You are on page 1of 91

2

Pengertian etika

Etika dan moral

Amoral dan immoral

Etika dan etiket

Kelompok:

Moralitas: cirri khas manusia

Etika : ilmu tentang moralitas

Hakekat etika filosofis

Etika deskriptif

Etika normative

Mataetika

…..

Peranan etika dalam dunia modrn

Etika kewajiban dan keutamaan

Hedonism

Eudemonisme

Utilitarisme

….. sma mahasiswa

9-11
Teleology dan deontology

12-15

Contoh2 kasus etika dalam praktek komunikasi saat ini

5/24/2009 2:14:34 PM

domba jantan

Secara umum istilah gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki


dan perempuan dari segi sosial budaya. Secara umum, istilah sex mengacu pada
alat kelamin laki-laki dan perempuan. Berikut adalah konsep Gender yang
dirumuskan oleh para penulis Konsep Gender Istilah gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti "jenis kelamin". Dalam Webster's New World Dictionary, gender
diartikan sebagai perbedaan yang kentara antara laki-laki dan perempuan bila
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women's Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Sedangkan Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an
Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-
laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender atau sering disebut juga dengan
What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender.
Sedangkan H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu
dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam
membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip
Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender
sebagai konsep analisa dimana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan
sesuatu atau istilah lain Gender is an analityc concept whose meanings we work to
elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it ( Juliet
Mitchell,1971:11). Secara umum istilah gender digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka istilah sex secara
umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi anatomi biologi. Istilah sex ini lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non biologis lainnya. Pengertian gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas
(masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan pengertian sex
yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam
tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak
(child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan
(being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah sex. Istilah
sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas
seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender (Floyd
T.Cullop, 1969:87). Konsep-konsep yang telah dijabarkan di atas kurang lebih sudah
menjelaskan pengertian Gender dan Sex secara umum. Dengan demikian kita dapat
membedakan mana yang termasuk dalam konteks Gender mau pun Sex dalam
tataran konkretnya. Sex dalam arti ini adalah mengenai penis, hormon
testosterone, testis dan lain sebagainya pada laki-laki dan vagina, hormon estrogen,
ovarium dan lain sebagainya pada perempuan. Gender mengacu pada pandangan,
penilaian, dan stereotype yang dikenakan pada laki-laki mau pun perempuan. Dari
segi peran; laki-laki itu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga sedangkan
perempuan mengurus anak di rumah, pekerjaan kasar (berat) adalah pekerjaan
laki-laki dan pekerjaan perempuan adalah pekerjaan ringan. Dalam pandangan
masyarakat Jawa pada zaman dahulu, perempuan lebih dipandang dalam tiga peran
yaitu, macak (berdandan), masak (memasak), dan manak (melahirkan). Karena
pandangan tersebut, maka tidaklah mengherankan jika perempuan dipandang tidak
perlu mengenyam pendidikan. Dari segi perilaku; perempuan dianggap lebih lembut
dibandingkan dengan laki-laki yang kasar. Perempuan itu lebih teliti dan laki-laki itu
ceroboh. Laki-laki lebih menggunakan rasio dan perempuan lebih menggunakan
perasaan dalam menghadapi persoalan. Dari segi Mentalitas; perempuan itu
dianggap lemah dan lelaki itu kuat. Dari karakteristik emosional; perempuan itu
mudah menangis dan lelaki itu tegar. Semua pandangan yang bias gender tersebut
dapat berubah tergantung dalam proses yang terjadi dalam masyarakat. Berkaitan
dengan peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan senantiasa dapat berubah. Ini bukanlah hal yang kodrati. Ada
perempuan yang kuat dan laki-laki yang lemah dan ada pula laki-laki yang sabar
dan teliti dalam bekerja. Semuanya dapat dipelajari dan dapat diubah. Sex adalah
hal kodrati (yang tidak dapat diubah). Transplantasi organ tidaklah mengubah
orang secara esensial meskipun bentuk tubuhnya berubah. Laki-laki yang
transplantasi organ menjadi perempuan tetap tidak dapat melahirkan karena tidak
memiliki rahim. Perilaku yang bias gender ( dalam hal ini tindakan diskriminasi)
dapat merugikan pihak perempuan atau pun laki-laki dalam bermasyarakat.
Berkaitan dengan peran, umumnya pekerjaan kasar dilakukan oleh laki-laki
meskipun perempuan juga dapat mengerjakannya. Yang paling membahayakan
adalah ketika perlakukan diskriminatif yang bias gender itu masuk dalam tataran
Undang-Undang seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan yang memberikan gaji
lebih rendah kepada perempuan dibanding laki-laki dalam peran yang sama.

diskriminasi
5/24/2009 2:13:15 PM

domba jantan

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan (perlakukan dan tindakan) yang tidak adil
(dalam arti membeda-bedakan) terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik (ciri-ciri atau kekhasan) yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk
membeda-bedakan yang lain. Kecenderungan itu berasal dari perasaan atau
emosional pribadi atau kelompok. Perasaan sama (dengan kelompoknya sendiri), iri,
takut, kuat, superior dan lain sebagainya menjadi bibit tindak diskriminatif bagi
orang lain yang dianggap berbeda, merugikan, lemah, mengancam dan lain
sebagainya. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik
kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik
lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminatif. Diskriminasi
langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat
adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan
yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.

“Waduh Lagi Bolong Nih”

3/19/2009 11:53:40 AM

domba jantan

Begitulah kata teman gw saat belajar bareng di kelas 2 SMA Seminari Mertoyudan.
“Apa? Bolong. Apanya yang bolong? Ndasmu (kepalamu) ya?” Canda gw ketika itu.
“Wooo gak paham ya? Bolong itu kalo lagi belajar tapi ndak masuk-masuk. Waduh
bingung aku, besok ada dua ulangan lagi.” Katanya sambil menggerutu. “Ah, ada-
ada aja.” Pikir gw dalam ati. Ya saat itu, gw berpikir bahwa peristiwa “bolong” yang
dialami oleh teman gw adalah hal yang dibuat-buat.. Masakan ada otak yang nggak
bisa mikir dan nyerap pelajaran saat belajar. Setiap saat kita bisa ngendaliin pikiran
dan gw ngerasa bahwa otak gw bisa nyerep apa yang gw pelajari. Tetapi dalam
perjalanan waktu, pengalaman “bolong” ada benarnya juga. Orang bisa “bolong.”
Ya sangat-sangat bisa “bolong.” Kok bisa ya? Ternyata sebenarnya hal ini logis juga
lho. Ketika otak sudah telalu lelah untuk mikir maka daya kerjanya pun semakin
turun. Kelelahan fisik pun bisa mempengaruhi kerja otak. Ya, paling nggak ketika
kita lelah, otak pun nggak akan bekerja maksimal. Layaknya seorang Del Piero yang
jago main bola sekalipun, kalau dia sedang lelah banget, tendangannya pun nggak
akan maksimal. Bola akan gampang ditangkap oleh kiper lawan atau meleset ke
kanan kiri gawang. (kecuali kipernya lagi bengong trus bolanya malah masuk ke
gawangnya. –ini mah kipernya geblek. Red-). Tapi penyebab lain juga berkaitan
dengan kemampuan otak nyerap sesuatu. Ibaratnya kayak komputer yang lagi diisi
dengan berpuluh-puluh giga data dalam waktu yang sama, maka komputer itu bisa-
bisa muntah, masuk angin dan akhirnya error. (berpuluh-puluh giga, lebai nggak
ya?). Kemampuan orang kan beda-beda, jadi cara loadingnya juga beda-beda. Ada
yang langsung tapi ada yang bertahap. Pokoknya dikit-dikitlah. So, masalahnya
terletak pada kelelahan otak, fisik serta banyaknya data yang dipaksa masuk saat
bersamaan yang melebihi kemampuan otak. Nah, kalo begitu, gw mesti berpikir
gimana caranya biar kagak ngalamin yang namanya “BOLONG.” Yah, pasti nggak
jauh-jauh dari yang namanya manajemen waktu belajar. Kalo belajar ya mesti
setiap hari dan nggak cuma saat mau ulangan. Nggak kebayang deh kalo pas
minggu atau hari ulangan, otak kita malah “bolong.” Bisa-bisa kita hanya
ndomblong (bengong sambil mangap). Heheheee….kira-kira gw udah manage
waktu belajar belom ya? Merenunglah!!!

Santai Coy!!!

3/18/2009 11:52:54 AM

domba jantan

Santai Coy!!! Santai aje Man…….. Santai Bro…… Santai Coy, Cuy… Udah biasa
banget kita denger kata ini. Di sekolah, di kantor, di jalan dan juga di rumah, pasti
kita udah pernah denger kata itu. Dan banyak juga efek yang diakibatin sama kata
ini. Ada yang positif dan ada yang negative. Kok bisa ya? Ya iyalah…masa ya iya
dong. Orang yang terlalu serius, tegang, “strik”, “saklek” de el el perkedel, butuh
yang namanya rileks…santai cuy!!! Kalo serius mulu, orang gak bisa nikmatin lagi
yang namanya idup. Gila Man, hidup tuh cuma 70 atau 80 tahun jika kuat.
(hehehe…kata Mazmur dalam Kitab Suci. Bab berapa ya?…mmm. Ketauan banget
kalo gw Katolik hahaha…). Sekarang tuh banyak orang stress, stroke, hipertensi,
hiperbola (eh salah) sampe akhirnya orang BUNUH DIRI karena gak bisa nikmatin
hidupnya. Stress sama kerjaan jadi bikin hipertensi dan akhirnya stroke. Orang gak
tahan sama masalah hidup jadi stress dan bunuh diri. Mmmmmmm………Sayang
banget kan kalo hidup gak bisa dinikmatin, apalagi kalo sampe mati. Jadi NOTHING
deh. Padahal banyak banget karya Tuhan yang begitu bagus untuk kita rasain. Buat
orang yang kerja mulu dari pagi sampe malem…saatnya bilang STOP dan santailah
sebentar. Pergilah dan lihatlah ke lapangan futsal dan bermainlah (inget, ini kalo
ada temennya ya). Kamu bisa juga pergi ke taman menikmati indahnya bunga-
bunga dan warna rumput yang segar. (Hati-hati banyak semut!!!) Banyak cara deh
buat nikmatin hidup….dan kamu tahu ke mana kamu harus pergi… Orang yang
terlalu santai, menunda pekerjaan, meremehkan segala hal dan kurang fokus dalam
belajar ama kerjaan, butuh yang namanya keseriusan. Cay…
Coy….Cuy……….SADAR!!! HIdup tuh cuma sebentar. Jangan mimpi kayak Chairil
Anwar yang pengen hidup seribu tahun lagi. Sayang banget waktu yang dikasi
Tuhan cuma dipake buat hal-hal yang gak bermakna. Orang yang terlalu santai
akhirnya gak beres kerjaannya. Dipecat deh. Orang terlalu santai akhirnya gak lulus
ujian. Ambil Paket C deh. Eh gak lulus juga…jadi stress dan….bunuh diri deh. Sedih
amat! Jadi NOTHING juga. Buat orang yang seharian di depan komputer buat nge
game doang…...Saatnya untuk berhenti maen dan SHUT DOWN
komputernya….Truzzz ngapainzzz? Ya belajar atau kerjalah.. Buat mereka yang
tidur mulu sepanjang hari, di rumah, di kantor, di kelas, di kebon dan
sebuagainya…..BANGUN. Belajar dan kerja buat memuji dan memuliakan Tuhan.
Wuihhh uda berbusa ni mulut. Sekarang saatnya kita bertanya sama diri sendiri.
Kira-kira gw diposisi mana ya? Merenunglah!!!!!!!!

Berhala

3/18/2009 10:37:01 AM

domba jantan

Berhala adalah patung yang berbentuk makhluk hidup atau benda yg didewakan,
disembah dan dipuja, yang bukan atas perintah Tuhan. Dibuat oleh tangan manusia
terbuat dari batu, emas, kayu atau bahan baku yang lainnya. Akan tetapi, berhala
juga termasuk mahkluk hidup yang disembah, didewakan dan dipuja bukan atas
perintah Tuhan. Pada zaman ini, kata kerja dari memberhalakan berarti memuja
dan mendewakan, bisa pula dijadikan menjadi kata kerja yang artinya berbeda lagi,
seperti memberhalakan sesuatu tidak selalu berarti bahwa pemujanya mengatakan
“inilah tuhan yang harus disembah”. Tidak juga berarti bahwa ia mesti bersujud
dihadapannya. Pada dasarnya, menyembah berhala dapat berarti rasa suka
seseorang terhadap sesuatu melebihi rasa sukanya kepada Allah. Misalnya, lebih
takut kepada seseorang/benda dibanding rasa takut kepada Allah, atau lebih
mencintai seseorang/benda dibanding cintanya kepada Allah. Di setiap masa, selalu
ada manusia yang meduakan Allah, mengambil tuhan lain dan menyembah
pujaannya atau patung. Pada saat ini, masih ada pula sebagian etnis yang
membuat berhala untuk disembah, sebagai simbol, bahkan hanya sekedar untuk
dipajang sebagai barang koleksi. (Sumber Wikipedia) Berhala-berhala di zaman ini
1. Uang. Orang mencari uang terus-menerus dalam seluruh waktu hidupnya dan
melupakan Tuhan. Orang Kristen tetap bekerja di Hari Minggu sehingga seakan-
akan tidak ada lagi waktu untuk mengikuti misa atau kebaktian. 2. Pekerjaan yang
berlebihan (workaholic) yang menyebabkan dia lupa akan kewajibannya sebagai
orang beriman. Dalam hal ini termasuk karier yang diagung-agungkan. 3. Harta
yang dianggap sebagai segala-galanya. 4. Idola-idola (gara-gara nonton Peterpan di
hari Minggu, orang menjadi malas ke Gereja) 5. Acara televisi (Doraemon, Sinchan
dan lain-lain di pagi hari yang membuat anak-anak enggan ke gereja). Tentunya
acara televisi lain yang membuat orang lupa akan Tuhannya. 6. Game dan internet
yang membuat orang lupa akan segalanya sehingga anak-anak dapat
menghabiskan waktu sehari penuh di depan layar computer. Dll. Anda dapat
mencarinya sendiri….

Kebebasan dan Peraturan

3/16/2009 8:26:42 AM

domba jantan

Kebebasan pada zaman ini menjadi harapan bagi banyak orang. Karena dengan
kebebasan ini manusia bisa mengarahkan kepada kesempurnaan. Akan tetapi
kebebasan sering disalahartikan dengan bebas berbuat apa saja sekehendak
hatinya sehingga adanya peraturan dan kehadiran seseorang yang berwenang
dipandang sebagai penghalang atau penghambat bagi kebebasannya. Kita
menjumpai bahwa justru mereka yang mampu memilih untuk mengikatkan diri
pada peraturan, kewajiban, tugas dan orang lain, merekalah yang sungguh-sungguh
memiliki kebebasan itu. Peraturan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, salah satunya adalah melindungi kebebasan seseorang dari
tindakan sewenang-wenang orang lain. Secara singkat fungsi peraturan dapat
dijelaskan sebagai berikut: a.) Peraturan berfungsi menyalurkan kuasa atau
wewenang untuk mengatur tingkah laku manusia, sehingga dimungkinkan
kehidupan bersama yang lebih tertib. b.) Peraturan berfungsi menjamin kebebasan
yang tertib. Kebebasan yang bertenggang rasa dengan kepentingan orang lain.
Peraturan menjamin kebebasan yang bertanggungjawab. Karena kalau orang boleh
berbuat apa saja pasti akan mengganggu kebebasan orang lain. c.) Peraturan
berfungsi untuk menjamin ketertiban dalam kebebasan. Ia menjamin kepentingan
atau kesejahteraan setiap orang dan kepentingan dan kesejahteraan bersama
secara adil. Ia menjamin keadilan sehingga dengan demikian terciptalah suasana
yang lapang dan bebas. d.) Peraturan dapat membangun kepribadian seseorang
dalam soal kedisiplinan, tenggang rasa, tahu menahan diri, bersikap sosial dan lain
sebagainya. • Hubungan antara kebebasan dan peraturan 1.) Peraturan menjamin
kebebasan yang tertib Dalam arti ini ingin dijelaskan bahwa kebebasan benar-benar
berkembang hanya berkat adanya peraturan. - Kebebasan masyarakat sungguh
terjamin kalau setiap orang mengikuti peraturan yang ada, kalau tidak maka akan
terjadi kekacauan dan kalau terjadi kekacauan maka kebebasan dalam masyarakat
tidak terjamin lagi. Contoh : bayangkan kalau tidak ada peraturan lalu lintas. Apa
yang akan terjadi. - Kebebasan pribadi juga tidak akan terjamin kalau dalam
masyarakat tidak ada peraturan. Keinginan dan cita-cita tidak akan tersalur kalau
kita tidak merasa bebas. Contoh : bagaimana kita dapat belajar kalau suasana
sekolah ramai dan tidak teratur. Bagaimana bisa menjadi orang yang disiplin kalau
kita di sekolah tidak punya peraturan yang mendidik orang menjadi pribadi yang
disiplin. (tuh moderator penting kan) 2.) Peraturan bukan hanya menjamin
kebebasan tetapi juga mengembangkan dan mematangkan kebebasan. Dengan
peraturan orang dapat menghayati kebebasan yang lebih bertanggung jawab yang
dengan begitu kebebasan menjadi lebih dewasa. Bahkan, orang yang matang
dalam kebebasan justru menciptakan banyak peraturan untuk dirinya sendiri.
Hanya penguasaan dirilah yang membuat kita menjadi manusia yang bebas. •
Sikap kritis terhadap peraturan dan kebebasan Untuk sampai pada kebebasan dan
peraturan yang sejati dan tidak terjerumus dalam kebebasan yang disalahartikan,
kita perlu mempunyai daya kritis terhadap peraturan dan kebebasan. Secara
singkat alasan mengapa kita harus mempunyai daya kritis terhadap peraturan dan
kebebasan adalah sebagai berikut: - Kita perlu kristis terhadap kebebasan sebab
kebebasan sering disalahartikan dan disalahtafsirkan. - Kebebasan tidak dapat
diterapkan secara sama di mana-mana. - Kita perlu kritis terhadap peraturan sebab
banyak peraturan yang tidak sah dan tidak adil. - Peraturan kadang kala tidak dapat
diterapkan secara sama begitu saja di mana-mana dan bagi segala orang.

