islam (Arab) menjadi besar.
Kemudian Arab (Islam) dikalahkan oleh peradaban Eropa. Lalu muncul
Amerika, kini Amerika yang besar sudah dikalahkan oleh Jepang kecuali
dalam bidang militer (ada buku yang menarik berjudul Is the American
Number One in the World?). Siapa tau kelak, lanjut STA, Jepang akan
dikalahkan oleh bangsa Indonesia yang peradabannya masih dianggap
belum unggul (harian Pelita, 4 Maret 1993: 4). Berdasarkan fakta historis di
atas, peradaban Islam pernah jaya, walaupun akhirnya mengalami
kemandekan ilmu secara meluas seperti yang juga dinyatakan Campbell –
sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid (1992: xxxvi):
“….. Dan begitulah yang terjadi, justru pada saat ketika sinar ilmu
pengetahuan Yunani mulai dibawa dari Islam ke Eropa – dari sekitar tahun
1100 dan seterusnya – ilmu pengetahuan dan kedokteran Islam
mengalami kemandekan dan akhirnya mati; dan dengan begitu Islam
sendiri pun mati. Tidak saja obor ilmu pengetahuan, tetapi juga obor
sejarah, sekarang pindah ke Barat Kristen.
Kemandekan Epistemologi Keilmuan di Dunia Islam
Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa setelah dunia Islam
menikmati kejayaan peradaban sains, maka setelah itu muncul era
kemandekan sains. Secara historis, sikap memusuhi sains dari sementara
umat Islam, seperti disebut Campbell, baru terjadi lima atau enam abad
kemudian, mengharuskan kita menilainya sebagai bukan “asli” Islam, dan
tidak bersumber dari ilhamnya yang murni, dan ini merupakan suatu
anomali. Meminjam teori Thomas Kuhn, bahwa secara perlahan dimensi
keilmuan Islam menjadi normal science yang tentunya akan berujung pada
situasi krisis keilmuan itu sendiri. Apalagi dengan munculnya slogan “telah
tertutupnya pintu ijtihad”, padahal Nabi Muhammad Saw sendiri tidak
pernah menutupnya. Bahkan Nabi sangat menghargai orang yang salah
dalam berijtihad dengan satu pahala, dan bila benar mendapatkan dua
pahala. Fenomena kemandekan berpikir ini membuat para ilmuan Muslim
menjadi gamang untuk melakukan inovasi dan kreasi keilmuan. Menurut
Dr. Muhammad Iqbal, kemandekan yang terjadi di dunia Muslim bahkan
mencapai sekitar 500-an tahun (1981: 148). Dunia keilmuan Muslim, pada
akhirnya, lebih bersifat pengulangan semata (the context of recovery) atau
meminjam ungkapan Nasr Hamid Abu Zaid (1995: 123), umat hanya
mengulang warisan para ilmuan masa lalu (qiro’ah al-
mutakarrirah/reproduction of meaning), belum mengarah pada pembacaan
yang produktif (qira’ah muntijah/production of meaning). Padahal dunia
Islam pernah mempelopori wacana sains secara empiris, yakni melangkah
maju ketimbang warisan peradaban Yunani yang umumnya bersifat
idealistik-rasionalistik semata. Sebagaimana yang pernah diungkapkan
oleh Sir Mohammad Iqbal bahwa Al-Quran lebih mengutamakan dimensi
tindakan – secara empiris – ketimbang semata-mata gagasan (The Quran
is a book which emphasizes ‘deed’ rather than ‘idea’ (Iqbal, 1981: v).
Sesuai dengan fokus kajian di sini, secara epistemologis, wacana
epistemologi keilmuan Islam klasik yang berpola Ghazalian (mazhab Al-
Ghazali) belakangan lebih dominan. Sementara pola Rusydian (mazhab
Ibnu Rusyd) yang pernah berjaya di dunia Muslim justru semakin
bermetamorfosa di dunia Barat. Epistemologi keilmuan model Ghazalian
berpandangan bahwa segala sebab sesuatu di alam ini tergantung dalam
kehendak-Nya. Melalui perspektif ini pandangan Al-Ghazali lebih bercorak
teologis, bukan antropologis maupun kosmologis. Akibat dari pandangan
ini menyebabkan pandangan dunia umat menjadi lebih pasif bila
dibenturkan dengan wacana pengembangan sains yang lebih
antroposentrik-kosmologik. Inovasi dan kreativitas keilmuan menjadi
macet. Pandangan epistemologi keilmuan model Ghazalian ini cenderung
menjadi anti “keteraturan” (sunnatullah), dimana hukum-hukum alam yang
melahirkan sains menjadi terabaikan Pengembangan potensi rasio
manusia menjadi sangat tereduksi, atau dengan kata lain potensi akal
manusia menjadi kurang fungsional. Model weltanschauung Ghazalian ini
lebih bersifat dialektis-hipotetis. Segala fenomena alam, moral dan sosial
semuanya “terserah” pada Tuhan (jabariyyah-determinism). Pandangan ini
menjadi sangat teologik-atomistik bahkan cenderung mengarah pada
mysticism, yang sudah barang tentu berimplikasi pada pengabaian wilayah
temuan social sciences maupun natural sciences.
Berbeda dengan Ghazalian, maka epistemologi keilmuan seperti yang
digagas oleh Ibnu Rusyd (Rusydian) cenderung menyatakan bahwa sebab
segala sesuatu bukan di dalam kehendaknya, tetapi berada di luar.
