You are on page 1of 28

PERKEMBANGAN ISLAM

PADA MASA Al-KHULAFA Al-RASYIDUN

Setelah Rasulullah wafat, kepemimpian umat Islam dilanjutkan oleh ge-ne¬rasi


sa¬habat. Dalam sejarah Islam, generasi sahabat terdekat yang memimpin
pe¬merintahan Islam dikenal dengan sebutan al-khulafâ al-râsyidîn. Mereka ini
terdiri dari empat orang sahabat; yaitu Abu Bakar al-Shidieq, Umar bin al-Khattab,
Us¬man bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Untuk mengetahui perkembangan Islam
pa¬da masa al-khulafa al-rasyidin, ada baiknya kita pelajari secara seksama
masing-masing khalifah tersbut. Berikut urai¬annya.

A. Khalifah Abu Bakar al-Shiddieq (11-13 H/632-634 M)


Untuk mengetahui lebih jauh, siapa sahabat Abu Bakar al-Shiddieq, ki¬ra-nya perlu
mengetahui terlebih dahulu mengenai sejarah hidupnya atau biografi Abu Bakar al-
Shiddieq.

1. Biografi Singkat Abu Bakar al-Shiddieq

Abu Bakar lahir pada tahun 573 M dari sebuah keluarga terhormat di Me¬kah. Abu
Bakar adalah nama gelar yang diberikan masyarakat muslim kepadanya. Nama
aslinya adalah Abdullah Ibn Abi Kuhafah. Lalu ia mendapat gelar al-Shiddieq setelah
masuk Islam. Nama sebelum muslim adalah Abdul Ka'bah. Ibu¬nya bernama Salma
Ummul Khair, yaitu anak paman Abu Quhafah. Sejak masa kanak-kanak Abu Bakar
di¬kenal pribadi yang jujur, tulus. kuat kemauan, pem¬berani, rendah hati,
pemaaf, pe¬nya¬yang dan suka beramal, sehingga masyarakat kota Mekah
menaruh hormat kepada nya. Dalam hidupnya, ia selalu berusaha berbuat yang
terbaik untuk menolong fakir miskin.
Pada masa jahiliyah, Abu Bakar adalah seorang saudagar kaya, sering
me¬la¬ku¬kan perjalanan perdagangan untuk menjajakan barang dagangannya
ke berbagai tem¬pat, baik di dalam maupun di luar kota Mekah. Dalam berdagang,
ia selalu berlaku ju¬jur, sehingga banyak orang yang tertarik dengan cara-cara
yang dilakukanya itu yang pada akhirnya banyak para pembeli yang datang dan
membeli barang dagangannya. Dengan demikian, Abu Bakar memperoleh banyak
keuntungan dari sikap jujur yang diterapkan dalam berdagang. Kejujurannya ini
terbawa hingga Abu Bakar memeluk Islam.
Ada satu riwayat yang mengatakan bahwa sebelum memeluk Islam Abu Bakar
memiliki kekayaan sebesar 40.000 dirham. Tetapi setelah ia masuk Islam dan
menjadi pengikut setia Nabi Muhammad Saw, penghasilannya hanya sebesar 5000
dirham. Ini terjadi karena semua harta kekayaannya selalu dibelanjakan di jalan
Allah. Selain itu, harta yang dimilikinya kebanyakan diberikan kepada fakir miskin
dan dipergunakan untuk menolong orang-orang yang lemah dan tertindas. Misalnya
dipergunakan untuk memberi hamba sahaya yang berusaha mem¬per¬tahankan
keyakinannya lalu dibebas¬kannya, seperti Bilal Ibn Rabah.
Dengan demikian, ia bukan saja sebagai seorang sahabat Nabi Saw yang
me¬nya¬takan kesetiannya untuk menerima Islam dan membela ajaran Islam yang
dibawa Nabi Muhamad Saw, tetapi lebih dari itu, Abu Bakar adalah salah seorang
sahabat setia yang rela berkurban harta dan jiwa untuk kepentingan penyebaran
Islam dan membela umat Islam. Oleh karena itu, tak heran kalau kemudian Abu
Bakar dikenal sebagai seorang sahabat terpercaya dan dikagumi Nabi Saw. la
adalah pemuda yang pertama kali me¬nerima seruan Islam yang disampaikan oleh
Nabi Saw tanpa banyak pertimbangan. Se¬luruh kehidupannya dicurahkan untuk
perjuangan suci membela dakwah Nabi Muha¬mad Saw, sehingga ia lebih dicintai
oleh Nabi daripada para sahabat lainnya. Karena itu pula Nabi memilihnya menjadi
sahabat dalam perjalananya menuju Madinah ketika akan hijrah.

Peran yang dimainkan Abu Bakar ketika ia di Mekah sangatlah besar. Hal ini dapat
diketahui, misalnya dari ketulusan hatinya yang tidak segan-segan
mem¬be¬lan¬jakan harta kekayaannya untuk membela perjuangan dan kejayaan
Islam serta melin¬dungi Nabi dan umat Islam. Beliau selalu mendampingi Nabi
Muham¬mad Saw saat suka dan duka. Pengorbanan dan jasanya ketika Nabi Saw
ber¬dak¬wah di Mekah, tidak ada bandingnya. La selalu berusaha melindungi Nabi
Muhammad Saw ketika orang-orang kafir Qurays mengejek dan berencana akan
membunuhnya. Beliaulah yang mem¬berikan perlindungan Nabi saat dikejar oleh
para pemuda kafir Qurays yang berusaha mencari Nabi Muhamad Saw untuk
dicegah agar beliau tidak jadi hijrah ke Madinah. Demikan sekilas tentang
perjuangan Abu Bakar pada periode Mekah dalam memainkan perannya sebagai
seorang sahabat Nabi Saw yang sangat setia, baik pada saat suka mau¬pun saat
duka. Peranan ini menjadikan dirinya tidak akan terlupakan bahkan akan ter¬ukir
dengan tinta emas di dalam sejarah Islam.

Peran yang telah dimainkan Abu Bakar al-Shiddieq menjadikan dirinya se¬bagai
salah seorang sahabat yang paling dicintai. Karena ia selalu berusaha mem¬bela
Nabi Saw dalam menyebarkan misi Islam di kota Mekah dan membelanjakan harta
keka¬ya¬annya untuk kepentingan perjuangan Islam. Oleh karena itu, ketika Nabi
Saw akan hij¬rah ke Madinah, Abu Bakar diminta untuk tetap tinggal se¬men¬tara
bersama Nabi Saw di Mekah sambil menunggu kesempatan yang terbaik un¬tuk
melakukan perjalanan hijrah ke Madinah. Bahkan Abu Bakar menjadi sahabat setia
yang menemani perjalanan ketika hijrah ke Madinah.

Kesetiaan Abu Bakar terus dipertahankan hingga Nabi Muhamad Saw tiba di
Madinah. la terus berusaha untuk menjadi sahabat setia akan dan di manapun Nabi
Saw berada. Ketika di Madinah, Abu Bakar selalu mendampingi Nabi Muhammad
Saw dan berusaha membantunya dalam penyebaran Islam kepada masyarakat
Madinah. Di antara peran yang dimainkan Abu Bakar ketika ia berada di Madinah
adalah keikut ser¬taannya dalam berbagai pertempuran, misalnva perang Badar.
Dalam pertempuran ini, ia selalu berada di sisi Rasulullah Saw. Sehingga
kemanapun Nabi Saw pergi, ia selalu berada di sisinya. Terdapat beberapa riwayat
yang mengatakan bahwa ketika para saha-bat lain tidak merasa puas atas hasil
perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar adalah salah seorang sahabat yang menyatakan
puas atas hasil kesepakatan tersebut dan mene¬rima¬nya dengan baik. Karena hal
itu telah disepakati Rasullah Saw. Banyak sahabat yang gelisah karena mereka
melihat bahwa isi perjanjian tersebut lebih menguntungkan ka¬um kafir Qurays
dan merugikan atau menyudutkan umat Islam. Namun Abu Bakar menerima seluruh
isi perjanjian itu dengan lapang dada.

Salah seorang sahabat yang mempertanyakan isi perjanjian tersebut adalah Umar
Ibn al-Khattab. la mempertanyakan untung ruginya perjanjian Hudaibiyah itu
ke¬pada Nabi Muhamad Saw.

Umar Ibn al-Khattab. “Bukankah kita dalam kebenaran?“.


Nabi Muhamad Saw. “Memang”.
Umar Ibn al-Khattab, “Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita ?" Nab
Muhammad Saw. " Saya hamba Allah dan saya Rasul-Nya. Dia tidak akan
menyesatkan kita”.

Mendengar jawaban Nabi Saw, Umar Ibn al-Khattab tidak merasa puas, lalu per¬gi
menemui Abu Bakar dan mempermasalahkan isi perjanjian Hudaibiyah sama seperti
yang dipertanyakannya kepada Nabi Saw. Namun Abu Bakar menjawab dengan
jujur dan bijaksana.” Beliau hamba Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan
menyesatkannya". Setelah itu, Umar Ibn al-Khattab langsung pergi. Hal ini
menggambarkan betapa satu kata dan satu hatinya Abu Bakar dengan Nabi
Muhamad Saw, sampai-sampai jawaban yang diberikan Abu Bakar kepada Umar Ibn
al-Khattab sama persis.

Abu Bakar belum pernah mengatakan atau melakukan sesuatu perbuatan yang
menyakiti hati Nabi Muhamad Saw, baik ketika di Mekah maupun di Madinah, la
selalu menemani Rasulullah dengan tulus ikhlas, jujur, setia dan tanpa pamrih.
Maka tak he¬ran apabila kedudukan Abu Bakar di mata Nabi Muhammad Saw
melebihi kedu¬dukan umat Islam lainnya.

Nabi Muhamad Saw begitu percaya kepadanya, karena ia merupakan salah


se¬orang sahabat yang tak segan-segan mengeluarkan harta kekayaan dan
tena¬ga¬nya un¬tuk kepentingan perjuangan Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw
memer¬lukan dana untuk kepentingan pembangunan masjid di Madinah dan untuk
ke¬lengkapan ekspedisi ke Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan seluruh harta
keka¬ya¬annya. Ini sebagai bukti pe¬ran yang dimainkan Abu Bakar ketika di
Madinah, sehingga agama Islam tersebar luas hampir di seluruh jazirah Arabia.

