You are on page 1of 15

Pertanian Berbasis Kearifan Lokal

Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X*

http://www.hbforri.com/pages/posts/pertanian-berbasis-kearifan-lokal72.php

10:51 2009

KEARIFAN lokal dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang
terbatas pula.

Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa, yang di dalamnya melibatkan
pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia, atau manusia dengan lingkungan fisiknya.
Sebuah setting kehidupan yang terbentuk akan memproduksi nilai-nilai, yang menjadi landasan
hubungan atau acuan tingkah-laku masyarakat lokal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit (explicit knowledge) yang muncul dari
periode panjang yang berevolusi di masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang
dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat
menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.

Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi
lebih jauh mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Oleh karena itu,
sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal
yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan dan kreativitas kolektif serta pengetahuan lokal dari
para elit dan masyarakatnya sangat menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakat
lokal.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan
mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan lokal dapat ditemui dalam
nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuna yang melekat dalam perilaku
sehari-hari. Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi
ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan
lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam
pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif.

Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri
khas komunitas kelompok tertentu, misalnya alon-alon waton kelakon (masyarakat Jawa
Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kyai-ne
manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.
Substansinya: Keberlanjutan

Kearifan lokal adalah tema humaniora yang diunggulkan sebagai “pengetahuan” yang “benar”
berhadapan dengan standar “saintisme” modern, yaitu semua pengetahuan yang diperoleh
dengan pendekatan positivisme. Sains modern dianggap memanipulasi alam dan kebudayaan
dengan mengobjektifkan semua segi kehidupan alamiah dan batiniah, dengan akibat hilangnya
unsur “nilai” dan “moralitas”. Sains modern menganggap unsur “nilai” dan “moralitas” sebagai
unsur yang tidak relevan untuk memahami ilmu pengetahuan. Bagi sains, hanya fakta-fakta yang
dapat diukurlah yang boleh dijadikan dasar penyusunan pengetahuan. Itulah prinsip positivisme.

Kearifan lokal adalah hujah (argument) untuk mengembalikan “nilai” dan “moralitas” sebagai
pokok pengetahuan. Yang khas dari pandangan kearifan lokal adalah berdasarkan kebenaran
pada ajaran-ajaran tradisional yang sudah jadi, dan hampir tidak mempersoalkan kandungan
politik ajaran-ajaran tradisional itu.

Dalam bentuknya yang “politis” tema “kearifan lokal” kita saksikan pada penolakan terhadap
kebudayaan teknologis. Lingkungan hidup, misalnya, merupakan kawasan proteksi “kearifan
lokal” melalui pengembalian cara-cara pertanian tradisional untuk menggantikan cara-cara
pertanian modern. Artinya, pertanian bukan sekadar bagaimana meningkatkan hasil, tetapi juga
menjaga kualitas lingkungan hidup. Keberlanjutan adalah premis pokoknya, bukan profit semata,
dan itu sudah dipraktikan turun-temurun oleh masyarakat petani kita.

Dalam beberapa kasus, pengetahuan lokal terbukti lebih ramah lingkungan sekaligus
meningkatkan produktivitas. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan lokal bukan sekadar
tradisi. Ia adalah sebentuk pengetahuan berbasis pemecahan masalah yang melihat kenyataan
bukan sekadar objek melainkan subjek. Para postmodernis menemukan bahwa pengetahuan lokal
tidak bekerja di ruang hampa budaya. Alih-alih bebas dari nilai, norma dan aturan budaya,
pengetahuan justru sarat kepentingan.

Masyarakat adat Dayak, misalnya, memiliki pengetahuan lokal tentang cara berladang yang
menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang justru diabaikan oleh kalkulasi ekonomi
modern. Masyarakat Banjar menemukan sistem pertanian sawah lestari dengan masukan rendah
menghasilkan delapan ton padi per hektar. Semua itu membuktikan pengetahuan berbasis tradisi
tidak berjalan di tempat.

Institusi lokal sebagai basis pengaturan efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan manusia
adalah tesis yang diakui oleh banyak kajian. Namun, tatkala institusi lokal dilekatkan pada desa,
muncul banyak keraguan. Desa terlanjur menyandang citra yang buruk sebagai penghancur
institusi lokal. Tentu saja kesan ini tidak dapat disalahkan, karena rangkaian kebijakan tentang
desa, terutama di bidang pertanian, selama ini memang meluluh-lantakkan institusi lokal.

Back to Nature

Yang merisaukan, gaya hidup modern ternyata tidak identik dengan perbaikan kesehatan. Justru
sebaliknya, semakin banyak muncul sindrom bangunan sakit (sick building syndrome), terutama
di perkantoran gedung tinggi yang menggunakan sistem aliran udara terpusat. Di rumah pun,
tetap ada kerisauan pula. Buruknya sirkulasi udara karena orang lebih menyukai dinginnya AC
daripada sejuknya hembusan udara luar, belum lagi penggunaan berbagai alat listrik yang
membawa radiasi, membuat banyak penyakit yang tak dikenal bermunculan. Tak sedikit orang
yang berusaha untuk mengembalikan kedekatannya dengan alam lewat pembuatan rumah yang
alami, atau kembali ke pertanian pra-Revolusi Hijau, ke Sistem Pertanian Organik (SPO).

Fenomena ini memberi kesan: sikap hidup back to nature menjadi sebuah trend. Tetapi cukupkah
itu? Bagaimana jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung? Modernisasi pertanian selama
kurang lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan kesejahteraan
petani, mayoritas penduduk Indonesia. Kini sudah saatnya Pemerintah mengakui hak-hak petani,
seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih.