Pandangan Rusydian ini mengandaikan adanya sistem ‘keteraturan alam’
(sunnatulllah) yang sudah didelegasikan oleh Tuhan kepada alam yang
sering disebut sebagai hukum alam. Berbeda dengan model Ghazalian,
maka pola Rusydian mengindikasikan adanya pola rasionalitas yang
gradual, sistemik di alam ini yang secara teratur bisa dipelajari oleh
manusia, karena Allah sudah menciptakan “kepastian-kepastian” di
dalamnya. Atau dengan kata lain, ada konsep taqdir (keharusan
universal), yang di dalam bingkai taqdir itu manusia didorong untuk
melakukan ikhtiar (mengoptimalkan segala potensi manusia) dalam
memahami hukum-hukum alam. Maka pola Rusydian ini cenderung
mengaktifkan upaya manusia dalam melakukan eksplorasi hukum-hukum
alam yang berujung pada munculnya berbagai produk sains itu sendiri.
Bila Ghazalian bertumpu pada logika yang hipotetis, maka Rusydian
bertumpu pada metode analisis-demonstratif yang mengakui adanya
regularitas dan kausalitas di balik setiap fenomena sosial dan alam
(Bandingkan, Amin Abdullah, 2002: 209-220).
Jadi, fenomena kemandekan epistemologi keilmuan Muslim ini sebenarnya
bukan orisinal ajaran Islam, tetapi hanya soal interpretasi pemahaman dari
ajaran Islam itu sendiri. Karena secara esensial dan substansial, potensi
ajaran Islam sangatlah mendorong adanya inovasi keilmuan – khususnya
– di bidang sains, sebagaimana sudah terbukti lama dalam sejarah
renaisans Islam. Hanya karena model interpretasi epistemologi keilmuan
ala Ghazalianlah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran dunia
Muslim di bidang temuan sains.
Pola-pola Ghazalian ini pula yang belakangan menjadi dominan dan
mengilhami berbagai silabi, penulisan buku-buku teks keagamaan dan
menghegemoni wawasan keagamaan atau keilmuan para pendidik
Muslim; sebagaimana yang umumnya terdapat di dunia pendidikan
pesantren, madrasah bahkan perguruan tinggi Muslim, yang sampai hari
ini dampak historisnya masih dapat kita saksikan dan rasakan.
Perlu dicatat bahwa upaya umat dalam mengelaborasi wawasan keilmuan
di bidang sains, pada hakikatnya juga sangat terkait dengan perspektif
teologi yang dianutnya, apakah model Ghazalian atau Rusydian. Dalam
kaitan ini menarik pula kita kutip pernyataan Prof. Dr. Fazlur Rahman
(1984: 390) tentang fenomena kemandekan kreativitas keilmuan di dunia
Muslim, sebagai berikut:
”Sekarang ini, intelektualisme Islam praktis mati, dan dunia Islam
menyuguhkan suatu pemandangan gurun intelektualisme luas yang
gersang dan sepi tanpa hembusan angin pemikiran sedikitpun, tapi yang
kesenyapannya kadang-kadang memberikan kesan adanya getaran. Inilah
sosok umat yang kepada generasi mudanya Iqbal menujukan doanya
yang penuh harap kira-kira empatpuluh tahun yang lalu: “Semoga Tuhan
menyentuhkan ruhmu pada badai (yang baru), karena hampir tak ada riak
sedikitpun pada air lautanmu!”.
Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer
Setelah dikemukakan sekilas mengenai fenomena kemandekan
epistemologi keilmuan di dunia Muslim, maka berikut ini dikemukakan pula
beberapa model tawaran epistemologi keilmuan Muslim kontemporer,
yang saat ini cukup berpengaruh di kalangan dunia Islam. Sekedar untuk
dimaklumi bahwa wacana tokoh Muslim kontemporer berikut ini umumnya
secara spesifik dikaji dalam perspektif keilmuan agama Islam an-sich,
namun dalam beberapa hal bisa juga dikaitkan ke dalam wilayah sains.
Wacana epistemologi keilmuan kontemporer ini kita mulai dari konsep
Fazlur Rahman (asal Pakistan) tentang sains. Rahman (1983: 19-20)
mengemukakan bahwa di alam ini berlaku konsep qadar/taqdir. Konsep
taqdir di sini bukan bermakna “sebuah keyakinan yang persimis” – seperti
yang umum dipahami umat Islam, umumnya keyakinan ini akibat pengaruh
logika Ghazalian – tapi lebih bermakna bahwa Tuhan yang maha kuasa,
melalui kreativitas-Nya yang penuh kasih, memberikan “ukuran” (taqdir)
kepada setiap sesuatu. Memberikan kepada setiap sesuatu itu potensi-
potensi tertentu beserta hukum-hukum tingkah-lakunya. Singkatnya,
Tuhan memberikan sifat-sifat tertentu kepada setiap sesuatu. Allah sajalah
yang telah menciptakan hukum-hukum alam. Hal ini tidak berarti bahwa
manusia tidak dapat menemukan dan memanfaatkan hukum-hukum alam
tersebut. Sesungguhnya para petani dan ilmuwan telah berbuat demikian.