2. Proses pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah

Nabi Muhammad Saw, meninggal dunia pada tahun 632 M ketika sebagian be¬sar
penduduk Arabia memeluk Islam. Wafatnya Nabi Muhammad Saw me¬ru¬pakan
su¬a¬tu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri, karena semua makhluk yang
hidup di du¬nia ini akan mati. Akan tetapi persoalan yang dihadapi umat Is¬lam
ketika itu sangat berat, karena mereka dihadapkan pada persoalan
ke¬pe¬mim¬pinan. Sebab Nabi Muham¬mad Saw, sebelum meninggal tidak
pernah mem¬bi¬carakan masalah kepemimpinan apa¬lagi menunjuk orang yang
akan meng¬gan¬ti¬kannya kelak sebagai pimpinan umat Islam. Karena itu,
setelah beliau wafat si¬tuasi mulai agak kacau, karena telah muncul beberapa
kelompok kepentingan yang masing-masing memperebutkan jabatan tersebut
karena masing-masing me¬rasa berhak dan merasa punya andil dalam
membesarkan Islam. Mereka adalah kelompok Anshar, kelompok Muhajirin dan Bani
Hasyim.

Kelompok Anshar yang sedang berkumpul di balai ruang miliki Bani Sa-idah,
mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling berhak men-du¬duki
jabatan kepala negara dan pemimpin masyarakat Madinah, dibanding de¬ng¬an
kelompok ma¬syarakat lainnya. Mereka beralasan bahwa agama Islam
ber¬kem¬bang pesat bahkan men¬jadi sangat maju karena bantuan dan
pertolongan ma¬syarakat Madinah (Anshar). Mere¬ka telah banyak memberikan
pertolongan dan jasa bagi kepentingan umat Islam yang datang dari kota Mekah
(Muhajirin). Kaum Muhajirin dapat bertahan hidup karena per¬tolongan mereka.
Oleh karena itu, mereka adalah orang yang paling tepat untuk meng-gantikan posisi
Nabi Muha¬mad Saw sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Untuk itu,
mereka mengusulkan nama calon yang akan menduduki jabatan tersebut, yaitu
Sa'ad Ibn Ubadah.
Kelompok Muhajirin berpendapat sebaliknya. Meraka adalah orang-orang yang
paling tepat untuk menggantikan posisi dan kedudukan Rasulullah sebagai kepala
pe¬merintahan dan pemimpin umat Islam, Karena mereka adalah orang-orang
yang paling pertama menerima Islam dan berjuang bersama Nabi Muham¬mad
Saw di kota Mekah. Mereka berkorban harta dan nyawa demi membela agama
Islam dan melindungi Ra¬sulullah dari gangguan orang-orang kafir Qurays. Untuk
itu mereka mengusulkan Abu Bakar sebagai orang yang sangat tepat untuk
menduduki jabatan tersebut.

Perdebatan masalah kepemimpinan akhirnya selesai ketika Umar bin aI-Khattab


mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah hak orang-orang Muhajirin. Selain
mere¬ka adalah para sahabat terdekat Rasulullah dan orang-orang yang per¬tama
masuk Is¬lam, mereka juga adalah orang-orang yang telah berjuang mati-matian
untuk membela Islam dari ancaman orang-orang kafir Qurays. Selanjutnya Umar bin
al-Khattab menga¬takan bahwa sebenarnya masalah kepemimpinan ada¬lah hak
orang-orang Qurays. Mendengar ucapan tersebut, kelompok Anshar me¬nerima
kenyataan bahwa sebenarnya masalah kepemimpinan yang akan meng¬gantikan
kedudukan Rasulullah sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam adalah hak
orang-orang Muhajirin. Setelah itu, Umar Ibn al-Khattab mengangkat tangan Abu
Bakar dan menyatakan bai'at kepadanya kemu¬dian diikuti oleh Sa’ad bin Ubadah
dan kelompok Anshar lainnya.

Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib, meminta Ali ibn Abi Thalib un¬tuk
menggantikan kedudukan Rasulullah Saw, sebagai kepala Negara dan kepala
peme¬rin¬tahan serta pemimpin umat Islam. Namun permintaan itu ditolak Ali ibn
abi Thalib ka¬rena ia sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah Saw. Dengan
ter¬pilihnya Abu Bakar al-Shiddieq secara aklamasi sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan yang baru, maka persoalan krisis kepemimpinan sudah
selesai. Namun tugas baru dan amat sulit telah menantang di hadapannya.

Selesai terpilih sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Abu Bakar
ber¬pidato sebentar menguraikan apa yang akan dilakukannya kelak. Isi pidato itu
antara lain adalah“ ...saudara-saudara sekalian, sekarang saya terpilih sebagai
khalifah. Meskipun saya bukan yang terbaik dari siapapun di antara kalian, tapi
saya harus tetap menerima amanah ini. Oleh karena itu, bantulah saya bila berada
dalam jalan yang benar. Perbaikilah saya bila berada di jalan yang salah". Lalu
pidato itu diakhiri dengan ucapan.".. Patuhlah kepadaku seba¬gaimaa aku
mematuhi Allah dan Rasulnya. Jika aku tidak mematuhi Allah dan Rasulnya, jangan
sekali-kali kalian mematuhi aku“.

Pidato tersebut menggambarkan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran ser¬ta


ke¬tulusannya sebagai seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Be-liau
merasa bahwa tugas yang diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak
menda¬pat¬kan dukungan dari para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar
masyarakat ikut serta mengontrol perjalanan kepemim¬pin-annya agar
pelak¬sanaan pemerintahan ber¬ja¬lan dengan baik. Itulah tipe seorang
pemimpin yang sangat demokratis, la tidak gila jabatan dan juga tidak gila
kedudukan, jabatan dan harta,

3. Perkembangan Islam pada masa Khalifah Abu Bakar

Meskipun Abu Bakar terpilih secara demokratis pada 632 M, bukan berarti ma¬sa-
masa kepemimpinannya berjalan dengan mulus. Banyak hal yang diha¬dapi¬nya.
Mi¬salnya gerakan nabi palsu, gerakan kaum murtad dan gerakan kaum mu¬nafik
yang me¬nentang pembayaran zakat. Untuk mengetahui hal tersebut, berikut
uraiannya.

1. Gerakan Nabi Palsu

Keberhasilan misi perjuangan Nabi Muhamad Saw menimbulkan kecem-buruan


segolongan masyarakat. Tidak lama setelah Nabi Saw wafat, muncullah beberapa
orang yang mengaku sebagai nabi. Mereka memimpin gerakan kelom-pok
pembanagkang. Para nabi palsu itu adalah sebagai berikut:
Partama, Aswad al-Ansi merupakan orang pertama kali yang mengaku se¬bagai
nabi. la adalah pemimpin suku Ansi di Yaman. Ia berhasil merekrut sejum¬lah
pasukan dan bersekutu dengan daerah- daerah sekitar Yaman untuk melancar¬kan
pembe¬ron¬takan terhadap pemerintahan Islam.

Kedua, Musailaman, orang yang berasal dan suku Bani Hanifah di pusat Jazirah
Arab. la mengaku sebagai nabi dan mengadakan gerakan penghasutan di
Yamamah. Sebenarnya ia datang ke Madinah beserta sejumlah utusan sebagai
orang beriman, na¬mun dalam perjalanan pulang ia mengaku dirinya sebagai nabi.
Kedatangannya dite¬ri¬ma dengan baik oleh suku Hanifah, karena memang sejak
lama mereka tidak suka di¬pimpin seorang nabi dari suku Qurays. Karena itu,
me¬reka dengan amat mudah me¬ne¬rima kedatangan Musailamah dan
mengakuinya sebagai seorang nabi yang datang dari suku mereka sendiri.

Ketiga, Thulaihah ibn Khuwailid adalah seorang yang mahir dalam pepe¬rangan
dan terkenal sebagai orang kaya dari suku Bani As’ad, Arabia Selatan. la
melancarkan perlawanan secara terang-terangan terhadap pemerintahan Islam
sambil mengaku dirinya sebagai seorang nabi setelah Rasulullah Saw wafat.
Keempat, Saj'ah, seorang wanita Kristen mengaku sebagai seorang nabi. la
ber¬asal dari suku Yarbu di Asia Tengah. Sekalipun ia mendapat dukungan dari
mayoritas masyarakatnya, namun ia tidak memiliki keberanian melawan
kekua¬saan Islam, Karena itu, ia membentuk kekuatan persekutuan dengan cara
melang¬sungkan perkawinan de¬ngan Musailamah al-Kazzab.

2. Gerakan Kaum Murtad

Masa pemerintahan Abu Bakar yang hanya 2 tahun 3 bulan dihabiskan untuk
mengatasi berbagai persoalan di dalam negeri, seperti gerakan kaum murtad. Sejak
ter¬sebar berita meninggalnya Rasulullah Saw sekelompok orang di Madinah
menyatakan diri ke luar dari agama Islam sambil melancarkan gerakan
pem¬be¬ron¬takan. Gerakan ini dalam sejarah Islam dikenal dengan gerakan
riddah. Sementara kelompok nabi palsu berusaha mengajak pengikutnya untuk
masuk Islam kem¬bali, sejumlah suku-suku lainnya berusaha menyatakan keluar
dari Islam dengan berbagai alasan.
Adapun latar belakang penyebab keluarnya mereka dari agama Islam, adalah
sebagai berikut.

a.Kekuasaan Madinah yang semakin menimbulkan kecemburuan sebagian


masya¬rakat Makah yang tidak menghendaki kekuatan kota Madinah. Me¬reka
tidak berani melakukan pemberontakan ketika Nabi Saw masih hi¬dup. Namun
sepe¬ninggal Rasulullah Saw, mereka berusaha menandingi pengaruh kota
Madinah. Hal ini menggambarkan watak asli masyarakat Arab, yakni fanatisme
kesukuan, suatu hal yang sudah dihilangkan oleh Rasulullah Saw.
b.Pada umumnya masyarakat Arab bersifat paternalistik, yaitu mengikuti dan
tunduk kepada para pemimpinnya secara membabi buta. Jika para pemimpinya
masuk Islam, maka rakyatnya akan mengikuti mereka. Ka-rena itu/ketika para
pemimpin mereka yang merasa dirugikan dengan perkembangan Islam kembali
kepada ajaran agama mereka semula, banyak di antara mereka yang belum kuat
imannya mengikuti apa kata para pe¬mimpin mereka.

c.Agama Islam yang dibawa Nabi Muhamad Saw telah membawa peru-bahan
be¬sar dalam bidang sosial, politik, agama dan kebudayaan. Peru-bahan ini
meng¬khawatirkan banyak pihak, terutama para tokoh masya-rakat yang merasa
ke¬du¬dukannva terpinggirkan ketika masyarakat Islam semakin berkembang
pesat.

d.Banyak suku Arab yang masuk Islam lebih pada pertimbangan politik. Ketika itu
Madinah telah menjadi pusat kekuasaan Islam, bahkan mungkin sebagai ke¬kuatan
sosial politik terbesar di dunia saat itu, tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali
menerima kenyataan tersebut dengan menyatakan diri masuk Islam. Mereka
berharap dengan keislamaan itu mereka akan terlindungi dari ke¬ku¬at¬an-
kekuatan suku lain. Namun ketika perasaan khawatir mereka bahwa harapan
tersebut tidak tercapai, maka timbul inisiatif untuk melawan kekuatan Islam,
terutama setelah Nabi Saw sebagai tokoh yang sangat disegani wafat.

e.Ketika Rasulullah wafat, banyak masyarakat Arab yang belum lama masuk Islam,
mereka belum menghayati benar keagungan ajaran Islam. Karena itu, banyak di
antara mereka yang hilang keyakinannya dan kembali kepa¬da ajaran mereka
semula.

