You are on page 1of 6

PENERAPAN BERBAGAI MODEL PERMAINAN

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


INDONESIA UNTUK MEMBANGUN SUASANA
BELAJAR YANG MENYENANGKAN

Pengantar 
Pengalaman mengajar Bahasa Indonesia yang akan saya paparkan di sini
berlangsung di kelas X. Di sekolah kami, siswa putra dan putri yang duduk di kelas
X dipisahkan ke dalam dua kelas yang berbeda. Berdasarkan pengalaman saya
selama mengajar, kelas X yang hanya terdiri dari pelajar putra (kelas putra)
cenderung lebih aktif jika dibandingkan kelas putri, suasana kelasnya lebih hidup,
mereka pun memiliki keberanian lebih tinggi dalam berpendapat dan berbicara.
Sebaliknya kelas putri cenderung lebih pasif, lambat hangatnya, dan kurang
responsif. Dari segi kemampuan akademis, siswa kelas putra lebih beragam,
meskipun rata-rata mereka memiliki kemampuan daya tangkap yang lebih baik
dibandingkan siswa putri. Sedangkan kelas putri dapat dikatakan mempunyai
kemampuan akademik yang relatif sama, yaitu dalam kisaran sedang. 
Pada dasarnya berbagai model permainan yang akan saya ceritakan nanti berkaitan
dengan upaya untuk menyegarkan suasana belajar, menumbuhkan keaktifan dan
kerja sama di antara siswa, serta meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi
pembelajaran. 

Mengemas dan Melakukan Review terhadap Materi dengan Permainan 


Seperti yang saya paparkan sebelumnya, kelas putri cenderung lebih pasif
dibandingkan dengan kelas putra. Di kelas putri saya agak sulit membangun
suasana kelas agar menjadi lebih nyaman dan kondusif untuk berlangsungnya
proses pembelajaran. Apalagi jika pelajaran Bahasa Indonesia jatuh di jam terakhir
menjelang pulang sekolah. Pada awalnya kondisi ini cukup menjadi hambatan
besar bagi saya. 
Untuk menyikapi hal ini, biasanya pelajaran saya awali dengan nyanyian. Bukan
mereka yang menyanyi tetapi saya yang berinisiatif untuk mulai bernyanyi. Sengaja
saya memilih dan menyanyikan lagu yang lucu-lucu, sehingga mengundang tawa
mereka. Misalnya lagu “SMS” atau “Jablay” yang saya nyanyikan dengan
memberikan improvisiasi yang “aneh-aneh”. Kelas akan menjadi riuh, sehingga
suasana kelas menjadi lebih hangat. Sesudah itu barulah pelajaran bisa dimulai.
Melakukan pembelajaran dengan mengemas materi dalam bentuk lagu-lagu, khusus
saya lakukan di kelas putri. Pada waktu itu materi yang ingin saya sampaikan
adalah menyusun kamus kecil (glosarium) dalam bidang tertentu. Di kelas putri
jumlah keseluruhan siswanya adalah 18 orang. Mereka saya minta untuk
membentuk 3 kelompok, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 6 orang.
Pada satu pertemuan saya bersama-sama dengan siswa mencoba merumuskan hal-
hal penting yang harus diperhatikan ketika membuat/menyusun kamus kecil. Di
antara sekian banyak isi rumusan tersebut tentunya ada yang bersifat teoritis dan
menuntut kemampuan siswa untuk menghafalkannya. 
Strategi pembelajaran yang saya pilih agar mereka dapat menghapalkan materi
yang bersifat teori, misalnya berkaitan dengan langkah/prosedur kerja, adalah
dengan meminta mereka menuangkan dan mengemas materi tersebut dalam
sebuah lagu. Pada suatu pertemuan pembelajaran, diluangkan waktu dimana siswa
didorong untuk mencoba memasukkan materi itu dalam lirik-lirik lagu. Pada
umumnya mereka akan memasukkan materi itu ke dalam lagu-lagu dangdut yang
sedang ngetop saat itu. Syair lagu yang asli mereka ganti sesuai dengan materi
yang sedang dibahas. Kegiatan dilanjutkan dengan latihan menyanyikan lagu itu
sesuai dengan kelompok masing-masing. 
Di pertemuan berikutnya, masing-masing kelompok ini saya persilakan maju satu
persatu untuk menyanyikan lagu mereka. Unjuk kemampuan/ demonstrasi ini tidak
saya beri nilai kognitif secara khusus, karena tujuan saya adalah untuk menguatkan
penguasaan mereka terhadap materi ini. Di sisi lain, suasana kelas akan menjadi
lebih semarak dengan munculnya beragam nyanyian dan gaya dari para peserta
belajar.