Al-Quran menyerukan kepada kita untuk menemukan hukum-hukum alam
dan memanfaatkan penemuan tersebut untuk kesejahteraan umat
manusia. Allah telah menciptakan hukum-hukum tertentu sehingga sebuah
sperma dapat menyuburkan telur dan yang setelah beberapa lamanya
berubah menjadi bayi dalam kandungan. Selanjutnya Rahman
mengungkapkan pula bahwa hukum-hukum alam mengekspresikan
perintah Allah. Seperti yang juga dikatakan oleh Prof. Dr. Teuku Jacob
“Evolusi adalah cara Tuhan bekerja” (Jurnal Relief vol.1 No.1 Januari
2003: 118). Bagi Rahman, alam tidak akan dan tidak dapat mengingkari
perintah Allah. Selanjutnya alam pun tidak dapat melanggar hukum-hukum
alam. Itulah sebabnya, kata Rahman, mengapa di dalam Al-Quran,
keseluruhan alam dikatakan muslim atau menyerah dan mematuhi
perintah Allah (Q.S. Ali Imran: 83). Dalam konteks ini, Fazlur Rahman lebih
terbuka, bahwa semua hasil temuan (sains) yang diproduksi manusia,
halal untuk dipelajari, termasuk berbagai temuan sains di dunia Barat. Di
sini Rahman berbeda pandangan dengan Ismail Raji al-Faruqi (Faruqian)
atau Naquib Al-Attas (Naquibian) yang secara eksklusif lebih berorientasi
pada Islamization of knowledge. Bahkan dengan keras Rahman menolak
ide Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut dengan menyatakan bahwa ide
tersebut sangat menyesatkan, karena akan membuat prinsip-prinsip Islam
tetap sebagai subordinat dari ilmu-ilmu modern. Sebaliknya kita harus
melahirkan ilmu-ilmu dari kandungan Al-Quran (scientification of Islam).
Ilmu harus dimulai dari Al-Quran, bukan berakhir dengan al-Quran
(Muhammad Azhar, 1996: 47).
Sedangkan Mohammed Arkoun (Aljazair), melalui teori Islamologi
Terapan-nya ingin mendorong umat Islam agar meninggalkan – meminjam
teori Foucoult – episteme abad pertengahan yang menurut Arkoun
cenderung melupakan dimensi historisitas (taarikhiyyah). Bagi Arkoun,
epistemologi pemikiran Islam klasik cenderung bersifat tekstual-normatif
yang sudah barang tentu sangat sulit mengadopsi pelbagai perubahan
sosial termasuk di dalamnya masalah perkembangan sains. Menurut
Arkoun, untuk memajukan wacana sains di dunia Muslim, kita harus
memulai mengkaji nasib filsafat di dunia Islam pasca Ibnu Rusyd. Kita
harus melakukan penelitian historis ganda yang membandingkan faktor-
faktor yang menyebabkan kegagalan di pihak Muslim dengan orang-orang
yang mempromosikan keberhasilan di pihak Kristen Barat tentang apa
yang disebut Averroisme Latin (Arkoun, 1996: 128). Arkoun mendorong
para peneliti untuk mempelajari faktor sosiologis, ideologis dan faktor
budaya yang sangat cepat menyebabkan kemenangan reproduksi ajaran-
ajaran “ortodoks” yang diwariskan oleh mazhab-mazhab yang bersaing.
Sejarah pemikiran, kata Arkoun, tidak dapat dipisahkan dari sejarah sosial.
Sudut pandang filosofis sangat penting untuk menjangkau ideologi-ideologi
yang merusak yang sangat menghalangi semua usaha pembaharuan dan
kreativitas keilmuan (Arkoun, 1996: 128-129).
Tentang wacana sains, Arkoun mengungkapkan bahwa tradisi Islam klasik
telah memperlihatkan adanya hubungan yang harmonis antara agama,
filsafat dan sains, sebagaimana yang terlihat dalam karya-karya Ibnu Sina
(Arkoun, 1996: 133). Penelitian ilmiah, lanjut Arkoun, tampaknya tidak
menghadapi halangan-halangan religius dalam ranah Islam. Al-Quran
selalu mengundang orang yang beriman untuk “melihat” dunia ciptaan
agar dapat menghargai keagungan dan kekuasaan Tuhan. Pengetahuan
ilmiah tentang alam, bintang-gemintang, langit, bumi, flora dan fauna
hanya akan memperkuat iman dan memancarkan hidayah-hidayah
simbolik Al-Quran.
Lebih lanjut Arkoun menyatakan (1996: 134-135):
Orang-orang Arab mengembangkan matematika (yang juga mencakup
aljabar, geometri, trigonometri dan aritmatika), astronomi, botani,
farmakologi, zoology, geografi, psiognomi dan psikomatika, yang
dimanfaatkan oleh Barat sejak abad ke-12. Sebagaimana dalam kasus
filsafat, gerakan ilmiah raksasa ini berhenti sebagai akibat supervisi
teologis yang dapat dibandingkan dengan yang dilakukan oleh kemapanan
Barat tetapi lebih dikarenakan oleh lingkungan sosial dan politik baru bagi
pengetahuan yang berkembang di keseluruhan dunia Muslim dimulai dari
abad ke-11 dan abad ke-12……. Tetapi kemudian, kira-kira pada tahun
1830, keterputusan sejarah dengan warisan saintifik dan kultural periode
produktif benar-benar memuncak. Itulah sebabnya mengapa pembaharu-
pembaharu salaf akhir abad-19 mengembangkan mitologi, romantisisme
dan nostalgia bagi kejayaan yang sudah lama hilang hanya memberikan
ruang kecil bagi pendekatan saintifik, kritis dan konstruktif.
Adapun Hassan Hanafi (asal Mesir), melihat wacana sains didasari pada
perspektif filosofis yang berpandangan bahwa alam adalah bukan sebuah
benda, tetapi merupakan sebuah persepsi kebudayaan yang menentukan
sikap manusia terhadap alam. Alam adalah ciptaan Tuhan dan manifestasi
dari sifat-sifat-Nya. Alam bersifat sementara dan merupakan lapangan
tempat manusia bertindak, sebuah ujian untuk kehidupannya.
Kegembiraan, kesenangan dan keabadiannya dikondisikan oleh
keberhasilannya di dalam ujian ini. Kehancuran alam akan terhindarkan
bila manusia bertanggungjawab dan accountable dalam mengelola alam.
