Professional Documents
Culture Documents
Pengertian etika
Kelompok:
Etika deskriptif
Etika normative
Mataetika
…..
Hedonism
Eudemonisme
Utilitarisme
9-11
Teleology dan deontology
12-15
5/24/2009 2:14:34 PM
domba jantan
diskriminasi
5/24/2009 2:13:15 PM
domba jantan
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan (perlakukan dan tindakan) yang tidak adil
(dalam arti membeda-bedakan) terhadap individu tertentu, di mana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik (ciri-ciri atau kekhasan) yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk
membeda-bedakan yang lain. Kecenderungan itu berasal dari perasaan atau
emosional pribadi atau kelompok. Perasaan sama (dengan kelompoknya sendiri), iri,
takut, kuat, superior dan lain sebagainya menjadi bibit tindak diskriminatif bagi
orang lain yang dianggap berbeda, merugikan, lemah, mengancam dan lain
sebagainya. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik
kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik
lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminatif. Diskriminasi
langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat
adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan
yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
3/19/2009 11:53:40 AM
domba jantan
Begitulah kata teman gw saat belajar bareng di kelas 2 SMA Seminari Mertoyudan.
“Apa? Bolong. Apanya yang bolong? Ndasmu (kepalamu) ya?” Canda gw ketika itu.
“Wooo gak paham ya? Bolong itu kalo lagi belajar tapi ndak masuk-masuk. Waduh
bingung aku, besok ada dua ulangan lagi.” Katanya sambil menggerutu. “Ah, ada-
ada aja.” Pikir gw dalam ati. Ya saat itu, gw berpikir bahwa peristiwa “bolong” yang
dialami oleh teman gw adalah hal yang dibuat-buat.. Masakan ada otak yang nggak
bisa mikir dan nyerap pelajaran saat belajar. Setiap saat kita bisa ngendaliin pikiran
dan gw ngerasa bahwa otak gw bisa nyerep apa yang gw pelajari. Tetapi dalam
perjalanan waktu, pengalaman “bolong” ada benarnya juga. Orang bisa “bolong.”
Ya sangat-sangat bisa “bolong.” Kok bisa ya? Ternyata sebenarnya hal ini logis juga
lho. Ketika otak sudah telalu lelah untuk mikir maka daya kerjanya pun semakin
turun. Kelelahan fisik pun bisa mempengaruhi kerja otak. Ya, paling nggak ketika
kita lelah, otak pun nggak akan bekerja maksimal. Layaknya seorang Del Piero yang
jago main bola sekalipun, kalau dia sedang lelah banget, tendangannya pun nggak
akan maksimal. Bola akan gampang ditangkap oleh kiper lawan atau meleset ke
kanan kiri gawang. (kecuali kipernya lagi bengong trus bolanya malah masuk ke
gawangnya. –ini mah kipernya geblek. Red-). Tapi penyebab lain juga berkaitan
dengan kemampuan otak nyerap sesuatu. Ibaratnya kayak komputer yang lagi diisi
dengan berpuluh-puluh giga data dalam waktu yang sama, maka komputer itu bisa-
bisa muntah, masuk angin dan akhirnya error. (berpuluh-puluh giga, lebai nggak
ya?). Kemampuan orang kan beda-beda, jadi cara loadingnya juga beda-beda. Ada
yang langsung tapi ada yang bertahap. Pokoknya dikit-dikitlah. So, masalahnya
terletak pada kelelahan otak, fisik serta banyaknya data yang dipaksa masuk saat
bersamaan yang melebihi kemampuan otak. Nah, kalo begitu, gw mesti berpikir
gimana caranya biar kagak ngalamin yang namanya “BOLONG.” Yah, pasti nggak
jauh-jauh dari yang namanya manajemen waktu belajar. Kalo belajar ya mesti
setiap hari dan nggak cuma saat mau ulangan. Nggak kebayang deh kalo pas
minggu atau hari ulangan, otak kita malah “bolong.” Bisa-bisa kita hanya
ndomblong (bengong sambil mangap). Heheheee….kira-kira gw udah manage
waktu belajar belom ya? Merenunglah!!!
Santai Coy!!!
3/18/2009 11:52:54 AM
domba jantan
Santai Coy!!! Santai aje Man…….. Santai Bro…… Santai Coy, Cuy… Udah biasa
banget kita denger kata ini. Di sekolah, di kantor, di jalan dan juga di rumah, pasti
kita udah pernah denger kata itu. Dan banyak juga efek yang diakibatin sama kata
ini. Ada yang positif dan ada yang negative. Kok bisa ya? Ya iyalah…masa ya iya
dong. Orang yang terlalu serius, tegang, “strik”, “saklek” de el el perkedel, butuh
yang namanya rileks…santai cuy!!! Kalo serius mulu, orang gak bisa nikmatin lagi
yang namanya idup. Gila Man, hidup tuh cuma 70 atau 80 tahun jika kuat.
(hehehe…kata Mazmur dalam Kitab Suci. Bab berapa ya?…mmm. Ketauan banget
kalo gw Katolik hahaha…). Sekarang tuh banyak orang stress, stroke, hipertensi,
hiperbola (eh salah) sampe akhirnya orang BUNUH DIRI karena gak bisa nikmatin
hidupnya. Stress sama kerjaan jadi bikin hipertensi dan akhirnya stroke. Orang gak
tahan sama masalah hidup jadi stress dan bunuh diri. Mmmmmmm………Sayang
banget kan kalo hidup gak bisa dinikmatin, apalagi kalo sampe mati. Jadi NOTHING
deh. Padahal banyak banget karya Tuhan yang begitu bagus untuk kita rasain. Buat
orang yang kerja mulu dari pagi sampe malem…saatnya bilang STOP dan santailah
sebentar. Pergilah dan lihatlah ke lapangan futsal dan bermainlah (inget, ini kalo
ada temennya ya). Kamu bisa juga pergi ke taman menikmati indahnya bunga-
bunga dan warna rumput yang segar. (Hati-hati banyak semut!!!) Banyak cara deh
buat nikmatin hidup….dan kamu tahu ke mana kamu harus pergi… Orang yang
terlalu santai, menunda pekerjaan, meremehkan segala hal dan kurang fokus dalam
belajar ama kerjaan, butuh yang namanya keseriusan. Cay…
Coy….Cuy……….SADAR!!! HIdup tuh cuma sebentar. Jangan mimpi kayak Chairil
Anwar yang pengen hidup seribu tahun lagi. Sayang banget waktu yang dikasi
Tuhan cuma dipake buat hal-hal yang gak bermakna. Orang yang terlalu santai
akhirnya gak beres kerjaannya. Dipecat deh. Orang terlalu santai akhirnya gak lulus
ujian. Ambil Paket C deh. Eh gak lulus juga…jadi stress dan….bunuh diri deh. Sedih
amat! Jadi NOTHING juga. Buat orang yang seharian di depan komputer buat nge
game doang…...Saatnya untuk berhenti maen dan SHUT DOWN
komputernya….Truzzz ngapainzzz? Ya belajar atau kerjalah.. Buat mereka yang
tidur mulu sepanjang hari, di rumah, di kantor, di kelas, di kebon dan
sebuagainya…..BANGUN. Belajar dan kerja buat memuji dan memuliakan Tuhan.
Wuihhh uda berbusa ni mulut. Sekarang saatnya kita bertanya sama diri sendiri.
Kira-kira gw diposisi mana ya? Merenunglah!!!!!!!!
Berhala
3/18/2009 10:37:01 AM
domba jantan
Berhala adalah patung yang berbentuk makhluk hidup atau benda yg didewakan,
disembah dan dipuja, yang bukan atas perintah Tuhan. Dibuat oleh tangan manusia
terbuat dari batu, emas, kayu atau bahan baku yang lainnya. Akan tetapi, berhala
juga termasuk mahkluk hidup yang disembah, didewakan dan dipuja bukan atas
perintah Tuhan. Pada zaman ini, kata kerja dari memberhalakan berarti memuja
dan mendewakan, bisa pula dijadikan menjadi kata kerja yang artinya berbeda lagi,
seperti memberhalakan sesuatu tidak selalu berarti bahwa pemujanya mengatakan
“inilah tuhan yang harus disembah”. Tidak juga berarti bahwa ia mesti bersujud
dihadapannya. Pada dasarnya, menyembah berhala dapat berarti rasa suka
seseorang terhadap sesuatu melebihi rasa sukanya kepada Allah. Misalnya, lebih
takut kepada seseorang/benda dibanding rasa takut kepada Allah, atau lebih
mencintai seseorang/benda dibanding cintanya kepada Allah. Di setiap masa, selalu
ada manusia yang meduakan Allah, mengambil tuhan lain dan menyembah
pujaannya atau patung. Pada saat ini, masih ada pula sebagian etnis yang
membuat berhala untuk disembah, sebagai simbol, bahkan hanya sekedar untuk
dipajang sebagai barang koleksi. (Sumber Wikipedia) Berhala-berhala di zaman ini
1. Uang. Orang mencari uang terus-menerus dalam seluruh waktu hidupnya dan
melupakan Tuhan. Orang Kristen tetap bekerja di Hari Minggu sehingga seakan-
akan tidak ada lagi waktu untuk mengikuti misa atau kebaktian. 2. Pekerjaan yang
berlebihan (workaholic) yang menyebabkan dia lupa akan kewajibannya sebagai
orang beriman. Dalam hal ini termasuk karier yang diagung-agungkan. 3. Harta
yang dianggap sebagai segala-galanya. 4. Idola-idola (gara-gara nonton Peterpan di
hari Minggu, orang menjadi malas ke Gereja) 5. Acara televisi (Doraemon, Sinchan
dan lain-lain di pagi hari yang membuat anak-anak enggan ke gereja). Tentunya
acara televisi lain yang membuat orang lupa akan Tuhannya. 6. Game dan internet
yang membuat orang lupa akan segalanya sehingga anak-anak dapat
menghabiskan waktu sehari penuh di depan layar computer. Dll. Anda dapat
mencarinya sendiri….
3/16/2009 8:26:42 AM
domba jantan
Kebebasan pada zaman ini menjadi harapan bagi banyak orang. Karena dengan
kebebasan ini manusia bisa mengarahkan kepada kesempurnaan. Akan tetapi
kebebasan sering disalahartikan dengan bebas berbuat apa saja sekehendak
hatinya sehingga adanya peraturan dan kehadiran seseorang yang berwenang
dipandang sebagai penghalang atau penghambat bagi kebebasannya. Kita
menjumpai bahwa justru mereka yang mampu memilih untuk mengikatkan diri
pada peraturan, kewajiban, tugas dan orang lain, merekalah yang sungguh-sungguh
memiliki kebebasan itu. Peraturan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, salah satunya adalah melindungi kebebasan seseorang dari
tindakan sewenang-wenang orang lain. Secara singkat fungsi peraturan dapat
dijelaskan sebagai berikut: a.) Peraturan berfungsi menyalurkan kuasa atau
wewenang untuk mengatur tingkah laku manusia, sehingga dimungkinkan
kehidupan bersama yang lebih tertib. b.) Peraturan berfungsi menjamin kebebasan
yang tertib. Kebebasan yang bertenggang rasa dengan kepentingan orang lain.