Kebebasan

3/16/2009 8:25:56 AM

domba jantan

Setiap manusia pada dasarnya menginginkan adanya suatu kebebasan dalam


dirinya. Manusia dikaruniai kebebasan sebagai anugrah yang luar biasa dari Tuhan
selain akal budi. Anugerah-anugerah ini sungguh sangat meninggikan martabat
manusia. Kebebasan adalah salah satu ciri khas dari manusia. Dengan kebebasan
inilah, manusia mengarahkan kepada kesempurnaan. Kiranya penting bagi kita
untuk menyadari dan mendalami kebebasan sejati dalam arti yang sesungguhnya.
Kebebasan baik orang perseorangan maupun bangsa merupakan nilai yang sangat
luhur. Oleh karena itu, segala pembatasan yang tidak wajar dan tidak perlu
seharusnya ditentang. Tetapi di lain pihak, kebebasan tidak dipisahkan dari
tanggung jawab. Menggunakan kebebasan secara salah atau tidak
menggunakannya, menjadi tanggung jawab orang itu dan masyarakat atau
kelompok yang bersangkutan. Akhirnya perlu disadari bahwa manusia adalah
makhluk yang terbatas jasmani-rohani dan sosial. Oleh karena itu, kebebasan
manusia terbatas juga, sekurang-kurangnya oleh ruang gerak bebas yang menjadi
hak sesama manusia. Selanjutnya, akal budi yang sehat menuntut setiap orang
supaya tunduk kepada hukum susila dan hukum pergaulan. Bukan karena terpaksa
tetapi karena rela dan sadar, bahwa ia mengakui Yang Maha Tinggi sebagai
pencipta. Tujuannya adalah bahwa sesama berhak mengecapi kebebasan yang
sama seperti dia dan bermartabat seperti dia. I. Arti dan Fungsi Kebebasan • Arti
Kebebasan Sudah dikatakan di atas bahwa kebebasan dapat dimengerti sebagai
kemampuan untuk bertindak dengan tanpa paksaan. Kebebasan tidak dimengerti
hanya sebagai sebuah situasi atau suasana di mana manusia dengan leluasa
melakukan sesuatu tetapi dipahami sebagai sebuah kemampuan. Itu berarti bahwa
yang namanya kebebasan sudah ada dalam diri manusia secara hakiki. Singkatnya
kebebasan adalah suatu kemampuan positif sehingga manusia dengan berbuat baik
(atau sekurang-kurangnya dengan tidak berbuat jahat), merealisasikan dirinya
menjadi orang yang baik. Inilah tanggung jawab dan tugas manusia yang pokok dan
utama. Inilah arti hidup manusia. Maka kebebasan untuk berbuat sesuai dengan
keyakinan mengenai yang baik dan yang buruk adalah suatu hak asasi manusia
(kebebasan untuk mengikuti suara hati) yang tidak dapat diberi atau diminta orang
lain. Bahkan negara pun tidak punya hak untuk mencabut hak ini. Dengan kata lain,
kebebasan dapat dirumuskan sebagai kemampuan manusia untuk mengatur
perilaku dan kehidupannya menurut kehendaknya sendiri tanpa dibatasi atau
dihalangi oleh kemampuan intern (psikis) atau pun oleh hambatan ekstern (paksaan
dari pihak luar) yang dapat bersifat sah dan wajar, tetapi juga dapat bersifat tidak
sah dan jahat. • Kebebasan dapat dilihat dalam arti negatif mau pun positif. a.)
Kebebasan dalam arti negatif berarti bebas dari, misalnya bebas dari suatu ikatan
atau paksaan untuk menjalankan sesuatu. Sehingga kebebasan itu dapat
berbentuk: # Kebebasan Jasmaniah (fisik) artinya bebas dari suatu ikatan atau
paksaan yang bersifat lahiriah seperti : belenggu, penjara dll. # Kebebasan
Kehendak artinya kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan kebebasan
kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir. Karena manusia
memikirkan apa saja, ia dapat juga menghendaki apa saja. # Kebebasan Moral
artinya bebas dari ikatan atau tindakan yang berupa ancaman-ancaman, larangan
dan desakan yang tidak sampai kepada paksaan fisik. b.) Kebebasan dalam arti
positif berarti bebas untuk berbuat sesuatu, khususnya bebas untuk berbuat baik.
Seseorang dikatakan bebas kalau: # Ia bebas untuk menentukan sendiri tujuan-
tujuan dan apa yang mau dilakukannya. # Ia bebas untuk memilih antara
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya. # Tidak dipaksa/terikat untuk
membuat sesuatu yang tidak dipilihnya sendiri atau pun dicegah untuk melakukan
apa yang dipilihnya sendiri oleh kehendak orang lain. • Fungsi Kebebasan 1.
Kebebasan memungkinkan manusia bertindak dan melakukan sesuatu dengan
sengaja. Dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadarannya bahwa hanya
sayalah yang berhak menentukan tindakan ini akan saya lakukan atau tidak. 2.
Kebebasan berfungsi untuk memupuk kesadaran moral manusia. Seseorang yang
memiliki kebebasan yang sejati akan melihat setiap kewajiban moral sebagai
sesuatu yang sangat berguna bagi dirinya dan dikehendaki untuk dilakukan.
Mentaati hukum moral berarti mentaati dirinya sendiri. Mentaati hukum moral
secara otonom (tanpa dipaksa atau disuruh) sedikitpun tidak merendahkan
martabat yang dimiliki oleh manusia. Sebaliknya, hanya kalau manusia berhadapan
dengan kewajiban moral manusia dapat menghayati kebebasannya dengan penuh.
Karena kebebasan merupakan kemampuan untuk menentukan diri kita sendiri,
maka kita pun terbentuk dalam tindakan yang bebas. Dengan melihat bagaimana
kita bersikap terhadap kewajiban moral, sekaligus dapat kita lihat orang macam
apakah kita ini. 3. Kebebasan mempertebal rasa tanggung jawab manusia. Suasana
bebas meninggikan rasa tanggung jawab, sebaliknya kalau tidak ada kebebasan,
maka rasa dan kemampuan bertanggungjawab pun akan menyurut. Karena
melakukan kewajiban seharusnya tidak hanya disadari oleh susuatu yang
diwajibkan (harus dilakukan) melainkan dengan sadar bahwa saya melakukan ini
demi suatu kebaikan yang mau dijamin oleh kewajiban itu. Dengan kata lain sikap
moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab agar
kita sedapat mungkin mencapai yang baik dan bernilai untuk diri kita sendiri dan
orang lain. Oleh karena itu, kebebasan sangat erat hubungannya dengan tanggung
jawab. Tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan dan baru dalam
sikap yang bertanggung jawab kebebasan mencapai pelaksanaannya yang
menyeluruh. • Kebebasan sebagai unsur khas manusiawi. Sudah kita bahas
bersama bahwa seorang manusia dikaruniai Tuhan dengan dua anugerah istimewa
yaitu akal budi dan kebebasan. Oleh karena itu, akal budi dan kebebasan adalah ciri
khas manusia. Kecuali itu, adanya kebebasan memungkinkan manusia untuk
melakukan sesuatu dengan sadar, bisa memupuk kesadaran moral dan
mempertebal rasa tanggung jawab. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa
ternyata kebebasan sesungguhnya dapat memanusiakan manusia itu. Sebab,
kebebasan mampu memperkaya kepribadian seseorang dengan kesadaran moral
dan tanggung jawab yang tinggi. Bila kita bandingkan dengan makhluk lain
(misalnya hewan), ia hanya mempunyai naluri. Oleh karena itu, hewan tidak pernah
merasa tahu apakah ia bertindak benar atau salah. Hewan juga tidak pernah bisa
bertanggung jawab. Singkatnya bahwa hewan itu tidak akan pernah bisa maju. •
Perlunya pengarahan dan pembinaan kebebasan Kebebasan perlu dibina dan
diarahkan karena: a.) Kebebasan masih sering disalah-artikan dan disalah-gunakan,
padahal kebebasan sangat penting dan berarti dalam perkembangan manusia. Oleh
sebab itu, pengertian dan penghayatan yang keliru mengenai kebebasan itu perlu
diluruskan dengan pengarahan-pengarahan dan pembinaan-pembinaan yang baik.
b.) Pengaruh lingkungan dan pengaruh zaman dapat mengaburkan pandangan
yang tepat mengenai kebebasan, maka kebebasan itu perlu dipelajari, ditafsirkan
dan dihayati secara baru sesuai zaman dan lingkungan. Karena perlunya kebebasan
bagi perkembangan hidup manusia maka kebebasan perlu dibina dan diarahkan
dengan cara konkret, misalnya: - menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan
orang banyak sehingga mereka dapat belajar bertenggang rasa dengan orang lain.
Dengan demikian mereka menemukan kebebasan dan keinginan pribadi dalam
kepentingan bersama. - Mengikutsertakan sebanyak mungkin orang dalam
menyusun suatu peraturan sehingga semua orang merasa bertanggung jawab dan
juga gembira mentaatinya tanpa merasakan bahwa kebebasannya dibatasi.

Suara Hati

3/16/2009 8:24:08 AM

domba jantan
Suara Hati I. Tiga Lembaga Normatif 1. Institusi Masyarakat (keluarga, sekolah,
negara) Kita belajar dari keluarga, sekolah, negara dan sebagainya tentang apa
yang baik dan yang buruk serta nilai-nilai lain. Nilai-nilai ini dibatinkan dalam diri
kita dan dikenal dengan superego. 2. Superego Superego (yang merupakan teori
dari Sigmund Freud) adalah perasaan moral spontan di dalam batin kita. (berasal
dari nilai-nilai yang diberikan keluarga, sekolah dan sebagainya yang dibatinkan).
Superego menyatakan diri dalam perasaan malu dan bersalah yang muncul secara
otomatis dalam diri kita apabila melanggar norma-norma yang telah dibatinkan. 3.
Ideologi Ideologi adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang
nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Kekuatannya terletak pada pegangannya terhadap hati dan akal kita. (dalam hal ini
nilai-nilai agama juga termasuk di dalamnya). II. Suara Hati Suara hati adalah
kesadaran moral dalam situasi konkret. Kesadaran akan yang baik dan yang buruk
dalam situasi nyata yaitu situasi seseorang berhadapan dengan pilihan-pilihan.
Suara hati harus selalu ditaati. Tandanya adalah bahwa kita merasa bersalah
apabila kita mengelak dari suara hati meskipun suara hati masih dapat keliru. Suara
hati adalah pusat kemandirian manusia. Tuntutan lembaga-lembaga normatif bisa
saja membelenggu fisik kita, tetapi tidak dengan hati kita. Dengan suarah hati,
manusia tidak diizinkan untuk menjadi pembeo atau kerbau yang mudah digiring
menurut pendapat orang lain. Suara hati membuat kita sadar bahwa kita selalu
berhak untuk mengambil sikap sendiri. Oleh karena itu, suatu perintah melawan
suarah hati, dari mana pun datangnya, wajib kita tolak. • Apakah suara hati sama
dengan perasaan? Suara hati bukanlah perasaan. Suara hati bersifat objektif dan
selalu memiliki alasan masuk akal mengapa kita mengikutinya. Sedangkan
perasaan adalah penilaian subjektif seseorang terhadap kenyataan tertentu. Oleh
karena itu, suara hati masih dapat diperdebatkan, sedangkan perasaan adalah
urusan masing-masing orang. Suara hati menuntut pertanggungjawaban rasional.
Maka, penilaian kita perlu terbuka terhadap sangkalan dan tantangan. Dalam
mengambil keputusan pun, sebaiknya kita tidak berpedoman atas dasar pendapat
kita saja saat itu, melainkan harus mencari informasi dan pertimbangan yang
relevan, terbuka terhadap pihak lain dan menanggapinya. • Bagaimana mendidik
suara hati? Mendidik suara hati itu dengan membaca banyak buku, belajar dari
pengalaman, bertanya kepada orang yang lebih banyak pengalaman (bimbingan
rohani) dan lain sebagainya. • Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan? Suara
hati disebut sebagai suara Tuhan karena kemutlakannya. Kita tidak dapat menolak
adanya suara dalam hati kita yang berbicara. Senang atau tidak, toh suara hati kita
akan berbicara saat kita berada pada suatu pilihan. Dan suara hati itu mengarah
kepada sesuatu yang baik. Namun, suara hati bukan merupakan suara Tuhan
karena suara hati itu dapat salah. Tuhan tidak dapat salah. Oleh karena itu, suara
hati bukanlah suara Tuhan. Suara hati adalah kewajiban mutlak yang harus kita
lakukan. Akan tetapi manusia tidaklah mutlak, hanya Tuhan yang mutlak.

ateisme
3/13/2009 11:25:46 AM

domba jantan

Kritik Agama Ludwig Feuerbach (1804-1872) Feuerbach mendasarkan pemikirannya


berdasarkan kritiknya atas pemikiran seorang filsuf bernama Hegel. Menurut Hegel
(1770-1831) dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Maksudnya
begini (dalam kaca mata tafsiran Feuerbach), kita merasa berpikir dan bertindak
menurut kehendak atau selera kita tetapi di belakangnya Allah mencapai
tujuannya. Meskipun di tingkatannya sendiri manusia bebas dan mandiri, akan
tetapi dengan kemandiriannya itu Allah menyatakan kehendaknya. Seakan-akan
kita ini wayang, wayang-wayang yang memang dengan kesadaran, pengertian dan
kemauan sendiri, namun yang sebenarnya tetap di tangan Allah, Sang Dalang. Jadi
Allahlah pelaku sejarah yang sebenarnya tetapi seakan-akan ada di belakang layer.
Para pelaku, manusia, tidak sadar bahwa mereka di dalangi olehNya. Feuerbach
mengkritik pemikiran inti Hegel ini. Hegel seakan-akan memutarbalikan fakta
bahwa yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan) dan manusia (yang kelihatan)
adalah wayangnya. Padahal yang nyata adalah manusia, sedangkan Allah berada
sebagai objek pikiran manusia. Menurut Feuerbach, pengalaman yang tidak
terbantahkan adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif. Kepastian
inderawi adalah satu-satunya penjelasan yang tidak terbantahkan. Bukan Allah
yang menciptakan manusia melainkan manusialah yang menciptakan Allah. Allah-
lah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah sebuah proyeksi manusia.
Agama bagi Feuerbah mempunyai nilai positif karena merupakan proyeksi hakekat
manusia. Dalam agama, manusia dapat melihat siapa dia, misalkan bahwa dia itu
kuasa, kreatif, baik, berbelaskasihan dan lain sebagainya. Namun sayangnya
manusia tidak sadar bahwa proyeksi itu adalah diri sendiri. Ia begitu terkesan
dengan proyeksi itu sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang berada di luar
dirinya. Proyeksi itu hakekatnya sangat sempurna (karena manusia selalu mencita-
citakan diri secara sempurna). Manusia hendaknya berusaha keras dalam mencapai
kesempurnaan itu. Karena merasa tidak mampu dan ingin mengharapkan
kesempurnaan akhirnya manusia melekatkan diri ideal itu pada sesuatu yang
disebut “Allah”. Ia menyembah Allah agar Allah memberikan kesempurnaan itu.
Maka manusia menyembah Allah agar mendapat berkah kesempurnaan darinya.
Secara sederhana, dari pada berusaha untuk menjadi seutuh dan sesempurna
mungkin, manusia mengharapkan akan menerima keutuhannya dari Allah dan
kesempurnaannya di surga. Menurut Feuerbach, hal itu dapat menghalangi manusia
untuk bertindak social, oleh karena itu tidak heran jika manusia beragama sering
tampak intoleran dan fanatik. Oleh karena itu, Feuerbah berpendapat bahwa
manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila
ia meniadakan agama. Ia harus menolak kepercayaan kepada Allah yang mahakuat,
mahabaik, mahaadil, dan mahatahu supaya ia sendiri kuat, adil, baik dan tahu.
Tanggapan atas kritik Feuerbach. Apakah benar bahwa agama tidak lebih dari pada
sebuah proyeksi manusia? Ada benarnya karena dalam agama-agama mudah
ditemukan banyak unsur yang mencerminkan cita-cita, prasangka, emosi manusia.
Banyak hal yang dipercayai dan dilakukan atas nama agama yang sebenarnya tidak
ditemukan dalam wahyu aseli agama yang bersangkutan, melainkan interpretasi
yang miring atau tambahan kontektual kemudian. Banyak institusionalisasi dalam
agama-agama berkembang di kemudian hari. Semua unsur manusiawi itu memang
proyeksi manusia. Jadi Feuerbach ada benarnya. Banyak kenyataan dalam hidup
umat beragama tidak berdasarkan wahyu dari Allah, melainkan merupakan hasil
kreatifitas maupun kepicikan umat yang bersangkutan sendiri. Tetapi masalahnya
apakah agama itu tidak lebih dari proyeksi manusia? Itulah yang tidak pernah
dibuktikan oleh Feuerbach. Bahwa dalam agama-agama ada proyeksi manusia,
tidak berarti bahwa agama tidak lebih dari pada sebuah proyeksi. Pertanyaan yang
tidak diajukan Feuerbach “Apakah ada Allah atau tidak?” Feuerbach belum
menyentuh pertanyaan ini. Pengalaman inderawi bukan segala-galanya. Andaikan
Allah ada, sangatlah rasional jika manusia menyembah, memuji serta mohon
bantuan Allah. Jika memang Allah ada, tentulah Allah yang mencipta segalanya. Jika
demikian, maka menghormati dan menyembah Allah tidaklah menjauhkan manusia
dari dirinya sendiri, soalnya dirinya sendiri berdasarkan pada Allah. Ia akan
menemukan diri sendiri jika ia menemukan Allah. Maka pernyatan Feuerbach tidak
dapat dipertahankan dan dianggap sebagai pernyataan yang sewenang-wenang.
Agama Candu Rakyat : Karl Marx Marx setuju dengan Feuerbach. Hanya saja
menurutnya, Feuerbach berhenti di tengah jalan. Betul bahwa agama hanyalah
khayalan manusia tetapi Marx menjelaskan mengapa manusia melarikan diri ke
dalam khayalan tersebut. Manusia lari dari kehidupan nyata karena struktur
kekuasaan masyarakat tidak mengijinkan manusia untuk mewujudkan kekayaan
hakikatnya. Manusia melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata
menindasnya. Jadi agama adalah protes manusia terhadap keadaannya yang
terhina dan tertindas. “Agama adalah realisasi dari hakikat manusia dalam angan-
angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-
sungguh…..Penderitaan religius adalah ekspresi penderita nyata dan sekaligus
protes terhadap penderita nyata. Agama adalah keluhan makhluk terdesak, hati
dunia tanpa hati, sebagaimana dia adalah roh keadaan yang tanpa roh. Agama
adalah candu rakyat.” Kritik agama tidaklah bermanfaat dan yang diperlukan untuk
mengubah dunia adalah mengubah keadaan masyarakat yang membuat manusia
lari ke agama. Agama adalah ilusi manusia tentang keadaannya. Oleh karena itu,
kritik tidak hanya berhenti pada agama melainkan pada keadaan sosial politik yang
mendorong manusia kepada agama. Dengan penindasan, agama seakan-akan
melumpuhkan semangat melawan dari kelas-kelas tertindas kepada kelas-kelas
atas. Tanggapan atas kritik Karl Marx. Ia masih belum menyentuh pada pertanyaan
apakah Allah itu ada atau tidak. Ia tidak membuktikan akan ketiadaannya Allah.
Kemudian, tidak semua orang beragama menjadikan agama sebagai pelarian dari
situasi sosial politik. Allah Telah Mati : Friedrich Nietzche “Allah telah mati dan
kamilah pembunuhnya.” Mengapa Allah harus dibunuh dan bagaimana
pembunuhan Allah dilakukan. Allah sebenarnya tidak dibunuh. Nietzche tidak
pernah mau mengatakan bahwa Allah itu ada. Nietzche berpendapat bahwa yang
menciptakan Allah adalah manusia. Ia mengatakan bahwa Allah telah mati bukan
karena memang Dia pernah ada, tetapi karena diciptakan oleh manusia. Namun
menurutnya, Allah pada akhirnya tetap dan harus dibunuh karena sesudah Allah
diciptakan manusia, Ia menguasai manusia dan mengasingkannya dari diri sendiri
dan dari dunianya. Allah membuat manusia menjadi kerdil dan mengkorupsikan
moralitasnya. Allah itu dianggap sebagai kebenaran sehingga manusia hidup dalam
kebohongan. Penilaian Nietzche begitu keras karena baginya agama tak lain adalah
pelarian dari dunia yang seharusnya dihadapi (jika ia mau jujur). Agama adalah
ciptaan mereka yang kalah, yang tidak berani melawan, dan tidak berani berkuasa.
Agama menurutnya adalah sentiment mereka yang dalam hidup nyata itu kalah
sehingga mengharapkan bahwa sesudah hidup ini mereka akan dimenangkan oleh
kekuatan di alam baka. Agama itu berkaitan erat dengan moralitas 2000 tahun
terakhir yang dicirikannya sebagai moralitas budak seperti kerendahan hati, sikap
rela, menerima, kesediaan untuk tidak membalas, menawarkan “pipi kiri” jika
ditampar “pipi kanan” dan lain sebagainya. Moralitas ini meluhurkan mereka yang
sakit, lumpuh dan kaum gagal. Moralitas itu kemenangan sentimen mereka yang
diperbudak atas para tuan mereka karena nilainya justru menjunjung tinggi sifat-
sifat para budak (berbahagialah orang miskin dsb). Maka bagi Nietzche, agama dan
moralitasnya adalah sosok buruk yang membenarkan semua naluri dekaden
(penurunan), semua pelarian dan kelelahan jiwa. Semuanya itu harus ditolak
dengan penuh kejijikan oleh semua orang yang masih memiliki harga diri. Oleh
karena itu jika manusia mau jujur, ia harus menolak kepercayaan akan Allah.
Tanggapan atas Kritik Nietzche Struktur kritik Nietzche searah dengan kritik agama
Feuerbach dan Karl Marx dan ia tetap tidak dapat menunjukkan atau membuktikan
tidak adanya Allah. Ada benarnya bahwa dalam sejarah hidupnya manusia
menjadikan Allah atau agama sebagai tameng dari perasaan-perasaannya seperti
rasa takut, kecenderungan untuk lari dari tanggung jawab, kecurigaannya,
kemalasannya, kelemahannya untuk berusaha berkembang, untuk membuka diri,
atau bahkan agama menjadi saluran kebencian kerdil, kekejaman dan kebengisan
atau sebagai dalih yang paling mudah untuk bersikap sok tahu, dogmatis, picik,
tidak toleran serta lari dari otentisitas diri dan lain sebagainya. Hal itu semua tidak
perlu disangkal. Namun apakah kepercayaan kepada Allah hanya itu saja yang
berisi tentang pelarian dan kebohongan? Bukankah ada ratusan, ribuan dan bahkan
tak terhitung banyaknya orang yang percaya pada Tuhan karena merasa didukung
olehNya lalu berani menjadi manusia bagi orang lain dengan gembira, bersedia
berkurban dengan tidak menggerutu atau minta belas kasihan. Bukankah agama
telah membebaskan tak terhitung banyaknya manusia untuk membuka hati untuk
menghadapi realitas hidup dengan segala risiko dan tantangannya tanpa harus
menghindar bahaya atau membuat suatu dendam atau kebencian pada orang lain.
Manusia beragama seperti itu apakah berhati budak. Ateisme Sigmund Freud Freud
mengkritik bahwa agama adalah pelarian neurotis dan infantil dari realitas. Dari
pada berani menghadapi dunia nyata dengan segala tantangannya, manusia
mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata. Penuh
ketakutan manusia tunduk terhadap sesuatu yang ada kaitannya dengan dunia
nyata dan tantangannya. Misalnya, orang tidak dapat berkomunikasi dengan
normal, takut tanpa alasan, terus menerus mencuci tangan dan lain sebagainya.
Menurut Freud, neurosis dapat terjadi apabila orang bereaksi tidak benar atas suatu
pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Misalnya, ada anak diperkosa.
Karena merasa amat malu, ia waktu itu langsung menyingkirkan kejadian itu dari
ingatannya, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Tetapi rasa malu yang tertekan
seakan-akan ribut terus dalam bagian jiwa tak sadar dan sesudah waktu tertentu
akan muncul kembali ke permukaan kesadaran sebagai suatu kelakuan yang aneh,
yang tidak dapat diatasinya. Neurosis itu menyebabkan ia tidak dapat
mengembangkan diri secara dewasa (berpikir rasional terhadap masalah). Menurut
Freud, neurosis itu berkaitan dengan superego. Superego membonceng suara hati.
Superego itu berasal dari apa yang diterima dari norma orang tua dan masyarakat.
Superego muncul untuk memberi penilaian dan orang tidak lagi melihat
permasalahan secara rasional dan aktual. Penyebab neurosis yang paling penting
adalah Kompleks Oedipus yaitu anak kecil laki-laki ingin kawin dengan ibunya,
tetapi tidak bisa karena ibu sudah memiliki ayahnya, maka ia ingin membunuh
ayahnya, saingannya itu sekaligus dikagumi keperkasaannya. Namun karena
keinginan itu ditegur keras oleh superego sebagai buruk dan memalukan, ia tidak
menanggapinya, melainkan menyangkalnya. Pengangkalan itulah yang dapat
menghasilkan neurosis. Freud bertolak dari fungsi agama. Agama membuat
manusia percaya akan adanya dewa-dewa yang mengatasi ancaman-ancaman
alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya dan menjanjikan ganjaran
atas penderitaan dan frustrasi yang dituntut dari manusia. Jadi melalui agama,
manusia mau melindungi diri terhadap segala macam ancaman dan penderitaan.
Namun perlindungan itu hanyalah ilusi. Dewa-dewa bukannya sungguh-sungguh
melindungi manusia melainkan hanya diinginkan agar melindunginya. Itulah ilusi
dimana ada keyakinan bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena
kenyataan mendukung harapan itu melainkan karena orang menginginkannya. Ilusi
itu infantile (kekanak-kanakan) karena mengharapkan apa yang diinginkan
sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Agama membawa
orang pada sikap infantil dimana mereka menghadapi permasalahan nyata dengan
wishful thinking. Oleh karena itu, agama melumpuhkan manusia. Ia menjadi pasif
dengan mengharapkan keselamatan dari Tuhan dari pada mencari jalan untuk
mengusahakan sendiri dan mengembangkannya sendiri. Tanggapan Apakah semua
orang neurosis. Tidak. Ada orang yang dengan beragama dan beriman pada Tuhan
semakin bertindak secara rasional dalam menghadapi permasalahan. Ada orang
religious yang tidak menunjukkan tanda-tanda neurotik sama sekali. Mereka
gembira, bahagia dan terbuka karena beriman. Dalam dunia nyata, sifat infantil
memang ada, tetapi tidak semua orang. Ada orang beragama yang berusaha dalam
hidupnya untuk meraih mimpi-mimpinya. Freud pun tidak dapat menunjukkan tidak
adanya Allah. Sumber "menalar tuhan" Franz Magnis_Suseno