Sudah saatnya sekarang ditegaskan, bahwa petani diperbolehkan menanam padi jenis lokal.
Sudah saatnya juga dipikirkan insentif maupun kredit bagi petani yang bertani organik, bukan
hanya mempertahankan kredit usaha tani yang notabene lebih banyak untuk pembelian pupuk
dan racun hama, yang sekarang selain mahal harganya, juga sering terjadi kelangkaan. Demikian
juga, hendaknya petani diberi kebebasan menentukan pilihan dan membentuk organisasi petani
yang diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan petani.

Lewat SPO bisa memulihkan kesuburan tanah, sebab tanah pertanian telah dirusak oleh sistem
yang memaksa petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang telah ditentukan merknya.
Kerugian petani yang diakibatkan kerusakan tanah semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan
yang akhirnya memangkas kemerdekaan petani, misalnya dengan keharusan penggunaan bibit
padi.

Dilema Revolusi Hijau

Thomas Malthus, ahli ekonomi abad ke-19, meramalkan bumi akan dilanda kelaparan karena
pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan hasil pangan mengikuti
deret hitung. Ramalan itu belum terbukti karena tidak memperhitungkan terjadinya Revolusi
Hijau. Petani di seluruh dunia, termasuk petani di Indonesia, sekitar tahun 1960-an menanam
bibit unggul berproduksi tinggi, menggunakan pestisida dan pupuk, dan irigasi untuk
meningkatkan produksi bahan pangan, yang kini menjadi topik bahasan kita.

Sebagai perbandingan, digambarkan dua kontras model peternakan. Model pertama, sapi yang
terbaring di atas jerami di bawah atap tinggi pusat penelitian pertanian canggih dekat London.
Sapi itu lahir melalui kawin suntik dan sudah divaksinasi agar tidak terjangkit berbagai macam
penyakit. Setahun sekali berbagai jenis antibiotik dimasukkan melalui puting susunya. Melingkar
di lehernya alat elektronik yang mengatur kapan tempat makanan khususnya terbuka. Sapi ini
bisa menghasilkan 12.000 kilogram susu setiap tahun, sama dengan dua kali hasil susu dari sapi
umumnya di Inggris.

Seekor sapi lainnya, hidup seperti sapi kampung biasa, memamah-biak rumput di lahan pertanian
organik di Oxfordshire. Sapi kampung turunan banteng lokal ini tidak mengunyah makanan
pabrik penuh protein, dan darahnya tidak terkontaminasi obat-obatan antibiotik. Tanaman
pangan yang tumbuh di sana dipupuk dengan kotoran sapi. Tetapi susu yang dihasilkannya tidak
sebanyak susu saudaranya yang hidup mewah, karena itu harga susunya pun lebih mahal.
Inilah dua ekstrem praktik pertanian melanjutkan Revolusi Hijau yang dimulai tahun 1960-an.
Satu kutub, praktik pertanian yang mengikuti keseimbangan alam, tidak memacu kemampuan
ternak, tanaman, maupun kemampuan tanah. Mereka mengkritik pangan yang dihasilkan oleh
pertanian modern yang intensif tidak baik bagi kesehatan, merusak lingkungan, dan dalam
praktiknya bahkan tidak “berperikebinatangan”.

Kutub ekstrem lainnya, tidak membantah habis kritik-kritik itu. Memang penggunaan pupuk
buatan, pestisida, berbagai jenis hormon dan obat antibiotik, bisa menimbulkan kerusakan
lingkungan maupun merusak kesehatan, tetapi teknologi bisa mengatasinya jika masih ingin
memberikan makan warga bumi yang semakin banyak.

Dampaknya di Indonesia

Revolusi Hijau di negara berkembang seperti Indonesia menghasilkan dampak sampingan yang
“tidak hijau”. Irigasi menghancurkan lahan-lahan subur karena tanpa drainase yang tepat, lapisan
tanah subur di permukaan (top soil) tercuci habis. Erosi, karena pembukaan hutan menjadi lahan
pertanian, ikut mencuci lapisan tanah subur. Irigasi besar-besaran hanya untuk pertanian,
menimbulkan ketakutan kekurangan air bersih untuk fungsi lainnya.

Penggunaan insektisida lama-kelamaan membuat hama ikut ber-evolusi menjadi tahan racun
insektisida. Kemudian muncul hama lama dengan ketahanan baru, misalnya berbagai strain hama
wereng berturut-turut menghancurkan hasil panenan padi di Pulau Jawa. Petani didesak
menggunakan jenis insektisida baru yang lebih keras. Di sini, pabrik pestisida yang diuntungkan,
karena dapat memperluas pasarnya. Padahal, pestisida bukan saja meracuni lingkungan sawah,
mematikan ular pemangsa tikus, burung pemangsa ulat, tetapi pestisida juga meracuni petani.
Misalnya, munculnya penyakit sapi gila, kekhawatiran residu pestisida dan berbagai jenis
hormon menimbulkan kanker.

Penggunaan bibit unggul dan bibit hibrida menjadikan pembuat benih mendapat untung besar,
tetapi petani menjadi tergantung. Padahal dulu petani biasa mempraktekkan “jabal”, jalur benih
antarlapang.
Dulu ketika musim tanam, petani Karawang membeli benih padi hasil panen petani di
Indramayu. Petani sering menyisihkan sebagian hasil panenan untuk benih musim tanam
mendatang, tetapi sekarang tidak bisa, karena harus menggunakan benih bersertifikat.

Pertanian intensif, yang menggunakan jenis tanaman pangan seragam yang terbatas
keanekaannya dan ternak berasal dari satu keturunan, juga menimbulkan persoalan tersendiri.
Memang menggunakan jenis yang seragam bisa meningkatkan produksi, tetapi sekaligus
menimbulkan serangan satu jenis hama pada hamparan yang luas. Padahal menanam berbagai
jenis tanaman pangan, seperti yang dilakukan para petani sebelum Revolusi Hijau, bisa
mencegah penyebaran hama-penyakit.