Peraturan menjamin kebebasan yang bertanggungjawab. Karena kalau orang boleh
berbuat apa saja pasti akan mengganggu kebebasan orang lain. c.) Peraturan
berfungsi untuk menjamin ketertiban dalam kebebasan. Ia menjamin kepentingan
atau kesejahteraan setiap orang dan kepentingan dan kesejahteraan bersama
secara adil. Ia menjamin keadilan sehingga dengan demikian terciptalah suasana
yang lapang dan bebas. d.) Peraturan dapat membangun kepribadian seseorang
dalam soal kedisiplinan, tenggang rasa, tahu menahan diri, bersikap sosial dan lain
sebagainya. • Hubungan antara kebebasan dan peraturan 1.) Peraturan menjamin
kebebasan yang tertib Dalam arti ini ingin dijelaskan bahwa kebebasan benar-benar
berkembang hanya berkat adanya peraturan. - Kebebasan masyarakat sungguh
terjamin kalau setiap orang mengikuti peraturan yang ada, kalau tidak maka akan
terjadi kekacauan dan kalau terjadi kekacauan maka kebebasan dalam masyarakat
tidak terjamin lagi. Contoh : bayangkan kalau tidak ada peraturan lalu lintas. Apa
yang akan terjadi. - Kebebasan pribadi juga tidak akan terjamin kalau dalam
masyarakat tidak ada peraturan. Keinginan dan cita-cita tidak akan tersalur kalau
kita tidak merasa bebas. Contoh : bagaimana kita dapat belajar kalau suasana
sekolah ramai dan tidak teratur. Bagaimana bisa menjadi orang yang disiplin kalau
kita di sekolah tidak punya peraturan yang mendidik orang menjadi pribadi yang
disiplin. (tuh moderator penting kan) 2.) Peraturan bukan hanya menjamin
kebebasan tetapi juga mengembangkan dan mematangkan kebebasan. Dengan
peraturan orang dapat menghayati kebebasan yang lebih bertanggung jawab yang
dengan begitu kebebasan menjadi lebih dewasa. Bahkan, orang yang matang
dalam kebebasan justru menciptakan banyak peraturan untuk dirinya sendiri.
Hanya penguasaan dirilah yang membuat kita menjadi manusia yang bebas. •
Sikap kritis terhadap peraturan dan kebebasan Untuk sampai pada kebebasan dan
peraturan yang sejati dan tidak terjerumus dalam kebebasan yang disalahartikan,
kita perlu mempunyai daya kritis terhadap peraturan dan kebebasan. Secara
singkat alasan mengapa kita harus mempunyai daya kritis terhadap peraturan dan
kebebasan adalah sebagai berikut: - Kita perlu kristis terhadap kebebasan sebab
kebebasan sering disalahartikan dan disalahtafsirkan. - Kebebasan tidak dapat
diterapkan secara sama di mana-mana. - Kita perlu kritis terhadap peraturan sebab
banyak peraturan yang tidak sah dan tidak adil. - Peraturan kadang kala tidak dapat
diterapkan secara sama begitu saja di mana-mana dan bagi segala orang.
Kebebasan
3/16/2009 8:25:56 AM
domba jantan
Suara Hati
3/16/2009 8:24:08 AM
domba jantan
Suara Hati I. Tiga Lembaga Normatif 1. Institusi Masyarakat (keluarga, sekolah,
negara) Kita belajar dari keluarga, sekolah, negara dan sebagainya tentang apa
yang baik dan yang buruk serta nilai-nilai lain. Nilai-nilai ini dibatinkan dalam diri
kita dan dikenal dengan superego. 2. Superego Superego (yang merupakan teori
dari Sigmund Freud) adalah perasaan moral spontan di dalam batin kita. (berasal
dari nilai-nilai yang diberikan keluarga, sekolah dan sebagainya yang dibatinkan).
Superego menyatakan diri dalam perasaan malu dan bersalah yang muncul secara
otomatis dalam diri kita apabila melanggar norma-norma yang telah dibatinkan. 3.
Ideologi Ideologi adalah segala macam ajaran tentang makna kehidupan, tentang
nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Kekuatannya terletak pada pegangannya terhadap hati dan akal kita. (dalam hal ini
nilai-nilai agama juga termasuk di dalamnya). II. Suara Hati Suara hati adalah
kesadaran moral dalam situasi konkret. Kesadaran akan yang baik dan yang buruk
dalam situasi nyata yaitu situasi seseorang berhadapan dengan pilihan-pilihan.
Suara hati harus selalu ditaati. Tandanya adalah bahwa kita merasa bersalah
apabila kita mengelak dari suara hati meskipun suara hati masih dapat keliru. Suara
hati adalah pusat kemandirian manusia. Tuntutan lembaga-lembaga normatif bisa
saja membelenggu fisik kita, tetapi tidak dengan hati kita. Dengan suarah hati,
manusia tidak diizinkan untuk menjadi pembeo atau kerbau yang mudah digiring
menurut pendapat orang lain. Suara hati membuat kita sadar bahwa kita selalu
berhak untuk mengambil sikap sendiri. Oleh karena itu, suatu perintah melawan
suarah hati, dari mana pun datangnya, wajib kita tolak. • Apakah suara hati sama
dengan perasaan? Suara hati bukanlah perasaan. Suara hati bersifat objektif dan
selalu memiliki alasan masuk akal mengapa kita mengikutinya. Sedangkan
perasaan adalah penilaian subjektif seseorang terhadap kenyataan tertentu. Oleh
karena itu, suara hati masih dapat diperdebatkan, sedangkan perasaan adalah
urusan masing-masing orang. Suara hati menuntut pertanggungjawaban rasional.
Maka, penilaian kita perlu terbuka terhadap sangkalan dan tantangan. Dalam
mengambil keputusan pun, sebaiknya kita tidak berpedoman atas dasar pendapat
kita saja saat itu, melainkan harus mencari informasi dan pertimbangan yang
relevan, terbuka terhadap pihak lain dan menanggapinya. • Bagaimana mendidik
suara hati? Mendidik suara hati itu dengan membaca banyak buku, belajar dari
pengalaman, bertanya kepada orang yang lebih banyak pengalaman (bimbingan
rohani) dan lain sebagainya. • Apakah suara hati sama dengan suara Tuhan? Suara
hati disebut sebagai suara Tuhan karena kemutlakannya. Kita tidak dapat menolak
adanya suara dalam hati kita yang berbicara. Senang atau tidak, toh suara hati kita
akan berbicara saat kita berada pada suatu pilihan. Dan suara hati itu mengarah
kepada sesuatu yang baik. Namun, suara hati bukan merupakan suara Tuhan
karena suara hati itu dapat salah. Tuhan tidak dapat salah. Oleh karena itu, suara
hati bukanlah suara Tuhan. Suara hati adalah kewajiban mutlak yang harus kita
lakukan. Akan tetapi manusia tidaklah mutlak, hanya Tuhan yang mutlak.
ateisme
3/13/2009 11:25:46 AM
domba jantan
<No Title>
3/6/2009 9:54:09 AM
domba jantan
Selamat dating
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral
yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek
ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu
mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas,
karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut
terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan
melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan
masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama
bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat
diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata
cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari
yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di
atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan
perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang
totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda
yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.
Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek
totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia,
kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut
sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus
daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap
terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak
bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional
tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus"
seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari
moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen
demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk
dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu
tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian
sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
C. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan
ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti.
Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek
ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau
larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang
positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan
merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi
antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari
eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang
"kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap
praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk
masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya
adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara
keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara
keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih
khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang
terhadap ideal-ideal keagamaan.
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan
yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian
bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa
agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal
ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya
memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa
konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan
produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya
pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi
seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari
pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam
bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak
merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut
Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya
pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang
sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang
dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak
mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu
sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan
penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep
"kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta
pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya
terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-
upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap
mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu
dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di
dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang
dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem
itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat
dibandingkan dengan individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual.
Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada
conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran
ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat
kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam
pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan
mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara
terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan
begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah
agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk
agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu
jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb.
Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-
bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari
"agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan
peran yang sama seperti agama.
Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini
adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong
tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas
individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan
"kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk
solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas
individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas
individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme.
Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari
moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu
penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung
dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap
pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar
menukar informasi.
Sumber Acuan:
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata,
Jakarta: UI-Press, 1986.
Sukidi
LEBIH pendek dan berserakan. Itulah komentar akademikus Barat atas catatan Max
Weber (1864-1920) tentang Islam. Studi Weber tentang agama-agama dunia, mulai
dari Yahudi kuno, Kristen, Hindu, sampai Buddha jauh lebih sempurna dan
sistematis. Weber keburu meninggal dunia. Padahal, menurut Talcott Parsons,
(1964), ia merencanakan studi perbandingan antara Islam, Kristen periode awal,
dan Katolik abad pertengahan.
ITU sebabnya, riset akademis tema ini masih relatif langka. Bryan S Turner adalah
sarjana Barat pertama yang studi sistematis. Dalam karyanya, Weber and Islam,
(1974:2), Turner berargumen bahwa bagi Weber "ini adalah sifat alami institusi
politik Muslim yang patrimonial, yang menghalangi munculnya prakondisi
kapitalisme, yakni hukum rasional, pasar kerja bebas, kota yang otonom, 'ekonomi
uang', dan kelas borjuis." Semua prakondisi kapitalisme rasional-modern di Barat
ini, faktanya, tidaklah muncul di masyarakat Islam Timur Tengah.
Catatan Weber tentang Islam akan dibandingkan dengan Calvinisme melalui empat
kerangka pemikiran: doktrin predestinasi, pencarian keselamatan, asketisisme
dunia-sini, dan konsep rasionalisasi.
Doktrin Predestinasi
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (selanjutnya disingkat The
Protestant Ethic), Weber melihat doktrin predestinasi sebagai argumen utama
dalam menjelaskan keterkaitan antara suatu bentuk etika agama dan spirit
kapiralisme di Barat. Calvinisme dan Islam menjadi perumpamaan predestinasi
yang berlawanan.
Dalam The Protestant Ethic (2005:56), Weber menekankan betapa penting
predestinasi dalam keyakinan Calvinis. Ide utamanya terletak pada: bagaimana
para Calvinis yakin bahwa mereka termasuk di antara orang-orang terpilih? Dalam
teologi Calvinis, terdapat predestinasi ganda yang membuat para Calvinis tidak
tahu secara pasti apakah mereka termasuk orang terpilih atau terkutuk? Karena
Tuhan Calvinis adalah begitu transenden, maka mereka menghadapi masalah
serius tentang ketidakpastian keagamaan. Situasi ini memaksa para Calvinis
mencari certitudo salutis, yang didefinisikan Weber (1978:1198-99) sebagai suatu
indikasi bahwa mereka termasuk orang terpilih yang selamat ke surga. Karena itu,
sukses di dunia bisnis dan pengumpulan harta kekayaan demi pemuliaan Tuhan
diyakini sebagai "tanda" atau "konfirmasi" bahwa mereka termasuk di antara orang-
orang terpilih, atau dalam istilah Weber "suatu tanda keberkahan Tuhan".
Pencarian Keselamatan
Ada sejumlah agama yang dikategorikan Weber sebagai agama keselamatan, mulai
dari Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan seterusnya. Agama-agama ini punya cara
pandang yang berbeda terhadap dunia. Namun, semuanya dipakai sebagai jalan
pembebas dari penderitaan dan sebagai respons terhadap ketegangan yang terus
berlangsung antara dunia dan agama (Weber, 1978:527). Ketertarikan Weber lebih
terletak pada sejauh mana usaha manusia mencari keselamatan itu berdampak
langsung terhadap suatu perilaku hidup tertentu di dunia ini. Dalam Economy and
Society (1978) Weber berpendapat "perhatian kita pada dasarnya adalah pada
usaha pencarian keselamatan, apa pun bentuknya, sejauh hal itu menciptakan
konsekuensi tertentu pada perilaku praktis di dunia". Pencarian individu pada
keselamatan inilah, menurutnya, yang menjadi karakteristik utama Calvinis. Bagi
para Calvinis, perilaku asketis dan kerja etos kerja keras dipandang sebagai sebuah
tanda keselamatan di dunia kelak.
Islam, menurut Weber, berlawanan dengan Calvinisme. Usaha pencarian
keselamatan benar-benar asing dalam Islam. Malahan, menurut Weber (1965:263),
"Islam sesungguhnya tidak pernah menjadi agama keselamatan; etika konsep
keselamatan benar-benar tak dikenal dalam Islam. Islam tidak pernah menjadikan
akumulasi harta kekayaan sebagai tanda keselamatan. Absennya upaya pencarian
keselamatan di kalangan Muslim ini berpengaruh terhadap metode dan perilaku
hidup yang sistematis di dunia ini."
