You are on page 1of 13

Istilah-istilah Teknik Mesin

Teknik Pendingin

Cara Kerja AC

Kompresor yang ada pada sistem pendingin dipergunakan sebagai alat untuk memampatkan
fluida kerja (refrigent), jadi refrigent yang masuk ke dalam kompresor dialirkan ke condenser
yang kemudian dimampatkan di kondenser.

Di bagian kondenser ini refrigent yang dimampatkan akan berubah fase dari refrigent fase uap
menjadi refrigent fase cair, maka refrigent mengeluarkan kalor yaitu kalor penguapan yang
terkandung di dalam refrigent. Adapun besarnya kalor yang dilepaskan oleh kondenser adalah
jumlahan dari energi kompresor yang diperlukan dan energi kalor yang diambil evaparator dari
substansi yang akan didinginkan.

Pada kondensor tekanan refrigent yang berada dalam pipa-pipa kondenser relatif jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan tekanan refrigent yang berada pada pipi-pipa evaporator.

Setelah refrigent lewat kondenser dan melepaskan kalor penguapan dari fase uap ke fase cair
maka refrigent dilewatkan melalui katup ekspansi, pada katup ekspansi ini refrigent tekanannya
diturunkan sehingga refrigent berubah kondisi dari fase cair ke fase uap yang kemudian dialirkan
ke evaporator, di dalam evaporator ini refrigent akan berubah keadaannya dari fase cair ke fase
uap, perubahan fase ini disebabkan karena tekanan refrigent dibuat sedemikian
rupa sehingga refrigent setelah melewati katup ekspansi dan melalui evaporator tekanannya
menjadi sangat turun.

Hal ini secara praktis dapat dilakukan dengan jalan diameter pipa yang ada dievaporator relatif
lebih besar jika dibandingkan dengan diameter pipa yang ada pada kondenser.

Dengan adanya perubahan kondisi refrigent dari fase cair ke fase uap maka untuk merubahnya
dari fase cair ke refrigent fase uap maka proses ini membutuhkan energi yaitu energi penguapan,
dalam hal ini energi yang dipergunakan adalah energi yang berada di dalam substansi yang akan
didinginkan.

Dengan diambilnya energi yang diambil dalam substansi yang akan didinginkan maka enthalpi
[*] substansi yang akan didinginkan akan menjadi turun, dengan turunnya enthalpi maka
temperatur dari substansi yang akan didinginkan akan menjadi turun. Proses ini akan berubah
terus-menerus sampai terjadi pendinginan yang sesuai dengan keinginan.

Dengan adanya mesin pendingin listrik ini maka untuk mendinginkan atau menurunkan
temperatur suatu substansi dapat dengan mudah dilakukan.
URAIAN SYSTEM
AC CENTRAL ALL WATER SYSTEM adalah suatu sistem AC dimana proses pendinginan
udara didalam suatu ruang tertutup diproses oleh FCU ( Fan Coil Unit ) yang ditempatkan pada
ruang yang didinginkan.

Air dingin yang dihasilkan oleh chiller didistribusikan ke FCU dengan menggunakan pipa yang
diisolasi, selanjutnya udara didalam ruangan dihembuskan melewati FCU sehingga menjadi
dingin dan selanjutnya udara dingin didistribusikan keruangan.

PERALATAN UTAMA & FUNGSI

1. CHILLER.
Adalah mesin refrigerasi yang berfungsi untuk mendinginkan air pada sisi evaporatornya. Air
dingin yang dihasilkan selanjutnya didistribusikan ke mesin penukar kalor ( FCU / Fan Coil Unit
).

Jenis chiller didasarkan pada jenis compressornya :


a. Reciprocating
b. Screw
c. Centrifugal

Jenis chiller didasarkan pada jenis cara pendinginan condensornya :


a. Air Cooler
b. Water Cooler

2. AHU.
Adalah suatu mesin penukar kalor, dimana udara panas dari ruangan dihembuskan melewati coil
pendingin didalam AHU sehingga menjadi udara dingin yang selanjutnya didistribusikan ke
ruangan.