3. Gerakan Kaum Munafik

Abu Bakar memandang bahwa gerakan kaum munafik merupakan sebuah


ge¬rakan yang sangat berbahaya, karena hampir di seluruh penjuru Arabia muncul
gerakan semacam ini. Meskipun begitu tanpa rasa gentar sedikitpun, Abu Bakar
menyusun kekuatan untuk menumpas gerakan tersebut dengan semangat
perju¬angan penegakkan Islam. Dalam waktu satu tahun Abu Bakar berhasil
mengem¬balikan stabititas politik pemerintahan Islam.
Untuk mengatasi ketidakstabilan politik karena gerakan kelompok ter¬se-but, Abu
Bakar menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalyon
untuk dikirim ke berbagai daerah pemberontakan. Kepada masing-ma¬sing
komandan bantalyon, Abu Bakar menyampaikan instruksi mengajak mereka yang
terlibat dalam pemberontakan agar kembali kepada ajaran Islam. Apabila mereka
menolak ajakan tersebut, maka mereka boleh diperangi sampai habis.

Sebagian mereka ada yang menerima ajakan tersebut dan kembali kepada ajaran
Islam tanpa peperangan, namun sebagian besar mereka bertahan pada si¬kapnya
mela¬wan Islam, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan. Khalid ibn al-Walid
meru¬pakan salah seorang komandan yang pertama kali diperintahkan untuk
meme¬rangi Thulaihah dalam peperangan Buzaka. Khalid berhasil menga¬lahkan
mereka, dan suku-suku yang tadinya terlibat dalam pemberontakan, akhir¬nya
menerima kembali ajakan untuk memeluk Islam, termasuk suku Bani As'ad.
Gerakan para nabi palsu juga dapat dipatahkan oleh Khalid ibn al-Walid, setetah
Ikrimah dan Syurahbil gagal mengalah¬kan kekuatan Musailamah al-Kazaab.
Pasukan Musailamah dapat dipukul mundur oleh Khalid dalam pertempuran di
Yamamah tahun 633 M. Musailamah dan ribuan pasukannya tewas mengenaskan di
dalam benteng pertahanan mereka.

Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua di antaranya tewas terbunuh da¬lam
peperangan, yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah al-Kazzab. Sedangkan dua tokoh
lainnya, yaitu Saj'ah dan Thulaihah selamat dan kembali kepada ajaran Islam.
Keber¬ha¬silan Abu Bakar dan pasukannnya dalam memberantas para
pem¬bangkan, selain mem¬perkokoh identitas Islam, juga membuka gerbang
kejayaan Islam di masa-masa selan¬jutnya. Kemenangan pasukan Islam dalam
meredam ge¬jolak dalam negeri menim¬bul¬kan semangat diri dan kepercayaan
diri untuk me¬lanjutkan ekspansi ke wila¬yah By¬zantium dan Sasania.

Setelah berhasil mengalahkan pasukan pemberontak, pada tahun 633 Abu Bakar
memerintahkan Khalid ibn al-Walid untuk menaklukkan wilayah-wilayah perbatasan
Syria dan la berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Islam hingga ke berbagai
tempat bekas kekuasaan Persia dan Byzantium.

Selain keberhasilan dalam menegakkan kekuatan hukum dan politik Islam, banyak
pula kemajuan yang dicapai pada masa permerintahan khalifah abu Bakar al-
Shiddieq, seperti:

1.Perbaikan Sosial Kamasyarakatan


2.Pengumpulan ayat-ayat al-Qur'an
3.Perluasan dan penyebaran agama Islam.

Hal pertama yang dilakukan khalifah Abu Bakar adalah menciptakan sta¬bilitas
sosial dan politik di dalam negeri dari berbagai gangguan yang merongrong
kekuasaan dan kekuatan Islam misalnya gerakan kaum murtad, gerakan kaum
munafik dan ge¬rakan kelompok nabi palsu. Semua itu dapat diatasi berkat
ban¬tuan para sahabat besar, misalnya Khalid ibn al-Walid, Ikrimah ibn Abi Jahal
dan lain-lain. Setelah berhasil menciptakan keamanan dan ketentraman, khalifah
Abu Bakar mulai melakukan per¬baikan–perbaikan sosial kemasyarakatan.

Setelah semua itu teratasi dengan baik, barulah khalifah melakukan tin-dakan-
tindakan positif, misalnya pengumpulan ayat-ayat aI-Qur'an untuk dija-dikan
mushaf. Pengumpulan ayat-ayat al-Qur'an ini atas anjuran Umar ibn al-Khattab
yang merasa khawatir kehilangan al-Qur'an setelah Iebih dari 70 orang sa¬habat
gugur dalam upaya penumpasan para pembangkang, terutama ketika me¬merangi
nabi palsu Musailamah Al-Kazzab. Selain itu, apabila tidak dilakukan pengumpulan,
maka dikhawatirkan ayat-ayat al-Qur'an yang tertulis di dalam pelepah kurma,
bebatuan dan tulang belulang, akan sirna, sehingga Islam tidak memiliki kitab suci.
Padahal kitab suci merupakan simbol keberadaan sebuah agama, termasuk agama
Islam.

Usul tersebut diterima baik oleh Khalifah Abu Bakar. Untuk itu, beliau
me¬me¬rintahkan Zaid ibn Tsabit untuk mengumpulkannya ke dalam satu mushaf.
Se¬telah selesai, mushaf tersebut disimpan oleh Abu Bakar untuk dijadikan bahan
pedoman bacaan al-Qur'an. Sepeninggal Abu Bakar, mushaf itu disimpan oleh
Hafsah binti Umar, isteri Nabi Muhammad Saw. Mushaf inilah yang kemudian
menjadi bahan rujukan bagi upaya khalifah Usman bin Affan dalam membukukan
al-Qur’an, sehingga al-Qur’an dapat terjaga keasliannya hingga kini. Upaya
peng¬umpulan ini merupakan salah satu keberhasilan khalifah Abu Bakar al-
shiddieq dalam mengembangkan Islam saat itu.

Selain itu terdapat usaha lain yang diiakukan khalifah Abu Bakar dalam upaya
pencapaian kebesaran peradaban Islam, misalnya perluasan wilayah Islam ke luar
ja¬zirah Arabia. Perluasan dan penyebaran agama Islam tersebut mulai dila¬kukan
Kha¬lifah Abu Bakar ke wilayah Irak, Persia dan Syiria. Berikut uraian sing¬kat
mengenai per¬lu¬asan tersebut.

a. Perluasan wilayah ke Irak dan Persia,

Pada tahun ke-12 H, khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukannya ke Irak yang
dipimpin Khalid ibn Walid dan dibantu oleh aI-Mutsanna ibn Haritsah dan Qa'qa' ibn
'Amr. Wilayah Irak pada waktu itu merupakan daerah jajahan kerajaan Persia.,
se¬hingga bila telah berhasil menguasai Irak, maka akan sangat mudah menguasai
wilayah Persia lainnya. Sebelum melakukan penaklukkan, Khalid ibn al-Walid, sesuai
perintah Abu Bakar, telah melakukan diplomasi dengan mengirim surat kepada
Hormuz, se¬orang panglima perang Persia, untuk mengajak diri dan pasukannya
masuk Islam.

Namun permintaan ini ditolak oleh Hormuz dengan alasan bahwa mereka lebih suka
berperang melawan tentara Islam dari pada harus menerima Islam sebagai agama
baru mereka. Karena tawaran ini ditolak, maka tidak ada pilihan lain bagi Khalid ibn
al-Walid kecuali harus memerangi pasukan Hormuz. Dalam peperangan ini,
pa¬suk¬an Khalid ibn al-Walid berhasil mengalahkan panglima Hormuz di
tangannya sen¬diri. Hal ini berdampak pada wilayah kekuasaan Hormuz. Dengan
tunduknya Hormuz serta pasukannya, berarti wilayah mereka jatuh ke tangan
kekuasaan Islam di bawah ko¬mando Khalid ibn al-Walid. Daerah -daerah yang
ditaklukan Khalid ibn al-Walid pada waktu itu ialah Mazar, Walajah. Allis, Hirrah,
Anbar, Ainnuttamar, dan Daumatul Jan¬dal.

b. Perluasan Islam ke Wilayah Syiria.


Selain Irak dan Persia, khalifah Abu Bakar juga mengirimkan pasukannya ke wilayah
Syria. Untuk menaklukkan daerah ini, khalifah Abu Bakar memper¬ca¬yakan
kepada panglima perang Usamah ibn Zaid ibn Haritsah. Sebenarnya pa¬sukan ini
telah dipersiapkan sebelumnya oleh Rasulullah, tetapi belum terlaksana karena
terdengar berita Rasulullah wafat, sehingga kegiatan tersebut sempat tertunda.
Penaklukkan wila¬yah ini baru dilakukan pada masa pemeritahan kha¬lifah Abu
Bakar. Pasukan Usamah mulai bergerak dari negeri Qudha'ah, lalu me¬masuki kota
Abil. Dalam peperangan ini, pasukan Usamah mendapat ke me¬nang¬an yang
gemilang. Sehingga wilayah itu jatuh ke tangan kekuasaan Islam.

Selain Usamah ibn Zaid, khalifah juga mengirim pasukan lainnya ke wila¬yah
Palestina di bawah komando Palestina Amru ibn 'Ash. Ke Roma di bawah komando
Ubaidah ibn Jarrah. Ke Damaskus, dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah. Ke Yordania
dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah. Untuk menghadapi pasukan besar Islam ini,
He¬raklius mengirim sekitar 240.000 tentara ke daerah-daerah kekuasaannya di
Syiria, Pa¬lesitina, Damaskus, dan sebagainya. Dalam mengha¬da¬pi kekuatan
besar ini, umat Islam bersatu dalam satu barisan kekuatan besar. Pe¬nyatuan ini
dilakukan atas usulan yang diajukan Khalid ibn al-Walid dan men¬dapat
persetujuan Khalifah Abu Bakar. Akhirnya kedua pasukan besar itu, yakni pasukan
Islam dan paukan Heraklius, berte¬mu di salah satu tempat bernama Yarmuk.
Sehingga pertempuran itu disebut pepe-rangan Yarmuk.

Dalam pertempuran kali ini, kekuatan Islam tidak sebanding dengan keku¬atan
yang dimiliki Heraklius, yaitu sekitar 30.000 sampai 40.000 pasukan, sehingga
pepe¬rangan ini berjalan cukup lama. Peperangan ini baru berakhir pada masa
pemerintahan Umar ibn al-Khattab.