Asketisisme Dunia-Sini
Rasionalisasi
Weber memakai konsep rasionalisasi dalam beragam makna dan cakupan. Di sini
rasionalisasi dipakai untuk merujuk dua tipe: rasionalisasi doktrin dan perilaku
hidup. Dua tipe ini dipakai Weber untuk menjelaskan Protestan asketis, terutama
Calvinis.
Mirip Reformasi Protestan di Eropa, Muhammadiyah dinilai sarjana dalam dan luar
negeri sebagai model gerakan reformasi keagamaan dalam konteks Islam
Indonesia. Didirikan tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan di Yogyakarta, kini
Muhammadiyah hampir berusia satu abad. Sebagai sebuah kado pemikiran kader
muda Muhammadiyah untuk Muktamar ke-45 di Malang, perkenankan saya
membawa arah baru studi Muhammadiyah dalam cahaya Reformasi Protestan,
terutama pada Calvinis. Argumen utamanya adalah prinsip-prinsip dasar gerakan
reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu, mirip dengan Reformasi
Protestan Calvinis. Karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi
Islam model Protestan, dengan argumen berikut.
Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan "Kembali pada Kitab Suci", baik Calvinis
maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. "Para Calvinis," kata Weber
(2005:68), "ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman". Inilah doktrin
sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara
keagamaan ini dapat disimak pada: minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi
radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan
korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak
ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah.
Muslim puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa
yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di
dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka
karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur
magis dan aspek sinkretik lainnya.
Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan
Weber sebagai "disenchantment of the world". Menurut Weber, proses ini dimulai
dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah
Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak
semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan
Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul,
bid'ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti
tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan.
Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam
dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi
rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern.
Kelima, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengadopsi apa yang oleh Weber
disebut "innerworldy asceticism". Protestan asketis, terutama Calvinis, memakai
metode asketis untuk mengubah dunia. Spirit kapiralisme muncul dari proses yang
disebut "afinitas elektif" antara asketisisme dan disiplin diri di kalangan Calvinis.
Muslim puritan pun menganut asketisisme dunia-sini melalui tasawuf modern tanpa
melarikan diri dari kehidupan duniawi.
Etika Protestan di Kalangan Muslim Puritan
Dalam The Protestant Ethic, terbit pertama kalinya tahun 1904-1905, Weber
meletakkan Protestan asketis sebagai "suatu kontribusi terhadap pemahaman atas
masalah-masalah umum di mana ide menjadi kekuatan efektif dalam sejarah".
Nama Karl Marx tentu ada dalam pikiran Weber. Dan Weber tampak sengaja ingin
meletakkan "kekuatan ide" sebagai wacana tandingan atas doktrin materialisme
sejarah Marx, yang melihat ekonomi sebagai faktor determinan dalam perubahan
sejarah. Weber hadir dengan tesis baru: bagaimana ide dan keyakinan di antara
protestan asketis (Calvinis, Pietis, Methodis, dan sekte Baptis) menjadi kekuatan-
kekuatan efektif dalam menumbuhkan spirit kapitalisme rasional modern di Barat.
Dengan alasan demikian, Weber (2005:3) lalu menunjuk fakta empiris: mereka yang
menjadi industriwan, pengusaha, ahli keuangan, dan tenaga kerja yang cakap di
bidang industri lainnya, ternyata jumlahnya jauh lebih besar Protestan ketimbang
Katolik. Yang terakhir ini malah sering diasosiasikan dengan pekerja kasar dan
bawahan. Tingginya pertumbuhan aktivitas kapitalisme juga lazim terjadi di antara
gereja protestan dan Calvinis Perancis, Belanda, dan puritan Inggris. Fakta-fakta ini
menginspirasi Weber menarik kesimpulan adanya "afinitas elektif" antara Protestan
asketis, terutama Calvinis, dan spirit kapitalisme.
Jika demikian, tesis Weber dapat dipakai sebagai model: adakah "afinitas elektif"
antara etika/keyakinan Islam dan perilaku ekonomi di kalangan Muslim puritan?
"Ya" jawab Clifford Geertz, antropolog Amerika terkemuka di Universitas Princeton.
Seperti halnya Robert N Bellah yang datang ke Jepang untuk studi agama
Tokugawa, Geertz pun terbayang-bayangi tesis Weber untuk studi agama Jawa. Ia
datang ke Mojokuto awal 1950-an dengan kesimpulan: "pertumbuhan ekonomi dan
pembaharuan Islam berjalan secara beriringan". Suatu kesimpulan yang mirip
antara pertumbuhan kapitalisme dengan Reformasi Protestan di kalangan Calvinis.
Dalam Peddlers and Princes, (1963), Geertz studi perbandingan dua kota: Mojokuto
di Jawa Timur dan Tabanan di Bali. Ia lagi-lagi dibayangi tesis Weber. "Dalam
kerangka teori Max Weber tentang peran Protestanisme dalam menstimulasi
pertumbuhan komunitas bisnis di Barat," demikian laporan Geertz (1963:49),
"bahwasanya para pemimpin komunitas bisnis di Mojokuto adalah sebagian besar
Muslim reformis". Ia memang menemukan sebagian besar pemimpin usaha bisnis
tekstil, tembakau, serta sejumlah toko dan perusahaan justru didominasi Muslim
reformis-puritan. "Tujuh dari pertokoan modern yang berdiri kokoh di Mojokuto,"
lanjut Geertz, "enam di antaranya dijalankan oleh Muslim reformis-puritan." Ia lalu
berkesimpulan "Reformisme Islam, dalam bentuknya Muslim puritan, adalah doktrin
majoritas para saudagar" (Geertz, 1963:150). Tulisan ini memang mengikuti tesis
Geertz, namun beda dalam studi kasus. Mojokuto bagi Geertz dan Yogyakarta bagi
saya. Dengan telah meletakkan kerangka pemikiran Muhammadiyah sebagai
reformasi Islam model Protestan, maka tulisan ini diakhiri dengan adanya beberapa
elemen mendasar Etika Protestan yang berakar kuat dalam Muslim puritan
Muhammadiyah.
Kepergian Dahlan untuk haji ke Mekkah ternyata sangat menentukan tahap penting
dalam hidupnya. Meminjam tesis Geertz (1963:56), bahwasanya masyarakat Jawa
yang telah menunaikan ibadah haji lebih memiliki modal dan jiwa berwirausaha
ketimbang rekan-rekan mereka di pedesaan. Sesudah haji, Dahlan menjalani hidup
sebagai sebuah panggilan: sebagai khatib di Kraton Yogyakarta dengan gaji 7
gulden per bulan sekaligus sebagai saudagar batik. Ini memperkuat asumsi bahwa
nilai simbolis haji menjadi kekuatan penggerak Dahlan menumbuhkan kebajikan
dan etos kerja keras dalam aktivitas bisnis. Asketisisme dan disiplin-diri dipadukan
secara sistematis. Etika kerja ini telah terefleksikan dalam perilaku hidup Dahlan,
yang "rajin, jujur, suka membantu" dan "luar biasa cerdas dan tekunnya" (Peacock,
1978:34).
Nilai kebajikan kerja keras dan kejujuran dalam bisnis telah mengantarkan Dahlan
dalam kemiripan dengan etika Calvinis. Bahkan, pada tahun 1913, Rinkes, pejabat
Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu, dengan mengejutkan menilai Dahlan
sebagai "prototipe warga Indonesia yang memiliki etika Calvinis: tekun, militan, dan
cerdas". Di usia senjanya, Siti Walidah, istrinya, menasihati Dahlan beristirahat. Ia
jawab: "saya harus bekerja keras sebagai upaya meletakkan batu pertama dalam
gerakan mulia ini. Jika saya terlambat atau berhenti, akibat sakit, maka tak seorang
pun yang akan membangun fondasi ini. Saya sudah merasa bahwa waktuku sudah
hampir lewat, karenanya, jika saya bekerja secepat mungkin, apa yang tersisa
dapat disempurnakan oleh yang lain" (Peacock, 1978:38-9).
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral
yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat
sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek
ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu
mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas,
karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut
terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari
substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan
melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan
masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama
bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat
diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata
cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari
yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di
atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan
perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang
totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda
yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat.
Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus.
Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek
totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia,
kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut
sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus
daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap
terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak
bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional
tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus"
seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari
moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen
demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk
dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu
tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian
sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
C. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan
ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti.
Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek
ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau
larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang
positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan
merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi
antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari
eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang
"kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap
praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk
masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya
adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara
keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara
keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih
khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang
terhadap ideal-ideal keagamaan.
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan
yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian
bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa
agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal
ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya
memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa
konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan
produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya
pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi
seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari
pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam
bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak
merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut
Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya
pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang
sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang
dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak
mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu
sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan
penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep
"kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta
pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya
terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-
upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap
mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu
dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di
dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang
dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem
itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat
dibandingkan dengan individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual.
Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada
conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran
ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat
kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam
pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan
mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung.
Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara
terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan
begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah
agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk
agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu
jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb.
Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-
bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari
"agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan
peran yang sama seperti agama.
Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini
adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong
tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas
individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan
"kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk
solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas
individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas
individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme.
Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari
moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu
penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung
dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap
pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar
menukar informasi.
Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah
dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga
mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui
keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui
pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan
subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat
yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat
bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan
gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral.
Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri
manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai
kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki
kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan
adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang
merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme
masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu
merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal
ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui
bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas
individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu
dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.
Sumber Acuan:
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis
Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata,
Jakarta: UI-Press, 1986.
Judul Buku : Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat, Bongkar Wacana atas Islam
vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme; Penulis : Bryan S.
Turner; Penerbit : Ar-Ruzz Press Yogyakarta; Cetakan I Tahun : Agustus 2002;
Penerjemah : Sirojuddin Arif, Inyiak Ridwan Muzir, dan Muhammad Syukri; Tebal :
453 halaman.
Kajian orientalisme juga mulai dipertanyakan. Banyak kritikan tajam diarahkan pada
kalangan akademik Barat yang memahami non-Barat dengan pandangan sebelah
mata bahwa mereka (Timur, Islam) menafikan rasionalitas modernisasi, dan lebih
mengurusi hal-hal yang berbau spiritual. Anggapan demikian ternyata masuk pada
mayoritas kajian sosiologis mereka, dan hasil analisisnya menjadi universal.
Bersamaan dengan hegemonisasi pandangan ini, kemunculan Postmodernisme
menjadi menarik untuk diapresiasi, terlepas beberapa ketidaksetujuan kita
kepadanya. Perlu diingat bahwa rasionalisme instrumental Barat telah menancap
kuat pada ingatan akademisi manapun disebabkan karena kuatnya arus globalisme
(juga dalam hal pemikiran) yang membantu angapan-anggapan orientalisme.
Postmodernisme ingin mendekonstruksi “narasi besar” (grand narrative) ini dengan
mengajukan pluralitas pemikiran dan kebudayaan, di samping ada nilai
emansipasinya juga.
Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana
masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat
Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat.
Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient
(1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said,
kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu
samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari
kolonialisme.. Dalam buku ini, Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap
konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana
orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat.
Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam
mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk
dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.
Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang
melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan,
menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah
seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum
maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan
memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang
berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur”
(the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling
signifikan bagi Said :
Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran
Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michel
Foucault, yang karya-karyanya menjadi sumber penting bagi penelitian humaniora
dan ilmu-ilmu sosial, bahkan di Indonesia sudah banyak bukunya yang telah
diterjemahkan. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya
mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan
memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang
menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalime. Penyatuan ini
kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus
mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi.
Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang
baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial. Menurut Turner,
“metodologi teks” adalah tantangan yang menarik dan penting dari karya Said,
dengan alasan bahwa Said menggunakan metode “dekonstruksionime”
(deconstructionism), dan dia pun mampu menunjukkan bagaimana wacana-wacana,
nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan
dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said
dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok
intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner
sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis,
namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan
politik Palestina dan Timur Tengah.
Menurut Turner, yang disayangkan dari Said adalah kritik-kritiknya terasa lemah
bagi orientalisme Jerman dan Inggris. Hal ini pernah dikritik V.G. Kiernan, dalam
bukunya Lords of Human Kind (1972). Kritik lain Turner terhadap Said adalah
berkaitan dengan masalah hubungan Michel Foucault dan politik. Tulisan Foucault
tentang psikiatri di Soviet dan analisisnya tentang tradisi hukuman di Perancis
memungkinkan orang untuk beralih dari pemikiran analitis kepada sebuah posisi
politis. Dalam hal ini terasa sulit untuk menghubungkan antara sikap politik Said
terhadap Palestina dengan posisi epistemologi bukunya, Orientalism (hal. 34). Said,
seperti dalam bukunya, Covering Islam, mengadopsi pemikiran “epistemologi
realis”, yang menghubungkan anpengetahuan dan sikap politik yang merupakan
buah dari pemikirannya.
Said memang berbeda dengan Foucault, dan terjadi ambivalensi antara kritik yang
radikal dan Faucaudian terhadap representasi dan pendirian humanistik, yang
sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan karya Faucault sendiri. Said berpendirian
bahwa dirinya, karena dorongan rasa kemanusiaan, ingin membela sebuah kasus
demi orang-orang yang dicabut hak miliknya oleh wacana-wacana kolonialis.
Padahal penilaian Foucault terhadap cita-cita abad pencerahan adalah untuk
menciptakan pengetahuan pokok tentang kebenaran yang obyektif dan
menghalangi kemungkinan wacana universal yang mampu menggulingkan
kekuatan opresif. Penggunaan metode Foucault menyebabkan Said tidak
memungkinkan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan kolonialis, karena
Foucault tidak berangkat dari epistemologi, tapi menganalisis arkeologi sebuah
pengetahuan secara kritis dan obyektif.
Yang ingin ditantang oleh Foucault adalah klaim pengetahuan yang absolut dan
bisa diterapkan secara universal sebagai landasan aksi politik seutuhnya, dan ini
terjadi pada Said. Ambivalensi dalam karya Said telah dianggap oleh sejumlah
peresensi buku Orientalism dalam kalangan post-strukturalis sebagai sebuah
gerakan catechrestic yang telah menggoncangkan bangunan-bangunan rezim
pengetahuan kolonial dan neo-kolonial. Yang melatarbelakangi aksi praksis Said
adalah karena pembentukan persepsi Barat terhadap bangsa Arab dan Islam
menjadi masalah yang sangat politis dan keras. Pertama, sejarah prasangka anti-
Arab atau anti-Islam yang populer di kalangan akademik dan pengambil kebijakan
Barat, yang sangat tercermin dalam sejarah orientalisme. Kedua, pergulatan antara
orang-orang Arab dan Zionisme Israel, dan pengaruh terhadap penduduk-penduduk
Yahudi Amerika maupun terhadap budaya liberal dan penduduk pada umumnya.
Orang Arab menjadi dirugikan karena stereotip negatif yang melekat padanya.
Ketiga, tidak adanya posisi budaya yang memungkinkan Arab untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan baik karena Timur Tengah kini telah begitu
diidentikkan dengan politik negara-negara adikuasa, ekonomi minyak, dan
perbedaan antara Israel yang dianggap demokratis dan cinta damai dan orang-
orang Arab yang biadab, totaliter dan teroris. Dan berdasarkan pengalaman yang
dialami Said, ditambah dengan analisanya yang tajam terhadap kerancuan-
kerancuan orientalisme, kemudian hal ini mendorong dia untuk berjuang melawan
kolonialisme Barat --bahkan menjadi tokoh garis depan.
Kritik lain yang dikemukakan Turner terhadap pendekatan sejarah Said adalah
konsentrasinya terhadap “tekstualitas” dan “tektualisme”. Tekstualisme
menyebabkan solipsisme—yaitu teori yang mengatakan bahwa satu-satunya
pengetahuan yang mungkin adalah pengetahuan diri sendiri-- buta yang tidak
dapat membedakan mana tulisan yang bersifat rekaan dan mana yang memang
sebuah rekaman atas kenyataan sosial nyata (hal. 35). Turner juga mengkaitkan
pemikiran Said antara fasisisme dan dekonstruksionisme. Di samping melandaskan
konsepnya pada Foucault, Said juga mengadopsi pemikiran Heidegger, khususnya
kritik filsafat metafisiknya, yang memiliki kaitan erat dengan fasisme (hal.36).
Dalam buku yang kita bedah ini, sebenarnya Turner juga melancarkan kritiknya
terhadap gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, dengan mengajukan sebuah
pertanyaan penting : apakah klaim fundamentalis terhadap islamisasi pengetahuan
bersifat modernis atau anti-modernis? (hal 37). Jika, jawabannya adalah anti-
modernis, maka apakah mungkin melakukan islamisasi pengetahuan tanpa
menggunakan perangkat teknologi yang telah lama diproduksi oleh Barat, dan di
dalamnya tentu memuat nilai-nilai Barat yang mesti diadopsi pula. Sebaliknya,
apabila bersifat modernis maka sesungguhnya gerakan islamisasi pengetahuan
berbeda dengan gerakan oksidentalisme. Hassan Hanafi, penulis buku Muqaddimah
fi Ilm al-Istighrab (Oksidentalisme), menyatakan bahwa dalam oksidentalisme yang
menjadi persoalan adalah problem identitas. Perlu ada penegasan identitas,
penegasan eksistensi ego (Islam, Timur) dalam menghadapi the other (Barat), dan
penegasan orisionalitas dalam menghadap modernisasi dan alienasi yag terkait
dengan westernisasi, yang menjadi media bagi perlawanan dan perubahan. Apakah
islamisasi pengetahuan berupaya untuk meneguhkan identitas? Jika iya, bagaimana
mungkin melepaskan secara penuh dari pengaruh-pengaruh Barat?
Kajian mengenai orientalisme tidak terlepas dari wacana hubungan Islam dan Barat.
Umumnya, dipahami bahwa kalangan orientalis (yang dianggap pihak Barat)
memahami Timur (mayoritas adalah Islam) sebagai suatu pemahaman dan analisa
yang tidak berimbang, cenderung menyudutkan pihak yang kedua. Dalam buku ini,
Turner mencoba menjelaskan di mana letak ambiguisitas antara keduanya (Islam
dan Barat), mana yang menjadi persamaan dan perbedaannya. Kita pernah
diguncangkan oleh bukunya Samul Huntington, yang berjudul The Clash of
Civilization and the Remaking of world Order. Buku ini menjelaskan bagaimana
Barat dan non-Barat (Timur) adalah dua wilayah yang saling berbenturan. Menurut
Huntington, pasca runtuhnya Komunisme maka Islam memiliki peluang untuk
berbenturan dengan Barat. Konflik yang terjadi lebih pada kebudayaan yang
berbeda antar keduanya. Lebih lanjut Huntington menyatakan :
“Dalam dunia baru tersebut, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan
sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial,
antara golongan kaya dengan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok
(kekuatan) ekonomi lainnya, tapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-
entitas budaya yang berbeda-beda”.
Sebenarnya, apa yang membedakan antara Barat (West) dan Timur (East)?
Keduanya merupakan konsep yang tidak jelas dan sering terjadi pertukaran makna.
Orientalisme berhak kita “gugat” karena meta-wacana ini telah menyebabkan
pembedaan yang sangat timpang antara Timur dan Barat. Sejak dibukanya
sejumlah jabatan untuk mengembangkan pemahaman tentang bahasa-bahasa dan
kebudayaan Timur oleh Dewan Gereja Wina (Church Council of Vienna), istilah
orientalisme muncul. Orang sering menganggap Islam itu identik dengan Timur.
Dalam sosiologi Weberian, fakta Islam yang direkam adalah monotheistik, profetik,
dan asketik. Berbeda dengan Islam, asketisme Protestan secara khusus memainkan
peran yang sangat penting bagi pertumbuhan rasionalitas Barat. Bagi Weber,
masyarakat Timur digambarkan secara sederhana sebagai masyarakat yang tidak
memiliki unsur-unsur positif rasionalitas Barat. Masyarakat Timur didefinisikan
sebagai sebuah sistem ketiadaan --tidak ada kota, tidak ada kelas menengah, tidak
ada lembaga-lembaga perkotaan yang otonom, dan tidak ada hak milik (hal 101).
Ada sebuah paradoks membuat perbedaan antara Islam dan Barat. Turner
mengklaim bahwa Islam memiliki ikatan keagamaan yang kuat dengan Yahudi dan
Kristen, tidak seperti Hinduisme dan Konfusianisme. “Mengkategorikan Islam
dengan Timur (oriental religion) akan meinmbulkan kesulitan-kesulitan besar dalam
wacana orientalis”, kata Turner. Islam meberikan sumbangan kultural yang
berharga bagi Barat dan menjadi kebudayaan dominan di beberapa masyarakat
Mediteranian. Menurut Turner, Islam tidak selamanya Timur, Kristen pun
sebenarnya tidak bisa dikategorikan begitu saja sebagai agama Barat. Apa alasan
Turner? Ia melihatnya secara geografis dan kultural bahwa Kristen, sebagai
kepercayaan Smitik yang berakar pada agama Abrahamik, bisa dipandang sebagai
agama Timur. Sementara Islam yang menjadi bagian penting dari kebudayaan
Spanyol, Sisilia, dan Eropa Timur, sebaliknya dapat dipandang sebagai agama Barat
(hal 66). Jadi, pengertian Barat-Islam terasa ambigu sekali. Hal ini disebabkan
karena wacana orientalisme yang membuat jurang pembedaan yang besat antara
keduanya. Dan juga disebabkan karena analisa Weber yang menyebut Timur serba
keterblakangan dan Barat serba rasional, bisa mengarah pada universalitas
pandangan orientalis, dengan pijakan rasionalisme instrumentalnya.
Turner juga mencatat tentang problematika orientalisme yang menganggap
ketiadaan masyarakat sipil (civil society) pada Islam, dan lemahnya kebudayaan
borjuis dalam kaitannya dengan keterbelakangan ekonomi, namun juga dengan
despotisme politik (hal 82). Dalam ungkapan yang sederhana, konsep “masyarakat
sipil” selama ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran bahwa Timur
sesungguhnya adalah negara, bukan masyarakat. Konsep dalam masyarakat sipil
mengandung pengertian bahwa individualitas dan hak-hak individu menjadi
penyeimbang bagi kekuasaan despotisme mayoritas, yaitu asosiasi-asosiasi
sukarela (masyarakat sipil itu sendiri) yang kuat yang menjaga individu dari kontrol
mayoritas dan memelihara keanekaragaman kepentingan dan kebudayaan.
Menurut Turner, pandangan orientalis yang menganggap tidak adanya masyarakat
sipil dalam Islam sesungguhnya merupakan refleksi dari kegelisahan-kegelisahan
politik yang mendasar tentang kondisi kebabasan politik di Barat (hal 90). Turner
kembali menegaskan bahwa persoalan orientalisme sesungguhnya bukan persoalan
Timur, melainkan persoalan masyarakat Barat sendiri. Kata Turner, “despotisme
Timur sesungguhnya hanyalah penulisan ulang besar-besaran tentang monarkhi
Barat”, yang pendangannya “dilempar” ke dalam Islam. Entah, apa sebenarnya
penjelasan kritis Turner mengenai hal ini.