3. COOLING TOWER ( khusus untuk chiller jenis Water Cooler ).


Adalah suatu mesin yang berfungsi untuk mendinginkan air yang dipakai pendinginan
condenssor chiller dengan cara melewat air panas pada filamen didalam cooling tower yang
dihembus oleh udara sekitar dengan blower yang suhunya lebih rendah.

4. POMPA SIRKULASI.
Ada dua jenis pompa sirkulasi, yaitu :
a. Pompa sirkulasi air dingin ( Chilled Water Pump ) berfungsi mensirkulasikan air dingin dari
Chiller ke Koil pendingin AHU / FCU.
b. Pompa Sirkulasi air pendingin ( Condenser Water Pump ).
Pompa ini hanya untuk Chiller jenis Water Cooled dan berfungsi untuk mensirkulasikan air
pendingin dari kondensor Chiller ke Cooling Tower dan seterusnya.
FUNGSI AWAL BUSI: Busi mempunyai 2 fungsi utama :

• Membakar campuran udara dan bensin


• Mentransfer panas dari hasil pembakaran sesudah ke sebelum

Busi mengalirkan energy listrik dan mengubah bahan bakar menjadi energy.
Asupan sumber listrik harus cukup dari sistem pengapian untuk memercikan listrik
antara gap busi (baca:katoda+anoda). Percikan tersebut disebut “Kinerja Pengapian
Busi”
Temperatur ujung busi harus terjaga pada suhu serendah mungkin untuk mencegah
“Pre-ignition”(biasa disebut:ngelitik) tapi setinggi mungkin untuk mencegah
“Fouling”(biasa disebut:miss ignite/fire) . Temperatur tersebut disebut “Kinerja Suhu
Busi”.
Perlu di ingat busi berkerja sebagai penukar panas dengan membuang panas
berlebih keluar dari ruang bakar dan mentransfer panas energy ke sistem pendingin
mesin. Kisaran panas dapat diukur melalui kemampuan busi untuk membuang
panas
Tingkat kemampuan busi mentransfer panas dapat dilihat melalui:
• Panjang insulator busi
• Volume gas sekitar insulator
• Bahan elektroda ( tip busi “iridium,platinum,chopper,dll”) dan insulator porselen
(kualitas bahan keramik)

Kisaran panas busi tidak berkaitan dengan aliran tegangan listrik dari coil menuju
busi. Tetapi, kisaran panas diukur melalui kemampuan busi untuk membuang panas
berlebih dari ruang bakar. Tingkat kisaran panas dipengaruhi oleh beberapa faktor;
- panjang insulator porselen dan kemampuannya untuk menyerap dan mentransfer
panas ruang bakar
- bahan insulator porselen dan bahan elektroda “iridium,platinum,chopper,dll”
PLTU – POWER PLANT

Slagging

Slagging adalah fenomena menempelnya partikel abu batubara baik yang berbentuk padat
maupun leburan, pada permukaan dinding penghantar panas yang terletak di zona gas
pembakaran suhu tinggi (high temperature combustion gas zone), sebagai akibat dari proses
pembakaran batubara. Terkait hal ini, persoalan penting yang perlu mendapat perhatian terutama
adalah dinding penghantar panas konveksi pada bagian outlet dari tungku (furnace), bila suhu
gasnya melebihi temperatur melunak abu (ash softening temperature).

Gambar 1. Penampang Boiler

Meskipun mekanisme menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas boiler
adalah rumit dan belum sepenuhnya dapat diterangkan, tapi secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:

Campuran mineral anorganik yang terdapat dalam abu batubara yang terdiri dari lempung (clay),
pyrite, calcite, dolomite, serta kuarsa (quarts), menerima panas radiasi yang kuat di dalam
tungku sampai akhirnya melebur. Saat abu yang melebur (molten ash) tadi bersentuhan dengan
permukaan pipa yang suhunya relatif lebih rendah, abu akan mengalami pendinginan sehingga
akhirnya menempel dan mengeras.