<No Title>
3/6/2009 9:54:09 AM

domba jantan

Selamat dating

Sosiologi Agama Durkheim

oleh Mohamad Zaki Hussein

Indeks Islam | Indeks Artikel

ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

A. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral
yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek
ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu
mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas,
karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut
terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan
melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan
masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama
bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat
diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata
cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari
yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di
atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan
perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang
totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda
yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.
Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek
totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia,
kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut
sebagai mana.

Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus
daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap
terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak
bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional
tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus"
seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari
moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen
demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk
dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu
tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian
sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan
ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti.
Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek
ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau
larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang
positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan
merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi
antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari
eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang
"kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap
praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk
masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya
adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara
keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara
keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih
khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang
terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan
yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian
bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa
agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal
ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya
memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa
konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan
produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya
pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi
seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari
pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam
bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak
merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut
Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya
pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang
sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang
dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak
mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu
sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan
penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep
"kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta
pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya
terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-
upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap
mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu
dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di
dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang
dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem
itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat
dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual.
Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada
conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran
ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat
kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam
pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan
mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara
terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan
begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah
agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk
agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu
jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb.
Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-
bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari
"agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan
peran yang sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern


Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan
pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas
melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual
yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah
disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan".
Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup
apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu
tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang
dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini
adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong
tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas
individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan
"kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk
solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas
individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas
individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme.
Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari
moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu
penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung
dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap
pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar
menukar informasi.

Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah


dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga
mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui
keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui
pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan
subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat
yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat
bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan
gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral.
Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri
manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai
kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki
kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan
adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang
merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme
masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu
merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal
ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui
bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas
individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu
dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

Sumber Acuan:

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata,
Jakarta: UI-Press, 1986.

Subject: [is-lam] Sosiologi Agama Durkheim

Date: Fri, 01 Dec 2000 11:08:59 +0700

From: Mohamad Zaki Hussein zaki@centrin.net.id

Etika Protestan Muslim Puritan

Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan

Sukidi

LEBIH pendek dan berserakan. Itulah komentar akademikus Barat atas catatan Max
Weber (1864-1920) tentang Islam. Studi Weber tentang agama-agama dunia, mulai
dari Yahudi kuno, Kristen, Hindu, sampai Buddha jauh lebih sempurna dan
sistematis. Weber keburu meninggal dunia. Padahal, menurut Talcott Parsons,
(1964), ia merencanakan studi perbandingan antara Islam, Kristen periode awal,
dan Katolik abad pertengahan.

ITU sebabnya, riset akademis tema ini masih relatif langka. Bryan S Turner adalah
sarjana Barat pertama yang studi sistematis. Dalam karyanya, Weber and Islam,
(1974:2), Turner berargumen bahwa bagi Weber "ini adalah sifat alami institusi
politik Muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi
kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, 'ekonomi
uang', dan kelas borjuis." Semua prakondisi kapitalisme rasional-modern di Barat
ini, faktanya, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.

Tahun 1987, Wolfgang Schluchter di Universitas Heidelberg, Jerman menyunting


buku Max Webers Sicht des Islams. Interpretation und Kritik. Buku ini hasil
konferensi tahun 1984 tentang sosiologi Islam Weber, yang kini tersedia dalam edisi
Inggris, Max Weber & Islam, (1999). Schluchter merekonstruksi catatan Weber
tentang Islam yang berserakan melalui empat model perbandingan: model etika
agama-penguasaan dunia sebagai penaklukan dan penyesuaian dunia; model
dominasi politik-feudalisme prebendel dunia Timur; model kota-anarki urban dunia
Timur; model hukum-hakim teokratik dan patrimonial; dan keterkaitan antara
tatanan-tatanan itu dengan kekuasan-sentralisme.

Sejumlah sarjana keislaman--mulai Lapidus, Levtzion, Eaton, Hardy, Peters, Metcalf,


Robinson, Crone, Cook, dan SN Eisenstadt-- diundang mempresentasikan tafsiran
dan kritik mereka terhadap Weber dan Islam. Namun, tak satu pun di antara
mereka yang fokus pada dua hal berikut, yang sekaligus menjadi fokus tulisan ini:
Pertama, catatan Weber tentang Islam dibandingkan langsung dengan Calvinisme.
Kedua, tulisan ini menguji sejauh mana muncul Muslim Puritan Muhammadiyah
mirip dengan Protestan asketis, terutama Calvinis.

Calvinisme dan Islam dalam Pemikiran Weber

Catatan Weber tentang Islam akan dibandingkan dengan Calvinisme melalui empat
kerangka pemikiran: doktrin predestinasi, pencarian keselamatan, asketisisme
dunia-sini, dan konsep rasionalisasi.

Doktrin Predestinasi

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The
Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama
dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit
kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi
yang berlawanan.
Dalam The Protestant Ethic (2005:56), Weber menekankan betapa penting
predestinasi dalam keyakinan Calvinis. Ide utamanya terletak pada: bagaimana
para Calvinis yakin bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih? Dalam
teologi Calvinis, terdapat predestinasi ganda yang membuat para Calvinis tidak
tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena
Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah
serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis
mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu
indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu,
sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan
diyakini sebagai "tanda" atau "konfirmasi" bahwa mereka termasuk di antara orang-
orang terpilih, atau dalam istilah Weber "suatu tanda keberkahan Tuhan".

Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak ada predestinasi


ganda dalam Islam. Malahan, menurut Weber (2005:185), Islam memiliki keyakinan
pada predeterminasi, bukan predestinasi, dan berlaku pada nasib seorang Muslim di
dunia ini, bukan di akhirat kelak. Jika doktrin predestinasi diyakini Calvinis untuk
memotivasi etos kerja keras, hal demikian tidak terjadi pada Muslim. Malahan,
lanjut Weber, doktrin predestinasi tidak memainkan peran dalam Islam. Akibatnya,
Muslim bersikap kurang positif terhadap aktivitas di dunia-sini dan pada akhirnya
terjatuh pada sikap fatalistik.

Pencarian Keselamatan

Ada sejumlah agama yang dikategorikan Weber sebagai agama keselamatan, mulai
dari Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan seterusnya. Agama-agama ini punya cara
pandang yang berbeda terhadap dunia. Namun, semuanya dipakai sebagai jalan
pembebas dari penderitaan dan sebagai respons terhadap ketegangan yang terus
berlangsung antara dunia dan agama (Weber, 1978:527). Ketertarikan Weber lebih
terletak pada sejauh mana usaha manusia mencari keselamatan itu berdampak
langsung terhadap suatu perilaku hidup tertentu di dunia ini. Dalam Economy and
Society (1978) Weber berpendapat "perhatian kita pada dasarnya adalah pada
usaha pencarian keselamatan, apa pun bentuknya, sejauh hal itu menciptakan
konsekuensi tertentu pada perilaku praktis di dunia". Pencarian individu pada
keselamatan inilah, menurutnya, yang menjadi karakteristik utama Calvinis. Bagi
para Calvinis, perilaku asketis dan kerja etos kerja keras dipandang sebagai sebuah
tanda keselamatan di dunia kelak.
Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Usaha pencarian
keselamatan benar-benar asing dalam Islam. Malahan, menurut Weber (1965:263),
"Islam sesungguhnya tidak pernah menjadi agama keselamatan; etika konsep
keselamatan benar-benar tak dikenal dalam Islam. Islam tidak pernah menjadikan
akumulasi harta kekayaan sebagai tanda keselamatan. Absennya upaya pencarian
keselamatan di kalangan Muslim ini berpengaruh terhadap metode dan perilaku
hidup yang sistematis di dunia ini."

Asketisisme Dunia-Sini

Asketisisme, menurut Weber (2005:140), terbagi dua: asketisisme dunia-sini


(innerweltliche Askese) dan asketisisme dunia-sana (ausserweltliche Askese).
Asketisisme dunia-sini menjadi karakteristik Calvinis, yang memakai metode asketik
untuk mengubah dunia. Sementara asketisisme dunia-sana menjadi karakteristik
utama kehidupan monastik dan meditasi Yoga India, yang sama-sama memakai
cara asketik, tapi tidak untuk mengubah dunia. Parsons menerjemahkan
innerweltliche Askese sebagai asketisisme yang dipraktikkan dalam dunia ini,
sebagai lawan terhadap ausserweltliche Askese, yang menarik diri dari kehidupan
dunia.

Dengan asketisisme dunia-sini, Calvinis berperan penting dalam asal-mula


munculnya kapitalisme modern sejak akhir abad ke-16 dan sesudahnya. Kata
Weber, terdapat "afinitas elektif" antara asketisisme dan sikap disiplin-diri. Karena
itu, sikap asketisisme dunia-sini secara kuat memotivasi Calvinis untuk bekerja
keras, mencari uang, menabung apa yang diperoleh dan menginvestasikan lagi nilai
keuntungannya untuk keuntungan yang lebih besar.

Islam, lagi-lagi, berlawanan dengan Calvinisme. Tidak terdapat asketisisme dunia-


sini dalam Islam. Pada periode Mekah, menurut Weber (1978:624), "Islam
berkembang ke orientasi untuk memisahkan diri dari dunia. Namun, Islam segera
menjadi agama penakluk dan agama pejuang nasional Arab pada periode Madinah.
Karena itu, Islam mendukung etika prajurit dan pejuang di dunia-sini di bawah panji
jihâd melalui pembagian klasik antara 'wilayah Islam' (dâr al-Islâm) dan 'wilayah
yang diperangi' (dâr al-Harb)."

Sebagaimana sekte-sekte dalam Protestan, Weber mengakui munculnya sekte-


sekte asketis dalam sejarah Islam. Namun, mereka tidak dapat dikategorikan
sebagai Muslim asketis yang memakai cara-cara asketik untuk mengubah dunia.
Malah, kelompok prajurit dan pejuang Muslim berhasil menarik Islam ke arah apa
yang disebut Weber "asketisisme militer", bukannya ke arah sistematisasi perilaku
hidup asketis pada kelas menengah Muslim." Berbeda dengan Protestan asketis,
terutama Calvinis, sekte-sekte asketik dalam Islam tidaklah menghasilkan sistem
perilaku hidup yang sistematis dan terkontrol.

Rasionalisasi

Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini
rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku
hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama
Calvinis.

Pertama, para Calvinis merasionalisasikan doktrinnya untuk mengatasi problem


makna mendasar: akankah mereka diselamatkan ke surga? Tuhan Calvinis
menetapkan predestinasi ganda pada setiap orang: sebagai yang terpilih atau
terkutuk? Para Calvinis mulai meyakinkan diri bahwa mereka termasuk di antara
orang-orang terpilih yang terselamatkan ke surga.

Rasionalisasi doktrin Calvinisme dapat dilihat pada upaya menghilangkan unsur


magis dari dunia modern. Calvinis menunjukkan sikap anti-magis dengan memilih
kalkulasi rasional dalam hidup. Menurut Weber (1958:139), "pada prinsipnya,
seseorang dapat menguasai segala sesuatu melalui kalkulasi rasional". Inilah yang
oleh Weber disebut Entzauberung der Welt: yakni demagifikasi atau demistifikasi
dunia. Hilangnya elemen magis yang berpuncak pada doktrin dan perilaku Calvinis
ditandai, secara teoretis, dengan tidak adanya sistem Imamat, berkurangnya
sakramen secara drastis, dan hilangnya sistem perantara yang memediasi
hubungan Calvinis dan Tuhan.

Kedua, Calvinis merasionalisasikan perilaku hidup melalui disiplin-diri, kalkulasi


rasional, individualisme, dan dipraktikkan secara sistematik. Dalam Protestant Ethic
(2005:71), Weber berpendapat, "Tuhan Calvinis menuntut penganutnya bukan
semata-mata dengan kerja baik, tapi kerja baik yang dikombinasikan dengan suatu
sistem terpadu."
Pada bagian awal The Protestant Ethic, Weber memilih "Nasihat kepada Saudagar
Muda" yang disampaikan salah satu Bapak Amerika, Benjamin Franklin, sebagai
fondasi keagamaan untuk perilaku hidup rasional. "Ingat," demikian nasihat
Franklin, "waktu adalah uang; kredit adalah uang; dan kejujuran bermanfaat dalam
bisnis." Inti pesan Franklin adalah menghasilkan uang-melalui etos kerja keras
dalam bisnis, menabung hasil, dan menginvestasikannya demi keuntungan yang
lebih besar-dimaknai sebagai panggilan hidup (Beruf; bukan dalam pengertian
Luther yang tradisionalistik). Franklin menyandarkan rujukan teologis: "Pernahkah
engkau melihat orang yang cakap dalam bisnisnya? Dia akan berdiri di hadapan
raja-rajanya" (Prov xxii. 29). Inilah yang memberi inspirasi kepada Weber (2005:19)
untuk berkesimpulan bahwa "kebajikan dan kecakapan" dalam mencari dan
menabung uang sebagai panggilan hidup adalah benar-benar bentuk Alpa dan
Omega dari etika Franklin." Dan Franklin dijadikan Weber sebagai personifikasi ideal
etika Protestan itu sendiri.

Calvinis yakin bahwa motivasi moral-keagamaan untuk bekerja keras dan


menghasilkan uang adalah benar-benar diberkati Tuhan. Sebaliknya, hidup dengan
sikap hura-hura dinilai berdosa. Karena itu, Calvinis bukanlah tipe orang yang boros
dan suka berpesta-pora. Dan perilaku hidup rasional dalam kerja profesional dan
keseharian, pada gilirannya, menghasilkan kelebihan produksi atas konsumsi. Inilah
asal-mula munculnya spirit kapitalisme rasional modern di Barat, yang berakar kuat
pada Protestan asketis, terutama Calvinis. Mereka ini, misalnya, memandang
akumulasi harta kekayaan sebagai suatu tanda diberkati Tuhan.

Islam, kata Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Rasionalisasi doktrin dan


perilaku hidup benar-benar asing dalam Islam. Perlu diingat, Weber memakai
doktrin predestinasi sebagai konsep kunci untuk menjelaskan rasionalisasi doktrin
dan perilaku hidup. Di Calvinisme, keyakinan pada predestinasi berhasil
membangkitkan etika kerja dan perilaku hidup yang legal-rasional. Namun, hal
demikian tidak terjadi di Islam. Doktrin Islam tentang predestinasi, menurut Weber
(1978:573), "sering menghasilkan kelalaian penuh terhadap diri (seorang Muslim)
demi memenuhi kewajiban jihad untuk penaklukan dunia". Hal ini akibat
dominannya peran pejuang Muslim dalam penyebaran Islam di Timur Tengah.
Kelompok ini telah menggeser Islam ke arah etika militeristik untuk penaklukan
dunia. Mereka tidak memberlakukan perilaku hidup asketis dan rasional. Keyakinan
Islam atas predestinasi tidaklah menghasilkan rasionalisasi doktrin dan perilaku
hidup. Malahan, kata Weber, doktrin predestinasi mengarahkan umat Islam ke arah
perilaku hidup yang nonrasional dan fatalistik. "Islam," lanjut Weber (1978:575),
"justru dialihkan sepenuhnya dari perilaku hidup yang rasional dengan munculnya
pemujaan terhadap orang-orang suci, dan akhirnya, magis".
Muhammadiyah sebagai Reformasi Islam Model Protestan

Mirip Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar
negeri sebagai model gerakan reformasi keagamaan dalam konteks Islam
Indonesia. Didirikan tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta, kini
Muhammadiyah hampir berusia satu abad. Sebagai sebuah kado pemikiran kader
muda Muhammadiyah untuk Muktamar ke-45 di Malang, perkenankan saya
membawa arah baru studi Muhammadiyah dalam cahaya Reformasi Protestan,
terutama pada Calvinis. Argumen utamanya adalah prinsip-prinsip dasar gerakan
reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, mirip dengan Reformasi
Protestan Calvinis. Karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi
Islam model Protestan, dengan argumen berikut.

Pertama-tama, baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama


mengajarkan skripturalisme: bersandarkan semata-mata pada kitab suci (Bibel dan
Alquran). Inilah doktrin sola scriptura. "Kembali pada Kitab Suci" sama-sama dipakai
dalam gerakan reformasi Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya
menyandarkan diri pada pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
sementara Muslim puritan Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli
Islam, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Alquran diletakkan
sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi.

Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan "Kembali pada Kitab Suci", baik Calvinis
maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. "Para Calvinis," kata Weber
(2005:68), "ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman". Inilah doktrin
sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara
keagamaan ini dapat disimak pada: minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi
radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan
korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak
ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah.
Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa
yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di
dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka
karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur
magis dan aspek sinkretik lainnya.
Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan
Weber sebagai "disenchantment of the world". Menurut Weber, proses ini dimulai
dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah
Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak
semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan
Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul,
bid'ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti
tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan.
Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam
dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi
rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern.

Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep "disenchantment of the world", Muslim


puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan merasionalisasikan
doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik dan Islam-Jawa-Hindu.
Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang sebagai sumber
konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Dan taklid harus diganti dengan tradisi
pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini diyakini sebagai
sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern.

Sebagai organisasi modernis-reformis, rasionalisasi organisasi Muhammadiyah


dapat disimak gerakan yang terorganisasi secara sistematik dan melalui birokrasi
modern. Semua ini, tentunya, sejalan dengan kebutuhan efisiensi dan administrasi
dunia modern. Sementara Calvinisme, menurut Kemper Fullerton (1928), telah
menunjukkan pencapaian secara lebih jenius untuk organisasi sosial dibandingkan
Lutheran, maka Muhammadiyah mungkin sebagai organisasi sosial Islam terkaya di
dunia saat ini.

Mirip Calvinisme, rasionalisasi perilaku hidup dapat disimak pada upaya


reinterpretasi doktrin keislaman agar sejalan dengan aspirasi dunia modern yang
bernafaskan pada rasionalitas dan kemajuan. Islam dan kemajuan direkonsiliasikan.