Tanggungjawab terhadap alam ini membentang ke seluruh dunia.
Sayangnya dunia Muslim sekarang telah kehilangan perspektif
kebudayaan ini semenjak tujuh ratus tahun yang lalu (Hassan Hanafi,
2001: 97-98). Lebih lanjut Hassan Hanafi menyatakan bahwa Tuhan, di
dalam kesadaran Muslim sekarang ini, lebih menyerap alam dengan
sebuah visi teosentrik yang diwarisi dari ortodoksi tradisional.
Tokoh pemikir Muslim kontemporer lainnya, Mohammed Abed Al-Jabiri
(asal Maroko), mencoba mengemukakan tiga konsep pemikiran. Pertama,
yang bercorak bayani (pemahaman secara tekstual-normatif). Menurut Al-
Jabiri (2000: xlv-xlvii), nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada
dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushul al-arba’ah: Al-Quran,
sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan
tidak berubah. Meski pada awalnya pandangan dunianya adalah
pandangan dunia rasional Al-Quran, tetapi bentuk bernalar semacam ini
secara gradual beralih menjadi pandangan dunia tersendiri yang khas
bayani karena banyak didasarkan pada alam pikiran bahasa Arab, dan
bukan pada Al-Quran itu sendiri. Seperti ajaran tentang al-jauhar al-fard
(atomisme), pengingkaran hukum kausalitas (al-sababiyah), dan juga
prinsip al-tajwiz (keserbabolehan dalam hubungan antara sebab dan
akibat). Kedua, nalar irfani (spiritual-intuitif), secara epistemologis
cenderung tidak rasional dan menganggap kandungan lahiriah Al-Quran
sebagai kebenaran yang dikandung tradisi Hermetisisme. Bagi Al-Jabiri,
model pemikiran yang bercorak bayani dan irfani sangat sulit untuk
dijadikan landasan pengembangan sains. Maka untuk upaya
pengembangan wacana sains ke depan, umat Islam perlu
mengembangkan epistemologi keilmuan yang ketiga, bercorak burhani
(rasional-demontsratif). Al-Jabiri menuangkan perhatiannya pada tradisi
pemikiran Islam di belahan barat dunia Islam (Maghribi dan Andalusia),
dimana lahir para tokoh burhani semacam Ibnu Hazm, Ibnu Bajjah, Ibnu
Thufail, Ibnu Rusyd, al-Syathibi, dan Ibnu Khaldun. Berdasarkan rujukan
para pemikir di atas, Al-Jabiri menyatakan:
Yang berlaku dalam pemikiran orang-orang Andalusia ini bukan lagi
metode qiyas yang menjadikan teks dan masa lalu (salaf) sebagai otoritas,
bukan lagi atomisme atau prinsip “keserba-bolehan” yang mengingkari
hukum kausalitas yang dinyatakan bertentangan dengan semangat
rasionalisme dan kepastian ilmiah. Di atas landasan epistemologi burhani
yang menggunakan logika Aristoteles ini, yang dimunculkan kemudian
adalah metode deduksi (istintaj, qiyas jami’), induksi (istiqra’), konsep
universalisme (al-kulli), universalitas-universalitas induktif, prinsip
kausalitas dan historisitas, dan juga al-maqashid (tujuan syariah).
Sedangkan bagi pemikir Muslim asal Iran, Abdul Karim Soroush (2002: 18-
19) mengemukakan pula tentang teori “penyusutan dan pengembangan”.
Bagi Soroush, religiusitas adalah pemahaman manusia tentang agama,
sebagaimana sains adalah pemahaman mereka tentang alam. Soroush
cenderung membedakan antara agama dan pengetahuan agama. Agama
sebagai bentuk pengetahuan manusia sangat bergantung pada kondisi
kolektif dan kompetitif jiwa umat manusia. Interpretasi keagamaan bisa
saling berbeda antara para filosof, juru dakwah, sufi dan politisi. Dengan
mengutip pengetahuan dari filsafat agama, Soroush menyatakan bahwa
seluruh fenomena, pada hakikatnya, bermuatan teori, sehingga kita
melihat dunia melalui lensa-lensa teori. Oleh karena itu, lanjut Soroush,
tidak ada hal yang tampil sebagai suatu kejadian yang polos atau suatu
fakta yang keras. Jika kita tidak menyukai suatu interpretasi atas kejadian
tertentu, kita tentu menggantikannya dengan interpretasi yang lain.
Dengan demikian, ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia, yang
dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Itulah
sebabnya, orang beriman mempunyai beraneka ide. Lebih lanjut Soroush
(2002: 28, 43-44) menjelaskan tentang teorinya:
Tesis saya tentang penyusutan dan pengembangan ilmu agama
memperlihatkan bahwa untuk menafsirkan teks-teks agama, kita
membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, jika kita tidak mau
pemahaman kita stagnan. … Syariat agama tidak pernah setara dengan
opini manusia, sehingga mustahil ada kesesuaian atau ketidaksesuaian
antara keduanya; pemahaman seorang manusialah yang bisa jadi sama
atau tidak sama dengan pemahaman manusia yang lain…… Jadi, di mana
pun yang kita hadapi adalah ilmu agama yang mengamati dan memahami
agama, tetapi itu bukan agama. Ketentuan semacam ini mencakup semua
cabang ilmu pengetahuan manusia ….Bagian yang tetap adalah agama;
bagian yang berubah adalah pemahaman agama.