Ketebalan lapisan abu yang menempel ini biasanya tidak sampai pada tingkat yang mengganggu
performa dinding penghantar panas. Lagi pula, abu tadi dapat dihilangkan dengan penempatan
soot blower di dalam tungku secara tepat. Tetapi bila sebagian batubara yang dibakar tersebut
memiliki suhu lebur abu (AFT) relatif rendah dan berkadar lempung tinggi, maka abu yang
menempel akan membentuk lapisan dan lama – kelamaan akan berkembang. Jika hal ini
berlangsung terus, maka dapat menyebabkan turunnya kapasitas keluaran boiler akibat beberapa
masalah yang muncul, diantaranya adalah menurunnya penyerapan panas oleh tungku dan
tersumbatnya lubang (orifice) pada tungku.

Untuk slagging ini, karakteristiknya dapat dinilai dari suhu lebur abu (AFT) dan kondisi abu itu
sendiri. Suhu lebur abu yang rendah akan memudahkan terjadinya slagging. Kemudian, diketahui
pula bahwa bila rasio unsur alkali (Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O) terhadap unsur asam (SiO2,
Al2O3, TiO2) meninggi, potensi timbulnya slagging juga meningkat.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap slagging.

a. Metode evaluasi representatif.

Metode ini dikembangkan oleh perusahaan Babcock & Wilcox (B & W) yang merupakan
fabrikan boiler terkemuka dari Amerika.

Pada metode ini, penilaiannya akan berbeda sesuai dengan komposisi unsur pembentuk abu
sebagaimana ditampilkan di bawah ini.

• Abu tipe bituminus … CaO + MgO < Fe2O3.


• Abu tipe lignit … CaO + MgO > Fe2O3.

Abu tipe bituminus

Pada tipe ini, karakteristik slagging ditentukan berdasarkan perhitungan rasio unsur alkali
terhadap unsur asam, dengan kadar sulfur.

Rs (Slagging index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / SiO2 + Al2O3 + TiO2} X S

S adalah Total Sulfur (%) dalam DB.

Standar nilai

Potensi slagging Rs
Low 0.6<
Medium 0.6 ~ 2.0
High 2.0 ~ 2.6
Severe >2.6

Abu tipe lignit

Pada slagging, yang banyak berpengaruh adalah CaO yang merupakan unsur yang mudah
menempel di dinding penghantar panas, dan Na2O yang merupakan unsur yang menentukan
kekuatan ikatan abu yang menempel. Tipe lignit banyak mengandung kedua unsur tersebut. Dan
parameter untuk penilaian slagging pada tipe ini adalah suhu melebur abu saja.
Hampir semua lignit termasuk sebagian besar batubara sub-bituminus dievaluasi berdasarkan
perhitungan di bawah ini.

Rs (Slagging index) = {HT (Hemisphere Temp.) + 4 X IDT (Initial Deformation Temp.)} / 5

Meskipun suhu lebur abu dapat diukur dalam lingkungan oksidasi maupun reduksi., tetapi suhu
pada kondisi reduksi pada umumnya menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada
kondisi oksidasi (50 ~ 2000C). Hal ini terkadang dapat mempengaruhi hasil penilaian.

Standar nilai

Potensi slagging Rs (0C)


Low >1340
Medium 1340 ~ 1230
High 1230 ~ 1150
Severe 1150<

b. Rasio alkali dalam abu (base/acid ratio)

Rasio alkali dalam abu ditampilkan dalam persamaan berikut ini:

Rasio alkali dalam abu = unsur alkali / unsur asam = (Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) /
(SiO2 + Al2O3 + TiO2 )

Persamaan di atas menunjukkan rasio tingkat kemungkinan pembentukan low molten-salt oleh
unsur – unsur logam dalam abu (kecuali Si yang non logam) pada saat pembakaran batubara.