Kelima, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengadopsi apa yang oleh Weber
disebut "innerworldy asceticism". Protestan asketis, terutama Calvinis, memakai
metode asketis untuk mengubah dunia. Spirit kapiralisme muncul dari proses yang
disebut "afinitas elektif" antara asketisisme dan disiplin diri di kalangan Calvinis.
Muslim puritan pun menganut asketisisme dunia-sini melalui tasawuf modern tanpa
melarikan diri dari kehidupan duniawi.
Etika Protestan di Kalangan Muslim Puritan

Dalam The Protestant Ethic, terbit pertama kalinya tahun 1904-1905, Weber
meletakkan Protestan asketis sebagai "suatu kontribusi terhadap pemahaman atas
masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah".
Nama Karl Marx tentu ada dalam pikiran Weber. Dan Weber tampak sengaja ingin
meletakkan "kekuatan ide" sebagai wacana tandingan atas doktrin materialisme
sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan dalam perubahan
sejarah. Weber hadir dengan tesis baru: bagaimana ide dan keyakinan di antara
protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) menjadi kekuatan-
kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme rasional modern di Barat.

Dengan alasan demikian, Weber (2005:3) lalu menunjuk fakta empiris: mereka yang
menjadi industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja yang cakap di
bidang industri lainnya, ternyata jumlahnya jauh lebih besar Protestan ketimbang
Katolik. Yang terakhir ini malah sering diasosiasikan dengan pekerja kasar dan
bawahan. Tingginya pertumbuhan aktivitas kapitalisme juga lazim terjadi di antara
gereja protestan dan Calvinis Perancis, Belanda, dan puritan Inggris. Fakta-fakta ini
menginspirasi Weber menarik kesimpulan adanya "afinitas elektif" antara Protestan
asketis, terutama Calvinis, dan spirit kapitalisme.

Jika demikian, tesis Weber dapat dipakai sebagai model: adakah "afinitas elektif"
antara etika/keyakinan Islam dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim puritan?
"Ya" jawab Clifford Geertz, antropolog Amerika terkemuka di Universitas Princeton.
Seperti halnya Robert N Bellah yang datang ke Jepang untuk studi agama
Tokugawa, Geertz pun terbayang-bayangi tesis Weber untuk studi agama Jawa. Ia
datang ke Mojokuto awal 1950-an dengan kesimpulan: "pertumbuhan ekonomi dan
pembaharuan Islam berjalan secara beriringan". Suatu kesimpulan yang mirip
antara pertumbuhan kapitalisme dengan Reformasi Protestan di kalangan Calvinis.

Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz studi perbandingan dua kota: Mojokuto
di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber. "Dalam
kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam menstimulasi
pertumbuhan komunitas bisnis di Barat," demikian laporan Geertz (1963:49),
"bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah sebagian besar
Muslim reformis". Ia memang menemukan sebagian besar pemimpin usaha bisnis
tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan justru didominasi Muslim
reformis-puritan. "Tujuh dari pertokoan modern yang berdiri kokoh di Mojokuto,"
lanjut Geertz, "enam di antaranya dijalankan oleh Muslim reformis-puritan." Ia lalu
berkesimpulan "Reformisme Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin
majoritas para saudagar" (Geertz, 1963:150). Tulisan ini memang mengikuti tesis
Geertz, namun beda dalam studi kasus. Mojokuto bagi Geertz dan Yogyakarta bagi
saya. Dengan telah meletakkan kerangka pemikiran Muhammadiyah sebagai
reformasi Islam model Protestan, maka tulisan ini diakhiri dengan adanya beberapa
elemen mendasar Etika Protestan yang berakar kuat dalam Muslim puritan
Muhammadiyah.

Pertama, Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, dikenal sebagai


Muslim reformis-puritan yang asketis sekaligus seorang saudagar. Dahlan lahir di
tengah keluarga beragama dan sikap hidup asketis mewarnai hidupnya. Ia
berpendidikan di sekolah Islam, rajin salat lima waktu, berpuasa Senin dan Kamis,
dan naik haji ke Mekkah. Selama di Mekkah tahun 1890 dan 1903, minat keilmuan
Dahlan, antara lain, pada tulisan-tulisan Muslim reformis Mesir Muhammad 'Abduh
(1849-1905), seperti Risalât al-Tawhîd, al-Islâm wa al-Nasranîyah, Tafsîr Juz’ ‘Amma,
dan Tafsîr al-Manâr (Solichin, 1963:6). Barangkali terinspirasi Abduh, ia pulang ke
tanah air dan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 untuk
mengemban misi pembaharuan Islam, seperti pentingnya kembali kepada Alquran
dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, penolakan takhayul, bidah dan
khurafat, serta kontekstualisasi ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia
modern.

Kepergian Dahlan untuk haji ke Mekkah ternyata sangat menentukan tahap penting
dalam hidupnya. Meminjam tesis Geertz (1963:56), bahwasanya masyarakat Jawa
yang telah menunaikan ibadah haji lebih memiliki modal dan jiwa berwirausaha
ketimbang rekan-rekan mereka di pedesaan. Sesudah haji, Dahlan menjalani hidup
sebagai sebuah panggilan: sebagai khatib di Kraton Yogyakarta dengan gaji 7
gulden per bulan sekaligus sebagai saudagar batik. Ini memperkuat asumsi bahwa
nilai simbolis haji menjadi kekuatan penggerak Dahlan menumbuhkan kebajikan
dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis. Asketisisme dan disiplin-diri dipadukan
secara sistematis. Etika kerja ini telah terefleksikan dalam perilaku hidup Dahlan,
yang "rajin, jujur, suka membantu" dan "luar biasa cerdas dan tekunnya" (Peacock,
1978:34).

Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan
dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes, pejabat
Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan menilai Dahlan
sebagai "prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis: tekun, militan, dan
cerdas". Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati Dahlan beristirahat. Ia
jawab: "saya harus bekerja keras sebagai upaya meletakkan batu pertama dalam
gerakan mulia ini. Jika saya terlambat atau berhenti, akibat sakit, maka tak seorang
pun yang akan membangun fondasi ini. Saya sudah merasa bahwa waktuku sudah
hampir lewat, karenanya, jika saya bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa
dapat disempurnakan oleh yang lain" (Peacock, 1978:38-9).

Kedua, "afinitas elektif" Weber antara Protestanisme asketis dengan spirit


kapitalisme memiliki kemiripan antara Muslim puritan Muhammadiyah dan
keterlibatan ekonomi secara aktif pada usaha pabrik Batik di Yogyakarta.
Yogyakarta perlu dingat karena kota kelahiran Muhammadiyah dan Dahlan, yang
meniti karir sebagai khatib asketis dan saudagar batik. Hawkins (1961:12-52)
menggelar survei terhadap perusahaan batik tahun 1960 dengan kesimpulan yang
mengejutkan: semua perusahaan batik di Yogyakarta mayoritas dimiliki dan
dijalankan oleh Muslim puritan Muhammadiyah.

Terakhir, Muslim reformis-puritan dapat digambarkan, meminjam tesis W.F.


Wertheim (1969:212), sebagai "saudagar urban pada tahun-tahun awal abad
sekarang". Mereka ini sering pula disebut Muslim borjuis. Seperti Calvinis, etika
kerja dan sikap Muslim asketis mengindikasikan model etika kaum borjuis yang
individualis dan rasional. "Seorang Muhammadiyah," kata Wertheim, "didorong ke
arah hidup sederhana dan etos kerja yang saleh-asketis, dengan harta kekayaan
yang diperolehnya sendiri." Mereka menjadi Muslim puritan yang asketis dengan
mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis dan sosial-
keagamaan sekaligus.

SUKIDI Mahasiswa Teologi di Fakultas Teologi, Universitas Harvard, Cambridge,


Amerika Serikat; Pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban [PSAP] Muhammadiyah

Sosiologi Agama Durkheim

oleh Mohamad Zaki Hussein

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

A. Definisi Agama Menurut Durkheim

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral
yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek
ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu
mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas,
karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut
terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan
melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan
masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama

Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama
bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat
diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata
cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari
yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di
atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan
perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.

Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang
totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda
yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.
Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek
totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia,
kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut
sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus
daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap
terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak
bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional
tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus"
seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari
moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen
demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk
dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu
tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian
sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.

C. Ritual Agama

Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan
ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti.
Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek
ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau
larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang
positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan
merupakan intinya.

Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi
antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari
eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang
"kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap
praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk
masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya
adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara
keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara
keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih
khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang
terhadap ideal-ideal keagamaan.

D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat

Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan
yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian
bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa
agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal
ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya
memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.

Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa
konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan
produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya
pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi
seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari
pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam
bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak
merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut
Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya
pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.

Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang
sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang
dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak
mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu
sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan
penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep
"kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta
pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya
terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-
upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap
mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu
dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di
dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang
dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem
itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat
dibandingkan dengan individu-individu.

Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual.
Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada
conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran
ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat
kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam
pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan
mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara
terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan
begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.

Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah
agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk
agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu
jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb.
Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-
bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari
"agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan
peran yang sama seperti agama.

E. Moralitas Individual Modern

Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan


pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas
melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual
yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah
disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan".
Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup
apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu
tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang
dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.

Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini
adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong
tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas
individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan
"kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk
solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas
individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas
individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme.
Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari
moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu
penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung
dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap
pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar
menukar informasi.
Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah
dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga
mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui
keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui
pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan
subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat
yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat
bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan
gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral.
Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri
manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai
kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki
kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan
adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang
merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme
masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu
merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal
ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui
bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas
individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu
dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.

Sumber Acuan:

Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata,
Jakarta: UI-Press, 1986.

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Membongkar Hegemoni Wacana Sosiologi Barat


Happy Susanto

Judul Buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam
vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme; Penulis : Bryan S.
Turner; Penerbit : Ar-Ruzz Press Yogyakarta; Cetakan I Tahun : Agustus 2002;
Penerjemah : Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan Muzir, dan Muhammad Syukri; Tebal :
453 halaman.

“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata


yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis dalam
sosiologi Barat selama ini. Apa yang kita terima dalam berbagai literatur dari
wacana mereka adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi
kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness,
Timur, Islam) sebagai “barang rendahan”. Maaf, jika kata-kata ini penulis
kemukakan dalam tulisan ini karena memang demikianlah apa yang menjadi
realitas saat ini.

Bryan S. Turner, sosiolog kondang kenamaan abad ini, membongkar universalitas


sosiologi Barat ini dalam bukunya yang versi aslinya berjudul, Orientalism,
Postmodernism, and Globalism. Soal keangkuhan Barat dalam menilai Timur dan
Islam, bisa diamati dari berbagai analisis akademik kaum orientalis yang mencibir
kebudayaan non-Barat, dan menganggap Timur adalah irrasional, tidak demokratis,
dan sangat mistik. Turner mencoba menunjukkan bahwa “sikap manis” Barat itu
sesungguhnya memendam kelemahan, bahwa mereka belum tentu diklaim sebagai
satu-satunya kebenaran, universal, dan independen. Keangkuhan Barat mesti kita
“lawan” (lewat wacana) karena jika tidak maka mustahil kita mampu memberikan
alternatif bagi kemunculan keilmuan yang lebih memihak pada obyektivitas dan
kemanusiaan. Apalagi, untuk konteks “Islamisasi” ilmu-ilmu sosial dalam “garapan
besar” The International Institute of Islamic Thought (IIIT), langkah strategisnya
adalah—seperti apa yang dilakukan Turner ini—yaitu membongkar superiority Barat
dalam kajian akademis dan keilmuan.

Gejala modernitas dan kapitalisme global telah mengeruskan kekuatan religiusitas


yang dilakukan agama-agama selama ini. Agama Kristen telah melakukan
perombakan total dengan jalan sekularisasi general yang memadukan apa yang
telah menjadi komitmen dan keyakinan religiusitas sebagai bagian kebudayaan
Barat, sehingga memunculkan laju pertumbuhan masyarakat industri dan urban.
Hal demikian pernah dianalisis Max Weber dalam bukunya, The Protestant Ethic and
The Spirit of Capitalism (1958). Di sisi lain, ternyata Islam, seperti diklaim Turner,
mulai tumbuh menjadi kekuatan dominan dalam bidang politik dan kebudayaan,
tidak hanya di Timur tapi juga pada kebudayaan Barat.

Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan pada
kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah
mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih
mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada
mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal.
Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme
menjadi menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita
kepadanya. Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap
kuat pada ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme
(juga dalam hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme.
Postmodernisme ingin mendekonstruksi “narasi besar” (grand narrative) ini dengan
mengajukan pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai
emansipasinya juga.

Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme

Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana
masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat
Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat.
Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient
(1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said,
kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu
samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari
kolonialisme.. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap
konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana
orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat.
Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam
mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk
dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.

Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang
melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan,
menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah
seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum
maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan
memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang
berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur”
(the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling
signifikan bagi Said :

Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis sebagai institusi yang berbadan


hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan
tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur,
mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya.
Pendeknya orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan
menguasai Timur.

Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran
Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel
Foucault, yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian humaniora
dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang telah
diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya
mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan
memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang
menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini
kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus
mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.

Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang
baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner,
“metodologi teks” adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said,
dengan alasan bahwa Said menggunakan metode “dekonstruksionime”
(deconstructionism), dan dia pun mampu menunjukkan bagaimana wacana-wacana,
nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan
dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said
dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok
intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner
sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis,
namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan
politik Palestina dan Timur Tengah.

Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah
bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, dalam
bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said adalah
berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan Foucault
tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di Perancis
memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah posisi
politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap politik Said
terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism (hal. 34). Said,
seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran “epistemologi
realis”, yang menghubungkan anpengetahuan dan sikap politik yang merupakan
buah dari pemikirannya.

Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang
radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang
sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said berpendirian
bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela sebuah kasus
demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana kolonialis.
Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan adalah untuk
menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan
menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan
kekuatan opresif. Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak
memungkinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena
Foucault tidak berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah
pengetahuan secara kritis dan obyektif.

Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan
bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan ini
terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh sejumlah
peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai sebuah
gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim
pengetahuan kolonial dan neo-kolonial. Yang melatarbelakangi aksi praksis Said
adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam
menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka anti-
Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil kebijakan
Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, pergulatan antara
orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap penduduk-penduduk
Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk pada umumnya.
Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang melekat padanya.
Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu
diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan
perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan orang-
orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris. Dan berdasarkan pengalaman yang
dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap kerancuan-
kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang melawan
kolonialisme Barat --bahkan menjadi tokoh garis depan.

Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah
konsentrasinya terhadap “tekstualitas” dan “tektualisme”. Tekstualisme
menyebabkan solipsisme—yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya
pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri-- buta yang tidak
dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang
sebuah rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35). Turner juga mengkaitkan
pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan
konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya
kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).

Kemunculan orientalisme menyebabkan kemunculan wacana baru sebagai


tandingannya, yaitu oksidentalisme. Menurut Turner, oksidentalisme berisikan
penolakan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Barat dan
penolakan tak langsung terhadap warisan modernisasi. Sikap penolakan anti Barat
ini sejalan dengan kemunculan gagasan “indigenisasi” (indigenization)
pengetahuan yang tumbuh dan berkembang pada “masyarakat dunia-ketiga” (the
third-world society) akhir-akhir ini. Oksedentalisme menjadi menarik dikaji
bersamaan dengan maraknya perbncangan tentang “islamisasi ilmu pengetahuan”
(islamization of knowledge). Jika boleh berpendapat, secara real kekuatan yang
sangat bernilai strategis apabila gerakan islamisasi ilmu pengetahun diproyeksikan
untuk melawan hegemonisasi pengetahuan Barat yang mengklaim sebagai
universalis dan instrumentalis. Bukan justru berkehendak untuk menampilkan sisi
normativitas Islam, yang sesungguhnya masih kabur, untuk dianggap sebagai
sebuah ilmu yang mandiri dan independen.

Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya
terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah
pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan
bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah anti-
modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa
menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di
dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya,
apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan
berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah
fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme yang
menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas,
penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan
penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait
dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan. Apakah
islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, bagaimana
mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?

Kelemahan yang terasa dalam wacana orientalisme menyebabkan para pengkaji


dari barat untuk menggiring wacana itu kepada globalisasi atau disebut dengan
sosiologi global. Banyak orang menyederhankan pengertian globalisasi
(globalization) dengan westernisasi (westernization). Menurut Turner, munculnya
globalisasi akan menyulitkan pemahaman kita tentang istilah ini apabila masih
membicarakan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat yang terpisah, otonom,
atau independen (hal 40). Kenapa? Karena, perbincangan terakhir itu telah
ditinggalkan oleh wacana orientalisme yang sudah ketinggalan zaman dan
melangkah pada sosiologi global. Akan menarik apabila wacana orientalisme yang
menuju globalisasi ini dihubungkan dengan perbincangan mengenai
postmodernisme. Perdebatan-perdebatan postmodern menekankan pentingnya
perbedaan dan “ke-yanglain-an” (otherness).

Apa itu “postmodernisme”? J. F. Lyotard dalam bukunya La Condition Postmoderne


(1979), mengartikan postmodernisme secara sederhana sebagai “incredulity
towards metanarratives” (ketidakpercayaan terhadap matanarasi). Metanarasi yang
dimaksud, misalnya : kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar, dan
sebagainya. Lyotard adalah filosof yang memperkenalkan istilah postmodernisme
ke dalam bidang filsafat. Bagi dia, postmodernisme itu sepertinya adalah sebuah
“intensifikasi dinamisme”, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan,
eksperimentasi, dan revolusi kehidupan terus. Dengan kata lain, dalam bidang
filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas
paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”. Terkadang
orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang
membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme
menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi
dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata
sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup,
konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya
negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Pengertian ini juga
yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang
meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran
filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang
merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.
Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan
meta- narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang
hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan,
filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang
birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai “narasi-narasi besar” (grand narrative)
yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut Turner,
perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme
menjadi tantangan besar bagi orientalisme (hal 46). Orientalisme yang merupakan
bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan
postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya
kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi sebuah
ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan.

Pasca runtuhnya Komunisme Soviet (yang menurunkan citra sosialisme dan


tumbuhnya pengaruh postmodernisme), membuat posisi global Islam menjadi
kembali diperhitungkan. Menurut Turner, adalah memungkinkan bagi Islam untuk
“bergandengan tangan” dengan postmodernisme, dengan catatan bahwa perlu ada
reformasi di dalam tubuh Islam dengan menghilangkan kecenderungan mengarah
pada “narasi besar” yang disebabkan dari citra keseragaman dan ortodoksi
keagamaan yang secara fundamental memegang teguh gagasan rasionalisme
universal, disiplin, dan asketis.

Menyoal Hubungan antara Islam dan Barat

Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan Barat.
Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat)
memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa
yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini,
Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam
dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya. Kita pernah
diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of
Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana
Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut
Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk
berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang
berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :
“Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan
sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial,
antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok
(kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-
entitas budaya yang berbeda-beda”.

Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)?
Keduanya merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna.
Orientalisme berhak kita “gugat” karena meta-wacana ini telah menyebabkan
pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya
sejumlah jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan
kebudayaan Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah
orientalisme muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur.
Dalam sosiologi Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik,
dan asketik. Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan
peran yang sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber,
masyarakat Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak
memiliki unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan
sebagai sebuah sistem ketiadaan --tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak
ada lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101).

Pandangan sosiologi Barat menggambarkan sebuah bentuk idealisme subyektif


yang tanpa disadarinya telah mereproduksi unsur-unsur pemikiran borjuis. Weber
membandingkan dunia Timur dan Barat dengan sistem penjelasan yang
menggunakan “hukum rasional” (rational law), “kota-kota bebas” (free cities),
“borjuis perkotaan” (urban bourgeoisie), dan “negara modern” (modern state),
sebagai ciri-ciri pada masyarakat Barat. Sebaliknya, sistem yang berbentuk “hukum
dan ad hoc” (ad hoc law), “kamp-kamp militer” (military camps), “pedagang yang
dikontrol negara” (state-controled merchants), dan “negara patrimonial”
(patrimonial state), sebagai ciri-ciri dalam masyarakat Timur. Sebuah perbandingan
sosiologis yang dilakukan melalui fakta yang tidak berimbang. Weber dikenal
sebagai pencetus “rasionalisme instrumental” sehingga metode pemikiran
sosiologinya menjadi begitu dominan bagi masyarakat Barat sampai saat ini.

Lalu, timbul pertanyaan selanjutnya : apakah kemudian pemikiran Karl Marx


menyiratkan sebuah pemihakan terhadap budaya dan masyarakat Timur?
Pertanyaan ini dijawab oleh Turner bahwa keduanya (Weber dan Marx) sama-sama
menganut pola-pola penjelasan yang agak mirip dalam menjelaskan keberadaan
sejarah dalam masyarakat-masyarakat Barat dan ketiadaannya (sejarah) dalam
masyarakat Timur (hal 104). Penjelasan Weber dan Marx adalah bentuk lain dari
“despotisme Timur” karena keduanya sama-sama menganut pandangan bahwa
politik negara di Timur bersewenang-sewenang dan tidak menentu. Akhirnya,
penjelasan sosiologi weberian dan Marxisme strukturalis tidak mengembangkan
tanggapan-tanggapan yang memuaskan terhadap prosedur-prosedur penjelasan
mengenai orientalisme.