Penggunaan pupuk buatan pabrik, tanpa disadari petani, mengubah struktur tanah, komposisi
bakteri tanah, yang mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Sebagian besar pupuk urea dan
sisa pestisida yang tidak sempat dimanfaatkan tanaman ikut terhanyut ke sungai, mencemari
sungai, mematikan ikan yang hidup di sungai. Timbulnya kesadaran akan lingkungan yang sehat,
memunculkan gugatan terhadap praktik pertanian modern yang intensif.
Di Asia produksi gandum meningkat lima kali lipat antara tahun 1961 dan 1991. Harga bahan
pangan, akibat produksi meningkat, dalam jangka panjang menjadi turun. Menurut laporan PBB
jumlah penduduk yang kurang pangan berkurang dari 942 juta jiwa tahun 1970 menjadi tinggal
786 juta jiwa tahun 1990.

Revolusi Hijau ikut memberikan dampak pada dunia pertanian Indonesia. Paket teknologi
Bimas/Inmas mampu mendorong produksi padi mencapai lebih dari 10 ton per hektar sawah, dan
bahkan Indonesia sempat bisa berswasembada beras tahun 1984. Namun setahun setelah itu
datang bencana. Selama tahun 1985 hingga 1987 tragedi gagal panen melanda hampir di semua
lahan pertanian. Pangkal keprihatinan itu adalah serbuan hama padi yang datang bertubi-tubi
mulai dari tikus, wereng, penggerek batang, sampai tungro. Sehingga tidak ada lagi tersisa padi-
padi hibrida yang ditanam petani sebelumnya. Akibatnya, selama beberapa kali masa tanam
banyak lahan sawah yang bera atau puso, ditelantarkan, karena petani kehabisan modal, bahkan
tidak sedikit yang terjerat utang.

Tetapi Dr Pinstrup Andersen, seorang ahli dari International Food Policy Research Institute, di
Washington, seperti dikutip The Economist berpendapat, jika kembali ke pertanian pra-Revolusi
Hijau secara besar-besaran akan menurunkan produksi pangan dunia.

Selain itu, pertanian pra-Revolusi Hijau merusak lingkungan juga, bisa lebih parah dibandingkan
dampak Revolusi Hijau. Untuk meningkatkan produksi pertanian pra-Revolusi Hijau, maka
harus dibuka lahan baru, artinya akan banyak hutan yang harus dibuka.

Kedua pendapat itu ada benarnya. Sekarang pilihan terpulang kepada semua orang yang ingin
hidup di bumi ini. Apakah kita akan memilih memakan hasil pertanian modern, yang banyak
menggunakan berbagai bahan kimia, pestisida, obat-obatan, dengan risiko berdampak pada
kesehatan? Atau memilih mengkonsumsi produk dari pertanian organik yang lebih bersahabat
dengan lingkungan tanpa berisiko kemasukan bahan kimia buatan manusia? Tetapi ada risiko
lain, yaitu ancaman kekurangan pangan dunia.

Perkembangan SPO Dunia

Perkembangan pertanian organik kian meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan permintaan
SPO dunia mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya
berkisar antara 0,5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian.

Meski di Eropa penambahan luas areal SPO terus meningkat dari rata-rata di bawah 1 persen
(dari total lahan pertanian) tahun 1987, menjadi 2-7 persen di tahun 1997 (tertinggi di Austria
mencapai 10,12 persen), namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly,
2000). Sampai dengan tahun 2003 total luas lahan yang dikelola secara organik di dunia
mencapai 24 juta hektar.

Total penjualan produk organik di seluruh dunia mencapai US$ 23 milyar. Pasar produk organik
utama dunia, yaitu di Amerika Serikat dan Kanada sebesar 51 persen atau US$ 11 milyar, disusul
Eropa sebesar US$ 10 milyar (46 persen), kemudian Jepang sebesar US$ 350 juta. Pertumbuhan
pasar produk organik diperkirakan mencapai 20-30 persen per tahun, bahkan di beberapa negara
tertentu mencapai 50 persen per tahun. Kenaikan nilai penjualan produk organik dipicu oleh
adanya harga premium dan tingkat kesadaran konsumen tentang mutu produk . Saya yakin,
tentunya Lembaga Penelitian Universitas Jember ini juga memiliki data mutakhir yang akurat
guna menggambarkan tren perkembangan SPO Dunia.

Potret SPO di Indonesia

Dewasa ini SPO berkembang cukup pesat di Indonesia. Ini merupakan salah satu pertanda
positif, bahwa SPO mulai mendapat tempat di hati masyarakat, baik produsen maupun
konsumen. Namun, demikian perkembangan yang positif ini perlu dicermati, agar tidak
memunculkan bias-bias yang justru merugikan kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kendala
pengembangan SPO di Indonesia juga masih besar, bahkan lebih besar dibandingkan laju
perkembangannya. Ada banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga tak heran jika sampai
kini SPO masih menjadi wacana marjinal dan diragukan kemungkinannya sebagai pertanian
masa depan yang menjanjikan.

Di Indonesia, pertumbuhan pasar produk organik juga meningkat, terutama di kota-kota besar.
Indonesia sebagai negara kepulauan dan tropik memiliki potensi sebagai produsen organik dunia,
tetapi sayangnya potensi tersebut belum tergarap optimal. Produk organik utama Indonesia
adalah beras, sayuran, buah-buahan, kopi, mete, rempah-rempah, herbal, minyak kelapa murni,
madu, produk liar (wild product), dan udang. Khusus untuk kopi, vanila, mete dan udang telah
diekpor ke pasar Eropa, AS dan Jepang.