Sebagai catatan akhir untuk mengakhiri tulisan ini, dapat penulis kemukakan bahwa
sudah saatnya sosiologi menjadi sebuah kajian yang terbuka bagi keseragaman
pandangan dalam menilai masyarakat-masyarakat, baik di Timur maupun Barat. Di
zaman postmodern ini maka kajian mengenai sebuah persoalan, misalnya tentang
orientalisme, tidak bisa lagi dianggap sebagai sebuah pengamatan yang final,
universal, dan menjadi satu-satunya kebenaran. Dalam buku ini Turner mengajukan
sebuah pandaagan sosiologi yang multi-paradigmatik, hampir mirip dengan
gagasannya George Ritzer yang menulis buku Sociology : A Multiple Paradigm
Science (1980) --walaupun dalam buku ini Turner tidak menyebut satupun nama
Ritzer. Wacana orientalisme yang telah mengakar kuat pada masyarakat Barat
menjadi kajian sosiologi yang sangat hegemonik, dan kini layak untuk “dibongkar”
kembali untuk mebuat keseimbangan pandangan tentang Islam dan Barat yang
obyektif. Kemunculan oksidentalisme menjadi penting untuk dihadirkan.
Buku ini terasa sulit untuk dibaca secara lengkap dan tuntas karena kerumitan yang
suguhkan oleh Turner sendiri, di samping kurang halusnya bahasa terjemahannya.
Dengan keluasan wawasan dan literatur yang sangat dalam, Turner berupaya
mengkaji secara kritis beberapa pemikir ilmu-ilmu sosial modern dengan amat
komprehensif dan berimbang. Hanya saja, Turner kurang mampu membuat
tulisannya itu secara sistematis untuk membidik mana saja persoalan yang layak
dikritisi. Sikap kritisnya pun belum begitu mampu menjatuhkan analisa-analisa dari
obyek kritikannya. Tapi, dalam persoalan orientalisme, Turner cukup berhasil dalam
menghadirkan analisa Foucault dan Edward Said untuk “menghabisi” kerancuan-
kerancuan kalangan orientalis yang memahami Timur dan Islam secara tidak adil.
Apapun yang dilakukannya, buku ini adalah sebuah “karya agung” untuk
memunculkan bagi kajian sosiologi alternatif yang bisa mengajukan analisa-analisa
baru secara obyektif, plural, dan penuh keterbukaan.
Catatan:
Disampaikan pada diskusi rutin internal IIIT Indonesia pada Hari Senin, 10 Maret
2003.
Edward W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. iii,
hal. 2-3.
Ibid, hal.2-4.
Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Barat, terj. M. Najib
Buchori (Jakarta : Paramadina, 2000), hal. 20.
Samuel P. Huntington, Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia,
terj. M. Sadat Ismail (Yogyakarta : Qalam, 2000), hal. 9.
Lihat Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Paramadina, 1999), hal. 81.
Happy Susanto, lahir di Jakarta, 3 April 1980, tercatat sebagai mahasiswa akhir
Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Islam ’45 (UNISMA) Bekasi. Pernah
belajar Bahasa Arab (I’dad Lughawy) di Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab
(LIPIA) Jakarta (1998-2000). Kini aktif sebagai peneliti Bidang Sosiologi pada
International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia, Jakarta, dan menjadi Ketua
Bidang Komunikasi Umat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bekasi, dan
pengurus di Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta
Happy Susanto
Abstract
Berangkat dari gagasan awal Pak Kunto itulah penulis mencoba menariknya secara
lebih spesifik pada bidang sosiologi. Pak Kunto sendiri baru melontarkan gagasan
ISP-nya melalui sebuah artikel beruntun dalam Harian Republika pada tanggal 7-9
Agustus 1997, dengan judul “Menuju Ilmu Sosial Profetik”. Tapi, embrio dari wacana
ISP yang digagas Pak Kunto ini sebenarnya pernah mencuat lama sekali dalam buku
magnum opus-nya, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991). Yang menarik
dalam gagasan Pak Kunto adalah beliau memandang bahwa sesungguhnya
substansi ajaran universal agama (profetika --sebagai adjective dari agama) bisa
menjadi ilmiah dan dipakai sebagai pisau analisa dan paradigma keilmuan apabila
memulainya melalui proses “obyektivikasi” berserta ilmu-ilmu modern lainnya.
Dalam profetika terjadi --katakalah-- “melampaui teologi” (beyond theological) dan
bernuansa transformatif dalam ranah keilmuan yang obyektif, tidak lagi bernuansa
normatif, melulu persoalan teologis. Penamaan dengan “ilmu sosial” akan lebih
efektif dibandingkan dengan “teologi sosial”. Makanya, Pak Kunto tidak sepakat
dengan penamaan “Teologi Islam Transformatif”. Ia berbeda pendapat dengan
Dawam Rahardjo dan Moeslim Abdurrahman.
Apa sih yang digagas Pak Kunto melalui ISP-nya? Beliau memandang bahwa
paradigma yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial selama ini tidak efektif karena tidak
ada muatan transformatif keilmuannya. Sebuah ilmu (sosial) hanya bersikap diam
dan observatif ketika diperhadapkan dengan realitas obyek penelitiannya. Prinsip-
prinsip yang dibangun dalam paradigma Ilmu Sosial Profetik berangkat dari
penterjemahan secara ilmiah terhadap bunyi sebuah teks ayat Al-Qur’an, yang
berbunyi: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”
(Ali Imron, 3 : 110). Ada beberapa term filosofis yang terkandung pada ayat ini,
yaitu “masyarakat utama” (khairu ummah), “kesadaran sejarah” (ukhrijat linnas),
“liberasi” (amr ma’ruf), “emansipasi” (nahy munkar), dan “transendensi” (al-iman
billah). Adalah “keberanian” Pak Kunto yang telah mampu menterjemahkan
proposisi pada makna teks ayat disesuaikan dengan konteks keilmiahan.
Karya Weber dalam sosiologi agama bermula dari esai Etika Protestan dan
Semangat Kapitalisme dan berlanjut dengan analisis Agama Tiongkok:
Konfusianisme dan Taoisme, Agama India: Sosiologi Hindu dan Buddha, dan
Yudaisme Kuno. Karyanya tentang agama-agama lain terhenti oleh kematiannya
yang mendadak pada 1920, hingga ia tidak dapat melanjutkan penelitiannya
tentang Yudaisme Kuno dengan penelitian-penelitian tentang Mazmur, Kitab Yakub,
Yahudi Talmudi, Kekristenan dan Islam perdana.
Tiga tema utamanya adalah efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi,
hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama, dan pembedaan
karakteristik budaya Barat.
Esai Weber Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (Die protestantische Ethik
und der Geist des Kapitalismus) adalah karyanya yang paling terkenal. Dikatakan
bahwa tulisannya ini tidak boleh dipandang sebagai sebuah penelitian mendetail
terhadap Protestanisme, melainkan lebih sebagai perkenalan terhadap karya-karya
Weber selanjutnya, terutama penelitiannya tentang interaksi antara berbagai
gagasan agama dan perilaku ekonomi.
Dalam Etika Protestan dan Semangant Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa
etika dan pemikiran Puritan mempengaruhi perkembangan kapitalisme. Bakti
keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan duniawi,
termasuk pengejaran ekonomi. Mengapa hal ini tidak terjadi dalam Protestanisme?
Weber menjelaskan paradoks tersebut dalam esainya.
Frase "etika kerja" yang digunakan dalam komentar modern adalah turunan dari
"etika Protestan" yang dibahas oleh Weber. Istilah ini diambil ketika gagasan
tentang etika Protestan digeneralisasikan terhadap orang Jepang, orang Yahudi, dan
orang-orang non-Kristen.
Agama Tiongkok: Konfusianisme dan Taoisme adalah karya besar Weber yang
kedua dalam sosiologi agama. Weber memusatkan perhatian pada aspek-aspek dari
masyarakat Tiongkok yang berbeda dengan masyarakat Eropa Barat dan khususnya
dikontraskan dengan Puritanisme. Weber melontarkan pertanyaan, mengapa
kapitalisme tidak berkembang di tiongkok. Dalam Seratus Aliran Pemikiran Masa
Peperangan Antar-Negara, ia memusatkan pengkajiannya pada tahap awal sejarah
Tiongkok. Pada masa itu aliran-aliran pemikiran Tiongkok yang besar
(Konfusianisme dan Taoisme) mengemuka.
Pada tahun 200 SM, negara Tiongkok telah berkembang dari suatu federasi yang
kendur dari negara-negara feodal menjadi suatu kekaisaran yang bersatu dengan
pemerintahan Patrimonial, sebagaimana digambarkan dalam Masa Peperangan
Antar-Negara.
Seperti di Eropa, kota-kota di Tiongkok dibangun sebagai benteng atau tempat
tinggal para pemimpinnya, dan merupakan pusat perdagangan dan kerajinan.
Namun, mereka tidak pernah mendapatkan otonomi politik, dan para warganya
tidak mempunyai hak-hak politik khusus. Ini disebabkan oleh kekuatan ikatan-
ikatan kekerabatan, yang muncul dari keyakinan keagamaan terhadap roh-roh
leluhur. Selain itu, gilda-gilda saling bersaing memperebutkan perkenan Kaisar,
tidak pernah bersatu untuk memperjuangkan lebih banyak haknya. Karenanya, para
warga kota-kota di Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas status terpisah
seperti para warga kota Eropa.
Weber mencatat bahwa Yudaisme tidak hanya melahirkan agama Kristen dan Islam,
tetapi juga memainkan peranan penting dalam bangkitnya negara Barat modern,
karena pengaruhnya sama pentingnya dengan pengaruh yang diberikan oleh
budaya-budaya Helenistik dan Romawi.
Reinhard Bendix, yang meringkas Yudaisme Kuno, menulis bahwa "bebas dari
spekulasi magis dan esoterik, diabdikan kepada pengkajian hukum, gigih dalam
upaya melakukan apa yang benar di mata Tuhan dalam pengharapan akan masa
depan yang lebih baik, para nabi membangun sebuah agama iman yang
menempatkan kehidupan sehari-hari manusia di bawah kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan oleh hukum moral yang telah diberikan Tuhan. Dengan cara ini,
Yudaisme kuno ikut membentuk rasionalisme moral dari peradaban Barat."
[sunting] Referensi
Kaesler, Dirk (1989). Max Weber: An Introduction to His Life and Work. University of
Chicago Press. ISBN 0226425606
Richard Swedberg, Max Weber and the Idea of Economic Sociology. Princeton:
Princeton University Press. ISBN 069107013X
Radkau, Joachim (2005). Max Weber The most important Weber-biography on Max
Weber's life and torments since Marianne Weber.
pakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan hanya dunia
Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat.
Ahmad SahidahKandidat
Doktor Kajian Peradaban Islam dan Graduate Research Assistant di Universitas
Sains Malaysia
Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema
'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran
Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya
cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin
orientalisme.
Karya-karya penting
Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas'
dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat
tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang
berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa
jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium,
dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan
tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.
Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan
yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik
warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan
yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu
feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan
terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan
karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.
Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang
diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang
kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak
lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan
metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang
diciptakan 'penjajah'.
Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas
Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam
penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan
pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan
orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di
Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.
Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis
dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai
Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili
partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.
Pendahuluan
Pengalaman konflik antaragama yang sering dialami di persada nusantara ini, telah
mendorong pemerintah, tokoh agama, cendekiawan dan aneka LSM di Indonesia
untuk mencarikan solusi, baik secara preventif maupun kuratif. Acara bedah buku
karya KH Abdurrahman Wahid, yang diprakarsai oleh PADMA Indonesia dan The
Wahid Institute ini merupakan inisiatif positif untuk mensosialisasikan karya
monumental seorang Kiyai Intelektual dan Negarawan berwawasan kosmopolitan
itu, menghimpun para alim ulama dan cendekiawan, untuk bersama-sama
mendiagnosis situasi nasional dan umat masa kini yang ditandai oleh aneka bentuk
konflik bernuansa SARA. Selanjutnya, bersama-sama memprognosis masa depan
kehidupan bermasyarakat dan beragama yang lebih kondusif serta memungkinkan
kita membuat pilihan tepat dalam menata kehidupan yang aman, tentram dan
sejahtera (dkl maslahah ’ammah atau bonum commune).