Demikianlah beberapa pandangan kritis-epistemologis dari beberapa
pemikir Muslim kontemporer di atas, yang ada korelasinya bagi upaya
pengembangan pemikiran keagamaan serta implikasinya bagi upaya
pengembagan wilayah sains di dunia Muslim, pada masa-masa yang akan
datang.
Beberapa Gagasan bagi Pengembangan Wacana Agama dan Sains ke
Depan
Berdasarkan analisis di atas, upaya pengembangan wacana agama dan
sains ke depan, beberapa langkah berikut ini layak dipertimbangkan, baik
oleh ilmuwan agama maupun sains, antara lain:
1. Perlu adanya shifting paradigm di bidang epistemologi keilmuan Islam
yakni dari epistemologi keislaman normatif-tekstual-bayani yang berakibat
pada sulitnya mengadopsi dan mengelaborasi wawasan dan temuan baru
di bidang sains; ke epistemologi keilmuan Islam kontemporer yang
bercorak intuitif-spiritual-irfani (secara aksiologis) yang banyak berkaitan
dimensi etika bagi pengembangan sains; maupun yang bercorak empiris-
historis-burhani (secara epistemologis) yang berdampak pada adanya
temuan baru (the context of discovery/qiro’ah muntijah/production of
meaning) di bidang sains. Pergeseran paradigma ini merupakan sintesa
baru antara corak Ghazalian (mazhab keilmuan Al-Ghazali/di Barat: al-
Ghazl) dengan Rusydian (mazhab Ibnu Rusyd/di Barat: Averroes).
Epistemologi keilmuan Islam klasik yang menghambat kemajuan temuan
dunia sains perlu segera direview ulang sebagaimana yang telah penulis
kemukakan secara umum di atas. Pemahaman tentang ijtihad
sebagaimana yang dikemukakan Dr. Sir Mohammad Iqbal (1981: 148)
sebagai the principle of movement dapat dijadikan acuan filosofis bagi
upaya pergeseran paradigmatic ini. Karena pada hakikatnya setiap hasil
ijtihad telah terpenjara oleh historisitas yang mengitarinya yakni dimensi
palace, space and time, dan oleh karenanya setiap pemahaman keilmuan
agama (termasuk Islam) maupun wacana sains akan mengalami
kemapanan, yang oleh Thomas Kuhn disebut normal science, dan lambat
laun mengalami krisis dan mendorong untuk lahirnya perspektif keilmuan
yang baru (revolutionary science).
2. Pergeseran paradigmatik di atas tentu berimplikasi pula pada adanya
suatu keharusan redefenisi konsep-konsep keilmuan Islam yang terkait
dengan wacana sains. Sekedar ilustrasi, konsep sho’idan thoyyiban (Q.S.
An-Nisa’: 42) yang dalam epistemologi Islam klasik bermakna debu yang
bersih, maka dengan perkembangan dunia sains kata-kata sho’idan
thoyyiban diredefenisi menjadi segala sesuatu yang tumbuh dari bumi. Bila
tidak ada air, orang bisa bertayamum di kursi atau dinding pesawat
sepanjang bersih dari najis, karena kedua benda – temuan sains – ini
termasuk pada kategori segala sesuatu yang tumbuh dari bumi. Di
pesawat, dalam perjalanan yang jauh, orang tidak perlu lagi menyediakan
atau membawa debu untuk persiapan tayamum sebagai pengganti air
wudlu’ karena keterbatasan air di pesawat. Demikian pula pengertian sab’a
samawaat (Q.S. Nuh: 15) yang secara klasik diartikan dengan tujuh lapis
langit. Namun karena perkembangan sains berubah maknanya menjadi
tujuh planet. Bahkan era berikutnya menjadi banyak planet (karena
belakangan – hasil temuan sains – jumlah planet sudah lebih dari tujuh).
Dalam bahasa Arab, kata-kata sab’a tidak hanya berarti berjumlah tujuh,
tetapi juga bisa diartikan berjumlah banyak. Masih banyak ilustrasi yang
bisa dikemukakan, namun karena keterbatasan halaman, cukup
dikemukakan di sini dua contoh saja. Dalam kaitan ini, apa yang
dikemukakan Abdul Karim Soroush (2002: 45) cukup tepat ketika ia
mengatakan bahwa “penafsiran agama bisa berubah dengan adanya
perubahan konsep sains”. Penulis di sini ingin juga mengemukakan bahwa
di masa mendatang perlu pula diupayakan adanya redefenisi konsep Islam
mendahului perubahan wacana sains. Ini yang dimaksud dengan teori
scientification of Islam (tawaran konseptual dari Fazlur Rahman). Bila
islamization of knowledge (tawaran konseptual model Ismail Raji Al-Faruqi
(1981) dan Naquib Al-Attas (1989) cenderung bersifat reaktif, maka
scientification of Islam lebih bersifat proaktif. Andaikata mau diintegrasikan,
kedua isu tersebut dapat dikompromikan sebagai berikut; bahwa teori
islamization of knowledge lebih ditekankan pada dataran aksiologis atau
etika keilmuan, sedangkan scientification of Islam lebih pada dataran
metodologis/epistemologisnya. Sehingga dua pendekatan
(Rahmanian/Fazlur Rahman dan Naquibian/Faruqian) bisa dikompromikan
bagi upaya pengembangan wacana keislaman dan sains di dunia Muslim,
di masa mendatang.
3. Redefenisi atau rekonseptualisasi ini tidak hanya ditujukan pada
wacana sains pada dataran global, tetapi juga dapat ditujukan kepada
wacana sains yang bercorak lokal (local genius atau local wisdom).