Nilai volume pemasaran produk organik Indonesia tidak diketahui dengan pasti karena ketiadaan
database pertanian organik. Banyak kendala yang dihadapi para pelaku pertanian organik di
Indonesia. Minimnya dukungan Pemerintah dalam pengembangan pertanian organik, kurang
terkoordinasinya para pelaku pertanian organik, beragamnya pemahaman pertanian organik,
sertifikasi dan akses pasar serta permasalahan teknis lainnya merupakan beberapa permasalahan
yang dihadapi dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia.

Prospek SPO di Indonesia

Perkembangan SPO di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan SPO dunia, bahkan
dapat dikatakan pemicu utama SPO domestik adalah karena tingginya permintaan SPO di
negara-negara maju. Tingginya permintaan SPO di negara-negara maju dipicu oleh (Hamm,
2000):

(1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami masyarakat,


(2) dukungan kebijakan Pemerintah,
(3) dukungan industri pengolahan pangan,
(4) dukungan pasar konvensional
(supermarket menyerap 50 persen produk SPO),
(5) adanya harga premium di tingkat konsumen,
(6) adanya label generik,
(7) adanya kampanye nasional SPO secara gencar.
Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Inilah kemudian yang
memacu permintaan produk SPO dari negara-negara berkembang. Selain faktor di atas,
perkembangan SPO di Indonesia juga didorong oleh munculnya kesadaran konsumen akan
pentingnya produk-produk sehat dan ramah lingkungan, khususnya di kalangan kelas menengah
perkotaan. Sebagian lagi, didorong oleh kampanye dan advokasi aktivis LSM, baik dalam isu
lingkungan maupun pendampingan petani. Di kalangan petani sendiri mulai muncul kesadaran
untuk menerapkan SPO, terutama di basis yang didampingi LSM atau area yang belum tersentuh
kebijakan Revolusi Hijau.

SPO Pro Teknologi

Argumen bahwa SPO adalah pertanian masa lalu, yang tradisional, subsisten dan tidak produktif,
berakar dari cara pandang modernisme. Sekarang ini ada tuduhan, bahwa kearifan tradisional
(pertanian cara lama) adalah anti teknologi (modern), sehingga menilai SPO identik dengan anti
teknologi dan menghambat kemajuan. Perlu diluruskan juga, bahwa SPO tidak anti teknologi.
Pertanian organik juga bukan pertanian jaman baheula dan mau kembali ke tradisi kuna. Namun,
pertanian organik adalah pertanian yang berangkat dari paradigma holistik dalam memandang
alam semesta. Dalam cara pandang ini manusia menjadi bagian dari alam dan tujuan terbesar
dari praksis pertanian adalah untuk keberlanjutan alam semesta.

Pemenuhan pangan adalah bagian intrinsik dalam keberlanjutan alam semesta itu sendiri. Dalam
kerangka ini, pengembangan teknologi haruslah mengindahkan segala aspek kehidupan dalam
keseimbangan dan keberlanjutan alam semesta. Tradisi lama atau kearifan lokal dirujuk dalam
SPO, lebih karena sumbangannya dalam paradigma holistik yang menghargai keselarasan alam,
dibandingkan karena teknologinya.

SPO Pro Bisnis


Argumentasi lain menyangkut pesimisme SPO adalah karena usaha SPO dianggap tidak
menguntungkan. Memang dalam jangka pendek, SPO dengan kondisi teknologi yang sama
sementara perlakuan pemupukan lebih rendah, akan memberikan hasil kurang optimal dibanding
budidaya konvensional. Tetapi jika dikombinasikan pemakaian pupuk organik, pengendalaian
organisme pengganggu tanaman secara baik, dengan inovasi teknologi yang tepat mampu
memberikan hasil yang relatif sama. Dalam jangka panjang SPO memberikan jaminan akan
kualitas tanah dan ekosistem lokal yang lebih baik.

Dengan banyaknya permintaan otomatis nilai jual ekonomis produk SPO ikut naik. Inilah daya
tarik SPO dunia sekarang ini. Jadi, keraguan bahwa SPO tidak menguntungkan secara ekonomis,
dapat diretas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Maka tidak mengherankan jika
sekarang mulai bermunculan pengusaha SPO skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang
merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatra dan Maharishi Global
Trading (Belanda) di Sulawesi.

Strategi Pengembangan SPO


SPO tidak sesederhana memproduksi bahan pangan dengan tidak menggunakan bahan kimia
sama sekali. Bahaya bahan kimia bukan sekadar masalah teknis, tetapi gambaran kegagalan
sistem distribusi, struktur konsumsi, dan kebijakan pertanian. Pasar komersial dan industri
pangan yang besar memutus komunikasi antara produsen dan konsumen SPO.
Persoalan SPO kemudian bukan saja soal lingkungan yang lebih baik atau soal kesejahteraan
ekonomi petani, tetapi juga menyangkut demokrasi ekonomi. Dengan demikian, menjadi jelas
bahwa perjuangan dan pengembangan SPO, bukan sekadar soal bagaimana petani menjadi lebih
sejahtera atau lingkungan menjadi sehat, tetapi juga soal demokrasi ekonomi, soal merubah
paradigma, soal pembebasan manusia. Peduli SPO berarti peduli pada seluruh dan kelanjutan
kehidupan.

Sesungguhnya konsumen juga bertanggungjawab atas lingkaran setan pasar komersial, meski
mereka tidak sadar akan keadaan itu. Untuk mengubah keadaan itu, petani dan konsumen harus
membangun suatu hubungan yang juga harus bersifat “organik”. Bukan sekadar hubungan
produsen-konsumen, tetapi bersama-sama terlibat dalam gerakan, saling mengerti dan saling
menolong.

Oleh sebab itu Strategi Pengembangan SPO adalah menjadikannya sebuah Gerakan Pertanian
Organik, yang bukan sekadar gerakan petani yang menanam dengan tidak merusak lingkungan,
tetapi juga merupakan gerakan arus bawah (grassroot movement) untuk memperbaiki situasi
yang selama ini merusak.