Pembedaan antara Islam dan Barat sangat ditentukan oleh keberhasilan


orientalisme dalam menancapkan wacana hegemoniknya pada masyarakat Barat.
Politik penjajahan yang dilakukan Barat sangat berpengaruh kuat dalam
membentuk citra Barat tentang Islam dan analitis mereka tentang masyarakat-
masyarakat ketimuran atau oriental society. Dengan meminjam kerangka analisis
Foucault, seperti diadopsi Said, kekuasaan dan pengetahuan ternyata saling
mempengaruhi satu sama lain. Kekuasaan sebenarnya melekat dalam bahasa dan
institusi yang kita gunakan untuk mendeskripsikan, memahami, dan mengotrol
dunia. Dan Said berhasil menunjukkan bahwa sebagai sebuah wacana, dikotomi
Timur/Barat yang secara sekilas tampak netral sebenarnya merupakan ekspresi dari
suatu relasi kekuasaan tertentu (hal 64). Dan dengan jelas sekali orientalisme
mengungkapkan ciri-ciri progresif Barat dan menunjukkan kemandekan sosial
masyarakat Timur.

Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner
mengklaim bahwa Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan
Kristen, tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. “Mengkategorikan Islam
dengan Timur (oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam
wacana orientalis”, kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang
berharga bagi Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat
Mediteranian. Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun
sebenarnya tidak bisa dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan
Turner? Ia melihatnya secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai
kepercayaan Smitik yang berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai
agama Timur. Sementara Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan
Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat
(hal 66). Jadi, pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan
karena wacana orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara
keduanya. Dan juga disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba
keterblakangan dan Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas
pandangan orientalis, dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.
Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap
ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan
borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan
despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep “masyarakat
sipil” selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur
sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil
mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi
penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi
sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari kontrol
mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan.
Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat
sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan
politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). Turner
kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan persoalan
Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, “despotisme
Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang monarkhi
Barat”, yang pendangannya “dilempar” ke dalam Islam. Entah, apa sebenarnya
penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.

Beberapa Pandangan Orientalis Mengenai Islam

Dalam tulisannya, Turner membedah beberapa orientalis yang mengkaji tentang


masalah Islam. Kita mengenal Marshal Hodgson melalui karya monumentalnya tiga
jilid berjudul The Venture of Islam (1974). Dalam buku itu, Hodgson berusaha
melampaui pendekatan-pendekatan filosofis tradisional terhadap Islam dengan
memberikan perhatian penuh terhadap sejumlah daerah yang di dalamnya Islam
ditentukan oleh faktor-faktor sosiologis, ekonomis, dan geografis yang
melingkupinya. Sebuah kajian sejarah tentang Islam yang sangat lengkap. Menurut
Turner, pendekatan Turner ternyata masih gagal untuk melepaskan dirinya secara
total dari asumsi-asumsi asosiologis orientalisme tradisional. Dalam pandangan
Hodgson, Islam, sebagai agama maupun sistem sosial, diperlakukan sebagai
perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam menciptakan
peradaban yang impersonal dan lahiriah. Hati nurani dianggap sebagai sebuah
aktivitas kreatif paling kecil bagi seorang muslim ketika menghadapi realitas di
luarnya.

Hodgson membedakan antara kajian-kajian tentang Islam an sich dan kajian-kajian


tentang dunia Islam (Islamdom). Ia membedakan Islam sebagai ajaran (iman)
dengan Islam sebagai sebuah konteks sejarah. Bagi Hodgson, kebutuhan untuk
membedakan antara keduanya cukup mendesak karena, menurutnya, siapa saja
sering terjebak untuk menyamakan antara Islam sebagai agama dan sebagai
budaya. Istilah “Islamdom” dapat saja diperbandingkan dengan “Christendom”.
Menurut Hodgson, “Islamdom” adalah masyarakat di mana kaum muslimin dan
kepercayaan yang diakuinya sebagai yang berlaku umum dan dominan secara
sosial, dan menjadi sangat penting pada beberapa arti untuk membentuk
kebudayaan bersama. Dalam pandangan Hodgson, kesalehan spiritual (ketaatan
spiritual seseorang) adalah “cara seseorang merespon ilahi”, sedangkan agama
mencangkup “percabangan yang bermacam-macam dari tradisi-tradisi yang
dimaksudkan untuk mewadahi respon-respon semacam itu”. Jadi, agama adalah
kulit luar yang dapat dijelaskan secara sosiologis, sedangkan kesalehan adalah
bagian dalam, inti yang tak dapat dijelaskan secara sosiologis.

Turner menyimpulkan pendekatan Hodgson terhadap kesalehan/agama


memunculkan apa yang disebut “kekebalan” (imunitas) sosiologis bagi keimanan.
Pendapat Hodgson memisahkan mana yang merupakan ruang privat (keimanan)
dan mana ruang publik (agama yang membudaya dalam konteks sosial). Seperti
kata Hodgson : “Pada akhirnya seluruh kepercayaan adalah hal privat…Kita
terutama adalah anak manusia, dan secara sekunder saja kita kita berpartisipasi
dalam tradisi ini atau tradisi itu”. Tapi, menurut Turner, penjelasan Hodgson
terhadap bagaimana memahami sistem kepercayaan asing tampak tidak
memuaskan, karena jawabannya tidak meyakinkan (hal 135). Alasannya, karena
Hodgson sendiri adalah pemeluk Kristen yang kuat sehingga dia menolak setiap
usaha untuk memilih elemen tertentu dari Kristen dan Islam yang dapat dianggap
sama dan dapat diperbandingkan. Menurut Turner, setiap usaha ke arah sinkretis,
atau setiap pandangan yang menganggap bahwa semua agama adalah sama
karena semuanya berpijak pada suatu respon kemanusiaan terhadap yang ilahi
ditolak oleh Hodgson. Kritik minor terhadap Hodgson adalah bahwa dia tidak
mengemukakan komitmennya sendiri secara tepat dan sistematik. Dia adalah
penganut Kristen yang yakin dan mengikuti ajakan Quaker, tapi dalam analisis
sejarah kegamaan banyak berhutang budi pada Rudolf Otto dan Mircea Eliade.

Setelah membedah Hodgson, Turner kemudian mengkaji pemikiran Von


Grunebaum, seorang sejarahwan tentang dekadensi dan kemunduran Islam.
Menurut Von Grunebaum, kemunduran Islam dari perwujudan kebajikan agama
yang ideal diperparah dengan masalah-masalah yang ada dalam tradisi hukum
sucinya yang tidak dapat dikembangkan untuk memberikan kondisi baru bagi
perkembangan sosial (hal 163). Baginya, kekakuan hukum dan gap atau ruang
kosong antara ideal keagamaan (secara normatif) dan praktik politik kekuasaan
(secara empirik) dalam Islam, menunjukkan kegagalan teologis Islam. Islam gagal
disebabkan karena konservatisme dan tidak adanya integrasi kultural. Dia
memandang bahwa umat Islam hanya melakukan pengulangan sejarah, atau bisa
disebut dengan “romantisme historis”, sehingga hakikat realitas Islam adalah tidak
berubah.

Bagi Grunebaum, sifat terus-menerus mengulang dari sejarah Islam menunjukkan


sisi lebih lanjut dari daya memiliki kultural dan imitasi sosial Islam (cultural mimicry
social imitation). Islam kemudian dipandang sebagai barang pinjaman yang tak ada
habisnya dari masa lalu pagan Arab, dari teologi monotheistik Yahudi-Kristen, dari
logika Hellenistik, dan dari teknologi Cina. Hampir secara keseluruhan masyarakat
Islam dianggap tidak kreatif dan tidak memiliki pengaruh sama sekali, dan aturan-
aturan komposisi puisi Arab dianggap hanya membuat pengulangan-pengulangan
dan tidak adanya penemuan baru (hal 164). Ketika Grunebaum beralih kepada
permasalahan-permasalahan tentang kepercayaan dan praktik peribadatan dalam
Islam, dia sekali lagi menuduh bahwa Islam itu gersang, sederhana, dan secara
emosional tidak memuaskan. Secara singkat, Grunebaum memberikan kepada kita
sebuah tesis bahwa kegagalan Islam pada akhirnya adalah kegagalan pemikiran
dan keinginan. Jika di Islam sikap kesalehan ritual diorientasikan untuk mencari
kehidupan yang damai dan tenang sehingga meminimalisir kegiatan berfikir dan
etos kerja, sedangkan di Barat, munculnya dunia modern ditandai dengan deklarasi
tentang pikiran aktif mencari, yakni I think, therefore I am (aku berfikir maka aku
ada). Filsafat Cartesian membuka jalan bagi modernisasi yang didasarkan pada
nilai-nilai pencapaian dan tindakan. Fenomena modernitas juga pernah ditunjukkan
oleh Weber tentang etos kapitalisme Barat yang berasal dari doktrin Protestanisme.

Turner kemudian mengkritik pendapat Grunebaum dengan dua catatan. Pertama,


Turner menganggap Grunebaum mengkaji Islam dari luar dan benar-benar
menganggapnya sebagai tugas akademik untuk ikut memberikan penilaian atas
Islam. Pernyataannya tentang gap antara cita dan realitas dalam Islam tidak
berimbang dengan yang terjadi Kristen, yang seharusnya mendapat sorotan pula.
Dengan mengutip Edward Said, Turner menganggap bahwa pespektif Grunebaum
penuh dengan “sikap tidak suka yang jahat terhadap Islam” (hal 169). Kedua, soal
pernyatan Grunebaum tentang romantisme atau pengulangan sejarah dalam Islam.
Wacana yang dikemukan dibumbui dengan keanehan literatur, di mana ia
menggambungkan antara antropologi dan filologi. Ia juga melakukan pengulangan
dengan mereproduksi seluruh tema mimetik orientalisme.

Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan bahwa
sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi keseragaman
pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Di
zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya tentang
orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang final,
universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner mengajukan
sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip dengan
gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple Paradigm
Science (1980) --walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun nama
Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat
menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk “dibongkar”
kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat yang
obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan.

Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan yang
suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa terjemahannya.
Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner berupaya
mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan amat
komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat
tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak
dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa dari
obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup berhasil dalam
menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk “menghabisi” kerancuan-
kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara tidak adil.
Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah “karya agung” untuk
memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan analisa-analisa
baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan.

Catatan:

Disampaikan pada diskusi rutin internal IIIT Indonesia pada Hari Senin, 10 Maret
2003.

Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. iii,
hal. 2-3.

Ibid, hal.2-4.

Said mengakui bahwa penggunaan wacana (discourse) dari Foucault, sebagaimana


dijelaskan dalam The Archeology of Knowlodge dan dalam Discipline and Punish,
berguna sekali untuk mengindentifikasi orientalisme. Kata Said : “tanpa memeriksa
orientalisme sebagai suatu discourse, kita tidak akan mungkin bisa memahami
disiplin yang snagat sistematis ini, dengan mana budaya Barat mampu mengatur
--bahkan menciptakan-- dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis,
saintifik, dan imajinatif selama masa pasca-Pencerahan”. Ibid, hal. 4

Richard King, Agama, Orientalisme, dan Postkolonialisme, terj. Agung Prihantoro


(Yogyakarta : Qalam, 2001), hal. 164-5.

Ibid, hal. 166.

Edward Said, op.cit. hal. 34-5.

Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Barat, terj. M. Najib
Buchori (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 20.

I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta :


Kanisius, 1996), hal. 27-8.

Ibid, hal. 24.

Samuel P. Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia,
terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta : Qalam, 2000), hal. 9.

Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 1999), hal. 81.

Happy Susanto, lahir di Jakarta, 3 April 1980, tercatat sebagai mahasiswa akhir
Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Islam ’45 (UNISMA) Bekasi. Pernah
belajar Bahasa Arab (I’dad Lughawy) di Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab
(LIPIA) Jakarta (1998-2000). Kini aktif sebagai peneliti Bidang Sosiologi pada
International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, Jakarta, dan menjadi Ketua
Bidang Komunikasi Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi, dan
pengurus di Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.2, Juni 2003

International Institute of Islamic Thought Indonesia

Menggagas “Sosiologi Profetik”:

Sebuah Tinjauan Awal

Happy Susanto

Abstract

Prophetic sociology is academic study in sociology that tries to explore prophetic


idea into observation or social research. By exploring history of prophets critically,
scientific idea of prophecy included in sociological studies. Basic principle of the
study is its character that is not-value-free and based on interdisciplinary sociology,
as well as having multi-paradigms. Reflecting on realities those are showed by
prophets, sociologist should involved in “historical activism” to create valuable
social change. Three main principles of this project are: liberation, emancipation,
and transcendence. The principles are being integral part of prophet process in
reflecting social realities they faced. Henceforth, disenchantment of meaningful life
to be explored critically through prophetic sociology

Keywords: prophetic sociology, value-free, multi-disciplines, liberation,


emancipation, transcendence, activism, history, consciousness, paradigm
“Kenekadan”, adalah sebuah ungkapan yang akan terlontar dari beberapa orang
ketika mendengar istilah “Sosiologi” disandingkan dengan kata “Profetik”. Adalah
sebuah “omong kosong” manakala sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sosial
yang ilmiah, obyektif, dan rasional diletakkan “bermesraan” dengan sebuah term
yang memang masih bersifat teologis-keagamaan –begitulah tanggapan dari
beberapa orang bila mendengar istilah “baru” ini. Sebenarnya, tulisan ini
merupakan sambungan dari wacana yang sedang berkembang dalam sebuah milis
(www.groups.yahoo.com/group/sosiologi_profetik), yang telah beberapa bulan ini
penulis gagas. Tapi, pencetus awal ide seperti ini adalah Pak Kuntowijoyo,
sejarawah dan budayawan dari Yogya, lewat gagasan “Ilmu Sosial Profetik” (ISP)
yang pernah mencuat dan dilontarkannya pada tahun 1997-an.

Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara
lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan
ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9
Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana
ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku
magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik
dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya
substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa
menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila
memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya.
Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan
bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa
normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih
efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat
dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan
Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.

Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa
paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak
ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam
dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-
prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari
penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang
berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”
(Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini,
yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas),
“liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman
billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan
proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.

Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok:
Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan
Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya
yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya
tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub,
Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.

Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi,
hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan
karakteristik budaya Barat.

Tujuannya adalah untuk menemukan alasan-alasan mengapa budaya Barat dan


Timur berkembang mengikuti jalur yang berbeda. Dalam analisis terhadap
temuannya, Weber berpendapat bahwa pemikiran agama Puritan (dan lebih luas
lagi, Kristen) memiliki dampak besar dalam perkembangan sistem ekonomi Eropa
dan Amerika Serikat, tapi juga mencatat bahwa hal-hal tersebut bukan satu-satunya
faktor dalam perkembangan tersebut. Faktor-faktor penting lain yang dicatat oleh
Weber termasuk rasionalisme terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan
dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi
terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi
tentang sosiologi agama, menurut Weber, semata-mata hanyalah meneliti meneliti
satu fase emansipasi dari magi, yakni "pembebasan dunia dari pesona"
("disenchanment of the world") yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang
penting dari budaya Barat.

[sunting] Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme


Sampul salah satu edisi The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik
und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan
bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail
terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya
Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai
gagasan agama dan perilaku ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa
etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti
keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi,
termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme?
Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.

Ia mendefinisikan "semangat kapitalisme" sebagai gagasan dan kebiasaan yang


mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi. Weber
menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidak terbatas pada budaya Barat,
apabila dipertimbangkan sebagai sikap individual, tetapi bahwa individu-individu
seperti itu -- para wiraswasta yang heroik, begitu Weber menyebut mereka -- tidak
dapat dengan sendirinya membangun sebuah tatanan ekonomi yang baru
(kapitalisme). Di antara kecenderungan-kecenderungan yang diidentifikasikan oleh
Weber adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimum,
gagasan bahwa kerja adalah kutuk dan beban yang harus dihindari, khususnya
apabila hal itu melampaui apa yang secukupnya dibutuhkan untuk hidup yang
sederhana. "Agar suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik dengan ciri-ciri
khusus kapitalisme," demikian Weber menulis, "dapat mendominasi yang lainnya,
hidup itu harus dimulai di suatu tempat, dan bukan dalam diri individu yang
terisolasi semata, melainkan sebagai suatu cara hidup yang lazim bagi keseluruhan
kelompok manusia."

Setelah mendefinisikan semangat kapitalisme, Weber berpendapat bahwa ada


banyak alasan untuk mencari asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan keagamaan
dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry
Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya yang telah berkomentar tentang
hubungan yang dekat antara Protestanisme dengan perkembangan semangat
perdagangan.
Weber menunjukkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung
pengejaran rasional akan keuntungan ekonomi dan aktivitas duniawi yang telah
diberikan arti rohani dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari ide-ide
keagamaan, melainkan lebih merupakan sebuah produk sampingan – logika
turunan dari doktrin-doktrin tersebut dan saran yang didasarkan pada pemikiran
mereka yang secara langsung dan tidak langsung mendorong perencanaan dan
penyangkalan-diri dalam pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menyatakan dia menghentikan riset tentang Protestanisme karena


koleganya Ernst Troeltsch, seorang teolog profesional, telah memulai penulisan
buku The Social Teachings of the Christian Churches and Sects. Alasan lainnya
adalah esai tersebut telah menyediakan perspektif untuk perbandingan yang luas
bagi agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya kelak dalam karya-karyanya
berikutnya.

Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari
"etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan
tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan
orang-orang non-Kristen.

[sunting] Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme

Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang
kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari
masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya
dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa
kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa
Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah
Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar
(Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.

Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang
kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan
pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan
Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat
tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan.
Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya
tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-
ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh
leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar,
tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para
warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah
seperti para warga kota Eropa.

Weber membahas pengorganisasian konfederasi awal, sifat-sifat yang unik dari


hubungan umat Israel dengan Yahweh, pengaruh agama-agama asing, tipe-tipe
ekstasi keagamaan, dan perjuangan para nabi dalam melawan ekstasi dan
penyembahan berhala. Ia kemudian menggambarkan masa-masa perpecahan
Kerajaan Israel, aspek-aspek sosial dari kenabian di zaman Alkitab, orientasi sosial
para nabi, para pemimpin yang sesat dan penganjur perlawanan, ekstasi dan
politik, dan etika serta teodisitas (ajaran tentang kebaikan Allah di tengah
penderitaan) dari para nabi.

Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam,
tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern,
karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh
budaya-budaya Helenistik dan Romawi.

Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari
spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam
upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa
depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang
menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini,
Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."

[sunting] Referensi

Karya Weber pada umumnya dikutip menurut Gesamtausgabe kritis (edisi


kumpulan tulisan), yang diterbitkan oleh Mohr Siebeck di Tübingen, Jerman.
Bendix, Reinhard (1960). Max Weber: An Intellectual Portrait. Doubleday. ISBN
052003194

Kaesler, Dirk (1989). Max Weber: An Introduction to His Life and Work. University of
Chicago Press. ISBN 0226425606

Mommsen, Wolfgang (1959/1974). Max Weber and German Politics, 1890-1920.


J.C.B. Mohr (Paul Siebeck). ISBN 0226533999

Roth, Guenther (2001). Max Webers deutsch-englische Familiengeschichte. J.C.B.


Mohr (Paul Siebeck). ISBN 3161475577

Weber, Marianne (1926/1988). Max Weber: A Biography. New Brunswick:


Transaction Books. ISBN 0471923338

Richard Swedberg "Max Weber as an Economist and as a Sociologist", American


Journal of Economics and Sociology

Richard Swedberg, Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton:
Princeton University Press. ISBN 069107013X

Korotayev A., Malkov A., Khaltourina D. Introduction to Social Macrodynamics.


Moscow: URSS, 2006. ISBN 5-484-00414-4 [1] (Chapter 6: Reconsidering Weber:
Literacy and "the Spirit of Capitalism").

Radkau, Joachim (2005). Max Weber The most important Weber-biography on Max
Weber's life and torments since Marianne Weber.

pakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia
Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.

aturday, July 21, 2007

Mengenang Pemikir Pejuang

[Sumber Republika, 20 Juli 2007]

Ahmad SahidahKandidat
Doktor Kajian Peradaban Islam dan Graduate Research Assistant di Universitas
Sains Malaysia

Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema
'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran
Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya
cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin
orientalisme.

Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia


internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi
rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad,
bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun
keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran
kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah
memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.

Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut


merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat,
tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah
banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang
bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai
ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal
Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan
dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.

Karya-karya penting

Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada


persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi,
kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa
Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional.
Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam
bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di
negeri ini.
Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama,
beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik
terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis
Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya
Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly
original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.

Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas'
dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat
tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang
berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa
jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium,
dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan
tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan
yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik
warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan
yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu
feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan
terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan
karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.

Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang
diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang
kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak
lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan
metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang
diciptakan 'penjajah'.

Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi


Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya
diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed
Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan,
termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung
oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun
Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna,
beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara
dalam kehidupan masyarakat.

Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas
Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam
penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan
pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan
orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di
Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.

Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis
dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai
Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili
partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.

Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk


melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan
dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh
koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena
tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu
yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju
pada

LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI

Nuansa Dasariah Buku Islamku Islam Anda Islam Kita:

Sebuah Tinjauan Teologis, Sosiologis dan Antropologis1

Oleh P. Dr. Philipus Tule, SVD

Pendahuluan
Pengalaman konflik antaragama yang sering dialami di persada nusantara ini, telah
mendorong pemerintah, tokoh agama, cendekiawan dan aneka LSM di Indonesia
untuk mencarikan solusi, baik secara preventif maupun kuratif. Acara bedah buku
karya KH Abdurrahman Wahid, yang diprakarsai oleh PADMA Indonesia dan The
Wahid Institute ini merupakan inisiatif positif untuk mensosialisasikan karya
monumental seorang Kiyai Intelektual dan Negarawan berwawasan kosmopolitan
itu, menghimpun para alim ulama dan cendekiawan, untuk bersama-sama
mendiagnosis situasi nasional dan umat masa kini yang ditandai oleh aneka bentuk
konflik bernuansa SARA. Selanjutnya, bersama-sama memprognosis masa depan
kehidupan bermasyarakat dan beragama yang lebih kondusif serta memungkinkan
kita membuat pilihan tepat dalam menata kehidupan yang aman, tentram dan
sejahtera (dkl maslahah ’ammah atau bonum commune).

Demi memperkaya telaah sosial, politik dan agama yang telah dirajut oleh Bapak
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya, serta menambah secercah sinar
pada makalah Pembahas Pertama (bpk Dr. M. Syafi’i Anwar), saya coba menyoroti
eksistensi agama dalam masyarakat dari perspektif teologis, sosiologis.dan
antropologis. Saya menawarkan sebuah judul sebagaimana tertera diatas, karena
kebanggaan akan profesi saya sebagai seorang pastor Katolik yang sambil
menekuni studi Islamologi dan Antropologi Agama-Agama, saya pun tetap setia
pada iman dan keyakinanku pada aspek teologis dari agama wahyu (Agama
Revelasi seperti Kristen dan Islam).

Pergumulan akademis seperti itu, tentu saja tidak menggiring aku kepada posisi
merelativisir ataupun mengabsolutir dimensi tertentu, tapi justeru membimbing aku
kepada sikap yang lebih seimbang dalam memahami dan menghayati kehidupan
keagamaan sebagai yang berdimensi wahyu (revelasi) dan yang berdimensi sosial
(masyarakat) dan budaya (kultural) sebagaimana juga dilakukan oleh Gus Dur.

Makalah ini dikemas dalam kerangka pikir sebagai berikut: pendahuluan, data
sosiologis agama-agama di dunia (internasional dan nasional). Lalu disusul dengan
pembahasan mengenai arti agama dan masyarakat, teori-teori sosiologi agama,
mosaik pemikiran toleran - inklusif dari KH Abdurrahman Wahid, dan beberapa
kesimpulan praktis untuk konteks kehidupan beragama dan bermasyarakat di
Indonesia.

Data Sosiologis Agama-Agama


Indonesia adalah negara dengan konsentrasi penduduk Islam terbesar di dunia
yakni 88,22 % dari total 210 jiwa (BPS, 2004). Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah
provinsi paling tinggi persentase orang Kristen di Indonesia. Menurut sensus Badan
Pusat Statistik tahun 2000, yang dianalisis dalam buku “ Indonesia’s Population”
oleh Leo Surjadinata, Evi N. Arifin dan Aris Ananta, jumlah penduduk beragama
Katolik dan Protestan sebesar 89.7 persen dari populasi 3,8 Juta (BPS 2000). NTT,
sbagaimana di beberapa kawasan Indonesia lainnya, Muslim justru minoritas hanya
9.07 %. Di Bali misalnya, jumlah pemeluk Hindu sekitar 87,4 persen dari total
penduduk 3.1 juta sedangkan Muslim hanya 10,3 persen. Jumlah orang Kristen juga
besar di Sulawesi Utara, Papua, Maluku, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara.

Masalah perbedaan agama, baik secara kwantitatif (minoritas ataupun mayoritas)


maupun kwalitatif (toleran ataupun fanatik/radikal, konservatif ataupun modern),
telah menimbulkan dampak samping dalam kehidupan bermasyarakat dalam
bentuk konflik dan mencemarkan nama baik bangsa Indonesia yang secara historis
berkarakter toleran dan damai. Lebih dari 10,000 orang mati dalam sengketa
sektarian di Maluku sejak 1999. Ini juga terjadi di Poso. Jikalau di pulau Jawa dan
Sumatra, orang sering dicemaskan oleh isue “Kristenisasi”, maka di Minahasa, Bali,
Timor, Flores, Papua, Sumba dan kawasan Indonesia Timur lainnya, isu yang
mencemaskan adalah “Islamisasi.”

Isue agama yang sering dipolitisasi seperti itu, sering berdampak pada munculnya
sikap-sikap emosional dan primordial. Di Bali, ribut-ribut RUU Pornografi,
mendorong tokoh dan organisasi di pulau Dewata itu melontarkan ide “merdeka
dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar di Manado, menulis dalam
lembaran editorialnya bahwa kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam
maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.”

Data Statistik Agama di Dunia

Kristen : 33,00 %; Islam: 21,00 %; Hindu: 13,42 %; Buddha : 06,00 %; Tao : 06,00
%; Agama Asli: 06,00 %; Tak Beragama: 14,00 %; Yudaisme : 00,22 %; Sikh: 00,36
%.

[ Total Penduduk dunia: 6.185.000.000].

Data Statistik Agama di Indonesia (Nasional)


Islam : 88.22 %; Protestan: 5.87 %; Katolik: 3.05 %; Hindu: 1.81 %; Budha: 0.84 %;
Lain-lain: 0.2 % [ Total Penduduk Indonesia: 210 juta pada 2004]

Data Statistik Agama di NTT

Catholic 55.49%; Protestant 34.46%; Muslim 9.07%; Other 0.88%

[Total penduduk NTT: 3,8 juta (Sumber BPS, 2000)]

Masyarakat Beragama: Tinjauan Teologis dan Sosiologis

Sebelum kita menggumuli makna sosiologisnya, baiklah kita menyimak refleksi


teologis tentang konsep atau nuansa kata masyarakat itu. Disiplin ilmu yang secara
khusus ditata untuk menafsir apakah agama itu rasional atau irasional dan apakah
agama itu mengatasi pelbagai ujian inkoherensi dan sesuai dengan Realitas
Tertinggi, Terluas dan Terdalam (yang disebut ALLAH, God, Ngga’e Ndewa)
dinamakan Teologi. 2 Teologi itu menafsir agama-agama dan keseluruhan
peradaban ataupun kultur yang dipengaruhinya dalam standar etis. Pelbagai
orientasi keagamaan yang cenderung melahirkan perang suci dalam artian harafiah
(mis. Jihad dan kemartiran dalam abad pertengahan) ataupun genocide sebagai
usaha pemusnahan secara sistematis dan teratur terhadap suatu kelompok
masyarakat atas nama agama dengan penindasan serta korban-korban
dehumanisasi ataupun aktivitas yang menuntut kita berbohong kepada diri sendiri
ataupun sesama demi agama, haruslah ditinggalkan demi Yang Suci itu sendiri. 3
Dewasa ini, teologi menjadi mitra perbincangan utama bagi sosiologi agama karena
keduanya dibutuhkan dalam pengembangan civil society (masyarakat
berkebudayaan) di masa depan.

Selanjutnya arti kata masyarakat baik secara etimologis maupun terminologis


kiranya membantu kita memahami secara lebih baik karakter teologisnya dalam
aktivitas pembangunan. Kata masyarakat (bhs Indonesia) merupakan terjemahan
dari kata society (bhs Inggeris), yang berkaitan erat dengan kata socius (bhs Latin)
yang berarti kawan, sahabat, sekutu dan teman. Kata masyarakat itu berkaitan erat
dengan kata bahasa Arab MUSYAARAKAT yang berarti kemitraan, kooperasi,
kolaborasi, komunitas. 4 Dalam artian sosiologis, term bahasa Arab MUSYAARAKAT
itu berkaitan erat dengan kata MA (yang berarti YANG) dan SYARIKA (yang berarti
BERSEKUTU). Oleh karena itu term MUSYARAKAT (SOCIETY) diartikan sebagai suatu
persekutuan sosial; persekutuan dari insan-insan yang bersahabat (Socius) dan
yang berakal budi (LOGICUS). Tetapi suatu perkembangan baru dalam filsafat
manusia menggaris-bawahi bahwa manusia itu bukan saja merupakan ens rationale
(atau ens logicus), tapi juga ens sociale dan ens teologicus. Manusia adalah insan-
insan sosial yang menyadari keterbatasan dirinya sendiri serta membutuhkan
sesama dan kekuatan supranatural yaitu ALLAH. Oleh sebab itu, sedari kodratnya isi
konsep MASYARAKAT (persekutuan sosiologis) senantiasa berimplikasi teologis.

Malahan implikasi teologis itu lebih jelas bila dipahami kata MA sebagai sinonim
dengan LA yang berarti TIDAK, dan yang ditautkan dengan SYARIKA
(mempersekutukan, membagi, berpartisipasi). Dalam Islam, term SYARIKA
senantiasa dihubungkan dengan ide teologis tidak mempersekutukan Allah Esa
(TAWHID) dengan dewa/i lainnya. Dalam arti itulah masyarakat mengandung
konsep persekutuan insan-insan rasional yang percaya akan Allah Esa. Masyarakat
adalah persekutuan insan-insan beragama. Karena itu, nilai-nilai keagamaan, nilai-
nilai iman harus dihayati dan diamalkan dalam kebersamaan. Agama dan nilai-
nilainya harus menjadi sumbangan bagi pembangunan masyarakat bangsa
umumnya dan pelestarian alam dan lingkungan hidup khususnya. Dengan kata lain,
agama itu berdampak sosial. 5

Aneka Definisi Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang ternyata mempunyai beberapa
arti. Kelompok pertama mengatakan bahwa agama berasal dari a (tidak) dan gam
(kacau). Agama berarti tidak kacau. Pandangan kedua mengatakan bahwa a (tidak)
dan gam (pergi). Agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.
Yang lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, karena agama
biasanya mempunyai Kitab Suci.

Secara terminologis agama juga didefinisikan sbb: Agama sebagai ad-Din: Din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata
din mengandung arti menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Bila kata din dihubungkan dengan kata Allah jadi din Allah (agama dari Allah), din
Nabi (agama dari Nabi), dinul-ummah (agama yang diwajibkan agar umat manusia
memeluknya). Ad-Din juga berarti syariah, yakni nama bagi perarturan-peraturan
dan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah selengkapnya (ataupun prinsip-
prinsip saja) dan diwajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakannya, yang
mengikat hubungan mereka dengan Allah dan sesamanya. Ad-Din juga berarti
millah, atau mengikat yakni mengikat dan memepersatukan segenap pemeluknya
dalam satu ikatan yang erat (ummat) dan juga dengan Allah mereka.
Agama juga didefinisi sebagai Religi: dari bahasa Latin (religio). Namun para pakar
masih berbeda pendapat tentang asal dan akar katanya yang asali serta artinya.
Diantara para penulis Romawi, Cicero yang berpendapat bahwa religion (religio)
berasal dari kata legare yang berarti mengambil (menjemput), mengumpulkan,
menghitung atau memperhatikan sebagai contoh, memperhatikan tanda-tanda
tentang suatu hubungandengan ketuhanan atau membaca alamat.6

Bertolak dari konsep literer itu, Emile Durkheim dari Perancis memberikan definisi
sbb: Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faith and
practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known
as a church. 7 Dari definisi tersebut terungkaplah empat komponen berikut: (1).
Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. (2). Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud dari alam gaib (supranatural). (3). Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-
dewi atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. (4). Kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut
dan yang melakukan sistem upacara-upacara.

Glock dan Stark 8 mengemukakan bahwa betapa sulit mengukur religiositas


seseorang ataupun komunitas (umat) karena setiap agama bisa mengukurnya
dengan rujukan pada hal-hal seperti: keanggotaan, kepercayaan pada doktrin
agama, etika dan moralitas, pandangan dan cara hidup, dll. Namun hampir semua
pakar agama mengemukakan bahwa ada lima dimensi dasar yang paling menonjol
dalam setiap agama dan dapat dipakai untuk mengukur atau menguji kadar/mutu
keagamaan (religiositas) seseorang. Kelima dimensi komitmen keagamaan
(dimensions of religious commitment) itu adalah sbb:

Dimensi iman (belief dimension), yang mencakup ekspektasi (harapan) bahwa


seorang penganut agama menganut dan memahami suatu pandangan teologis
yang menyebabkan dia mengakui dan menerima kebenaran agama tertentu.

Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yang mencakup ibadat (rituals) dan
devosi, yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penganut agama.
(bdk. Dalam Islam dan Katolik…… contoh konkrit)

Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious


experience), yang mencakup kenyataan bahwa semua agama punya harapan yang
standard (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu
pengalaman langsung dan pribadi (subyektif) dalam berkomunikasi dengan realitas
ultimate (supranatural) itu.
Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension), yang merujuk pada ekspektasi
bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki pengatahuan minimum
mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, ritus, Kitab Suci dan tradisi. Dimensi
iman dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, yang mempengaruhi sikap
hidup dalam penghayatan agamanya setiap hari.

Dimensi konsekwensi sosial (the consequences dimension). Dimensi ini


mengidentifikasi efek dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman
serta kehidupan sehari-hari.

Aneka Teori Sosiologi Agama 9

Salah satu aliran sosiologi yang berbicara mengenai prospek agama-agama adalah
sosiologi fungsional. Aliran ini memandang agama sebagai realitas sosial, yaitu
suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai
“realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. 10

Aliran sosiologi modern sebagaimana dipelopori oleh E. Durkheim dan Max Weber,
menjadikan agama sebagai suatu yang sentral dalam teori sosial. Durkheim
memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat
menghasilkan dan mempertahankan kohesi sosialnya? Bagi Durkheim, agama
menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan
suatu sistem interpretasi-diri kolektif; agama adalah cara khas berpikir tentang
eksistensi kolektif.” 11 Dengan kata lain, agama adalah proyeksi masyarakat sendiri
dalam kesadaran manusiawi para anggotanya. Sejauh masyarakat masih ada dan
berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Setiap masyarakat dalam proses
menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan ”kebaktian” pada
representasi-diri simboliknya, menegaskan dan meneguhkan perasaan dan gagasan
kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya.” 12

Pandangan Durkheim tersebut tercermin pula dalam teori R. Bellah mengenai


agama sipil (civil religion). 13 Menurut pengamatan Bellah, di Amerika ada gejala
yang disebutnya civilreligion, suatu konsep yang berasal dari Rousseau, yang
tampak dalam dokumen-dokumen berdirinya Negara Amerika Serikat, seperti
upacara-upacara dalam pengukuhan jabatan-jabatan kenegaraan dan hari-hari
pesta yang memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memupuk America’s
national self understanding. Bagi Bellah, civil religion adalah subordinasi bangsa
pada prinsip-prinsip etis yang mengatasi bangsa itu sendiri dan atas dasar prinsip
itu martabat bangsa dinilai. 14
Max Weber memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana masyarakat
berubah dan mengalami kemajuan. Ia justeru menemukan bahwa agama
merupakan faktor penggerak perubahan sosial. Menurut T. Parsons, ”Perhatian
utama Weber adalah agama sebagai sumber dinamika perubahan social dan bukan
sebagai instrumen peneguhan struktur masyarakat.” 15 Kendatipun Weber tidak
memberikan definisi eksplisit mengenai agama, tetapi dari tulisannya dapat dibaca
bahwa baginya agama memberikan ”kerangka makna” pada dunia dan perilaku
manusia, suatu perspektif dengan mana manusia memahami dunia, kegiatannya,
ruang di mana ia ada, waktu yang mengatur hidupnya dan masa depannya,
termasuk kematiannya. Ia menelaah agama dari segi dampaknya terhadap
masyarakat. Agama juga berpautan dengan penciptaan budaya. Bukunya The
Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism 16 merupakan rintisan penelitian dan
pendekatan baru dalam abad XX mengenai peranan kreatif agama dalam
pembentukan kebudayaan.

Selanjutnya bagi Peter Berger, agama merupakan langit-langit sakral (the Sacred
Canopy) yang terbentang di atas kerapuhan (vulnerabilitas) eksistensi manusia,
yang berpuncak pada kematian. Seperti Heidegger, Berger melihat kecemasan
manusia ketika menghadapi maut yang merupakan ciri ”eksistensialis”-nya.
Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. 17

Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga
dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi
institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan
menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun
berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan
legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-
hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk
dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah, ummat, sangha dan lain-lain. Pada
kesimpulannya Berger mengingatkan pengertian agama dalam uraiannya sebagai:
“the establishment through human activity, of an all embracing sacred order, that
is, of a sacred that will be capable of maintaining itself in the ever present face of
chaos”. 18

Kritik terhadap Agama

Pembicaraan mengenai sosiologi agama serta prospek agama-agama tidak akan


lengkap bila kita mengabaikan kritik atas agama oleh Marxisme. Marx menekankan
peranan institusi (ekonomi dan sosial) dalam membentuk kesadaran. Kesadaran
tidak dapat lain daripada eksistensi yang sadar dan eksistensi manusia adalah
proses hidup yang aktual ...... kehidupan tidak ditentukan oleh kesadaran, tapi
kesadaran ditentukan oleh kehidupan....... kesadaran dari awal adalah produk sosial
dan akan tetap begitu selama manusia masih ada. 19 Marx memandang agama
sebagai proyeksi diri masyarakat dalam kesadaran, sebagai kesadaran palsu yang
mencerminkan dan melindungi ketidakadilan tatanan sosial. Manakala manusia
dibebaskan dari penindasan ekonomis dan dari konsekwensi dehumanisasinya,
agama akan digantikan oleh pemahaman yang realistik tentang kehidupan sosial.

Toynbee dalam dialog dengan Ikeda sampai pada kesimpulan bahwa ”bangsa
manusia telah disatukan, secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh
penyebaran secara mondial peradaban modern. Masalah masa depan agama
muncul, karena semua agama yang ada sekarang terbukti tidak memuaskan.
Agama di masa depan tidak harus merupakan agama yang sama sekali baru. Hal ini
dapat merupakan versi baru dari agama lama. Tetapi bila agama lama harus
dihidupkan dalam suatu bentuk yang mampu menjawab kebutuhan baru bangsa
manusia, kiranya mungkin bahwa agama itu ditransformasikan sedemikian radikal
sehingga hampir tak dikenal lagi. 20 Toynbee mengharapkan bahwa agama yang
baru itu adalah agama yang memungkinkan bangsa manusia mengatasi kejahatan
yang paling mengerikan dan mengancam kelestarian bangsa manusia seperti
keserakahan, perang dan ketidakadilan sosial, lingkungan artifisial yang diciptakan
bangsa manusia lewat penerapan ilmu pada teknologi untuk memuaskan
keserakahan.

Mosaik Pemikiran Agama yang toleran – inklusif dari KH Abdurrahman Wahid:

Lakum Dinukum wa Liya Dini

Melengkapi aneka pandangan para pakar sosiologi dan sejarahwan tersebut, Kiyai
dan Cendekiawan (c.q. KH Abdurrahman Wahid), tampil dengan wawasan religius
yang ”Kosmopolitan yang menyejarah (historis), kontekstual, plural dan inklusif
serta menawarkan kesejukan, kenyamanan dan kedamaian”. Mosaik pemikiran
religius yang kontekstual, toleran, plural dan inklusif itu terungkap baik secara
eksplisit maupun implisit dalam artikelnya berjudul ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM
KITA yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat 29 April 2003), yang sekaligus
menjadi judul bukunya ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA: Agama, Masyarakat,
Negara, Demokrasi (Wahid, 2006: 66-ss). 21

Dalam gaya bahasanya yang plastis, terkadang sarkastis dan heroik (pemberani)
mosaik ide brilian seputar ISLAM dalam tautannya dengan masyarakat, agama,
politik dan kebudayaan dikemasnya menjadi 7 (tujuh) bab sebagai berikut: Islam
dalam Diskursus Ideologi, Kultural dan Gerakan (Bab I), Islam Negara dan
Kepemimpinan Umat (Bab II), Islam Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Bab III), Islam
dan Ekonomi Kerakyatan (Bab IV), Islam Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya
(Bab V), Islam Tentang Kekerasan dan Terorisme (Bab VI), dan Islam Perdamaian
dan Masalah Internasional (Bab VII).

Tanpa mengelaborasi semua pemikiran positif dan universal sebagaimana


terkandung dalam karya monumental itu, ataupun yang telah dipaparkan oleh
Pemakalah Pertama (Bpk Dr. M. Syafi’i Anwar, baik dalam Kata Pengantar Buku
maupun dalam paparan lisan hari ini), saya ingin menggaris-bawahi beberapa
pokok pikiran berikut ini.

Penguatan ISLAMKU Mengantisipasi Pendangkalan Agama

Pada penghujung pengembaraan intelektual dan imannya, Gus Dur sampai pada
suatu titik kesadaran akan watak kosmopolitannya, dengan pemikirannya yang
khas dan berbeda dari orang-orang lain. Itulah yang dinamakannya ISLAMKU.
Pengembaraan individualnya ini, baik secara geografis spasial sejak dari tahun
1950-an di Jombang, hingga tahun 1960-an di Mesir dan Baghdad, maupun secara
intelektual telah membuktikan kepiwaiannya untuk belajar tanpa kenal batas
waktu, 22 batas wilayah dan agama 23 serta ideologi, termasuk saling belajar dan
saling mengambil berbagai ideologi non-agama serta agama-agama lain (Wahid,
2006: 66).

