Professional Documents
Culture Documents
a. Perkembangan fisik
Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat
mengagumkan. Semua organ ini terbentuk pada periode pranatal (dalam kandungan).
Berkaitan dengan perkembangan fisik ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956)
mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1)
Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2)
Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3)
Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti
pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang
sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi
tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf
perkembangan selanjutnya, normlitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan
masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangannya
fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
2. Perkembangan fisiologi
Perkembangan fisiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara
kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi
otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjcar dan pencernaan.
Aspek fisiologi yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain).
Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan fungsi
kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf
tersebut, rata-rata memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf
yang lainnya. Neuron ini terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi
sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.
Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang
bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa
kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis
keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang
lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja
(working).
Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku
psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dan yang sederhana kepada
yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang
halus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada
berbagai bentuk gerakan bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat
dengan aturan-aturan tertentu yang ketat.
Pada usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan
yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-
aturan yang ketat.
Pada usia remaja kegiatan motorik sudah tertuju kepada persiapan-persiapan kerja,
keterampilan-keterampilan menulis, mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat
saatnya mulai dikembangkan.
a. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa
merupakan anugerah dari Allah Swt, yang dengannya manusia dapat mengenal atau
memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan
dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya.
Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan
pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk
pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.
Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat
menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak
tidak makan”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah
menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3) Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit,
pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur
karena sakit.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok
yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang
satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu
adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami
bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan
memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan
temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima
bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya
tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap
ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) command (perintah), request (permintaan)
dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
2. Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak
yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal
atau di atas normal.).
4. Jenis kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam
vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita
menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi
dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang
mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti
mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.
Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak)
dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah
mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya.
Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih
belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain
ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin
dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti,
jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi
tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya.
Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan
aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak
adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean
Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980,
mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan.
1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2
tahun.
2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun.
3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun
4. Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
11-15 tahun (Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-
langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau
menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap
ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;
Terdapat hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif.
Taraf-taraf penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada
tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa
merupakan sarana dan alat yang strategis bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.
(b) Puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir
(sekitar usia dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50
tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya
berangsur menurun (deklinasi).
(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis
kecakapan khusus tertentu.
Piaget membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan
utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-
beda.
(a) Sensorimotor period (0,0 - 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik
(dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi
intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan
tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian,
pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku kognitif tampak antara lain:
(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya
berubah.
(b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialah
preconceptual (2,0-4,0) dan intuitive (4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai
dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu
yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi
pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain
memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Perilaku kognitif yang
tampak antara lain:
(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria
tertentu;
(4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua
benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
Tiga kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah:
rnengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode mi anak mulai
pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada
periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkret.
(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek
yang beragam.
Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah
Jerome Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke
dalam tiga periode ialah:
(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami
lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget;
(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan
(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational peniode dan
Piaget.
Dari telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi
kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat penting bagi
pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage
& Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk
melaksanakan hal-hal berikut:
Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon),
kata Plato.
Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan
lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis,
bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi
manusia biasa).
Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah
pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang
diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut
sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958) menjelaskan
lebih lanjut bahwa sosialisasi itu merupakan suatu proses di mana individu (terutama
anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama
tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan
bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-
kulturalnya.
b. Perkembangan Moralitas
1. Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat
peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip
moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak
orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras
dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
kembali pada waktu lain.
b. Sikap orangtua dalarn keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses
peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan
sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap
masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan
kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh
orangtua adalah sikap kasih sayang keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan
konsisten
Orang tua merupakan panut (teladah) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius
(agamis) dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai
agama kepada anak, maka anak akan mengalami Perkembangan moral yang baik.
Orang yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur,
maka mereka harus menjauhka dirinya dan Perilaku berbohong atau tidak jujur.
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut.
3. Proses coba-coba (trial & error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku
moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau
penghargaan akan terus .di kembangkan, sementara tingkah laku yang
mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.
(a) Pertama. Masa kanak-kanak (sampai usia tujuh tahun) yang ditandai, antara lain
oleh:
(b) Kedua. Masa anak sekolah (7-8 sampai 11-12 tahun), yang ditandai, antara lain,
oleh:
(c) Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan,
ialah:
(a) sikap kembali, pada umumnya, ke arab positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidup nya menjelang
dewasa;
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks agama yang
dianut dan dipilihnya;
Para ahli (Zakiah, Starbuch, dan lain-lain) juga sependapat bahwa meskipun tahapan
proses perkembangan seperti di atas merupakan gej ala yang universal, namun
terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun pada tingkat kelompok
(keluarga, daerah, aliran, paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat
penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan mi (Zakiah Daradjat, 1970:4-102).
Fungsi konatif atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku manusia yang
bersumber terutama pada kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs). Jenis-jenis
kebutuhan manusia itu berkembang mulai dari sifat yang alami (misalnya, kebutuhan
dasar biologis) sampai kepada yang bersifat dipelajari sebagai pengalaman interaksi
dengan lingkungannya.
Di dalam kenyataan yang berkembang itu bukanlah jenis motif atau kebutuhan,
melainkan beberapa sifatnya, misalnya objek dan caranya, itensitasnya, dan sebagainya.
Emosi itu dapat didefinisikan sebagai suatu suasana yang kompleks ( a complex feeling
state) dan getaran jiwa (a strid up state) yang menyertai atau muncul sebelum /sesudah
terjadinya perilaku.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga variabel,
yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan
fisiologis, yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan pola
sambutan ekspresi atau terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
1. Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan
berpikir.
Emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan emosi
kejiwaan (psikis).
a. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dan luar terhadap
tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
1) Perasaan Intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan ruang lingkup
kebenaran.
2) Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan orang lain,
baik bersifat perorangan maupun kelompok.
3) Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai balk dan
buruk atau etika moral.
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan keindahan
dan sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
c. Perkembangan Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tamj
alamrnelakukan penyesuaian dirinya terhadap ling \kungan secara unik” Keunikan
penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri,
yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika pen laku, konsisten atau
teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang
bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan
lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
d. Teman sebaya (peer group). Setelah masuk sekolah, anak mulai bergaul dengan
teman sebayanya dan menjadi anggota dan kelompoknya. Pada saat inilah dia
mulai mengalihkan perhatiannya untuk mengembangkan sifat-sifat atau perilaku
yang cocok atau dikagumi oleh teman-temannya, walaupun mungkin tidak sesuai
dengan harapan orangtuanya. Melalui hubungan ini terpersonal dengan teman
sebaya, anak belajar menilai dirinya sendiri dan kedudukannya dalam kelompok.
Bagi anak yang kurang mendapat kasih sayang dan bimbingan keagamaan atau
etika dan orangtuanya, biasanya kurang memiliki kemampuan selektif dalam
memilih teman dan mudah sekali terpengaruh oleh sifat dan perilaku
kelompoknya.
3. Perubahan Keprbadian
c. Faktor dari dalam individu itu sendiri, seperti: tekanan emosional identifikasi
terhadap orang lain, dan imitasi.
4. Karakteristik Kepribadian
E.B. Hurlock (1986) mengemukakan bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian
yang sehat (healthy personality) ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
e. Kemandirian (autonomi).
g. Berorientasi tujuan.
h. Berorientasi keluar.
i. Penerimaan sosial.
k. Berbahagia