Revitalisasi Pertanian di Thailand

Di beberapa negara di kawasan Asia Pasifik, pertanian organik menjadi salah satu strategi dalam
pengembangan pertanian nasional dan bagian dari program pengurangan kemiskinan masyarakat
pertanian di pedesaan.

Thailand misalnya, mencanangkan menjadi produsen pertanian terbesar kelima di dunia.


Pertanian organik dikembangkan secara sistematis sebagai bagian dari program pertanian
nasional. Produk organik unggulan Thailand berupa beras, buah-buahan, rempah-rempah dan
herbal, di samping produk-produk perikanan dan ternak organik yang telah dikenal di pasar
organik dunia. Dari luas lahan yang dikelola secara organik seluas 13.000 hektar (Maret 2005),
Thailand mampu mengekspor produk organik sebesar Rp. 190 milyar setiap tahunnya.

Sistem Teikei di Jepang

Menjual produk pertanian organik tidak semudah memproduksinya. Pada awalnya petani organik
bertani untuk kebutuhan keluarga sendiri dan tetangganya. Ketika produksi menjadi berlebih dan
permintaan produk organik meningkat, petani organik menjual produknya kepada konsumen
tertentu. Akibatnya, muncul banyak produk-produk pertanian organik palsu. Banyak produk
pertanian diberikan berbagai macam label “organic”, “no-chemical”, “less-chemical”, “natural
farming”, “micro-organism farming”, dan sebagainya untuk mengasosiasikan dengan makanan
yang aman dan diproduksi dari pertanian organik.

Sulit bagi konsumen memastikan apakah produk pertanian yang dibelinya, walaupun memakai
label organik, sungguh-sungguh dihasilkan dari pertanian organik. Penampilan buah-buahan dari
pertanian organik tidak berbeda dengan buah-buahan dari pertanian modern. Untuk mengatasi itu
gerakan pertanian organik di Jepang mengembangkan prinsip hubungan antara petani dengan
konsumen yang khas, disebut sistem teikei.
Ide dasar teikei ialah menciptakan sistem pemasaran alternatif yang tidak bergantung pada pasar
konvensional. Untuk melaksanakan teikei, produsen dan konsumen harus bertemu untuk
berunding bersama tentang berbagai hal. Dengan sistem teikei konsumen ikut membantu
pekerjaan bertani. Kedua pihak juga menyediakan tenaga kerja dan modal untuk bersama-sama
melakukan sistem pengiriman produk. Mereka menetapkan stasiun pengiriman di lokasi
konsumen yang paling dekat. Penentuan kemasan juga dirundingkan bersama, dengan desain
yang sederhana, namun untuk setiap produk harus dengan kemasan berbeda.

Biasanya yang lebih rumit adalah penentuan harga produk. Harga ditentukan dengan
memperhitungkan biaya produksi dan biaya hidup petani, tidak berdasarkan supply and demand,
seperti halnya produk konvensional. Demikian eratnya hubungan itu, bahkan sejumlah konsumen
menyediakan dana pinjaman bagi petani yang mengalami kesulitan keuangan, karena bencana
alam, kecelakaan atau lainnya, tanpa bunga.

Teikei bukan sekadar ide teknis praktis, tetapi mengandung filosofi dinamis yang mengubah
gaya hidup konsumen dan cara bertani produsen melalui interaksi intensif, dengan hasil tani
sebagai mediumnya. Sistem teikei ini, barangkali ada manfaatnya untuk direnungkan, dan
dipetik substansinya, serta jika mungkin, untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsumen juga menciptakan resep masakan sendiri yang cocok dengan produk yang tersedia,
dengan motto: memakan semuanya, dari akar sampai daun. Di Jepang pada tahun 1996
diperkirakan ada 500-1000 kelompok konsumen, dan total anggota kelompok yang menjalankan
teikei mencapai 16 juta anggota di seluruh Jepang.

Paradigma Baru

Politik pembangunan pertanian di Indonesia memang perlu diubah, agar ekonomi petani dapat
diberdayakan dan ditingkatkan. Perubahan itu dari pertanian yang berorientasi peningkatan
produksi ke agrobisnis. Dengan pendekatan agrobisnis, maka segala upaya yang tertuju hanya
pada aspek ekonomi on farm dan kurang pada off farm harus diusahakan semakin berimbang,
untuk mengembangkan keduanya secara simultan dan terkoordinasi dalam satu sistem yang
terintegrasi.

Ini berarti, terbuka kesempatan memfasilitasi petani untuk merebut nilai tambah yang ada pada
off farm. Pendekatan ini syarat keharusan bagi pemberdayaan ekonomi petani untuk merebut
nilai tambah pada off farm. Tetapi, hal itu belum menjamin nilai tambah tersebut dapat dinikmati
oleh petani. Masih diperlukan syarat kecukupan mekanisme yang menjamin nilai tambah off
farm dapat direbut oleh petani, karena memang harus direbut, sebab tidak ada yang akan
memberinya secara sukarela (charity).

Mekanisme ialah lewat pengembangan koperasi agrobisnis, yang diharapkan menjadi jalan
pelepasan petani dari jeratan lingkaran ekonomi modern. Pengembangannya tidak hanya pada
penyaluran saprodi dan pengumpulan hasil, serta menangani komoditas di pedesaan. Tetapi lebih
jauh ditujukan untuk menjadikan aktor utama off farm dengan merebut nilai tambahnya yang
besar di off farm, dan bukan sekadar pelengkap-penderita bagi mereka yang menguasai off farm
agrobisnis.
Karena bottleneck pengembangan agrobisnis, bukan pada on farm melainkan pada off farm.
Maka, pengembangan agrobisnis bukan hanya urusan Departemen Pertanian saja, melainkan
harus pula diintegrasikan dengan Departemen lainnya, seperti Departem Perindustrian,
Perdagangan, Koperasi, Keuangan, Perhubungan dan yang lainnya.