Bila rasio ini tinggi, maka oksida dengan titik lebur rendah dan senyawa alkali akan mudah
terbentuk, menyebabkan kecenderungan slagging juga meninggi. Untuk rentang nilainya,
meskipun sedikit banyak tergantung pula dari unsur – unsur yang lain (persentase dari Fe2O3 ,
CaO, SiO2, Al2O3, dan lain – lain), tapi hampir semua abu menunjukkan kecenderungan suhu
lebur abu yang rendah dan potensi slagging yang tinggi pada rasio 0.4 ~ 07.

Terkait hal ini, fabrikan boiler biasanya menentukan nilai rasio yang lebih rendah dari 0.4 ~ 0.5.

Standar nilai

Potensi slagging Rasio basa/asam


Low 0.4<
Medium atau >0.7
High
0.4 ~ 0.7
Severe

c. Total alkali (Na2O + K2O)


Na2O dan K2O akan membentuk senyawa dengan titik lebur rendah bila berikatan dengan unsur
yang lain. Meningkatnya kecenderungan slagging juga akan diikuti oleh meningkatnya
kecenderungan fouling, sesuai dengan kadar alkali dalam abu. Oleh karena itu, pembuat boiler
biasanya menentukan nilai total alkali kurang dari 5%, dengan angka ideal kurang dari 3%.

Yang perlu diperhatikan bahwa total alkali yang dimaksud disini bukan berarti jumlah dari
seluruh unsur alkali dalam abu. Meskipun salah kaprah, tapi penyebutan ini sudah menjadi
kelaziman. Hal ini karena istilah tersebut merujuk ke unsur alkali, terutama Na2O dan K2O yang
mudah membentuk senyawa dengan titik lebur rendah. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah
“total oksida logam alkali”.

d. Unsur lainnya.

Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi
kecenderungan slagging. Diantaranya adalah

- Rasio besi / kalsium (Fe2O3 / CaO)

Secara umum diketahui bahwa rasio antara 0.2 ~ 10 akan berpengaruh pada penurunan suhu
lebur abu, dengan rasio 0.3 ~ 3 menunjukkan gejala yang paling mencolok. Jadi,
kecenderungan slagging akan meninggi pada rentang nilai ini.

- Besi oksida (Fe2O3)

Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe2O3) maka suhu lebur akan turun
dan kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka kadar Fe2O3 diharapkan tidak
lebih dari 15%. Untuk desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%.

Disamping itu, kadar besi oksida yang banyak juga akan menyebabkan abunya berwarna
kemerahan.

Fouling

Fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas
(super heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan dimana suhu gas pada bagian
belakang furnace lebih rendah dibandingkan suhu melunak abu (ash softening temperature).

Unsur yang paling berpengaruh pada penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang
dalam hal ini adalah kadar Na2O.

Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar
Na2O yang tinggi, maka fouling akan mudah terjadi.

Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai berdasarkan rasio unsur
basa dan asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai – nilai tadi tinggi, maka secara umum
kecenderungan fouling juga meningkat.
Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui
pembentukan senyawa bersuhu lebur rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun
besi.

Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam – macam masalah seperti
penurunan suhu uap pada keluaran (outlet) super heater dan re-heater, serta menyempit dan
tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk menghilangkan abu ini dapat digunakan soot blower, sama
seperti penanganan pada slagging.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling.

a. Metode evaluasi representatif.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi kondisi


menempelnya abu adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan penilaian
fouling berdasarkan persamaan di bawah ini. Untuk pembagian tipe abu juga sama dengan untuk
slagging.

Abu tipe bituminus (CaO + MgO < Fe2O3)

Rf (Fouling index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 )} X
Na2O

Standar nilai

Potensi fouling Rf
Low 0.2<
Medium 0.2 ~ 0.5
High 0.5 ~ 1.0
Severe >1.0

Abu tipe lignit (CaO + MgO > Fe2O3)

Rf = kadar Na2O (%)

Standar nilai

Potensi fouling Rf
Low 1.2<
Medium 1.2 ~ 3.0
High 3.0 ~ 6.0
Severe >6.0

b. Unsur lainnya.
Selain cara – cara di atas, terdapat pula unsur – unsur lain yang juga mempengaruhi
kecenderungan fouling. Diantaranya adalah

- Na2O

Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali, terutama
Na. Seperti dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang abunya (baik
tipe lignit maupun bituminus) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1~2% (sebagian
fabrikan menunjuk angka lebih dari 2 ~ 4%) mengindikasikan memiliki kecenderungan fouling
yang tinggi.