Saya juga sering melakukan proses penyegaran terhadap materi-materi yang sudah
dibahas dengan berbagai macam bentuk permainan. Seperti yang saya lakukan
setelah siswa di kelas X menuntaskan 3 (tiga) Kompetensi Dasar. Sebagian siswa
mempunyai kebiasaan untuk malas mengulang atau mempelajari kembali
kompetensi yang telah dituntaskannya. Padahal kemampuan mereka akan diuji lagi
melalui ulangan blok di akhir semester dan Ujian Nasional di tahun terakhir masa
SMA. Supaya proses review terhadap materi-materi “usang” ini tidak menegangkan
siswa, saya mengemasnya dalam sebuah permainan balon. 
Siswa dalam satu kelas yang sama didorong untuk membentuk beberapa kelompok
yang terdiri dari 5 – 6 orang. Saya menyiapkan beberapa buah balon (sesuai dengan
kelompok yang terbentuk). Di dalam setiap balon itu saya masukkan tugas yang
harus mereka lakukan dan sanksi yang harus diterima jika mereka gagal
melaksanakan tugas. Balon-balon itu kemudian dilemparkan ke atas, masing-
masing kelompok harus menangkap sebuah balon. Setelah memecahkan balon yang
didapatkannya, setiap kelompok harus menjalankan instruksi yang ada didalamnya.
Instruksi yang saya buat adalah menjelaskan kembali materi-materi yang pernah
dibahas, di hadapan teman-teman yang lain. Setelah materi dijelaskan oleh satu
kelompok yang mendapatkan tugas, siswa lain diperbolehkan untuk bertanya, dan
pertanyaan itu harus dijawab. Jika kelompok yang menjelaskan tidak mampu
menyampaikan materinya dengan baik, mereka dijatuhi sanksi untuk
menjelaskannya di pertemuan berikutnya. 
Permainan dengan balon dapat dimodifikasi dengan menyediakan balon sebanyak
jumlah siswa. Semua balon diisi kertas yang berisi tugas yang berbeda-beda.
Kemudian balon dilemparkan ke atas dan masing-masing siswa mencari dan
menangkap salah satu balon yang ada. Apabila semuanya sudah mendapatkan
balon masing-masing, balon itu kemudian dipecahkan. Dengan demikian siswa bisa
membaca sendiri tugasnya dan kemudian melaksanakan tugas itu. Jika ada siswa
yang tidak berhasil melaksanakan tugasnya, maka siswa tersebut akan diberi
hukuman. Hukuman yang diberikan tentunya berkaitan dengan materi. Biasanya
saya meminta siswa yang bersangkutan menjelaskan materi di depan kelas dan
menjawab pertanyaan dari teman-temannya. Jika siswa yang tidak berhasil
melaksanakan tugas lebih dari satu orang, maka siswa-siswa tersebut akan
membentuk satu kelompok. Hukuman seperti ini menurut saya, menuntut siswa
untuk selalu siap dengan materi dan akan terus dipacu untuk belajar.
Satu model permainan yang lain saya terapkan untuk menyegarkan kembali ingatan
dan pengetahuan siswa dalam menggunakan bahasa berdasar tata bahasa dan
tanda baca yang benar dalam aturan penulisan bahasa Indonesia. Pada kesempatan
sebelum permainan ini dilakukan, saya menugaskan siswa untuk membuat
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi ini. Misalnya mereka menulis
sebuah kalimat, lalu menanyakan apakah kalimat tersebut sudah ditulis dengan
kaidah bahasa yang tepat atau belum. Saya kemudian bertugas untuk menghimpun
soal-soal yang dibuat oleh siswa tersebut. 
Pada saat permainan, saya membawa kumpulan soal itu ke tengah lapangan.
Sementara seluruh siswa berkumpul di lapangan dan membentuk sebuah lingkaran
besar. Mereka saya minta untuk menyanyikan lagu yang bertempo cepat (lincah
iramanya). Biasanya yang kami nyanyikan adalah mars sekolah. Sambil mereka
bernyanyi, mereka harus memberikan bolpoin yang ada di tangan mereka kepada
teman di sebelahnya. Proses memindahkan bolpoin itu tidak boleh berhenti
sebelum ada aba-aba “STOP” dari saya. Pada saat saya mengucapkan “STOP”,
seluruh siswa menghentikan nyanyiannya. 
Siswa yang memegang bolpoin terakhir kali harus menjawab pertanyaan yang saya
ajukan. Jika mereka dapat menjawab, permainan dilanjutkan kembali dan
prosesnya sama seperti semula. Namun apabila terdapat siswa yang tidak bisa
menjawab, ia diperbolehkan menunjuk teman lain untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Kesempatan ini hanya berlaku satu kali saja. Jika siswa kedua tidak bisa
menjawab pertanyaan yang dilemparkan, maka jawaban akan disimpan dan
permainannya tetap dilanjutkan. Menjelang saat tatap muka berakhir, soal-soal
yang tidak terjawab tadi akan dibahas satu persatu. Siswa sendiri yang akan
mencoba untuk membahasnya. Siswa yang belum mendapatkan kesempatan, bisa
ikut serta dalam menjawab pertanyaan yang belum terselesaikan di permainan
sebelumnya. Dalam pertemuan berikut, saya melanjutkan putaran kedua
permainan ini dengan proses yang kurang lebih sama, sehingga dapat dikatakan
model ini saya terapkan dalam 4 jam pelajaran (dua kali tatap muka). 