Catatan Akhir

Pertanian pedesaan saat ini masih menghadapi tiga masalah besar, yaitu lemahnya modal sosial,
kemiskinan dan kerusakan sumberdaya pertanian yang semakin membesar. Visi Pembangunan
Pertanian 2025 yang sesuai adalah pertanian pedesaan yang berdaya saing tinggi, berkeadilan
dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan pertanian yang penting adalah kebijakan pemberdayaan
sosio-budaya pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian 2025 membutuhkan kerangka
kebijakan sosio-budaya yang komprehensif.

Ada lima elemen sosio-budaya utama yang harus dikembangkan, yaitu kompetensi SDM,
kepemimpinan lokal, tata nilai, keorganisasian dan manajemen, usaha tingkat desa dan struktur
sosial berbasis penguasaan sumberdaya agraria. Kerangka kebijakan sosio-budaya mengacu pada
kombinasi antara tingkat masyarakat dan jangka waktu di satu sisi, dan elemen sosio-budaya
yang ditransformasikan di sisi lain. Modal sosial seperti penegakan sistem hukum pedesaan dan
desentralisasi pemerintahan hingga tingkat desa, harus dianggap sebagai kunci sukses
pencapaian kesejahteraan masyarakat pertanian pedesaan yang berkelanjutan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mengkondisikan Visi Pertanian 2025 terwujud, yaitu
perlunya mengubah orientasi pembangunan dari industrialisasi non-pertanian yang footloose dan
bias kota, menjadi yang memihak pada industrialisasi pedesaan berbasis pertanian dan perbaikan
sumberdaya agraria di pedesaan. Pentingnya reformasi keagrariaan, pengembangan kekuatan
kontrol masyarakat madani (civil society), sinergi harmonis atau partnership antara pemerintah,
pelaku usaha pertanian di pedesaan dan masyarakat lokal, serta tatanan politik yang memberi
posisi layak kepada petani pedesaan.

Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) Nasional 2005-2025 yang
bertujuan untuk mengatasi masalah kemiskinan, ketahanan pangan, meningkatkan daya saing
produk pertanian dan menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, hendaknya didukung oleh
industrialisasi pertanian seperti dimaksud.

Pertanyaannya yang relevan dengan topik ini adalah, bagaimana Sistem Pertanian Organik dapat
menjawab tantangan-tantangan tersebut sehingga dapat beriringan untuk mensukseskan program
nasional tersebut, sekaligus mampu berperan dalam arena globalisasi pertanian melalui
peningkatan daya saing. Oleh sebab itu, kita harus mulai berbenah diri, mengatur apa saja yang
kita miliki dan membentenginya dengan perundangan yang rapi, termasuk apa yang seharusnya
dihaki oleh petani.

*Disampaikan pada Kuliah Umum Lembaga Penelitian Universitas Jember, 12 Februari 2009
Pertanian Organik di Jepang
Senin, 10 Agustus, 2009 oleh Arli Aditya Parikesit
http://netsains.com/2009/08/pertanian-organik-di-jepang/ 11:04

Jepang dikenal sebagai negara paling maju di Asia. Namun tahukah anda, bahwa pertanian
disana ternyata masih kuat nuansa ‘tradisional’nya? Bagaimana itu? Mari kita simak
selengkapnya!

Begitu kita berada di luar Tokyo, terjadilah anomali. Ini terjadi karena ternyata Negeri matahari
terbit ini juga merupakan negeri para petani lokal/kecil. Di Fukuoka, kota terbesar nomor tujuh
di Jepang, ladang padi yang damai terselip diantara rumah dan candi, dalam bayang-bayang
pencakar langit yang hanya berjarak 10 mil.

Di iklim yang sangat kondusif ini, pertanian keluarga menanam buat dan sayuran dalam siklus
tahunan, untuk memproduksi bahan pangan bagi kota berpenduduk 1,3 juta ini. Di daerah
suburban, dimana pertanian lokal jauh lebih banyak, konsumen sering mendapatkan sayuran
yang baru dipetik tadi pagi untuk makan malam. Di supermarket pada jantung kota Fukuoka,
adalah umum untuk mendapatkan sayuran yang dipanen sehari sebelumnya.

Hasil pertanian segar

Jika anda menggigit tomat atau stroberi disini, maka efek dari kesegarannya akan segera terasa.
Mereka sangat penuh cita rasa, sehingga tidak perlu dipersiapkan lebih lanjut lagi. Bahkan anak-
anak menyukai sayuran, termasuk juga yang dianggap tidak enak seperti bayam atau kacang-
kacangan.

Jepang memiliki istilah untuk hasrat terhadap makanan lokal dan segar: chisan, chishou, yang
berarti, ‘produksi lokal, dan konsumsi lokal’.

Preservasi chisan-chisou pada salah satu negara yang paling terurbanisasi di dunia merupakan
teladan yang baik, bahwa di negara lain yang terurbanisasi hal ini juga dapat diterapkan.

Dengan perkecualian Hokkaido, pulau Jepang yang paling utara dan paling rural, sebagian besar
pertanian di Jepang adalah operasi skala kecil yang dijalankan oleh beberapa anggota keluarga.
Hasilnya tidak hanya pada kesegaran makanan lokal, namun juga dedikasi untuk terhadap
produk. Anggur dan peach, diantara buah lain, mereka lindungi dengan pelindung, sewaktu
masih tumbuh, untuk melindungi mereka dari serangga dan gangguan lain. Tanah pun
dipetakkan dengan baik, sehingga sayuran akan tumbuh dari dalam beberapa kaki. Dengan
bantuan dari rumah kaca, hal ini membantu pasokan tanaman dari musim semi, panas, gugur, dan
dingin. Sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh tangan. Petani Jepang memproduksi semangka
kotak, dari trik bonsai dengan membentuk semangka menjadi kubus sewaktu ia tumbuh,
sehingga ia dapat dimasukkan kedalam kulkas. Ini menunjukkan dedikasi mereka terhadap
pertanian.

