You are on page 1of 5

Seri Pemikiran Tokoh Nasional

Mohammad Hatta

Pengantar
Sebagai seorang cendekiawan, dia dikenal dengan pemikiran-pemikiran yang berorientasi
pada kesejahteraan rakyat dan ekonomi kerakyatan. Hal ini terbukti dari kontribusinya dalam
penyusunan UUD 1945, khususnya Pasal 34, yang menjamin kesejahteraan rakyat.
Beberapa pihak mungkin menangkap pemikiran-pemikirannya sebagai ekonom sosialis,
tetapi bila kita cermati pemikiran tersebut mempunyai latar belakang kerakyatan. Melihat
kondisi perekonomian nasional saat ini, adalah tepat bila kita mencari referensi dari seorang
ekonom Indonesia yaitu Bung Hatta dengan ide-idenya tentang ekonomi kerakyatan.

Terpuruknya perekonomian Indonesia pasca krisis ekonomi ini, sebenarnya dapat dijadikan
pelajaran berharga bagi para ekonom Indonesia. Selama ini paradigma yang berkembang di
kalangan ekonom adalah mazhab neo-klasik, yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Dalam aliran ini pertumbuhan ekonomi diperoleh dari akumulasi kapital. Ironisnya, orientasi
pertumbuhan ekonomi ini sering melupakan hal penting lainnya yaitu pemerataan
kesejahteraan. Dalam sebuah tulisannya tahun 1933 yang berjudul "Ekonomi Rakyat Dalam
Bahaya", Bung Hatta mengemukakan ada ketidakadilan dalam struktur perekonomian
Indonesia.

Lintasan sejarah dan pemikiran Bung Hatta.


Jika membuka catatan sejarah, sebelum tahun 1932 Bung Hatta melahirkan istilah
Kedaulatan Rakyat. Yang pada saat itu dikenal dengan Volkssouvereiniteit. Istilah tersebut
dimuat secara tegas oleh majalah Daulat Rakyat. Konsep ini berbeda dengan paham serupa
di dunia Barat yang hanya memberikan ruang pengertian demokrasi politik semata.
Kedaulatan Rakyat versi Bung Hatta melihat demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi
di dalamnya. Dimana Kedaulatan Rakyat di Indonesia bersumber dari sifat-sifat dan sikap
hidup bangsa Indonesia sendiri.

Menjelang Indonesia merdeka, konsep Kedaulatan Rakyat kembali dipertegas oleh Bung
Hatta. “Kalau Indonesia sampai merdeka, mestilah ia menjadi Kerajaan Rakyat, berdasarkan
kemauan rakyat,”. Asas Kerakyatan ini mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada
rakyat. Segala hukum (recht, peraturan-peraturan negeri) wajib berpegang pada keadilan
dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan
haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat.

Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan segala jenis manusia yang
beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Pendeknya cara mengatur pemerintahan, negara, cara menyusun perekonomian rakyat,
semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias
raja atas dirinya. Tidak lagi orang, seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan
kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti
kedaulatan rakyat. Inilah dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja
dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi; keputusan
dengan mufakat rakyat banyak.

Begitu indahnya jika satu konsep pemikiran ini bisa tertular dalam benak pengambil
kebijakan di negeri ini. Mungkin perubahan zaman, terlebih di masa multi krisis seperti ini,
sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Masih sulit untuk dimengerti ketika ada
pejabat tinggi negara yang mau-maunya menggunakan uang negara demi kepentingan
pribadi semata. Perbedaan perlakuan pemerintah terhadap para pemodal besar dan
investor asing dengan para pengusaha kecil dan lokal, pengusiran dan penggusuran
pedagang kaki lima tanpa adanya solusi yang pasti semakin memperjelas hilangnya rasa
toleransi dan rusaknya tatanan demokrasi ekonomi yang dicita-citakan Bung Hatta.
Padahal jauh-jauh hari Bung Hatta telah mencontohkan bagaimana tumbuhnya rasa hormat
pada sesama manusia, baik kawan atau pun lawan.