Di Jepang, standar kualitas batubara uap untuk Na2O adalah 0.1%~3% untuk pembangkitan
listrik, dan maksimal 1.2% untuk industri semen.

Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang dari ini akan
menyebabkan turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan debu dengan
Electrostatic Precipitator suhu rendah yang banyak digunakan di Jepang).

Sedangkan untuk industri semen, standar angka (maksimal 1.2%) tadi bukan dimaksudkan untuk
menilai kecenderungan fouling, tapi untuk fenomena penurunan kualitas beton terpasang yang
disebut dengan alkali-aggregate reaction. Bila terdapat banyak Na2O dalam semen, maka akan
timbul alkali-aggregate reaction yang dapat menyebabkan tulang beton menjadi aus atau
mengembang, serta betonnya itu sendiri dapat mengembang dan retak.

Disamping Na, unsur lain di dalam semen yang juga dapat menyebabkan fenomena ini adalah K
(Kalium). Selain berasal dari abu batubara seperti halnya Na, Kalium juga ada yang terbawa dari
bahan baku semen.

Oleh karena itu, penilaiannya ditentukan oleh jumlah Na2O dan K2O di dalam semen, yang
nilainya diharapkan tidak lebih dari 0.6%. Sedangkan yang terdapat dalam abu batubara, standar
nilai yang ditetapkan adalah maksimal 1.2%.

Alasan mengapa angkanya sangat besar yaitu 1.2% adalah karena sedikitnya jumlah yang
terbawa dari batubara untuk proses kalsinasi di kiln (diperlukan 110~120 kg batubara untuk
produksi 1 ton semen). Selain itu, bila abu batubara diganti dengan lempung yang merupakan
bahan baku sekunder (diperlukan 280~300 kg untuk produksi 1 ton semen), kadar Na2O dan K2O
dapat diperoleh dalam jumlah yang sangat sedikit sesuai dengan rasio substitusi yang
diperhitungkan.

Bila jumlah Na2O dan K2O dikonversi ke dalam basis Na2O, maka perhitungannya adalah Na2O
+ 0.658 K2O. Disini, angka 0.658 adalah hasil bagi antara berat molekul Na2O (61.98) dengan
berat molekul K2O (94.20).

- CaO.
Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan fouling yang
tinggi pula. Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam abunya lebih
dari 15~20%.

Arti Kode Oli

Diposting oleh Nurwanto Sujarwo Jam 16:49 . 04 April 2010

Ketika kita akan mengganti oli mesin, tertulis dalam kemasan kode-kode yang telah ditentukan
oleh SAE. Kode-kode tersebut memiliki arti khususnya mewakili nilai kekentalan dan grade
yang cocok untuk applikasi pada kondisi operasi mesin tertentu. Pengertian tentang kode tsb.
akan membantu penentuan jenis oli yang akan dipakai, misalnya SAE 5W-30.

Jenis oli mesin ini sangat bervariasi dengan masing-masing memiliki kondisi penggunaan
optimum untuk operasional tertentu. Demikian juga ada beberapa lembaga yang bergerak dalam
penentuan grade oli ini yang bertugas mengatur klasifikasi oli, sehingga mudah untuk dimengerti
dan cocok untuk pemakaian di daerah tsb. Lembaga seperti ini misalnya API (America
Petroleum Institute), atau ILSAC (Internasional Lubricant Standardization and Approval
Committee) dsb. Salah satu standarisasi yang banyak dipakai adalah standarisasi SAE.

SAE 5W-30: Oli kelas ini ditujukan untuk pemakaian daerah dingin, mudah untuk cranking atau
proses starter engine. Oli ini juga didesign memiliki potensi untuk melindungi elemen mesin dari
wearing phenomena. Oli kelas ini cukup memiliki grade sekelas SJ atau SH yang ditentukan oleh
API, juga mencukupi untuk kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline engine Oils
Test.