Meskipun Abu Bakar al-Shiddieq berkuasa hanya lebih kurang 2 tahun 3 bulan,
banyak usaha yang dilakukannya dalam mempertahankan eksistensi Islam dan
pe¬ngembangan peradabannya. Menurut beberapa ahli, jika Abu Bakar tidak
berhasil me¬nengahi konflik internal umat Islam di Tsaqifah Bani Saidah, maka
Is¬lam hanya tinggal nama.

Selain itu, keberhasilnnya mempertahankan akidah Islam dari rong¬rongan orang-


orang murtad, dan orang-orang yang mengaku nabi palsu serta mereka yang tidak
mau membayar zakat, maka Islam tidak akan bertahan lama. Tapi, berkat
pertolongan Allah dan usaha keras para sahabat Nabi dalam mempertahankan
akidah dan memper¬juang¬kan kebenaran Islam, agama Islam ma¬sih tetap eksis
hingga kini dan untuk masa yang akan datang hingga akhir ja¬man. Keberhasilan
ini kemudian dilanjutkan oleh khalifah sesudah Abu Bakar al-Shid¬dieq, yaitu
khalifah Umar bin al-Khattab.
B.Perkembangan Islam Pada Masa
Khalifah Umar ibn al-Khattab (13-24H/634-644 M)

1. Biografi Singkat Khalifah Umar ibn al-Khattab

Umar ibn al-Khattab lahir pad tahun 513 M pada satu keluarga suku Qu-rays.
Ayahnya bernama Nufail ibn Abdul 'Uzza al-Quraysi dan berasal dari suku Bani Adi.
Sedang ibunya bernama Hantamah binti Hasyim ibn al-Mughirah ibn Abdillah.
Silsi¬lah¬nya berhubungan dengan Nabi Muhamad Saw pada generasi ke delapan,
yaitu Fihr.

Selagi muda, Umar ibn al-Khattab dikenal sebagai seorang pemuda yang gagah
perkasa, tegap dan pemberani. Hal itu diperolehnya dari pendidikan suku dan
keluar¬ganya. Ayahnya bukan termasuk orang yang kaya, tetapi memiliki
ke¬pemimpinan yang kuat. Sehingga dikenal sebagai seorang pemimpin yang
bi¬jaksana, meskipun watak kelurganya sangat keras dan tegas. Kekerasan dan
kete¬gasan ini menjadi modal baginya untuk memperoleh pengakuan dari
masyarakat Qurays lainnya di kota Makah.

Umar ibn al-Khattab masuk Islam pada usia 27 tahun. Cerita tentang k-eislaman
Umar ini berawal dari keinginannya untuk membunuh Nabi Muham-mad Saw yang
dianggap sebagai pemecah belah bangsa Arab dan pencetus pe-pe¬rangan di
antara me¬reka. la sangat tidak suka kalau suku bangsa Arab menjadi terpecah
belah lantaran dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Karena itu ia terus
beusaha mengha¬langi siapa saja yang ingin masuk Islam, bahkan tidak segan-
segan untuk membu¬nuh¬nya. Watak keras seperti ini tampaknya merupakan
warisan dari tempaan pendidikan orang tua dan sukunya, Bani Adi.

Karena gangguan dan siksaan masyarakat kafir Qurays saat itu semakin menjadi
dan Umar ibn al-Khattab dan Umar ibn Hisyam, terkenal dengan sebutan Abu Jahal,
merupakan dua tokoh masyarakat Qurays yang sangat ditakuti, maka Rasulullah
selalu berdo’a kepada Allah agar salah seorang di antara keduanya mendapat
hidayah dari Allah dan bersama–sama umat Islam menegakkan ajaran Islam.
Permohonan Nabi saw dikabulkan Allah SWT dan Umar ibn al-Khattab masuk Islam.
Setelah keislamannya, sikap keras yang selain itu ditunjukkan kepada masyarakat
muslim, mulai melemah, bahkan ia selalu bersikap ramah terahadp sesama muslim.
Lain halnya bila berhadapan dengan orang bukan muslim. Ketegasan, ketegaran
dan kekerasan masih suka ditun¬juk-kannya. Hal itu dilakukan untuk membela
umat Islam dari gangguan orangorang kafir dan para musuh Islam lainnya.

Setelah ia menyatakan diri sebagai pengikut Nabi Muhamad Saw, usaha perta¬ma
yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi kepada penduduk Makah. Ia
berpidato di masjid untuk menunjukkan kepada masyarakat banyak bahwa ia telah
menjadi pelindung umat Islam dan pengikut setia Nabi Muhammad Saw. Karena
keberaniannya ini, pernah suatu saat ketika usai berpidato di masjid, ia dicaci maki
bahkan sampai terjadi perkelahian antara Umar ibn al-Khattab dengan para pemuda
Qurays. Dalam perkelahian tersebut hampir saja Umar terbunuh, karena ia
dikeroyok banyak orang. Tetapi nyawa Umar ibn al-Khattab terselamatkan oleh
al-'Ash ibn Wail, salah seorang tokoh masyarakat Qurays. Umar diselamatkan
karena ia adalah tokoh masyarakat Qurays. Bila ia terbunuh, maka sudah pasti
sukunya akan balas dendam dan pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Hal
inilah yang menjadi alasan utama al-'Ash ibn Wail menyelamatkan nyawa Umar.

Setelah peristiwa itu, Umar ibn al-Khattab bukan malah jera, tapi semakin men¬jadi
dan menantang orang -orang yang mau menyakiti Nabi Muhamad Saw dan para
sahabatnya. Ia menjadi pengawal sebanyak 20 umat Islam yang akan hijrah ke
Madinah. Itulah gambaran singkat mengenai peran Umar ibn al-Khattab pada
periode Makah.
Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa Umar ibn al-Khattab ter¬kenal
keberanian, ketegasan dan ketelitian. Sikap dan kepribadian ini terbawa tidak
hanya pada periode Mekah, juga pada periode Madinah bahkan hingga ia menjadi
seorang khalifah. Pada periode Madinah, Umar ibn al-Khattab mema¬in-kan peran
yang cukup penting dalam proses penyebaran Islam, baik lewat jalan diplomasi
maupun melalui jalan peperangan. Ia selalu berada di sisi Rasulullah saat-saat
peperangan terjadi. Tidak hanya itu, beliau dikenal di kalangan umat Islam bahkan
di hadapan Nabi Saw sendiri sebagai salah seorang sahabat yang kritis. Ia seringkali
memprotes kebijakan Nabi Saw yang dianggap tidak rasional. misalnya perjanjian
Hidaibiyah yang menurut logikanya Salul, salah seorang tokoh munafik, meninggal,
Umar ibnal-Khattab menyarankan kepada Rasulullah agar tidak dishalatkan.
Menurut pendapatnya, la harusnya dikubur saja, karena Abdullah dikenal sebagai
tokoh munafik yang seringkali mengganggu hanya merugikan umat Islam. Karena
yang diinginkan saat itu adalah datang ke Mekah dan menaklukkannya. Tetapi tidak
diterima oleh Rasulullah dan para sahabat lainnya.

Selain peristiwa itu, terdapat peristiwa lain, yaitu ketika Abdullah ibn Ubay ibn
gerakan dakwah Islam. Tetapi Rasulullah tidak melakukan itu sampai turun wahyu
surat 9 ayat 84 yang membenarkan sikap dan per kataan Umar ibnal-Khattab.

Artinya:
“ Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati
di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati
dalam Keadaan fasik.

2, Proses pengangkatan
Umar ibn al -Khattab Sebagai Khalifah
Berbeda dengan proses pengangkatan khalifah Abu bakar sebagai khalifah. Abu
Bakar dipilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup panjang,
hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah yang sah. Sementara Umar ibn al-
Khattab diangkat melalui penunjukkan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah
mendapatkan perse¬tujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan khalifah
guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri. Beliau khawatir
kalau pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada masanya,
maka situasinya akan menjadi keruh. Karena kemungkinan terdapat banyak
kepentingan yang ada di antara mereka yang akan membuat negara menjadi tidak
stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan, Islam akan
terhambat.

Ketika Abu Bakar jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M dan selama 15 hari
tidak kunjung sembuh, ia memanggil para sahabat besar dan menge¬mu¬kakan
keingin¬annya. Beliau menginginkan sebelum meninggal, kekuasaan sudah berada
di tangan pengganti yang benar. Ia melihat bahwa saat ini orang yang paling tepat
untuk rneng¬gantikan kedudukannya sebagai khalifah adalah Umar ibn al-Khattab.
Untuk itu, ia berusaha mengumpulkan massa di depan rumahnya dan berpidato
mengenai calon penggantinya kelak, Beliau berkata; “apakah kalian akan menerima
orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya kelak? Saya bersumpah untuk
melakukan yang terbaik dalam menentukan masalah ini. Karena itu saya melihat
bahwa Umar ibn al-Khattab adalah orang yang paling tepat untuk menggantikan
saya. Dengarkan saya dan ikuti keinginan saya “ Massa yang berkumpul di depan
rumahnya menjawab, "Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan
mentaati tuan.“

Setelah itu, Abu Bakar memanggiilUsman ibn Affan ke rumahnya untuk


men¬dengarkan pendapatnya mengenai usulan khalifah yang akan menunjuk Umar
ibn al-Khattab menjadi penggantinya. Setelah mendengar penjelasan kha-lifah,
Usman sangat setuju dengan pendapat khalifah mengenai penunjukkan Umar ibn
al-Khattab sebagai penggantinya kelak. Karena, menurut Usman ibn Affan, Umar
adalah orang yang sangat tegas dan bijaksana. Tidak lama kemudian setelah
proses penyaringan pendapat tersebut, khalifah Abu Bakar meninggal dunia pada
Senin tanggal 23 Agustus 624 M dalam usia 63 tahun. Kemudian janazahnya
dishalatkan bersama -sama dipimpin oleh Umar ibn al-Khattab. Janazah Abu Bakar
al-Shddiq kemudian dimakamkan di rumah Siti Aisyah ber¬dampingan dengan
makam Nabi Muhamad Saw.

Dengan meninggalnya khalifah Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh


khalifah baru, yaitu Umar ibn al -Khattab, Perpindahan kekuasaan ini terjadi karena
Umar ibn al-Khattab secara aklamasi telah mendapat persetujuan dari para sahabat
besar dan umat Islam lainnya, sehingga ketika Abu Bakar wafat, maka secara
otomatis kepemimpinan itu jatuh ketangan khalifah Umar ibn al-Khattab.
3. Perkembangan Islam
pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab

a. Perkembangan dalam bidang politik militer

Dalam waktu 10 tahun masa kepemimpinan Umar ibn al-Khattab, banyak usaha
yang dilakukannya untuk memperluas wilayah Islam dan kejayaan Islam, di
antaranya perluasan wilayah dari Syria hingga Mesir. Upaya perluasan wilayah ini
menandai adnya perkembangan politik militer pada masanya. Dengan
per¬kembangan itu, umat Islam mampu memperluas wilayah kekuasaan dalam
upaya penyebaran ajaran Islam. wilayah-wilayah yang menjadi sasaran dakwah
Islam adalah sebagai berikut.