Demi memperkaya telaah sosial, politik dan agama yang telah dirajut oleh Bapak
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam bukunya, serta menambah secercah sinar
pada makalah Pembahas Pertama (bpk Dr. M. Syafi’i Anwar), saya coba menyoroti
eksistensi agama dalam masyarakat dari perspektif teologis, sosiologis.dan
antropologis. Saya menawarkan sebuah judul sebagaimana tertera diatas, karena
kebanggaan akan profesi saya sebagai seorang pastor Katolik yang sambil
menekuni studi Islamologi dan Antropologi Agama-Agama, saya pun tetap setia
pada iman dan keyakinanku pada aspek teologis dari agama wahyu (Agama
Revelasi seperti Kristen dan Islam).
Pergumulan akademis seperti itu, tentu saja tidak menggiring aku kepada posisi
merelativisir ataupun mengabsolutir dimensi tertentu, tapi justeru membimbing aku
kepada sikap yang lebih seimbang dalam memahami dan menghayati kehidupan
keagamaan sebagai yang berdimensi wahyu (revelasi) dan yang berdimensi sosial
(masyarakat) dan budaya (kultural) sebagaimana juga dilakukan oleh Gus Dur.
Makalah ini dikemas dalam kerangka pikir sebagai berikut: pendahuluan, data
sosiologis agama-agama di dunia (internasional dan nasional). Lalu disusul dengan
pembahasan mengenai arti agama dan masyarakat, teori-teori sosiologi agama,
mosaik pemikiran toleran - inklusif dari KH Abdurrahman Wahid, dan beberapa
kesimpulan praktis untuk konteks kehidupan beragama dan bermasyarakat di
Indonesia.
Isue agama yang sering dipolitisasi seperti itu, sering berdampak pada munculnya
sikap-sikap emosional dan primordial. Di Bali, ribut-ribut RUU Pornografi,
mendorong tokoh dan organisasi di pulau Dewata itu melontarkan ide “merdeka
dari Indonesia.” Harian Komentar, sebuah suratkabar di Manado, menulis dalam
lembaran editorialnya bahwa kalau “daerah lain” bisa menjalankan syariat Islam
maka Minahasa seharusnya juga boleh “merdeka.”
Kristen : 33,00 %; Islam: 21,00 %; Hindu: 13,42 %; Buddha : 06,00 %; Tao : 06,00
%; Agama Asli: 06,00 %; Tak Beragama: 14,00 %; Yudaisme : 00,22 %; Sikh: 00,36
%.
Malahan implikasi teologis itu lebih jelas bila dipahami kata MA sebagai sinonim
dengan LA yang berarti TIDAK, dan yang ditautkan dengan SYARIKA
(mempersekutukan, membagi, berpartisipasi). Dalam Islam, term SYARIKA
senantiasa dihubungkan dengan ide teologis tidak mempersekutukan Allah Esa
(TAWHID) dengan dewa/i lainnya. Dalam arti itulah masyarakat mengandung
konsep persekutuan insan-insan rasional yang percaya akan Allah Esa. Masyarakat
adalah persekutuan insan-insan beragama. Karena itu, nilai-nilai keagamaan, nilai-
nilai iman harus dihayati dan diamalkan dalam kebersamaan. Agama dan nilai-
nilainya harus menjadi sumbangan bagi pembangunan masyarakat bangsa
umumnya dan pelestarian alam dan lingkungan hidup khususnya. Dengan kata lain,
agama itu berdampak sosial. 5
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta yang ternyata mempunyai beberapa
arti. Kelompok pertama mengatakan bahwa agama berasal dari a (tidak) dan gam
(kacau). Agama berarti tidak kacau. Pandangan kedua mengatakan bahwa a (tidak)
dan gam (pergi). Agama berarti tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.
Yang lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, karena agama
biasanya mempunyai Kitab Suci.
Secara terminologis agama juga didefinisikan sbb: Agama sebagai ad-Din: Din
dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, kata
din mengandung arti menguasai, mendudukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan.
Bila kata din dihubungkan dengan kata Allah jadi din Allah (agama dari Allah), din
Nabi (agama dari Nabi), dinul-ummah (agama yang diwajibkan agar umat manusia
memeluknya). Ad-Din juga berarti syariah, yakni nama bagi perarturan-peraturan
dan hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah selengkapnya (ataupun prinsip-
prinsip saja) dan diwajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakannya, yang
mengikat hubungan mereka dengan Allah dan sesamanya. Ad-Din juga berarti
millah, atau mengikat yakni mengikat dan memepersatukan segenap pemeluknya
dalam satu ikatan yang erat (ummat) dan juga dengan Allah mereka.
Agama juga didefinisi sebagai Religi: dari bahasa Latin (religio). Namun para pakar
masih berbeda pendapat tentang asal dan akar katanya yang asali serta artinya.
Diantara para penulis Romawi, Cicero yang berpendapat bahwa religion (religio)
berasal dari kata legare yang berarti mengambil (menjemput), mengumpulkan,
menghitung atau memperhatikan sebagai contoh, memperhatikan tanda-tanda
tentang suatu hubungandengan ketuhanan atau membaca alamat.6
Bertolak dari konsep literer itu, Emile Durkheim dari Perancis memberikan definisi
sbb: Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites (faith and
practices) related to sacred things, unites adherents in a single community known
as a church. 7 Dari definisi tersebut terungkaplah empat komponen berikut: (1).
Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. (2). Sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan, serta wujud dari alam gaib (supranatural). (3). Sistem
upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-
dewi atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. (4). Kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut
dan yang melakukan sistem upacara-upacara.
Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yang mencakup ibadat (rituals) dan
devosi, yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap penganut agama.
(bdk. Dalam Islam dan Katolik…… contoh konkrit)
Salah satu aliran sosiologi yang berbicara mengenai prospek agama-agama adalah
sosiologi fungsional. Aliran ini memandang agama sebagai realitas sosial, yaitu
suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai
“realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. 10
Aliran sosiologi modern sebagaimana dipelopori oleh E. Durkheim dan Max Weber,
menjadikan agama sebagai suatu yang sentral dalam teori sosial. Durkheim
memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat
menghasilkan dan mempertahankan kohesi sosialnya? Bagi Durkheim, agama
menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Agama merupakan
suatu sistem interpretasi-diri kolektif; agama adalah cara khas berpikir tentang
eksistensi kolektif.” 11 Dengan kata lain, agama adalah proyeksi masyarakat sendiri
dalam kesadaran manusiawi para anggotanya. Sejauh masyarakat masih ada dan
berlangsung, agama pun akan tetap lestari. Setiap masyarakat dalam proses
menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan ”kebaktian” pada
representasi-diri simboliknya, menegaskan dan meneguhkan perasaan dan gagasan
kolektifnya yang menciptakan kesatuan dan kepribadiannya.” 12
Selanjutnya bagi Peter Berger, agama merupakan langit-langit sakral (the Sacred
Canopy) yang terbentang di atas kerapuhan (vulnerabilitas) eksistensi manusia,
yang berpuncak pada kematian. Seperti Heidegger, Berger melihat kecemasan
manusia ketika menghadapi maut yang merupakan ciri ”eksistensialis”-nya.
Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. 17
Agama tidak hanya penting dalam proses konstruksi dunia manusiawi, tetapi juga
dalam proses melestarikannya. Agama secara historis merupakan alat legitimasi
institusí sosial paling efektif dengan memberikan status ontologis padanya, dengan
menempatkannya dalam suatu kerangka sacral dan kosmis. Ritus keagamaan pun
berfungsi meningkatkan terus menerus, lewat pengingatan kembali (perayaan) dan
legitimasi religius sehingga dapat berinteraksi dengan perbuatan manusia sehari-
hari. Untuk tujuan itu, setiap tradisi religius membutuhkan komunitas religius untuk
dapat mempertahankan kredibilitasnya: jemaah, ummat, sangha dan lain-lain. Pada
kesimpulannya Berger mengingatkan pengertian agama dalam uraiannya sebagai:
“the establishment through human activity, of an all embracing sacred order, that
is, of a sacred that will be capable of maintaining itself in the ever present face of
chaos”. 18
Toynbee dalam dialog dengan Ikeda sampai pada kesimpulan bahwa ”bangsa
manusia telah disatukan, secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh
penyebaran secara mondial peradaban modern. Masalah masa depan agama
muncul, karena semua agama yang ada sekarang terbukti tidak memuaskan.
Agama di masa depan tidak harus merupakan agama yang sama sekali baru. Hal ini
dapat merupakan versi baru dari agama lama. Tetapi bila agama lama harus
dihidupkan dalam suatu bentuk yang mampu menjawab kebutuhan baru bangsa
manusia, kiranya mungkin bahwa agama itu ditransformasikan sedemikian radikal
sehingga hampir tak dikenal lagi. 20 Toynbee mengharapkan bahwa agama yang
baru itu adalah agama yang memungkinkan bangsa manusia mengatasi kejahatan
yang paling mengerikan dan mengancam kelestarian bangsa manusia seperti
keserakahan, perang dan ketidakadilan sosial, lingkungan artifisial yang diciptakan
bangsa manusia lewat penerapan ilmu pada teknologi untuk memuaskan
keserakahan.
Melengkapi aneka pandangan para pakar sosiologi dan sejarahwan tersebut, Kiyai
dan Cendekiawan (c.q. KH Abdurrahman Wahid), tampil dengan wawasan religius
yang ”Kosmopolitan yang menyejarah (historis), kontekstual, plural dan inklusif
serta menawarkan kesejukan, kenyamanan dan kedamaian”. Mosaik pemikiran
religius yang kontekstual, toleran, plural dan inklusif itu terungkap baik secara
eksplisit maupun implisit dalam artikelnya berjudul ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM
KITA yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat 29 April 2003), yang sekaligus
menjadi judul bukunya ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA: Agama, Masyarakat,
Negara, Demokrasi (Wahid, 2006: 66-ss). 21
Dalam gaya bahasanya yang plastis, terkadang sarkastis dan heroik (pemberani)
mosaik ide brilian seputar ISLAM dalam tautannya dengan masyarakat, agama,
politik dan kebudayaan dikemasnya menjadi 7 (tujuh) bab sebagai berikut: Islam
dalam Diskursus Ideologi, Kultural dan Gerakan (Bab I), Islam Negara dan
Kepemimpinan Umat (Bab II), Islam Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Bab III), Islam
dan Ekonomi Kerakyatan (Bab IV), Islam Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya
(Bab V), Islam Tentang Kekerasan dan Terorisme (Bab VI), dan Islam Perdamaian
dan Masalah Internasional (Bab VII).
Pada penghujung pengembaraan intelektual dan imannya, Gus Dur sampai pada
suatu titik kesadaran akan watak kosmopolitannya, dengan pemikirannya yang
khas dan berbeda dari orang-orang lain. Itulah yang dinamakannya ISLAMKU.
Pengembaraan individualnya ini, baik secara geografis spasial sejak dari tahun
1950-an di Jombang, hingga tahun 1960-an di Mesir dan Baghdad, maupun secara
intelektual telah membuktikan kepiwaiannya untuk belajar tanpa kenal batas
waktu, 22 batas wilayah dan agama 23 serta ideologi, termasuk saling belajar dan
saling mengambil berbagai ideologi non-agama serta agama-agama lain (Wahid,
2006: 66).