Bantuan Pemerintah
Dalam era modern ini, generasi muda sudah mulai tidak tertarik atau mengapresiasi pertanian
chisan chishou. Namun, pemerintah Jepang tidak tinggal diam. Mereka memberikan insentif-
insentif, untuk mengakselerasi pertanian lokal. Di 20 tahun terakhir ini, pemerintah telah
memfasilitasi pertanian lokal untuk memasuki pasar. Menjual tanah pertanian kepada
kepentingan komersial, akan dipajaki sangat tinggi oleh pemerintah, sementara memberikan
tanah tersebut ke anak untuk pertanian hanya dipajaki sangat minim. Pusat pertanian juga
mengundang anak-anak sekolah untuk menanam dan memanen, untuk meningkatkan minat
mereka. Pertanian kadang menjadi bagian dari kurikulum sekolah.

Minoru Yoshino dari Pusat Penelitian Pertanian Fukuoka menjabarkan peran pemerintah pada
chisan-chishou dalam tiga hal. Makanan lokal yang segar adalah lebih sehat, dan rasa yang
nikmat akan meningkatkan konsumsi sayuran. Sementara, pertanian lokal adalah lebih baik bagi
kelestarian lingkungan, karena hanya memerlukan air dan pestisida lebih sedikit.

Diterjemahkan secara bebas dari http://www.livescience.com/health/060905_bad_farming.html

Sumber foto: http://genkijacs.com/images/


January 7th, 2008 http://www.balebengong.net/denpasar/jalan-jalan/2008/01/07/pertanian-organik-meningkatkan-
taraf-hidup-petani-bali.html 08:23 25-12-09

Pertanian Organik Meningkatkan Taraf Hidup Petani Bali


Oleh Anton Muhajir

Ketut Wiantara terlihat sangat senang. Wajahnya berseri-seri ketika bercerita. Bibirnya terus
tersenyum. Padahal bau pesing menyengat dari ember di depannya. Ketut sedang memasukkan
air kencing sapi dari ember kecil ke galon berukuran 750 liter. Air kencing sapi itu memang
berperan penting meningkatkan pendapatannya dari bertani. ”Sekarang jauh berbeda,” katanya
Sabtu lalu.

Petani di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Buleleng, sekitar 60 km utara Denpasar itu
semula menggunakan pupuk kimia dan pestisida untuk bertani. Penggunaan bahan kimia yang
terlalu banyak membuatnya rugi. “Pendapatan lebih sedikit sementara biaya untuk beli pupuk
dan pestisida juga banyak,” katanya. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida terus menerus juga
menurunkan kesehatan tanah. Akibatnya, jumlah panen makin hari makin berkurang. Maka,
sejak tiga tahun lalu dia beralih menggunakan bahan organik untuk bertani. Salah satu bahannya
adalah air kencing sapi tersebut.

Air kencing sapi itu berasal dari empat ekor sapi miliknya. Dari kandang, air kencing itu
disalurkan melalui selang ke bak penampungan dari semen dengan kapasitas 1 kubik. Untuk
menghilangkan amoniak, zat yang berbahaya bagi tanaman, air kencing disalurkan ke semacam
tangga kecil dari semen setinggi 2 meter. Selama enam jam air diputar lalu dialirkan lagi ke
kolam lain berkapasitas 1 kubik juga.

Setelah mengendap dan tanpa amoniak, air kencing itu dicampur air biasa dengan rasio 1 liter
kencing sapi untuk 10 liter air. Air campuran itu ditampung di bak besar berkapasitas 1000 liter.
Dari bak besar ini, pupuk cair organik itu mengalir melalui pipa kecil ke 25 are lahan miliknya.
Bahan organik itu sebagai pupuk sekaligus pengendali hama.

Sabtu lalu, Ketut Wiantara sibuk memeriksa tanaman paprikanya. Di pohon setinggi 1 hingga 2
meter itu bergantungan buah paprika berwarna hijau ranum tanda akan segera dipanen. Tanaman
paprika itu ada di lahan beratap dan berdinding plastik seluas 4 are. Ketut menggunakan
teknologi irigasi tetes (semi hidroponik). Pupuk organik cair itu dia alirkan melalui pipa kecil
yang berlubang di tiap bagian di mana tanaman paprika berada. Pupuk cair itu dan abu sekam
terbungkus plastik menjadi media tanam paprika. Ketut tidak perlu tanah untuk menyuburkan
tanaman yang terlihat segar-segar tersebut.

Selain tanaman paprika, di kawasan berhawa sejuk itu, Ketut juga menanam wortel, ketela
rambat, selada, sayur hijau, dan stroberi. Dengan semua tanaman itu, sarjana ekonomi lulusan
salah satu universitas di Singaraja itu kini bergantung sepenuhnya dari bertani. Ketut mengaku
perubahan itu makin terasa setelah dia beralih pada pertanian organik.
Informasi tentang pertanian organik sendiri, menurutnya, diperoleh dari internet. Ketut dan
petani lain di Bedugul mendapat bantuan komputer dan internet dari Microsoft, raksasa
perusahaan teknologi informasi dunia. Dari internet, Ketut dan teman-temannya mendapat
informasi tentang teknologi pertanian organik tersebut. “Kami pikir tidak susah untuk dicoba di
tempat kami,” katanya.