1. Perluasan wilayah Islam ke Syria dan Palestina

Sebelum masuk ke wilayah kekuasaan Islam, Syria dan Palestina berada dalam
situasi yang sangat memprihatinkan, karena masyarakatnya selalu dibebani dengan
berbabagai pungutan dan pajak yang harus mereka bayar kepada pemerintahan
ke¬kaisaran Byzantium (Romawi Timur). Hal ini tentu saja membuat rakyatnya
mende¬rita, tidak hanya menderita lahir, juga menderita batin.

Selain itu, mereka juga dipaksa untuk mengikuti aliran agama yang tidak
sepa¬ham dengan mazahab yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Syria dan
Palestina. Para penguasa Byzantium mcmaksakan kehendaknya agar masyarakat
yang berada di wilayah kekuasaanya mengikuti mazhab Kristen Nestroit yang
menganut ajaran Trinitas, sedangkan mayoritas masyarakat Syria dan Palestina
menganut mazhab Jatobit yang menganut paham monofisit, yaitu percaya hanya
kepada Tuhan Yang Esa.

Keadaan tersebut tentu saja membuat masyarakat Syria dan Palestina me¬nanti
kehadiran sang pembela yang akan membebaskan mereka dari cengkeraman
penjajah Byzantium tersebut. Untuk itulah pengiriman pasukan ke Syiria dan
Palestina sangat diperlukan. Sehingga kedua kota tersebut dapat ditaklukkan pada
masa pemerintahan khalifah Umar ibn al-Khattab.

Setelah kemenangan umat Islam dalam pertempuran Yarmuk pada tahun 13 H, Abu
Ubaidah ibn Jarrah mencoba menaklukkan beberapa wilayah di Syria dan
Pales¬tina. Setahun kemudian, yaitu pada tahun 14 H Damaskus dapat dikuasai.
Pada tahun 16 H tentara Islam di bawah pimpinan Amr ibn al-'Ash dapat
menaklukkan tentara Romawi di Ajnadin. Secara berturut-turut beberapa kota di
sekitar Syria dan Palestina juga dikuasai, seperti Baitul Maqdis dikuasai umat Islam
pada tahun 18 H. Dengan jatuhnya Baitul Maqdis, maka seluruh wilayah Syria dan
Palestina berada di bawah wilayah kekuasaan Islam.
2. Perluasan wilayah Islam ke Irak dan Persia
Setelah Syiria dan Palestina dapat dikuasai, maka khalifah Umar ibn al- Khattab
melanjutkan usahanya untuk memperluas pengaruh Islam ke Irak dan Persia.
Sebe¬nar¬nya Irak sudah dapat dikuasai oleh tentara Islam pada masa
pemerintahan Abu Bakar di bawah komando panglima Khalid ibn al -Waild. Akan
tetapi ketika pasukan Khalid meninggalkan Irak dan membantu pasukan Islam
lainnya di Syiria, kesempatan itu dipergunakan oleh orang-orang Persia untuk
mengusir umat Islam keluar dari Irak di bawah pimpinan panglima Rustum. Oleh
karena itu, Umar mengirim Sa'ad ibn Abi Waqqash untuk menundukkan kembali
Irak dan Persia. Setelah melalui peperangan yang dahsyat, akhirnya Irak dan Persia
dapat dikuasai kembali pada tahun 21 H, dalam perang Nahawand dan Qadisia
kemudian juga ditaklukkan.

Jatuhnya Qadisia. merupakan pertanda kemenangan besar bagi tentara Islam,


karena kota ini merupakan pusat pertahanan terakhir tentara Yazdazird, Kisra
Persia. Sejak saat itu, perkembangan Islam di Persia semakin maju, karena semua
masya¬ra¬kat¬nya telah memiliki peradaban yang cukup tinggi dan mereka
memadukannya dengan ajaran Islam yang telah mereka anut.

3. Perluasan wilayah Islam ke Mesir


Ternyata beban berat yang harus dipikul akibat penjajahan bangsa Ro-mawi Timur
tidak hanya menimpa penduduk Syria dan Palestina, juga me-nimpa penduduk
Mesir. Mereka merasa tersiksa karena tekanan pemerin¬tahan Byzan¬tium yang
meng¬haruskan seluruh penduduk Mesir membayar pajak melampuai batas
kemam¬puannya, selain dari perbenturan antara ideologi agama yang dianut
penguasa dengan yang dianut masya rakatnya.
Karena mereka tidak tahan atas perlakuan semena-mena dan tidak ma-nusiawi
seperti itulah kemudian mereka meminta bantuan kepada penguasa muslim di
Madi¬nah. Untuk itu khalifah Umar ibn al-Khattab pada tahun ke-18 H atau 639 M
meme¬rintahkan pasukan muslim yang sedang berada di Palestina untuk
melanjutkan per¬ja¬lanannya ke Mesir. Pasukan itu berada di bawah koman¬do
'Amr ibn al-'Ash yang me¬mimpin 4000 tentara. Amr ibn al-'Ash dan pasu¬kannya
memasuki wilayah Mesir melalui selat Wadi al-'Arish. Setelah menak¬luk¬kan
beberapa kota kecil, akhirnya ia menaklukkan kota Fushthat setelah meng¬adakan
pengepungan terhadap kota tersebut selama kurang lebih 7 bulan.

Pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn al-Khattab, wilayah keku¬a-saan Islam
telah meluas mulai dari sungai Eufrat sebelah Barat dan Sungai Jihun di sebelah
Timur, sebelah Selatan Laut Hindia dan di bagian Utara negeri Ar¬me-nia, Dengan
demi¬kian, wilayah kekuasaan Islam saat itu telah mencapai wilayah Eropa Timur.
Selain perkembangan politik perluasan wilayah kekuasaan, terdapat per-
kem¬bangan lain yang terjadi pada masa pemerintahan khalifh Umar ibn al-
Khat¬tab. Di antara perkembangan dan kemajuan yang dicapai adalah sebagai
berikut:
b. Perkembangan dalam bidang administrasi Pemerintahan

1. Pembagian Daerah kekuasaan

Khalifah Umar ibn al-Khattab telah membagi daerah Islam menjadi be¬be-rapa
wilayah atau propinsi. Masing-masing propinsi berada di bawah kekuasaan seorang
gubernur, seperti Kufah berada di bawah kekuasaan Sa'ad ibn Abi Waq¬qash.
Basrah di bawah kekuaaaan 'Athbah ibn Khazuan, dan Fusthath di bawah
kekuasaan 'Amr ibn al-‘Ash.

2. Membentuk Dewan-dewan, seperti:


a.Baitul Mal (Perbendaharaan Negara) yang bertugas mengatur masuk keluarnya
uang, sehingga keuangan negara dapat terkon-trol,
b.Dewan Angkatan Perang, yang bertugas menulis nama–nama ten¬tara dan
mengatur pemberian gaji mereka.
3. Menetapkan tahun hijriah sebagai tahun umat Islam. Penetapan tahun baru umat
Islam ini atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, yang kemudian direspon oleh khalifah Umar
bin al-Khattab. Dalam usaha penetapan itu terjadi diskusi antara tokoh umat Islam,
antara lain Ali bin Abi Thalib. Ada yang meng¬usul¬kan penetapan tahun baru
umat Islam didasari atas sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw, atau hijrah
Madinah. Ali bin Abi Thalib mengu¬sul¬kan agar penetapan tahun baru umat Islam
dida¬sari atas peristiwa hijrah Nabi dan umat Islam ke Madinah. Usulan inilah yang
kemudian diterima khalifah Umar bin al-Khattab dan ke¬mudian disepakati untuk
dijadikan sebagai ta-hun baru umat Islam, yaitu pada tahun 622 M/ 1 H.
4. Membangun dan merenovasi masjid-masjid, sepeti Masjid al-Haram, Masjid
Nabawi, Masjid al-Aqsha, dan Masjid Amr ibn al-'Ash.

C. Perkembangan Islam
Pada Masa Khalifah Usman ibn Affan ( 24-36 H/644-656 M)

1. Biografi Singkat Khalifah Usman ibn Affan

Usman ibn Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku
Qurays Bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhamad Saw
pada generasi ke-5. Sebelum masuk Islam ia dipanggil dengan sebutan Abu Amr. Ia
bergelar Dzunnurain, karena menikahi dua putri Nabi Saw, yaitu Ruqayah dan Ummi
Kulsum. Ayahnya bernama Affan dan ibunya bernama Arwa. Usman ibn Affan
meru¬pakan kerabat dekat Abu Sufyan, la adalah sahabat Nabi Saw yang pandai
membaca dan menulis, karena sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan
jujur, sehingga ketika dewasa ia merupakan salah satu orang yang berpengaruh di
jaziarah Arabia.
Usman ibn Affan masuk Islam atas ajakan Abu Bakar, salah seorang saha¬bat
de¬kat dekatnya. Ada satu riwayat yang menceritakan tentang keislamannya.
Suatu malam ia bermimpi dibangunkan oleh seseorang yang memanggil¬nya,
“Bangunlah, engkau tiduran saja, sementara Ahmad sedang, sibuk berdakwah di
Mekah. Setelah terbangun, ia termenung dan kemudian menemui Nabi
Muham¬mad dan menyatakan keislaman¬nya. Setelah pamannya bernama Hakam
men¬dengar ia masuk Islam, ia dicambuk ber¬kali-kali agar kembali kepada agama
nenek moyangnya. Namun karena dia telah me¬miliki tekad yang kuat untuk tetap
bertahan pada agama Islam, kekerasan yang di-terimanya tidak dirasakan bahkan
keimananya semakin kuat.

Selama masa mudanya ia terkenal sebagai seorang pemuda yang jujur dan baik
hati. Kejujuran dan kerendahan hati yang dimilikinya dijadikan sebagai mo¬dal
dalam kegiatannya berdagang, sehingga banyak orang yang terkesan dengan
kesedarhanaan dan kejujurannya tersebut. Kepribadian ini terbawa hingga ia masuk
Islam, Dampaknya adalah keuntungan yang diperolehnya semakin besar dan ia
menjadi orang kaya di kota Mekah saat itu. Setelah masuk Islam, keka¬yaannya
dipergunakan sebagai modal per¬juangan menegakkan ajaran Islam, baik ketika di
Mekah maupun di Madinah.
Ketika para sahabat Nabi Saw hijrah ke Habasy, Usman ibn Affan salah seorang
yang ikut di dalamnya. la mengikuti jejak para sahabat lainnya karena ia juga
mendapat gangguan bahkan ancaman dari para pembesar Qurays. Keper¬giannya
ke Habsyi semakin menambah mantap keyakinannya, karena apa yang dilihatnya di
daerah peng¬ungsian bahwa raja Nejus sendiri mengakui keberadan agama yang
dianutnya.