Sikap demikian mengisyaratkan apa yang telah dicanangkan filsuf kondang Al-Kindi
(800 – 870M) dari Kufa (Arab) bahwa
”kita patut bersyukur kepada usaha atau jasa para filsuf yang telah berhasil
mengembangkan pengetahuan yang benar...... Sepantasnyalah kita tidak malu-
malu lagi untuk menerapkan suatu kebenaran (al-haqq) dalam kebijaksanaan legal
(istihsan), dan meyakini kebenaran itu darimana pun asalnya, sekalipun dari
bangsa-bangsa lain yang menjadi saingan kita”. 24
Penghargaan akan ISLAM ANDA Menjadi Buaian Toleransi dan Pengakuan Akan
Pluralitas
Gus Dur menyadari bahwa Islam sebagai agama Wahyu itu dihayati dalam konteks
pribadi, baik religius maupun sosial dan budaya yang unik. Fenomena Islam yang
demikianlah yang dinamakannya ISLAM ANDA, sebagai kebenaran religius yang
diperoleh atas dasar keyakinan, dan bukan pengalaman. Kadar penghormatan
terhadap Islam seperti ini ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya
sebagai keharusan dan kebenaran (Wahid, 2006: 67-68). Sebagai tokoh agama dan
negararawan, Gus Dur sangat menghargai penghayatan Islam sesamanya yang
lain, yang berbeda dari penghayatan Islam pribadinya. Sikap inilah yang bakal
menjadi buaian bagi toleransi dan pengakuan akan pluralitas Islam itu sendiri dan
pluralitas agama serta kepercayaan lainnya didalam masyarakat dunia dewasa ini.
Secara tegas dan explisit Gus Dur menyatakan bahwa dia menolak ’ide
pembentukan sebuah negara agama’ dan ’aneka bentuk terorisme atas nama
agama’. Menurut Gus Dur, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya suatu
sistem Islam. Hal itu berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara
Islam, baik karena tidak adanya pengaturan yang jelas dalam Quran tentang sistem
Islam itu (Wahid, 2006: 99), maupun karena Mukhtamar NU 1935 di Banjarmasin
menegaskan hal itu; tambahan pula karena ketika NU mendeklarasikan berdirinya
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak disebutkan bahwa partai itu adalah Partai
Islam, karena NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda
dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam
tasyis an-nushush al-muqaddasah atau politisasi terhadap teks keagamaan (Wahid,
2006: 5-7; 84; 100-102; 106 – 110; 307-308). 26
Bagi Gus Dur, agama Islam sebagai AGAMA KITA bukanlah sebuah agama politik
semata-mata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam itu
sangatlah kecil, yang terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Kalau hal
ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam
dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain, Islam lebih
mementingkan masyarakat adil dan makmur, masyarakat sejahtera. Islam menjadi
sarana kemasyarakatan, yang lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada
kaum miskin dan menderita (Wahid, 2006: 32 - 33). Oleh karena itu, penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM), keadilan dan Perdamaian Dunia menjadi opsinya yang
fundamental dari agama Islam.
Kesadaran akan fungsi agama Islam dan semua agama lainnya dalam penegakan
HAM, Keadilan dan Perdamaian Dunia juga ditegaskan oleh Gus Dur pada
kesempatan menjadi Keynote Speaker dalam sebuah konferensi mengenai Good
Governance and Global Ethics, di Paris pada Mei 2003. Perjuangan penegakan
hukum dan keadilan harus menjadi agenda utama dari semua agama dan
pemerintahan, teristimewa dalam zaman dimana korupsi, pelanggaran hukum,
peremehan nilai-nilai religius merajalela di dunia. Oleh karena itu, dialog terus
menerus tentang penegakan hukum dan keadilan, serta sharing spiritualitas baru
antara para tokoh dan pemeluk berbagai agama sangatlah bermanfaat (Wahid,
2006: 280 – 283; 355-359).
Tak dapat disangkal bahwa para kerabat yang beriman Muslim senantiasa
memandang agama Islam sebagai norma dan ideal. Sedangkan sebagai
cendekiawan, baik Muslim maupun non-Muslim bisa memandang Islam sebagai
suatu objek studi dan sasaran penelitian. Dalam kaitan dengan ‘norma’, suatu
distingsi jelas hendaknya dibuat antara Islam normatif dan Islam aktual. Islam
normatif adalah Islam ideal atau Islam yang dicita-citakan sebagaimana tersurat
dan tersirat dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah yang autentik, tetapi yang
belum tentu terwujud dalam tingkah laku sosial politik umat Islam sehari-hari.
Dalam Islam normatif itu termuat segala ketentuan, norma-norma dan nilai-nilai
yang diterima umat Islam sebagai perwujudan wahyu ilahi. Sedangkan Islam aktual
adalah Islam historis atau sejarah sebagaimana yang telah dipahami dan
diterjemahkan kedalam konteks sejarah oleh umat Islam dalam menjawabi aneka
tantangan yang kompleks dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budayanya. Di
dalam Islam aktual itulah tercakup aneka gerakan, praktik dan cita-cita yang ada
dalam masyarakat Islam di pelbagai zaman dan tempat, termasuk Indonesia.
Dari sudut pandangan ilmiah (akademis) dengan pendekatan kultural ini, kita tak
beralasan untuk mengatakan bahwa suatu masyarakat Islam tertentu dapat
mewakili Islam normatif ataupun Islam ideal lebih baik daripada masyarakat Islam
lainnya. Oleh karena itu, studi tentang ajaran (doktrin) Islam yang universal
hendaknya senantiasa dibarengi dengan usaha memahami aneka pola penghayatan
iman di pelbagai komunitas muslim lokal yang diharapkan mampu menjelaskan
pelbagai cita-cita dan praktik ke-Islaman yang beraneka ragam (pluralitas). 27
Gus Dur menyadari hal itu sehingga dia menandaskan bahwa kendati pun Islam
diterima sebagai kebenaran abadi yang bersifat universal dan berlaku di segala
tempat dan zaman, namun cita-cita dan praktiknya harus dipelajari sebagaimana
‘adanya’ pada tempat dan zaman yang berbeda-beda sesuai komunikasi kultural
timbal balik yang terjadi antara budaya Islam dengan budaya lokal dalam nuansa
akomodatif. Dengan demikian, studi kawasan Islam atau Islamic Area Studies
sangat dibutuhkan dan mendesak (Wahid, 2006: 22-23; 391). Sealur dengan
pandangan Gus Dur itulah, maka studi antropologi Islam sebagaimana dirintis oleh
Evans-Pritchard (1949), 28 Geertz (1960), 29 Siegel (1969), 30 Bowen (1993), 31
Heffner (1985), 32 Barnes (1995, 1996), 33 Tule (2004) 34 dan lain-lain merupakan
sumbangan besar demi memperkaya pemahaman agama Islam yang lebih
kontekstual dan kultural.
Kesimpulan
Masa depan agama-agama di dunia ini tidak lagi ditentukan hanya oleh wahyu
(revelasi) dan instrumen legitimasi (seperti institusionalisasi teologis) serta
fenomena sosial kwantitatif (minoritas-mayoritas) sebagaimana diwacanakan para
sosiolog dan teolog. Faktor lain yang perlu diperhitungkan juga ialah persepsi insan
beragama itu sendiri mengenai dirinya dalam proses sosio-kulturalnya: bagaimana
ia mendefenisikan dirinya, tugasnya dan sikap imannya terhadap perkembangan
situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi itu. Berbagai macam usaha
pembaharuan, reformulasi visi keagamaan dan berbagai gerakan reformasi agama-
agama termasuk apa yang dilakukan oleh para pakar Indonesia (semisal bapak KH
Abdurrahman Wahid) mempunyai pengaruh terhadap masa depan agama, baik
dalam tataran nasional maupun mondial.
Tendensi agama masa depan hendaknya lebih memberi tekanan pada orthopraksis
daripada orthodoksi. Praksis dalam arti perlunya selalu memuat refleksi atau kajian
yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas. Dalam rangka ini pula menjadi
penting peranan para pemikir agama, terutama para teolog (alim ulama) dan para
mahasiswa/i dari aneka agama di Indonesia. Budaya reflektif ini lebih mendesak lagi
dalam dunia dan masyarakat yang sedang mengalami perubahan pesat dan
mendalam dalam agama, yang sedang menghadapi tantangan ateisme, jahiliyah
modern, radikalisme atau fanatisme sempit. Maka dapat dikatakan bahwa masa
depan agama dan masyarakatnya dalam arti tertentu tergantung pada
pengembangan wawasan falsafah dan teologinya yang kontekstual. 35
Dalam konteks global setiap agama memiliki dimensi yang normatif-ideal, yang
sama dan konstan, namun selalu ada dimensi yang dinamis dan berubah. Penilaian
mengenai agama-agama harus ditempatkan dalam konteksnya yang spesifik, yang
riil dan partikular. Meskipun demikian, dari pengamatan sosiologis makro atau
mikro dapat ditunjuk faktor-faktor utama perubahan struktur dan perilaku agama
manusia zaman sekarang, antara lain :
Penghargaan akan nilai-nilai duniawi serta otonomi manusia dan nilai-nilai yang
berkaitan dengannya, seperti kemandirian, kebebasan, hak-hak asasi dan lain
sebagainya.
Pandangan yang ”pluralistik”. Ini berkaitan dengan semakin berkembangnya sarana
dan prasarana transportasi dan komunikasi, munculnya aneka stratifikasi sosial
sebagai akibat proses modernisasi.
Akhirnya kemampuan agama untuk memberikan makna pada hidup manusia dan
kemampuan untuk bersama-sama memecahkan masalah-masalah kemanusiaan
zaman sekarang dalam semangat CINTA SEJATI dan dengan SPIRITUALITAS BARU
akan merubah masa depan Indonesia. Setiap warganya yang beragama akan dapat
berkata: Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Tapi lebih lanjut setiap warga pun akan
dapat berkata dan lebih memahami apa artinya LAKUM DINUKUM WA LIYA DINI
(Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku).[]
tahun 2020.
Etika normative
Pertama, Etika Deskriptif;
Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku
manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu
yang bernilai.
Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai
dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi
dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan
penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap
orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang
memungkinkan manusia bertindak secara etis.
Etika membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang terjelma
dalam sikap dan perilaku kita yang sangat mewarnai dan menentukan
makna kehidupan kita.
Mengenai Saya
Herry Erlangga
Indonesia
Link
Google News
Prilaku Konsumen
Tutorial Blog
Wirsausaha
Posting Sebelumnya
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN FILSAFAT KOMUNIKASI
Evasi Komunikasi
Proses Komunikasi
Etika normatif
Etika normatif ialah satu cabang etika falsafah yang menyiasat persoalan
yang timbul apabila kita memikirkan mengenai soalan "bagaimana
seseorang patut bertindak, secara moral?" Etika normatif berbeza dengan
meta-etika kerana ia menyiasat piawaian bagi tindakan salah atau betul,
sedangkan meta-etika mengkaji erti bahasa moral dan metafizik fakta moral.
Etika normatif juga berbeza dari etika perihalan (descriptive ethics), yang
merupakan penyiasatan empirik berkenaan kepercayaan etika manusia.
Dengan kata lain, etika perihalan adalah berkenaan menentukan berapa
bahagian orang yang percaya membunuh sentiasa salah, sementara etika
normatif berkenaan sama ada ia adalah betul bagi memegang kepercayaan
sedemikian. Dengan itu, etika normatif kadang kala dikatakan bersifat
preskriptif, bukannya deskriptif. Bagaimanapun, pada versi tertentu
padangan meta-etika yang dipanggil realisme moral, fakta moral adalah
kedua-dua preskriptif dan deskriptif pada masa yang sama.
Menjelang abad ke-20, teori moral menjadi semakin rumit dan tidak lagi
hanya berkenaan betul atau salah, tetapi berminat dengan pelbagai jenis
status moral. Gaya ini mungkin bermula pada 1930 dengan W. D. Ross
dalam bukunya, The Right and the Good. Di sini Ross menegaskan bahawa
teori moral tidak boleh mengatakan secara umum sama ada sesuatu
tindakan adalah salah atau betul tetapi hanya sama ada ia cenderung
kepada betul atau salah menurut jenis tugas moral tertentu seperti
kebergantungan kedermawanan, kesetiaan, atau keadilan (dia
menggelarnya sebagai tugas prima facie separa betul). Selajutnya, ahli
falsafah telah mempersoalkan sama ada tugas prima facie juga boleh
dijelaskan pada tahap teori, dan sesetengah ahli falsafah mendesak agar
menjauhi dari membuat teori umum sama sekali, sementara yang lain
mempertahankan teori berdasarkan bahawa ia tidak perlu sempurna bagi
merangkumi kesedaran moral penting.