Hambatan yang Ditemui dalam Penerapan Model Pembelajaran Ini


Problem pertama yang saya temui adalah berkaitan dengan
pembagian/pembentukan kelompok yang dilakukan sendiri oleh siswa. Ada
kecenderungan siswa yang aktif dan memiliki kemampuan akademis yang baik,
akan bergabung dengan kawan-kawan yang relatif sama dengan mereka. Begitu
juga sebaliknya, yang pasif dan memiliki kemampuan akademis yang kurang baik
akan bergabung dalam satu kelompok yang sama. Sebagai guru saya tidak akan
melakukan intervensi dengan merombak kelompok yang telah terbentuk, tetapi
saya memilih untuk melakukan bimbingan secara khusus terhadap kelompok-
kelompok yang pasif ini. Solusi lain yang saya tempuh adalah dengan melakukan
variasi dalam pembentukan kelompok, tidak hanya dilakukan secara bebas, tetapi
kadang-kadang juga ditentukan dengan hitungan. Jika ingin membentuk 5
kelompok, siswa diminta untuk menyebutkan angka 1–5 secara bergantian sampai
seluruh siswa di kelas tersebut mendapatkan giliran menyebutkan salah satu angka
tersebut. Siswa yang menyebutkan angka 1 berkumpul/berkelompok dengan siswa
lain yang menyebut angka 1, siswa yang menyebutkan angka 2
berkumpul/berkelompok dengan siswa lain yang menyebut angka 2, dan
seterusnya. Dengan demikian siswa tidak bisa memilih dengan bebas anggota
kelompoknya, tetapi guru juga tidak secara langsung membentuk kelompok sesuai
dengan keinginannya.
Problem yang kedua, berkenaan dengan kelambanan penguasaan dan pemahaman
materi. Untuk mendorong percepatan penguasaan dan pemahaman siswa di kelas
putri, saya meminta siswa membentuk kelompok-kelompok belajar di asrama. Bagi
siswa yang tinggal di luar asrama biasanya saya minta untuk bergabung dalam satu
kelompok tersendiri, meskipun dalam praktiknya mereka pun bisa berkunjung ke
asrama dan belajar bersama dengan teman-teman mereka yang tinggal di situ.
Pekerjaan rumah yang paling sering saya berikan adalah membuat pertanyaan
untuk materi yang akan dibahas di pertemuan berikutnya. Secara tidak langsung
saya mengajak mereka untuk memperoleh gambaran tentang materi yang akan
dibahas dan mempunyai pengetahuan awal sebelum mengikuti pembelajaran.
Supaya kelompok-kelompok belajar ini dapat menjalankan kewajibannya dengan
sungguh-sungguh, saya berkoordinasi dengan para pembina asrama. 

Manfaat Positif yang Dapat Dipetik dari Proses Pembelajaran yang Partisipatif
Dengan beberapa model permainan yang telah dilakukan bersama dengan siswa,
saya melihat adanya perkembangan yang positif di kelas putri. Paling tidak mereka
semakin senang dan termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan belajar
dan mengajar berlangsung dalam suasana yang hangat. Keberanian mereka untuk
mengekspresikan diri dan menampilkan sebuah karya kreatif pun terlihat semakin
baik. Kondisi ini sangat positif karena mereka kian bertambah semangat dalam
mempelajari materi yang sedang dipelajari. 
Proses belajar yang demokratis pun dapat ditemukan ketika siswa diberi
kepercayaan untuk membentuk kelompok sendiri, menyusun soal dan menemukan
jawabannya secara mandiri, menyampaikan pengetahuannya kepada teman-
temannya, dan membangun proses dialog antarsiswa untuk membahas materi
pelajaran. Saya sebagai guru juga mengurangi peran saya untuk menentukan siapa
yang harus menjawab pertanyaan, atau apa yang seharusnya menjadi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam permainan tersebut. 
Model-model belajar yang telah saya paparkan di atas, ternyata sangat membantu
siswa untuk meningkatkan pemahamannya terhadap materi ajar dan cukup
signifikan pengaruhnya terhadap pencapaian nilai kognitif, afektif dan psikomotor.
Selama ini pada umumnya siswa mengalami kesulitan untuk mengingat materi-
materi yang menunjukkan sebuah prosedur baku, definisi, maupun aturan-aturan
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun dengan mengemas materi dalam
bentuk lagu dan permainan, tampaknya kendala yang ditemui siswa semakin
berkurang. Secara tidak langsung mereka akan “dipaksa” untuk mengingat materi-
materi ajar dengan cara yang menyenangkan. Apalagi jika dilakukan proses
pengulangan/evaluasi materi yang telah dipelajari secara berkala. Para siswa
otomatis akan selalu terdorong untuk menyegarkan kembali ingatannya dan
berkesempatan untuk menambah pengetahuan yang dimilikinya selama ini dengan
informasi terbaru. Sanksi yang dikenakan kepada siswa yang gagal menjawab
pertanyaan ataupun mempresentasikan topik bahasan kelompok yang dipilihnya,
berupa tugas untuk mempelajari kembali materi-materi tersebut dan
menjelaskannya di depan kelas, ternyata cukup efektif untuk meningkatkan
pemahaman siswa terhadap materi-materi ajar yang penting.

You might also like