You are on page 1of 4

Etika Administrasi Negara

Etika Administrasi Negara

1.1  Beberapa Definisi


  Etika, dari bahasa Yunani ethos, artinya: kebiasaan atau watak
  Moral, dari bahasa Latin mos (jamak: mores), artinya: cara hidup atau kebiasaan.
  Norma, dalam bahasa Latin, norma berarti penyiku atau pengukur, dalam bahasa Inggris,
norm, berarti aturan atau kaidah.
  Nilai, dalam bhs Inggris value, berarti konsep tentang baik dan buruk baik yang berkenaan
dengan proses (instrumental) atau hasil (terminal)
1.2  Definisi Etika Administrasi
  Ethics is the rules or standards governing, the moral conduct of the members of an
organization or management profession (Chandler & Plano, The Public Administration
Dictionary, 1982)
  Aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi anggota organisasi atau pekerjaan
manajemen
  Aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi administrator publik
dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat
1.3  Posisi Etika dalam Studi Administrasi
  Teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, Urwick) kurang memberi tempat
pada pilihan-pilihan moral (etika).
  Kebutuhan moral administrator hanyalah keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari
secara efisien.
  Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik tidak hanya harus efisien, tapi juga harus
dapat mendefinisikan kepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan
kebijakan atau tindakan secara bertanggungjawab.
1.4  4 aliran pemikiran etika
  Teori Empiris: etika diambil dari pengalaman dan dirumuskan sebagai kesepakatan
  Teori Rasional: manusia menentukan apa yang baik dan buruk berdasar penalaran atau
logika.
  Teori Intuitif: Manusia secara naluriah atau otomatis mampu membedakan hal yang baik dan
buruk.
  Teori Wahyu: Ketentuan baik dan buruk datang dari Yang Maha Kuasa.
1.4  Konteks Etika

1.5  Debat Herman Finer Vs. Carl Friedrich


  Finer (1936): Untuk menjamin birokrasi yang bertanggungjawab yang diperlukan adalah
penegakan sistem kontrol melalui undang-undang dan peraturan yang dapat mendisiplinkan
para pelanggar hukum.
  Friedrich (1940): Birokrasi yang bertanggungjawab hanya bisa ditegakkan dengan menyeleksi
orang yang benar dengan kriteria profesionalisme yang jelas, dan mensosialisasikannya ke
dalam nilai-nilai pelayanan publik.
1.6  Perilaku tidak etis di birokrasi pemerintah
  Bohong kepada publik
  Korupsi, kolusi, nepotisme
  Melanggar nilai-nilai publik: responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan lain-lain
  Melanggar sumpah jabatan
  Mengorbankan, mengabaikan, atau merugikan  kepentingan publik
1.7  Kenapa diperlukan peraturan etika?
  Untuk meredam kecenderungan kepentingan pribadi.
  Etika bersifat kompleks, dalam banyak kasus bersifat dilematis, karena itu diperlukan yang
bisa memberikan kepastian tentang mana yang benar dan salah, baik dan buruk.
  Penerapan peraturan etika dapat membuat perilaku etis menimbulkan efek reputasi.
  Organisasi publik sekarang banyak dicemooh karena kinerjanaya dinilai buruk, karena itu
perlu etika.
1.8  Kenapa perilaku tidak etis terjadi?
  Kecenderungan mengedepankan etika personal ketimbang etika yang lebih besar (sosial).
  Kecenderungan mengedepankan kepentingan diri sendiri
  Tekanan dari luar untuk berbuat tidak etis.
1.9  kajian etika administrasi
  Minimalisme moral yang berlangsung menyebabkan rendahnya kualitas "kebijakan" yang
diambil dalam tindakan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya, kebijakan kenaikan harga
BBM di tengah impitan hidup rakyat kecil menunjukkan rendahnya kualitas moral dari
kebijakan itu, disebabkan di dalam konsep "kebijakan" inheren muatan nilai-nilai moral
("bijak"), sehingga kebijakan yang tidak "bijak" sama artinya dengan kebijakan tak bermoral
minimalist morality.
  Julia Kristeva, dalam Black Sun: Depression and Melancholia (1989), melukiskan "manusia
minimalis" sebagai manusia yang terjatuh ke kondisi ketidakbermaknaan hidup atau
kehampaan eksistensi (the meaningless of Being), yaitu manusia yang terjerembab ke titik
nadir kehidupan, sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dibanggakan, yang
menjadikannya malu menghadapi realitas hidup sendiri
  Imoralitas bangsa, Ada kaitan erat antara "kualitas moral" dan "kualitas politik"
  Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1999), masyarakat yang kurang atau tidak memiliki
kesadaran dan kesepakatan tentang kebajikan moral (virtue) dan keadilan (justice), mesti
kurang atau tidak memiliki basis masyarakat politik, akan menjadi ancaman bagi masyarakat
1.10          Pertimbangan moral
  Dalam kerangka tugas fasilitasi, negara berkewajiban menciptakan basic social structure
(John Rawls, A Theory of Justice) demi menjamin kepentingan semua pihak. Artinya, negara
tidak berurusan langsung dengan kesejahteraan masing-masing individu, melainkan
menciptakan kebijakan publik yang memungkinkan setiap orang mendapat kesempatan yang
fair untuk memenuhi kepentingannya, termasuk kehidupan beragama. Dalam konteks ini,
negara berhak menerapkan UU atau kebijakan publik yang dipandangnya bermanfaat untuk
memelihara tertib sosial
1.11          Kasus-kasus dalam masyarakat
  Prita mulyasari vs RS Omni Internasional
  Kasus porong Sidoarjo
  Kasus poso
  Kasus GAM di NAD
  dll

You might also like