Globalisasi sebenarnya tidak semata-mata berorientasi pada satu pihak –
katakanlah sains Barat – namun lebih ideal bersifat dua belah pihak yakni
disamping ada upaya untuk mengadopsi sains Barat yang memang
banyak hal positif buat kemajuan peradaban, namun juga di sisi lain harus
diimbangi dengan adanya upaya untuk memunculkan kreativitas lokal,
terutama dunia Muslim – yang umumnya masih sangat ketinggalan di
bidang sains – untuk memperkaya wacana di bidang sains. Bukankah
sains global di Barat juga pada mulanya muncul dari produk lokal namun
lama kelamaan mendapat legitimasi di kalangan dunia akademis dan
akhirnya berkembang menjadi produk sains global. Sebagai contoh
potensi kearifan lokal, apa yang berkembang saat ini yang umumnya
masih dikenal dengan konsep pengobatan alternatif (sebagai salah satu
contoh saja), bila dikaji dan dikembangkan secara lebih aposteriori serta
memenuhi standar akademis, kelak bisa menjadi produk lokal di bidang
medis yang suatu saat akan menjadi produk global juga. Terkait dengan ini
menarik apa yang diungkapkan Hassan Hanafi (2001: 200-201):
Jika kedokteran profetik atau skriptural tidak lagi dapat dipertahankan,
kedokteran eksperimental berhenti, kedokteran spiritual lebih mendekat ke
magis atau takhayul, kedokteran fenomenologis mungkin nampak
simplistik dan religius. Dikatakan simplistik karena kedokteran ini tidak
bergantung pada kedokteran ilmiah modern eksperimental bahkan
menolaknya mentah-mentah. Namun demikian, di dalam masyarakat yang
kedokteran ilmiahnya mencapai puncak penyakit abad, kedokteran
fenomenologis tidak pernah berhenti.
Di sisi lain teori Ibnu Taimiyah (1949: 9-10) tentang al-haqiqotu fil a’yan laa
fil adzhan (kebenaran autentik itu pada hakikatnya lebih bersifat empiris
atau bercorak Aristotelian-Humian, bukan normatif-rasionalistik atau yang
bercorak Platonik-Cartesian); bisa pula dijadikan filosofi pengembangan
sains lokal ini.
4. Untuk mendukung adanya upaya rekonstruksi keilmuan agama dan
wacana sains di atas, maka aspek eksperimentasi (yang di dalamnya pasti
ada dimensi trial and error) – terkait dengan aspek tools dunia sains –
menjadi mutlak diperlukan seperti adanya proyek riset secara periodik,
pengadaan perpustakaan yang lengkap, laboratorium, dimana sangat
membutuhkan budget yang tidak sedikit, disamping juga penyiapan SDM
umat dan bangsa secara sistematis dan profesional. Tradisi riset dan
perlengkapannya – termasuk SDM – di dunia Muslim masih jauh dari
harapan. Bila hal ini dikelola secara gradual, sistematis dan profesional,
kelak dapat menelorkan produk-produk sains lokal yang secara potensial
cukup kaya di dunia Muslim, terutama Indonesia. Upaya produksi sains
lokal ini juga harus disertai dengan legitimasi yuridis hak paten dari setiap
temuan yang ada.
5. Untuk pengembangan potensi local genius di atas, maka perlu adanya
networking antar berbagai lembaga ilmiah atau riset semacam IIFTIHAR
(The International of Islamic Forum for Science, Technology and Human
Resources Development) yang berada di Jakarta; MIFTA (Muslim
Information and Technology Association) bermarkas di Bogor; CRCS di
UGM Yogyakarta dan lembaga ormas lainnya. Berbagai lembaga di atas
bisa lebih diberdayakan dan disinergikan dengan LIPI, Menristek dan
perguruan tinggi. Madrasah, pesantren dan IAIN/UIN (Universitas Islam
Negeri) bisa lebih didorong untuk tidak hanya melahirkan ulama literal-
skriptural, tapi juga ulama empiris/saintis (sebagaimana telah terbukti
secara historis di masa awal kejayaan Islam). Ibnu Sina di era Islam klasik
– dan semisalnya – disamping sebagai ulama literal-skriptural juga dikenal
sebagai ahli filsafat dan medical science.
6. Teori spider web-nya Amin Abdullah (lihat jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli
2003: 12-18) dapat pula dijadikan rujukan akademis bagi upaya
pengembangan sains di masa depan yang juga mendapatkan dukungan
teologis dari agama (baca: Islam). Dalam teori ini digambarkan bahwa
horizon jaring laba-laba keilmuan agama Islam dalam era masyarakat
berubah, mengandaikan bahwa pada periode pertama (pra 1950) Islamic
studies masih bersifat eksklusif (hanya mengedepankan pengajaran
ulumuddin, fiqh, kalam (teologi), tafsir dan hadits (lima bidang kajian).
Maka periode kedua (1951-1975) disamping Islamic studies sebagai core,
namun sudah mulai berkenalan – walau masih jalan sendiri-sendiri atau
belum ada dialektika antar wilayah ilmu – dengan wilayah kajian
humaniora, social sciences dan natural sciences. Sedangkan periode
ketiga (1976-1995) wilayah Islamic studies berkembang menjadi delapan
bidang – ulumuddin, fiqh, dan lain-lain – dimana periode ketiga ini juga
disebut sebagai era auxiliary sciences. Maka pada periode keempat (1996-
sekarang) Core sciencies of Islamic studies yang delapan bidang tersebut
sudah mulai berdialektika dengan wilayah sains dan teknologi (al-‘ulum al-
kauniyyah/natural sciences) maupun wilayah kajian lainnya (humaniora
dan social sciences).