Berpacunya kehendak untuk memiliki kebebasan tanpa batas dan keinginan mematikan arti
suatu kritik pada orang lain mengakibatkan perbedaan pendapat lebih dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat diterima. Mulai hancurnya cita-cita pluralisme yang diikrarkan para
pemuda mengakibatkan kehidupan di Indonesia menjadi terkotak-kotak. Putusnya harapan
terhadap demokrasi karena penyelewengan terhadap fungsi demokrasi mengakibatkan
kegagalan terciptanya pemerintahan yang kuat dan efektif. Hancurnya perekonomian
sebagai akibat carut-marutnya birokrasi, kekerasan dan intimidasi berkepanjangan disertai
dengan kurangnya dukungan terhadap pedagang kecil dan keberpihakan pada pemilik
modal besar menyebabkan sulit berkembangnya usaha kecil dan bertambah kompleksnya
masalah di Indonesia.

Kemampuan untuk meletakkan dasar-dasar pemikiran layaknya Hatta mulai jarang


ditemukan, bahkan konsep ekonomi rakyat yang diusung oleh Bung Hatta yang kemudian
secara formalnya termaktub dalam UUD 1945 dalam pasal 33 mulai bergoyang. Ekonomi
rakyat yang digagas oleh Bung Hatta berdasarkan kondisi pada saat itu terjadi baik di Asia
maupun di Eropa, yaitu sebagai akibat adanya pertentangan kelas yaitu antara kelas borjuis
dan kelas proletar.

Menurut Bung Hatta ekonomi Rakyat Indonesia adalah suatu jalan tengah sebagaimana
yang merupakan Filosofi dari pasal 33 UUD 1945, yang menurut berbagai kalangan sudah
mencakup dua aliran utama ekonomi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Bung Hatta
berpendapat, kemandirian ekonomi suatu bangsa hanya akan dapat tercapai apabila
seluruh mesin kegiatan ekonomi digerakkan oleh kekuatan rakyat, yang kesemua itu masih
sangat relevan dan terulang kembali di masa sekarang. Dimana kapitalis dan sosialis
muncul dengan baju baru tetapi tetap dengan paradigma yang sama.

Kebangsaan
Tentang masalah kebangsaan, Bung Hatta memandang ada bermacam-macam rupa dan
golongan yang memajukannya. Pada masa pergerakan, setidaknya Bung Hatta melihat ada
tiga macam rasa kebangsaan, yaitu kebangsaan cap ningrat, kebangsaan cap intelek dan
kebangsaan cap rakyat. Rasa kebangsaan yang dimiliki kaum ningrat merupakan golongan
pemerintah yang sejak jaman penjajahan berharap, jika Indonesia merdeka merasa dalam
hati bahwa kekuasaan akan berpindah ke tangan mereka. Mereka merasa dalam hati bahwa
mereka mempunyai hak mendasar riwayat alias historisch Recht atas pemerintahan
Indonesia. Bagi kaum ningrat, kembalinya kejayaan Majapahit ke atas alam Indnesia
senantiasa menjadi obsesi. Dalam situasi kebangsaan seperti ini rakyat menempati posisi
marjinal.