SAE 5W-20: Oli Multigrade dengan proteksi starter pada suhu dingin, dan menunjang effisiensi
bahan bakar. Oli kelas ini cukup memiliki grade sekelas SJ atau SH yang ditentukan oleh API,
juga mencukupi untuk kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine Oils Test.
Karena sifat keencerannya, oli jenis ini tidak semestinya dipakai kecuali apabila ada
rekomendasi dari produsen mesin. Hal ini untuk menghindari wearing atau ausnya elemen mesin
yang tidak cukup terproteksi dengan kekentalan oli kelas ini.

SAE 10-30: Oli kelas ini memiliki kekentalan lebih pekat dari SAE 5W-30 untuk daerah dingin
serta tetap memiliki potensi untuk melindungi elemen mesin.

SAE 10W-40: Oli multigrade yang ditujukan untuk melindungi elemen mesin terhadap
perubahan suhu udara segala musim. Bisanya oli kelas ini juga cukup memenuhi kategori untuk
standarisasi SJ atau SH dari API, atau ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine Oils
Test.

SAE 20W-50: Oli multigrade dengan tujuan untuk perlindungan mesin terhadap wearing
phenomena, atau goresan terhadap elemen mesin. Didesign untuk pemakaian pada suhu mesin
yang tinggi. Memiliki kemampuan kuat untuk membuat lapisan oli pada permukaan elemen
mesin. Bisanya cukup memenuhi standarisasi dari kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode
Gasoline Engine Oils Test.

SAE 20w-50

Makna sesungguhnya : oli mesin yg masih mampu dipakai sampai kondisi suhu dingin -10 sd
-15 C (kode 20w) dan pd suhu 150 c dg tk.kekentalan tertentu .
Oli jenis ini relative kurang efisien dalm pemakain BBM namun sangat baik dlm perlindungan
/perawatan mesin, khususnya utk kondisi jalan di Jakarta yg sering macet, jarang berjalan jauh
,polusi dan beban berat. Pd kondisi ini dikenal dg istilah “boundary lubrication”, dimana pada
kondisi tsb. lapisan oli sangat tipis diantara celah mesin yg cenderung berpotensi terjadinya
kontak antara logam dg logam.
Oli jenis ini relative paling kecil nilai viskositas indeksnya (VI), diantara 3 jenis oli lainnya
(minimal utk.oli mineral/semi sintetis 120, utk. sintetis 145) . Semakin banyak aditiv viscosity
index improver ,semakin sensitif oli /kurang baik buat mesin motor -utamanya terhadap stress di
gear.
VI= ukuran kemampuan suatu oli mesin dalam menjaga kestabilan kekentalan oli mesin dalam
rentang suhu dingan sampai tinggi. Semakin tinggi VI semakin baik kestabilan kekentalannya.
Utk oli mobil, VI tinggi akan sangat baik dimesin.. Utk motor bisa sebaliknya.

SAE 15w-50

Makna sesungguhnya : oli mesin yg masih mampu dipakai sampai kondisi suhu dingin (minus)
-15 sd -20 C (kode 15w) dan suhu 150 c dg tk.kekentalan tertentu .
Jenis oli relative sama dg SAE20w50.Sedikit yg membedakan adalah sedikit lebih encer dan
nilai VI lebih tinggi dari 20w50. (minimal utk..oli mineral 130, utk. sintetis 150) Semakin tinggi
nilai VI artinya adlah semakin banyak pemakaian aditif peningkat angka VI. Utk motor hal ini
sangat riskan. Aditif ini relative sensitif digunakan utk motor yg menyatukan oli mesin dan gigi
(wet clutch).Artinya oli jenis ini relative lebih mudah berubah kekentalannya dibandingkan
20w50.