Sebagai awalan, Ketut sendiri mencoba di 4 are lahannya. Dia pinjam modal dari bank Rp 30
juta untuk memulai praktik pertanian organik. Merasa hasilnya bagus, Ketut lalu
mempraktikkannya di total 25 are lahan miliknya. Dia pinjam modal lagi Rp 70 juta.

Hasil pertanian organik itu memang lebih berlimpah. Dia mempekerjakan dua pekerja tetap dan
empat pekerja harian untuk memeriksa, membersihkan, hingga memanen hasil tanaman itu. Kini
dia bisa mendapat penghasilan Rp 10 juta per bulan dari pertanian tersebut. Pesawat televisi
datar 21 inchi, satu set komputer, dan DVD player menghiasi ruang tamu. Antena parabola
berada persis di sebelah sanggah rumah.

Hal yang sama juga dirasakan beberapa petani lain di Bedugul. Melalui Bali Organic Association
(BOA), produk hasil petani yang tergabung dalam kelompok Tani Muda Mandiri itu dikirim ke
konsumen di Denpasar dan Kuta. Misalnya saja Aero Catering Service di kompleks bandara
Ngurah Rai Tuban yang tiap hari melayani minimal 2000 penumpang. Manik Organic dan Bali
Budha, kios di Kuta, juga pelanggan sayur organik produksi Ketut dan petani lain di Bedugul.

Menurut Ketua BOA Ni Luh Kartini, pertanian organik memang mampu meningkatkan
pendapatan petani di Bali. Sebab, dengan bertani organik, petani tidak lagi perlu pupuk kimia
dan pestisida. “Petani jadi tidak bergantung pada perusahaan pupuk dan pestisida untuk
mengelola pertaniannya,” katanya.

Adat dan budaya Bali pun, menurut Kartini, sangat mendukung pola pertanian organik. Tumpak
bubuh dan penjor adalah dua contoh budaya Bali yang mendukung agar manusia tidak merusak
alam. “Seluruh bagian penjor itu kan hasil pertanian. Jadi maknanya adalah agar kita
menggunakan sumber daya alam yang sudah kita miliki, bukan dengan mengambil dari tempat
lain. Apalagi sampai tergantung,” tuturnya.

Karena itu, Kartini melalui BOA juga gencar mengampanyekan pertanian organik itu ke
berbagai tempat di Bali. Misalnya di Kintamani, Wongaya Gede, Petang, dan Pipid
(Karangasem). “Mereka tinggal menggunakan sumber daya yang sudah ada di tempat masing-
masing,” kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali itu.

Menggunakan sumber daya lokal, seperti halnya petani di Bedugul, dilakukan pula oleh petani di
Wongaya Betan, Kecamatan Penebel, Tabanan. Petani padi di kaki gunung Batukaru ini pun
sudah beralih dari penggunaan bahan-bahan kimia ke bahan organik.

Kelompok petani Somya Pertiwi di Wongaya Betan bahkan lebih maju. Mereka membuat pusat
pelatihan pertanian organik di tanah seluas sekitar 35 are dengan fasilitas balai pertemuan,
kantor, perpustakaan, toko, hingga ruang menginap untuk tamu. Internet pun sudah ada di tempat
berjarak sekitar 65 km utara Denpasar ini. Di pusat pelatihan ini pun ada tempat pengolahan padi
dan produksi pupuk organik.

Bahan untuk pupuk organik di sini sedikit berbeda dengan petani di Bedugul yang hanya
bersumber dari air kencing sapi. Petani di Wongaya Betan mencampur kotoran sapi dengan
kotoran ayam dan pupuk kascing melalui teknik fermentasi. “Air kencing sapi hanya dipakai
sebagai penambah cairan karena kandungan air di kotoran sapi tergolong kecil,” kata I Nengah
Miasa, Ketua Kelompok Somya Pertiwi.

Menurut Miasa, petani di Wongaya Betan pun beralih ke pertanian organik sejak 2,5 tahun lalu.
Meski demikian, mereka sudah merintisnya sejak 1997. “Waktu hanya beberapa orang yang
sudah mencoba. Tapi karena tidak ada pihak yang mendukung jadi ya optimal,” kata Miasa.

Ni Luh Kartini, yang mulai mengenalkan pertanian organik di Wongaya Betan sejak 10 tahun
lalu, mengakui pada saat itu pertanian organik memang termasuk hal baru bagi petani di
Wongaya Betan. “Banyak petani ragu pertanian organik bisa meningkatkan jumlah panen,”
ujarnya.

Melalui pendekatan intensif, termasuk bersama pemerintah setempat, petani kemudian mau
beralih ke pertanian organik. Salah satu alasannya memang karena pertanian dengan bahan-
bahan kimia ternyata makin menurunkan jumlah panen. “Biaya pengolahan makin tinggi karena
mahalnya pupuk dan pestisida tapi pendapatan mereka makin menurun,” kata Kartini.

Petani setempat lalu mencoba pertanian organik. Mereka menggunakan pupuk sendiri dari
kotoran ayam, kotoran sapi, pupuk kascing, dan air kencing sapi. Ternyata hasil mereka malah
lebih bagus. Sebelumnya mereka mendapat padi 5 ton per hektar. Kini mereka bisa mendapat 6,2
hingga 7 ton per hektar. “Sebenarnya hasil panen kami tidak berbeda jauh. Tapi karena kami
tidak mengeluarkan biaya untuk beli pupuk dan pestisida, jadi pendapatan kami lebih banyak,”
aku Miasa.

Kini, 30 anggota subak Wongaya Betan seluruhnya menggunakan pupuk dan pembasmi hama
organik di lahan seluas 98 hektar. “Tidak hanya pendapatan yang lebih baik, kami juga merasa
lebih bahagia karena tidak lagi takut kena penyakit akibat pupuk kimia dan pestisida,” kata
Miasa.

You might also like