7. Penambahan mata kuliah Agama dan Sains serta Futurologi di pelbagai
perguruan tinggi – terutama PT agama – menjadi mendesak untuk
diprogramkan. Khusus tentang Futurologi, perlu disosialisasikan kepada
mahasiswa tentang tujuan jangka panjang dari pengajaran mata kuliah ini.
Sekedar dimaklumi bahwa Futurologi yang dimaksud di sini adalah tentang
semua bentuk cara pandang terhadap masa depan. Atau bisa juga
dimaksudkan tentang suatu ramalan (forecast) yakni kemungkinan dan
afirmasi ilmiah yang relatif terhadap pilihan-pilihan terhadap problematika
yang berkaitan dengan masa depan. Ramalan yang berhubungan dengan
prinsip ‘apakah’, ‘bila’ atau ‘apakah yang akan terjadi’. Terkait dengan studi
futuristik/futurologi ini seorang sosiolog dan futurolog asal India, Rajni
Kothari mengatakan:
Terdapat suatu dilema yang dihadapi seorang futurolog. Sebagai seorang
reformer dan sekaligus seorang romantis, setiap futurolog pasti dipandu
oleh sebuah visi yang mendasar tentang bagaimana meninggalkan masa
lalu dan membangun kembali masa sekarng menuju dunia baru. Serta
sebagai seorang skeptis dan sekaligus ilmuwan, ia memahami bahwa
suatu pemutusan total dengan masa lampau adalah hal yang mustahil dan
suatu usulan yang berbahaya, sementara ia berharap mampu menjadikan
dunia lebih baik (Eleonora B. Masini, 2004: 4).
Studi Futuristik ini memperkenalkan kepada para mahasiswa tentang
karakteristik dari studi ini yakni: pertama, aspek transdisipliner, yakni
semua problematika yang muncul tidak lagi dapat dianalisis oleh satu jenis
disiplin ilmu, mengingat banyaknya aspek yang melingkupi tiap-tiap
permasalahan dengan segala kompleksitas yang ada. Kedua, aspek
kompleksitas, yakni bila transdisipliner menyangkut soal pendekatan,
maka kompleksitas lebih pada persoalan muatan yang sangat kompleks.
Ketiga, aspek globalitas yang dalam hal ini meliputi seluruh permukaan
bumi dimana dunia semakin menyempit akibat perubahan-perubahan
besar dan menakjubkan yang terjadi di bidang transportasi dan
komunikasi. Keempat, aspek normatif yakni tentang hubungan-hubungan
dari studi futuristik dengan nilai-nilai yang spesifik, hasrat, harapan dan
kebutuhan di masa depan. Tentang aspek normatif di sini dibedakan
dengan norma-norma sebagai kode-kode perilaku yang terkait dengan
nilai-nilai, sebagaimana yang dikaji secara khusus dalam ilmu sosial.
Kelima, aspek sains dimana studi futuristik ini juga tidak terlepas dari
adanya eksperimentasi, sesuatu yang diulang berkali-kali, dan kemudian
dapat diprediksi, maka studi ini termasuk wilayah sains. Untuk mengacu
atau menguji masa depan, kita harus melakukan tindakan tersebut
terhadap sesuatu yang akan segera terjadi, dan oleh karenanya, belum
pernah diujicobakan, diverifikasi atau diulang. Keenam, aspek
kedinamisan dimana studi ini karena menyangkut konsep hidup dalam
ketidakpastian bisa menggunakan berbagai macam metode, karena terkait
erat dengan pelbagai bentuk perubahan yang sangat dinamis. Ketujuh,
aspek partisipasi yakni tentang kebutuhan bagi setiap orang yang ingin
berpartisipasi di masa depan untuk menjadi bagian atau bahkan sebagai
aktor dalam studi ini. Kaum muda khususnya sebagai aktor-aktor di masa-
masa mendatang harus berperan aktif dalam pilihan dan pembangunan
masa depan mereka sendiri (Eleonora B. Masini, 2004: 25-37).
Demikianlah beberapa karakteristik dari studi futuristik ini yang cukup
penting untuk disoailissikan serta mendesak dan sangat relevan untuk
diajarkan di perguruan tinggi, yang sudah barang tentu akan sangat
membantu bagi pengembangan wacana agama dan sains di kemudian
hari.
Adapun beberapa beberapa sub-tema penting dalam studi Futurologi
antara lain tentang isu: posmodernisme dimana aspek deconstruction
terhadap paham modernisme, plurality dan spirituality menjadi bahasan
yang esensial di dalam tema ini. Kajian posmodernisme tergolong pada
wilayah the third way dari pola kebudayaan masyarakat dunia yang
dominan saat ini. Sub-tema lainnya adalah tentang masalah globalisasi
yang ada hubungannya dengan fenomena menarik dari kecenderungan
masyarakat dunia untuk kembali melirik alam (back to nature). Dalam
wilayah social sciences aspek critical social theory juga layak
diperkenalkan pada peserta didik, demikian pula tentang social philosophy
(etika sosial, teologi sosial, problema lingkungan hidup, human rights, studi
hukum kritis). Selain itu tema fisika quantum yang di dalamnya terkait
dengan temuan baru di bidang sains semacam cyberspace internet/sains
virtual, black hole, teleportasi, teleconference, microchip. Science-fiction
semacam time tunnel, the X-file, robocop dan sejenisnya menarik untuk
didiskusikan di kalangan peserta didik. Temuan di bidang biologi-
bioteknologi (seperti God spot, masalah aura tubuh, biomagnetics, cloning)
juga baik untuk diperkenalkan. Dimensi lainnya adalah yang termasuk
dalam wilayah hyper-reality (parapsikologi, Spiritual Quotion/MQ,
cenayang, telestisic, hubungan antara mistisisme dan fisika, spiritual
finance, dan sejenisnya, dapat memperkaya studi agama dan sains
maupun futuristik/futurologi ini.