Begitu juga sekembalinya dari tanah perantauan Habsyi, Usman ibn Affan tetap
memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan agama Islam. Melalui
harta kekayaan yang dimilikinya, ia dermakan untuk kepentingan pe¬ngembangan
agama Islam. Sikap dan kepribadian ini dibawanya hingga ia hijrah ke Madinah dan
ketika menjadi khalifah.

Selama tinggal di Madinah seluruh hidupnya diabdikan untuk kepen-ting¬an dan


perjuangan Islam. Seluruh harta kekayaannya dipergunakan untuk kepen¬tingan
umat Islam. Dalam hal kedermawanan, Usman ibn Affan menempati posisi kedua
setelah Abu Bakar. Ketika Nabi Muhammad Saw merencanakan menggali mata air
untuk ke¬pentingan umat Islam di Madinah, ia mengeluarkan hartanya sejumlah
20,000 dirham. Begitu pula ketika Nabi Muhammad Saw ingin membeli sebidang
tanah untuk kepen¬tingan pembangunan masjid, yang kemudian dikenal dengan
nama masjid Nabawi, ia segera menyumbangkan hartanya.

Ketika terjadi perang Tabuk, saat umat Islam menghadapi kesulitan dana
pepe¬rangan, Usman ibn Affan menyumbangkan hartanya sekitar 10.000 dinar
tunai dan 1000 ekor unta untuk kepentingan pasukan Tabuk. Ketika perang Badar,
ia tidak ikut, karena isterinya yang bernama Ruqayah sedang sakit. Namun dalam
perang Uhud, Usman ibn Affan ikut terlibat didalamnya serta beberapa
pepe¬rangan lainnya.
Selain itu, ketika umat Islam ingin melaksanakan ibadah haji ke Mekah tetapi
dilarang oleh orang-orang kafir Qurays, ia diutus oleh Nabi Muhammad Saw sebagai
delegasi umat Islam untuk menyelesaikan persoalan antara kedua belah pihak.
Per¬so¬alan ini kemudian menghasilkan perjanjian Hudaibiyah. Tapi sayang, dalam
perjanjian ini ia tidak ikut serta, karena Rosulullah memberinya izin untuk tidak ikut
terlibat.

Pada saat pemerintahan khalifah Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab, ia
dibe¬ri¬kan kepercayaan untuk menangani masalah-masalah kenegaraan. Inilah
peran yang dimainkan Usman ibn Affan pada periode Madinah. Peran yang di-
mainkannya sangat berarti bagi upaya pengembangan Islam ke berbagai wilayah di
jazirah Arabia dan diluar jazirah Arabia. Keuangan negara sebagai
benda¬hara¬wan negara

2. Proses pengangkatan
Usman ibn Affan Sebagai Khalifah

Dalam keadaan sakit, khalifah Umar ibn al Khattab membentuk sebuah dewan
untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian
kepe¬mim¬pinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari Usman ibn Affan, Ali ibn
Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan
Sa'ad ibn Abi Waqqash. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka
yang akan menggantikannya sebagai khalifah. Abdurrahman ibn Auf dipercayakan
menjadi ketua pantia pemilihan tersebut.

Ada sebuah peraturan yang harus mereka patuhi, yaitu proses pemilihan harus
didasari atas musyawarah dan mufakat. Apabila dalam proses pemilihan tersebut
salah seorang di antara mereka mendapatkan suara terbanyak, maka dialah yang
berhak untuk diangkat menjadi khalifah. Namun apabila terdapat suara seimbang,
maka kepu¬tusannya harus diselesaikan lewat pengadilan, dan yang menjadi
hakimnya adalah Abdullah ibn Umar.
Setelah Umar ibn al-Khattab meninggal dunia, maka Abdurrahman ibn Auf
menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia yang bertugas menyeleksi calon
peserta pemilihan. Tugas pertama yang dijalankannya adalah menghubungi
bebe¬rapa tokoh ter¬kemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang pantas
diminta pertimbangan. Kemudian menghubungi keenam calon yang telah
disepakati bersama dalam dewan dan khalifah Umar ibn al-Khattab.

Selain menghubungi para tokoh berpengaruh, Abdurrahman ibn Auf


men¬de¬ngarkan pendapat dari rakyat kecil, seperti para petani, pengembala,
pedagang kecil dan lain-lain. Setelah memperoleh bahan masukan dan
pertimbangan dari berbagai la¬pisan masyarakat, Abdurrahman ibn Auf
mempersiapkan proses pemi¬lihan untuk segera dilaksanakan.

Namun proses pemilihan yang semula diinginkan berjalan sesuai dengan


ha¬rap¬an, menemui kesulitan, terutama dalam masalah calon peserta. Hal itu
dise¬babkan ka¬rena Pertama, berdasarkan pendapat umum bahwa mayoritas
masya¬ra¬kat menginginkan Usman ibn Affan menjadi khalifah, Kedua, di
kalangan sahabat yang dicalonkan timbul perbedaan pendapat. Abdurrahahman ibn
Auf cenderung kepada Usman ibn Affan, sementara Sa'ad ibn Abi Waqqash
menginginkan Ali ibn Abi Thalib menjadi khalifah. Ketiga, di antara sahabat Nabi
yang dicalonkan ada yang sedang berada di luar kota, sehingga belum dapat
diketahui pendapat¬nya. Keempat, baik Usman ibn Affan maupun Ali ibn Abi Thalib,
masing -masing memiliki keinginan untuk menjadi khalifah.

Demikialah problem yang dihadapi ketua panitia pelaksanaan pemilihan khali¬fah.


Namun berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya
pro¬ses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang
memenangkan Usman ibn Affan terpilih sebagai khlifah. Kemudian Abdur¬rahman
ibn Auf meng¬angkat tangan Usman ibn Afffan sebagai tanda penga¬kuannya
sebagai khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu Umar lbn al-Khattab.

Ketika terpilih sebagai khalifah, Usman ibn Affan telah berusia 70 tahun, usia yang
telah matang dan penuh bijaksana. Namun para sahabatnya banyak yang
me¬man¬faatkan situasi ini untuk memperoleh keuntungan kolompoknya, seperti
Bani Umayah dan para kerabatnya. Usman ibn Afffan menjadi khalifah se¬lama 12
tahun.

3. Islam pada masa khfalifah Usman ibn Affan

Setelah Usman ibn Affan dilantik sebagai khalifah, langkah pertama yang
dila¬kukannya adalah konsolidasi ke dalam dan ke luar. Upaya ke dalam dilakukan
sebagai salah satu cara untuk memperkuat perkembangan Islam, misalnya,
mem¬bangun masjid Nabawi di Madinah, pengumpulan dan penulisan al-Qur'an,
mem¬bentuk angkatan laut, dan sebagainya. Sedangkan pengembangan Islam ke
luar dilakukan dalam rangka penguatan masyarakat Islam dan ekspansi ke berbagai
wilayah di luar jaziarah Arabia. Untuk keterangan lebih rinci berikut uraiannya.

a. Membangun Masjid Nabawi di Madinah

Pada masa khalifah Usman ibn Affan, masjid Madinah dibongkar untuk
dire¬no¬vasi dengan ukuran yang lebih luas. Bentuk dan corak bangun¬an¬nya
di¬pe¬rindah, tiang-tiangnya dibuat dari beton dan bagian dindingnya dihiasi
de¬ng¬an ukiran-ukiran yang indah.
b. Usaha Pengumpulan dan Penulisan al -Qur'an

Usaha pengumpulan al-Qur'an menjadi satu mushaf merupakan kelan-jutan dari


usaha sebelumnya, terutama pada masa khalifah pertama dan kedua. Pada tahun
26 H khalifah Usman ibn Affan mengkonsentrasikan pada upaya penulisan al-Qur'an
dengan membentuk panitia penulisan dan pembukuan al-Qur'an yang diketuai oleh
Zaid ibn Tsabit. Seperti diketahui bahwa Zaid ibn Tsabit adalah salah seorang
sahabat Nabi Saw yang dipercaya sebagai sekretaris Nabi saw untuk mencatat
semua wah¬yu yang diturunkan kepada Rasulullah saw, Selain itu, ia juga termasuk
dalam seorang sahabat yang hafal al-Qur'an. Sementara Abdulah ibn Zubair, Sa'ad
ibn Abi Waqqash dan Abdur¬rahman ibn Haris ibn Hisyani adalah sebagai anggota.
Mereka diminta untuk menvylin al-Qur'an yang terdapat di beberapa tempat,
seperti di lembar pelapah kurma, bebatuan, kulit dan tulang untuk dibukukan
menjadi sebuah mushaf. Al- Qur'an yang ditulis dan dibukukan ini kemudian dikenal
dengan sebutan mushaf. Mushaf yang ditulis sebanyak 5 buah. 4 buah di antaranya
dikirim ke masing-masing wilayah Islam sebagai pedoman bacaan yang benar.
Sedangkan sebuah lagi disimpan di Madinah untuk khalifah Usman sendiri. Mushaf
itu kemudian dikenal dengan istilah Mushaf al- imam atau Mushaf Usmani.

c. Pembentukan Angkatan Laut

Pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan daerah Islam telah sampai ke
Afrika Mesir, Cyprus dan Konstatinopel. Daerah-daerah ini banyak dike¬lilingi
lautan. Karena itu, Muawiyah ibn Abi Sufyan yang ketika itu sebagai gubernur Syria
memberikan usul kepada khalifah untuk membentuk armada laut. Mengingat
pentingnya transportasi laut, maka usulan itu disetujui kha¬li¬fah, Armada ini tidak
hanya dijadikan sebagai sarana penting dalam per¬ta¬han¬an, juga sebagai alat
transportasi untuk mengontrol wilayah kekuasaan Islam.

d. Perluasan Wilayah Islam

Pada masa pemerintahan khalifah Usman, penyebaran Islam telah sampai ke


wilayah yang sangat luas, mulai dari Afrika hingga wilayah Asia Tengah. Berikut
uraian secara ringkas mengenai usaha perluasan yang dilakukan khalifah Usman
ibn Affan.

1. Perluasan Khurasan

Khalifah Usman ibn Affan mengutus Sa'ad ibn ’Ash bersama Huzaifah ibn Yaman
untuk memimpin pasukan Islam ke Khurasan. Di dalam rombongan pasukan ini ikut
pula beberapa orang sahabat Nabi Saw yang lain. Setelah terjadi pertempuran
sengit, akhirnya Khurasan dapat dikuasai.

2. Perluasan ke Armenia
Khalifah usman ibn Affan mengutus Salam Rabiah al-Bahly untuk berdakwah ke
Armenia. la berhasil mengajak kerjasama dengan pen¬duduk Aremenia untuk
menerima ajaran Islam. Namun begitu, ia juga banyak mendapat tantangan dari
mereka yang tidak suka atas dakwah Islam yang dikembangkannya. Tetapi semua
itu dapat di¬atasi dengan cara memerangi mereka hingga mereka menyatakan
tunduk di bawah pemerintahan Islam.