Bagi kaum intelek, terpelajar, dan cerdik pandai, kekuasaan haruslah berada di tangan
mereka. Bila kemerdekaan tercapai, karena mereka memiliki kemampuan tinggi, merekalah
yang akan memimpin memajukan bangsa dan negara. Mereka menolak sistem keturunan,
sebab yang terpenting adalah pendidikan atau kemampuan. Bukan bangsawan daerah yang
mereka akui, melainkan karena otak dan kecakapan. Posisi rakyat dalam teori ini juga
marjinal, sebab mereka hanya digunakan untuk membesarkan pengaruh mereka.
Kebangsaan cap ningrat maupun kebangsaan cap intelek, tidak sesuai dengan keinginan
Hatta, karena keduanya memandang rendah rakyat, dan keduanya kurang
mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan.
Kebangsaan yang dicita-citakan Hatta adalah kebangsaan cap rakyat. Di samping itu,
kebangsaan yang dianut Hatta bukanlah kebangsaan yang membenci bangsa lain.Semua
bangsa hendaknya menjalin persaudaraan, tetapi tentu hal itu tidak mungkin terjelma
selama kedudukan bangsa bertinggi-rendah, bila yang satu menjadi penjajahdan yang lain
terjajah. Hubungan persaudaraan antar bangsa hanyalah bias terjalin bila kedua bangsa
tersebut sederajat.

Politik Luar Negeri


Politik luar negeri yang kita kenal sekarang adalah bebas aktif, walau ketika Hatta
memberikan penjelasan saat itu tidak pernah menyebut kata tersebut. Tujuan sesungguhnya
adalah mencapai kemerdekaan Indonesia seluruhnya. Oleh karena itu, segala siasat ke
dalam dank e luar disusun untuk melaksanakan Indonesia tersebut. Sedangkan mengenai
kedudukan Indonesia di dunia Internasional,kita harus pintar membaca situasi dunia.
Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan berada dalam posisi persimpangan dalam
hubungan internasional.

Secara jelas dan sistematis tujuan poliitk luar negeri menurut Hatta pokok-pokoknya
adalah sebagai berikut.
1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan menjaga keselamatan negara.
2. Memperoleh dari luar negeri barang-barang yang diperlukan untuk memperbesar
kemakmuran rakyat, apabila barang-barang itu tidak atau belum dihasilkan sendiri.
3. Perdamaian internasional, karena hanya dalam damai Indonesia dapat membangun
dan memperoleh syarat-syarat yang diperlukan untuk memperbesar kemakmuran
rakyat.
4. Persaudaraan segala bangsa sebagai pelaksanaan dari cita-cita yang tersimpul
dalam Pancasila menjadi dasar filsafat negara kita.

Penutup
Bung Hatta selalu mencari strategi untuk berjuang tanpa kekerasan. Senjatanya adalah otak
dan pena. Beliau lebih memilih untuk menyusun strategi, melakukan negosiasi dan menulis
berbagai artikel bahkan kritikan pedas untuk memperjuangkan nasib bangsa daripada
melawan menggunakan kekerasan. Sadar atau tidak, saat ini semakin tipisnya rasa
kesatuan dan batas toleransi tiap warga negara disertai dengan semakin jauhnya
kesenjangan yang ada sebagai akibat meluasnya konflik perseorangan menjadi konflik yang
terkait dengan suku, agama, ras dan golongan tertentu.

Sampai akhir hayatnya merupakan tokoh yang konsisten antara perkataan dan
perbuatannya. Sikap dan tingkah laku Bung Hatta kelihatan sebagai pantulan langsung dari
apa-apa yang sebenarnya menjadi buah pikirannya. Atau bisa dikatakan bahwa sikap dan
tingkah laku Bung Hattta yang terlihat sebenarnya merupakan personifikasi dari pemikiran-
pemikirannya.
Apa yang mungkin kurang jelas disampaikannya dalam bentuk karya tulisan atau pemikiran,
hal itu akan lebih mudah dimengerti melalui sikap dan tingkah laku yang diperlihatkannya. Di
samping berbagai julukan yang dimengerti melalui sikap dan tingkah laku yang diberikan
kepada Bung Hatta ddari seorang pahlawan Proklamator, Bapak Koperasi, negarawan,
demokrat sejati, cendekiawan, atau satu lagi yang tidak bisa dilupakan, bahwa Bung Hatta
adalah sebagai guru bangsa, sebagai pendidik negeri yang sejati, dalam politik, ekonomi,
dan moral. Guru dalam teori dan praktik.

You might also like