8. Kritik Posmodernisme terhadap Modernisme (yang sangat positivistik-
rasionalistik serta berdampak pada lahirnya etika sosial yang bercirikan
hedonisme, konsumerisme dan materialisme) layak pula diperhatikan oleh
para ilmuwan agama maupun sains. Berbeda dengan watak modernisme
yang monolitik, unhuman dan kapitalistik; maka watak dasar
posmodernisme mengandaikan adanya pengakuan filosofis maupun
sosiologis terhadap wacana pluralism, spiritualism dan deconstruction.
Upaya pengembangan epistemologi keagamaan maupun wacana sains
tidak boleh tidak mestilah mengakui adanya ketiga karakter tersebut. Bila
ingin diterjemahkan, maka konsep pluralisme di bidang pengembangan
sains mengandaikan adanya produktivitas lokal yang beragam. Di
Indonesia, konsep otonomi daerah dapat dimanfaatkan bagi segenap
warga masyarakat untuk menggali potensi sains di masing-masing wilayah
yang bisa diriset dan dikembangkan di kemudian hari. Jadi tidak semata-
mata mengimpor produk sains dari luar negeri atau sekedar memberi label
nasional bagi produk luar negeri seperti kasus mobil Timor yang disebut
mobil nasional, padahal sejatinya adalah produk Korea Selatan.
9. Analisis Ian G. Barbour (2002) tentang upaya pengembangan dialog
maupun integrasi antara agama dan sains, dapat memperkaya dan
menjadi bahan studi perbandingan terhadap teori Islamization of
knowledge ala Faruqian dan Naquibian, maupun teori scientification of
Islam model Fazlur Rahman (Rahmanian). Demikian pula dimensi
spirituality of science sebagaimana yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr
(1988).
10. Review ulang epistemologi sains di Barat juga penting untuk terus
dicermati sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Thomas Kuhn (teori
normal science dan revolutionary science) yang mengkritisi logical
positivism (1980: 223-245). Demikian pula telaah sintesis terhadap
rasionalisme dan empirisisme dari mazhab Kantian; model deconstruction
Derrida; telaah tentang episteme dari Foucoult; wacana tentang adanya
hegemoni kekuasaan (model Gramsci) terhadap perjalanan ilmu; maupun
aspek kritisisme dari Habermas. Kesemuanya itu dapat memperkaya
wacana dialektis antara agama dan sains di masa depan.
Untuk mengakhiri tulisan ini maka – sekedar perbandingan – tawaran riset
yang baru di bidang sains dan agama berikut ini penting menjadi perhatian
bersama sebagaimana yang dikemukakan oleh Sir John Templeton (1998:
131):
a. A bibliographic survey of work by scientists on spiritual subjects.
b. A program to assess the extent of teaching of university and college
courses on science and religion and to stimulate courses emphasizing
progress in religion.
c. A training module on religion and psychiatry which illustrates the extent
to which spiritual factors may influence clinical therapy.
d. A program to encourage scientist and theologians to publish papers on
humility theology.
e. A program of lectures on relationship between science and theology
presented at universities and colleges in North America and Europe and,
more recently, at large churches in the United States.
Wallahu a’lam bisshawab.
Daftar Pustaka:
Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Bandung:
Mizan, 2002..
Eleonora B. Masini, Studi Futuristik, Kebutuhan, Perkembangan dan
Metode Mengarahkan Masa Depan, Yogyakarta: BKF Multimedia dan
Kreasi Wacana, 2004.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, Bandung: Pustaka, 1983.
——-, Islam, Bandung: Pustaka, 1984
Gary Gutting (Ed.), Paradigms and Revolutions: Appraisals and Aplication
of Thomas
Kuhn’s Philosophy of Science, London: University of Notre Dame Press,
1980.
George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003.
Harian Pelita, Jakarta: 4 Maret 1993.
Hassan Hanafi, Islam Wahyu Sekuler, Jakarta: Inst@d, 2001
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Bandung:
Mizan, 2002
Ibnu Taimiyyah, Kitab al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Bombay: Qayyimah
Press, 1949
Ismail Raji al-Faruqi dan Abdullah Omar Nasseef (Ed.), Social and Natural
Sciences:
The Islamic Perspective, Jeddah: Hodder and Stoughon, King Abdulaziz
University, 1981
Jurnal Relief, Vol.1 No.1, Januari 2003, CRCS-UGM Yogyakarta
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant, Filsafat Etika Islam,
Bandung: Mizan,
2002
M. Amin Abdullah, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif
Hermeneutika
Sosial dan Budaya” dalam jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003, LPPI-UMY
dan Majelis Tarjih & PPI PP Muhammadiyah.
Michel Talbot, Mistisime dan Fisika Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
———-, Taarikhiyyah al-Fikr al-‘Aroby al-Islamy, Beirut: Markaz al-Inma’
al-Qaumy, 1986
Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS,
2000
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Nashr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi Zamani al-Takfir: Dlid al-Jahl wa al-Zaif
wa al-Khurafat, Kairo: Sina li al-Nasyr, 1995
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1992
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, Lahore: Suhail
Acadeny, 1988
Sir John Templeton, The Humble Approach, Scientist Discover God, USA:
Templeton Foundation Press, 1998
Sir Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
New Delhi: Kitab Bhavan, 1981
Syarif Hidayatullah, Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual, Jakarta: MIFTA,
2003
Syed Muhammad NAquib Al-Attas, Islam and the Philosophy of Sciences,
Kuala Lumpur: ISTAC, 1989

You might also like