3. Perluasan Islam ke Afrika Utara (Tunisia).

Afrika Utara sebelum kedatangan Islam merupakan satu wila-yah yang berada di
bawah kekuasaan bangsa Romawi. Perla-kuan para penjajah terhadap penduduk
tidak menyenangkan, akhirnya mereka meminta bantuan kepada pemerintahan
Islam di Madinah. Untuk itu, khalifah Usman ibn Affan mengirim Abdullah ibn Sa'ad
ibn Abi Sa'ad ibn Abi Sarah untuk memim¬pin pasukan menaklukkan Afrika Utara
dan mengusir bangsa Romawi. Pasukan Islam mendapat simpati dan dukungan
yang kuat dari masyarakat setempat, sehingga bangsa Romawi dapat dikalahkan.
Dengan jatuhnya wilayah Afrika Utara, berarti wilayah itu berada di bawah
kekuasaan Islam.

4. Penaklukan Ray dan Azerbeijan

Pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn al-Khattab. Masya¬rakat Azerbeijan


selalu membayar pajak, Tetapi pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan
banyak di antara mere¬ka yang menolak membayar pajak bahkan banyak di antara
mereka yang mem¬bang¬kang dan memberontak terhadap peme¬rintahan Islam
di Madina. Untuk mengatasi hal itu, khalifah Us¬man ibn Affan memerintahkan
Walid ibn Uqbah yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Kufah untuk
memberantas para perusuh tersebut. Walid ibn Uqbah menge-rahkan 6000 pasukan
untuk mengepung penduduk Azerbeijan dan 4000 pasukan ke Ray. Dengan
kekuatan besar ini, akhirnya kedua wilayah pem¬berontak dapat dikuasai.

D. Perkembangan Islam paa masa


Khalifah Ali ibn Abi Thalib ( 36- 41 H/656-661 M )

1. Biografi Singkat Ali ibn Abi Thalib

Ali ibn Abi Thalib adalah khalifah keempat setelah Usman ibn Affan. Na¬ma
lengkapnya adalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf.
la dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran RasuluIIah Saw. Sejak Usia kecil Ali ibn Abi
Thalib diasuh oleh Nabi Muhamad Saw. la diasuh sebagaimana anak kandung Nabi
sendiri. Hal itu dilakukan Rasulullah Saw untuk meringan¬kan beban berat yang
diderita keluarga pamannya setelah bencana besar yang melanda kota Makah.
Setelah bencana terjadi, Nabi Muhamad Saw memohon kepada pa¬mannya yang
lain, yaitu Abbas ibn Abdul Muthalib agar membantu saudaranya yang sedang
terkena musibah. Akhirnya Abbas setuju dan meng¬ambil Ja'far ibn Abi Thalib untuk
diasuh, sementara Nabi Saw mengambil Ali ibn Abi Thalib un¬tuk diasuhnya pula.

Dengan demikian, Ali ibn Abi Thalib tumbuh menjadi anak baik dan cer-das di
bawah asuhan Rasulullah Saw. Rasulullah saw selalu memberikan kasih saying yang
besar kepadanya, sebagaimana yang ia berikan kepada anak-anaknya. Ketika
Muhamad Saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ali ibn Abi Thalib adalah orang
pertama dari kalangan anak-anak yang menyatakan keislamannya serta terus
berada di sisi Rasulul¬lah Saw. Karena sejak kecil berada di bawah asuhan Rasul,
maka tak heran kalau kemu¬dian ia memiliki sifat-sifat terpuji, shaleh, sabar, adil
dan bijaksana. Kesetiannya kepada Nabi Saw tidak diragukan lagi. Keberaniannya
telah teruji ketika ia tidur di tempat tidur Rasul pada saat para pemuda Qurays akan
membunuh rasulullah saw.

Perbuatannya yang mengandung risiko ini merupakan bukti nyata dari


kese¬tia¬annya untuk tetap berada di samping Rasulullah Saw dalam membela
dan mem¬per¬ju¬angkan agama Islam. Demikian uraian singkat mengenai peran
yang telah dimainkan Ali ibn Abi Thalib pada periode Mekah. Sebagai seorang anak
kecil yang baru berusia 9 tahum, Ali bin Abi Thalib percaya kepada misi Islam yang
dibawa Nabi Muhammad Saw. Beliau merupakan seorang anak kecil pertama yang
menerima Islam, Hal itu bisa saja terjadi karena memang sejak kecil ia berada
dalam asuhan Nabi Muhamad Saw, sehingga ia memiliki sifat-sifat yang juga dimiiiki
Nabi Saw, seperti kecerdasan, keberanian, kesabaran, kejujuran, ke¬takwaan dan
kesalehannya. Karenanya wajar kalau kemudian ia disenangi banyak orang. Karen
itulah di antara alasan mengapa Nabi Saw kemudian menga¬win¬kannya dengan
Fatimah, puteri Nabi sendiri setahun setelah kepindahannya ke Madinah.

Ali ibn Abi Thalib boleh dibilang adalah tangan kanan Nabi Muhamad Saw, ketika di
Madinah. Sebagaimana halnya ketika ia masih berada di Makah, ia selalu diberi
kepercayaan untuk menyelesaikan segala rencana yang memerlukan keberanian
dan semangat yang luar biasa. Karena Ali ibn Abi Thalib pula pen¬duduk suku
Hamdan dan sebagian penduduk Yaman memeluk agama Islam,

Pada waktu Nabi Muhammad Saw wafat, terjadilah perselisihan antara ka¬um
Muhajirin dan Anshar tentang orang yang akan menggantikan kepemimpinan
Rasulul¬lah sebagai kepala pemerintahan. Dalam situasi seperti itu, Ali ibn Abi
Thalib tidak mau mengikuti perdebatan ini karena ia sedang sibuk mengurusi
jenazah Nabi Muhammad Saw. Karena itu, ketika Abu Bakar terpilih sebagai
khalifah, ia belum sempat menya¬takan baiat kepadanya. Hal itu baru
dilaku¬kan¬nya setelah enam bulan Abu Bakar ter¬pilih sebagai khalifah pertama.
Pada periode Madinah, Ali ibn Abi Thalib memainkan peranan yang ber-arti bagi
perkembangan Islam pada saat itu. la selalu ikut perang bersama Ra-sulullah dan
para sahabat lainnya. Selain itu, semasa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan
Umar ibn al-Khattab, ia dipercaya untuk menjadi penasihat pemerintah. Hal ini
terjadi karena Ali ibn Abi Thalib di kalangan masyarakat muslim sangat terkenal
karena keluasan ilmunya. Ia menjadi tempat bertanya dan berdiskusi.

2. Proses Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib

Setelah meninggalnya khalifah Usman ibn Affan masyarakat muslim di Madinah


menjadi bingung, Mereka seolah kehilangan tokoh yang akan meng-gantikan
keduduk¬an khalifah Uisman. Dalam situasi seperti itu, Abdullah bin Saba salah
seorang pemim¬pin di Mesir mengusulkan agar Ali bn Abi Thalib diang¬kat sebagai
khalifah. Usulan tersebut disetujui mayortas masyarakat muslim, kecuali mereka
yang pro ke Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ali ibn Abi Thalib semula menolak usulan
tersobut dan tidak mau menerima jabatan tersebul. Alasannya, situasinya kurang
tepat, karena banyak terjadi kerusuhan di mana-mana. Situasi ini harus diatasi
terlebih dahulu baru membicarakan masalah kepemimpinan. Namun karena ia terus
mendapat desakan dari para pengi¬kutnya, akhirnya tawar¬an untuk menduduki
jabatan khalifah diterima. Tepat pada tanggal 23 Juni 656 M semua orang yang
menginginkann jabatan itu berada di tangan Ali ibn Abi Thalib melakukan sumpah
setia kepada Ali ibn Abi Thalib. Sejak saat itulah ia menjadi penguasa Islam yang
baru menggantikan kedudukan Usman ibn Affan.

Sebagai seorang khalifah Ali ibn Abi Thalib ingin meneruskan cita-cita Abu Bakar
dan Umar ibn al-Khattab. Dia mau mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip Baitul
mal. Untuk itu, khalifah Ali ibn Abi Thalib memutuskan untuk mengem¬balikan
semua kekayaan yang diperoleh para pejabat melalui cara-cara yang tidak baik ke
dalam per¬bendaharaan negara (Baitul Mal). Misalnya mengembalikan se¬mua
tanah yang diambil alih oleh Bani Umayah dan para pejabat lainnya menjadi milik
negara dan akan diman¬faatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
pem¬bangunan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu khalifah Ali juga bertekad untuk mengganti semua gubenur yang
di¬anggapnya tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. la
menco¬pot ja¬batan gubernur Basrah dari tangan ibn Amir dan digantikan oleh
Usman ibn Hanif. Qays dikirim ke Mesir untuk menggantikan posisi Abdullah. Para
gu¬bernur yang dico¬pot menolak penonaktifan mereka, karena menurut mereka
pada prinsipnya mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib. Oleh
karena itu tidak ada alasan Ali ibn Abi Thalib mencopot kedudukan mereka. Mereka
jus¬teru memilih mengakui Mua¬wiyah daripada mengakui kedudukan Ali.
Penolakan ini merupakan salah satu tan¬tangan yang dihadapi khalifah Ali ibn Abi
Thalib dalam masa-masa kepemimpinannya pada masa-masa selanjutnya. Mereka
kemu¬dian melakukan berbagai geraka pembe-rontakan untuk menentang
kebijakan khalifah Ali ibn Abi Thalib.