Sikap demikian mengisyaratkan apa yang telah dicanangkan filsuf kondang Al-Kindi
(800 – 870M) dari Kufa (Arab) bahwa

”kita patut bersyukur kepada usaha atau jasa para filsuf yang telah berhasil
mengembangkan pengetahuan yang benar...... Sepantasnyalah kita tidak malu-
malu lagi untuk menerapkan suatu kebenaran (al-haqq) dalam kebijaksanaan legal
(istihsan), dan meyakini kebenaran itu darimana pun asalnya, sekalipun dari
bangsa-bangsa lain yang menjadi saingan kita”. 24

Dengan wawasan demikian, dapatlah diyakini kemampuan untuk mengatasi


pendangkalan pemahaman keagamaan, yang sering berdampak pada
pembentukan sikap fanatisme atau radikalisme yang terwujud dalam aneka bentuk
tindak kekerasan di pelbagai tempat seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit, Bali
dan Jakarta (Wahid, 2006: 299).

Penghargaan akan ISLAM ANDA Menjadi Buaian Toleransi dan Pengakuan Akan
Pluralitas

Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam konteks
pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Fenomena Islam yang
demikianlah yang dinamakannya ISLAM ANDA, sebagai kebenaran religius yang
diperoleh atas dasar keyakinan, dan bukan pengalaman. Kadar penghormatan
terhadap Islam seperti ini ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya
sebagai keharusan dan kebenaran (Wahid, 2006: 67-68). Sebagai tokoh agama dan
negararawan, Gus Dur sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang
lain, yang berbeda dari penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal
menjadi buaian bagi toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan
pluralitas agama serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.

Menurut pengamatanku, apresiasi Gus Dur terhadap pluralitas pemahaman dan


penghayatan Islam itu telah menjadi sumber inspirasinya juga untuk mengapresiasi
pluralitas agama-agama dunia serta respeknya terhadap kebebasan beragama,
sebagaimana diamanatkan dalam beberapa ayat Quran: Lakum dinukum wa liya
dini // bagimu agamamu, bagiku agamaku (bdk. Q.2, 256; 8, 29; 14, 4; 28,56).
Baginya, toleransi dan respek terhadap kebebasan beragama itu merupakan salah
satu amanat dasar dalam Quran, sebagaimana ditegaskan pula dalam Q.21, 107:
”Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan
sesama umat manusia // wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li al-’aalamiin” (Wahid,
2006: 78). 25

Penolakan terhadap Negara Agama dan Terorisme Agama

Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide
pembentukan sebuah negara agama’ dan ’aneka bentuk terorisme atas nama
agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya suatu
sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara
Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang jelas dalam Quran tentang sistem
Islam itu (Wahid, 2006: 99), maupun karena Mukhtamar NU 1935 di Banjarmasin
menegaskan hal itu; tambahan pula karena ketika NU mendeklarasikan berdirinya
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan bahwa partai itu adalah Partai
Islam, karena NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda
dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam
tasyis an-nushush al-muqaddasah atau politisasi terhadap teks keagamaan (Wahid,
2006: 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26

Di hadapan konsep pembentukan Negara Islam dan penolakannya baik oleh


sekelompok Muslim sendiri maupun oleh Pemerintah dan warga minoritas,
terjadilah aneka bentuk terorisme yang mengatas-namai agama Islam.
Sebagaimana terungkap dalam artikelnya berjudul ”NU dan Terorisme Berkedok
Islam” (Duta Masyarakat, 12 April 2003), Gus Dur menulis bahwa dalam jenis-jenis
tindakan teroristik itu, para pemuda muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme
yang dipersiapkan........... Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap diri
mereka bertindak atas nama Islam (Wahid, 2006: 304). Sebagaimana halnya Gus
Dur menolak tindakan kekerasan di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan
Katolik, perusakan Mesjid Babri oleh warga Hindu di India, maka dia dengan tegas
membela kaum minoritas dan menolak semua tindakan terorisme yang mengatas-
namai Islam mayoritas, karena mayoritas Muslim di berbagai negeri tidak terlibat
dalam pertikaian dengan tindakan kekerasan seperti itu (Wahid, 2006: 304).

Mengupayakan AGAMA KITA sebagai Sarana Kemasyarakatan, Penegakan HAM,


Keadilan dan Perdamaian Dunia

Bagi Gus Dur, agama Islam sebagai AGAMA KITA bukanlah sebuah agama politik
semata-mata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam itu
sangatlah kecil, yang terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Kalau hal
ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam
dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain, Islam lebih
mementingkan masyarakat adil dan makmur, masyarakat sejahtera. Islam menjadi
sarana kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada
kaum miskin dan menderita (Wahid, 2006: 32 - 33). Oleh karena itu, penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM), keadilan dan Perdamaian Dunia menjadi opsinya yang
fundamental dari agama Islam.

Kesadaran akan fungsi agama Islam dan semua agama lainnya dalam penegakan
HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia juga ditegaskan oleh Gus Dur pada
kesempatan menjadi Keynote Speaker dalam sebuah konferensi mengenai Good
Governance and Global Ethics, di Paris pada Mei 2003. Perjuangan penegakan
hukum dan keadilan harus menjadi agenda utama dari semua agama dan
pemerintahan, teristimewa dalam zaman dimana korupsi, pelanggaran hukum,
peremehan nilai-nilai religius merajalela di dunia. Oleh karena itu, dialog terus
menerus tentang penegakan hukum dan keadilan, serta sharing spiritualitas baru
antara para tokoh dan pemeluk berbagai agama sangatlah bermanfaat (Wahid,
2006: 280 – 283; 355-359).

Memperkaya Wawasan Keagamaan dengan Pendekatan Akademis dan Kultural

Tak dapat disangkal bahwa para kerabat yang beriman Muslim senantiasa
memandang agama Islam sebagai norma dan ideal. Sedangkan sebagai
cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim bisa memandang Islam sebagai
suatu objek studi dan sasaran penelitian. Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu
distingsi jelas hendaknya dibuat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam
normatif adalah Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat
dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang
belum tentu terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari.
Dalam Islam normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai
yang diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu ilahi. Sedangkan Islam aktual
adalah Islam historis atau sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan
diterjemahkan kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawabi aneka
tantangan yang kompleks dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di
dalam Islam aktual itulah tercakup aneka gerakan, praktik dan cita-cita yang ada
dalam masyarakat Islam di pelbagai zaman dan tempat, termasuk Indonesia.

Dari sudut pandangan ilmiah (akademis) dengan pendekatan kultural ini, kita tak
beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu dapat
mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik daripada masyarakat Islam
lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang universal
hendaknya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola penghayatan
iman di pelbagai komunitas muslim lokal yang diharapkan mampu menjelaskan
pelbagai cita-cita dan praktik ke-Islaman yang beraneka ragam (pluralitas). 27

Gus Dur menyadari hal itu sehingga dia menandaskan bahwa kendati pun Islam
diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan berlaku di segala
tempat dan zaman, namun cita-cita dan praktiknya harus dipelajari sebagaimana
‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda sesuai komunikasi kultural
timbal balik yang terjadi antara budaya Islam dengan budaya lokal dalam nuansa
akomodatif. Dengan demikian, studi kawasan Islam atau Islamic Area Studies
sangat dibutuhkan dan mendesak (Wahid, 2006: 22-23; 391). Sealur dengan
pandangan Gus Dur itulah, maka studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh
Evans-Pritchard (1949), 28 Geertz (1960), 29 Siegel (1969), 30 Bowen (1993), 31
Heffner (1985), 32 Barnes (1995, 1996), 33 Tule (2004) 34 dan lain-lain merupakan
sumbangan besar demi memperkaya pemahaman agama Islam yang lebih
kontekstual dan kultural.

Kesimpulan

Dari khasanah pemikiran Gus Dur sebagaimana terungkap dalam karya


monumentalnya itu serta berdasarkan analisis yang dikedepankan dari perspektif
teologi, sosiologi dan antropologi agama, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :

Masa depan agama-agama di dunia ini tidak lagi ditentukan hanya oleh wahyu
(revelasi) dan instrumen legitimasi (seperti institusionalisasi teologis) serta
fenomena sosial kwantitatif (minoritas-mayoritas) sebagaimana diwacanakan para
sosiolog dan teolog. Faktor lain yang perlu diperhitungkan juga ialah persepsi insan
beragama itu sendiri mengenai dirinya dalam proses sosio-kulturalnya: bagaimana
ia mendefenisikan dirinya, tugasnya dan sikap imannya terhadap perkembangan
situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi itu. Berbagai macam usaha
pembaharuan, reformulasi visi keagamaan dan berbagai gerakan reformasi agama-
agama termasuk apa yang dilakukan oleh para pakar Indonesia (semisal bapak KH
Abdurrahman Wahid) mempunyai pengaruh terhadap masa depan agama, baik
dalam tataran nasional maupun mondial.

Tendensi agama masa depan hendaknya lebih memberi tekanan pada orthopraksis
daripada orthodoksi. Praksis dalam arti perlunya selalu memuat refleksi atau kajian
yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas. Dalam rangka ini pula menjadi
penting peranan para pemikir agama, terutama para teolog (alim ulama) dan para
mahasiswa/i dari aneka agama di Indonesia. Budaya reflektif ini lebih mendesak lagi
dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat dan
mendalam dalam agama, yang sedang menghadapi tantangan ateisme, jahiliyah
modern, radikalisme atau fanatisme sempit. Maka dapat dikatakan bahwa masa
depan agama dan masyarakatnya dalam arti tertentu tergantung pada
pengembangan wawasan falsafah dan teologinya yang kontekstual. 35

Dalam konteks global setiap agama memiliki dimensi yang normatif-ideal, yang
sama dan konstan, namun selalu ada dimensi yang dinamis dan berubah. Penilaian
mengenai agama-agama harus ditempatkan dalam konteksnya yang spesifik, yang
riil dan partikular. Meskipun demikian, dari pengamatan sosiologis makro atau
mikro dapat ditunjuk faktor-faktor utama perubahan struktur dan perilaku agama
manusia zaman sekarang, antara lain :

Penghargaan akan nilai-nilai duniawi serta otonomi manusia dan nilai-nilai yang
berkaitan dengannya, seperti kemandirian, kebebasan, hak-hak asasi dan lain
sebagainya.
Pandangan yang ”pluralistik”. Ini berkaitan dengan semakin berkembangnya sarana
dan prasarana transportasi dan komunikasi, munculnya aneka stratifikasi sosial
sebagai akibat proses modernisasi.

Migrasi dan urbanisasi manusia serta konsentrasi penduduk pada pusat-pusat


produksi serta kota-kota besar telah melahirkan perubahan struktur sosial, perilaku
serta orientasi pada nilai baru dari kebanyakan insan beragama.

Dibutuhkan spiritualitas baru. Perjumpaan antaragama dan antarpenganut agama


dengan latar kebudayaan beraneka seperti di Indonesia merupakan kesempatan
akulturasi yang luas dan membuka kemungkinan pembaruan. Manusia merupakan
makhluk yang terus menerus menafsirkan situasinya. Perjumpaan antarbudaya dan
antaragama selalu memuat proses hermeneutik, yang membawa kepada
pemahaman baru baik mengenai agamanya sendiri maupun agama serta budaya
yang lain dan yang ikut menentukan corak penghayatan keagamaan yang terbuka
dan inklusif di masa depan. Untuk itu, dibutuhkan suatu ’spiritualitas baru’
(religiositas universal atau perennial) yang harus dihayati oleh semua umat
beriman, khususnya para pemimpin agama (Wahid, 2006: 280). Hanya dengan
modal ’spiritualitas baru’ itu, pelbagai pendekatan interdisipliner (politis, teologis,
antropologis-kultural) terhadap dialog antaragama dapat berjalan dengan spirit
atau jiwa yang menghidupkan.

Akhirnya kemampuan agama untuk memberikan makna pada hidup manusia dan
kemampuan untuk bersama-sama memecahkan masalah-masalah kemanusiaan
zaman sekarang dalam semangat CINTA SEJATI dan dengan SPIRITUALITAS BARU
akan merubah masa depan Indonesia. Setiap warganya yang beragama akan dapat
berkata: Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Tapi lebih lanjut setiap warga pun akan
dapat berkata dan lebih memahami apa artinya LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI
(Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku).[]

tahun 2020.

Etika normative
Pertama, Etika Deskriptif;
Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku
manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai.

Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai
dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi
dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan
penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap
orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak secara etis.

Kedua, Etika Normatif;

Berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang


seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh
manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa
yang bernilai dalam hidup ini.

Etika Normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah


laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk
bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia
menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang
jelek.

Bedanya dari kedua macam etika :

Etika Deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan


tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

Sedangkan Etika Normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma


sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Jadi dapat dikatakan bahwa etika memberi manusia orientasi bagaimana ia
menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika
membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat
dalam menjalani hidup ini.

Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang


tindakan apa yang mau kita lakukan dalam situasi tertentu dalam hidup kita
sehari-hari.

Etika membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang terjelma
dalam sikap dan perilaku kita yang sangat mewarnai dan menentukan
makna kehidupan kita.

diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:39 3 Komentar

Mengenai Saya

Herry Erlangga

Indonesia

Dosen, Pimpinan STIKOM Wangsa Jaya Banten.

Lihat profil lengkapku

Link

Google News

Prilaku Konsumen

Tutorial Blog

Wirsausaha

Studi Kelayakan Bisnis

Posting Sebelumnya
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI

Evasi Komunikasi

Faktor-Faktor Penunjang Komunikasi Efektif

Proses Komunikasi

Komunikasi..Pengertian dan Hakikatnya

Hakikat Filsafat Komunikasi

Etika, Nilai dan Norma

Pengantar dan Pengertian Etika

Etika normatif

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Etika normatif ialah satu cabang etika falsafah yang menyiasat persoalan
yang timbul apabila kita memikirkan mengenai soalan "bagaimana
seseorang patut bertindak, secara moral?" Etika normatif berbeza dengan
meta-etika kerana ia menyiasat piawaian bagi tindakan salah atau betul,
sedangkan meta-etika mengkaji erti bahasa moral dan metafizik fakta moral.
Etika normatif juga berbeza dari etika perihalan (descriptive ethics), yang
merupakan penyiasatan empirik berkenaan kepercayaan etika manusia.
Dengan kata lain, etika perihalan adalah berkenaan menentukan berapa
bahagian orang yang percaya membunuh sentiasa salah, sementara etika
normatif berkenaan sama ada ia adalah betul bagi memegang kepercayaan
sedemikian. Dengan itu, etika normatif kadang kala dikatakan bersifat
preskriptif, bukannya deskriptif. Bagaimanapun, pada versi tertentu
padangan meta-etika yang dipanggil realisme moral, fakta moral adalah
kedua-dua preskriptif dan deskriptif pada masa yang sama.

Secara umum, etika normatif boleh dibahagi kepada lapangan-kecil teori


moral dan etika diguna (applied ethics). Pada tahun kebelakangan,
sempadan antara displin-disiplin kecil ini semakin kabur apabila ahli teori
moral menjadi lebih berminat dalam masaalah kegunaan (applied problem)
dan etika diguna menjadi semakin berpengaruh.
Teori moral tradisi menumpu kepada mencari prinsip moral yang
membenarkan seseorang menentukan sama ada sesuatu tindakan adalah
betul ataupun salah. Teori klasik dalam aliran ini termasuk utilitarianisme,
Kantianisme, dan sesetengah bentuk kontraktarianisme. Teori-teori ini
menawarkan prinsip moral melampaucapai (overarching) yang seseorang
boleh pertimbangkan bagi menyelesaikan keputusan moral yang sukar.

Menjelang abad ke-20, teori moral menjadi semakin rumit dan tidak lagi
hanya berkenaan betul atau salah, tetapi berminat dengan pelbagai jenis
status moral. Gaya ini mungkin bermula pada 1930 dengan W. D. Ross
dalam bukunya, The Right and the Good. Di sini Ross menegaskan bahawa
teori moral tidak boleh mengatakan secara umum sama ada sesuatu
tindakan adalah salah atau betul tetapi hanya sama ada ia cenderung
kepada betul atau salah menurut jenis tugas moral tertentu seperti
kebergantungan kedermawanan, kesetiaan, atau keadilan (dia
menggelarnya sebagai tugas prima facie separa betul). Selajutnya, ahli
falsafah telah mempersoalkan sama ada tugas prima facie juga boleh
dijelaskan pada tahap teori, dan sesetengah ahli falsafah mendesak agar
menjauhi dari membuat teori umum sama sekali, sementara yang lain
mempertahankan teori berdasarkan bahawa ia tidak perlu sempurna bagi
merangkumi kesedaran moral penting.

Pada pertengahan abad terdapat kerumpangan lama dalam pembagunan


etika normatif semasa di mana ahli falsafah sebahagian besarnya mengalih
dari soalan normatif kepada meta-etika. Malah ahli falsafah semasa zaman
ini yang mengekalkan minat terhadap moral prescriptif, seperti R. M. Hare,
cuba untuk tiba kepada kesimpulan normatif melalui renungan meta-etika.
Fokus kepada meta-etika ini sebahagiannya disebabkan oleh pusingan
linguistik kuat dalam falsafah analitik dan sebahagian lagi disebabkan
adjmerebaknya positivisme logis. Pada 1971, John Rawls menentang aliran
toeri normatif dengan menerbitkan A Theory of Justice. Karya ini sungguh
revolusioner, sebahagiannya kerana ia hampir tidak kisah langsung akan
meta-etika dan sebaliknya memburu hujah moral secara langsung. Ekoran
daripada A Theory of Justice dan karya utma lain teori normatif yang
diteritkan pada 1970-an, bidang teah melihat pembaharuan luar biasa yang
kekal hingga ke hari ini.
Untuk lebih terperinci berkenaan dengan topik ini, sila lihat [[{{{1}}}]].

Kategori: Etika | Etika normatif | Falsafah kehidupan

Mata etika
Saturday, January 2, 2010

Pengenalan Kepada Kerja Sosial

1.0 PENGENALAN Kerja sosial

Ia merupakan satu bidang yang mempunyai keistimewaannya tersendiri dari


segi tugas dan tanggungjawab mereka terhadap pelbagai pihak yang
memerlukan. Kerja sosial boleh di definisikan sebagai satu seni (art), sains,
dan sebagai satu profesion yang menolong manusia untuk menyelesaikan
masalah mereka sama ada secara personal, kumpulan (terutamanya
keluarga) dan juga masalah-masalah komuniti (Farley & Etc. all, 2006). Ianya
bukan sesuatu yang baru dan tidak mungkin pupus oleh kerana profesion ini
berteraskan prinsip dan falsafah kemanusiaan sejagat yang diperkukuhkan
dengan ikatan ilmu hasil daripada penyelidikan dan pemerhatian yang
saintifik dan empirikal dan seterusnya wujud dalam kerangka amalan kerja
yang mantap.

Umumnya, kerja sosial adalah satu profesion yang ingin membawa


perubahan sosial kepada masyarakat secara umum pada peringkat
pembentukan perkembangan individu. Dengan menggunakan pelbagai teori
perlakuan manusia dan sistem sosial, kerja sosial terlibat pada pelbagai
tahap interaksi manusia dengan persekitaran kehidupan. Permulaan praktis
kerja sosial berfokus untuk mencapai keperluan manusia dan
mengembangkan potensi dan sumber-sumbernya. Kerja sosial menjalankan
praktis dalam 5 konteks, iaitu politik, geografi, sosioekonomi, budaya dan
spiritual. Kelima-lima konteks ini mampu memberikan matlamat yang
terarah dalam praktis kerja sosial. Prinsip asas kerja sosial adalah prinsip
kemanusiaan dan keadilan sejagat (definisi yang diterima pakai IFSW
General Meeting in Montreal Canada, July 2000).

Profesion kerja sosial mempunyai falsafah yang tersendiri yang merangkumi


pelbagai pengertian ilmu. Ia juga berlandaskan etika kerja sosial yang
menjadi garis panduan dalam melaksanakan profesion ini. Di samping itu,
bidang ini menitikberatkan hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu yang
patut dijaga dan dipertahankan tanpa mengira status, usia, darjat, pangkat
dan warna kulit. Prinsip etika kerja sosial juga adalah sesuatu yang begitu
penting yang perlu diamalkan oleh pekerja sosial dalam menjamin kejayaan
terhadap praktis serta profesion kerja sosial itu sendiri.