SAE 10w-40

Makna sesungguhnya : oli mesin yg masih mampu dipakai sampai kondisi suhu dingin -20 sd
-25 C (kode 10w) dan suhu 150 C dg tk.kekentalan tertentu .
Jenis Oli yg relative paling encer diantaranya ke3 jenis oli lainnya. Oli ini relative paling irit
BBM, namun kurang baik dalam perlindungan mesin .Terutama pada kondisi jalan sering macet
dan beban berat.(mis.sering dipake boncengan)
Relatif sama dg SAE 15w50 , dalam hal pemakaian aditif peningkat angka VI. (minimal utk.oli
mineral 130, utk. sintetis 150) Apakah berarti paling bagus?Belum tentu …!Semakin banyak
kandungan aditif peningkat angka VI , semakin besar kemungkinan peluang pecahnya aditif VI-
nya dan berubah kekentalannya. Ukuran perubahan kekentalan oli biasanya dipakai batasan
sampai 25-30% dari kekentalan awal /oli baru. Agak sulit memang indikatornya soalnya Cuma
lab.yg bisa memastikan hal ini.
Kalaupun Anda ingin tetap memakai oli jenis ini, saran saya , perhatikan jarak pergantian olinya
lebih awal. Kalau Anda merasa suara mesin sdh agak berbeda sedikit aja..cepet2 ganti dah..
SAE 15w-40

Makna sesungguhnya : oli mesin yg masih mampu dipakai sampai kondisi suhu dingin -15 sd
-20 C (kode 15w) dan suhu 150 C dg tk.kekentalan tertentu .
Nilai VI ,minimal utk.oli mineral 125, utk. sintetis 145.
Hasil pengujian di motor sebenarnya menunjukkan oli jenis ini yg paling pas. Oli jenis ini
relative paling stabil kekentalannya dibandingkan yg lainnya. Masalhnya oli jens ini jarang
diaplikasikan utk motor. Biasanya jenis SAE ini, dipakai utk kendaraan jenis mesin disel, yg
membutuhkan kestabilan kekekntalan dalam jarak jauh dan kondisi ekstrim pada mesin disel.
sebagai tambahan aditif Vi adalah seny.kimia kopolimer -rantai panjang- yg mampu beradaptasi
pd suhu rendah dan tinggi ttpi sensitif thd... stress di gear..

SAE 5W-30

Oli kelas ini ditujukan untuk pemakaian daerah dingin, mudah untuk cranking atau proses starter
engine. Oli ini juga didesign memiliki potensi untuk melindungi elemen mesin dari wearing
phenomena. Oli kelas ini cukup memiliki grade sekelas SJ atau SH yang ditentukan oleh API,
juga mencukupi untuk kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine Oils Test.

SAE 5W-20

Oli Multigrade dengan proteksi starter pada suhu dingin, dan menunjang effisiensi bahan bakar.
Oli kelas ini cukup memiliki grade sekelas SJ atau SH yang ditentukan oleh API, juga
mencukupi untuk kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine Oils Test.
Karena sifat keencerannya, oli jenis ini tidak semestinya dipakai kecuali apabila ada
rekomendasi dari produsen mesin. Hal ini untuk menghindari wearing atau ausnya elemen mesin
yang tidak cukup terproteksi dengan kekentalan oli kelas ini.

SAE 10w-30

Oli kelas ini memiliki kekentalan lebih pekat dari SAE 5W-30 untuk daerah dingin serta tetap
memiliki potensi untuk melindungi elemen mesin.

SAE 10W-40

Oli multigrade yang ditujukan untuk melindungi elemen mesin terhadap perubahan suhu udara
segala musim. Bisanya oli kelas ini juga cukup memenuhi kategori untuk standarisasi SJ atau SH
dari API, atau ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine Oils Test.

SAE 20W-50

Oli multigrade dengan tujuan untuk perlindungan mesin terhadap wearing phenomena, atau
goresan terhadap elemen mesin. Didesign untuk pemakaian pada suhu mesin yang tinggi.
Memiliki kemampuan kuat untuk membuat lapisan oli pada permukaan elemen mesin. Bisanya
cukup memenuhi standarisasi dari kategori ILSAC GF-2 untuk driving mothode Gasoline Engine
Oils Test.

You might also like