3. Perkembangan Islam pada masa khalifah Ali ibn Abi Thalib

Meskipun banyak pergolakan yang terjadi pada masa pemerintahan khali¬fah Ali
ibn Abi Thalib, banyak hal yang dilakukannya dalam usaha pengem¬bang¬an
Islam, baik perkembangan dalam bidang sosial, politik, militer, dan ilmu
pe¬ngetahuan. Berikut uraian singkat mengenai perkembangan Islam pada masa
pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib,

a. Perkembangan dalam bidang pemerintahan

Situasi umat Islam pada masa pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib sudah
sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumya. Umat Islam pada masa
peme¬rintahan Abu bakar dan Umar ibn al-Khattab masih bersatu, mereka
memi¬liki banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan
perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam
masih sangat sederhana karena belum banyak terpengaruh oleh kemewahan
duniawi, kekayaan dan kedudukan.
Namun pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan keadaan mulai berubah.
Perjuanganpun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal lain yang bersifat duniawi,
Oleh karena itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa be-rikutnya semakin
berat. Usaha -usaha Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam meng-atasi per¬soalan
tersebut tetap dilakukannya, meskipun ia mendapat tantangan yang sangat tuar
biasa. Semua itu bertujan agar masyarakat merasa aman, tentram dan
se¬jah¬tera. Usaha-usaha yang dilakukan semasa kepemimpin¬annya adalah
sebagai beri¬kut:

1. Mengganti para gubernur yang diangkat khalifah Utsman.

Semua gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman ibn Affan terpaksa di¬ganti.
karena banyak masyarakat yang tidak senang. Menurut peng¬a¬matan kha¬lifah
Ali ibn Abi Thalib, para gubernur inilah yang menye¬bab¬kan timbulnya ber¬bagai
gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Mereka
melakukan hal itu karena khalifah Us¬man pada paruh kedua masa
kepe¬mimpinnnya tidak mampu lagi mela¬kukan kontrol terhadap para penguasa
yang berada di bawah peme¬rintahannya. Hal itu disebabkan karena usianya yang
sudah lanjut usia, selain para gubernur sudah tidak lagi banyak yang memiliki
idealisme untuk memperjuangkan dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini
pada akhirnya membuat sengsara rakyat banyak, sehingga rakyat pun tidak suka
ter¬hadap mereka. Berdasarkan pengamatan inilah kemudian khalifah Ali ibn Abi
Thalib mencopot mereka.
Adapun para gubernur baru yang diangkat khalifah Ali ibn Abi Thalib sebagai
pengganti gubernur lama ialah :
a. Sahl ibn Hanif sebagai gubernur Syria.
b. Utsman ibn Affan sebagai gubernur Basrah,
c. Qays ibn Sa'ad sebagai gubernur Mesir.
d. Umrah ibn Syihab sebagai gubernur Kufah.
e. Ubaidah ibn Abbas sebagai gubernur Yaman.

2. Menarik kembali tanah milik negara.

Pada masa pemerintahan khalifah Usman ibn Affan banyak para kera-batnya yang
diberikan fasilitas dan kemudahan dalam berbagai bidang hingga banyak di
anta¬ra mereka yang kemudian merongrong pemerintahan khaiifah Usman ibn
Affan dan harta kekayaan negara . Oleh karena itu, ketika Ali ibn Abi Thalib menjadi
khalifah, ia memiliki rasa tanggungjawab yang besar untuk menye¬lesaikan
persoalan tersebut. la berusaha menarik kembali semua tanah pemberian Usman
ibn Affan kepada keluar¬ganya untuk dijadikan milik negara,

Usaha ini bukan tidak mendapat tantangan. Khalifah Ali ibn Abi Thalib ba¬nyak
mendapat perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan khalifah Us¬man
ibn Affan. Salah seorang yang dengan tegas dan terus terang menentang khalifah
Ali ibn Abi Thalib adalah Muawiyyah ibn Abi Sufyan. Muawiyah me¬nen¬tang
karena dia sendiri tengah terancam kedudukannya sebagai gubernur Syria. Untuk
menghambat gerakan khalifah Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah melakukan hasutan
kepada para sahabat lainnya supaya menentang rencana khalifah. Selain itu, ia
melakukan kerjasama dengan para mantan gubernur yang dicopot khalifah Ali ibn
Abi Thalib, Usaha ini berhasil, misalnya timbulnya perang Jamal, perang Shiffin dan
sebagainya.

Semua tindakan khalifah Ali ibn Abi Thalib semata bertujuan untuk
mem¬ber¬sih¬kan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme di dalam
pemerintahannya. Na¬mun sayang, situasinya tidak tepat, sehingga khalifah Ali ibn
Abi Thalib menang¬gung segala risi¬ko¬nya. la tewas terbunuh di tangan orang
yang tidak menyu¬kai¬nya.

3. Dalam bidang politik militer

Khalifah Ali ibn Abi Thalib memiliki banyak kelebihan, seperti kecer¬das-an,
kete¬litian, ke

tegasan, keberanian dan sebagainya. Karena ketika ia terpilih sebagai khalifah, jiwa
dan semangat itu masih membara di dalam dirinya. Banyak usaha yang
dila¬ku¬kannya. termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk
kepentingan ne¬gara, Agama dan umat lslam ke masa depan yang lebih
cemerlang. Selain itu, dia juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani
penasihat yang bijaksana, penasehat hukum yang ulung, dan pemegang teguh
tradisi, seorang sahabat sejati dan seorang kawan yang dermawan. Dia telah
bekerja keras sampai akhir hayatnya dan merupakan orang kedua yang
berpengaruh setelah Nabi Muhammad Saw.

Khalifah Ali ibn Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan si¬kap dan
sifat keberanianya, baik dalam keadaan damai ataupun dalam situasi kri¬tis. Beliau
amat tahu medan dan tipu daya musuh, Ini kelihatan sekali pada saat perang
Shiffin. Dalam perang ini, khalifah Ali ibn Abi Thalib mengetahui benar bahwa siasat
yang dibuat oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan hanya untuk mem¬per¬daya kekuatan
khalifah Ali ibn Abi Thalib. Misalnya ketika Muawiyah menem¬patkan al-Qur'an di
ujung tombak sebagai isyarat perdamain. Khalifah Ali ibn Abi Thalib menolak ajakan
damai, karena dia sangat mengetahui bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat
licik.

Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamain itu.


Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah Tahkim ( arbitraser) di DaumatuI
Jandal pada tahun 34 H. Peristiwa ini sebenarnya merupakan bukti kelemahan
dalam sistem pertahanan pada masa pemerintahan khalifah Ali. Khalifah Ali telah
berusaha memperbaiki sistem yang ada, namun selalu dikalahkan oleh kelompok
orang yang tidak senang terhadap kepemimpinannya,

Akibat peristiwa tahkim ini, timbullah tiga golongan dikalangan umat Is-lam, yaitu,
kelompok khawarij, kelompok Murjiah, dan kelompok Syiah (pengi-kut Ali). Ketiga
kelomopok ini pada masa berikutnya merupakan golongan yang sangat kuat yang
mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.

4. Dalam bidang ilmu bahasa.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah
melampaui sungai Eufrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat
luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal
dari kalangan masyarakat Arab memeluk Islam banyak ditemukan kesalahan dalam
membaca teks al-Qur'an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam,

Khalifah Ali ibn Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan ini sangat fatal, terutama
bagi orang-orang yang akan mempelajari ajaran Islam dari sumber asli¬nya yang
berbahasa Arab. Oleh karena itu, khalifah memerintahkan Abu aI-As¬wad al-Duali
mengarang pokok-pokok ilmu Nahwu (Qawaid Nahwiyah)

Dengan adanya ilmu nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam
memperlajari bahasa al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari
masya¬rakat Arab akan mendapatkan kemudahan dalam membaca dan
memahami sum¬ber ajaran Islam.
5. Dalam Bidang Pembangunan

Pada masa pemerintahan khaliah Ali lbn Abi Thalib, terdapat usaha positif yang
dilaksanakannya, terutama dalam masalah tata kota. Salah satu kota yang
dibangun adalah kota Kufah. Semula pembanguan kota Kufah ini bertujuan politis
untuk dija¬dikan sebagai basis pertahanan kekuatan Ali ibn Abi Thalib dari
ber¬bagai rongrongan para pembangkang, misalnya Muawiyah ibn Abi Sufyan,
Akan tetapi, lama ketamaan kota tersebut berkembang, menjadi sebuah kota yang
sangat ramai dikunjungi bahkan kemudian menjadi pusat pengembangan ilmu
penge¬ta¬huan keagamaan, seperti perkembangan ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan
seba¬gainya.

Pembangunan kota Kufah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara kha-lifah Ali ibn
Abi Thalib mengontrol kekuatan Muawaiyah yang sejak semula tidak mau tunduk
terhadap perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh deng¬an pusat
pergerakan Muawiyah ibn Abi Sufyan, maka boleh dibilang kota ini sangat strategis
bagi perta¬hanan khalifah.

Ringkasan

Abu Bakar al-Shiddieq menjadi khalifah selama lebih kurang 2 tahun, yaitu dari
tahun 11-13 H/ 632-654 M. selama berkuasa banyak usaha pengem-bangan Islam
yang dilakukan, di antaranya pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an untuk dibukukan,
perluasan wilayah sebagai bagian dari usaha dakwah Islam, dan stabilitas sosial
politik dengan memerangi kelompok yang menentang, se-perti mereka yang
mengaku dirinya sebagai nabi, mereka yang tidak mau membayar zakat, dan lain
sebagainya. Keberhasilan usahanya mempertahankan ideologi dan ajaran Islam dari
para pembangkan, meru¬pa¬kan salah satu prestasi gemilang yang dilakukannya.
Selain itu, usahanya dalam meng¬umpulkan al-Qur;an boleh dibi¬lang
monumental, karena hingga kini masih dapat dibaca. Usahanya ini kemudian
dilanjutan oleh khalifah Usman bin Affan.

Khalifah kedua adalah Umar bin al-Khattab yang berkuasa lebih kurang 10 (sepuluh)
tahun, mulaitahun 13-24 H/ 634-644 M. Selama masa pemerin-tahannya, boleh
dibilang situasi sosial politik, ekonomi sangat maju, sehingga dikenal dalam sejarah
sebagai masa keemasan kedua. Karena itu, khalifah Umar memiliki kesem¬patan
lebih luas untuk melakukan dakwah dan perluasan wila-yah kekuasaan Is¬lam ke
luar Madinah, seperti ke Syria, Palestina, dan lain-lain. Ketika berada di lu¬ar
Madinah, umat Islam pada masa ini bertemu dengan pera-daban yang sudah jauh
lebih maju, maka saat itu terjadi percampuran peradaban yang kemudian
dikembangkan dengan karakteristik umat Islam, sehingga men¬jadi peradaban
Islam. Pada masanya juga dikembangkan sistem pemerintahan dengan membagi
daerah kekuasaan dan pembentukan lembaga-lembaga peme¬rintahan, seperti
Bai¬tul Mal, dan Dewan al-Harbi.. Jasanya yang sangat monu¬men¬tal hingga kini
adalah penetapan tahun baru hijriyah sebagai tahun atau kalender umat Islam.

Sementara khalifah ketiga adalah Usman bin Affan yang berkuasa lebih kurang
selama 12 (dua belas) tahun, yaitu dari 24-36 H/644-656 M. Selama masa
pemerin¬tah¬annya, banyak jasa dan usaha yang ditinggalkannya, salah satunya
adalah pembukuan al-Qur’an yang kemudian dikenal sebagai mushaf Usmani.
Model inilah yang kita gunakan sekarang ini.

Sementara khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu dan se-kaligus
menantu Rasulullah Saw. Ia berkuasa selama lebih kurang 7 (tujuh) ta-hun, yaitu
dari tahun 36-41 H/ 656-661 M. Selama masa pemerintahannya, situasi sosial politik
kurang mendukung, karena perseteruannya dengan Mu’awiyah dan ke¬lompok
Khawarij. Meskipun begitu, banyak juga usaha yang dilakukannya seperti
pembenahan sistem pmerintahan dan mengganti para pejabat yang dianggap
korup dan pemberontak.

You might also like