2.0 FALSAFAH, ETIKA DAN HAK ASASI MANUSIA DI DALAM KERJA SOSIAL 2.1
FALSAFAH KERJA SOSIAL

Berdasarkan Kamus Dewan, falsafah merupakan pengetahuan tentang


pengertian yang dianggap sebagai ilmu yang tertinggi yang menjadi dasar
ilmu-ilmu lain. Falsafah merangkumi gugusan kepercayaan, sikap, nilai,
prinsip etika dan praktis yang dipegang oleh profesion tersebut. Persoalan
falsafah ataupun masalah falsafah ialah topik yang dibincangkan dalam
bidang falsafah. Ia boleh diibaratkan sebagai isi dalam falsafah. Persoalan
falsafah sentiasa disifatkan sebagai soalan yang sangat rumit, dan ia
memerlukan pemikiran yang bersungguh-sungguh. Sesuatu soalan itu akan
menjadi persoalan falsafah apabila soalan itu tidak dapat diselesaikan
melalui kaedah saintifik. Biasanya, persoalan falsafah akan melibatkan
persoalan tentang konsep, ideologi serta perkara-perkara yang abstrak.
Contoh-contoh persoalan falsafah adalah seperti, "Apakah kebenaran?”,
“Apakah Pemikiran?", "Apakah ilmu pengetahuan?", "Apakah Kehidupan?"
dan sebagainya.
Bidang falsafah memberikan nilai yang tinggi kepada persoalan yang baik,
iaitu soalan yang mempunyai nilai falsafah. Ini adalah kerana soalan yang
baik menjanjikan penghuraian yang baik. Sebagai contoh, persoalan
epistemologi yang ditanyakan pada zaman dahulu seperti "apakah
kebenaran?”, “apakah ilmu pengetahuan?" sebenarnya telah memajukan
sains dan teknologi manusia pada hari ini.

Bidang falsafah boleh dikategorikan kepada 5 cabang yang berlainan


berdasarkan persoalan-persoalan tertentu iaitu:

a) Metafizik – Bidang falsafah yang memikirkan tentang sesuatu kewujudan


di dunia ini meliputi aspek semula jadi, manusia dan ketuhanan.

b) Epistemologi - Bidang falsafah yang memikirkan tentang ilmu


pengetahuan.

c) Etika – Bidang falsafah yang memikirkan tentang persoalan moral pada


manusia seperti tindakan yang dilakukan, perbezaan tindakan moral dan
tidak bermoral, serta tindakan yang betul dan salah. d) Logik – Bidang
falsafah yang mengkaji penaakulan manusia.

e) Estetika – Bidang falsafah yang memikirkan tentang keindahan. Falsafah


kerja sosial amat berkait rapat dengan pegangan nilai.

Terdapat 8 nilai falsafah yang menjadi prinsip utama.


Pegangan nilai pertama ialah menghormati individu. Pekerja sosial
seharusnya menghormati klien dari segi pandangan dan perasaan klien
tanpa mengira sebarang aspek dengan menunjukkan bagaimana kita
menerimanya. Tanpa prinsip ini, klien mungkin berasa dirinya tidak diterima,
tidak bernilai dan membuatkan dia sukar untuk mencapai kefungsian sosial
mereka. Setiap klien ada hak dan keperluan, pekerja sosial tidak seharusnya
melabelkan klien mahupun memandang prejudis kerana rasa hormat ini
mampu memberi implikasi terhadap khidmat kerja sosial yang diberikan.

Pegangan nilai kedua ialah mempercayai setiap individu mempunyai


keunikannya tersendiri. Dalam hal ini, pekerja sosial perlu membantu klien
mengenali dan menerima kebolehan yang ada pada diri klien itu sendiri agar
keunikan klien dapat dijadikan sebagai panduan untuk memberikannya
sumber-sumber yang bersesuaian. Pekerja sosial perlu mengetahui bahawa
setiap orang adalah unik dan mempunyai keupayaan yang berbeza. Hal ini
memerlukan klien mengetahui kualiti yang unik tentang klien yang boleh
dimanfaatkan dalam proses intervensi.

Pegangan nilai ketiga ialah individu mempunyai keupayaan. Setiap klien


mampu untuk berubah ke arah positif. Pekerja sosial seharusnya mengetahui
potensi-potensi yang dimiliki oleh klien, ia boleh digunakan untuk
perkembangan dan perubahan diri klien itu sendiri. Semua individu cuba
untuk memajukan diri dan melakukan dalam dunianya hasil dari
penglihatannya sebagai kelakuan yang mulia. (Capuzzi & Gross, 2003).

Pegangan nilai keempat merupakan aspek berkaitan perubahan adalah


ditentukan oleh diri individu. Pekerja sosial perlu menanamkan kepercayaan
bahawa klien mempunyai keupayaan untuk berkembang dan berubah dan
membuat penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi. Klien ada hak
untuk menentukan perubahan, oleh itu, ruang kepada klien untuk berubah
perlu diberikan.
Pegangan nilai kelima berkaitan prinsip hak kemanusiaan. Setiap individu
mempunyai hak dan maruah tanpa mengira darjat, status mahupun warna
kulit. Hak kemanusiaan ini adalah berasaskan kepada tuntutan manusia
untuk berkembang dan hidup seterusnya menggunakan kualiti yang ada
pada diri mereka.

Pegangan nilai keenam menekankan kepada keadilan sosial. Keadilan sosial


perlu dilakukan dan diterima oleh masyarakat. Sekiranya berlaku
ketidakadilan, pekerja sosial perlu memperjuangkan keadilan tersebut
melalui sumber-sumber dari pelbagai pihak.

2.2 ETIKA KERJA SOSIAL

Etika merupakan satu disiplin ilmu dan sains yang membicarakan apakah
baik dan buruk, salah dan benar serta apa yang dikehendaki dengan
tanggungjawab dan kewajipan. Bidang etika berperanan membahaskan
secara sistematik, seterusnya menyarankan dan dalam keadaan tertentu
mempertahankan konsep-konsep yang dibina tentang perlakuan baik dan
buruk. Etika merujuk kepada apa yang dilihat oleh manusia sama ada betul
mahupun salah. Ia boleh ditakrifkan sebagai suatu tatacara atau garis
panduan yang telah ditetapkan pada sesuatu unit. Etika begitu diutamakan
dalam sesebuah profesion seperti kerja sosial, kaunseling, guru, doktor,
peguam, polis dan sebagainya. Melalui prinsip etika yang ditekankan, tugas
dan tanggungjawab akan lebih mudah dipikul dan dilaksanakan. Etika amat
berkait rapat dengan falsafah kerja sosial dan nilai.
Etika juga merujuk kepada apa yang dilihat sebagai satu tindakan yang betul
atau salah. Etika boleh diketengahkan sebagai garis panduan yang perlu
diikuti bagi setiap individu dalam melakukan sesuatu tugasan. Di dalam
profesion kerja sosial, etika sentiasa dititikberatkan. Ia penting agar tidak
berlaku sebarang penyelewengan dan penyalahgunaan kuasa atau
kepentingan yang dimiliki pekerja sosial serta membantu dalam menjamin
keberkesanan tugas yang dilaksanakan dalam sebarang situasi yang
dihadapi sama ada mudah mahupun sukar. Sebagai contoh, dalam
menghadapi sesuatu kes, pekerja sosial tidak akan menentukan apa
masalah dan isu yang mereka ingin tumpukan, mereka tetap menghadapi
situasi tersebut walaupun rumit tetapi cuba untuk menyelesaikannya melalui
etika yang terdapat dalam kerja sosial.Pekerja sosial perlu bersedia untuk
melaksanakan proses menolong mikro, mezzo dan makro. Sekiranya pekerja
sosial sudah memegang sesuatu kes, pekerja sosial perlu melaksanakannya
dengan bersungguh dan mereka perlu bertanggungjawab terhadap etika
kerja sosial yang dipegang.

Terdapat tiga cabang asas dalam perbincangan etika iaitu etika mataetika,
etika normatif dan etika gunaan.Mataetika merujuk kepada dari mana
datangnya sumbersumber dan prinsip etika sebagai rujukan sama ada benar
atau salah. Etika normatif pula bersifat normal seperti yang diamalkan dalam
norma-norma masyarakat. Sesuatu tindakan itu sama ada diterima atau
tidak oleh masyarakat. Manakala etika gunaan merujuk kepada sesuatu
keadaan atau perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat
tertentu, namun etika gunaan sering menimbulkan kontroversi atau konflik
dalam membuat sesuatu keputusan.

Pelbagai tujuan etika yang terdapat dalam profesion kerja sosial, antaranya
pegangan etika memberi perlindungan kepada pekerja sosial sebagai
pemberi perkhidmatan dan klien sebagai penerima perkhidmatan. Etika juga
memastikan pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab moral sekali gus
melindungi klien daripada ketidakfungsian. Etika dalam kerja sosial
merangkumi etika terhadap profesion, diri sendiri, rakan setugas, organisasi
serta klien yang meliputi individu, kumpulan dan komuniti.
2.3 HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi merupakan hak-hak yang semula jadi yang ada pada diri setiap
individu tanpa mengira sebarang perbezaan. Hak asasi manusia ini wujud
berasaskan tuntutan manusia dalam kehidupan mereka untuk membantu
manusia berkembang dan terus hidup. Berdasarkan kamus dewan, hak asasi
merupakan hak yang dasar seperti hak kebebasan dalam menyuarakan
pendapat, bergerak, hidup dan sebagainya. penghormatan kepada hak dan
maruah manusia merupakan asas kebebasan, adanya kebebasan maka
adanya hak asasi manusia. Apabila hak asasi seseorang individu itu dimiliki,
ianya boleh mendatangkan kepuasan dan ketenangan dalam dirinya.
Sekiranya ianya tidak dipenuhi, ianya boleh mendatangkan kemurungan,
kebuntuan dan perasaan merontaronta dalam dirinya. Walau bagaimanapun,
hak asasi ini mempunyai batas tersendiri yang perlu dipatuhi. Hak asasi
manusia dan kebebasan merupakan asas yang membenarkan setiap individu
untuk berkembang dan membangun serta menggunakan kualiti diri sebagai
manusia. Penafian tentang hak asasi manusia bukan sahaja sebagai satu
tragedi kepada manusia, malah mendatangkan ketidakselesaan terhadap
politik, ekonomi dan sosial. Sebagai contoh, keganasan mahupun konflik
dalam masyarakat yang meliputi rusuhan, mogok dan sebagainya. hak asasi
manusia bersifat universal dan dimiliki oleh semua orang tanpa diskriminasi.

Hak asasi manusia boleh difahamkan dari dua segi, iaitu dari segi
perundangan dan juga dari segi moral. Mengikut perundangan, hak asasi
manusia merupakan satu bentuk hak yang dinikmati oleh seorang
warganegara seperti apa yang telah termaktub dalam undang-undang
negara berkenaan. Contohnya, dalam perlembagaan Malaysia terdapat
penerangan mengenai hak asasi manusia yang terlindung di bawah
perlembagaan. Pencabulan hak kemanusiaan yang berkenaan, mungkin
akan membawa kepada tindakan undang-undang yang sewajarnya.
Pentakrifan hak asasi manusia dari segi undang-undang adalah berbeza
mengikut negara masing-masing. Dari satu segi moral, Hak Kemanusiaan
merupakan satu tanggapan moral yang didukung oleh anggota masyarakat.
Sehubungan dengan perkara ini, anggota masyarakat akan mengakui
wujudnya hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu. Maka
anggota-anggota masyarakat berkenaan akan cuba mengelakkan diri
daripada mencabuli hak masing-masing dengan penuh perasaan moral.
Pelbagai dokumen yang telah menggariskan hak asasi manusia di peringkat
antarabangsa, antaranya Hak Asasi Manusia Sejagat PBB 1948, Konvensyen
Antarabangsa Hak Politik dan Sivil (ICCPR) 1966, Konvensyen Antarabangsa
Hak-hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya (ICESCR) 1966 dan sebagainya.
Kesemua dokumen tersebut melindungi hak manusia daripada dicerobohi.
Sebagai contoh di dalam Hak Asasi Manusia Sejagat, Perkara 12
menerangkan, Tiada sesiapa pun yang boleh dikenakan kepada sebarang
gangguan sewenang-wenangnya terhadap keadaan peribadi, keluarga,
rumah tangga atau surat-menyuratnya, atau percerobohan ke atas maruah
dan nama baiknya. Setiap orang berhak kepada perlindungan undang-
undang terhadap gangguan atau percerobohan sedemikian. James W. Nickel
telah mengemukakan beberapa unsur hak, iaitu pemilik hak, ruang lingkup
penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga-tiga
unsur tersebut kemudiannya disatukan dalam satu dasar hak yang
kemudiannya menjelaskan hak sebagai satu unsur normatif yang ada pada
diri manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan.

Terdapat juga teori yang dikemukakan berkaitan hak asasi manusia iaitu
teori Mc Closkey yang menerangkan bahawa pemberian hak adalah untuk
dilakukan, dimiliki dan dinikmati atau sudah dilakukan. Oleh yang demikian,
adalah menjadi tanggungjawab pekerja sosial melaksanakan perkhidmatan
mereka dengan memperjuangkan hak asasi manusia. Sebagai mana yang
telah dinyatakan, dengan adanya hak asasi ini akan mampu untuk
membangunkan kefungsiaan dan kecekapan individu, kumpulan dan
komuniti dari pelbagai aspek.

3.0 PRINSIP ETIKA KERJA SOSIAL


Prinsip etika dalam kerja sosial merupakan suatu prinsip yang amat
mementingkan nilai untuk memandu pekerja sosial bertindak dalam proses
menolong klien. Etika adalah nilai dalam tindakan kita (Levy, 1979).
Terdapat dua nilai yang sering dilakukan oleh manusia iaitu nilai normatif
(peraturan) dan nilai non-normatif (bukan bersifat peraturan). Nilai mungkin
berlaku dalam hubungan dan juga tidak berlaku dalam hubungan, tetapi
etika berlaku dalam hubungan. Sekiranya sesuatu hubungan itu ada nilainya,
ia memerlukan tugas sesuatu pihak untuk bertindak secara beretika
terhadap individu lain yang boleh dikatakan sebagai tanggungjawab etika di
dalam peranan sosial termasuklah hubungan pekerja sosial dengan klien.
Pekerja sosial memindahkan nilai ke dalam tindakan konkrit dalam situasi
tertentu yang disebut sebagai prinsip etika kerja sosial.

Terdapat 6 prinsip etika di dalam kerja sosial yang di kemukakan oleh


National Association of Social Work (NASW).

Prinsip Etika NASW pertama ialah perkhidmatan (service). Pemberian


perkhidmatan oleh pekerja sosial bermatlamatkan untuk menolong manusia
dengan telus. Pekerja sosial perlu sentiasa bersedia dalam memberikan
perkhidmatan selagi mana diperlukan. Dalam prinsip ini juga, pekerja sosial
mesti menggunakan segala pengetahuan, nilai dan kemahiran yang ada
untuk membantu masyarakat menyelesaikan permasalahan dan kekurangan
yang dihadapi. Selain itu, pekerja sosial perlu menghubungkan klien dengan
sumber-sumber yang dapat membantu mereka. Perkhidmatan yang
diberikan juga tidak seharusnya mengharapkan balasan atau menyimpan
motif tertentu kerana ia boleh mempengaruhi dari segi tanggungjawab yang
dilaksanakan.

Prinsip etika kedua ialah keadilan sosial (social justice). antara aspek yang
perlu diambil kira ialah keadilan dari segi perundangan, ekonomi dan sosial.
Keadilan sosial ini mungkin boleh menjadi suatu cabaran yang besar kepada
pekerja sosial kerana mereka terpaksa berhadapan dengan pelbagai situasi
yang bertentangan dengan ketidakadilan dalam pelbagai situasi. Pekerja
sosial seharusnya berusaha menegakkan keadilan dan bersikap adil.
Sekiranya individu, kumpulan mahupun komuniti menghadapi penindasan
atau penganiayaan, pekerja sosial perlu bangun untuk membantu yang
memerlukan dengan memberikan perlindungan dan menghubungkan klien
dengan sumber-sumber yang dapat membantu. Pekerja sosial juga perlu
memfokuskan isu yang menjadi ancaman keadilan sosial ini seperti isu
gender, ras, budaya, agama, diskriminasi, kemiskinan dan sebagainya. oleh
itu, pekerja sosial seharusnya sentiasa bersedia dengan ilmu pengetahuan
yang banyak tentang pelbagai isu di dalam keadilan sosial. Pekerja sosial
perlu mengetengahkan isu klien dalam menyuarakan ketidakadilan sosial
yang berlaku kerana ia termaktub di dalam hak asasi manusia yang dimiliki
oleh setiap orang.

Prinsip etika ketiga ialah menghormati maruah dan harga diri individu
(dignity and worth of the person). Pekerja sosial perlu menerima klien
seadanya, menerima dan merawat klien dengan penuh kemanusiaan dan
pertimbangan serta memperjuangkan maruah dan harga diri klien. Sikap
prejudis dan menghakimi klien harus dielakkan. Semua manusia mempunyai
maruah dan harga diri, pandangan dan keputusan yang dibuat adalah hak
mereka dan ia perlu dihormati. Pekerja sosial perlu menganggap proses
menolong klien sebagai misi utama yang perlu dititikberatkan dan bernilai.
Permasalahan dan hak mereka perlu diselesaikan tanpa mengira siapa pun
diri klien kerana setiap klien mempunyai maruah dan hak tanpa mengira
pangkat, usia, etnik, warna kulit mahupun gender.

Prinsip etika yang keempat ialah kepentingan perhubungan kemanusiaan


(importance of human relationships). Perhubungan kemanusiaan meliputi
perhubungan antara manusia di dalam pelbagai peringkat seperti peringkat
individu, kelompok dan komuniti. Perhubungan ini perlu difahami oleh
pekerja sosial dalam proses menolong klien. Di samping itu, perhubungan
pekerja sosial dengan klien seharusnya berlaku dengan baik agar klien dapat
merasakan pekerja sosial dapat dipercayai dan mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Apabila klien merasakan pekerja sosial
dipercayai, klien akan memberikan kerjasama yang sepenuhnya dan
meluahkan konflik yang dihadapi dengan baik seterusnya kepada
penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Perhubungan kemanusiaan yang
harmonis membantu kejayaan perkhidmatan di dalam kerja sosial.

Prinsip etika yang kelima dalam kerja sosial ialah kejujuran dan integriti
(integrity). Prinsip ini menekankan kepada sikap jujur dan amanah pekerja
sosial dalam melaksanakan proses menolong. Pekerja sosial secara terus-
menerus perlu menyedari tentang misi profesion, nilai, prinsip etika,
piawaian etika dan praktis profesion dalam cara yang bersesuaian dengan
mereka. Pekerja sosial jua perlu sentiasa bertindak jujur dan mengamalkan
etika sebagaimana yang telah digariskan. Klien perlu diberikan maklumat
yang betul sebagaimana yang sepatutnya tanpa melakukan sebarang
penyelewengan agar klien dapat membangun dan mengalami perubahan
yang positif berdasarkan suber-sumber yang diberikan.

Prinsip etika yang keenam dan terakhir dalam kerja sosial ialah kecekapan
(competence). Kecekapan yang dimaksudkan adalah kecekapan dalam
melaksanakan tanggungjawab yang dipegang.

Pekerja sosial perlu berusaha meningkatkan pengetahuan dan kemahiran di


dalam profesion dari semasa ke semasa dan seterusnya mengaplikasikannya
ke dalam praktis untuk menampakkan kecekapan pekerja sosial itu sendiri.
Sekiranya pekerja sosial mempunyai kecekapan dalam melaksanakan
praktis, klien akan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan
berupaya untuk berkembang ke arah positif dengan bantuan pekerja sosial
tersebut. Selain itu, kecekapan yang dituntut dapat membantu pekerja sosial
bertindak lebih bijak untuk melakukan apa yang perlu dan menghindarkan
diri daripada perkara-perkara yang melanggarkan perundangan profesion.

Secara keseluruhannya, prinsip etika kerja sosial sebagaimana yang


digariskan oleh NASW sememangnya begitu penting untuk diikuti sebagai
panduan dalam menjalankan praktis, meningkatkan pengetahuan,
meningkatkan profesion serta membantu klien. Sekiranya kesemua prinsip
etika ini diamalkan dan difahami, sudah tentu profesion kerja sosial terus
maju ke hadapan dan membantu masyarakat.

4.0 PENUTUP

Kesimpulannya, pelbagai aspek yang telah dibincangkan di atas meliputi


falsafah, etika dan hak asasi manusia dalam kerja sosial yang dapat
memberi kefahaman asas tentang profesion ini. Selain itu juga, prinsip etika
yang dikemukakan sememangnya berupaya membangunkan pekerja sosial,
profesion dan klien. Kerja sosial adalah suatu bidang profesional dalam
membantu pelbagai klien di peringkat mikro, mezzo dan makro. Namun
begitu, terdapat juga yang tidak menyedari akan peranan yang telah
dimainkan oleh pekerja sosial. Tanggungjawab yang dipikul bukanlah
semudah yang disangka. Ia memerlukan satu pengorbanan yang besar dari
segi mental, emosi dan fizikal. Setiap penyelesaian sesuatu masalah akan
menggunakan perancangan yang sistematik, berkesan dan mementingkan
“win-win situation” di samping penggunaan teori untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan di dalam praktis dalam situasi yang berbeza.
Oleh itu, masyarakat perlu menghargai profesion kerja sosial sebagai suatu
profesion yang mulia dan sentiasa menjaga kepentingan individu, kumpulan
dan komuniti.

RUJUKAN Clark, C. L., & Asquith, S. Social work and social philosophy: A guide
for practice. Routledge & Kegan Paul: London. Robinson, W., & Reeser, L.C.
(2000). Ethical decision making in social work: London.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Falsafah
http://ms.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia http://www.dbp.gov.my
http://www.ifsw.org http://www.socialworkers.org

Posted by wanie at 11:21 AM 0 comments

Home
Subscribe to: Posts (Atom)

You might also like