Mata etika
Saturday, January 2, 2010
2.0 FALSAFAH, ETIKA DAN HAK ASASI MANUSIA DI DALAM KERJA SOSIAL 2.1
FALSAFAH KERJA SOSIAL
Etika merupakan satu disiplin ilmu dan sains yang membicarakan apakah
baik dan buruk, salah dan benar serta apa yang dikehendaki dengan
tanggungjawab dan kewajipan. Bidang etika berperanan membahaskan
secara sistematik, seterusnya menyarankan dan dalam keadaan tertentu
mempertahankan konsep-konsep yang dibina tentang perlakuan baik dan
buruk. Etika merujuk kepada apa yang dilihat oleh manusia sama ada betul
mahupun salah. Ia boleh ditakrifkan sebagai suatu tatacara atau garis
panduan yang telah ditetapkan pada sesuatu unit. Etika begitu diutamakan
dalam sesebuah profesion seperti kerja sosial, kaunseling, guru, doktor,
peguam, polis dan sebagainya. Melalui prinsip etika yang ditekankan, tugas
dan tanggungjawab akan lebih mudah dipikul dan dilaksanakan. Etika amat
berkait rapat dengan falsafah kerja sosial dan nilai.
Etika juga merujuk kepada apa yang dilihat sebagai satu tindakan yang betul
atau salah. Etika boleh diketengahkan sebagai garis panduan yang perlu
diikuti bagi setiap individu dalam melakukan sesuatu tugasan. Di dalam
profesion kerja sosial, etika sentiasa dititikberatkan. Ia penting agar tidak
berlaku sebarang penyelewengan dan penyalahgunaan kuasa atau
kepentingan yang dimiliki pekerja sosial serta membantu dalam menjamin
keberkesanan tugas yang dilaksanakan dalam sebarang situasi yang
dihadapi sama ada mudah mahupun sukar. Sebagai contoh, dalam
menghadapi sesuatu kes, pekerja sosial tidak akan menentukan apa
masalah dan isu yang mereka ingin tumpukan, mereka tetap menghadapi
situasi tersebut walaupun rumit tetapi cuba untuk menyelesaikannya melalui
etika yang terdapat dalam kerja sosial.Pekerja sosial perlu bersedia untuk
melaksanakan proses menolong mikro, mezzo dan makro. Sekiranya pekerja
sosial sudah memegang sesuatu kes, pekerja sosial perlu melaksanakannya
dengan bersungguh dan mereka perlu bertanggungjawab terhadap etika
kerja sosial yang dipegang.
Terdapat tiga cabang asas dalam perbincangan etika iaitu etika mataetika,
etika normatif dan etika gunaan.Mataetika merujuk kepada dari mana
datangnya sumbersumber dan prinsip etika sebagai rujukan sama ada benar
atau salah. Etika normatif pula bersifat normal seperti yang diamalkan dalam
norma-norma masyarakat. Sesuatu tindakan itu sama ada diterima atau
tidak oleh masyarakat. Manakala etika gunaan merujuk kepada sesuatu
keadaan atau perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat
tertentu, namun etika gunaan sering menimbulkan kontroversi atau konflik
dalam membuat sesuatu keputusan.
Pelbagai tujuan etika yang terdapat dalam profesion kerja sosial, antaranya
pegangan etika memberi perlindungan kepada pekerja sosial sebagai
pemberi perkhidmatan dan klien sebagai penerima perkhidmatan. Etika juga
memastikan pekerja sosial mengutamakan tanggung jawab moral sekali gus
melindungi klien daripada ketidakfungsian. Etika dalam kerja sosial
merangkumi etika terhadap profesion, diri sendiri, rakan setugas, organisasi
serta klien yang meliputi individu, kumpulan dan komuniti.
2.3 HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi merupakan hak-hak yang semula jadi yang ada pada diri setiap
individu tanpa mengira sebarang perbezaan. Hak asasi manusia ini wujud
berasaskan tuntutan manusia dalam kehidupan mereka untuk membantu
manusia berkembang dan terus hidup. Berdasarkan kamus dewan, hak asasi
merupakan hak yang dasar seperti hak kebebasan dalam menyuarakan
pendapat, bergerak, hidup dan sebagainya. penghormatan kepada hak dan
maruah manusia merupakan asas kebebasan, adanya kebebasan maka
adanya hak asasi manusia. Apabila hak asasi seseorang individu itu dimiliki,
ianya boleh mendatangkan kepuasan dan ketenangan dalam dirinya.
Sekiranya ianya tidak dipenuhi, ianya boleh mendatangkan kemurungan,
kebuntuan dan perasaan merontaronta dalam dirinya. Walau bagaimanapun,
hak asasi ini mempunyai batas tersendiri yang perlu dipatuhi. Hak asasi
manusia dan kebebasan merupakan asas yang membenarkan setiap individu
untuk berkembang dan membangun serta menggunakan kualiti diri sebagai
manusia. Penafian tentang hak asasi manusia bukan sahaja sebagai satu
tragedi kepada manusia, malah mendatangkan ketidakselesaan terhadap
politik, ekonomi dan sosial. Sebagai contoh, keganasan mahupun konflik
dalam masyarakat yang meliputi rusuhan, mogok dan sebagainya. hak asasi
manusia bersifat universal dan dimiliki oleh semua orang tanpa diskriminasi.
Hak asasi manusia boleh difahamkan dari dua segi, iaitu dari segi
perundangan dan juga dari segi moral. Mengikut perundangan, hak asasi
manusia merupakan satu bentuk hak yang dinikmati oleh seorang
warganegara seperti apa yang telah termaktub dalam undang-undang
negara berkenaan. Contohnya, dalam perlembagaan Malaysia terdapat
penerangan mengenai hak asasi manusia yang terlindung di bawah
perlembagaan. Pencabulan hak kemanusiaan yang berkenaan, mungkin
akan membawa kepada tindakan undang-undang yang sewajarnya.
Pentakrifan hak asasi manusia dari segi undang-undang adalah berbeza
mengikut negara masing-masing. Dari satu segi moral, Hak Kemanusiaan
merupakan satu tanggapan moral yang didukung oleh anggota masyarakat.
Sehubungan dengan perkara ini, anggota masyarakat akan mengakui
wujudnya hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu. Maka
anggota-anggota masyarakat berkenaan akan cuba mengelakkan diri
daripada mencabuli hak masing-masing dengan penuh perasaan moral.
Pelbagai dokumen yang telah menggariskan hak asasi manusia di peringkat
antarabangsa, antaranya Hak Asasi Manusia Sejagat PBB 1948, Konvensyen
Antarabangsa Hak Politik dan Sivil (ICCPR) 1966, Konvensyen Antarabangsa
Hak-hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya (ICESCR) 1966 dan sebagainya.
Kesemua dokumen tersebut melindungi hak manusia daripada dicerobohi.
Sebagai contoh di dalam Hak Asasi Manusia Sejagat, Perkara 12
menerangkan, Tiada sesiapa pun yang boleh dikenakan kepada sebarang
gangguan sewenang-wenangnya terhadap keadaan peribadi, keluarga,
rumah tangga atau surat-menyuratnya, atau percerobohan ke atas maruah
dan nama baiknya. Setiap orang berhak kepada perlindungan undang-
undang terhadap gangguan atau percerobohan sedemikian. James W. Nickel
telah mengemukakan beberapa unsur hak, iaitu pemilik hak, ruang lingkup
penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga-tiga
unsur tersebut kemudiannya disatukan dalam satu dasar hak yang
kemudiannya menjelaskan hak sebagai satu unsur normatif yang ada pada
diri manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan.
Terdapat juga teori yang dikemukakan berkaitan hak asasi manusia iaitu
teori Mc Closkey yang menerangkan bahawa pemberian hak adalah untuk
dilakukan, dimiliki dan dinikmati atau sudah dilakukan. Oleh yang demikian,
adalah menjadi tanggungjawab pekerja sosial melaksanakan perkhidmatan
mereka dengan memperjuangkan hak asasi manusia. Sebagai mana yang
telah dinyatakan, dengan adanya hak asasi ini akan mampu untuk
membangunkan kefungsiaan dan kecekapan individu, kumpulan dan
komuniti dari pelbagai aspek.
Prinsip etika kedua ialah keadilan sosial (social justice). antara aspek yang
perlu diambil kira ialah keadilan dari segi perundangan, ekonomi dan sosial.
Keadilan sosial ini mungkin boleh menjadi suatu cabaran yang besar kepada
pekerja sosial kerana mereka terpaksa berhadapan dengan pelbagai situasi
yang bertentangan dengan ketidakadilan dalam pelbagai situasi. Pekerja
sosial seharusnya berusaha menegakkan keadilan dan bersikap adil.
Sekiranya individu, kumpulan mahupun komuniti menghadapi penindasan
atau penganiayaan, pekerja sosial perlu bangun untuk membantu yang
memerlukan dengan memberikan perlindungan dan menghubungkan klien
dengan sumber-sumber yang dapat membantu. Pekerja sosial juga perlu
memfokuskan isu yang menjadi ancaman keadilan sosial ini seperti isu
gender, ras, budaya, agama, diskriminasi, kemiskinan dan sebagainya. oleh
itu, pekerja sosial seharusnya sentiasa bersedia dengan ilmu pengetahuan
yang banyak tentang pelbagai isu di dalam keadilan sosial. Pekerja sosial
perlu mengetengahkan isu klien dalam menyuarakan ketidakadilan sosial
yang berlaku kerana ia termaktub di dalam hak asasi manusia yang dimiliki
oleh setiap orang.
Prinsip etika ketiga ialah menghormati maruah dan harga diri individu
(dignity and worth of the person). Pekerja sosial perlu menerima klien
seadanya, menerima dan merawat klien dengan penuh kemanusiaan dan
pertimbangan serta memperjuangkan maruah dan harga diri klien. Sikap
prejudis dan menghakimi klien harus dielakkan. Semua manusia mempunyai
maruah dan harga diri, pandangan dan keputusan yang dibuat adalah hak
mereka dan ia perlu dihormati. Pekerja sosial perlu menganggap proses
menolong klien sebagai misi utama yang perlu dititikberatkan dan bernilai.
Permasalahan dan hak mereka perlu diselesaikan tanpa mengira siapa pun
diri klien kerana setiap klien mempunyai maruah dan hak tanpa mengira
pangkat, usia, etnik, warna kulit mahupun gender.
Prinsip etika yang kelima dalam kerja sosial ialah kejujuran dan integriti
(integrity). Prinsip ini menekankan kepada sikap jujur dan amanah pekerja
sosial dalam melaksanakan proses menolong. Pekerja sosial secara terus-
menerus perlu menyedari tentang misi profesion, nilai, prinsip etika,
piawaian etika dan praktis profesion dalam cara yang bersesuaian dengan
mereka. Pekerja sosial jua perlu sentiasa bertindak jujur dan mengamalkan
etika sebagaimana yang telah digariskan. Klien perlu diberikan maklumat
yang betul sebagaimana yang sepatutnya tanpa melakukan sebarang
penyelewengan agar klien dapat membangun dan mengalami perubahan
yang positif berdasarkan suber-sumber yang diberikan.
Prinsip etika yang keenam dan terakhir dalam kerja sosial ialah kecekapan
(competence). Kecekapan yang dimaksudkan adalah kecekapan dalam
melaksanakan tanggungjawab yang dipegang.
4.0 PENUTUP
RUJUKAN Clark, C. L., & Asquith, S. Social work and social philosophy: A guide
for practice. Routledge & Kegan Paul: London. Robinson, W., & Reeser, L.C.
(2000). Ethical decision making in social work: London.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Falsafah
http://ms.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia http://www.dbp.gov.my
http://www.ifsw.org http://www.socialworkers.org
Home
Subscribe to: Posts (Atom)